eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

174

Transcript of eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

Page 1: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id
Page 2: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

“PENDIDIKAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PERLUASAN AKSES DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MENUJU INDONESIA YANG LEBIH

RAMAH DISABILITAS”

Page 3: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

No 19 Tahun 2002 TENTANG HAK CIPTA

PASAL 72

KETENTUAN PIDANA SANGSI PELANGGARAN

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu Ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah, atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah.

2. Barang siapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Page 4: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

“PENDIDIKAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PERLUASAN AKSES DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MENUJU

INDONESIA YANG LEBIH RAMAH DISABILITAS”

Diselenggarakan Oleh: Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI)

Bekerjasama dengan Direktorat PPK-LK, PLB UNY, PLB UM dan PLB UNS

Diterbitkan oleh:

Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI)

Page 5: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

“PENDIDIKAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PERLUASAN AKSES DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MENUJU INDONESIA YANG LEBIH RAMAH DISABILITAS” Editor : Sukinah, M.Pd 1 (satu) jilid; A4 ,,,,,Hal ISBN : 978-602-51896-0-9 Hak Cipta ©2017 pada penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin mesin fotokopi, tanpa ijin sah dari penerbit Percetakan : Limpatpat media Penyusun : Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) Layout : Dewi Barotuttaqiyah, S.Pd Desain Sampul : Yuli Syafii Setyawan, ST Diterbitkan Oleh : Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI)

Hak Cipta dilindungi Undang-undang Isi diluar tanggung jawab Penerbit dan Percetaan

Page 6: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

KATA PENGANTAR Seminar nasional ini diselenggarakan oleh Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia

(APPKhI) bekerjasama dengan Direktorat PPK-LK, Jurusan PLB FIP UNY dan Jurusan PLB FIP UNS,

mengambil tema “PENDIDIKAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PERLUASAN AKSES DAN PENINGKATAN

MUTU PENDIDIKAN MENUJU INDONESIA YANG LEBIH RAMAH DISABILITAS”.

Prosiding ini diproses dari kumpulan makalah utama dan pendamping, yang disajikan

berdasarkan fakta dan pemahaman serta masalah-masalah aktual dengan topik Seminar: Pendidikan

Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa, Autis, ADD/ADHD, Berkesulitan Belajar, Tunaganda,

Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa, Pendidikan Inklusif, dan Perlindungan anak. Diharapkan

prosiding ini bermanfaat bagi pembaca, stakeholder, peserta dan penulis naskah.

Akhirnya dengan selesainya seminar nasional ini, kami atas nama seluruh panitia

penyelenggara mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah

berpartisipasi mengikuti seminar secara aktif terutama kepada yang terhormat:

1. Direktur Pembinaan PK-LK Dikdas Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan RI,

2. Dirjen Belmawa Kemenristek Dikti,

3. Ketua Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI),

4. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta,

5. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, dan

6. Semua peserta

Demikianlah yang dapat kami sampaikan, terimakasih dan salam sejahtera untuk semua.

Ketua panitia,

Page 7: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

DAFTAR ISI

Kata pengantar .............................................................................................................................. iv

Daftar isi ........................................................................................................................................ v

Pembelajaran Braille Permulaan Bagi Tunanetra Di Slb A Fajar Harapan .................................... 1 Oleh Utomo; Mirnawati

Peningkatan Kemampuan Mendeteksi Jarak Objek Melalui Alat U-Qoserlin .............................. 7 Bagi Penyandang Hambatan Penglihatan Oleh Marlina; Siti Qoniah

Kompetensi Guru Pendidikan Khusus Dalam Seting Sekolah Dasar Penyelenggara .................... 13 Pendidikan Inklusif Oleh Dewi Ratih Rapisa

Pembelajaran Matematika Dalam Setting Pendidikan ................................................................. 22 Inklusif Di Sdn Pasar Lama 3 Banjarmasin Oleh Imam Yuwono; Eviani Damastuti

Stimulasi Perkembangan Anak Tunagrahita Ringan ...................................................................... 31 Melalui Ragam Permainan Tradisional Banjar Oleh Murniyanti Ismail

Asesmen Mengemas Produk Pertanian ..........................................................................................41 Oleh Emay Mastiani

Mengaitkan Inisiatif Sdgs (Sustainable Development Goals) ....................................................... 48 Dengan Sheltered Workshops Berbasis Desa: Difabel Berdaya Di Era Kekinian Oleh Dwitya Sobat Ady Dharma

Perlindungan Anak Berkebutuhan Khusus ..................................................................................... 64 Oleh Isti Rusdiyani

Peran Gpk Dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Berkebutuhan Khusus ....................... 75 Pada Sekolah Dasar Inkulsif Di Kota Malang (Studi Deskriptif Di Sd Negeri Kebonsari 1,2 Dan 3) Oleh Wiwik Dwi Hastuti; Endro Wahyuno

Program Pull Out Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus ....................................................................... 82 Di Sekolah Inklusi “X” Kota Yogyakarta Oleh Mita Apriyani; Sunardi; Nadya Muniroh

Peningkatan Kemampuan Motorik Kasar Anak Autis Melalui Permainan Bola Bocce .................. 89 Oleh Diajeng Tyas Pinru Phytanza

Pengembangan Media Pembelajaran “Flash Card” Dalam Meningkatkan ................................... 96 Pembendahaaraan Kosa Kata Anak Tunarungu Di Sd Luar Biasa Tuna Rungu Wicara Kota Malang Oleh Agusti Mardikaningsih

Page 8: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

Efektivitas Pembuatan Lukisan Plastik Timbul Terhadap Kemampuan ........................................... 103 Motorik Halus Anak Hambatan Intelektual Kategori Sedang Di Slb Erha Semarang Oleh Istiqomah

Pendidikan Inklusi Bagi Anak Gifted ............................................................................................... 114 Oleh Patricia Lestari Taslim

Meningkatkan keterampilan menulis tegak bersambung melalui penggunaan metode ................ 120 Global intuitif pada peserta didik tunarungu kelas ii (penelitian tindakan kelas di SLB BC cempaka putih) Oleh Indina Tarjiah; Isti Haryani

Keterlibatan orangtua dalam tahab awal proses pembelajaran .................................................... 126 Braille untuk anak tunanetra Oleh Ade Koentiatri, Rahmawati Herlina, Ishartiwi

Model Pelatihan Baca Tulis Braille Bagi Guru Di Sekolah Inklusi .................................................... 133 Oleh Muhammad Faris Darussalam, Ishartiwi

Learning Development For Slb Teacher Municipality Bandung .....................................................139 In Improving Mentally Disabled Child’s Vocational Skill Oleh Lilis Suwandari

Membangun karakter sosial emosional ........................................................................................... 148 Calon guru sekolah luar biasa melalui portofolio elektronik Oleh Sinta Yuni Susilawati1*,Umi syafiul Ummah21*, Henry Praherdhiono3*,

Rizq Fajar Pradipta4*

Kajian evaluasi inplementasi pendidikan inklusif di indonesia ....................................................... 168 Oleh Munawir Yusiuf, Erma Kumalasari, Mahardika Supratiwi

Arsy Anggrellanggi

Page 9: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 1

PEMBELAJARAN BRAILLE PERMULAAN BAGI TUNANETRA DI SLB A FAJAR

HARAPAN

Utomo; Mirnawati

Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

e-mail: [email protected]

Abstract: This research aims to understand and describe the learning of Braille reading and

writing the beginning for blind children. This research is done by using qualitative approach.

The type of qualitative research used is descriptive research. The respondents in this research

are the class teachers and the blind students. Data collection techniques used interviews,

observation and documentation. Data analysis techniques use reduction, presentation, and

conclusions. The results showed that learning to read and write the beginning braille using

media in the form of braille alphabet boards used in practicing paleness as pre-braille subjects.

The process of learning implementation begins with memorize alphabet a-z after it introduced

the bronchial alphabet point on students with visual impairment using braille alphabet board

then the child poured into the paper using the reglet on the paper while memorize the point on

each alphabet written. Keywords: learning braille introduction, blind students.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Membaca dan menulis Braille

merupakan salah satu sarana bagi para

penyandang tunanetra buta untuk

memperoleh informasi dan

berkomunikasi dengan orang lain yang

menggunakan dria taktual. Dengan

demikian kepekaan dria taktual

merupakan tuntutan dalam memiliki

kecakapan membaca dan menulis

Braille. Padahal kepekaan dria taktual

bukan merupakan hal yang otomatis

bagi para penyandang tunanetra, tetapi

perlu adanya latihan dan atau

pembelajaran bagi yang bersangkutan.

Membaca dan menulis Braille

permulaan sebagai dasar kecakapan

membaca dan menulis Braille bagi

penyandang tunanetra, perlu diajarkan

di sekolah-sekolah khusus maupun di

sekolah reguler. Keterampilan

membaca dan menulis permulaan harus

segera di kuasai oleh siswa tunanetra

karena keterampilan ini secara langsung

berkaitan dengan seluruh proses

kegiatan belajar mengajar di sekolah

sangat ditentukan oleh penguasaan

kemampuan membaca dan menulis

mereka. Siswa tunanetra yang tidak

mampu membaca dan menulis akan

mengalami kesulitan dalam mengikuti

kegiatan pembelajran untuk semua

mata pelajaran. Siswa tunanetra akan

mengalami kesulitan dalam menangkap

dan memahami informasi yang

disajikan dalam berbagai buku

pelajaran, buku-buku bahan penunjang

dan sumber-sumber belajar tertulis

yang lain. Akibatnya kemajuan

belajarnya juga lamban jika

dibandingkan dengan teman-temannya

yang tidak mengalami kesulitan dalam

membaca dan menulis Braille.

Penguasaan membaca dan

menulis Braille permulaan bagi anak

tunanetra juga dipengaruhi oleh

keaktifan dan kreativitas guru yang

mengajar, dengan kata lain guru

memegang peranan yang strategis

dalam pembelajaran membaca dan

menulis Braille siswa tunanetra.

Peranan strategis tersebutt menyangkut

peran guru sebagai fasilitator,

Page 10: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 2

motivator, sumber belajar, dan

organisasi dalam proses pembelajaran.

Namun demikian apakah para guru

telah melakukan pembelajaran

membaca dan menulis Braille

permulaan dengan tepat, sehingga anak

tunanetra memperoleh pembelajaran

yang berarti atau sebaliknya para guru

mengabaikan asas-asas mengajar

membaca dan menulis Braille

permulaan, sehingga anak tunanetra

tidak cakap membaca dan menulis

Braille.

Sementara itu kondisi obyektif

di lapangan menunjukkan bahwa masih

banyak anak tunanetra yang telah

menduduki sekolah lanjutan, belum

terampil membaca dan menulis Braille.

Oleh karena itu perlu diteliti bagaimana

guru memberikan pembelajaran

membaca dan menulis braille

permulaaan pada sekolah khusus atau

Sekolah Luar Biasa Tunanetra. Dengan

demikian akan dapat dideskripsikan

tentang pembelajaran membaca dan

menulis Braille permulaan bagi anak

tunanetra di Sekolah Luar Biasa

Tunanetra. Berdasarkan permasalahan

di atas, penelitian ini bertujuan untuk

memahami dan mendeskripsikan

pembelajaran membaca dan menulis

Braille permulaan bagi anak-anak

tunanetra.

2. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang

masalah di atas, penelitian ini di

fokuskan pada pelaksanaan

pembelajaran membaca dan menulis

Braille permulaan pada anak tunanetra

kategori totally blind dan low vision

yang tidak lagi mampu membaca

tulisan awas walaupun telah

menggunakan alat bantu.

3. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana pelaksanaan pembelajaran

membaca dan menulis Braille

permulaan pada anak tunanetra di SLB

Fajar Harapan?

4. Sub Pertanyaan Penelitian

a. Bagaimana guru melakukan

identifikasi dan asesmen membaca

dan menulis Braille?

b. Bagaimana guru mengajarkan pra-

braille bagi tunanetra?

c. Bagaimana guru menyusun rencana

dalam pembelajaran membaca dan

menulis Braille permulaan pada

anak tunanetra di SLB Fajar

Harapan?

d. Bagaimana pelaksanaan

pembelajaran membaca dan

menulis Braille permulaan pada

anak tunanetra di SLB Fajar

Harapan?

e. Kendala apa saja yang dihadapi oleh

guru dan anak dalam membaca dan

menulis Braille permulaan di SLB

Fajar Harapan?

f. Upaya apa saja yang dilakukan

untuk mengatasi kendala dalam

pembelajaran membaca dan

menulis Braille permulaan pada

anak tunanetra di SLB Fajar

Harapan.

5. Tujuan Penelitian

Setiap aktivitas senantiasa tidak bisa

lepas dari tujuan yang ingin di capai,

begitupun dengan penelitian ini.

a. Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini

bertujuan untuk menganalisis

tentang pembelajaran membaca dan

menulis Braille permulaan pada

anak tunanetra di SLB Fajar

Harapan.

b. Tujuan Khusus

Secara spesifik, penelitian ini

bertujuan untuk mengungkap data

lapangan yang berkaitan dengan

aspek-aspek sebagai berikut:

1) Hal-hal yang dibuat guru dalam

rencana pembelajaran membaca

dan menulis Braille permulaan

pada anak tunanetra di SLB

Fajar harapan.

2) Proses pembelajaran membaca

dan menulis Braille permulaan

Page 11: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 3

pada anak tunanetra di SLB

Fajar Harapan.

3) Kendala yang dihadapi oleh

guru dan anak tunanetra dalam

pembelajaran membaca dan

menulis Braille permulaan di

SLB Fajar Harapan.

4) Upaya yang dilakukan untuk

mengatasi kendala dalam

pembelajaran membaca dan

menulis Braille permulaan di

SLB Fajar Harapan.

6. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan

member manfaat sebagai berikut:

a. Sebagai masukan bagi guru tentang

arti penting layanan individu dalam

batas-batas tertentu dalam upaya

mendorong keberhasilan siswa

tunanetra dalam membaca dan

menulis Braille permulaan.

b. Meningkatkan pemahaman anak

tunanetra tentang isi bacaan pada

saat mereka mengikuti pengajaran

membaca dan menulis Braille

permulaan sehingga dapat

mencapai prestasi belajar yang

diharapkan.

METODE

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan pendekatan kualitatif.

Adapun jenis penelitian kualitatif yang

digunakan adalah penelitian deskriptif.

Penelitian ini akan mendeskripsikan

kegiatan pembelajaran Braille

permulaan pada siswa tunanetra di SLB

Fajar Harapan.

2. Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini

adalah segala bentuk informasi baik

berupa ucapan, ataupun tindakan dari

responden terkait pembelajaran Braille

permulaan pada anak tunanetra di SLB

Fajar Harapan. Responden dalam

penelitian ini adalah guru kelas dan

siswa tunanetra itu sendiri.

3. Teknik Pengumpula Data

Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara, observasi, dan

dokumentasi. Instrumen utama dalam

penelitian ini adalah panduan

wawancara sedangkan instrumen

tambahan adalah panduan observasi

4. Teknik Analisis Data

Proses analisis data terjadi

secara simultan dan bolak balik yang

artinya dalam proses analisis data

dimulai sejak pengumpulan data sampai

analisis data itu sendiri. Proses analisis

data dapat digambarkan sebagai

berikut:

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1. Pelaksanaan Identifikasi Asesmen

Membaca dan Menulis Braille

Permulaan

Identifikasi dilakukan saat

penerimaan klien di Pusat Sosial Bina

Netra, klien yang kemudian ditemukan

masih berada dalam rentang usia

sekolah maka selanjutnya di alihkan ke

SLB Fajar Harapan untuk mendapatkan

pendidikan dan pembelajaran.

Kaitannya dengan pelaksanaan

identifikasi dan asesmen membaca dan

menulis braille permulaan, guru hanya

mendata apakah anak sebelumnya

sudah bersekolah atau belum, sudah

pernah mendapatkan pembelajaran

Reduksi

Data

Pengumpulan Data

Instrumen

Memajang Data

Prediksi/Penafsiran

Data

Page 12: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 4

braille atau belum. Informasi yang

diperoleh tersebut selanjutnya dijadikan

bahan masukan untuk melaksanakan

pembelajaran membaca dan menulis

braille permulaan.

2. Pembelajaran Pra Braille

Pembelajaran Pra Braille di

SLB-A Fajar Harapan dilaksanakan

sebelum pembelajaran membaca

menulis braille permulaan hanya saja

belum dilaksanakan secara

komprehensif. Dalam hal ini anak yang

sama sekali belum pernah belajar braille

hanya dilatih meraba permukaan untuk

sensitifitas jemari anak. Adapun untuk

anak tunanetra yang telah mendapatkan

pembelajaran braille sebelum

bersekolah di SLB –A Fajar Harapan

tidak lagi diberikan pembelajaran Pra

Braille.

3. Penyusunan Rencana Pembelajaran

Guru di SLB-A Fajar Harapan

Martapura melaksanakan pembelajaran

Braille permulaan tanpa menyusun

rencana pembelajaran secara

administratif hal ini terjadi karena guru

yang mengajarkan Braille permulaan

saat ini tidak merasa berkewajiban

menyusun rencana pembelajaran

berhubung beliau hanya merupakan

guru bantu yang diperbantukan dari

yayasan.

4. Pelaksanaan Pembelajaran

Membaca dan Menulis Braille

Permulaan

Pembelajaran membaca dan

menulis Braille permulaan di SLB-A

Fajar Harapan tidak terpisah satu sama

lain melainkan saling beriringan.

Adapun tahapan dalam membaca dan

menulis braille permulaan sebagai

berikut:

a. Menghafal abjad awas A-Z. Dalam

hal ini siswa dikenallkan abjad awas

A-Z dengan menghafalkan secara

urut.

b. Mengenalkan titik abjad braille.

Setelah siswa mengahafal abjad

awas secara urut maka selanjutnya

adalah mengenalkan titik abjad

braille dengan menggunakan media

papan abjad braille.

c. Menghafalkan titik abjad braille.

Dengan menggunakan media papan

abjad braille siswa sembari

mengahafalkan titik setiap abjad

braille secara lisan. Misalnya A=titik

1, B=titik 1-2, C=titik 1-3-4,.. dst.

d. Mengenalkan konsep braille baca

dan braille tulis. Konsep membaca

braille berbeda dengan konsep

menulis braille. Menulis braille

dilakukan dari arah kanan ke kiri.

Sedangkan membaca braille sama

halnya dengan membaca awas yaitu

dilakukan dari arah kiri ke kanan.

Untuk dapat membaca braille maka

kertas hasil tulisan braille harus

dibalik terlebih dahulu.

e. Menulis menggunakan reglet. siswa

diajarkan dan dilatih menulis braille

menggunakan reglet dari arah kanan

ke kiri. Pembelajaran menulis ini di

mulai dari menuliskan huruf, setelah

mahir dalam penulisan huruf

kemudian dilanjutkan pada

penulisan suu kata, kata, samapai

pada kalimat sederhana.

f. Membalikkan kertas tulisan braille.

Setelah anak menulis braille

menggunakan reglet pada kertas

maka selanjutnya adalah melatih/

mengajarkan anak bagaimana

membalikkan kertas yang benar.

Siswa selalu diingatkan agar tidak

membolak-balikkan kertas tulisan

braille karena dapat menyulitkan

siswa dalam membalikkan kertas.

Agar anak mudah dalam membaca

tulisan braille pada kertas, maka

dalam hal ini teknik membalikkan

kertas yang diajarkan oleh guru yaitu

membalikkan dari arah kiri ke kanan.

g. Membaca tulisan. Setelah siswa

membalikkan kertas tulisan braille

Page 13: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 5

maka selanjutnya anak membaca

tulisan braille dengan meraba titik-

titik timbul pada kertas

menggunakan ujung jari. Apa yang

ditulis maka itulah yang dibaca,

maka dalam hal membaca secara

otomatis juga dimulai dari membaca

huruf kemudian suku kata, kata, dan

kalimat sederhana.

5. Kendala dalam Pembelajaran

Membaca dan Menulis Braille

Permulaan Kegiatan pembelajaran di kelas

tidak lepas dari kendala-kendala yang

sering ditemui, begitupun dengan

pembelajaran membaca dan menulis

braille permulaan di SLB-A Fajar

Harapan. Adapun kendala yang ditemui

oleh guru bantu yang membelajarkan

membaca dan menulis Braille

permulaan pada siswa tunanetra di

SLB-A Fajar Harapan terlebih pada

siswa yang malas ke sekolah sehingga

tidak terjadi pembelajaran yang

menyebabkan butuh waktu yang lama

untuk membelajarkan satu materi pada

siswa. Disisi lain siswa yang sulit dalam

kosentrasi juga menjadi kendala bagi

guru dalam mengajarkan membaca dan

menulis braille permulaan.

Pembahasan

Pada umumnya pembelajaran

membaca dan menulis Braille permulaan

menggunakan media berupa papan abjad

braille yang digunakan dalam melatih

perabaan pada siswa tunanetra yang

sebelumnya sama sekali belum pernah

mendapatkan pembelajaran braille.

Pembelajaran membaca dan menulis braille

permulaan diawali dengan mengahapal

abjad a-z setelah itu mengenalkan titik

abjad braille pada siswa tunanetra

menggunakan papan abjad braille

kemudian anak menuangkannya kedalam

tulisan menggunakan reglet pada kertas

sambil menghapalkan titik pada setiap

abjad yang ditulis. Arif (2016) Pengenalan

dan penajaman bahasa tulis akan sangat

mudah dilakukan jika seorang siswa dapat

mahir membaca dan menulis braille.

Pengalaman membaca seorang siswa juga

akan semakin kaya. Berbagai pembelajaran

seperti bahasa asing, pembacaan ayat suci,

dan berbagai pengetahuan lain akan relatif

mudah difahamkan pada siswa dengan

mempergunakan media braille.

KESIMPULAN Pembelajaran membaca dan

menulis braille permulaan di SLB-A

Fajar Harapan dilaksanakan oleh guru

yang diperbantukan dari panti atau

yayasan, tidak ada pembuatan

perencanaan pemebelajaran secara

tertulis yang tertuang dalam bentuk

silabus atau RPP. Pembelajaran

membaca dan menulis Braille

permulaan dilaksanakan berdasarkan

pengalaman guru. Pada umumnya

pembelajaran membaca dan menulis

Braille permulaan menggunakan media

berupa papan abjad braille yang

digunakan dalam melatih perabaan

pada siswa tunanetra yang sebelumnya

sama sekali belum pernah mendapatkan

pembelajaran braille. Pembelajaran

membaca dan menulis braille

permulaan diawali dengan mengahapal

abjad a-z setelah itu mengenalkan titik

abjad braille pada siswa tunanetra

menggunakan papan abjad braille

kemudian anak menuangkannya

kedalam tulisan menggunakan reglet

pada kertas sambil menghapalkan titik

pada setiap abjad yang ditulis, karena

susunan titik pada braille baca dan

braille tulis berbeda maka siswa

diajarkan membalikkan kertas hasil

tulisan reglet agar tidak terbolak balik

yang dapat menyebabkan anak

kesulitan dalam membaca.

Page 14: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 6

DAFTARPUSTAKA

Abbas, Saleh. (2006). Pembelajaran bahasa

Indonesia di sekolah dasar. Jakarta.

Departemen Pendidikan Indonesia.

Anitah, Sri. W dkk. (2007). Strategi

Pembelajaran di SD. Jakarta:

Rineka Cipta.

Barrage, N. 1983. Handicapped and

visually impairment. Texas. Texas

American Company.

Daneman, M. (1988). How Reading Braille

Is Both like and Unlike Reading

Print. Memory and Cognition,

November 1998, 497-504.

Efendi, Mohammad (2009) Pengantar

Psikopedagogik Anak Berkelainan.

Jakarta: PT Bumi Aksara

Fitzsimmons, M.K. Beginning Reading.

The Eric Clearinghouse on

Disabilities and Gifted Education

(Eric Ec). Eric/osep Digest #E565,

February 1998

Foulke, E. (1982). Reading Braille.

In W. Schiff & E. Foulke (Eds.),

Tactual Perception: a Sourcebook.

New York: Cambridge University

Press.

Hallahan, D.P., & Kauffman, J.M. (1998).

Exceptional Children : An

Introduction to special education (5

th Ed). New Jersey: Prentice-Hall

Inc.

Hallahan, D.P., Kauffman, J.M. & Pullen,

P.C. (2009). Exceptional Learners

An Introduction to Special

Education. New York: Pearson.

Lowenfelt. Berthold. (1995). Emotional

Growth, The International Journal

For Education Of The Blind. Frank

Fort Avenue. Louis Ville

Kentucky.

Nolan, Y.c. & Kederis, J.c. (1969).

Perceptual Factors in Braille Word

Recognition (Research Series No.

20). New York: American Foundation for

the Blind.

Olson, M.R. & Mangold, S. (1981).

Guidelines and Games for Teaching

Efficient Braille Reading. New

York: American Foundation for the

Blind.

Rudiyati, Sari. (2002). Pendidikan Anak

Tunanetra. Pendidikan Luar Biasa

Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Yogyakarta.

Simon, C. & Huertas, J.A.(1998). How

Blind Readers Perceive and Gather

Information Written in Braille.

American Foundation for the Blind.

Journal of Visual Impairment and

Blindness. May 1998, 322-330.

Tampubolon, DP. (1987). Kemampuan

Membaca: Teknik Membaca Efektif

dan Efisien. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur. (1984). Membaca

Sebagai Suatu Keterampilan

Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur.

(2008). Menulis. Bandung:

Angkasa.

Tarsidi, Didi. (2007). Model Konseling

Rehabilitatif. Bandung: SPS

Universitas Pendidikan Indonesia.

Page 15: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 7

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENDETEKSI JARAK OBJEK

MELALUI ALAT U-QOSERLIN

PADA PENYANDANG HAMBATAN PENGLIHATAN

Marlina & Siti Qoniah

Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Padang

[email protected]

[email protected] Abstract: This article discusses the improvement of the ability of the person of visually impaired

in detecting object distance through the use of U-Qoserlin tools. This research used R & D

method and continued with experiment. The subject of development experts consists of electrical

engineering experts, orientation and mobility experts, and educational experts. The subject of

the experiment consisted of five (5) the person of visually impaired. The results of the study

show that (1) U-Qoserlin tools are practical, feasible, useful and provide technological insights

for the person of visually impaired; (2) the results of the data with the Mann Whitney test

obtained the results of the smallest Uhit value is 9, and Utab at a significant level of 95% and α =

0.05 for n = 6 that is 5. Thus, U-Qoserlin tool effective in improving the ability to detect solid

object spacing for the person of visually impaired. The implications of this study are that there

should be a test of the effectiveness of U-Qoserlin on the number of the person of visually

impaired more. Keywords: U-Qoserlin tools, object distance detector, the person of visually impaired

PENDAHULUAN

Mata adalah anugerah terindah yang

diberikan oleh Tuhan kepada manusia.

Melalui mata manusia dapat menikmati dan

memahami segala apa yang terjadi di dunia.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia pada

survei yang dilakukan pada tahun 2010,

diperkirakan ada 285.389 juta orang di

dunia yang mengalami hambatan

penglihatan. Masalah utama mereka adalah

orientasi dan mobilitas dalam lingkungan

yang tidak mereka kenal. Banyak upaya

yang dilakukan untuk meningkatkan

kemampuan mobilitas mereka, misalnya

dengan menggunakan teknologi. Banyak

orang dengan gangguan penglihatan serius

menjadi ragu bepergian secara mandiri.

Oleh karena itu, mereka perlu

menggunakan berbagai alat untuk membantu

mobilitas mereka. Hal ini merupakan salah

satu teknik orientasi dan mobilitas yang

membantu orang-orang dengan gangguan

penglihatan untuk bergerak secara mandiri

dengan memanfaatkan sisa indra yang masih

berfungsi. Cara lain yang digunakan untuk

membantu mobilitas penyandang hambatan

penglihatan adalah menggunakan anjing

penuntun (guide dogs) yang dilatih secara

khusus untuk membantu penyandang

hambatan penglihatan dalam bergerak

dengan menavigasi rintangan yang ada

disekitarnya. Namun, cara ini memiliki

keterbatasan seperti sulit memahami arah

gerak anjing dan biaya menggunakan anjing

terlatih ini sangat mahal. Disamping itu, ada

juga penggunaan tongkat putih dengan ujung

tongkat berwarna merah. Tongkat putih

merupakan alat mekanis sederhana yang

digunakan untuk mendeteksi hambatan statis

di lapangan, permukaan, lubang dan

permukaan yang tidak rata melalui umpan

balik gaya taktil yang sederhana. Alat ini

ringan, mudah dibawa, namun jangkauannya

terbatas pada ukuran dan tidak dapat

digunakan untuk mendeteksi hambatan

dinamis (Pooja Sharma, dkk, 2014). Jika

penyandang hambatan penglihatan tidak

berkonsentrasi penuh maka dapat

membahayakan mereka dalam kegiatan

hidup sehari-hari.

Page 16: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 8

Hasil penelitian kepada beberapa

penyandang hambatan penglihatan yang

dilakukan Qoniah (2016), mereka

mengharapkan adanya alat yang sederhana

yang bisa mendeteksi objek disekitar dan

membantunya dalam kegiatan sehari-hari.

Tongkat putih yang mereka gunakan masih

memiliki kendala dan kejanggalan jika

menyeberang jalan, kendaraan banyak yang

melintas dengan kecepatan tinggi. Mereka

mengharapkan jika di ciptakan alat

pendeteksi objek bagi penyandang hambatan

penglihatan akan memudahkan mereka

dalam melakukan kegiatan sehari-hari, yakni

mudah dibawa kemana-mana, sederhana dan

praktis.

Banyak penelitian yang dilakukan

untuk meningkatkan kemampuan mobilitas

penyandang hambatan penglihatan yang

mengandalkan pemrosesan sinyal dan

teknologi sensor. Seperti yang dilakukan

Subandi (2009) juga menciptakan alat bantu

mobilitas untuk penyandang hambatan

penglihatan berbasis eletronika, penelitian ini

menghasilkan alat yang mampu mendeteksi

objek hingga jarak maksimal 200 cm. Rahayu

(2010) juga membuat perancangan dan

petunjuk arah serta deteksi jarak benda untuk

penyandang hambatan penglihatan berbasis

mikrokontroler. Penelitian ini menghasilkan

alat yang dapat mendeteksi keberadaan benda

di depan penyandang hambatan penglihatan

dengan output suara berbasis mikrokontroler

serta petunjuk arah mata angin bagi

penyandang hambatan penglihatan.

Tandiongan, dkk (2017) membuat alat

berbasis microcontroller berbasis Arduino

Uno. Alat ini memberikan informasi berupa

estimasi jarak suatu halangan dengan

pengguna dalam bentuk informasi suara dan

getaran, sensor ultrasonic HC-SR04

digunakan sebagai pendeteksi halangan,

informasi berupa suara digunakan modul

mp3 player Catalaex, Indikator halangan

berupa getaran digunakan cell motor

vibrator. Dwiono, dkk (2014) membuat alat

bantu berupa tongkat, informasi yang

diterima pemakai adalah berupa getaran-

getaran yang diterima oleh syaraf-syaraf pada

tangan. Alat ini menggunakan sistem

mikrokontroler yang dilengkapi dengan

sensor jarak, RFID reader, voice database

serta RF wireless link, sehingga diharapkan

dapat diwujudkan alat bantu navigasi

penyandang tuna netra yang efektif serta

mudah dioperasikan, karena informasi yang

diberikan adalah berupa informasi suara

berupa nama tempat dan jarak. Aktanto

(2016) mendesain sebuah alat berupa

Electronic Travel Aids (ETA) yang dapat

mendeteksi halangan pada 3 bagian tubuh

sekaligus yaitu bagian kepala, dada dan kaki.

ETA ini berbasis Mikrokontroler

ATMEGA32 dan menggunakan sensor

ultrasonik HC-SR04. Multi Ultrasonik

Electronic Tavel Aids ini digunakan sebagai

alat pemandu bagi penderita tuna netra.

Berdasarkan beberapa penelitian yang

telah dilakukan tersebut, maka perlu

dikembangkan alat yang lebih praktis dan

simple bernama alat U-Qoserlin yang mampu

mendeteksi objek dengan pengaturan alat

yang divariasikan sesuai dengan jarak dan

terdapat komponen mikrokontroler Atmega8,

sensor ultrasonic type SRF05, buzzer dan

menggunakan baterai. Proses perancangan

alat U-Qoserlin melibatkan alumni

mahasiswa Jurusan Teknik Elektronika

Universitas Negeri Padang. Alat ini

dirancang untuk membantu penyandang

hambatan penglihatan mengetahui kondisi

dan situasi lingkungan, serta jarak objek

dengan menggunakan alat berbasis

elektronik. Adapun tujuan dari artikel ini

adalah: (1) untuk mengetahui tingkat

kepraktisan, kegunaan, dan kelayakan alat U-

Qoserlin yang telah dikembangkan; dan (2)

untuk mengetahui efektivitas alat U-Qoserlin

dalam meningkatkan kemampuan

mendeteksi objek pada penyandang

hambatan penglihatan.

METODE

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan R&D.

Prosedur pengembangan mengacu pada

Sugiyono (2014:298). Hasil akhir dari R&D

Page 17: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 9

adalah diperoleh alat U-Qoserlin yang

praktis, berguna, dan layak digunakan oleh

penyandang hambatan penglihatan.

Selanjutnya dilakukan eksperimen semu

untuk mengetahui efektifivitas alat U-

Qoserlin dalam mendeteksi jarak objek pada

penyandang hambatan penglihatan.

Subjek Penelitian Ada dua subjek yang dilibatkan, yaitu

subjek ahli dan subjek pengembangan.

Subjek ahli terdiri dari tiga yaitu ahli teknik

(dosen Jurusan Teknik Elektro), ahli

orientasi dan mobilitas (dosen Jurusan

Pendidikan Luar Biasa) dan ahli pendidikan

(dosen Jurusan Teknologi Pendidikan)

untuk menguji praktikalitas, kegunaan, dan

kelayakan alat U-Qoserlin. Ketiga subjek

ini ditetapkan melalui pertimbangan

keahlian dan kualifikasi akademik.

Sedangkan subjek pengembangan terdiri

dari penyandang hambatan penglihatan di

SLB N 2 Padang 2 orang, yaitu 1 laki-laki

dan 1 perempuan, SLB Wacana Asih 2

orang yaitu 2 orang laki-laki, dan 1 orang

laki-laki di SLB Gema Insani. Kriteria

penentuan subjek pengembangan adalah

berdasarkan pertimbangan mengalami

hambatan penglihatan total dan sudah

pernah menggunakan tongkat putih.

Seting, Peralatan, dan Pengukuran Pada tahap pengembangan, penelitian

dilakukan di laboratorium Jurusan

Pendidikan Luar Biasa, sedangkan tahap

pengujian efektivitas alat U-Qoserlin

dilakukan di SLB. Validasi alat U-Qoserlin

dilakukan dengan cara FGD (Focus Group

Discussion), para ahli diminta untuk

memberikan penilaian dan saran terhadap

rancangan alat U-Qoserlin. Validasi ahli

menggunakan angket dengan skala Likert

(antara lain validasi kepraktisan, validasi

kegunaan, dan validasi kelayakan). Hasil

validasi ahli dijadikan sebagai dasar

penyempurnaan alat U-Qoserlin. Pada tahap

eksperimen, dilakukan dengan pengukuran

awal (pretest) dengan menggunakan tongkat

putih, dilanjutkan dengan meminta kelima

subjek pengembangan menggunakan alat U-

Qoserlin dalam melakukan mobilitas,

kemudian dilakukan postest. Ada tiga aspek

yang diukur yaitu kepraktisan, kemampuan

mendeteksi benda di sekitar, dan kemampuan

mendeteksi lingkungan. Selengkapnya

disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Angket Validasi Kepraktisan,

Kegunaan, dan Kelayakan Alat U-Qoserlin

Aspek Kepraktisan Penilaian

SP P KP

1. Tingkat kemenarikkan desain alat untuk

pendeteksi jarak objek

2. Berat produk jika dibawa oleh penyandang

hambatan penglihatan

3. Tingkat kemudahan dalam penggunaan dan

pengoperasionalan

4. Produk berbentuk persegi panjang, nyaman

dalam genggaman

5. Simple dan praktis dibawa bagi pengguna

6. Simple dan praktis jika disimpan di saku,

tas, kotak pensil

7. Produk dapat dicas jika notifikasi sudah

mulai lemah

Aspek Kegunaan Penilaian

SB B KB

1. Ketepatan mengidentifikasi jarak objek

padat lebih dari 1 meter

2. Kemampuan mendeteksi lubang, selokan/

bandar

3. Dapat memberikan notifikasi pada

penyandang hambatan penglihatan jika ada

gundukkan tanah/ tanggul di jalan

4. Membantu mendeteksi jarak objek di tempat

keramaian seperti: di sekolah/ kampus,

ruangan, pasar, stasiun, tempat wisata

5. Kemampuan produk mendeteksi objek padat

di lingkungan baru

Aspek Kelayakan Penilaian

SB B KB

1. Jika pengguna mengarahkan produk ke arah

objek yang tiba-tiba dapat membahayakan

pengguna

2. Membantu penyandang hambatan

penglihatan di jalan yang becek, jalan

berlubang-lubang

3. Kemampuan mendeteksi jarak kendaraan

dengan penyandang hambatan penglihatan

di jalan

4. Mendeteksi objek padat yang menggantung

5. Kemampuan produk memudahkan

penyandang hambatan penglihatan aktivitas

naik turun tangga

Page 18: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Hasil penelitian pada tahap pertama

yaitu pengembangan alat U-Qoserlin. Alat ini

memiliki beberapa komponen berikut:

1. Mikrokontroller atau pengendali mikro

adalah sebuah komputer kecil (special

purpose computers) di dalam sebuah

IC/chip mikrokontroler terdapat CPU,

memori, timer, saluran komunikasi

serial dan pararel, port input, dan ADC.

Mikrokontroler digunakan untuk

pengendali yang mengatur semua

proses.

2. Sensor Ultrasonik, adalah sebuah alat

listrik yang mempunyai fungsi sebagai

sensor yang bekerja berdasarkan prinsip

pantulan dari sebuah gelombang suara

untuk mendeteksi keberadaan dari suatu

benda atau objek tertentu yang ada di

depannya. Sensor ultrasonik terdiri dari

rangkaian pemancar ultrasonik yang

disebut transmitter dan rangkaian

penerima ultrasonik yang disebut

receiver.

3. Buzzer, adalah sebuah komponen

elektronika yang berfungsi untuk

mengubah getaran listrik menjadi

getaran suara. Prinsip kerja buzzer

hampir sama dengan loud speaker.

Proses pengembangan Alat U-

Qoserlin selanjutnya divalidasi oleh ahli

untuk memperoleh kepraktisan, kegunaan,

dan kelayakan. Adapun proses validasi

disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Alat U-Qoserlin Setelah Revisi

Setelah dilakukan revisi Alat U-

Qoserlin, maka diperoleh spesifikasi dari

Alat U-Qoserlin yang dikembangkan, yaitu:

(1) bentuk persegi panjang; (2) panjang 7,5

cm, lebar 5 cm, tebal 2,6 cm; (3) terdapat

tombol on berwarna putih dan diberi tulisan

braille untuk ditekan pada saat aktivitas

orientasi dan mobilitas; (4) mempunyai 2

sensor ultrasonik; (5) mengeluarkan suara

notifikasi yang cukup keras; dan (6)

menggunakan baterai.

Sedangkan prinsip kerja Alat U-

Qoserlin adalah: (1) pengguna

menghidupkan alat dengan cara menekan

tombol on sekali maka alat akan hidup

selama pengguna menggunakannya; (2) alat

akan berbunyi satu ketukan lambat jika jarak

objek padat dengan pengguna lebih dari 1

meter; (3) jika pengguna mendekati objek

padat dengan jarak lebih dari 1 meter maka

suara notifikasi berbunyi satu ketukan

Aspek yang Direvisi

Revisi Validator Tindak Lanjut

Kepraktisan

Alat U-Qoserlin

1. Desain kurang praktis

karena ukuran terlalu tebal dan sulit jika di

simpan disaku

2. Letak tombol sebaiknya disesuaikan

Disain dipertipis,

diperkecil ukuran dan tombol notifikasi

disesuaikan

Kegunaan Alat U-

Qoserlin

1. Prinsip kerja alat belum jelas

2. Notifikasi alat belum

tepat 3. Prinsip kerja alat

belum jelas

membedakan dan mendeteksi objek

1. Prinsip kerja dibuat secara ringkas dalam

buku pedoman

2. Notifikasi menggunakan tombol

dan huruf braille

3. Dibedakan variasi bunyi sesuai jarak

objek padat

Kelayakan Alat U-

Qoserlin

Alat U-Qoserlin sebaiknya dikhususkan untuk satu

objek

Spesifikasi alat hanya untuk mendekteksi benda

padat

Page 19: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 11

pertama pembuka; (4) jika pengguna semakin

dekat dengan objek padat diiringi dengan dua

ketukan dengan bunyi yang cepat; (5) jika

alat tidak memberikan notifikasi suara (tanpa

suara) maka artinya pengguna tidak berada di

dekat objek padat.

Hasil penelitian tahap kedua yaitu

ujicoba Alat U-Qoserlin kepada penyandang

hambatan penglihatan yang dilakukan di SLB

N 2 Padang, SLB Wacana Asih Padang, dan

SLB Gema Insani Padang. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa diperoleh nilai Uhit

sebesar 7,5 sebagai nilai U yang terkecil yaitu

dengan Utab pada taraf signifikan 95% dan

α=0,05 untuk n=5 yaitu 2. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa alat U-Qoserlin

mampu meningkatkan kemampuan

mendeteksi jarak objek padat pada

penyandang hambatan penglihatan.

Pembahasan

Hasil penelitian ini membuktikan

bahwa Alat U-Qoserlin memiliki nilai

kepraktisan, kegunaan, dan kelayakan

untuk dipakai oleh penyandang hambatan

penglihatan. Setelah dilakukan uji coba

kepada penyandang hambatan penglihatan

diperoleh hasil bahwa Alat U-Qoserlin

mampu meningkatkan kemampuan

mendeteksi jarak objek padat. Hal ini

karena mempunyai desain yang praktis dan

menarik, sebagai alat bantu orientasi dan

mobilitas yang terfokus untuk pendeteksi

jarak objek, memiliki kejelasan pedoman

penggunaan, terdapat tulisan braille pada

alat untuk memudahkan pengguna,

kemudahan dalam mengoperasikan alat,

ringan dan mudah disimpan di saku, dan

meningkatkan rasa percaya diri pengguna.

Setiap produk yang dibuat tentu

memiliki kelebihan dan kelemahan. Bagi

generasi muda yang kreatif, kritis, dan

inovatif yaitu memperbaiki kekurangan

sesuai dengan perkembangan zaman agar

lebih nyaman digunakan. Begitu pula

dengan produk yang peneliti kembangkan

selain kualitas yang dimiliki alat U-

Qoserlin, terdapat pula kelemahan dari

produk yang dikembangkan yaitu: (1)

belum mampu mendeteksi selokan/ bandar;

(2) belum mampu mendeteksi permukaan

yang licin; (3) hanya bisa mendeteksi jarak

objek yang telah diprogramkan; (4) belum

mampu mendeteksi medan jalan disekitar.

Hasil refleksi yang diperoleh melalui

wawancara pada panyandang hambatan

penglihatan mengenai alat bantu mobilitas

pada tongkat manual yaitu tidak berbasis

elektronik, kurang praktis dalam penggunaan

dan mengurangi rasa percaya diri bagi

penyandang hambatan penglihatan. Hasil

penelitian pengembangan dari uji coba alat

U-Qoserlin telah dideskripsikan kualitas dan

kelemahan tersendiri bagi alat U-Qoserlin.

Setelah dilakukan uji coba pemakaian kepada

penyandang hambatan penglihatan di tiga

sekolah SLB N 2 Padang, SLB Wacana Asih

dan SLB Gema Insani produk yang peneliti

kembangkan bisa diterima dengan baik dan

membantu orientasi dan mobilitas.

Kesimpulan yang bisa ditarik dari

temuan penelitian ini, adalah berdasarkan

tahapan pengembangan dan tahap revisi

produk yakni perbaikan produk sesuai saran

dari para validator ahli terkait, bahwa alat U-

Qoserlin sudah praktis karena mempunyai

desain yang portable, berguna dan layak bagi

penyandang hambatan penglihatan, mampu

mendeteksi jarak objek padat, serta

menambah wawasan penyandang hambatan

penglihatan tentang alat bantu mobilitas

berbasis elektronik. Oleh karena itu,

disarankan kepada peneliti selanjutnya dapat

mengembangkan perangkat yang berbeda,

lebih efektif dan efesien dalam segala kondisi

dan situasi bagi penyandang hambatan

penglihatan.

Ucapan Terimakasih

Terimakasih yang mendalam ditujukan

kepada:

1. Yudi dan Delvi yang telah membantu

mendesain dan merakit alat pendeteksi

jarak objek bagi penyandang hambatan

penglihatan.

2. Subjek pengembangan validator ahli

bidang teknik (Asnil, S.Pd., M.T),

validator ahli bidang orientasi dan

Page 20: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 12

mobilitas (Drs. Ganda Sumekar) serta

validator ahli teknologi pendidikan (Dr.

Irdamurni, M.Pd) yang sudi untuk

menvalidasi produk pendeteksi jarak

objek.

DAFTAR PUSTAKA

Aktanto, M. (2016). Multi Ultrasonic

Electronic Travel Aids (MU-ETA)

sebagai Alat Bantu Penunjuk Jalan

bagi Tuna Netra. Biosains, 18(2).

Dwiono, W., Posma, S. N., & Gunawan, A.

(2014). Embedded System

Application for Blind People

Navigation Tool. Indonesian

Journal of Electrical Engineering

and Computer Science, 12(8), 6083-

6087.

Purnomo, B. (2017). Rancang Bangun

Tongkat Ultrasonik untuk

Penyandang Tuna Netra Berbasis

Arduino Uno. Jurnal Teknik, 6(1).

Qoniah, S. (2016). Pengembangan Alat U-

Qoserlin Yuqon Sensor for the

Blind untuk Pendeteksi Jarak Objek

(Research and Development).

Skripsi Tidak Diterbitkan. Padang:

Fakultas Ilmu Pendidikan,

Universitas Negeri Padang.

Rahayu, T. M. (2010). Perancangan dan

Pembuatan Penunjuk Arah serta

Deteksi Jarak Benda untuk

Tunanetra dengan Output Suara

Berbasis Mikrokontroler. Jurnal

Neutrino, 3(1).

Saputra, A., S. Endrian., F. N. Imron.

(2015). Tongkat Pemandu

Tunanetra Menggunakan Sensor

Ultrasonik Berbasis Mikro

kontroler Arduino.

http://news. palcomtech.com/wp-

content/uploads/downloads/2015/1

2/Jurnal_Aris_Endrian_Imron_Ton

gkat Pemandu Tuna netra

Menggunaan Sensor Ultrasonik

Berbasis Mikrokontroler Arduino.

pdf. Diakses 26 Juni 2017.

Sharma, P., SL, M. S., & Chatterji, S. (2014).

Design of Microcontroller Based

Virtual Eye for the Blind.

International Journal of Scientific

Research Engineering & Technology

(IJSRET), 3(8).

Subandi. (2009). Alat Bantu Mobilitas untuk

Tunanetra Berbasis Elektronik.

Jurnal Teknologi, 2(1).

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Tangdiongan, R. C., Allo, E. K., & Sompie,

S. R. (2017). Rancang Bangun Alat

Bantu Mobilitas Penderita Tunanetra

Berbasis Microcontroller Arduino

Uno. E-Journal Teknik Elektro dan

Komputer, 6(2), 79-86.

Page 21: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 13

KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN KHUSUS DALAM SETING SEKOLAH

DASAR PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF

Dewi Ratih Rapisa

Pendidikan Luar Biasa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Lambung Mangkurat

e-mail: [email protected]

Abstract:

Professional Competences of Special Education Teacher contained in The Regulation Of

The Minister Of National Education Number 32 Year 2008 about Academic Qualification

and Special Education Teacher Competence Standard gives implications that the special

education teacher should have readiness and skills to be the profession as a competent

Special Education Teacher. The implementation of special education service in segregation

setting surely different with inclusive education. This matter will be a big challenge if the

Special Education Teachers still confused to run the main tasks and their authorities. This

research contained how the Special Education Teacher’s competence in primary school with

inclusive education setting. This research use qualitative approach with analytic descriptive

type. Data collection technique on the study was interview and documentation study. The

result shows that substantion competence must be owned and needed within inclusive school

setting of the special education teacher in the learning process to support the inclusive school

system. Keywords: Special Education Teacher, inclusive education

PENDAHULUAN

Pada saat sekarang ini pola pelayanan

pendidikan yang diharapkan dapat

meningkatkan kualitas pendidikan adalah

pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif

adalah sistem layanan pendidikan khusus

yang mensyaratkan anak berkebutuhan

khusus (ABK) belajar di sekolah terdekat di

kelas reguler bersama teman-teman

seusianya.

Di dalam penelitian Utin (2006)

mengemukakan tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi mutu pendidikan inklusif,

bahwa : “Upaya untuk meningkatkan

pelayanan dan mutu pendidikan serta

tanggung jawab bagi anak berkebutuhan

khusus di sekolah reguler, ada beberapa

faktor yang mempengaruhi antara lain :

kurikulum, sarana-prasarana, tenaga

kependidikan dana, manajemen,

lingkungan, dan kegiatan belajar-belajar-

mengajar. Dari faktor-faktor tersebut pada

jenjang sekolah dasar, peranan tenaga

kependidikan, khususnya guru merupakan

faktor yang paling menentukan.”

Berdasarkan Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Nomor 32 Tahun

2008 tentang Standar Kualifikasi

Akademik dan Kompetensi Guru

Pendidikan Khusus pasal 1 antara lain

dijelaskan bahwa, (1) guru pendidikan

khusus adalah tenaga professional, dan (2)

guru pendidikan khusus adalah tenaga

pendidik yang memenuhi kualifikasi

akademik, kompetensi dan sertifikasi bagi

peserta didik yang memiliki kelainan fisik,

emosional, mental, intelektual, sosial dan

atau potensi kecerdasan dan bakat istimewa

pada satuan pendidikan khusus, satuan

pendidikan umum, dan atau satuan

pendidikan kejuruan.

Selaras dalam penelitian Dede

Nurmayanti (2007) yang mengemukakan

bahwa : “Kebijakan pemerintah berkenaan

dengan adanya GPK merupakan dukungan

strategis dalam penyelenggaraan layanan

Page 22: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 14

pendidikan inklusif. Dikatakan strategis

karena peran GPK terasa sangat

dibutuhkan, terutama di sekolah-sekolah

yang menyelenggarakan pendidikan

inklusif.”

Sistem penyelenggaraan layanan

pendidikan khusus dalam seting segresasi

tentu berbeda dengan pendidikan inklusif.

Hal ini tentu akan menjadi tantangan yang

cukup berat jika para calon GPK tidak

berusaha untuk meningkatkan

kompetensinya secara independen.

Sehingga, ketika dihadapkan untuk

menjawab tantangan di lapangan, maka

sebagian besar guru pendidikan khusus ini

cenderung menjadi ‘gagap’ dalam

menjalankan tugas pokok dan

wewenangnya sebagai GPK yang

profesional.

Berdasarkan masalah yang terjadi di

lapangan tersebut, untuk itulah peneliti

tertarik untuk melakukan eksplorasi

mengenai kompetensi GPK yang

seharusnya dimiliki dan dibutuhkan dalam

seting sekolah inklusif, sehingga masalah

dapat diselesaikan dengan jelas.

Untuk itulah, maka penelitian ini

dilakukan dengan harapan dapat

memberikan gambaran kondisi objektif

mengenai tugas pokok dan wewenang GPK

dalam seting sekolah dasar penyelenggara

pendidikan inklusif, sehingga dapat

memformulasikan kompetensi GPK dalam

seting sekolah dasar penyelenggara

pendidikan inklusif, dengan merujuk pada

kondisi objektif mengenai tugas pokok dan

wewenang GPK dalam seting sekolah

inklusif.

METODE Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif, dengan metode

deskriptif-analitik, yaitu dengan data yang

diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil

wawancara, hasil pemotretan, analisis

dokumen, catatan lapangan, disusun

peneliti di lokasi penelitian, tidak

dituangkan dalam bentuk dan angka-angka.

Peneliti segera melakukan analisis data

dengan memperkaya informasi, mencari

hubungan, membandingkan, menemukan

pola atas dasar data aslinya (tidak

ditransformasi dalam bentuk angka). Hasil

analisis data berupa pemaparan mengenai

situasi yang diteliti yang disajikan dalam

bentuk uraian naratif. Hakikat pemaparan

data pada umumnya menjawab pertanyaan-

pertanyaan mengapa dan bagaimana suatu

fenomena terjadi.

Menurut Keirl dan Miller dalam

Moleong (1991) yang dimaksud dengan

penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu

dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara

fundamental bergantung pada pengamatan

pada manusia pada kawasannya sendiri,

dan berhubungan dengan orang-orang

tersebut dalam bahasanya dan

peristilahannya.

Lokasi yang diambil dalam

penelitian ini adalah sekolah dasar (SD)

yang berada di kota Bandung, diantaranya

adalah SD A dan SD B. Pertimbangan yang

diambil bahwa SD tersebut telah memiliki

komitmen untuk menyelenggarakan

pendidikan inklusif dan memiliki GPK

sebagai salah satu sistem dukungannya.

Ada pun yang menjadi informan yang

diperlukan dalam penelitian ini antara lain

yaitu Guru Pendidikan Khusus, Guru

Reguler, Guru Pendamping, Kepala

Sekolah dan Orang Tua.

Pada tahap penelitian ini dapat

dibagi menjadi tiga tahap, yaitu Tahap I

Eksploasi, Tahap II Menyusun Draft

Formulasi Kompetensi Guru Pendidikan

Khusus dalam seting Sekolah Dasar

Penyelenggara Pendidikan Inklusif dan

Tahap III Validasi menggunakan metode

studi Delphie. Metode Studi Delphi adalah

suatu cara untuk mendapatkan consensus

diantara para pakar melalui pendekatan

intuitif.

Analisis data dalam penelitian

kualitatif kali ini menggunakan metode

analisis data induktif, yaitu berangkat dari

kenyataan khusus-konkrit-empirik untuk

memperoleh sesuatu yang umum dan

abstrak. Analisis data dilakukan untuk

Page 23: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 15

dapat memperoleh jawaban dari pertanyaan

penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Berikut ini akan diuraikan secara

detail hasil penelitian sesuai dengan

pertanyaan penelitian :

1. Kondisi Objektif Tugas Pokok Guru

Pendidikan Khusus dalam seting

Sekolah Dasar Penyelenggara

Pendidikan Inklusif

a. Tugas Pokok GPK dalam Melakukan

Perencanaan Pembelajaran

Perencanaan pembelajaran

merupakan suatu prosedur kegiatan yang

direncanakan peserta didik secara

sistematika dalam hubungannya dengan

proses belajar mengajar atau pembelajaran

bagi peserta didik berkebutuhan khusus dan

menjadi acuan bagi guru untuk mencapai

tujuan pembelajaran. Berikut ini

merupakan deskripsi mengenai kegiatan

perencanaan pembelajaran yang telah

dilakukan oleh GPK di sekolahnya masing-

masing.

Tabel 1. Tugas Pokok GPK dalam

Melakukan Perencanaan Pembelajaran

N

o Indikator

Deskripsi

SD A SD B

1. Kemampuan melakukan

Identifikasi

GPK melakukan identifikasi pada

kegiatan awal

yang akan menentukan atau

menetapkan

identitas (ciri-ciri

atau keadaan

khusus) calon peserta didik.

Kegiatan

identifikasi berkolaborasi

dengan psikolog

sekolah dan GR. Dalam kegiatan

ini akan diperoleh

data identitas peserta didik yang

teridentifikasi

berkebutuhan khusus untuk

diasesmen lebih

lanjut, sehingga

peserta didik yang

teridentifikasi

Secara umum sasaran

identifikasi

adalah seluruh peserta didik

pada saat proses

penerimaan

peserta didik

baru akan masuk ke SD

baik pada

masuk kelas 1 SD atau peserta

didik pindahan

dan peserta didik yang

selama proses

pembelajaran berlangsung.

Dalam hal ini,

GPK hanya berkolaborasi

dengan GR saja,

namun peran

GPK jauh lebih

kompleks dalam

berkebutuhan

khusus akan mendapatkan

pelayanan

pendidikan yang bersifat khusus.

mengidentifikas

i mencakup identitas

perserta didik,

riwayat kehamilan,

riwayat

kelahiran, riwayat penyakit

perserta didik,

riwayat perkembangan

perserta didik,

profil psikologis serta hasil

pemeriksaan

kesehatan perserta didik

dan sebagainya.

2. Kemampuan

melakukan Asesmen

GPK

mengumpulkan informasi yang

akan

dipergunakan untuk membuat

program pembelajaran

yang disesuaikan

dengan hambatan,

kemampuan dan

kebutuhan belajar peserta

didik. Untuk

melakukan asesmen GPK

menggunakan alat

asesmen yang sudah baku

(asesmen formal)

atau alat asesmen buatan sendiri

(asesmen

informal). Dalam asesmen informal,

GPK

mengembangkan alat asesmen

sendiri. Alat

asesmen ini disesuaikan

dengan

kurikulum.

GPK

melakukan asesmen sesuai

dengan aspek

yang akan diasesmen

dalam waktu dan di tempat

tertentu. Waktu

yang digunakan dalam

melakukan

asesmen disesuaikan

dengan alat

yang dikembangkan

serta

disesuaikan dengan

kemampuan

peserta didik dalam

memusatkan

perhatian sesuai usianya. Dalam

pelaksanaan

asesmen, GPK berusaha

menciptakan

ruangan atau tempat asesmen

yang kondusif.

Tempat asesmen telah

dikondisikan

untuk meminimalisir

hal-hal yang

dapat mengganggu

perhatian

peserta didik sehingga

tempat asesmen

itu menjadi nyaman dan

menimbulkan

rasa nyaman bagi peserta

didik.

Page 24: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 16

3. Kemampuan

membuat Perencanaan

Program

Pembelajaran

Berdasarkan data

hasil asesmen, GPK

mengembangkan

progran intervensi, yang

di dalamnya

mencakup antara lain tujuan,

pendekatan dan

prosedur, lingkup materi dan

evaluasi. Program

intervensi ini dikemas dalam

bentuk Program

Pembelajaran Individual

(Individualized

Educational program). PPI

terdokumentasika

n dengan cukup baik.

Dalam membuat

perencanaan program

pembelajaran,

GPK menetapkan

bidang-bidang

atau aspek problema belajar

yang akan

ditangani, menetapkan

pendekatan

pembelajaran yang akan

dipilih termasuk

rencana pengorganisasia

n peserta didik,

dan menyusun Program

Pembelajaran

Individual (PPI). Namun, GPK

belum memiliki

sistem dokumentasi

yang cukup

baik.

b. Tugas Pokok GPK dalam

Melaksanakan Pembelajaran

Berikut ini merupakan deskripsi

mengenai kegiatan pelaksanaan

pembelajaran yang telah dilakukan oleh

GPK di sekolahnya masing-masing.

Tabel 2. Tugas Pokok GPK dalam

Melaksanakan Pembelajaran

No Indikator Deskripsi

SD A SD B

1. Kemampuan

Mengelola

Proses Pembelajaran

Dalam

pengelolaan kelas,

GPK yang menentukan

penempatan kelas

peserta didik yang

sudah diasesmen.

GPK menentukan

ruang kelas sesuai dengan tujuan

pembelajaran.

Selanjutnya, GPK pula yang

menentukan cara

pengorganisasian peserta didik agar

setiap peserta

didik dapat terlihat secara

aktif dalam

kegiatan belajar mengajar, baik itu

secara individual,

berpasangan

dengan temannya,

Belum

ditemukan

sistem yang efektif untuk

melakukan

kolaborasi

antara GPK,

GR dan GR

dalam melakukan

modifikasi

kurikulum. Situasi

tersebut

menjadi berdampak

negatif

terhadap peserta didik

berkebutuhan

khusus ketika jumlah GP

terbatas

sehingga fokus

layanan berada

dalam kelompok

kecil, dan atau klasikal. Di dalam

kelas terdapat

peserta didik dengan

kemampuan

beragam, GPK berkerjasama

dengan GR dan

GP untuk berupaya

menciptakan

stategi pembelajaran dan

materi yang cocok

yang dapat mengakomodasi

semua

keberagaman tersebut.

pada guru

reguler/kelas dengan

penerimaan dan

penguasaan ketrampilan

mengajar

peserta didik yang beragam

masih

bervariasi.

c. Tugas Pokok GPK dalam melakukan

Evaluasi Pembelajaran

Berikut ini evaluasi pembelajaran

dideskripsikan berdasarkan 3 indikator

yang tampak di lapangan, yaitu : 1)

Evaluasi proses, 2) Evaluasi akhir, dan 3)

Evaluasi kinerja GP. Berikut ini merupakan

deskripsi mengenai kegiatan evaluasi

pembelajaran yang telah dilakukan oleh

GPK di sekolahnya masing-masing.

Tabel 3. Tugas Pokok GPK dalam

melakukan Evaluasi Pembelajaran

No Indikator Deskripsi

SD A SD B

1. Evaluasi Proses

Belajar

Kolaborasi antara GPK, GR dan GP

sudah melakukan

berbagai strategi penilaian dalam

program

pembelajaran untuk menyediakan

berbagai jenis

informasi tentang hasil belajar peserta

didik. Semua guru

sudah mempertimbangkan

berbagai kebutuhan

khusus peserta didik.

GPK sudah mengembangkan

dan

menyediakan sistem

pencatatan yang

bervariasi dalam pengamatan

kegiatan belajar

peserta didik. Hal ini dilakukan

berkerjasama

dengan GP yang mencatat laporan

perkembangan

harian. Selama proses

pembelajaran,

penilaian kelas dapat dilakukan

dengan cara tertulis, lisan,

produk

portofolio, unjuk kerja, proyek dan

tingkah laku,

namun dengan

Page 25: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 17

tetap

menyesuaikan kondisi peserta

didik tersebut.

2. Evaluasi

Akhir

GPK berkerjasama

dengan GR dalam menentukan konten

soal tes formatif

GPK

berkerjasama dengan GP

dalam

menentukan konten soal tes

formatif

3. Evaluasi Kinerja

GP

GPK sebagai koordinator dan

berwenang untuk

manajemen pengelolaan sumber

daya GP. Ada

pertemuan rutin

sebulan sekali

untuk melakukan

konsolidasi bersama GP.

Adapun agenda

yang ada dalam pertemuan tersebut,

biasanya sharing

moment dan case conference disertai

strategi penanganan

peserta didik yang berkebutuhan

khusus.

Keterlibatkan GP masing-masing

bertanggung

jawab terhadap peserta didik

yang

membutuhkan

layanan

individual. GP

selalu berkoordinasi

dengan GPK dan

melaporkan setiap

perkembangan

anak.

2. Kondisi Objektif Wewenang Guru

Pendidikan Khusus dalam Sistem

Dukungan pada seting Sekolah Dasar

Penyelenggara Pendidikan Inklusif

a. Wewenang GPK dalam memberikan

Dukungan terhadap Peserta Didik

Berikut ini merupakan deskripsi

mengenai kewenangan GPK sebagai salah

satu sistem dukungan terhadap peserta

didik di sekolahnya masing-masing.

Tabel 4. Kompetensi GPK dalam

memberikan Dukungan terhadap

Peserta Didik

No Indikator Deskripsi

SD A SD B

1. Kurikulum Modifikasi kurikulum disusun

berdasarkan

layanan konsultasi yang telah

dilakukan GPK.

Namun kurikulum tersebut masih

harus diketahui dan

disetujui dengan penanggungjawab

bagian kurikulum

di sekolah.

GPK memiliki hak prerogatif

untuk menyusun

kurikulum yang adaptif dan

akomodatif bagi

peserta didik yang

berkebutuhan

khusus.

2. Sarana

Prasarana

Kondisi

infrastruktur sekolah belum

cukup adaptif bagi

peserta didik yang memiliki hambatan

fisik. Namun, GPK

dapat mengakomodasi

terfasilitasinya

sarana prasarana sebagai bentuk

kompensasinya.

Contoh, kursi roda dapat diakomodasi

dengan kursi yang

memiliki roda yang cukup aksesibel

untuk mobilitas

peserta didik tersebut.

GPK belum

dapat mengadvokasi

isu aksesibilitas

karena belum sesuai dengan

kebutuhan

lapangan. Namun

demikian, GPK

telah membantu tersedianya

ruangan khusus

untuk layanan individual dan

media

pembelajaran yang

disesuaikan

dengan program pembelajaran.

b. Wewenang GPK dalam memberikan

Dukungan terhadap Guru

Berikut ini merupakan deskripsi

mengenai kewenangan GPK sebagai salah

satu sistem dukungan terhadap guru di

sekolahnya masing-masing.

Tabel 5. Kompetensi GPK dalam

memberikan Dukungan terhadap Guru

No Indikator Deskripsi

SD A SD B

1. Pengembangan Sumber Daya

Manusia

GPK memfasilitasi

terselenggaranya

case conference dalam rangka

membahas

masalah peserta didik. Selain itu,

GPK dapat

memberikan rekomendasi

kepada KS untuk

melakukan studi banding ke

sekolah inklusif lainnya

khususnya ke

layanan semacam unit

stimulasi anak.

GPK secara berkala dan

bergilir

membagi kesempatan

kepada GP

untuk mengikuti

kegiatan-

kegiatan yang dapat

meningkatkan

kompetensi. GPK memiliki

kebijaksanaan untuk

memberikan

fleksibilitas jam kerja bagi

GP yang

sedang melanjutkan

pendidikan.

2. Pengembangan

Program Pembelajaran

GPK

berkolaborasi dengan GR dan

GP dalam

mengembangkan kurikulum

peserta didik

berkebutuhan khusus. Dalam

kondisi tertentu,

GPK

membantu dalam

pengelolaan

kelas, seperti menentukan

jenis

pendampingan, posisi duduk,

dan kurikulum

Page 26: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 18

GPK dapat

menjadi staff substitute ketika

GR atau pun GP

berhalangan tugas.

modifikasi.

Selain itu, GPK memfasilitasi

parent support

groups untuk mendukung

kemajuan

perkembangan belajar peserta

didik.

3. Formulasi Kompetensi Guru

Pendidikan Khusus dalam seting

Sekolah Dasar Penyelenggara

Pendidikan Inklusif

Berdasarkan data dari hasil penelitian

mengenai kondisi objektif tugas pokok dan

wewenang GPK tersebut, bahwa

kompetensi yang substansi dibutuhkan dan

sebaiknya dimiliki GPK dalam seting

sekolah dasar penyelenggara pendidikan

inklusif yaitu ada pada domain kompetensi

dalam pembelajaran dan kompetensi dalam

sistem dukungan sekolah inklusif. Oleh

karena itu, maka dapat diformulasikan

kompetensi guru pendidikan khusus dalam

seting sekolah dasar penyelenggara

pendidikan inklusif, sebagai berikut.

Tabel 6. Formulasi Kompetensi Guru

Pendidikan Khusus dalam seting

Sekolah Dasar Penyelenggara

Pendidikan Inklusif

Domain Sub Domain

A. Kompetensi GPK dalam

Pembelajaran

1. Mampu membuat Perencanaan, yang terdiri dari:

a. Mampu melakukan

Identifikasi

b. Mampu melakukan Asesmen

c. Mampu membuat

Perencanaan Program Pembelajaran

2. Mampu melakukan

Pelaksanaan, yang terdiri dari:

a. Mampu melakukan Pengelolaan Proses

Pembelajaran

b. Mampu melakukan

Evaluasi, yang terdiri dari:

c. Mampu melakukan

Evaluasi Proses belajar

d. Mampu melakukan Evaluasi Akhir

e. Mampu melakukan

Evaluasi Kinerja Guru Pendamping

B. Kompetensi GPK

dalam Sistem

1. Mampu memberikan Dukungan

terhadap Peserta Didik

Dukungan

Sekolah Inklusif

Berkebutuhan Khusus, yang

terdiri dari:

a. Mampu memberi

dukungan dalam hal Kurikulum

b. Mampu memberi

dukungan dalam hal Sarana dan Prasarana

2. Mampu memberikan Dukungan

terhadap Guru, tang terdiri dari:

a. Mampu memberi dukungan dalam hal

Pengembangan Sumber

Daya Manusia

b. Mampu memberi

dukungan dalam hal

Pengembangan Program

Pembelajaran

3. Mampu memberikan Dukungan

kepada Sekolah dalam Membangun Sistem, yang

terdiri dari:

a. Mampu memberikan

masukan

b. Mampu membangun

jaringan

c. Mampu mengakomodasi kebutuhan sekolah

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dideskripsikan tersebut, kemudian

diinterpretasikan dan diberi makna dengan

cara menafsirkan dan mengadakan

keterkaitan konteks, kajian pustaka dan

membangun konsep pemahaman-

pemahaman baru.

Pada substansinya, eksistensi GPK

dalam sekolah reguler adalah membantu

GR untuk dapat menciptakan pembelajaran

yang inklusif. Pernyataan ini cukup

beralasan, karena sekolah reguler dapat

memberikan kesempatan seluas-luasnya

kepada semua peserta didik untuk belajar

bersama kepada semua keberagaman

peserta didik termasuk didal mnya ABK.

Disamping itu, GPK mempunyai

pengalaman dalam menghadapi

keberagaman anak.

Befring (Johnsen dan Skjorten :

2003) mengemukakan bahwa secara

spesifik, GPK dilatih untuk berasumsi

bahwa setiap individu mempunyai

karakteristik yang unik yang membutuhkan

bantuan tertentu dalam proses

pembelajarannya. Peran dari GPK dalam

Page 27: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 19

sekolah reguler adalah memberikan

kesempatan pada ABK untuk

memaksimalkan potensi yang dimilikinya,

membantu GR agar dapat menciptakan

pembelajaran yang inklusif dan berusaha

untuk mengurangi permasalahan dalam

belajar. Upaya yang dapat dilakukan oleh

GPK dapat memberikan intervensi kepada

ABK, sehingga peserta didik mampu

mengatasi hambatan dalam belajar.

Kehadiran GPK di sekolah tentunya

mempunyai tidak bermaksud

mengintervensi semua otoritas GR, namun

sebatas memberikan dukungan jika

diperlukan dalam membantu hambatan dan

kesulitannya baik GR maupun ABK.

Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh U.S Office of Special

Education Program (2001) dalam Arif

(2005) ditemukan bahwa keberhasilan GR

dalam menangani ABK tidak terlepas dari

dukungan dan dukungan GPK.

1) Kondisi Objektif Tugas Pokok Guru

Pendidikan Khusus dalam

Pembelajaran pada seting Sekolah

Dasar Penyelenggara Pendidikan

Inklusif

Peraturan Pemerintah Nomor 19

Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan (SNP) menyatakan standar

proses merupakan salah satu SNP untuk

satuan pendidikan dasar dan menengah

yang mencakup: 1) Perencanaan proses

pembelajaran, 2) Pelaksanaan proses

pembelajaran, 3) Penilaian hasil

pembelajaran, 4) dan pengawasan proses

pembelajaran.

Berdasarkan hal tersebut, maka

peneliti membuat konklusi bahwa dalam

domain kompetensi GPK dalam

pembelajaran mencakup sub domain, yaitu

: 1) Kompetensi dalam membuat

perencanaan pembelajaran, 2) Kompetensi

dalam melaksanakan pembelajaran, dan 3)

Kompetensi dalam melakukan evaluasi.

2. Kondisi Objektif Wewenang Guru

Pendidikan Khusus dalam seting

Sekolah Dasar Penyelenggara

Pendidikan Inklusif

Bern (1997) dalam Budiyanto

(2005) menyebut bahwa pendidikan

inklusif merupakan filosofi pendidikan

yaitu bagian dari keseluruhan. Artinya

kita merupakan bagian dari keseluruhan

dari sistem yang ada sehingga tidak

ada alasan untuk memisah-misahkan,

apalagi mengisolasi salah satu bagian

dari keseluruhan sistem tersebut.

Sedangkan Stainback dan Stainback

(1990) menyebutkan bahwa sekolah

inklusi merupakan sekolah yang

menampung semua peserta didik di

kelas yang sama dengan layanan

pendidikan yang disesuaikan

kemampuan dan kebutuhan peserta

didik. Dengan demikian, maka sekolah

juga harus merupakan tempat setiap

anak diterima menjadi bagian dari kelas

serta saling membantu dengan guru dan

teman sebayanya agar kebutuhan

individualnya terpenuhi.

3. Formulasi Kompetensi Guru

Pendidikan Khusus dalam seting

Sekolah Dasar Penyelenggara

Pendidikan Inklusif

a. Kompetensi GPK dalam Pembelajaran

Pada umumnya ada beberapa cara

yang dapat dipakai dalam kelas umum

untuk mendukung proses pembelajaran

bagi ABK (Benor, 1997; Special Education

Service, 2006), seperti:

1) Memberikan guru khusus pada anak

sesuai kebutuhannya, misalnya terapis

okupasi untuk anak dengan gangguan

sensori motorik, atau guru piano untuk

anak berbakat musik.

2) Pembetulan kesalahan dengan segera

setelah kesalahan terlihat (diadakanya

pembelajaran remedial agar anak

paham dan mapu melanjutkan kemateri

selanjutnya).

Page 28: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 20

3) Mengadaptasi, memodifikasi, atau

memberikan materi/kurikulum khusus,

sesuai dengan kemampuan anak.

4) Mengajarkan strategi yang efektif

dalam pembelajaran, seperti membuat

jembatan keledai, membuat

pembelajaran untuk menghafal.

Penambahan waktu atau

mengurangi jumlah soal yang akurat dalam

melakukan penilaian seperti dari waktu 1

jam bisa digunakan untuk mengerjakan 10

soal kita kurangi menjadi 5 soal untuk anak

ABK. Pentingnya komunikasi antara GP,

OT, GR dan KS dalam semua tindakan

yang akan dilakukan oleh GP untuk

mengembangkan pembelajaran dan

kemampuan peserta didik dalam belajar dan

sosialisasi. Jangan sampai GP bertindak

tanpa mengkomunikasikan terlebih dahulu

dan hanya mementingkan keperluan

pribadinya saja. Karena semua tindakan GP

akan menjadi gambaran dari kinerja dan

mempengaruhi kemampuan peserta didik.

b. Kompetensi dalam Sistem Dukungan

Sekolah Inklusif

Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa :

“ (…) Pendidikan khusus merupakan

penyelenggaraan pendidikan untuk peserta

didik yang berkelainan atau peserta didik

yang memiliki kecerdasan luar biasa yang

diselenggarakan secara inklusif atau berupa

satuan pendidikan khusus pada tingkat

pendidikan dasar dan menengah”.

Kemudian pada Pasal 441 Peraturan

Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan, menyebutkan

bahwa : “Setiap satuan pendidikan yang

melaksanakan pendidikan inklusif harus

memiliki tenaga kependidikan yang

mempunyai kompetensi menyelenggarakan

pembelajaran bagi peserta didik dengan

kebutuhan khusus”.

Pernyataan tersebut di atas telah

menunjukkan kesungguhan upaya

pemerintah dalam mengimplementasikan

pendidikan inklusif yang perlu

ditindaklanjuti dengan peraturan-peraturan

dan pedoman-pedoman teknik serta

serangkaian kegiatan yang dapat

mendukung implementasi pendidikan

inklusif.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan, maka dapat disimpulkan

bahwa:

1. Tugas pokok GPK dalam seting SD

penyelenggara pendidikan inklusif,

substansinya dalam domain kompetensi

pembelajaran.

2. Wewenang GPK dalam seting SD

penyelenggara pendidikan inklusif,

substansinya dalam domain kompetensi

sistem dukungan sekolah inklusif.

Kedua domain kompetensi tersebut

merupakan kompetensi yang substansi

dibutuhkan dan seharusnya dimiliki GPK

dalam eksistensinya di seting sekolah

inklusif.

DAFTAR PUSTAKA

Ace Suryadi. (1999). Kerangka Konseptual

Mutu Pendidikan dan Pembinaan

Kemampuan Profesional Guru.

Jakarta: Candimas Metropole.

Befring, Edvard,2001, The Enrichment

Perspective: A Special Educational

Approach to an Inclusive

School.Article in Johnsen, Berit H.

& Skjørten, Miriam, D. (ed).

Education-Special Needs

Education: An Introduction. Oslo,

Unipub.

Budiyanto,2005, Pengantar Pendidikan

Inklusif Berbasis Budaya

Lokal,Jakarta : Depdiknas

Dede Nurmayanti. (2007). Peran Guru

Pendamping Khusus dalam

Memberikan Layanan Pendidikan

terhadap Siswa Berkebutuhan

Khusus di Sekolah Reguler. Skirpsi

Sarjana pada Pendidikan Luar Biasa

Page 29: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 21

Universitas Pendidikan Indonesia

Bandung : tidak diterbitkan.

Direktorat PLB. (2004), Pedoman

Penyelenggaraan Pendidikan

Terpadu/Inklusi, Buku 4,

Pengadaan dan Pembinaan Tenaga

Kependidikan, Jakarta, Direktorat

Pendidikan Luar Biasa Dirjen

Dikdasmen.

Lexy J Moleong. (1991). Metode Penelitian

Kualitatif.: edisi revisi. Bandung:

Remaja Rosda Karya.

Majmudin. (2003). Kompetensi Pedagogik

Guru Indonesia [OnLine]. Tersedia:

Www.Google/Kompetensi/Kompet

ensi Pedagogik Guru Indonesia.

com [29 Mei 2012].

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun

2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Nomor 32 Tahun 2008 tentang

Standar Kualifikasi Akademik dan

Kompetensi Guru Pendidikan

Khusus.

Stainback,W. & Sianback, S. (1990).

Support Networks for Inclusive

Schooling: Independent Integrated

Education. Baltimore: Paul H.

Brooks.

Spencer, M. Lyle and Spencer, M. Signe.

(1993). Competence at Work:

Model for Superrior Performance.

John Willy & Son, Inc: New York,

USA.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005

tentang Guru dan Dosen.

Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional

Utin Kurnaedi. (2006). Peranan Guru

Pembimbing Khusus di Sekolah

Dasar Berbasis Inklusif (Penelitian

Deskriptif tentang Peran Guru

Pembimbing Khusus di Sekolah

Dasar Berbasis Inklusif di Jawa

Barat). Tesis Program Pasca Sarjana

Program Studi Pendidikan

Kebutuhan Khusus FIP UPI

Bandung: tidak diterbitkan.

Page 30: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 22

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM SETTING PENDIDIKAN

INKLUSIF DI SDN PASAR LAMA 3 BANJARMASIN Imam Yuwono; Eviani Damastuti

Pendidikan Luar Biasa, Universitas Lambung Mangkurat

Email : [email protected]

ABSTRACT: The purpose of the study describes the mathematics learning in the inclusive

class setting in SDN Pasar Lama 3 Banjarmasin. The approach used in this research is

qualitative approach. Data collection techniques in this study are interviews, observation, and

documentation. The results (1) the assessment before the planning of mathematics learning has

not been done. (2) Implementation of Mathematics Learning, (a) The method used varies

according to the condition of the child with special needs; (b) the media is made by the special

counselor himself (c) the concepts of mathematics modified by special counselor. The process

of learning mathematics to children with special needs begins by explaining in advance the

material, then special counselor provide examples (d) providing assistance to children with

special needs by providing learning media. (3) The evaluation not only uses written tests but

also uses such as assignment and action tests.

Keyword: setting inclusive, learning mathematics

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan salah satu

aspek dalam kehidupan yang memegang

peranan penting dalam meningkatkan

kualitas, harkat dan martabat manusia.

Dengan kata lain pendidikan berupaya

memanusiakan manusia karena dengan

pendidikan manusia dapat mengembangkan

dirinya serta perubahan ke arah yang lebih

baik. Pendidikan formal dimulai dari

jenjang sekolah dasar (SD), pada jenjang SD

siswa harus menguasai beberapa mata

pelajaran agar siswa tidak mengalami

kesulitan pada kelas dan jenjang berikutnya.

Matematika salah satu mata

pelajaran yang sangat penting dikuasai dan

perlu diajarkan kepada para siswa di jenjang

sekolah dasar. Menurut Cockroft yang

dikutip oleh Abdurahman (1999: 253)

bahwa matematika perlu diajarkan kepada

siswa karena: (1) selalu digunakan dalam

segala segi kehidupan, (2) semua bidang

memerlukan ketrampilan matematika yang

seuai. (3) merupakan sarana komunikasi

yang kuat, singkat dan jelas, (4) dapat

digunakan untuk menyajikan informasi

dalam berbagai cara, (5) meningkatkan

kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan

kesadaran keruangan, dan (6) memberikan

kepuasan terhadap usaha memecahkan

masalah yang menantang. Sedangkan

Cornelius seperti yang dikutip

Abdurrahman (1995: 253) mengemukakan

lima alasan perlunya belajar matematika

karena matematika merupakan : (1)sarana

berpikir yang jelas dan logis, (2)sarana

Page 31: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 23

untuk memecahkan masalah dalam

kehidupan sehari-hari, (3)sarana mengenal

pola-pola hubungan dan generalisasi

pengalaman, (4)sarana untuk

mengembangkan kreatifitas, dan (5)sarana

untuk meningkatkan kesadaran terhadap

perkembangan budaya.

Pada jenjang sekolah dasar mata

pelajaran matematika yang diajarkan terdiri

dari tiga cabang yaitu aritmatika, aljabar,

dan geometri, tetapi pada kelas satu dan

kelas dua pembelajaran matematika banyak

ditekankan pada cabang aritmatika, cabang

aljabar dan geometri hanya digunakan untuk

mendukung pemahaman tentang aritmatika.

Menurut Naga (1980:1) aritmatika atau

berhitung adalah cabang matematika yang

berkenaan dengan sifat hubungan-hubungan

bilangan-bilangan nyata dengan perhitungan

mereka terutama menyangkut penjumlahan,

pengurangan, perkalian, dan pembagian.

Secara singkat aritmatika atau berhitung

adalah pengetahuan tentang bilangan.

Asumsi-asumsi umum sering kali

menyebutkan matematika merupakan mata

pelajaran yang sangat sulit. Menurut

Abdurrahman (1999:252) matematika

merupakan bidang studi yang dianggap

paling sulit oleh siswa baik siswa yang tidak

berkesulitan belajar dan lebih-lebih bagi

siswa yang berkesulitan belajar. Kenyataan

seperti ini dalam kalangan masyarakat luas

dianggap sebagai hal yang wajar, padahal

seharusnya permasalahan ini merupakan

keadaan yang serius sehingga perlu adanya

solusi atas permasalahan tersebut.

Menyadari pentingnya permasalahan

tersebut, peneliti merasa tergugah untuk

mengangkat permaslahan pembelajaran

matematika dalam setting sekolah inklusif

yang didalamnya terdapat siswa yang

diduga berkesulitan belajar matematika.

Penelitian ini dilakukan pada kelas

satu Sekolah Dasar Negeri Pasar Lama 3 di

Kota Banjarmasin. Penelitian ini dilakukan

pada kelas satu SD dengan asumsi pada

kelas satu inilah penekanan pembelajaran

matematika sangat diperlukan, terutama

tentang pemahaman konsep-konsep dasar

matematika, sehingga siswa tidak

mengalami kesulitan-kesulitan di kelas

selanjutnya.

METODE PENELITIAN

Pendekatan ini menggunakan

pendekatan kualitatif. Pemilihan pendekatan

kualitatif ini dianggap sesuai dengan

permasalahan yang akan diteliti karena ingin

menggambarkan kondisi obyektif dan dalam

setting yang natural, dan diharapkan dengan

pendekatan kualitatif ini peneliti dapat

menyelami permasalahan pembelajaran

matematika secara mendalam dan

meyeluruh dengan menggunakan teknik

wawancara ataupun observasi yang

melibatkan peneliti sebagai instrumen inti di

Page 32: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 24

lapangan. Teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini adalah wawancara, observasi,

dan dokumentasi. Teknik Analisis daata

penelitian menggunakan model analisisi

interaktif Miles dan Huberman.

Triangulasi yang digunakan dalam

penelitian sebagai berikut: triangulasi

sumber yaitu menggali kebenaran informasi

tertentu melalui berbagai sumber

memperoleh data. Pengumpulan dan

pengecekan data dilakukan kepada guru

pendamping khusus kelas 1, guru kelas 1

dan kepala SDN Pasar Lama 3 Banjarmasin.

Triangulasi metode dalam penelitian ini

dilakukan dengan mengecek data mengenai

kemampuan peran dan tugas guru

pendamping yang diperoleh melalui metode

wawancara, observasi dan dokumentasi.

Triangulasi waktu adalah pengumpulan data

yang dilakukan pada waktu dan kesempatan

yang berbeda.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

1. Perencanaan Pembelajaran

Matematika dalam setting kelas

inklusif

Hasil temuan di SDN Pasar

Lama 3 karena sekolah yang baru 1

tahun menyelenggarakan program

inklusi, oleh karena itu pelaksanaan

asesmen sebelum perencanaan

pembelajaran matematika pada ABK

belum dilakukan. Namun sudah terjalin

komunikasi antara guru kelas dan GPK

terkait perencanaan bahan atau materi

pembelajaran matematika bagi ABK.

Dalam perencanan proses

pembelajaran, terutama pembelajaran

matematika dalam setting kelas inklusif

seharusnya memperhatikan

karakteristik siswa, hal ini sejalan

dengan pendapat Nana Sudjana (2007 :

57) mengemukakan bahwa dalam

pembelajaran mempunyai faktor-faktor

yang harus diperhatikan meliputi faktor

manusia (fasilitator dan warga belajar),

faktor tujuan pembelajaran, faktor

bahan ajar, faktor waktu belajar, faktor

sarana serta alat bantu pembelajaran.

ABK dengan kemampuan

intelektual di bawah rata-rata, dalam

batas-batas tertentu masih

dimungkinkan dapat mengikuti

kurikulum standar sekolah umum

meskipun harus dengan penyesuaian-

penyesuaian. Namun berdasarkan

observasi dan studi dokumentasi dalam

perencanaan pembelajaran matematika

bagi ABK di SD N Pasar Lama 3 masih

terdapat hal-hal yang belum

dimodifikasi dan harus terus dilakukan

pembenahan, yaitu (1) sekolah belum

melakukan modifikasi Standar

Kompetensi Lulusan (SKL) untuk

ABK, sehingga masih sama dengan

Page 33: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 25

anak reguler, (2) Sekolah belum

melakukan modifikasi Kompetensi Inti

(KI), Kompetensi Dasar (KD) untuk

ABK.

Kemampuan ABK yang

memiliki kesulitan belajar matematika

(diskalkulia) tidak bisa disamakan

dalam proses pembelajaran dengan

anak reguler, karena mereka memiliki

hambatan atau kesulitan-kesulitan

dalam bidang tertentu. Sejalan dengan

pendapat Lerner (1981: 35), ada

beberapa karakteristik anak

berkesulitan belajar matematika, yaitu:

adanya gangguan dalam hubungan

keruangan, abnormalitas persepsi

visual, asosiasi visual motor,

perseverasi, kesulitan mengenal dan

memahami simbol, gangguan

penghayatan tubuh, kesulitan dalam

bahasa dan membaca.

2. Pelaksanaan Pembelajaran

Matematika dalam setting kelas

inklusif

a. Metode Pembelajaran Matematika

dalam Setting Kelas Inklusif

Hasil temuan di lapangan

menunjukkan metode pembelajaran

matematika untuk mengajar ABK di SD

N Pasar Lama 3 mengunakan metode

ceramah, demonstrasi dan pemberian

tugas. Metode yang digunakan dalam

pembelajaran matematika ini bervariasi

disesuaikan dengan kondisi ABK agar

dapat menarik perhatian dan mood

ABK sehingga ABK dapat dengan

mudah mengikuti dan menrima

pembelajaran matematika, sehingga

terjadi interaksi antara GPK dan ABK.

Sejalan dengan pendapat Nana Sudjana,

(2007 : 76) menyatakan bahwa metode

mengajar adalah cara yang

dipergunakan guru dalam menyediakan

hubungan siswa pada saat

berlangsungnya pembelajaran.

Penggunaan metode pembelajaran

matematika dalam setting kelas inklusif

ini menuntut guru GPK kreatif dan

aktif. Namun metode yang sering

digunakan guru saat ini menggunakan

metode ceramah. Metode ceramah yang

digunakan GPK yakni dengan

menjelaskan materi secara individual

kepada ABK. Sedikit berbeda dengan

pendapat Sukardi (2008 : 47) metode

ceramah adalah sebuah bentuk interaksi

belajar mengajar yang di lakukan

melalui penjelasan dan penuturan

secara lisan dan guru terhadap

sekelompok. Menurut pendapat sukardi

tersebut metode ceramah digunakan

secara klasikal, namun dalam proses

pembelajaran matematika pada ABK

dengan metode ceramah secara

individual.

Page 34: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 26

b. Media Pembelajaran Matematika

dalam Setting Kelas Inklusif

Hasil temuan menunjukkan

penggunaan media dalam pembelajaran

matematika di setting kelas inklusif

dalam rangka memberikan layanan

pembelajaran pada ABK menuntut

kreativitas dari GPK. Media

pembelajaran matematika dapat dibuat

oleh GPK sendiri atau dengan

memanfaatkan benda kongkrit yang

terdapat di lingkungan sekitar seperti

kelereng, gambar-gambar, dan lain-

lain.

GPK di SD N Pasar Lama 3

sudah menerapkan teori media

pembelajaran, karena GPK

menyediakan media pembelajaran

matematika sesuai dengan kebutuhan

ABK. Selain itu GPK juga sudah

memanfaatkan benda-benda kongkrit

atau benda yang berada disekitar untuk

mengajar ABK sehingga proses

pembelajaran dapat berjalan sesuai

dengan tujuan pembelajaran. Sejalan

dengan pendapat R. Ibrahim dan Nana

Syaodih (1996), media pembelajaran

adalah segala sesuatu yang dapat

digunakan untuk menyampaikan pesan

atau isi pelajaran, merangsang pikiran,

perasaan, perhatian, dan kemampuan

siswa sehingga dapat mendorong proses

belajar mengajar.

c. Tahapan Mengajarkan Konsep-

Konsep Matematika Pembelajaran

Matematika dalam Setting Kelas

Inklusif

Hasil temuan menunjukkan

tahapan mengajarkan konsep-konsep

matematika dalam setting kelas inklusif

yaitu langkah awal yang dilakukan guru

kelas, mengkomunikasikan bahan ajar

dengan GPK. Selanjutlah GPK lah

menyusun bahan ajar disesuaikan

dengan kemampuan ABK. GPK yang

bertugas memodifikasi bahan ajar bagi

ABK, misalnya memodifikasi bahasa

yang lebih mudah dipahami oleh ABK.

Hal ini dikarenakan kemampuan ABK

dalam menyerap pelajaran matematika

tidak sama dengan siswa reguler. Sesuai

dengan teori yang dikemukakan oleh

Holm (2003: 9) bahwa setiap anak

mempunyai proses dalam pemahaman

matematika, dan pemahaman konsep

harus diajarkan sesuai level yang

dipahami anak. Adapun level tersebut

antara lain: level kongkrit, level semi-

kongkrit, level semi-abstrak, level

abstrak.

Proses pembelajaran

matematika di SD N Pasar lama 3, di

kelas I masuk pada materi

mengelompokkan, mengurutkan dan

membedakan sampai tahap mengenal

angka. Dalam proses pembelajaran

Page 35: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 27

matematika GPK menjelaskan terlebih

dahulu materi kepada ABK, kemudian

GPK memberikan contoh, kemudian

ABK disuruh untuk menyelesaikan

soal. Siswa kelas I memang harus

diajarkan konsep dasar matematika

sebelum masuk dalam materi

pembelajaran matematika tingkat

selanjutnya atau kelas yang lebih tinggi.

Apalagi jika yang diajar adalah ABK,

sebelum konsep dasar dikuasai jangan

beralih ke materi selanjutnya, dalam

memberikan materi pun harus sedikit

demi sedikit menyesuaikan kemampuan

anak dalam menangkap materi

pelajaran. Sesuai dengna teori yang

diungkapkan Holm (2003: 8) bahwa

Anak harus memahami beberapa

konsep dasar sebelum mereka mulai

belajar bilangan, konsep-konsep

tersebut dapat dikelompokkan menjadi

empat kelompok utama, yaitu : (1)

konsep kuantitas; (2) konsep urutan; (3)

konsep relasi; dan (4) konsep bentuk.

Belajar matematika kita perlu

mengejar target yang dipaksakan,

sehingga siswa mengalami kemajuan

yang pesat, tetapi memiliki tingkat

pemahaman yang kurang. Dalam

belajar matematika biarlah kemajuan

itu dicapai agak sedikit lambat

disesuaikan dengan kemampuan anak

tetapi memiliki pemahaman konsep

yang komprehensif sehingga siswa

tidak mengalami kesulitan dikelas

selanjutnya.

d. Pemberian Bantuan Kepada Siswa

Kesulitan Belajar Matematika

dalam Setting Kelas Inklusif

Hasil temuan menunjukkan

pemberian bantuan kepada ABK dalam

pembelajaran matematika merupakan

tugas GPK dengan menyediakan media

pembelajaran yang dapat

mempermudah ABK dalam menerima

dan menyerap pembelajaran

matematika. Misalnya agar membantu

ABK dalam memahami materi bentuk

biasanya GPK memodifikasi angka

dengan menggunakan gambar, bentuk

bangun datar atau buah buahan agar

mudah dipahami ABK. Sudah menjadi

tugas dan kewajiban GPK dalam

memberikan layanan pembelajaran

kepada ABK. Bentuk layanan yang

diberikan kepada ABK harus

dilaksanakan secara individual.

Sebenarnya tugas dalam memberikan

bimbingan kepada siswa, tidak hanya

kewajiban GPK tetapi semua guru harus

memiliki kecakapan tersebut. Sesuai

dengan pendapat Winarno Surahmad

(1996:61) bahwa terdapat empat

kecakapan serta pengetahuan dasar

yang harus dimiliki guru yaitu : (1)

Guru harus mengenal setiap murid yang

Page 36: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 28

dipercayakan kepadanya baik mengenai

sifat, kebutuhan, minat, pribadi, serta

aspirasi dari setiap murid tersebut. (2)

Guru harus memiliki kecapakan

memberikan bimbingan disamping

bimbingan yang berpusat pada

kecakapan intelektual, guru perlu

memiliki pengetahuan tentang

perkembangan setiap anak didiknya

baik perkembangan emosi, minat,

kecakapan khusus, maupun prestasi

skolastik, fisik, dan sosial sehingga

guru dapat membangun sebuah rencana

atas dasar pengetahuan itu akan

membuat siswa benar-benar mengalami

pendidikan yang menyeluruh dan

integral. (3) Guru harus memiliki dasar

pengetahuan yang luas tentang tujuan

pendidikan di Indonesia pada

umumnya. Pengetahuan itu akan

memberikan arah pada perkembangan

muridnya sehingga akan memudahkan

guru memahami kebutuhan murid-

muridnya. (4) Guru harus memiliki

kebutuhan yang bulat dan baru

mengenai ilmu yang dipelajarinya, agar

apa yang dikerjakan bermanfaat dalam

tujuan hidup yang nyata bagi

masyarakat atau individu, sebab

perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi serta akibatnya dalam hidup

manusia cepat sekali usang diganti

dengan yang baru.

3. Evaluasi Pembelajaran Matematika

dalam Setting Kelas Inklusif

Hasil temuan menunjukkan

evaluasi pembelajaran matematika

dalam setting kelas inklusif tidak hanya

menggunakan tes tertulis namun juga

menggunakan bentuk tes lain seperti

penugasan, tes perbuatan, dan lain-lain.

Tes perbuatan misalnya anak disuruh

maju ke depan satu-satu atau bahkan

per-kelompok untuk menyelesaikan

soal. Soal berkaitan dengan materi yang

disampaikan sebelumnya, soal evaluasi

yang dilaksanakan antara anak reguler

dan ABK dengan tingkat

kesulitan/bentuk soal yang berbeda

misalnya bentuk soalnya menggunakan

gambar bangun datar atau buah-buahan

dan ABK menggunakan alat bantu

seperti benda konkrit. Modifikasi soal

matematika menyesuaikan dengan

kemampuan ABK.

Evaluasi merupakan aspek

penting dalam pembelajaran, karena

dengan evaluasi guru dapat mengetahui

keberhasilan dalam pembelajaran.

Sesuai dengan teori yang dimukakan

Oemar Hamalik (2003:63) evaluasi

merupakan aspek penting dalam proses

belajar mengajar yang berguna untuk

mengukur dan menilai seberapa jauh

tujuan instruksional telah tercapai atau

hingga mana mendapat kemajuan

Page 37: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 29

belajar siswa dan bagaimana tingkat

keberhasilan sesuai tujuan instruksional

tersebut. Evaluasi pembelajaran pada

ABK, bukan membandingkan siswa

satu dengan siswa yang lain, tetapi

membandingkan kemampuan awal

dengan kemampuan akhir setiap siswa.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan pembelajaran matematika

dalam setting inklusi di Sekolah Dasar

Negeri Pasar Lama 3, dapat ditarik

kesimpulan bahwa pembelajaran

matematika dalam setting inklusi di

Sekolah Dasar Negeri Pasar Lama 3 masih

kurang sesuai dengan sistem/aturan dalam

mejalankan program inklusif, karena

belum adanya asesmen sebelum proses

pembelajaran matematika dan belum

adanya Program Pembelajaran Individual

(PPI).

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. (1999). Pendidikan Bagi

Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta :

Dirjen Dikti.

Ahmad Rohani. H.M dan Abu Ahmadi.

1991. Pengelolaan Pengajaran.

Jakarta:Rineka Cipta.

Alisuf, Sabri M. (1995). Psikologi

Pendidikan. Jakarta. Pedoman Ilmu

Jaya

Arif S Sadiman. 2003. Media Pendidikan.

Pengertian, Pengembangan, dan

Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja

Grafindo.

Azhar Arsyad. 2004. Media Pembelajaran.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Bintarto dan Surastopo Hadisumarmo.

1982. Metode Analisa

Geografi. Jakarta: Lembaga

Penelitian Pendidikan dan Penerangan

Ekonomi dan Sosial.

Dimyati & Mudjiono (2002). Belajar dan

Pembelajaran. Jakarta: Rineka

Cipta dan Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Dimyati, Mudjiono.2002. Belajar dan

Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.

Ghony, M. Djunaidi. & Fauzan Almanshur.

(2014). Metodologi Penelitian

Kualitatif. Jogjakarta: AR-RUZZ

MEDIA.

Gunawan, Imam. (2013). Metode Penelitian

Kualitatif: Teori dan Praktik. Jakarta:

PT. Bumi Aksara.

Holm, M. (2003). Dysmathematics, Konsep

Bilangan dan Kuantitas. Hand Out.

Norwegia: Departemant of Special

Need Education University of Oslo.

Ibrahim R dan Nana Syaodih.

1993. Perencanaan Pengajaran.

Bandung : PT.Remaja

Rosdakarya.Sukardi

Johnsen. B. H & Skjorten. M. D. (2003).

Pendidikan Kebutuhan Khusus

Sebuah Pengantar. Bandung:

Program Pascasarjana Universitas

Pendidikan Indonesia.

Moh Nazir. (2011). Metode Penelitian.

Bogor: Ghalia Indonesia.

Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati.

1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan

Belajar Mengajar. Bandung. PT.

Remaja Rosdakarya.

Moleong. L. J. (2004). Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya.

Naga. S, Dali (1980). Berhitung, Sejarah,

dan Perkembangannya. Jakarta

: Gramedia.

Page 38: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 30

Nana Sudjana dan Ahmad Rivai.

2007. Teknologi Pengajaran.

Bandung: Sinar Baru Algesindo

Oemar Hamalik. 2003. Proses Belajar

Mengajar. Jakarta: Bumi

Aksara.Soetomo

Sanjaya, Wina. 2008. Pembelajaran dalam

Implementasi Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Jakarta: Kencana

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.

Bandung: Alfabeta

Sumadi, Suryabrata. 1987. Metode

Penelitian. Jakarta: Rajawali.

W. Lerner, Janet.1998. Learning

Disabilities: Theories, Diagnosis, And

Teaching Strategies. Boston:

Houghton Miffin Company.

Weiner, IB. (2003). Handbook of

Psychology. Vol 7 : Educational

Psychology. New Jersey: John Wiley

& Sons

Widyastono, H. (1998). Siswa Sekolah

Dasar Yang Berkesulitan Belajar

Umum Dan Penanganan Kesulitan

Belajar Membaca. [Online]. Tersedia:

http://www.

Depdiknas.go.id/jurnal/33/editorial33

.htm. [29 Desember 2005].

Winarno Surakhmad. (1996). Pengantar

Interaksi Mengajar_Belajar (Dasar

dan Teknik Metodologi Mengajar).

Bandung: Tarsito.sungkono

Yin, R.K. (2003). Studi Kasus (Desain dan

Metode). Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Page 39: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 31

STIMULASI PERKEMBANGAN ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

MELALUI RAGAM PERMAINAN TRADISIONAL BANJAR

Murniyanti Ismail

Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin

[email protected]

Abstract:

The word of children is playing. Through playing, the potentials of children’s intelligence can

develop optimally through a natural way. For children with special needs, playing is also a way

to liberate themselves from disadvantages and pressure complex, that certainly inhibit various

aspects of child development. One type of children with special needs is the children with

mental retardation (Tunagrahita). Tunagrahita is a child who has mental retardation with an IQ

below the average of children in general. With this deficiency, children with mental retardation

have the obstacles in various various aspeds of development, including the development of

language, social, and physical motor. The classification of children with mental retardation is

divided into three levels, such as mild, moderate and severe. Now days, activites of playing

developed into the the play therapy as a’response to give intervention of the various problems

which faced by the children in their development process. This paper use the library research

method to reveal the stimulation of the children with mild of mental reterdation’s development

through Banjar traditional games. The result of this paper is traditional games can help children

with mild mental retardation to improving their intelligence, especially the language, social,

and physical motor aspect

Keywords: Developmental stimulation, children with mild of mental reterdation’s, Banjar

traditional games.

PENDAHULUAN

Maraknya perkembangan permainan

modern semakin menggeser keberadaan

permainan tradisional, anak-anak lebih

menyukai permainan modern seperti play

staysion (PS), game online,

Sebagaimana kita ketahui, keaneka

ragaman suku bangsa, tradisi dan budaya

memiliki keaneka ragaman corak dan ciri

yang unik/khas menjadikan suatu kekayaan

budaya dalam wadah negara kesatuan

Republik Indonesia sebagai kebudayaan

nasional. Seperti juga daerah – daerah lain

di Indonesia Kalimantan Selatan

merupakan salah satu wilayah Nusantara

yang kaya akan khazanah seni dan budaya

tapi dengan semakin majunya zaman, saat

ini semakin berkurang orang-orang yang

mengetahui peristiwa-peristiwa masa

lampau serta memahami makna dari setiap

lambang dalam peristiwa adat dan budaya

atau berbagai ucapan dan cerita , termasuk

permainan tradisional anak di dalamnya,

lalu timbul pertanyaan bagaimana dengan

generasi berikutnya? Apakah mungkin

mereka akan mengenal, memahami dan

memiliki nilai-nilai kearifan lokal jati diri

mereka, ketika para generasi dewasa

kurang atau bahkan tidak berusaha

memperkenalkannya, dan mewariskannya

dengan sungguh-sungguh?

Seperti kita semua ketahui dalam

permainan tradisional mengajarkan banyak

nilai baik , antara lain melatih anak untuk

bersosialisasi atau mengenal orang-orang di

lingkungannya, anak-anak juga belajar

kerja sama sebagai tim, mendukung teman,

kreatif , mengetahui kelemahan diri, siap

Page 40: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 32

untuk kalah atau menang, gigih untuk

mencapai target, mengenal serta dapat

memanfaatkan dengan baik benda-benda

yang ada di alam sekitar . Untuk kesehatan,

melatih fisik anak sehingga anak lebih

sehat, daya tangkapnya lebih tinggi, lebih

gesit, dan selalu ceria. Nilai edukasinya

juga banyak, selain bermanfaat untuk

melatih fisik anak agar lebih kuat, juga

dapat mengasah kemampuan bersosialisasi,

bekerja sama dan mentaati aturan, sesuatu

yang tidak ditemukan pada permainan

modern yang mungkin dapat membuat

cerdas tapi cenderung membentuk watak

individualistis.

Bagi anak-anak, menurut para ahli,

bermain memiliki fungsi dan manfaat yang

sangat penting. Bagi mereka, bermain

bukan hanya menjadi kesenangan tetapi

juga suatu kebutuhan yang mau tidak mau

harus terpenuhi. Jika tidak, menurut (Conny

R. Semiawan dalam Musfiroh, 2005 :1) ada

satu tahapan perkembangan yang berfungsi

kurang baik yang akan terlihat kelak jika si

anak sudah menjadi remaja. Maka tidak

berlebihan jika Catron dan Allen dalam

Musfiroh, 20015:1) mengatakan bahwa

bermain merupakan wahana yang

memungkinkan anak-anak berkembang

optimal. Bermain secara langsung

mempengaruhi seluruh wilayah dan aspek

perkembangan anak. Kegiatan bermain

memungkinkan anak belajar tentang diri

mereka sendiri, orang lain, dan

lingkungannya. Dalam kegiatan bermain,

anak bebas untuk berimajinasi,

bereksplorasi, dan mencipta sesuatu.

Menurut Somantri (2012: 103)

Tunagrahita adalah istilah yang dipakai

untuk menyebutkan anak yang memiliki

kemampuan intelektual di bawah rata-rata

anak pada umumnya. Dalam istilah asing

digunakan istilah mentally retarded, mental

retardation, mental defective, mental

deficiency dan lain-lain, istilah-istilah

tersebut sebenarnya memiliki arti yang

sama yang menjelaskan bahwa anak

tunagrahita memiliki kecerdasan di bawah

rata-rata ditandai oleh keterbatasan

inteligensi dan ketidak cakapan dalam

interaksi sosial. Menurut The American

Association on Mental Defiency (AAMD),

seseorang dikategorikan tunagrahita

apabila kecerdasannya secara umum di

bawah rata- rata dan mengalami kesulitan

penyesuaian sosial dalam setiap fase

perkembangannya (Hallahan dan

Kauffman dalam Efendi, 2008: 89).

Permainan tradisional bagi anak

berkebutuhan khusus dalam hal ini anak

tunagrahita ringan banyak mengandung

nilai-nilai pendidikan yang dapat

menumbuhkan dan mengembangkan

berbagai aspek perkembangan anak. Nilai-

nilai pendidikan dalam permainan

tradisional tersebut terkandung dalam

permainan melalui gerak, syair lagu,

mengenal alam dan sebagainya. seperti juga

permainan tradisional nusantara permainan

tradisional anak Banjar juga banyak

mengandung unsur rasa senang, dimana

rasa senang dapat mewujudkan suatu

kesempatan yang baik menuju kemajuan

aspek perkembangan bagi anak tunagrahita

ringan . Beberapa penelitian yang telah

dilakukan menjelaskan manfaat permainan

tradisional bagi anak berkebutuhan khusus

tunagrahita. Penelitian oleh Sari (2015)

tentang permainan engklek menemukan

bahwa ketika kotak-kotak dalam permainan

engklek tersebut diberi angka, maka terjadi

peningkatan pengenalan angka bagi anak

tunagrahita sedang. Penelitian lain

yang dilakukan oleh Alfiza dkk. (2014)

membahas permainan lompat tali. Hasilnya

menunjukkan bahwa dengan bermain

lompat tali dapat melatih kemampuan

melompat anak tunagrahita menjadi lebih

baik.

Karena itu menjadi tugas orang tua

atau orang dewasa dan pihak sekolah agar

dapat menciptakan lingkungan bermain

yang edukatif bagi anak tunagrahita ringan

agar mereka dapat mengembangkan potensi

yang mereka punya secara optimal.

Rangsangan yang diberikan kepada anak

tunagrahita ringan tentunya harus sesuai

dengan perkembangan dan kemampuan

Page 41: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 33

mereka. Tahap perkembangan ini dapat

ditinjau dari berbagai aspek seperti

kognitif, bahasa, emosi, sosial, fisik. Proses

penyampaiannya pun harus sesuai dengan

dunia anak, yaitu dengan bermain.

Banyak cara pembelajaran yang dapat

digunakan dalam menstimulus

perkembangan anak tunagrahita ringan

salah satunya adalah dengan menggunakan

permainan tradisional

METODE

Kajian ini mempergunakan Studi

kepustakaan. Pendekatan konsep dan teori

dilakukan dengan merujuk dari berbagai

sumber seperti referensi umum dan khusus,

buku-buku pedoman, buku petunjuk,

laporan-laporan penelitian, tesis, jurnal

ilmiah , dan bahan-bahan khusus lain yang

memiliki korelasi dengan tema kajian ini .

Uraian serta gagasan yang didapat dari

semua sumber digabungkan dalam satu

susunan kerangka berpikir. kajian ini masih

dalam tahap proses analisis dan belum

melakukan penelitian.

PERMAINAN TRADISIONAL

1. Pengertian Permainan Tradisional

Menurut Direktorat Nilai Budaya

permainan tradisional anak adalah proses

melakukan kegiatan yang menyenangkan

hati anak dengan mempergunakan alat

sederhana sesuai dengan keadaan dan

merupakan hasil penggalian budaya

setempat menurut gagasan dan ajaran turun

temurun dari nenek moyang. Permainan

Tradisional atau biasa disebut dengan

permainan rakyat adalah hasil dari

penggalian budaya lokal yang di dalamnya

banyak terkandung nilai-nilai pendidikan

dan nilai budaya serta dapat menyenangkan

hati yang memainkannya. Permainan

tradisional sebagai satu di antara unsur

kebudayaan bangsa banyak tersebar di

berbagai penjuru nusantara.

Namun dewasa ini keberadaanya

sudah berangsur-angsur mengalami

kepunahan.Terutama bagi mereka yang saat

ini tinggal di perkotaan, bahkan beberapa di

antaranya sudah tidak dapat dikenali lagi

oleh masyarakat di mana permainan

tradisional itu berada. Beberapa jenis

permainan tradisional ada pula yang masih

dapat bertahan, itu pun disebabkan karena

para pelaku permainan tradisional tersebut

berada jauh dari jangkauan permainan

modern yang lebih menggutamakan alat-

alat canggih.

.

2. Karakteristi Permainan Tradisional

Pada dasarnya permainan tradisional

lebih banyak memberikan kesempatan

kepada pelaku untuk bermain secara

berkelompok/ permainan tradisional

setidaknya dilakukan minimal oleh dua

orang, dengan menggunakan alat-alat yang

sederhana, mudah dicari, menggunakan

bahan-bahan yang ada di sekitar serta

mencerminkan kepribadian bangsa sendiri.

Permainan tradisional banyak

memiliki nilai-nilai yang positif yang dapat

dikembangkan. Nilai-nilai yang terkandung

dalam permainan tradisional dapat ditelaah

dari sudut penggunaan bahasa,

senandung/nyanyian , aktifitas fisik, dan

aktifitas psikis. Permainan tradisional

memiliki unsur senang yang dapat

membantu anak belajar berdasarkan

kesadaran sendiri tanpa dipaksa. Anak

yang memiliki masalah penyesuaian sosial

cenderung berprilaku ambivalent terhadap

aturan dan perintah orang dewasa, sehingga

memerlukan pendekatan yang dapat

diterima, contohnya melalui parmainan

yang memiliki unsur senang sehingga anak

dapat melakukan kegiatan dengan sukarela

tanpa paksaan.

Permainan tradisional dapat

membantu siswa dalam menjalin relasi

sosial yang baik dengan teman sebaya (peer

group) maupun dengan teman yang usianya

lebih muda atau lebih tua. Permainan

tradisional juga dapat digunakan untuk

melatih siswa dalam mengatasi konflik dan

belajar memecahkan masalah yang sedang

dihadapi.

Page 42: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 34

ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

DAN PERKEMBANGANNYA

Tumbuh kembang anak memiliki

pengertian dua hal yang berbeda tetapi

saling berkaitan dan sulit dipisahkan.

Pertumbuhan (growth) memiliki pengertian

yang berkaitan dengan masalah ukuran,

jumlah, dan dimensi tingkat sel , organ

maupun individu yang dapat diukur dengan

ukuran berat (gram, pound, kilogram),

ukuran panjang (cm, meter), umur tulang

dan keseimbangan metabolik.

Perkembangan ( development) adalah

bertambahnya kemampuan (skill) dalam

struktur dan fungsi tubuh yang lebih

kompleks dalam pola yang teratur dan

dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses

pematangan dan belajar. Termasuk di

dalamnya adalah perkembangan

intelektual, sosial, emosi dan tingkah laku

sebagai hasil dari interaksi anak dengan

linkungannya. Pada anak tunagrahita,

pertumbuhan dan perkembangannya

mengalami kemunduran.

Anak tunagrahita adalah anak yang

kecerdasannya berada dibawah rata – rata

teman seusianya yang ditandai oleh ketidak

mampuan untuk belajar dan menyesuaikan

diri dalam interaksi sosial (perilaku mal

adaptif). Anak tunagrahita atau dikenal juga

dengan istilah terbelakang mental karena

keterbatasan kecerdasannya sukar untuk

mengikuti program pendidikan disekolah

biasa secara klasikal, oleh karena itu anak

terbelakang mental membutuhkan

pelayanan pendidikan secara khusus, yakni

disesuaikan dengan kemampuan anak itu.

Penyesuaian perilaku maksudnya saat

ini seorang dikatakan tunagrahita bukanlah

hanya dilihat IQ-nya akan tetapi perlu

dilihat sampai sejauh mana anak ini dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungannya .

Terjadi pada masa perkembangan sampai

usia 18 tahun.

Menurut beberapa ahli ada tiga

klasifikasi anak tunagrahita yang salah

satunya adalah anak tunagrahita ringan.

Kondisi fisik anak tunagrahita ringan pada

umumnya tidak berbeda dengan

kebanyakan anak lainnya, memiliki tingkat

IQ berkisar antara 50-70. Meskipun anak

tunagrahita ringan memiliki keterbatasan

pada segi kecerdasannya. Mereka masih

bisa belajar membaca, menulis dan

berhitung bersama dengan anak-anak

seusianya dengan menerapkan fleksibilitas

kurikulum. Seringkali anak tunagrahita

ringan tidak dapat diidentifikasi hingga

memasuki usia sekolah, ketika anak

mengalami kesulitan dalam mengikuti

pelajaran.

Anak tunagrahita ringan juga dapat

menjadi tenaga kerja semi skilled seperti

pekerjaan laundry, peternakan, pekerjaan

rumahtangga, bahkan jika dibimbing

dengan baik dapat bekerja di pabrik –

pabrik dengan sedikit pengawasan. Namun

demikian,mereka kurang mampu

melakukan penyesuaian sosial secara

independen.

1. Perkembangan Kognitif Anak

Tunagrahita

Menurut (Suppes dalam somantri

2012:110) bahwa kognisi merupakan

bidang yang luas yang meliputi semua

keterampilan akademik yang berhubungan

dengan wilayah persepsi. Sedangkan

menurut (Messen, Conger, dan Kagan

dalam somantri 2012:110) menjelaskan

bahwa kognisi paling sedikit terdiri dari

lima proses, yaitu :(1) persepsi, (2) memori,

(3) pemunculan ide-ide, (4) evaluasi, (5)

penalaran. Proses-prose itu meliputi

sejumlah unit terdiri dari skema, gambaran,

simbol konsep, serta kaidah-kaidah. Para

peneliti dibidang ini tertarik pada

perubahan urutan proses kognitif yang

dihubungkan dengan usia dan pengalaman .

Dalam hal kecepatan belajar, anak

tunagrahita ringan berbeda dengan anak

pada umumnya walau tidak terlalu jauh.

Untuk mencapai kriteria-kriteria yang

dicapai anak pada umumnya, anak

tunagrahita ringan memerlukan

pengulangan tentang bahan tersebut. Anak

tunagrahita juga sulit menangkap informasi

yang kompleks, tugas-tugas yang diberikan

sebaiknya dimulai dari yang sederhana dan

Page 43: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 35

diberikan tahap demi tahap.

2. Perkembangan Bahasa Anak

Tunagrahita

Kemampuan bahasa pada anak-anak

diperoleh dengan sangat menakjubkan

melalui beberapa cara. Pertama, anak dapat

belajar bahasa apa saja yang mereka dengar

sehari-hari dari lingkungan dengan cepat.

cara kedua, bahasa apapun memiliki

kalimat yang tidak terbatas, dan kalimat-

kalimat dari bahasa yang mereka dengar

dan mereka ucapkan, dan belum pernah

mereka dengar sebelumnya. Hal ini berarti

anak-anak belajar bahasa tidak sekedar dari

meniru ucapan yang mereka dengar saja ,

tetapi anak-anak juga harus belajar konsep

gramatikal yang abstrak dalam

menghubungkan kata-kata menjadi

kalimat.

Perkembangan bahasa erat kaitannya

dengan perkembangan kognitif, sehingga

perkembangan bahasa akan sejalan dengan

perkembangan kognitif anak . Pada

kenyataanya, anak tunagrahita ringan

mengalami hambatan dalam perkembangan

kognitifnya sehingga perkembangan

bahasanya pun menjadi ikut terhambat .

Hambatan tersebut ditunjukkan dengan

tidak seiramanya antara perkembangan

bahasa dengan usia lahir anak (cronologis

age), tetapi lebih seirama dengan usia

mentalnya (mental age).

Mereka bukannya mengalami

kerusakan artikulasi akan tetapi pusat

pengolahan (perbendaharaan kata yang

kurang berfungsi sebagaimana mestinya).

Karena itu mereka membutuhkan kata –

kata konkrit dan sering didengarnya,

mereka juga kurang dapat mempergunakan

kalimat majemuk lebih banyak

mempergunakan kalimat tunggal

3. Perkembangan Fisik Anak

Tunagrahita

Fungsi-fungsi perkembangan pada

anak tunagrahita ada yang tertinggal jauh

oleh anak pada umumnya . Ada pula yang

sama atau hampir menyamai anak pada

umumnya. Di antara fungsi-fungsi yang

menyamai atau hampir menyamai anak

pada umumnya adalah fungsi jasmani dan

motorik.

Perkembangan jasmani dan motorik

anak tunagrahita tidak secepat

perkembangan anak pada umumnya

sebagaimana banyak ditulis orang.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa

tingkat kesegaran jasmani anak tunagrahita

yang memiliki MA (mental age) 2 tahun

sampai dengan 12 tahun ada dalam kategori

kurang sekali. Sedang anak pada umumnya

pada usia yang sama ada dalam kategori

kurang. Dengan demikian tingkat

kesegaran jasmani anak tunagrahita

setingkat lebih rendah dibandingkan

dengan anak pada umumnya pada umur

yang sama.

Ketrampilan gerak fundamental

sangat penting untuk meningkatkan

kualitas hidup anak tunagrahita. Anak

normal dapat belajar keterampilan gerak-

gerak fundamental secara instingtif pada

saat bermain, sementara anak tunagrahita

perlu dilatih secara khusus. Karena itu

penting bagi guru untuk memprogramkan

latihan-latihan gerak fundamental dalam

pendidikan anak tunagrahita.

4. Perkembangan Sosial Emosional

Anak Tunagrahita

Dalam perkembangan sosial anak-

anak tunagrahita cenderung senang

bermain dengan anak-anak yang lebih

muda usianya dan juga dengan anak-anak

yang sama usia mentalnya dari pada usia

kronologisnya. Anak tunagrahita

cenderung menarik diri, acuh tak acuh dan

mudah bingung. Tidak jarang dari mereka

mudah dipengaruhi sebab mereka tidak

dapat memikirkan akibat tindakannya.

Untuk kategori anak tunagrahita sedang dan

berat ketergantungan mereka terhadap

orang tua dan orang dewasa disekelilingnya

sangat besar , tidak mampu memikul

tanggung jawab sosial dengan bijaksana,

sehingga anak-anak tunagrahita sedang dan

berat harus selalu dalam pengawasan dan

bimbingan.

Pada anak tunagrahita ringan

kemampuan bersosialisasi ini akan lebih

Page 44: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 36

berkembang apabila mereka memperoleh

lingkungan yang mendukung keberadaan

mereka. Maksudnya mereka tidak hanya

menjadi kelompok minoritas dari anggota

atau dihilangkan karena mereka dianggap

tidak mampu.

Selain itu anak tunagrahita kurang

mampu untuk mempertimbangkan sesuatu,

membedakan antara yang baik dan yang

buruk, dan membedakan yang benar

dengan yang salah. Ini semua karena

kemampuannya yang terbatas, sehingga

anak tunagrahita tidak dapat

membayangkan terlebih dahulu

konsekuensi dari sesuatu perbuatan.

Salah satu pembelajaran yang

menarik untuk anak salah satunya dengan

bermain, tidak terkecuali juga dengan anak

tunagrahita. Melalui kegiatan bermain anak

bisa mencapai perkembangan fisik,

intelektual, emosi dan sosial.

Perkembangan secara fisik dapat dilihat

saat bermain. Perkembangan intelektual

bisa dilihat dari kemampuan anak

mengunakan atau memanfaatkan

lingkungannya. Perkembangan emosi dapat

dilihat ketika anak merasa senang, marah,

merasakan dalam posisi menang dan kalah.

Perkembangan sosial anak dapat dilihat dari

interaksi dengan teman sebaya, menolong,

antri dalam menunggu permainan dan

memperhatikan kepentingan orang lain.

Seiring perkembangan zaman, jenis

permainan yang ada pun semakin beragam.

RAGAM PERMAINAN TRADISIONAL

BANJAR

Kalimantan Selatan adalah salah satu

provinsi di Indonesia yang terletak di pulau

Kalimantan dengan ibu kotanya

Banjarmasin serta memiliki etnis terbesar

yaitu suku Banjar, seperti juga dengan

daerah-daerah lainnya yang ada di

Indonesia, Kalimantan Selatan ( Banjar )

juga memiliki beragam jenis budaya yang

bersifat tradisional yang diwariskan kepada

generasi penerus yang salah satunya adalah

permainan tradisional. Penulis belum

menemukan data berapa banyak permainan

tradisional Banjar yang ada karena

terbatasnya buku-buku yang berisikan

tentang permainan tradisional Banjar.

Beberapa permainan tradisional yang

masih ada dan si mainkan di Kalimantan

Selatan :

1. Bahasinan

Tidak jelas diketahui asal mula kata

bahasinan. Tapi mungkin dari kata seru

“siin” yang diserukan pada saat pemainnya

memenangkan permainan tersebut.

Permainan ini biasanya dimainkan oleh

anak laki-laki dan perempuan berkelompok

dengan jumlah pemain paling sedikit tiga

orang atau lebih jika dimainkan beregu,

dalam permainan bahasinan tidak

diperlukan alat permainan. Di beberapa

daerah dikenal dengan nama galaasin,

gobag sodor dan masih banyak lagi. Secara

sederhana permainan bahasinan tidak

memerlukan alat hanya membuat garis

ditanah sebagai pembatas tempat bermain,

jumlah garis dapat disesuaikan dengan

jumlah pemain .

Adapun cara bermain bahasinan sama

seperti permainan nusantara pada

umumnya permainan bahasinan dimulai

dengan melakukan “humpimpah” atau

“basiun” untuk menentukan siapa yang

yang menjadi “jaga” dan siapa yang

menjadi “pasang. Jika permainan dilakukan

secara individu dan dimainkan oleh tiga

orang setelah mereka melakukan

humpimpah atau basiun , satu orang anak

yang menjadi jaga dan dua anak menjadi

pasang. Anak yang menjadi jaga akan

berdiri digaris tengah sambil

membentangkan kedua tangannya untuk

dapat menyentuh atau menangkap anak

yang menjadi pasang. Oleh karenan itu

anak yang menjadi pasang akan berusaha

membuat siasat memancing berlari ke garis

kiri dan kanan agar dapat melewati anak

yang menjadi jaga .

Jika kedua anak yang menjadi pasang

dapat melewati anak yang menjadi jaga,

maka anak yang menjadi jaga harus segera

membalikkan badan untuk kembali

Page 45: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 37

menghadang dua anak yang menjadi

pasang. Apabila salah satu atau kedua anak

yang menjadi pasang dapat melewati

kembali anak yang menjadi jaga maka

mereka anak berseru “siiiiiin!! sebagai

tanda pernyataan menang. Akan tetapi jika

salah satu dari mereka dapat ditangkap atau

disentuh badan atau tangannya maka salah

satu anak yang menjadi pasang harus

mengganti kedudukan anak yang menjadi

jaga. Permainan akan berhenti pada saat

mereka merasa lelah

2. Bakalikir

Sebagai ciri dari permainan

tradisional Banjar. Permainan Bakalikir

diambil dari kata dasar “kalikir” dan

ditambahkan awalan “ba”. Kalikir dalam

bahasa Banjar berarti kelereng, yang

didaerah lain dikenal juga dengan nama

permainan gundu, kaleci, neker dan lain-

lain. Permainan bakalikir kebanyak

dimainkan oleh anak laki-laki dan

dimainkan di halaman sebaiknya di tanah

yang datar dan kering. Jumlah pemain

dalam permainan bakalikir paling sedikit

dua orang, semakin banyak jumlah pemain

maka permainan akan semakin seru.

Cara bermain bakalikir sangat

mudah, pertama-tama pemain membuat

gambar lingkaran berdiameter lebih kurang

30 cm. Jika dimainkan di atas tanah kering

, lingkaran dapat dibuat mempergunakan

ranting pohon, lidi, atau tongkat. Sementara

itu jika bermain di atas ubin, semen, atau

aspal lingkaran dapat dibuat

mempergunakan kapur, dilanjutkan dengan

membuat garis start yang berjarak 1 meter

dari lingkaran atau sesuai dengan usia dan

kemampuan anak. Langkah selanjutnya

semua pemain meletakkan “kalikir”

miliknya di dalam lingkaran (kurang lebih

5 butir kalikir) dan berdiri dibelakang garis

start . Secara bergiliran anak-anak

melemparkan sebutir “kalikir” kearah

lingkaran. Anak yang kalikirnya paling

jauh dapat main lebih dulu. Dilanjutkan

dengan pemain yang “kalikir”nya terjauh

kedua dan seterusnya.

Pemain harus menukun (membidik)

kalikir yang di dalam lingkaran. Kalikir

yang keluar dari lingkaran karena terkena

bidikan menjadi miliknya. Begitu

seterusnya pemain bergantian membidikan

kalikir yang berada di dalam lingkaran

sampai kalikir habis. Anak yang

mengumpulkan kalikir paling banyak

keluar sebagai pemenangnya.

3. Badaku

Permainan Badaku berasal dari kata

dasar “daku” dengan tambahan awalan kata

“ba” sebagai ciri bahasa Banjar yang berarti

melakukan permainan dengan

mempergunakan alat yang disebut

“padakuan” Permainan tradisional ini

identik dengan permainan anak perempuan

karena permainan ini lebih banyak

dimainkan oleh anak perempuan.

Peralatan yang digunakan dalam

permainan terdiri atas dua macam, yaitu

badaku yang disebut padakuan , dibuat dari

sepotong kayu dengan ukaran panjang lebih

kurang 60 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 5 cm,

pada permukaan papan tersebut diberi dua

lubang sejajar sebanyak tujuh atau sembilan

yang umum dipakai biasanya tujuh lubang.

Ujung kiri dan kanan diberi lubang yang

lebih besar yang disebut “rumah”.

Perlengkapan lainnya adalah “anak daku”

yang terdiri dari batu kerikil, kulit sihi, atau

biji sawu. Jumlah anak daku disesuaikan

dengan banyaknya lubang yang dibuat, jika

lubang yang dibuat ada 7 maka anak daku

berjumlah 2x7x7 total “anak daku”

sebanyak 98 biji dan seterusnya.

Adapun cara bermain badaku, kedua

pemain pertama mengambil “anak daku”

dari salah satu lubang miliknya, “anak

daku” diletakkan satu persatu kearah kanan

lubang miliknya sampai habis termasuk

lubang milik lawan, jika melewati lubang

besar miliknya pemain meletakan satu

“anak daku”. Namun jika melewati lubang

besar milik lawan pemain tidak boleh

meletakkan “anak daku” di dalamnya.

Pemain dapat terus bermain mengambil

“anak daku” baik pada lubang miliknya

Page 46: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 38

atau lubang milik lawan, tapi jika “anak

daku jatuh pada lubang kosong baik

miliknya atau milik lawan maka permainan

dilanjutkan oleh pihak lawan. Jika “anak

daku” jatuh di lubang miliknya, pemain

dapat mengambil “anak daku” yang ada di

dalam lubang milik lawan yang berada di

seberang lubang kosong tersebut.

Permainan biasanya akan berhenti

jika salah satu dari pemain sudah memiliki

“anak daku” paling banyak atau sampai

pihak lawan “gundul” atau sudah tidak

memiliki satupun “anak daku”.

4. Bacukcuk Bimbi

Tidak jelas asal usul kata cukcuk

bimbi . dari literature yang ditemukan

permainan Cuk-cuk bimbi bermula dari

sebuah pantun banjar, yang kemudian

dilagukan untuk dijadikan sebuah

permainan bagi anak-anak masyarakat

Banjar. Cuk-cuk bimbi merupakan jenis

pantun anak-anak. Keunikan ini diluar

struktur pantun pada umumnya. Hal itu,

terlihat pada setiap barisnya terdapat sajak

yang dapat dilagukan.

Permainan cukcuk bimbi biasanya

dimainkan oleh anak perempuan usia SD

sampai remaja dengan jumlah pemain

paling sedikit tiga orang sampai lima orang.

Kadang-kadang permainan ini juga

dimainkan oleh anak laki-laki dengan

mengambil tempat di halaman rumah. Alat

yang dipakai dalam permainan ini hanya

sepotong kertas yang dilipat-lipat seukuran

1 cm yang akan digenggam oleh seorang

pemain.

Setelah melakukan “basiun”

permainan itu dilakukan dengan memilih

salah satu pemain yang “jadi” kemudian

pemain itu telungkup dan dikelilingi

dengan pemain lainnya sambil menaruh

telapak tangan di atas pemain yang

bertelungkup tadi. Telapak tangan dibuka

menghadap ke atas kemudian di atasnya

ditaruh kertas yang digulung kecil lalu

kemudian dijalankan dari satu telapak

tangan ke telapak tangan lainnya hingga

lagu selesai sambil menyanyikan lagu

sebagai berikut:

Cuk-cuk bimbi

Bimbi tuan sarunai

Tacucuk takulibi

Muhanya kaya panai

(Sagincul liu - liu, sagincul liu - liu)

. Setelah lagu selesai, semua pemain

memutar-mutarkan kedua tangan mereka

sambil mengucapkan kalimat “sagincu liu-

liu sagincu liu liu, sagincu liu liu”. Dan

pemain yang “jadi” harus menebak di

manakah kertas kecil itu berada. Jika

tebakan anak yang “jadi” tersebut benar

maka anak yang memegang kertas tersebut

mengantikan , tapi jika tebakan anak yang

men “jadi” itu salah maka anak tersebut

tetap men”jadi” .

5. Ba-i-intingan

Nama permainan Ba-i-intingan

diambil dari kata dasar “intingan, dengan

tambahan awalan “ba” (bahasa Banjar)

dengan proses pengulangan suku kata awal

“i” yang berarti melompat dengan satu kaki,

di pulau Jawa dikenal dengan kata

“engklek” permainan ini biasanya

dimainkan oleh anak laki-laki dan

perempuan di sekolah dasar . Permainan ba-

i-intingan hanya memerlukan alat bermain

berupa batu kerikil yang berukuran ibu jari

dan membuat garis lingkaran sebesar

lingkaran piring sebagai garis start dan

finish yang jaraknya berkisar dua hingga

tiga meter atau disesuaikan dengan

kemampuan anak. Proses permain dimulai

dengan semua pemain meletakkan batu

kerikil dilingkaran finish miliknya.

Masing-masing pemain berdiri di samping

lingkaran start miliknya. Setelah aba-aba

diserukan 1,2,3 semua pemain berlari

menuju lingkaran finish milik mereka untuk

mengambil batu kerikil dan membawa batu

kerikil tersebut menuju lingkaran start

sambil “bainting”. Setelah sampai

lingkaran start pemain harus meletakkan

batu kerikil yang dibawanya. Permainan

Page 47: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 39

dilakukan sampai batu kerikil setiap pemain

sudah diletakkan di garis start miliknya.

Pemain yang tidak bainting atau berlari

dengan satu kaki dan tidak dapat

meletakkan semua batu kerikil miliknya ke

lingkarat start dinyatakan kalah.

ANALISIS RAGAM PERMAINAN

TRADISIONAL BANJAR TERHADAP

PERKEMBANGAN ANAK

TUNAGRAHITA RINGAN

Dari lima jenis ragam permainan

tradisional Banjar yang telah dipaparkan di

atas ada beberapa dampak positif yang

dapat ditimbulkan dari permainan

tradisional terhadap perkembangan anak

tunagrahita ringan.

Pertama anak mendapat kegembiraan

dan hiburan, dalam bermain permainan

tradisional suasana gembira akan didapat

oleh anak. Kegembiraan atau emosi positif

sangat bermanfaat untuk tumbuh kembang

anak, kehidupan anak yang dipenuhi

suasana gembira dan bahagia sangat

bermanfaat untuk kesehatan fisik dan

mental.

Kedua, pada beberapa permainan

tradisional tidak jarang anak harus berlari,

melompat, meloncat, membidik,

membungkuk dan lain-lain. Gerakan-

gerakan tersebut tentunya dapat

menstimulasi perkembangan fisik anak,

baik kemampuan motorik harul maupun

motorik kasar anak

Ketiga, walau kecerdasan anak

tunagrahita berada di bawah rata-rata anak

pada umumnya melalui permainan

tradisional dapat menstimulasi

perkembangan kecerdasan mereka. Karena

dalam bermain dan mengeksplorasi

lingkungan sekitar, anak secara tidak

langsung dapat belajar tentang bentuk,

warna, suara dan lain-lain

Keempat, dalam permainan

tradisional jumlah pemain biasanya lebih

dari dua orang, hal ini menstimulasi anak

untuk belajar bersosialisasi dengan teman-

teman sepermainan, dari interaksi tersebut

anak belajar rasa empati, toleransi,

kejujuran, kesabaran.

Kelima, seperti yang telah

disampaikan hampir pada setiap permainan

tradisional permainan dilakukan beberapa

anak (beregu) ketika anak bermain beregu

tentunya anak akan melakukan komunikasi

secara tidak langsung kosakata anak akan

bertambah. Perkembangan bahasa anak

juga akan terstimulasi pada saat permainan

mempergunakan syair lagi seperti pada

permainan bacukcukbimbi.

KESIMPULAN Kajian ini menunjukan bahwa

permainan tradisional Banjar seperti :

Bahasinan, Bakalikir, Badaku, Bacukcuk

bimbi, dan Baiintingan memiliki dampak

positif terhadap perkembangan anak

tunagrahita ringan . Diantaranya adalah

perkembangan fisik motorik,

perkembangan bahasa, perkembangan

sosial emosional Dalam melakukan

stimulasi sebaiknya orang tua dan guru

jangan sampai memaksakan melebihi batas

kemampuan anak. Biarkan anak

melakukannya secara bertahap serta

berikan kesempatan kepada anak berlatih

secara berulang-ulang.

DAFTAR PUSTAKA

Achroni, Keen. 2012 Mengoptimalkan

Tumbuh Kembang Anak Melalui

Permainan Tradisional.Yogjakarta

: Javalitera

Alfiza, Y., Martias, Z., Fatmawati. (2014).

Meningkatkan keterampilan

melompat melalui permainan

tradisional lompat tali bagi anak

tunagrahita ringan kelas II di SDLB

35 Painan. E-JUPEKhu, 3 (1), 299-

307.

Direktorat Nilai dan Budaya, 2000

Keterampilan Strategi dan

Persaingan (Jakarta : Departemen

Kebudayaan Dan Pariwisata

Page 48: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 40

Delphie, B. 2007. Pembelajaran Anak

Tunagrahita. Bandung: PT Refika

Aditama

Efendi, Mohammad. 2008. Pengantar

Psokopedagogik Anak Berkelainan.

Jakarta: PT Bumi Aksara

Hasanah I.Nor & Pratiwi H. (2016).

Pengembangan Anak Melalui

Permainan Tradisional.Yogyakarta

: Aswaja Presindo

Sari, S. (2015). Efektivitas permainan

engklek untuk mengenal bilangan

bagi anak tunagrahita sedang X

DIII C1 SLB C Payakumbuh. E-

JUPEKhu. (4) 1. 162-173. Diakses

dari

Http://Ejournal.Unp.Ac.Id/Index.P

hp/Jupekhu/

Article/Download/4632/3671.

Seman, Syamsiar. 2014. Permainan

Tradisional Orang Banjar.

Banjarmasi : Lembaga pengkajian

dan PelestarianBudaya Banjar,

Kalimantan Selatan.

Somantri, Sutjihati. 2012. Psikologi Anak

Luar Biasa, Bandung: PT. Refika

Aditama .

Tadkiroatun Musfiroh. 2005. Bermain

Sambil Belajar dan Mengasah

Kecerdasan . Jakarta : Depdiknas

Page 49: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 41

ABSTRACT

PACKAGING AGRICULTURAL PRODUCTS ASSESSMENT

Emay Mastiani, Special Education, Universitas Islam Nusantara (Uninus),

[email protected]

Assessment is needed before learning for mentally disabled learners. Assessment rationales are

needed to determine their abilities, difficulties, and learning needs. Assessment implementation

may use non-formal assessment instrument because formal instruments are rarely used. This

study develops an assessment instrument for pack agricultural products to be used in vocational

learning. Preparation of the assessment based on learning needs that is adjusted to the condition

and learners characteristics mild mentally disabled also the needs of work’s field. The purpose

of this assessment is as a guide that teachers can use in choosing the language that will be given

to the students at school. This research method is using qualitative descriptive method. The

research method used qualitative descriptive method, data acquisition through observation,

interview, and documentation study. As the steps taken in preparing the assessment instruments

are as follows: 1) determining the scope/skill to be assessed, 2) determining the behavior to be

assessed, 3) preparing the grid, 4) the development of assessment instrument items, and 5)

Student Worksheet (LKS). The results of the assessment, some of the learners have ability to

pack some agricultural products, such as packing beans, oyster mushrooms, cabbage, and

tomatoes, these evidences are validated by the work providers. This study shows that mild

mentally disabled learners can master one of the skills that can be their life provision in the

community, with adjustable work training to the conditions and characteristics of mild mentally

disabled.

Keywords: Assessment, Packaging, Agricultural Products

Page 50: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 42

ABSTRAK

ASESMEN MENGEMAS PRODUK PERTANIAN

Emay Mastiani, Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Islam Nusantara (Uninus),

[email protected]

Asesmen sangat diperlukan sebelum pembelajaran dilaksanakan bagi peserta didik tunagrahita.

Alasan asesmen diperlukan guna mengetahui kemampuan, kesulitan, dan kebutuhan belajar.

Dalam pelaksanaan asesmen dapat menggunakan instrumen asesmen nonformal hal ini

dikarenakan instrumen asesmen formal jarang didapatkan. Penelitian ini menyusun instrumen

asesmen mengemas produk pertanian yang akan digunakan dalam pembelajaran keterampilan

kerja. Penyusunan asesmen berdasarkan pada kebutuhan pembelajaran keterampilan yang

disesuiakan dengan kondisi dan karakteristik peserta didik tunagrahita ringan serta kebutuhan

dunia kerja. Tujuan penyusunan asesmen ini adalah sebagai panduan yang dapat digunakan

oleh guru keterampilan dalam memilih keterampilan yang akan diberikan pada peserta didik di

sekolah. Metode Penelitian yang digunakan metode deskriptif kualitatif, perolehan data

melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Adapun langkah-langkah yang

dilakukan dalam menyusun instrumen asesmen sebagai berikut: 1) menentukan

lingkup/keterampilan yang akan diaseskan, 2) menetapkan perilaku yang akan diases, 3)

menyusun kisi-kisi, 4) mengembangkan butir-butir instrumen asesmen, dan 5) membuat

Lembar Kerja Siswa (LKS). Hasil penelitian sebagian peserta didik tunagrahita memiliki

kemampuan dalam mengemas beberapa produk pertanian, seperti mengemas buncis, jamur

tiram, kol (kubis), dan tomat, hal ini dibuktikan dengan hasil validasi dari penyedia pekerjaan.

Kesimpulan peserta didik tunagrahita ringan dapat menguasai salah satu keterampilan kerja

yang menjadi bekal hidup di masyarakat, dengan catatan keterampilan kerja disesuaikan

dengan kondisi dan karakteristik dari tunagrahita ringan.

Kata Kunci: Asesmen, Mengemas, Produk Pertanian

Page 51: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 43

A. Pendahuluan

Pendidikan keterampilan sangat

dibutuhkan oleh anak tunagrahita ringan

guna membekali anak tunagrahita pada saat

setelah lulus SMALB. Pembelajan

keterampilan yang diberikan kepada

peserta didik tentunya harus disesuikan

dengan kondisi dan karakteristik peserta

didik serta kebutuhan dunia kerja. Hal

tersebut sangat beralasan karena 1) apabila

keterampilan kerja yang diberikan tidak

sesuai dengan kondisi dan karakteristik

tunagrahita, maka keterampilan tersebut

tidak akan dikuasai dengan baik, 2) apabila

keterampilan kerja yang diajarkan tidak

sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, maka

mereka lulusan SMALB akan menganggur

sedangkan tujuan dibekali keterampilan

agar mereka dapat bekerja.

Guna mendapatkan keterampilan

yang sesuai dengan yang telah disebutkan

di atas, maka dibutuhkan instrumen

asesmen yang dapat mengungkap apa yang

ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu;

1) kesesuaian/kesiapan fisik dari anak

tunagrahita untuk dapat menguasai

keterampilan kerja yang akan diberikan, 2)

ketersediaan pekerjaan atau peluang

pekerjaan di masyarakat yang sesuai

dengan kondisi dan karakteristik anak

tunagrahita, 3) kesediaan pemilik home

industry untuk menerima pekerja anak

tunagrahita, 4) pihak sekolah memiliki

kerjasama dengan penyedia pekerjaan

(home industry)

Adapun langkah-langkah dalam

menyusun instrumen asesmen dilakukan

beberapa tahap agar hasil asesmen sesuai

dengan yang diharapkan. Soendari &

Mulyati (2010:17) mengemukan ada

beberapa langkah yang ditempuh dalam

memilih dan menetapkan perilaku yang

akan diaseskan, yaitu:

1) Pilihlah salah satu komponen yang

diprioritaskan dari semua

komponen/bidang/aspek/ yang

akan diaseskan. Buatlah batasan

secara konseptual tentang wilayah

yang akan diases dan urutkan

komponen-komponen/sub

komponen-sub komponen yang

berada pada wilayah aspek

tersebut

2) Tentukan subjek yang akan diases

3) Tetapkan tujuan dilakukannya

asesmen

4)Tentukan teknik yang akan

digunakan untuk mencapai tujuan

asesmen

Pendapat lain tentang langkah-

langkah menyusun instrumen asesmen

Menurut Rochyadi & Alimin (2005)

“beberapa langkah yang harus

dilakukan yaitu: 1) menetapkan aspek

dan ruang lingkup yang akan diases

2) memilih komponen mana yang

akan diases 3) menyusun kisi-kisi

instrumen asesmen, dan 4)

Page 52: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 44

mengembangkan butir-butir asesmen

berdasarkan kisi-kisi yang telah

dibuat”.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan

sekolah belum memiliki instrumen asesmen

keterampilan kerja yang dapat membantu

guru dalam menetapkan atau memilih jenis

keterampilan yang sesuai dengan anak

tunagrahita ringan, sekolah penyusunan

program pembelajaran keterampilan yang

diberikan kepada siswa tidak berdasarkan

hasil asesmen.

B. Metode Penelitian

Memilih metode penelitian yang tepat

untuk sebuah penelitian merupakan

langkah penting yang harus dilakukan oleh

seorang peneliti karena metode penelitian

merupakan panduan bagi peneliti yang di

dalamnya mengungkapkan tentang urutan-

urutan bagaimana penelitian dilakukan.

Seperti dikemukakan oleh Surahkmad

(2010:122) bahwa:

“Metode merupakan cara utama yang

digunakan untuk mencapai tujuan,

dengan demikian segala hal kegiatan

yang disadari dan menghendaki

tercapainya tujuan memerlukan cara

atau metode”.

Adapun metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deskriptif yang

menggambarkan secara sistematis fakta

dan karakteristik objek dan subjek

penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat

Moleong (2011:6) yang menyatakan

bahwa:

“Metode deskriptif adalah penelitian

yang bertujuan mendeskripsikan atau

menjelaskan sesuatu hal seperti apa

adanya. Metode ini dilakukan untuk

mengungkap peristiwa atau gambaran

atas fenomena yang terjadi pada masa

sekarang”.

Dalam pelaksanaanya, penelitian

dilakukan melalui pendekatan kualitatif.

Bogdan dan Taylor yang dalam Moleong

(2011:4) bahwa:

“Metode penelitian kualitatif sebagai

prosedur yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan perilaku

yang diamati, pendekatan ini diarahkan

pada latar dan individu tersebut secara

holistik (utuh)”.

Peneliti berupaya mengungkapkan

fenomena-fenomena yang terjadi di

lapangan apa adanya Data tersebut berupa

deskripsi kata-kata bukan angka. Dengan

pendekatan kualitatif ini diharapkan dapat

memberikan informasi yang sebanyak-

banyaknya mengenai instrumen asesmen

keterampilan kerja.

Teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini dilakukan melalui, observasi,

wawancara, dan teknik dokumentasi.

Mengenai teknik observasi Moleong

(2011:174) mengemukakan: “Pengamatan

memungkinkan peneliti mencatat peristiwa

dalam situasi yang berkaitan dengan

Page 53: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 45

pengetahuan proporsional maupun

pengetahuan yang diperoleh dari data”.

Observasi dalam penelitian ini dilakukan

terhadap anak tunagrahita berkaitan dengan

kondisi fisik yang dapat menunjang

kemampuan dalam menguasai

keterampilan kerja. Wawancara dilakukan

terhadap guru dan penyedia pekerjaan

(home industry). Wawancara yang

dilakukan terhadap guru, guna mengungkap

apakan penyusunan program pembelajaran

keterampilan kerja yang telah dilakukan

guru dalam menyusun program tersebut

sudah berdasarkan asesmen atau belum.

Wawancara terhadap penyedia pekerjaan

adalah berkaitan dengan ketersediaan

pekerjaan bagi anak tunagrahita. Studi

dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan

untuk mengetahui apakah instrumen

asesmen keterampilan kerja sudah tersedia

atau belum di sekolah guna keperluan

pembelajaran keterampilan kerja.

C. Hasil dan Pembahasan

Tujuan yang ingin dicapai dalam

penyusunan instrumen asesmen

keterampilan kerja adalah; a. instrumen

asesmen dapat dijadikan panduan untuk

memilih keterampilan kerja yang sesuai

dengan kondisi dan karakteristik anak

tunagrahita ringan serta kesempatan kerja

yang tersedia, b. hasil asesmen yang telah

diperoleh dapat dijadikan acuan untuk

menyusun program keterampilan kerja

yang akan diberikan kepada siswa sehingga

siswa tunagrahita dapat menguasai

keterampilan yang diajarkan karena

program yang diberikan sesuai dengan

kondisi siswa.

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan, maka diperoleh hasil

sebagai berikut:

1. Kesesuaian/kesiapan fisik dari anak

Tunagrahita untuk dapat menguasai

keterampilan kerja yang akan

diberikan, Hasil asesmen menggambarkan

bahwa anak tunagrahita ringan kelas XII

memenuhi syarat untuk mengikuti

pembelajaran keterampilan kerja yang telah

ditetapkan berdasarkan keterampilan kerja

yang tersedia dan peluang pekerjaan yaitu

me, adapun hasil angemas produk

ASESMEN

JENIS

KETERAMPILAN

KESESUAIAN FISIK

KETERAMPILAN KERJA

YANG SESUAI UNTUK ANAK

TUNAGRAHITA RINGAN

PELUANG PEKERJAAN DAN

KESEDIAAN HOME

INDUSTRY MENERIMA

PEKERJA TUNAGRAHITA

RINGAN

Page 54: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 46

pertanian, hasil sesmen sebagai berikut: a)

Fisik: anak memiliki kondisi fisik normal

hampir tidak terlihat perbedaan dengan

anak lainnya, seperti; postur tubuh yang

proporsional, gerak tubuh lentur, motorik

halus dan motorik kasar baik, cara berjalan

tidak kaku, mampu berjalan dari rumah

sampai sekolah kurang lebih 1km, posisi

duduk tegap, mampu memegang benda

baik yang kecil maupun besar, mampu

mengangkat benda/beban hingga kurang

dari 10 kg. b) kemampuan akademik: anak

mampu mengikuti instruksi dari guru ketika

pembelajaran di kelas berlangsung; c)

kemampuan sosial: anak mampu

memahami pergantian siang dan malam,

mampu melakukan kegiatan yang berkaitan

dengan kebutuhan dirinya sendiri seperti;

mandi, mencuci rambut, mencuci tangan,

mengosok gigi, buang air besar dan

membersihkannya, buang air kecil dan

membersihkannya, memakai baju baik

seragam sekolah maupun baju sehari-hari,

menyisir rambut, memakai bedak untuk

perempuan, memakai sepatu bertali, dan

anak mampu bersosialisasi baik di

lingkungan sekolah maupun di lingkungan

tempat tinggal anak; dan d) pekerjaan: anak

memiliki ketertarikan terhadap

keterampilan kerja yang diajarkan hal ini

dibuktikan dengan antusias dari anak ketika

pembelajaran berlangsung.

2. Ketersediaan pekerjaan atau peluang

pekerjaan di masyarakat yang sesuai

dengan kondisi dan karakteristik anak

tunagrahita, pemilihan jenis

keterampilan kerja yang sesuai dengan

kondisi dan karakteristik anak tunagrahita

memegang peranan yang sangat penting,

hasil penelitian diperoleh jenis pekerjaan

yang sesuai dengan kondisi dan

karakteristik anak dan disesuiakan dengan

peluang pekerjaan yang tersedia di

srekitar tempat tinggal siswa, yaitu

mengemas produk pertanian seperti;

mengemas sayuran menggunakan plastik

kedap udara dan menggunakan sterefom,

dimana sayuran yang sudah dikemas

tersebut untuk didistribusikan ke

supermarket. Proses mengemas produk

pertanian di daerah Lembang dilakukan di

industri rumahan yang terletak di sekitar

tempat tinggal siswa, proses pengemasan

dilakukan di rumah tempat tinggal. Proses

mengemas produk pertanian ini

memerlukan tenaga kerja padat karya dan

proses pengemasan dikerjakan secara

manual, jadi dapat menyerap tenaga kerja.

3. Kesediaan pemilik home industry

untuk menerima pekerja anak

tunagrahita, hasil penelitian diperleh data

Page 55: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 47

melalui wawancara bahwa pada dasarnya

pemilik home industry bersedia menerima

pekerja tunagrahita, akan tetapi

diberlakukan ketentuan khusus bagi pekerja

tunagrahiya yaitu; upah di bawah para

pekerja pada umumnya, ketepatan waktu

menyelesaikan pekerjaan tidak menjadi

syarat mutlak, lama bekerja disesuaikan

dengan kemampuan anak tunagrahita, serta

jumlah pekerjaan yang diselesaikan sesuai

dengan kemampuan anak tunagrahita

ringan.

D. Kesimpulan

Secara umum anak tunagrahita ringan

memiliki kemampuan untuk dapat

menguasai keterampilan kerja atau fisik

mereka memenuhi syarat untuk

mengerjakan pekerjaan yang memerlukan

kegiatan fisik, selain itu keterampilan kerja

yang akan diberikan di sekolah harus

disesuaikan dengan kemampuan mereka

memahami perintah (kaitannya dengan

kecerdasa), keterampilan kerja yang

diberikan sesuai dengan kesempatan kerja

yang tersedia di lingkungan dekat dengan

tempat tinggal siswa sehingga siswa dapat

bekerja tidak terkendala oleh jarak, dan

pihak sekolah memiliki kerjasama dengan

penyedia pekerjaan agar anak tunagrahita

lulusan SMALB memiliki pekerjaan.

E. Daftar Pustaka

Amin, Moh. (1995). Ortopedagogik Anak

Tunagrahita. Jakarta : Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Astati. (2001). Persiapan Pekerjaan

Penyandang Tunagrahita. Bandung

: CV. Pendawa.

Astati. (2002). Mengenal Anak

Tunagrahita dan Pendidikannya

(makalah pengayaan). Jakarta :

Depdiknas.

Astati dan Lis Mulyati. (2010). Pendidikan

Anak Tunagrahita. Cetakan

Pertama. Bandung: CV. Catur

Karya Mandiri.

Depdiknas. (2011). Kamus Besar Bahasa

Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Kirk dan Gallegher. (1986). Educating

Exceptional Chilldren.

Dialihbahasakan oleh Moh. Amin

dan I.G. Kusumah. DNIKS. Jakarta

Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi

Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Soendari, T & Euis Nani M. (2010).

Asesmen Dalam Pendidikan Anak

Berkebutuhan Khusus. Cetakan

Pertama. Bandung: CV. Catur

Karya Mandiri.

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Jakarta.

Page 56: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 48

Mengaitkan Inisiatif SDGs (Sustainable Development Goals) dengan Sheltered Workshops Berbasis Desa: Difabel Berdaya di Era Kekinian

Dwitya Sobat Ady Dharma

Universitas Negeri Yogyakarta

[email protected]

Abstrak

Tulisan ini merupakan respon positif terhadap diberlakukannya SDGs (Sustainable

Development Goals) di awal tahun 2016. Ide penulisan ini diawali dengan semangat kebaruan

dalam mengkaitkan inisiatif SDGs dengan sheltered workshops untuk penyandang disabilitas.

Merespon tentang inisiatif tersebut, penyandang disabilitas sebagai salah satu unsur di

masyarakat juga merupakan elemen penunjang keberhasilan SDGs dalam level daerah. Salah

satu keniscayaan yang menjadi harapan, penyandang harus berdaya, memiliki daya saing,

berpengetahuan, dan dapat menerapkan keseimbangan hidup sesuai dengan nilai-nilai SDGs

yang terbingkai dalam sheltered workshops berbasis masyarakat. tulisan ini berisi sumbang

saran mewujudkan sheltered workshops berwawasan SDGs sebagai ajang promosi

mewujudkan kesejahteraan difabel di tingkat desa.

Kata kunci: SDGs (Sustainable Development Goals), Sheltered Workshops, Difabel

Page 57: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 49

A. Pendahuluan

SDGs merupakan semangat baru yang

sangat strategis untuk dapat mengangkat

kesejahteraan difabel karena berfokus pada

pengembangan manusia yang dimulai dari

level terkecil yaitu pemerintah daerah.

Keberhasilan tujuan pembangunan

berkelanjutan ini tidak dapat dipisahkan

dari peranan penting pemerintah daerah

karena lebih dekat dengan warga, memiliki

wewenang, dana, dan dapat melakukan

berbagia inovasi yang diimplementasikan

dalam kebijakan-kebijakan daerah. Tujuan

ini semakin memberi harapan bagi difabel

karena ada banyak tujuan yang

memfokuskan diri bagi pengembangan

kaum marjinal yang saling berkolaborasi,

misalnya saja pengentasan kemiskinan,

pendidikan yang merata dan berkualitas,

pengentasan kelaparan, maupun

pembangunan ekonomi, industri dan

infrastruktur. Harapan akan kesejahteraan

yang semakin mapan ini adalah wajar

terjadi namun akan menjadi impian belaka

jikalau tidak disambut dengan aksi nyata.

Dari pengalaman era MDGs (2000–

2015), Indonesia belum berhasil

mengangkat kesejahteraan difabel

dikarenakan pemerintah daerah tidak aktif

dalam pelaksanaan MDGs.1 Melihat

kenyataan, usaha-usaha yang dilakukan

oleh pegiat difabel dalam memandirikan

dan meningkatkan daya saing difabel

dihadang oleh kendala besar. Pemerintah

daerah dan LSM masih berjalan sendiri-

sendiri, adanya kesenjangan yang belum

teratasi, kurangnya kepedulian masyarakat,

dan minimnya partisipasi difabel dari

1 Hoelman, dkk. (2015). Panduan SDGs untuk

Pemerintah Daerah (Kota dan Kabupaten) dan

Pemangku Kepentingan Daerah. Jakarta: Infid. H. 9 2 UNDP Indonesia. (2015). Konvergensi Agenda

Pembangunan Nawa Cita, RPJMN, dan SDGs.

Jakarta: UNDP Indonesia. H. 4. 3 Dari hasil penelitian FITRA di 48 kabupaten/kota

yang menunjukkan derajat partisipasi masyarakat di

tingkat musrembang selalu tinggi, namun melemah

berbagai aspek kehidupan. Sebagaimana

publikasi BPS2, penduduk terkaya

mengambil lebih dari 48% total presentase

pengeluaran rumah tangga, sementara 40%

penduduk termiskin hanya 17%. Ini

merupakan suatu perubahan signifikan dari

posisi pada awal reformasi yang disebutkan

di atas yakni 45% bagi kelompok kaya dan

19% dari kelompok miskin. Lebih jauh lagi,

secara spasial tiga pulau paling dinamis

(Sumatera, Jawa, dan Bali) mengambil 83%

keseluruhan PDRB pada tahun 2014.

Selain tingginya ketimpangan,

problem partisipasi juga menjadi salah satu

kendala tidak efektifnya program

pembangunan. Penyebabnya ruang

partisipasi yang dibangun cenderung

formalitas dan diskontinyu. Satu-satunya

wahana partisipasi masyarakat yang diakui

pemerintah hanyalah forum musyawarah

rencana pembangunan (musrenbang).

Sekilas forum ini cukup partisipatif karena

masyarakat diberikan hak untuk

mengusulkan program/kegiatan sekaligus

kritik, saran dan masukan terhadap kinerja

pemerintah. Namun ternyata hanya bersifat

formalitas dan palsu karena usulan, kritik

dan saran masyarakat akhirnya diamputasi

ketika proses penganggaran memasuki

internal elit karena di dalam forum tersebut

semuanya sudah bersifat tertutup sehingga

tidak bisa diikuti bahkan dihadiri

masyarakat secara langsung.3 Data yang

diperoleh, tingkat partisipasi difabel dalam

dunia kerja pun rendah. Berdasarkan

penelitian LPEM Fakultas Ekonomi dan

Bisnis Universitas Indonesia pada akhir

2016, estimasi jumlah penyandang

disabilitas di Indonesia mencapai 12,15%

ketika memasuki tahapan lebih tinggi. Lihat Forum

Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Local

Budget Index and Local Budget Study 2010-2011.

Dikutip dari Sucipto, yeni (2013). Akuntabilitas dan

Partisipasi Salah Satu Kegagalan Target MDGs,

Rendahnya Derajat Transparansi. Diunduh dari

http://yennysucipto.blogspot.co.id/2013/01/oleh-

yenny-sucipto-menyoal-berbagai.html pada tanggal

8 Juni 2017.

Page 58: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 50

dari populasi atau hampir 30 juta jiwa. Dari

30 juta tersebut, hanya 51,12% penyandang

disabilitas yang berpartisipasi dalam pasar

kerja. Jumlah tersebut sangat rendah jika

dibandingkan dengan pekerja non-difabel

yang mencapai 70,40%. Bahkan hanya

20,27% penyandang disabilitas kategori

berat yang bekerja.4

Merespon fakta-fakta di atas,

penyelenggara pendidikan bagi

penyandang disabilitas mulai

memperkenalkan batu loncatan yang

membantu siswanya untuk lebih terbiasa

dengan dunia kerja yang secara istilah

disebut sheltered workshops (bengkel kerja

terlindung). Sheltered workshops ini

merupakan harapan baru bagi difabel,

namun pengembangan yang dilakukan oleh

banyak institusi masih memiliki banyak

tantangan. Salah satu kendala yang sering

terjadi adalah minimnya ragam mata

pencaharian dan tidak adanya keberlanjutan

sehingga apa yang dilatih dalam bengkel

kerja tidak laku di masyarakat. Bagi

lembaga yang belum melaksanakan jejaring

atau menindaklanjuti vokasional yang

disediakan lembaga, kadang-kadang

berimplikasi kurang relevansinya antara

keterampilan yang dipelajari oleh lembaga

dengan kegiatan yang dilakukan setelah

menjadi alumni (Mumpuniarti, 2014: 98)5.

Hal ini akan berdampak banyak perusahaan

yang hanya mau menerima pegawai normal

secara fisik karena menganggap

penyandang disabilitas kurang mendukung

tercapainya target secara finansial. Dengan

stigma negatif tersebut, penyandang

disabilitas akan kesulitan dalam

4 Data dilansir dari Haniy, Sakinah Ummu (2016).

Mengapa Partisipasi Penyandang Disabilitas

dalam Bursa Kerja Minim? Diunduh dari

http://www.rappler.com/indonesia/berita/155758-

sebab-solusi-partisipasi-penyandang-disabilitas-

tenaga-kerja pada tanggal 9 Juni 2017. 5 Mumpuniarti, dkk (2014). Efektivitas Program

Pasca Sekolah bagi Kemandirian Penyandang

Disabilitas Intelektual. Jurnal Penelitian dan

Pengembangan Pendidikan Luar Biasa UNY.

Volume 1, No. 2. Desember 2014.

berpartisipasi aktif sehingga menimbulkan

masalah secara sosial dan personal seperti

perasaan tidak berdaya dan tidak berharga

di masyarakat.

Sheltered workshops berwawasan

SDGs menjadi penting dilakukan karena

memiliki berbagai karakteristik yang dapat

menjembatani antara dunia kerja dengan

program-program vokasi yang dilakukan di

sekolah-sekolah dan memiliki paradigma

keberlanjutan. Sheltered workshops ini

mempunyai karakteristik yang bersesuaian

dengan layanan transisi yang dikemukakan

oleh Individuals with Disabilities Act

(IDEA)6, bersifat global, dan bersifat saling

mendukung pada nilai-nilai SDGs sehingga

keberhasilan bisa lebih mudah diraih. SDGs

ini memiliki 17 point, yaitu (1) menghapus

kemiskinan, (2) mengakhiri kelaparan, (3)

kesehatan dan kesejahteraan, (4) kualitas

pendidikan yang baik, (5) kesetaraan

gender, (6) air bersih dan sanitasi, (7) akses

ke energi yang terjangkau, (8) pertumbuhan

ekonomi, (9) inovasi dan infrastrukstur,

(10) mengurangi ketimpangan, (11)

pembangunan berkelanjutan, (12)

konsumsi dan produksi berkelanjutan, (13)

mencegah dampak perubahan iklim, (14)

menjaga sumber daya laut, (15) menjaga

ekosistem darat, (16) perdamaian dan

keadilan, dan (17) revitalisasi kemitraan

global (Infid, 2015). Meskipun terdiri dari

17 point, tetapi pada dasarnya SDGs terbagi

menjadi tiga pilar utama, yaitu

pembangunan manusia, pembangunan

ekonomi sosial, dan pembangunan

lingkungan.

6 Best practice transitions services correlate with

enhanced community living outcomes. Layanan itu

meliputi (1) pengetahuan tentang hubungan filosofi

pendidikan dan pilihan hidup yang tersedia, (2)

perkembangan dari kemampuan self-determination,

(3) ketersediaan partisipasi masyarakat dan

keterampilan membangunnya, (4) fleksibel,

komprehensif, dan hubungan natar lembaga yang

mendukung layanan.

Page 59: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 51

Tuntutan di era kekinian yang

menuntut difabel berdaya merupakan

sebuah keharusan. Difabel sebagai salah

satu bagian dari masyarakat juga

mendapatkan tanggung jawab untuk ikut

serta menyukseskan SDGs dalam lingkup

global yang dimulai dari ranah desa.

Penyandang disabilitas sangat

membutuhkan ruang untuk berdaya,

berkarya, dan berkreasi sehingga dapat

lebih prestatif di era kekinian. Tulisan ini

berupaya menjabarkan sumbang saran

mewujudkan sheltered workshops

berwawasan SDGs untuk mempromosikan

kesejahteraan difabel yang berkelanjutan.

B. Difabel Berdaya di Era Kekinian

1. Memahami Makna Disabilitas:

Persepsi dan Makna

Membaca kisah sejarah penyandang

disabilitas di masa lampau seperti

membuka kisah-kisah kelam. Sebelum

Islam datang, difabel di jazirah Arab

merupakan kaum yang dikucilkan dalam

pergaulan, tidak boleh makan bersama,

hak-hak sipilnya dipasung, dan dikurung.

Sparta membolehkan pembunuhan bayi-

bayi difabel (infanticade). Alasannya

sederhana, orang-orang difabel

berseberangan, dan akan menghalangi

penciptaan negara yang kuat dan sempurna.

Masyarakat Roma pun demikian.

Masyarakat mendambakan pentingnya

kebebasan individu, kebebasan militer, dan

seni perang yang menjadi penyokong

kekokohan Roma. Pembunuhan dan

penghanyutan di Sungai Tiber bayi yang

sakit-sakitan, lemah dan difabel disahkan

oleh negara. Orang-orang kerdil (midget)

dan orang buta sering digunakan sebagai

permainan untuk bertarung dengan

7 Vardit Rispler. (2010). Difabilitas Dalam Hukum

Islam (Disability in Islamic Laws). Israel: The

University of Haifa. h. 3. 8 Amin Abdullah. (2010). Perguruan Tinggi Agama

Islam (PTAI) dan Difabel (Different Ability). Suka

News Edisi VII No. 32/ Maret-April , h. 22.

perempuan atau hewan hingga menjadi

tertawaan banyak orang (Thohari, 2007:

107).

Dalam terminologi Arab, kita akan

sering menemukan label hambatan-

hambatan dari kecatatan yang lebih

spesifik, misalnya a’ma (buta), asamm

(tuli), abkam atau akhras (bisu), a’raj

(pincang), majnun (gila), dan khunta

(berkelamin ganda).7 Menurut Amin

Abdullah (2010) istilah kecatatan ini

sebelumnya lebih dikenal dengan disable

(ketidakmampuan), tapi kemudian

disempurnakan menjadi difabel (different

ability).8 Menurut Kirk (2008: 37)9

seseorang hanya dianggap difabel apabila

memiliki kebutuhan khusus untuk

menyesuaikan program pendidikan dan

sosial. Konotasi difabel menawarkan

penilaian yang lebih bijak, karena

menempatkan orang yang memiliki

hambatan sementara maupun permanen

dalam menjalankan keseharian mereka

dalam perspektif luas dan luwes.

Setidaknya mereka tidak dianggap sebagai

orang yang tidak berguna dan menerima

stereotipe negatif selama hidupnya.

Penggunaan istilah difabel juga mengajak

kita memahami adanya keberagaman dan

menghargai tingkat kemampuan antara satu

orang dan lainnya (Tobroni, 2015: 342).

Konvensi International Hak-Hak

Penyandang Cacat dan Protokol Opsional

Terhadap Konvensi (Resolusi PBB 61/106

13 Desember 2006), mendefinisikan bahwa

Penyandang cacat adalah setiap orang yang

tidak mampu menjamin oleh dirinya

sendiri, seluruh atau sebagian, kebutuhan

individual normal dan/atau kehidupan

sosial, sebagai hasil dari kecatatan mereka,

baik yang bersifat bawaan maupun tidak,

dalam hal kemampuan fisik atau

9 Dalam Jamila Muhammad. (2008). Special

Education for Special Children. Jakarta: Penerbit

Hikmah. h. 37.

Page 60: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 52

mentalnya. Convention on the Rights of

Persons with Disabilities (CRPD)

mendefinisikan disabilitas sebagai hasil

interaksi antara penyandang ketunaan

dengan hambatan sikap dan hambatan

lingkungan yang menghambat partisipasi

mereka secara penuh dan efektif dengan

orang-orang lain di dalam masyarakat atas

dasar kesetaraan. Pengertian dari CRPD

tersebut mengindikasikan bahwa disabilitas

bukan merupakan suatu hambatan bagi

orang-orang yang memiliki kelainan fisik

untuk melakukan berbagai aktifitas seperti

layaknya orang normal. Hanya saja mereka

memiliki cara yang berbeda dalam

melakukan aktifitas tersebut (Saputro,

2015: 4).10

Menurut UU RI No. 8 Tahun 2016

tentang penyandang disabilitas,

penyandang disabilitas adalah setiap orang

yang mengalami keterbatasan fisik,

intelektual, mental, dan/ atau sensorik

dalam waktu lama yang dalam berinteraksi

dengan lingkungan dapat mengalami

hambatan dan kesulitan untuk

berpartisipasi secara penuh dan efektif

dengan warga negara lainnya berdasarkan

kesamaan hak. Difabel menurut

kebutuhannya dapat dibedakan menjadi

lima kategori, yaitu individu dengan

hambatan komunikasi, interaksi dan bahasa

(HKIB); individu dengan hambatan

persepsi, motorik, dan mobilitas (HPMM);

individu dengan hambatan emosi dan

perilaku (HEP); individu dengan hambatan

kecerdasan dan akademik (HKA); dan

individu dengan bakat istimewa dan cerdas

istimewa (CI&BI). Banyak sebutan dan

istilah yang digunakan untuk

mengategorikan difabel. Istilah ini

digunakan untuk membantu dalam

pengumpulan informasi dan membuat

persiapan akses kebutuhan.11 Informasi

10 Sulistyo, Saputro, dkk (2015). Analisis Kebijakan

Pemberdayaan dan Perlindungan Sosial

Penyandang Disabilitas. Jakarta: Deputi Bidang

Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan

Perlindungan Sosial. H. 20.

yang jelas tentang kebutuhan ini akan

membantu dalam pemantauan lingkungan

untuk memastikan keadaan lingkungan

sesuai dengan keadaan penyandang cacat.

Hal ini penting karena tanpa disadari

masyarakat cenderung memandang difabel

dari segi negatif sehingga kebutuhan sosial

yang menyangkut partisipasi dan

penerimaan sosial menjadi tidak terpenuhi.

Sri Moerdiani (1995: 16) menyebutkan

bahwa kelainan sering dipandang dari

ketidakmampuan (disability) dan

merupakan akibat dari suatu yang

ditentukan masyarakat.12 Padahal, difabel

yang menjalani proses sosial terpisah

dengan masyarakat akan mengalami

ketidakseimbangan yang dapat dilihat

dalam kegagalannya memenuhi kebutuhan

diri. Ketidakseimbangan ini akan terlihat

dari kesejahteraan difabel yang kurang dari

segi fisiologis, psikologis, dan sosial.

Kecacatan yang dialami difabel

berdampak langsung pada kondisi

emosional penderita yang bervariasi

tergantung pada derajat kecacatan, waktu

terjadinya kecacatan, derajat keterbatasan

dalam beraktivitas, sikap orang di

sekitarnya, dan sikap dari penyandang cacat

itu sendiri. Reaksi emosional ini akan

bertambah buruk manakala penyandang

cacat tidak mampu melaksanakan fungsi-

fungsi sosial di masyarakat, seperti

ketidakberdayaan ekonomi, keterbatasan

dalam bersosialisasi, dan menurunnya

peran sosial. Akibat kondisi yang demikian,

sangat diperlukan rehabilitasi sosial yang

mengarah pada terbangunnya kesejahteraan

sosial penyandang cacat agar hambatan-

hambatan yang dialami tidak menyebabkan

tergantung dari belas kasihan.

11 Ibid, h. 38. 12 Sri Moerdiani. (1995). Dasar-Dasar Rehabilitasi

dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional. h.16.

Page 61: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 53

Data yang diperoleh13, penyandang

cacat di Indonesia berjumlah 1,48 juta

(0,7% dari total penduduk Indonesia) dan

jumlah penyandang cacat usia sekolah (5-

18 tahun) ada 21,42% dari seluruh

penyandang cacat. Jumlah ini pun akan

semakin bertambah ketika dijumlahkan

dengan seluruh propinsi yang ada di

Indonesia. Berdasar analisa deskriptif

PMKS-BPS dan Depsos14, jumlah

penyandang cacat pada tahun 2020

mencapai 1.830.800. Dari analisis tersebut,

terjadi kenaikan yang cukup signifikan

jumlah penyandang disabilitas dari waktu

kewaktu. Tahun 2003,jumlah penyandang

disabilitas hanya mencapai 0,69% dari

jumlah penduduk, kemudian pada tahun

2006 ternyata meningkat menjadi 1,38%

dan kemudian menurun pada tahun 2009

yaitu sebanyak 0,92% dan kembali naik

pada tahun 2012 yaitu sejumlah 2,45%.

Terdapat dua asumsi yang menilai mengapa

jumlah penyandang disabilitas meningkat

tajam, yang pertama adalah karena

pendataan yang belum akurat sehingga

pada tahun 2003 belum semua penyandang

disabilitas terdata dengan baik. Asumsi

yang kedua menyatakan bahwa karena

banyaknya makan dan polusi udara

menyebabkan banyak janin yang

terkontaminasi yang menyebabkan

terjadinya cacat bawaan (Saputro, 2015: 9).

Terlepas dari kedua asumsi tersebut, angka

penyandang disabilitas tersebut relatif besar

dan semuanya belum bisa tertangani

dengan baik.

Berdasar data, 39,97% penduduk

Indonesia berada pada posisi kecacatan satu

jenis, yang kemudian bertambah menjadi

beberapa kecacatan jenis yang lain. Yaitu

13 Data Susenas 2008, Program Direktorat

Pembinaan SLB Pendidikan Khusus dan

Pendidikan Layanan Khusus. Makalah

pendamping dalam Seminar “Hari Cacat

Internasional” tanggal 4 Desember 2008. 14 Sensus tahun 2000 , Program Direktorat

Pembinaan SLB Pendidikan Khusus dan

Pendidikan Layanan Khusus. Makalah

gangguan dalam penglihatan sebagai jenis

kecacatan tertinggi yaitu 29,63%, diikuti

dengan gangguan atau kesulitan dalam

berjalan atau naik tangga sebanyak 10,26%,

gangguan dalam mendengar 7,87%,

gangguan dalam mengingat dan

berkonsentrasi sebanyak 6,70 % dan

gangguan terendah adalah dalam

berkomunikasi sebanyak 2,74% dan

gangguan dalam mengurus diri sendiri

sebanyak 2,83% (Saputro, 2015: 10). Dari

data-data yang dikemukakan, sebetulnya

Indonesia tidak memiliki data yang pasti

terkait jumlah penyandang disabilitas. Hal

itu terlihat dari tidak adanya

kesinkronisasian antara data dari Badan

Pusat Statistik (BPS) yang sudah berbasis

Internasional dengan data kementerian/

lembaga terkait masalah sosial15. Perbedaan

data tersebut memang belum diverifikasi

kepastiannya, tetapi yang sering terlupakan

adalah tidak jarang keluarga penyandang

disabilitas sering menyembunyikan

anggotanya yang difabel untuk

menghindari rasa malu atau menganggap

orang difabel sebagai aib bagi keluarga

sehingga luput dari sensus. Ketika

pemerintah kurang memberikan ruang

berkarya bagi difabel, maka tidak dapat

dipungkiri ketika difabel tumbuh dewasa

akan menjadi beban karena tidak dapat

bersaing. Difabel akan dianggap sebagai

manusia pinggiran yang mempunyai harkat

martabat rendah. Penyandang cacat sangat

membutuhkan ruang untuk berkarya dan

wadah eksistensi diri sejak dini yang

didukung oleh birokrasi dan peran serta

pendamping dalam Seminar “Hari Cacat

Internasional” tanggal 4 Desember 2008. 15 Data penyandang Disabilitas tidak Singkron

(2015). Diunduh dari

http://www.harianterbit.com/hanterhumaniora/read/

2015/06/30/33803/87/40/Data-Penyandang-

Disabilitas-di-Indonesia-Tidak-Sinkron.

Page 62: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 54

masyarakat yang saling terintegrasi

(Dharma, 2016)16.

2. Kesejahteraan Penyandang

Disabilitas: Antara Harapan dan

Realita

Kesejahteraan adalah suatu tata

kehidupan dan penghidupan yang dapat

menjamin pertumbuhan dan perkembangan

dengan wajar, baik rohani, jasmani,

maupun sosial.17 Dalam kerangka difabel,

kesejahteraan ini berarti penyandang cacat

memperoleh perlindungan pemenuhan

(rohani, jasmani, sosial) dan pemajuan hak

serta martabat.18 Untuk meningkatkan

kesejahteraan sosial difabel, dapat

dilakukan dengan pendekatan yang bersifat

pembinaan dan pengembangan

kesejahteraan sosial yang secara dini dapat

diakses melalui pendidikan yang dilengkapi

dengan fasilitas yang dapat

mengakomodasi kebutuhan dan

hambatannya. Undang-undang No. 8 tahun

2016 dan didukung dengan peraturan

pemerintah No. 43 tahun 1998 tentang

upaya peningkatan kesejahteraan sosial

penyandang disabilitas mengamanatkan,

bahwa pemerintah dan masyarakat

berkewajiban melakukan upaya

kesejahteraan sosial dengan

menyelenggarakan rehabilitasi sosial orang

dengan disabilitas, sehingga dapat memiliki

keterampilan kerja sesuai bakat dan

kemampuannya.19

16

Dwitya Sobat Ady Dharma. (2015).Pendidikan

Pra-Vokasional yang Berkelanjutan untuk

Kemandirian Difabel di Era Masyarakat Ekonomi

ASEAN. Anthology Permitha: Galeri Essay

Mahasiswa Indonesia di Thailand, Desember 2015. 17 Sri Moerdiani. Ibid. h. 18. 18 Konsep ini sesuai dengan isi Konvensi tentang

Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat

Penyandang Cacat (Convention on the Protection

and Promotion of the Rights and Dignity of Person

with Disabilities) tanggal 30 Maret 2007. Lebih

dari 70 negara menandatangani konvensi tersebut. 19 Tjahcoyo, Bambang (2017). Manejemen

Pelatihan Vokasional bagi Penyandang Disabilitas

Sejarah mencatat bahwa peradaban

Islam telah memelopori lahirnya sistem

tulisan bagi kaum tunanetra. Sayangnya,

terobosan penting yang diciptakan ilmuwan

Muslim di abad ke-13 M, Al Amidi, seakan

lenyap ditelan zaman.20 Sejak zaman

keemasan Islam, diskursus pendidikan

inklusi bagi difabel sudah dilakukan oleh

Rasulullah saat itu21. Keinginan tersebut

berawal dari pemikiran bahwa pendidikan

akan membawa perubahan sosial yang

dapat membentuk masyarakat yang madani.

Secara umum terdapat dua penjelasan besar

terhadap perubahan sosial. Pertama, adanya

keyakinan bahwa perubahan sosial

merupakan proses seleksi alam yang

berkembang secara linier dan progresif dari

tahap satu ke tahap yang lain. Kedua,

perubahan sosial itu akan berlangsung

dengan baik dan menjamin semua

kepentingan masyarakat jika ada intervensi,

dengan demikian terjadi perkembangan

linier dan progresif.22 Meskipun kedua

pendapat tersebut akan berujung pada titik

yang sama yaitu perkembangan ke arah

yang lebih baik, perubahan sosial yang

mendapat intervensi akan berkembang

secara lebih terkontrol. Intervensi tersebut

salah satunya dapat dilakukan dengan

lingkungan yang inklusif dan menjadi

bagian dari pola dinamisasi masyarakat.

Pendidikan bagi difabel yang dikenal

saat ini memang pendidikan dalam

paradigma yang sempit dan eksklusif

Daksa. Jurnal Manajemen dan Supervisi

Pendidikan Volume 2, no 1 Maret 2017, hlm. 23. 20 Republika Online. (2006). Peradaban Islam

Pelopor Sistem Penulisan bagi Tunanetra.

http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-

islam/khazanah/08/10/06/7328-peradaban-islam-

pelopor-sistem-penulisan-bagi-tunanetra. diunduh

tanggal 6 Januari 2016. 21 Quraish Shihab. (2009). Tafsir Al-Mishbah.

Jakarta: Lentera Hati. h. 69. 22 Susetiawan. (2010). Kesejahteraan Masyarakat

yang Terpasung: Ketidakberdayaan Para Pihak

Melawan Konstruksi Neoloberalisme. Jurnal

Inovasi, Edisi Khusus Muktamar Satu Abad

Muhammadiyah. h.101.

Page 63: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 55

sehingga tidak efektif dalam menunjang

kesejahteraan difabel. Padahal, pendidikan

bukanlah semata-mata pengajaran di

sekolah khusus yang terpisah dalam ikatan

moral masyarakat (moral obligations)

sebagai nilai kehidupan. Pendidikan terkait

dengan seluruh aspek kehidupan yang

diharapkan mampu membentuk karakter

peserta didik melalui proses sosial dan

budaya. Menurut Tilaar (2004: 65),

pendidikan adalah proses humanisasi dan

proses hominisasi seseorang dalam

kehidupan keluarga, masyarakat yang

berbudaya kini dan masa depan. Berpijak

dari pemikiran tersebut, kebudayaan

(lingkungan sosial) dan pendidikan

mempunyai hubungan timbal balik.

Lingkungan belajar yang merengkuh aspek

kehidupan ini oleh Ki Hajar Dewantara

disebut Tri Pusat Pendidikan (informal,

formal, dan nonformal), kesatuan

lingkungan belajar yang saling terintegrasi

dan berhubungan. Pada masa kenabian,

sistem pendidikan sudah sangat sedemikian

maju yang saling terintegrasi dari rumah,

lingkungan, dan pusat-pusat keagamaan,

misalnya dar al-arqam, masjid, suffah, dan

kuttab.23

Sebagai pusat kegiatan dan

pendidikan, masjid di masa kenabian dapat

dijadikan contoh sebagai masjid yang

antidikriminasi. Masjid diperuntukkan bagi

siapa saja, tidak peduli dengan status sosial,

kesempurnaan fisik, garis keturunan,

23 Muhammad Syafii Antonio. (2009). Muhammad

Saw The Super Leader Super Manager. Jakarta:

Tazkia Publising. H. 196. 24 Amr Ibnul Jamuh adalah ipar dari Abdullah bin

Amr bin Haram, karena menjadi suami dari saudara

perempuan Hindun binti Amar. Ibnul Jamuh

merupakan tokoh penduduk Madinah dan

pemimpin Bani Salamah. 25

Asrul Abdullah. (2013). Ibnu Mas’ud Rujukan

Penghapal Al-Qur’an Pemilik Kaki Terberat.

Diakses dari http://mirajnews.com/2013/11/ibnu-

mas-ud-rujukan-penghapal-al-qur-an-pemilik-kaki-

terberat.html pada tanggal 8 Januari 2016. 26 As-Sunnah Edisi 06/Tahun XII/1429H/2008M.

Julaibib Radhiallahuanhu (Ia Memilih Jihad dan

maupun kekayaan. Islam pun mencatat

sebuah hadist yang sangat menghargai

difabel, Diriwayatkan dari Ibnu Umar,

Rasulullah memiliki dua orang muadzin,

yakni Bilal dan Ibnu Ummi Maktum yang

tunanetra (HR. Muslim). Difabel lain yang

bisa dijadikan contoh adalah Amr Ibnul

Jamuh24 yang cacat kakinya namun

menyebarkan agama Islam di kalangan

penduduk Madinah, Abdullah bin Mas’ud

yang memiliki kaki kecil dan pendek

namun oleh Rasulullah dinilai lebih berat

dibanding Gunung Uhud25, dan Julaibib

yang kerdil, hitam, memiliki kaki pecah-

pecah namun adalah seorang ahli syurga26.

Rentang panjang sejarah Indonesia

pun mencatatkan nama-nama tokoh yang

dengan segala keterbatasannya mampu

menduduki posisi penting. Sebut saja

Abdurrahman Wahid yang mampu menjadi

presiden RI meskipun indera

penglihatannya tidak berfungsi dengan baik

saat menjabat. Dalam dunia pewayangan

pun kita mengenal Raden Destarata yang

buta27, Pandu yang berwajah pucat aneh,

Arjuna yang berjari enam, juga Abiyasa

yang memiliki anak buta dan tunadaksa28.

Selain itu, kisah Punokawan yang

diciptakan oleh Sunan Kalijaga merupakan

sosok difabel, yaitu Gareng (naala qarin)

yang pincang, Petruk (faruq) yang bodoh,

Bagong (bagha) yang gendut dan bermulut

Syahid). Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah

Surakarta, diakses

dari https://almanhaj.or.id/3797-julaibib-

radhiyallahu-anhu-ia-memilih-berjihad-dan-

merindukan-syahid.html. 27

Saharudin Daming. (2016). Komparasi Nilai

Penguatan Hak Penyandang Disabilitas dalam Lex

Posterior dan Lege Priori. Jurnal HAM Vol. XIII.

Tahun 2016. H. 86. 28 Ferdi Arifin. (2014). Ajaran Moral Resi Bisma

dalam Pewayangan. Jantra Jurnal Sejarah dan

Budaya Volume 9, nomor 2, Desember 2014.

Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

H. 100.

Page 64: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 56

lebar, dan Semar (simaar) yang bungkuk.29

Disabilitas dalam sosok Punokawan tidak

membuat mereka terhina, bahkan mereka

lebih dihormati oleh Pandawa Lima karena

Punokawan memiliki kesaktian dan dekat

dengan dewa.

Melihat kadaan fisik sebagai sesuatu

yang tidak menurunkan derajat seseorang,

maka stigma yang muncul adalah perilaku

positif dari masyarakat ketika penyandang

disabilitas dapat berprestasi di lingkungan

yang inklusif. Peran serta masyarakat

berpengaruh besar pada munculnya

kesadaran untuk menghargai dan

memberikan hak yang sama bagi difabel.

Kesadaran ini akan membangun atmosfer

positif sekaligus menghilangkan

diskriminatif sehingga menciptakan

kesejahteraan secara lahir dan batin. Inklusi

ini sejalan dengan perubahan pandangan

dunia modern terhadap difabel dimana

sekarang tidak lagi dianggap orang cacat

dan perlu disantuni, tetapi sebagai individu-

individu yang mandiri, dapat melakukan

keputusan sendiri dan memiliki hak untuk

mendapatkan hak-hak sipilnya.30

Keberhasilan dari pendidikan inklusi

memang harus melibatkan berbagai aspek,

termasuk pelatihan guru, perencanaan

untuk pengembangan, penggunaan

akreditasi, pengadaan sarana yang praktis,

metode pembelajaran, dan motivasi.

Keberhasilan ini juga akan berbanding

lurus dengan penormalan difabel dalam

masyarakat. Thomas dan Pierson (1996)31

mendefinisikan normalisasi sebagai konsep

yang memberi penekanan terhadap

29

Sunan Kalijaga menciptakan punakawan sebagai

sarana menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

Semar diperkirakan berasal dari bahasa Arab,

yaitu simaar atau ismarun yang berarti paku.

Gareng berasal dari kata naala qarin yang artinya

memperoleh banyak kawan. Petruk dari

kata faruk yang artinya tinggalkan yang jelek.

Barong berasal dari kata bagha yang artinya

pertimbangan makna dan rasa antara yang baik dan

buruk serta yang benar dan salah. Bagong berasal

dari kata baqa’ yang berarti kekal. Lebih lengkap

keinginan individu difabel untuk hidup

dengan cara hidup yang hampir sama

dengan anak normal. Penormalan ini bukan

bertujuan untuk menjadikan difabel normal

atau memberi perawatan. Penormalan ini

berkaitan dengan cara perlakuan, baik

dalam memanggil dan berbicara, aktivitas

yang mudah diakses, kehidupan sosial,

maupun perlakuan yang antidiskriminasi.

C. Sheltered Workshops Berwawasan

SDGs (Sustainable Development

Goals)

Sebanyak 17 Tujuan Pembangunan

Perkelanjutan (SDGs) dan 169 target yang

diumumkan menunjukkan skala dan ambisi

dari agenda universal yang baru. Butir-butir

tersebut dibangun berdasarkan Tujuan

Pembangunan Millenium (MDGs) dan

melengkapi apa yang belum sempat

tercapai. Butiran tersebut juga menjunjung

tinggi hak asasi manusia dan untuk

mencapai kesetaraan gender,

pemberdayaan perempuan, baik tua

maupun muda (Kutesa, 2015). Tujuan

tersebut seluruhnya terintegrasi dan tidak

dapat dipisahkan, juga menyeimbangkan

tiga dimensi pembangunan berkelanjutan:

ekonomi, sosial dan lingkungan. Sifat

saling berhubungan dan terintegrasi dari

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

(SDGs) adalah sangat penting dalam

memastikan bahwa maksud dari agenda

baru ini dapat terealisasi, terutama untuk

pemberdayaan penyandang disabilitas yang

memang menjadi salah satu kelompok yang

dapat dibaca di artikel Semar dalam Misi Agama

Islam : Wayang Kulit dalam perspektif Religi

karangan Febri Hermawan. Diakses di

https://febrihermawan.wordpress.com/2012/10/30/s

emar-dalam-misi-agama-islam-wayang-kulit-

dalam-perspektif-religi/ 30 Menggugat Perpektif Normalisme dan Keadilan

bagi Difabel. Komunitas, Volume II No. 1-April

2010, h. 4. 31 Jamila Muhammad. (2008). Special Education

for Special Children. Jakarta: Penerbit Hikmah.

Hlm. 207.

Page 65: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 57

mendapatkan perhatian di dalam inisiatif

SDGs.

Membuat peta dampak sangat penting

untuk menentukan pemahaman, posisi

sheltered workshops, dan point SDGs yang

menjadi prioritas. Dari dampak yang

tertinggi tersebut, identifikasi satu atau

lebih indikator yang paling mencerminkan

hubungan antara sheltered wokshops

dengan point SDGs tersebut. Sheltered

workshops yang dibuat adalah bengkel

kerja nyata yang ditujukan bagi kaum

difabel agar dapat bekerja dalam satu tim

dan dapat berinteraksi dengan nondifabel.

Sheltered workshops mempunyai peranan

untuk menyediakan tempat bagi kaum

difabel agar dapat bekerja sebagai tim

dengan kaum difabel lain tidak terkecuali

nondifabel agar dapat terwujud kesetaraan

dalam dunia kerja, meningkatkan

produktifitas dan kemandirian kaum difabel

melalui kerja nyata dan penjualan langsung

dan berinteraksi dengan pembeli baik kaum

difabel sendiri maupun nondifabel,

mengadakan kerjasama dengan perusahaan

dan instansi yang berhubungan dengan

dunia kerja agar kaum difabel dapat

terserap dalam bidang pekerjaan yang lebih

luas (Bahar, 2016: 3).

Dalam kaitannya dengan

pengernbangan keterampilan vokasional

untuk penyandang ketunaan ini, (Suparno,

2009: 15) menyarankan adanya beberapa

program awal yang harus dilakukan, yaitu

(a) mernberikan pelatihan dan bimbingan

untuk mengembangkan kebiasaan-

kebiasaan positive, sikap, dan nilai-nilai

kerja dalam kehidupan sehari-hari, (b)

memberikan latihan dan bimbingan untuk

rnenjalin dan mempertahankan hubungan

dalam keluarga, masyarakat, dan

lingkungan kerja, (c) memberikan latihan

dan bimbingan penyadaran akan alternatif

pekerjaan, (d) memberikan latihan yang

32 UNGC (2015). SDG Compass The Guide for

Business Action on the SDGs. Diunduh dari

http://sdgcompass.org/wp-

berorientasi pada dunia kerja yang realistik,

sebagai produsen dan sebagai konsumen,

dan (e) memberikan latihan kerja secara

nyata dalam kehidupan sehar-hari.

Pengernbangan keterarnpilan vokasional

harus dimulai dengan hal-hal yang paling

sederhana dan konkret. Hal tersebut penting

dilakukan, terutama untuk menyesuaikan

dengan kondisi kelainan masing-masing

individu.

1. Prinsip Sheltered Worskhops

berwawasan SDG

Hal pertama yang harus

diperhatikan dalam mengkaitkan

SDGs dengan inisiatif sheltered

workshops adalah pemahaman

tentang konsep keberlanjutan

(sustainable) yang kemudian

diejawantahkan ke dalam

program-program kerja yang

bersifat lokal. Sheltered

workshops yang bernuansa

keberlanjutan harus dibangun

dengan memperhatikan empat

aspek penting yaitu aspek sosial,

aspek ekonomi, aspek lingkungan,

dan tata kelola (kemitraan). Aspek

sosial (human development)

meliputi, pemerataan, kesehatan,

pendidikan, keamanan,

perumahan, dan kependudukan.

Aspek ekonomi (green economy)

meliputi struktur ekonomi dan

pola konsumsi serta produksi.

Aspek lingkungan meliputi tanah,

atmosfer, pesisi, laut, air bersih,

dan keanekaragaman hayati. Tata

kelola meliputi kerangka

kelembagaan (lembaga,

keterhubungan, dan rules) dan

kapasitas (lembaga dan SDM).

UNGC (SDGs Compass, 2015:

14)32 menyebutkan bahwa ada

model yang lebih sederhana dalam

content/uploads/2015/12/019104_SDG_Compass_

Guide_2015.pdf pada tanggal 12 Juni 2017.

Page 66: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 58

pengimplementasian SDG, yaitu

memperhatikan aspek input,

aktivitas, output, outcomes, dan

dampak dari kegiatan.

Kriteria pokok untuk

menyusun Rencana Aksi

(Renaksi) SDGs daerah ada dua

yaitu: (a) keadilan substantif, yaitu

sejauh mana prioritas dan program

mampu menjawab kebutuhan

warga sebagaimana ditetapkan

oleh dokumen SDGs dengan 17

Tujuan dan 169 Sasaran SDGs; (b)

keadilan prosedural, yaitu sejauh

mana warga dan para pemangku

kepentingan terlibat dalam

penyusunan rencana aksi, bukan

hanya tokoh masyarakat dan

mereka yang berpengaruh.

Artinya, dokumen Renaksi SDGs

perlu disusun secara terbuka,

konsultatif dan partisipatif,

termasuk melibatkan kaum

perempuan, kelompok minoritas,

dan kaum marjinal. SDGs adalah

milik dan tanggung jawab semua

pihak, bukan hanya pemerintah

pusat dan kelompok masyarakat

sipil semata. Pemerintah

kabupaten dan kota merupakan

ujung tombak realisasi SDGs.

Tanpa peran aktif, maka SDGs

hanya akan gagal atau tercapai

sepertiganya (Infid, 2015: 55).

2. Kurikulum Vokasi bagi

Penyandang Disabilitas

Kurikulum vokasi yang

berkelanjutan bagi penyandang

disabilitas sangat bergantung pada

jenis hambatan yang dialami.

Mengetahui derajat disabilitas

sangat penting untuk menentukan

treatmen sekaligus sebagai sarana

pijakan awal menentukan

indikator keberhasilan.

Pembahasan derajat disabilitas ini

dapat digabungkan dengan jenis

disabilitas yang dialami agar

program yang dirancang dapat

bernilai guna dan berkelanjutan.

Jenis dan kriteria penyandang

disabilitas, apabila dibedakan

berdasarkan derajat kecacatan

maka kaum disabilitas dibedakan

menjadi (Saputro, 2015: 38)

a. Derajat 1 : mampu

melaksanakan aktifitas atau

mempertahankan sikap

dengan kesulitan.

b. Derajat 2 : mampu

melaksanakan kegiatan atau

mempertahankan sikap

dengan bantuan alat bantu.

c. Derajat 3 : dalam

melaksanakan aktifitas,

sebagian memerlukan

bantuan orang lain dengan

atau tanpa alat bantu

d. Derajat 4 : dalam

melaksanakan aktifitas

tergantung penuh terhadap

pengawasan orang lain

e. Derajat 5 : tidak mampu

melakukan aktifitas tanpa

bantuan penuh orang lain

dan tersedianya lingkungan

khusus.

f. Derajat 6 : tidak mampu

penuh melaksanakan

kegiatan sehari-hari

meskipun dibantu penuh

orang lain.

3. Langkah Strategis yang

Partisipatif

Spirit UU No. 6 tahun 2014

tentang desa, terutama yang

disebutkan pada pasal 3 tentang asas

partisipasi dan kesetaraan dalam

Page 67: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 59

pembangunan desa, menjadi sebuah

momentum pemerintah desa untuk

membuka akses seluas-luasnya bagi

seluruh kelompok untuk terlibat

dalam merumuskan kebijakan

pembangunan desa (Syaifudin,

2017: 123). Pemerintah desa juga

harus merespon perkembangan

jumlah penyandang disabilitas yang

semakin tahun semakin banyak dan

parahnya disabilitas merupakan

salah satu pihak yang rentan dalam

pertumbuhan ekonomi. Banyaknya

penyandang disabilitas yang kurang

mampu bersaing di era kekinian ini

lebih disebabkan karena

permasalahan struktural yang ada di

lingkungan. Perlu adanya langkah

strategis yang berpusat pada desa

yang dapat dilakukan untuk

memperluas akses penyandang

disabilitas agar berdaya.

Langkah pemecahan strategis

dapat dilakukan dengan menyentuh

tiga dimensi, yaitu secara

individual, kultural, dan struktural.

Secara individual, dapat dilakukan

dengan pemahaman akan kekuatan

diri, kelemahan diri, dan tantangan

dengan cara pelatihan dan

pendekatan personal. Pelatihan

dikatakan kontekstual dengan

penyandang disabilitas apabila

sesuai dengan karakteristiknya.

Penerapan pendekatan personal

dilakukan dengan cara mengaitkan

konten training dengan situasi dunia

nyata untuk membuat hubungan

antara pengetahuan dengan

kehidupan sehari-hari. Proses

memahamkan makna konten yang

dipelajari dengan cara

menghubungkannya dengan

33 Sri Moerdiani. (1995). Dasar-Dasar Rehabilitasi

dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional. h.16.

konteks kehidupan dan lingkungan

sekitarnya.

Training ini akan dibuat

menjadi kegiatan yang

menyenangkan, yang dapat

membuat penyandang disabilitas

berpikir logis dan mampu

mengeluarkan ide-idenya dalam

menyelesaikan permasalahan yang

diberikan. Tutor harus mampu

mengembangkan organisasi

instruksional termasuk di dalamnya

kemampuan menyelidiki sumber

belajar dan seleksi untuk penerapan

instruksional, di samping

penguasaan konten. Konten yang

diajarkan dapat berupa pendidikan

kewirausahaan yang berisi

kumpulan pengetahuan yang terkait

dengan upaya pemahaman diri

bahwa setiap orang harus berkreasi,

berdaya, dan bermakna bagi diri

sendiri dan lingkungan.

Dalam konteks kultural,

eksistensi penyandang disabilitas

yang semakin tenggelam dalam

program kerja tidak hanya dilihat

semata-mata dari keadaan

penyandang disabilitas itu sendiri.

Kondisi penyandang disabilitas

yang semakin terpuruk ini justru

lebih disebabkan oleh faktor

eksternal. Tanpa disadari

masyarakat cenderung memandang

difabel dari segi negatif sehingga

kebutuhan sosial yang terkait

partisipasi dan penerimaan sosial

menjadi tidak terpenuhi. Meyerson

(1980) dalam Sri Moerdiani (1995:

16) menyebutkan bahwa kelainan

sering dipandang dari

ketidakmampuan (disability) dan

merupakan akibat dari suatu yang

ditentukan masyarakat.33 Padahal,

Page 68: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 60

difabel yang menjalani proses sosial

terpisah dengan masyarakat akan

mengalami ketidakseimbangan

yang dapat dilihat dalam

kegagalannya memenuhi kebutuhan

secara fisiologis, psikologis

maupun sosial. Oleh karena itu,

memperluas akses aktualisasi

prestasi penyandang disabilitas hal

yang mutlak dilakukan.

Dalam dimensi struktural,

masyarakat harus aktif dalam

advokasi kebijakan publik yang

tidak berpihak pada penyandang

tunanetra. Apalagi permasalahan

kecacatan kini tak lagi dipandang

dalam dimensi kesehatan, namun

lebih ditekankan pada dimensi

sosial. Hal ini diperjelas dalam

Undang-undang Nomor 11 Tahun

2009 tentang Kesejahteraan Sosial

dan Keputusan Mensos Nomor

82/HUK/2005 tentang Tugas dan

Tata Kerja Departemen Sosial yang

menyatakan bahwa titik tekan

penanganan permasalahan

disabilitas di Indonesia

diselenggarakan oleh Kementerian

Sosial RI. Akibatnya, program-

program yang bersifat

pemberdayaan menjadi menarik

untuk dikembangkan, seperti

pemulihan ekonomi, pembangunan

sarana umum yang aksesibel bagi

penyandang disabiltas, maupun

rapat kebijakan publik yang

merangkul semua untuk ikut

berpartisipasi aktif dalam

pengambilan keputusan.

konsekuensinya, keterlibatan

penyandang tunanetra dalam sektor

pembangunan publik bukan hanya

sebagai penerima pasif dari manfaat

pembangunan melainkan sebagai

pelaku aktif dari pembangunan.

Implementasi UU Desa yang

diharapkan mampu mempercepat

terwujudnya pembangunan desa

yang inklusif dan berkeadilan bagi

kelompok penyandang disabilitas,

perlu dirumuskan langkah-langkah

strategis yang perlu dibangun secara

sinergis, yaitu (1) memastikan

proses atau siklus pembangunan

desa harus melibatkan difabel, (2)

memastikan adanya program dan

anggaran bagi difabel di desa baik

secara inklusif dan khusus, (3)

mendorong keterwakilan difabel di

ruang publik (RT, RW, BPD,

Perangkat Desa), (4) keterlibatan

kelompok difabel dalam

mengontrol pembangunan, (5)

mewujudkan layanan publik yang

aksesibel bagi difabel di tingkat

desa baik fisik dan non-fisik, (6)

mendorong kesadaran kritis difabel

di tingkat basis melalui organisasi

atau kumpulan, (7) mendorong

keterlibatan organisasi difabel

dalam melakukan advokasi,

edukasi, dan pendampingan di

tingkat basis (Syaifudin, 2017:

126).

Rekomendasi ini

menggambarkan wacana yang

holistik sehingga dapat

menyelesaikan persoalan secara

utuh dan mendasar. Harapan dari

semua ini adalah terciptanya situasi

sosial yang tak lagi memandang

penyandang disabilitas dari

ketidaberdayaannya. Oleh karena

itu adalah keniscayaan bagi kita

untuk menggandeng seluruh elemen

masyarakat dalam proses

membangun tatanan yang lebih baik

karena hasil terbaik selalu dari hasil

kerja kolektif.

D. Kesimpulan

Untuk dapat menciptakan

sheltered workshops berwawasan SDGs,

diperlukan pemahaman tentang

keberlanjutan, pemahaman tentang

Page 69: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 61

keadaan penyandang disabilitas, dan

sinergi dari berbagai elemen. Sheltered

workshops yang dirancang dengan

nuansa SDGs akan memberikan dampak

positif bagi penyandang disabilitas,

seperti kesejahteraan yang

berkelanjutan. Implementasi sheltered

workshops dapat dilakukan dengan

menentukan langkah strategis yang

menyentuh tiga dimensi, yaitu secara

individual, kultural, dan struktural.

Sheltered workshops berwawasan SDGs

ini merupakan salah satu inisiatif yang

menarik sehingga diharapkan

penyandang disabilitas dapat berdaya

dan dapat menjadi salah satu faktor yang

ikut menyukseskan keberhasilan SDGs

selama 15 tahun ke depan.

.

Daftar Pustaka

Buku, Jurnal, Penelitian, dan Majalah

Abdullah, Amin. (2010). Perguruan Tinggi

Agama (PTAI) dan Difabel (Different

Ability). Suka News Edisi VII No. 32/

Maret-April.

Antonio, Muhammad Syafii. (2009).

Muhammad Saw The Super Leader

Super Manager. Jakarta: Tazkia

Publising

Arifin, Ferdi. (2014). Ajaran Moral Resi

Bisma dalam Pewayangan. Jantra

Jurnal Sejarah dan Budaya Volume 9,

nomor 2, Desember 2014. Jakarta:

Kementrian Pendidikan dan

Kebudayaan.

Bahar, Syamsuddin. (2016). Sheltered

Workshop di Surakarta. Publikasi

Ilmiah Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

Daming, Saharudin. (2016). Komparasi

Nilai Penguatan Hak Penyandang

Disabilitas dalam Lex Posterior dan

Lege Priori. Jurnal HAM Vol. XIII.

Tahun 2016.

Dharma, Dwitya Sobat Ady.

(2015).Pendidikan Pra-Vokasional

yang Berkelanjutan untuk

Kemandirian Difabel di Era

Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Anthology Permitha: Galeri Essay

Mahasiswa Indonesia di Thailand,

Desember 2015.

Dikdasmen Depdiknas. (2003). Surat

Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas

No. 380/C.C6/MN/2003.

Dirjen Pendidikan Luar Biasa. (2009).

Informasi Pendidikan Inklusi.

Jakarta: Departemen Pendidikan

Nasional.

. (2008).

Program Direktorat Pembinaan SLB

Tahun 2008 Pendidikan Khusus dan

Layanan Khusus. Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional.

Hermanto. (2010). Revitalisasi Peran

Lembaga Pendidikan dalam

Mewujudkan Hak Difabel. Makalah

disampaikan dalam Diskusi Publik

Bertemakan “Menggugat Perspektif

’Normalisme’ dan Keadilan bagi

Difabel” tanggal 8 April 2010.

Hoelman, dkk. (2015). Panduan SDGs

untuk Pemerintah Daerah (Kota dan

Kabupaten) dan Pemangku

Kepentingan Daerah. Jakarta: Infid.

Kutesa, Sam K (2015). Dokumen Hasil

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Jakarta: Infid

Majalah Komunitas. (2010). Menggugat

Perpektif Normalisme dan Keadilan

bagi Difabel. Volume II No. 1-April

2010.

Muhammad, Jamila. (2008). Special

Education for Special Children.

Jakarta: Penerbit Hikmah.

Moerdiani, Sri. (1995). Dasar-Dasar

Rehabilitasi dan Pekerjaan Sosial.

Jakarta: Departemen Pendidikan

Nasional.

Mumpuniarti, dkk. (2014). Efektifitas

Program Pasca Sekolah bagi

Kemandirian Penyandang

Disabilitas Intelektual. Jurnal

Penelitian dan Pengembangan

Pendidikan Luar Biasa Universitas

Page 70: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 62

Negeri Malang Volume 1 Nomor 2

Desember 2014.

Mustafa, Asy-Syaikh Fuhaim. (2004).

Manhaj Pendidikan Anak Muslim.

Jakarta: Mustaqim.

Rispler, Vardit. (2010). Disabilitas Dalam

Hukum Islam (Disability in Islamic

Laws). Israel: The University of

Haifa.

Saputro, Sulistyo dkk. (2015). Analisis

Kebijakan Pemberdayaan dan

Perlindungan Sosial Penyandang

Disabilitas. Jakarta: Deputi Bidang

Kooordinasi Penanggulangan

Kemiskinan dan Perlindungan Sosial.

Suparno. (2009). Pengembangan

Keteranilan Vokasional Produktif

bagi Penyandang Tunarungu Pasca

Sekolah melalui Model Sheltered

Workshop Berbasis Masyarakat.

Jurnal Pendidikan Khusus

Pendidikan Luar Biasa Universitas

Negeri Yogyakarta vol 5 no 2

November 2009.

Sutarto (2014). Critical Issues and

Challanges of Vocational Education

Quality Development in Indonesia.

Makalah disampaikan pada

International Congress for School

Effectiveness and Improvement

(ICSEI). Yogyakarta, 2-7 Januari

2014.

Susetiawan. (2010). Kesejahteraan

Masyarakat yang Terpasung:

Ketidakberdayaan Para Pihak

Melawan Konstruksi

Neoloberalisme. Jurnal Inovasi,

Edisi Khusus Muktamar Satu Abad

Muhammadiyah.

Syaifudin, Muhammad. (2015).

Implementasi Undang-Undang Desa

dan Hak Difabel. Solo: PPRBM.

Thohari, Slamet (2007). Menimbang

Difabelisme sebagai kritik Sosial.

Mozaik Jurnal Ilmu Humaniora Vol

2 No 2 Desember 2007.

Tobroni, Faiq. (2015). Urgensi Proses

Peradilan Afirmatif bagi Perempuan

Difabel Korban Pemerkosaan. Jurnal

Yudisial vol. 8 no. 3 Desember

2015.

Tjahcoyo, Bambang (2017). Manejemen

Pelatihan Vokasional bagi

Penyandang Disabilitas Daksa.

Jurnal Manajemen dan Supervisi

Pendidikan Volume 2, no 1 Maret

2017.

UNDP . (2015). Konvergensi Agenda

Pembangunan Nawa Cita, RPJMN,

dan SDGs. Jakarta: UNDP Indonesia

Widiarto, Nova. (2007) Paradigma Baru

Pendidikan Luar Biasa, makalah

dalam seminar Seminar Nasional

dalam rangka memperingati Hari

Penyandang Cacat Internasional

dengan tema “Pendidikan Khusus vs

Pendidikan Layanan Khusus.”

Tanggal 8 Desember 2007.

Internet

Abdullah, Asrul. (2013). Ibnu Mas’ud

Rujukan Penghapal Al-Qur’an

Pemilik Kaki Terberat. Diakses dari

http://mirajnews.com/2013/11/ibnu-

mas-ud-rujukan-penghapal-al-qur-

an-pemilik-kaki-terberat.html pada

tanggal 8 Januari 2016.

Haniy, Sakinah Ummu (2016). Mengapa

Partisipasi Penyandang Disabilitas

dalam Bursa Kerja Minim? Diunduh

dari

http://www.rappler.com/indonesia/be

rita/155758-sebab-solusi-partisipasi-

penyandang-disabilitas-tenaga-kerja

pada tanggal 9 Juni 2017.

Hermawan, Febri. (2012). Semar dalam

Misi Agama Islam : Wayang Kulit

dalam perspektif Religi. Diakses di

https://febrihermawan.wordpress.co

Page 71: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 63

m/2012/10/30/semar-dalam-misi-

agama-islam-wayang-kulit-dalam-

perspektif-religi/ tanggal 8 Januari

2016.

Kementrian Pendidikan Nasional. (2009).

Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Indonesia No 70 tahun

2009. Diunduh dari

http://www.kopertis12.or.id/wp-

content/uploads/2013/07/Permen-

No.-70-2009-tentang-pendidiian-

inklusif-memiliki-kelainan-

kecerdasan.pdf pada tanggal 7

Januari 2017.

Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun

XII/1429H/2008M. Julaibib

Radhiallahuanhu (Ia Memilih Jihad

dan Syahid). Diterbitkan Yayasan

Lajnah Istiqomah Surakarta, diakses

dari https://almanhaj.or.id/3797-

julaibib-radhiyallahu-anhu-ia-

memilih-berjihad-dan-merindukan-

syahid.html. pada tanggal 2 Januari

2016.

Republika Online. (2006). Peradaban

Islam Pelopor Sistem Penulisan bagi

Tunanetra.

http://www.republika.co.id/berita/en

siklopedia-

islam/khazanah/08/10/06/7328-

peradaban-islam-pelopor-sistem-

penulisan-bagi-tunanetra. diunduh

tanggal 6 Januari 2016.

Sucipto, Yeni (2013). Akuntabilitas dan

Partisipasi Salah Satu Kegagalan

Target MDGs, Rendahnya Derajat

Transparansi. Diunduh dari

http://yennysucipto.blogspot.co.id/20

13/01/oleh-yenny-sucipto-menyoal-

berbagai.html pada tanggal 8 Juni

2017.

UNGC (2015). SDG Compass The Guide

for Business Action on the SDGs.

Diunduh dari

http://sdgcompass.org/wp

content/uploads/2015/12/019104_SD

G_Compass_Guide_2015.pdf pada

tanggal 12 Juni 2017.

Page 72: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 64

PERLINDUNGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Isti Rusdiyani

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan Serang Banten

Email: [email protected]

ABSTRACT

Children with special needs are children who are experiencing limitations or

extraordinary, whether physical, mental, intellectual, social or emotional that is in the process

of growth or development with other children of his age.

Problems that often occur in children with special needs that relate to various issues

including: Children with special needs in government policy, Convention on the Rights of

Persons with Disabilities , Socio-Cultural, Legal Protection for children with special needs

and education for children with special needs.

In social life they have the same rights as other children. But there are still often

differences in the treatment of children with special needs. While the government has arranged

matters relating to children with special needs in the form of legislation, to accommodate

children with special needs, but not yet implemented properly, then reinforcement is needed

for protection from many things among others through Parents, Society and Government.

Keywords: Protection, Children with Special Needs

Page 73: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 65

PENDAHULUAN

Anak adalah amanah dari Allah

SWT yang darus dijaga dan diperlakukan

dengan sebaik mungkin. Anak merupakan

generasi penerus keluarga, penerus bangsa

dan penerus peradaban.Anak juga

merupakan harapan bagi orang tua,

sehingga orang tua diharapkan dapat

mempersiapakan anaknya sebaik mungkin

untuk masa depannya. Kata-kata bijak

harapan orang tua adalah We may not be

able to prepare the future for our children,

but we can at least prepare our children for

the future (Franklin D. Roosevelf). Kita

mungkin tidak dapat menyiapkan masa

depan untuk anak kita, tetapi setidaknya

kita bisa menyiapkan anak kita untuk masa

depan.

Saat ini, pembangunan SDM di

Indonesia memiliki hambatan yang sangat

mendasar, antara lain sekitar 10% anak usia

dini mengalami stunting (keterhambatan),

mengalami disabilitas fisik dan disabilitas

intelektual, dan adanya anak-anak yang

mengalami hambatan tumbuh kembang

karena hambatan fisik, mental, motorik,

dan sensoris. Anak berkebutuhan khusus

tersebut dinilai masih rentan mendapatkan

kekerasan dan perlakuan yang salah, karena

itu, penanganan anak berkebutuhan khusus

memerlukan keberpihakan kultural dan

struktural dari berbagai pihak baik

orangtua, masyarakat, dan pemerintah.

Kalau tidak dipecahkan bersama,

hambatan-hambatan tersebut akan

menimbulkan masalah pengembangan

Sumber Daya Manusia, oleh sebab itu anak

usia dini harus sedini mungkin

mendapatkan layanan pendidikan dan

perlindungan yang memadahi.

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Anak Berkebutuhan Khusus adalah

anak yang mengalami keterbatasan atau

keluarbiasaan, baik fisik, mental

intelektual, sosial maupun emosional yang

berpengaruh secara signifikan dalam proses

pertumbuhan atau perkembangannya

dibandingkan dengan anak-anak lain yang

seusianya (Pranawati, Rita, 2015). Anak

Berkebutuhan Khusus disebut sebagai anak

penyandang Disabilitas.

Berdasarkan dari data yang

terhimpun dari berbagai sumber dinyatakan

bahwa: (1) 15% dari penduduk dunia

adalah penyandang disabilitas; (2)

Penyandang disabilitas lebih rentan

terhadapkemiskinan; (3) penyandang

disabilitas perempuan lebih rentan

dibanding laki-laki: (4) Penyandang

disabilitas sering terkucil dari pendidikan,

pelatihan kejuruan dan peluang kerja: (5)

lebih dari 90% anak disabilitas di negara

Page 74: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 66

berkembang tidak bersekolah (Pranawati,

Rita, 2015).

Adapun yang tegolong Anak

berkebutuhan Khusus dibagi dalam

beberapatipeKebutuhan Khusus antara lain:

1. Tunanetra

Menurut Kaufman & Hallahan

(1986) yang dimaksud tunanetra

adalah individu yang memiliki

lemah penglihatan atau akurasi

penglihatan kurang dari 6/60

setelah dikoreksi atau tidak lagi

memiliki penglihatan

2. Tunarungu

Suatu keadaan individu-individu

yang pendengarannya cacat dan

kalau mengutarakan buah pikiran

atau pendapat dengan bicara atau

bunyi lain menyesuaikan dengan

frekuensi dan intensitasnya

(Moores,1991 dalam Kaufman &

Hallahan, 2006)

3. Tunagrahita

Dalam bahasa inggris anak

tunagrahita disebut mentally

retarded atau mentally retardation

adalah ketidakmampuan

memecahkan persoalan disebabkan

kecerdasan kurang berkembang

serta kemampuan adaptasi perilaku

terhambat. Definisi Anak

Tunagrahita“Anak dengan

keterbelakangan mental mengacu

pada adanya keterbatasan dalam

perkembangan fungsional (Delphie,

Bandi, 2005: 61-62)

4. Tunadaksa

Menurut White House Conference

(dalamSomantri, S, 2007: 121)

menyatakan bahwa tunadaksa

berarti suatu keadaan rusak atau

terganggu sebagai akibat gangguan

bentuk atau hambatan pada tulang,

otot, atau sendi dalamfungsinya

yang normal. Kondisi ini dapat

disebabkan oleh penyakit atau

kecelakaan, atau dapat juga

disebabkan oleh pembawaan sejak

lahir

5. Tunalaras

Individu yang mengalami

hambatan dalam mengendalikan

emosi dan kontrol sosial. Individu

tunalaras biasanya menunjukkan

perilaku menyimpang yang tidak

sesuai dengan norma dan aturan

yang berlaku disekitarnya

(Mudjito, 2013:30)

6. Kesulitan belajar

Kesulitan belajar atau learning

disabilities yang biasa disebut

istilah learning disorder

Page 75: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 67

ataulearning dificulty adalah suatu

kelainan yang membuat individu

bersangkutan sulit untuk melakukan

kegiatan secara efektif (Jamaris,

Martini, 2013:3). Senada dengan

pendapat Abdurrahman, Mulyono

(2009:6) menyatakan bahwa

kesulitan belajar adalah suatu

gangguan dalam satu atau lebih dari

proses psikologis dasar yang

mencakup pemahaman dan

penggunaan bahasa ujaran atau

tulisan.

KOMITMEN PEMERINTAH DAN

DUNIA TERHADAP ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS

Langkah perlindungan khusus

diperlukan karena anak merupakan

individu yang belum matang baik secara

fisik, mental, maupun sosial dan kondisi

rentan terhadap tindak eksploitasi,

kekerasan dan penelantaran. Anak

Berkebutuhan Khusus Secara Yuridis

diakomodir melalui berbagai komitmen,

baik secara Nasional dan secara

Internasional

1. Komitmen Nasional

Hak-hak anak yang dimiliki anak

berkebutuhan khusus berdasarkan

landasan Yuridis Formal melalui

berbagai peraturan perundangan yang

tergambar sebagai berikut:

Gambar 1. Landasan Yuridis anak

berkebutuhan khusus (Didaptasi dari

www.membumikanpendidikan.com/hak-

hak-yang-dimiliki-anak-

berkebutuhan.html)

Penjelasan dari perundangan tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Undang-undang Dasar 1945

(Amandemen)

Pasal 31ayat (1) Setiap warga negara

berhak mendapat pendidikandan ayat

(2): Setiap warga negara wajib

mengikuti pendidikan dasar dan

pemerintah wajib membiayainya.

b. UU No. 20 tahun 2003 Sistem

Pendidikan Nasional

Pasal 3

Pendidikan Nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam dalam

rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertaqwa

Page 76: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 68

kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berahlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab.

Pasal 5 Ayat: (1): Setiap warga negara

mempunyai hak yang sama untuk

memperoleh pendidikan yang bermutu

ayat (2): Warga negara yang mempunyai

kelainan fisik, emosional, mental,

intelektual, dan/atau sosial berhak

memperoleh pendidikan khusus

ayat (3) : Warga negara di daerah

terpencil atau terbelakang serta

masyarakat adat yang terpencil berhak

memperoleh pendidikan layanan khusus

ayat (4) : Warga negara yang memiliki

potensi kecerdasan dan istimewa berhak

memperoleh pendidikan khusus.

Pasal 32 ayat (1): Pendidikan khusus

merupakan merupakan pendidikan bagi

peserta peserta didik yang memiliki

tingkat kesulitan dalam mengikuti

proses pembelajaran karena kelainan

fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau

memiliki potensi kecerdasan dan bakat

istimewa.

Ayat (2): Pendidikan layanan khusus

merupakan pendidikan bagi peserta

didik di daerah terpencil atau

terbelakang, masyarakat adat yang

terpencil, dan/atau mengalami bencana

alam, bencana sosial, dan tidak mampu

dari segi ekonomi.

c. UU No. 23 tahun tahun 2002 tentang

Perlindungan Perlindungan Anak

Pasal 48Pemerintah wajib

menyelenggarakan pendidikan dasar

minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua

anak.

Pasal 49 Negara, pemerintah, keluarga,

dan orang tua wajib memberikan

kesempatan yang seluas-luasnya kepada

anak untuk memperoleh pendidikan.

Pasal 50 Pendidikan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 48 diarahkan

pada :

(1) Pengembangan sikap dan

kemampuan kepribadian anak,

bakat, kemampuan mental dan

fisik sampai mencapai potensi

mereka yang optimal.

(2) Pengembangan penghormatan

atas hak asasi manusia dan

kebebasan asasi;

(3) Pengembangan rasa hormat

terhadap orang tua, identitas

budaya, bahasa dan nilai-

nilainya sendiri, nilai-nilai

nasional dimana anak bertempat

tinggal, dari mana anak berasal,

dan peradabanperadaban yang

Page 77: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 69

berbeda-beda dari peradaban

sendiri;

(4) Persiapan anak untuk kehidupan

yang bertanggungjawab; dan

(5) Pengembangan rasa hormat dan

cinta terhadap lingkungan

hidup.

Pasal 51Anak yang menyandang

cacat fisik dan/atau mental

diberikan kesempatan yang

samadan aksesibilitas untuk

memperoleh pendidikan biasa dan

pendidikan luar biasa.

Pasal 52Anak yang memiliki

keunggulan diberikan kesempatan

dan aksesibilitas untuk memperoleh

pendidikan khusus.

Pasal 53

(1) Pemerintah bertanggung jawab

untuk memberikan biaya

pendidikan dan/atau bantuan

cuma-cuma atau pelayanan

khusus bagi anak dari keluarga

kurang mampu, anak terlantar,

dan anak yang bertempat

tinggal di daerah terpencil.

(2) Pertanggungjawaban

pemerintah sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1)

termasuk pula mendorong

masyarakat untuk berperan

aktif.

d. UU No. 4 1997 tentang Penyandang

Cacat.

Pasal (5 ) :Setiap penyandang cacat

mempunyai dan kesempatan yang

sama dalam segala aspek kehidupan

dan penghidupan.

e. Deklarasi Bandung (Nasional)

Indonesia Menuju Pendidikan

Inklusif 8-14 Agustus 2004.

(1) Menjamin setiap anak

berkelainan dan anak

berkebutuhan khusus lainnya

mendapatkan kesempatan akses

dalam segala aspek kehidupan,

baik dalam bidang pendidikan,

kesehatan sosial, kesejahteraan,

keamanan, maupun bidang

lainnya, sehingga menjadi

generasi generasi penerus yang

handal.

(2) Menjamin setiap anak

berkelainan dan anak anak

berkebutuhan berkebutuhan

khusus lainnya lainnya sebagai

individu yang bermartabat,

untuk mendapatkan perlakuan

yang manusiawi, pendidikan

yang bermutu dan sesuai

dengan potensi dan kebutuhan

Page 78: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 70

masyarakat, tanpa perlakuan

diskriminatif yang merugikan

eksistensi kehidupannya baik

secara fisik, psikologis,

ekonomis, sosiologis, hukum,

politis maupun kultural

f. Peraturan Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak juga telah

menerbitkan Peraturan tentang

Kebijakan Penanganan Anak

Berkebutuhan Khusus. Berkaitan

dengan komitmen tersebut telah

diterbitkan Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2011, tentang Pengesahan

Konvensi Mengenai Hak-Hak

Penyandang Disabilitas

(Convention On The Rigths Of

Person With Disabilities)

g. Peraturan Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Nomor 10

Tahun 2011 tentang Kebijakan

Penanganan Anak Berkebutuhan

Khusus.

2. Komitmen Internasional

a. Convention on The Right The Child tahun

1989 (Pemenuhan Hak Dasar Anak)

(1) Hak untuk Hidup, Kelangsungan

Hidup & Perkembangan Anak

(2) Kepentingan Yang Terbaik Untuk

Anak

(3) Partisipasi/ Penghargaan Terhadap

Pendapat Anak

(4) Non Diskriminasi

b. Deklarasi Dakkar (2000): Education

For All (Pendidikan Untuk Semua)

Butir 1: memperluas & memperbaiki

secara keseluruhan perawatan dan

pendidikan anak usia dini terutama bagi

anak-anak yang sangat rawan dan

kurang beruntung

c. A World Fit For Chlidren – 2002

(Menciptakan Dunia yang layak bagi

Anak)

(1) menempatkan anak sebagai

pertimbangan pertama untuk

kepentingan terbaik anak

(2) memperhatikan tumbuh kembang

anak sebagai dasar utama

pengembangan manusia

(3) memberikan kesempatan

pendidikan yang sama untuk setiap

anak

Berbagai peraturan perundangan

yang telah disusun tersebut merupakan

upaya pemerintah untuk memberikan

perlindungan dan pelayanan terhadap anak

berkebutuhan khusus. Secara umum, hal

tersebut dilakukan dengan tujuan untuk

memenuhi kebutuhan anak-anak

Page 79: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 71

berkebutuhan khusus tersebut untuk dapat

hidup, tumbuh dan berkembang, serta

berinteraksi sosial di lingkungan keluarga

dan masyarakat sesuai dengan minat dan

potensi yang dimiliki.

BERBAGAI PERMASLAHAN PADA

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Peraturan tentang yang berkaitan

dengan Disabilitas sudah dibuat namun

masih ada beberapa permasalahan yang

muncul dan implementasinya.

Permasalahan yang timbul pada anak

berkebutuhan khusus dapat ditinjau dari

berbagai berbagai aspek antara lain:

1. Anak Berkebutuhan Khusus

dalam kebijakan pemerintah

a. Masalah Anak Berkebutuhan

Khusus merupakan masalah

yang jarang mendapatkan

perhatian dari pemerintah dan

masyarakat

b. Peraturan tentang Disabilitas

bagus namun

Implementasinya

lemah/kurang

c. Terdiskriminasi

d. Aksesibilitas kurang

memadahi baik dari segi

publik maupun pendidikan

e. Pembangunan belum

integratif dan inklusif

2. Konvensi Mengenai Hak-Hak

Penyandang Disabilitas

(Convention On The Rigths Of

Person With Disabilities)

a. Tujuannya memajukan,

melindungi, dan menjamin

kesamaan hak dan kebebasan

yang mendasar bagi semua

penyandang disabilitas, serta

penghormatan terhadap

martabat, terhadap

penyandang disabilitas

sebagai bagian yang tidak

terpisahkan (inherent dignity)

b. Persamaan dan non

diskriminasi penyandang

disabilitas perempuan dan

anak, peningkatan dan

kesadaran, aksesibilitas,

situasi beresiko dan darurat,

hak mobilitas alat bantu

gerak, kesehatan, pendidikan,

pekerjaan dan kesempatan

kerja, rekreasi dan olah raga,

akses peradilan, hidup

mandiri dan keterlibatan

dalam masyarakat.

3. Sosial Budaya

Page 80: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 72

a. Norma sosial disabilitas,

belas kasihan,

ketidakmampuan dan

abnormalitas, tidak mandiri,

tidak produktif dan tidak

berguna

b. Stigma: Penyandang Masalah

Kesejakteraan Sosial (PMKS)

c. Adamya klasifikasi sosial

masyarakat sehingga

membuat disabilitas sulit

mengakses pendidikan,

perumahan, transportasi,

layanan kesehatan, dan

kehidupan keluarga dengan

disabilitas

d. Hambatan komunikasi

4. Orang Tua Anak Berkebutuhan

Khusus

a. Sudut pandang orang tua

terhadap masalah disabilitas

anaknya: malu, terkejut,

menyangkal, stress dan

bertahap mulai menerima

b. Dukungen sosial diterima

oleh orang tua dari keluarga

besar, tetangga dan

masyarakat, dan kelompok

pendukung seperti tenaga

kesehatan, pendidikan dan

komunitas orang tua ABK

c. Orang tua dengan ABK sesuai

dengan strata sosial/level

akan meluangkan waktu lebih

banyak dengan anaknya

5. Perlindungan hukum bagi Anak

Berkebutuhan Khusus

a. Konvensi Mengenai Hak-

Hak Penyandang Disabilitas

yang bisa diwujudkan

melalui Undang-undang lalu

lintas, Kesehatan,

Ketenagakerjaan dan

Bangunan

b. Belum ada peraturan

penanganan anak disabilitas

korban kekerasan pada

sektor domestik dan publik

c. Kebijakan integratif untuk

penanganan korban

disabilitas

6. Pendidikan Anak Berkebutuhan

Khusus

a. Pelatihan vokasional

rehabilitasi sosial sangat

terbatas dan dan tidak

inklusif

b. Jumlah sekolah Khusus

(SKh) masih sedikit

dibanding sekolah biasa

Page 81: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 73

c. Ketidaksesuaian praktik

pendidikan inklusif secara

standar

d. Konsen pemerintah untuk

guru dengan pendidikan

khusus untuk berkarir di

pendidikan inklusi masih

lemah

e. Hanya Anak Berkebutuhan

Khusus miskin yang butuh

bantuan pemerintah

f. Belum ada harmonisasi

antara undang-undang dan

peraturan daerah

PENGUATAN PERLINDUNGAN

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Bersadarkan padaberbagai kenyataan

di lapangan tentang anak berkebutuhan

khusus maka diperlukan penguatan untuk

perlindungan dari berbagai hal antara lain

melalui :

a. Orang Tua: mengkondisikan anak dan

memfasilitasi perkembangan anak

b. Masyarakat: penerimaan terhadap

Anak berkebutuhan khusus,

mengedukasi masyarakat,

menghilangkan budaya membully,

melayani anak Anak Berkebutuhan

Khusus dan melindungi anak Anak

Berkebutuhan Khusus

c. Pemerintah: penguatan

perlindungan anak Anak

Berkebutuhan Khusus dari

sisiperundangan (konstitusi),

praktek dan pelayanan.

Setiap anak memerlukan

pendampingan dan perlindungan dalam

masa tumbuh kembangnya, terlebih anak

berkebutuhan khusus. Bagi mereka,

pendampingan dan perlindungan memiliki

makna yang sangat berarti. Oleh karena itu

pengetahuan dan kapasitas pendamping

anak berkebutuhan khusus menjadi faktor

penting yang menjadi kunci dalam

penanganan anak berkebutuhan khusus.

Kesiapan para orangtua dalam menghadapi

anak berkebutuhan khusus akan memberi

dampak yang signifikan dalam merawat,

memelihara, mendidik, dan memunculkan

potensi yang dimiliki setiap anak

berkebutuhan khusus, ditambah dukungan

dari masyarakat dan pemerintah dalam

menyediakan lingkungan dan fasilitas yang

ramah terhadap anak berkebutuhan khusus.

PENUTUP

Dengan memperhatikan

karakteristik anak berkebutuhan khusus

yang memiliki hak yang sama dengan orang

normal pada umumnya dan sudah ada

peraturan untuk mengakomodir anak

berkebutuhan khusus, maka diharapakan

Page 82: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 74

dukungan dari berbagai pihak seperti orang

tua, masyarakat dan pemerintah untuk

dapat mengawal agar implementasi

peraturan yang sudah dibuat dapat

terlaksana dengan baik untuk memberikan

perlindungan kepada anak berkebutuhan

khusus dalam menjalani kehidupanyang

mandiri dan bisa bersama-sama dengan

masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. 2009. Pendidikan

Bagi Anak Bekesulitan

Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Delphie, Bandi. 2005. Pembelajaran Anak

Tunagrahita. Bandung: Refika

Aditama.

Hallahan, D.P., & Kauffman, J. 1986.

Introduction Special Education Third

Edition. Printice Hall.

_________________ 2006. Exceptional

Children: Introduction to

Exceptional Children. New

York:Prentice Hall.

Jamaris, Martini. 2013. Kesulitan Belajar

Perspektif, Assessmen dan

Penangglangannya. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Mudjito, A.K. 2013. Pendidikan Inklusif.

Jakarta: Kemendikbud Dirjen

Pendas.

Nugraha, Ali. 2012. Program Pelibatan

Orang Tua Dan Masyarakatat.

Tangerang selatan: Universitas

Terbuka.

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak

Nomor 10 Tahun 2011 tentang

Kebijakan Penanganan Anak

Berkebutuhan Khusus.

Pranawati, Rita. 2015. Perlindungan Anak

Berkebutuhan Khusus. Jakarta:

www.kpai.go.id

Somantri, S. (2007). Psikologi Anak Luar

Biasa. Bandung: Refika Aditama.

Undang-undang Dasar 1945. Amandemen.

Undang-undang No. 20 tahun 2003 Sistem

Pendidikan Nasional.

Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Perlindungan Anak.

Undang-undang No. 4 1997 tentang

Penyandang Cacat.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011,

tentang Pengesahan Konvensi

Mengenai Hak-Hak Penyandang

Disabilitas (Convention On The

Rigths Of Persons With Disabilities).

www.membumikanpendidikan.com/hak-

hak-yang-dimiliki-anak-

berkebutuhan.html.

Page 83: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 75

Peran GPK dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Berkebutuhan Khusus pada

Sekolah Dasar Inkulsif di Kota Malang (studi Deskriptif di SD Negeri Kebonsari

1,2 dan 3)

Wiwik Dwi Hastuti, Endro Wahyuno, Esni Tri Aswari

Jurusan PLB-FIP-UM

Email: [email protected]

Abstrak

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan

kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan

dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan

pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Peran guru pendidik

khusus (GPK) di SD inklusif selain mendampingi siswa pada kelas reguler, juga berperan pada

kegiatan penerimaan peserta didik baru (PPDB) berkebutuhan khusus di sekolah inklusif. PPDB

di sekolah inklusif merupakan kegiatan penting dari sebuah proses pendidikan bagi ABK di

sekolah inklusif. Proses PPDB pada ABK tentunya berbeda dengan system penerimaan peserta

didik baru yang reguler. Perbedaaan PPDB tersebut terfokus pada kegiatan sebelum, saat dan

sesudah PPDB.

Kata kunci: GPK, PPDB, SD Inklusif

Abstract Inclusive education is a system of education that provides opportunities for all learners who have abnormalities and

have the potential of intelligence and / or a special talent to follow education or learning in an educational

environment together with learners in general. The role of special education teachers (GPK) in inclusive primary

schools in addition to assisting students in regular classes, also contributes to the exclusion of new-born learners

(PPDB) with special needs in inclusive schools. PPDB in inclusive schools is an important activity of an education

process for crew in inclusive schools. The process of (PPDB) on Childern with special need is different from the

regular system of acceptance of new learners. The difference between (PPDB) is focused on activities before, during

and after PPDB.

Keywords : GPK, PPDB, Inclusive primary School

Pendahuluan

Pendidikan inklusif merupakan salah

satu program pendidikan yang inovatif dan

strategis untuk memperluas akses

pendidikan bagi semua anak berkebutuhan

khusus termasuk anak penyandang cacat.

Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan

inklusi juga dapat dimaknai sebagi satu

bentuk reformasi pendidikan yang

menekankan sikap anti diskriminasi,

perjuangan persamaan hak dan kesempatan,

keadilan, dan perluasan akses pendidikan

bagi semua, peningkatan mutu pendidikan,

upaya strategis dalam menuntaskan wajib

belajar 9 tahun, serta upaya merubah sikap

masyarakat terhadap anak berkebutuhan

khusus. Dalam konteks pendidikan luar biasa

di Indonesia, pendidikan inklusi bukanlah

satu-satunya cara mendidik disabled children

dengan maksud untuk mengantikan pendidi

kan segregasi. Melainkan, suatu alternative,

pilihan, inovasi, atau terobosan/pendekatan

baru disamping pendidikan segregasi yang

sudah berjalan lebih dari satu abad. Hal ini

Page 84: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 76

dikarenakan setting pendidikan khusus atau

pendidikan luar biasa di Indonesia menganut

pendekatan “Multi-track Approach”. Hanya

saja eksistensi Sekolah Luar Biasa yang

seharusnya mampu berperan sebagai Pusat

Sumber dalam mendukung inklusi, belum

diberdayakan secara maksimal.

Setiap lembaga pendidikan pada

tahun ajaran baru menerima murid baru.

Sistem penerimaan siswa baru berbeda- beda

antara lembaga satu dengan yang lainya, hal

ini juga berlaku pada sekolah Sekolah Dasar

(SD) inklusif. Pada Sd inklusif menerima

siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus

sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan

oleh lembaga tersebut.

Di Indonesia, siswa berkebutuhan

khusus seperti siswa sekolah reguler adalah

warga negara Indonesia yang mempunyai

hak yang sama untuk memperoleh

pendidikan Pengakuan bahwa ABK

mempunyai hak yang sama dalam

menempuh pendidikan didukung oleh

Nurhidayat (2008), disebutkan bahwa

pendidikan adalah hak asasi manusia yang

paling mendasar (basic human right).

Pemerataan pendidikan ini juga

mendapatkan dukungan dari dunia, hal ini

diperkuat dalam The World Education

Forum 2000 di Dakar, yang ditegaskan

kembali perlunya memberikan perhatian

terhadap anak berkelainan melalui

pendidikan inklusif, yaitu pendidikan yang

melayani semua anak termasuk anak-anak

yang memerlukan pendidikan khusus. Di

Indonesia, dalam rangka "Mewujudkan

Pendidikan Inklusif" ini telah dideklarasikan

di Kota Bandung oleh peserta Lokakarya

Nasional tentang Pendidikan Inklusif pada

tanggal 8 - 14 Agustus 2004 ( Sri Muji

Rahayu, 2014

Dari uraian di atas dapat dijelaskan

bahwa semua warga negara berhak untuk

mendapatkan pendidikan yang layak, tidak

terkecuali bagi warga negara yang

berkebutuhan khusus. Selain hal tersebut di

atas, memberi kesempatan anak

berkebutuhan khusus bersekolah di SD

inklusi, menjelaskan, akan mewujudkan

tercapainya btujuan wajib belajar 9 tahun

yang pada akhirnya akan menghambat

pembangunan di segala bidang.

Proses penerimaan di SD Inklusi

berbeda dengan SD reguler, proses

penerimaan siswa baru di SD Negeri

Percobaan 1 Malang yang berkebutuhan

khusus calon siswa baru di SD Negeri,

terdiri dari lima tahap yaitu: pertama

pengumuman pendaftaran masuk calon

siswa baru, kedua tahap pendaftaran calon

siswa baru, ketiga tes, tahap keempat

pengumuman hasil tes, dan tahap kelima

pendaftaran ulang bagi siswa yang lolos

seleksi (Nurhidayat, 2008: 46)

Pada saat penerimaan siswa baru , SD

Inklusif biasanya dibentuk tim PPDB,

dengan melibatkan GPK. GPK

bekerjasama dengan tim PPDB untuk proses

penerimaan ABK, proses yang dilakukan

yaitu sebelum penerimaan, saat penerimaan

dan setelah penerimaan (Sri Mudji Rahayu,

2014: 18).

Peran GPK pada saat penerimaan

peserta didik berkebutuhan khusus yang

meliputi peran GPK sebelum penerimaan

yaitu: 1) sosialisasi, 2) edukasi ke

masyarakat, 3) promosi, 4) kolaborasi (Sri

Mudji Rahayu, 2014:26). Sosialisasi PPDB

yaitu kegiatan memperkenalkan system

penerimaan peserta didik baru ke

masyarakat sekitar sekolah. Hal tersebut

dilakukan dengan pemasangan spanduk,

mengedarkan leaflate, mengirim surat ke

kelurahan setempat, dan lain-lain. Tujuan

sosialisasi tersebut untuk

mengkomunikasikan program sekolah atao

layanan sekolah sehingga masyarakat

Page 85: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 77

mempercayakan putranya untuk bersekolah

di sekolah tersebut.

Edukasi masyarakat yaitu suatu cara

yang digunakan oleh pihak sekolah,

perangkat desa atau lembaga yang

berwenang untuk memberikan ilmu

pengetahuan yang sedang berkembang agar

perkembangan ilmu pengetahuan pada

masyarakat maju berkelanjutan

(Wirajuniarta, R. (2010). Promosi PPDB

dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk

menjaring peserta didik sesuai dengan

criteria yang ditetapkan oleh lembaga

pendidikan tersebut. Tugas GPK sebelum PPDB

selanjutnya yaitu menjalin kolaborasi,

maksudnya GPK menjalin kolabnorasi

dengan panitia PPDB dan Kepala Sekolah.

Hal ini dimaksudkan agar terwujud system

penerimaan peserta didik baru baik reguler

maupun anak berkebutuhan khusus yang utuh

dan menyeluruh. PPDB tetap tanggung

jawab panitia, dan bukan hanya tugas dari

GPK saja. Hal ini untuk mengantisipasi

permasalahan pada saat PPDB , sehingga

dapat dicarikan solusi dengan bijaksana.

Peran GPK pada saat PPDB

berkebutuhan khusus yaitu 1) detreksi dini,

2) pengambilan keputusan terhadap hasil

deteksi dini, dan 3) penempatan anak

berdasarkan hasil deteksi dini (Sri Mudji

Rahayu, 2014: 19). Deteksi dini pada saat

PPDB yaitu kegiatan yang dilakukan oleh

GPK untuk memperoleh data yang

selengkap-lengkapnya tentang peserta didik

yang berkebutuhan khusus. Kegiatan tersebut

dilakukan dengan cara observasi sikap dan

prilaku anak, dan tes sederhana untuk

memperoleh data tentang kemampuan

kognitif anak. Setelah deteksi dini pada anak

berkebutuhan khusus dilakukan selanjutnya

adalah tahap pengambilan keputusan

terhadap hasil deteksi dini. Keputusan

tersebut berdasarkan hasil deteksi dini, bawa

ABK akan diterima dengan tindak lanjut,

ABK diterima, atau ABK tidak diterima

sebagai peserta didik baru di sekolah

tersebut. Setelah pengambilan keputusan

bahwa ABK duterima atau tidak diterima,

maka saatnya GPK menempatkan ABK di

kelas yang sesuai dengan hasil deteksi dini.

ABK ditempatkan di kelas reguler, atau kelas

pullout atau kelas sumber

Peran GPK setelah PPDB yaitu

melaksanakan monitoring terhadap

perkembangan kognitif, afektif dan

psikomotorik ABK yang diterima di sekolah

tersebut. Monitorik dilakukan setiap tiga

buulan sekali. Tujuan monitoring adalah

untuk memperoleh data selengkap-

lengkapnya ABK yang baru diterima pada

proses PPDB, kemudian dilaporkan kepada

Kepala sekolah, dan pemberitahuan kepada

orang tua ABK.

Berdasarkan kondisi tersebut,

peneliti bermaksud mengkaji lebih

mendalam dengan melakukan penelitian

berkenaan dengan peran guru pendidik

khusus (GPK) dalam penerimaan peserta

didik baru (PPDB) berkebutuhan khusus di

sekolah inklusif. PPDB di sekolah inklusif

merupakan kegiatan penting dari sebuah

proses pendidikan bagi ABK di sekolah

inklusif. Proses PPDB pada ABK tentunya

berbeda PPDB pada siswa reguler

Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini sebagai

berikut:1) Mendeskripsikan peran GPK

sebelum penerimaan peserta didik

berkebutuhan khusus di sekolah inklusif, 2)

Mendeskripsikan peran GPK pada saat

penerimaan peserta didik berkebutuhan

khusus di sekolah penyelenggara inklusif, 3)

Mendeskripsikan peran GPK setelah

penerimaan peserta didik berkebutuhan

khusus di sekolah inklusif.

Manfaat Penelitian

Secara garis besar, terdapat dua manfaat

yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil

Page 86: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 78

penelitian ini yaitu: 1) Manfaat Teoritis, hasil

penelitian ini diharapkan dapat memperkaya

khasanah ilmu pendidikan khususnya

mengenai peran guru pembimbing khusus

(GPK) dalam penerimaan peserta didik baru

berkebutuhan klhusus di sekolah inklusif”.

Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan

dapat dimanfaatkan untuk penelitian lanjutan

yang lebih mendalam, 2) manfaat praktis,

hasil penelitian ini diharapkan dapat

digunakan oleh para praktisi pendidikan

sebagai perluasan pengetahuan, dasar

pertimbangan, arahan dan perbaikan

berkenaan dengan peran guru pembimbing

khusus (GPK) dalam penerimaan peserta

didik berkebutuhan khusus pada sekolah

inklusif” bagi kepala Sekolah, GPK, dan

Dinas Pendidikan.

Metode Penelitian

Pendekatan Penelitian, pendekatan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif dengan strategi srudi

kasus. Penelitian kualitatif merupakan

penelitian yang memiliki pandangan

naturalistik yaitu penelitiannya yang

dilakukan berdasarkan kondisi alamiah

(natural setting), rill dan tidak dibuat-buat

(Sugiyono, 2011)., 2) Lokasi Dan Informan

Penelitian, penelitian ini dilaksanakan di

Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi.

Sekolah Dasar di Kecamatan Sukun, yaitu

SD Kebonsari 1,2 dan 3

Instrumen Dan Teknik Pengumpulan

Data Penelitian, instrumen utama yaitu

peneliti itu sendiri. Pengumpulan data dalam

penelitian ini dimaksudkan untuk

memperoleh data mengenai peran GPK

dalam PPDB yaitu: 1) observasi dan 2)

angket. Teknik Analisis Data Penelitian

Analisis data dalam penenelitian dilakukan :

1) reduksi data, 2) Display data, 3) Display

data, dan 4) reduksi data.

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil angket dan

dokumentasi di SD Inklusif kebonsari 1, 2

dan 3, peran GPK pada pelaksanaan PPDB

diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: 1)

Peran GPK sebelum penerimaan peserta

didik berkebutuhan khusus : (a) Sosialisasi:

GPK menyampaikan kepada masyarakat

bahwa pendidikan inklusif adalah langka

strategis yang memberikan perhatian kepada

siswa yang memiliki berkebutuhan khusus

untuk mendapat pendidikan sekolah umum

atau regular, menyampaikan tujuan dan

program akademik untuk ABK sebagai

layanan pendidikan untuk semua,. (b)

Edukasi Masyarakat, GPK belum ada yang

memberikan ilmu tentang layanan

pendidikan anak berkebutuhan khusus

terhadap masyarakat (warga di kelurahaan

Kebonsari dan orangtua murid siswa

reguler), (c) Promosi , menyampaikan

informasi kepada masyarakat tentang visi

misi dan tujuan sekolah inklusif., tidak ada

bukti fisik (surat, baner, atau leaflate), (d)

kolaborasi : GPK bekerjasama dengan

panitia PPDB.

2) Peran GPK pada saat penerimaan

peserta didik baru berkebutuhan khusus : a)

Deteksi dini : (a) mengidentifikasi anak

dengan berkebutuhan khusus dimaksudkan

merupakan suatu usaha seseorang (orangtua

atau guru) untuk mengetahui apakah anak

mengalami kelainan (tingkah laku) dalam

pertumbuhan dan perkembangannya

dibandingkan dengan anak sesuainya, (b)

motorik anak dengan proses kembang

kemampuan gerak anak dan memberikan

contoh kepada peserta didik untuk

melakukan gerakan tubuh yang

menggunakan otot-otot atau seluruh anggota

tubuh. Motorik berkembang sejalan dengan

kematangan syaraf otot., (c) seorang guru

harus berperan sebagai psikolog yang dapat

mendidik anak dan membimbing anak,

memberikan motivasi kepada peserta didik,

Page 87: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 79

serta memberikan solusi yang tuntas dalam

menyelesaikan masalah anak didik dengan

memperhatikan karakter dan kejiwaan

peserta didiknya (mengenal dan memahami

peserta didik dapat dilakukan dengan cara

memperhatikan dan menganalisa tutur kata

(cara bicara), sikap dan perilaku atau

perbuatan anak), (d) Pengambilan keputusan

hasil deteksi dini : pengambilan keputusan

kepada peserta didik didasarkan pada

kemampuan awal anak, disepakati oleh orang

tua, guru regular, dan Kepala Sekolah, Pada

ABK ada beberapa anjuran berdasarkan

kondisi anak, tindak lanjut kepada anak

(diterima atau tidaknya anak kita harus

melihat fasilitas yang dapat menompang

keberhasilan pendidikan ABK, dan Guru

pendamping khusus), Keadaan yang

berkenaan dengan kemampuan awal peserta

didik, Kondisi peserta didik juga senantiasa

dapat mengalami perubahan, perubahan

keadaan siswa yang ada pada siswa baik

sebelum pelajaran dimulai, pada saat

pelajaran hingga paska pelajaran,

Penempatan peserta didik baru berdasarkan

hasil keputusan tindak lanjut deteksi dini,

Peserta didik mampu memahami

pembelajaran regular atau ABK belajar

bersama anak-anak normal sepanjang hari di

kelas regular dengan menggunakan

kurikulum yang sama, ditempatkan dikelas

model pullout adalah ruang sumber untuk

belajar dengan guru pendamping khusus,

memberikan lembar observasi untuk

memberikan nilai kepada peserta didik. 3) Peran GPK setelah penerimaan

peserta didik baru berkebutuhan khusus, a)

mengamati proses kembang anak untuk

mengetahui secara langsung yang mengalami

gangguan, b) untuk mengetahui

karakterisktik anak, c) untuk mengetahui

kanadala yang dihadapi guru dalam mengajar

, d) merefleksi pelaksanaan kegiatan

pembelajaran tentang pentingnya

penggunaan strategi dalam pelaksanaan

pembelajaran di kelas agar proses

pembelajaran yang dilakukan

Triangulasi

Triangulasi dilakukan dengan kepada

sekolah Sd Kebonsari 1, 2 dan 3, Berdasarkan

dengan Kepala SD Kebonsari 1,2 dan 3, baha

penerimaan siswa baru anak berkebutuhan

khusus di sekolah SD Inklusif (Sd kebonsari

1, 2 dan 3), bahwa sekolah tersebut

membentuk team PPDB. GPK menjadi

anggota tim PPDB yang khusus melayani

ABK sebagai calon murid baru. GPK

bertanggung jawab pada ketua tim PPDB dan

Kepala Sekolah.

Pembahasan

Di Indonesia keberadaan anak

berkebutuhan khusus di lindungi oleh

Undang-Undang. Kepedulian masyarakat

terhadap keberadaan Abk juga sudah tidak

diragukan lagi. Para orang tua murid begitu

antusias untuk mendukung para putranya

untuk memperoleh penidikan yang layak,

baik di Sekolah Luar Biasa maupun di SD

Inklusi. Hal tersebut Peserta didik

berkebutuhan khusus memiliki hak yang

sama untuk memperoleh pendidikan, seperti

anak seusianya. Hal tersebut sependapat

dengan isi dari Human Right (Nurhidayat

(2008) bahwa ABK mempunyai hak yang

sama dalam menempuh pendidikan.

Pendidikan inklusif merupakan solusi

praktis bagi anak berkebutuhan khusus dalam

mengembangkan kemampuan kognitif,

afektif dan social. Untuk itu lembaga

pendidikan di setiap wilayah tidak terkecuali

di kota Malang sudah selayaknya memberi

kesempatan pada peserta didik berkebutuhan

khusus setiap wilayah menerima pesrta didik

berkebutuhan khusus untuk menjadi

siswanya. Hal tersebut sesuai dengan

program pemerintah Indonesia untuk

mewujudkan kota Inklusif. Perwujudan kota

Page 88: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 80

inklusif seriring dengan hasil lokakarya di

Bandung Sri Muji Rahayu (2014) setiap kota,

mewujudkan pendidikan inklusif" ini telah

dideklarasikan di Kota Bandung oleh peserta

Lokakarya Nasional tentang Pendidikan

Inklusif.

Proses yang tidak bisa ditinggalkan

oleh lembaga pendidikan adalah proses

penerimaan pendidik baru (PPDB). Tahapan

PPDB di sekolah inklusif terdiri dari tiga

tahap yaitu: pertama pengumuman

pendaftaran masuk calon siswa baru, kedua

tahap pendaftaran calon siswa baru, ketiga

tes, tahap keempat pengumuman hasil tes,

dan tahap kelima pendaftaran ulang bagi

siswa yang lolos seleksi (Nurhidayat, 2008:

46). Pendapat yang tidak jauh berbeda

dikemukakan oleh Sri Muji Rahayu, (2014),

PPDB di sd inklusif ada tiga tahap yaitu, 1)

tahap sebelum PPDB, tahap saat PPDB , dan

3) tahap setelah PPDB.

Peran GPK pada saat penerimaan

peserta didik berkebutuhan khusus yang

meliputi peran GPK sebelum penerimaan

yaitu: 1) sosialisasi, 2) edukasi ke

masyarakat, 3) promosi, 4) kolaborasi (Sri

Mudji Rahayu, 2014:26). Peran GPK

sebelum PPDB, telah melaksanakan tahap

tersebut namun belum utuh menyeluruh,

karena bukti fisik sebagai pendukung

kegiatan tersebut belum didukung : 1) belum

ada surat pemberitahuan PPDB kepada

kelurahan setempat dengan tembusan RT dan

RW, dan 2) belum ada bukti fisik surat tugas

dari Kepala Sekolah untuk edukasi kepada

masyarakat disertai makalah yang telah

disampaikan.

Kesimpulan

Kesimpulan penelitian ini yaitu: 1)

Peran GPK sebelum penerimaan peserta

didik baru berkebutuhan khusus: belum mean

ini yaitu lakukankolaborasi dengan panitia

PPDB, dan belum melakukan promosi,

sosialisasi, dan edukasi yang berbasis bukti

fisik, namun hanya dalam bentuk lisan dan

sesuai dengan kebutuhan, 2) Pada saat

penerimaan siswa baru berkebutuhan khusus,

GPK berperan dalam deteksi dini, dan

pengambilan keputusan terhadap

penempatan anak berkolaborasi dengan guru

kelas, dilaporkan kepada kepala sekolah dan

disepakati oleh orang tua murid, 3) Setelah

penerimaan murid baru, GPK berperan dalam

keginatan monitoring dan evalusi, yang

dilakukan dengan observasi dan tes untuk

mengetahui perkembangan kemampuan

ABK di bidang kognitif, afektif dan .

Saran

Sesuai dengan kesimpulan penelitian

ini saran yang diusulkan, yaitu: 1)

hemdaknya ada pemberitahuan PPDB secara

resmi, kepada desa setempat atau dinas

pendidikan, 2) siapkan perangkat yang

digunakan utk PPDB bagi anak berkebutuhan

khusus, 3) dokumenkan perangkat ppdb, dan

data awal peserta didik berkebutuhan khusus.

Kepustakan

Direktorat Pembinaan SLB .(2009).

Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PSLB

Direktorat Pembinaan SLB. (2009).

Pendidikan Inklusi Bagi Peserta

Didik Yang Memiliki Kelainan, dan

Memiliki Potensi Kecerdasan dan

Bakat Istimewa. Jakarta: Dirjen PSLB

Nurhidayat. 2008. Manajemen Pendidikan

Inklusif: Tinjauan Khusus Pada

Sistem Penerimaan Siswa Baru,

Manajemen Pengajaran Kelas Inklusif,

dan Model Pendidikan Studi Kasus Di

SD Negeri Percobaan 1 Kota Malang,

FIP: UM

Sri Muji Rahayu (2014), Memenuhi hak Anak

Berkebutuhan Khusus Usia Dini

melalui Pendidikan Inklusif (online),

Tersedia:

Page 89: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 81

https://slbpamardiputra.wordpress.co

m/tag/pendidikan-inklusif/

Wirajuniarta, R. (2010). Pendidikan Inklusif.

[Online]. Tersedia:

http://rendywirajuniarta.blogspot.com/2

010/10/pendidikan-inklusi.html.[3

April, 2011].

Page 90: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 82

PROGRAM PULL OUT BAGI SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS

DI SEKOLAH INKLUSI “X” KOTA YOGYAKARTA

Mita Apriyanti

Sunardi

Nadya Muniroh

Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia

e-mail: [email protected]

Abstract: Salah satu model yang digunakan adalah model pull-out, yaitu siswa berkebutuhan

khusus dipindahkan ke ruang khusus untuk mendapatkan pelajaran tertentu dan didampingi

guru khusus. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan program pulled-out yang

diterapkan di salah satu sekolah inklusi di Yogyakarta. Jenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan

dokumentasi. Seluruh data dianalisis dengan menggunakan teknik kualitatif analitik. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa program pulled out dilakukan kepada siswa yang memiliki

jarak kemampuan akademik yang jauh dari teman-teman di kelasnya. Pulled-out dilakukan

hanya pada materi-materi pembelajaran tertentu. Siswa diberikan materi sesuai kebutuhan

belajarnya. Model pulled-out memberikan dampak positif bagi siswa berkebutuhan khusus.

Mereka mendapatkan layanan belajar individual untuk memahami materi yang diajarkan sesuai

dengan kemampuan dan kebutuhan belajarnya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah

satu rujukan dalam pengembangan praktek-praktek pembelajaran di sekolah inklusi yang

seharusnya bisa mengakomodasi kebutuhan belajar semua siswa.

Katakunci: program pull-out, siswa berkebutuhan khusus, sekolah inklusi

PENDAHULUAN Pendidikan Inklusif merupakan

pendidikan yang diperoleh anak mencakup

pendidikan di rumah, masyarakat, sistem

nonformal dan informal yang dilandasi

anggapan bahwa semua anak dapat belajar

dengan melalui modifikasi struktur, sistem

dan metodologi pendidikan agar mampu

memenuhi kebutuhan semua anak sehingga

mereka mampu mengakui dan menghargai

berbagai perbedaan pada diri anak seperti

usia, jender, etnik, bahasa, dan kecacatan

yang berjalan melalui proses dinamis yang

senantiasa berkembang sesuai dengan

budaya dan konteksnya (Stubbs, 2002).

Mereka yang terlibat dalam upaya inklusi

memahami bahwa ruang kelas menjadi

semakin beragam dan bahwa tugas guru

adalah untuk mengatur instruksi yang

memberi manfaat bagi semua siswa -

walaupun berbagai siswa dapat memperoleh

manfaat yang berbeda (Rogers, 1993).

Modifikasi pembelajaran dibutuhkan untuk

mengakomodasi kebutuhan belajar siswa

yang beragam.

Salah satu strategi pembelajaran

yang diterapkan di sekolah inklusi adalah

model inklusi pull out di mana para siswa

berkebutuhan khusus belajar bersama-sama

dengan siswa pada umumnya di kelas

reguler, namun dalam waktu-waktu tertentu

ditarik dari kelas reguler untuk belajar

dengan guru pembimbing khusus,

memungkinkan tumbuhnya rasa saling

menolong di antara para siswa, sehingga

dapat tercipta lingkungan sekolah yang

kondusif. (Sunarno, 2012). Terdapat tiga

tingkatan dalam pelaksanaan program pull

out yang biasanya dilakukan oleh sekolah:

1. Siswa mengikuti pembelajaran di

ruang sumber dengan porsi 21%-

60% dari keseluruhan kegiatan

pembelajaran yang diikuti di

sekolah.

2. Siswa mengikuti pembelajaran

dalam kelas yang terpisah dengan

Page 91: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 83

porsi kegiatan sebesar lebih dari

60% dalam sehhari.

3. Siswa mengikuti kegiatan

pembelajaran di lokasi yang berbeda

dari sekolah misalnya tempat

tinggal, rumah sakit atau, dengan

porsi kehadiran siswa sebesar lebih

dari 50%. (McLeskey et al,1999)

Filosofi di balik program pull-out adalah

bagi siswa penyandang cacat untuk

menerima pengajaran khusus atau intensif

sesuai kebutuhan belajar yang telah

teridentifikasi dan dilakukan dalam

lingkungan kelompok kecil dengan guru

yang terlatih khusus. Reintegrasi siswa ke

dalam kelas pendidikan umum dilakukan

ketika siswa mencapai kemampuan untuk

tampil secara independen adalah tujuan dari

jenis program ini (Zigmond & Baker, 1996;

Richmond, 2011)

Pemilihan program pull out

didasarkan pada penemuan bahwa biasanya

kebutuhan belajar khusus siswa tidak bisa

terakomodasi dalam setting kelas umum

atau setting kelas inklusi penuh. (Rea,

2012). Program pull-out memungkinkan

rasio guru-murid yang lebih kecil dan

fleksibilitas dalam pemilihan materi

pembelajaran, tujuan pembelajaran,strategi

pembelajaran, penjadwalan ujian, dan

penugasan nilai. Program pull out

memungkinkan siswa untuk belajar konten

yang berbeda dengan cara yang berbeda dan

pada jadwal yang berbeda (Zigmond, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh Richmond (2011)

mengungkapkan bahwa siswa berkesulitan

belajar yang mendapatkan program pull-out

menghasilkan keuntungan yang jauh lebih

signifikan daripada model kelas inklusi

penuh dan model kelompok atau cluster

dalam belajar mengidentifikasi huruf-kata.

Hal ini berdasarkan alasan bahwa program

pull out menyediakan lingkungan belajar

yang tenang dan kondusif bagi siswa

berkesulitan belajar dalam belajar membaca.

Selain itu, sebagian besar guru menemukan

program pull out bermanfaat karena mereka

menambahkan beberapa metode

pembelajaran yang terfokus untuk siswa

dengan kesulitan belajar. Gagasan ini

mendukung penelitian yang secara

akademis, bahwa beberapa siswa dengan

kesulitan belajar memilih program pull out

karena mereka merasa percaya diri saat

belajar di lingkungan yang kondusif. .

(Fernandez & Hynes, 2016)

Program pull out dapat menjadi

salah satu pilihan dalam penempatan bagi

siswa berkebutuhan khusus yang

menyediakannya rangkaian layanan yang

tersedia bagi setiap siswa berkebutuhan

khusus. Beberapa siswa penyandang cacat

yang ditempatkan di kelas pendidikan

umum hanya menunjukkan sedikit

kemajuan dalam membaca meskipun

banyak pelatihan dan pengembangan

profesional yang telah dilakukan oleh guru.

(Hurt, 2012). Secara keseluruhan, guru kelas

umum merasa program penarikan itu

penting karena memberikan keterampilan

yang tidak bisa mereka ajarkan di kelas.

(Fernandez & Hynes, 2016). Guru harus

pandai membuat strategi yang hal itu

berhubungan dengan strategi individu dalam

hal pemusatan perhatian, pemecahan

masalah dan lain-lain. Karena

perkembangan peserta didik yang memiliki

kekhususan,baik kekhususan dalam aspek

fisik, emosional dan lain sebagainya itu

berbeda dengan anak normal, murid yang

beragam karakteristiknya juga beragam

kebutuhannya sangat mengharuskan adanya

perhatian dan peran dari berbagai pihak.

Salah satunya perhatian dan peran dari guru

sebagai tenaga pendidik yang langsung

berhubungan dengan siswa.(Aisyah, 2015)

Pada penelitian ini akan dijabarkan

mengenai pelaksanaan program pull out di

salah satu sekolah inklusi di Yogyakarta.

Pelaksanaan pull out di sekolah ini dirasa

peneliti cukup unik karena program pull out

di sekolah ini dilaksanakan secara cluster

dan memiliki dampak yang cukup positif

bagi siswa berkebutuhan khusus.

Pelaksanaan juga direncanakan dengan baik

dengan melakukan koordinasi antara Guru

Pendamping Khusus dan guru kelas serta

Page 92: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 84

adanya program individual yang dibuat oleh

Guru Pendamping Khusus.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif deskriptif. Peneliti

memotret kondisi faktual di lapangan

tentang pelaksanaan program pull out di

salah satu sekolah dasar inklusi di Kota

Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan selama

tiga bulan dengan melakukan wawancara

kepada beberapa pihak yaitu guru kelas,

guru pendamping khusus, orang tua dan

siswa berkebutuhan kkhusus serta siswa

reguler. Observasi dilakukan untuk

mengamati perlaksanaan progrma pull out di

ruang sumber serta proses pemebelajaran di

kelas besar. Studi dokumentasi dilakukan

untuk menelaah program indi vidual yang

telah dibuat oleh guru pendamping khusus

dan hasil kerja siswa.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Pelaksanaan program pull out di

sekolah dilaksanakan untuk semua jenjang

kelas. Jumlah siswa yang melaksanakan

program pull out tidak ditentukan sesuai

dengan rekomendasi dari wali kelas atau

hasil asesmen pada anak yang dilakukan

oleh guru pendamping khusus. Berikut

adalah gambara dari plekasanaan program

pulled out yag dilakasanakan di sekolah

1. Landasan Pemilihan Program

Pelaksanaan program pull out di

sekolah dilakukan berdasarkan beberapa

pertimbangan yaitu (a) jumlah anak

berkebutuhan khusus yang lebih dari 5

pada setiap kelas, (b) terdapat jarak

kemampuan yang cukup jauh yang

dikuasai oleh anak berkebutuhan khusus

dengan anak pada umumnya berdasarkan

hasil asesmen terhadap beberapa anak

berkebutuhan khusus di kelas. (c)

program pull out membuat siswa

berkebutuhan khusus menjadi lebih fokus

dalam belajar dan mengejar

ketertinggalan dalam menguasai

pembelajaran. Keputusan untuk

melasanakan program pull out diambil

berdasarkan keputusan bersama antara

guru kelas dengan guru pendamping

khusus. Koordinasi antara guru kelas

dengan guru pendamping khusus terjadi

pada saat akhir pembelajaran atau saat

proses pembelajaran berlangsung. Guru

kelas dan GPK berdiskusi mengenai

siswa yang dinilai mengalami

keterlambatan dalam memahami materi

soal dan kemampuan yang dimiliki masih

berada dibawah rata-rata teman

sekelasnya. Program pull out dipilih

karena dianggap efektif dalam

menangani permasalahan belajar siswa

berkebutuhan khusus yang beragam.

Guru pendamping khusus bisa

menangani lebih dalam permasalahan

belajar yang dimiliki siswa berkebutuhan

khusus secara indivual. Siswa juga bisa

diberikan berbagai strategi belajar yang

sesuai dengan kebutuhan belajar yang

dimiliki.

Kepala sekolah sepenuhnya

mendukung pelaksanaan program ini

karena memiliki anggapan bahwa

program ini dapat memberikan

keuntungan yang lebih bagi siswa

berkebutuhan khusus maupun siswa pada

umumnya . Kepala sekolah juga

berpendapat bahwa program ini mampu

meningkatan kerjasama yang bagi antara

guru kelas dan guru pendamping khusus.

Sehingga, secara sekaligus permasalahan

yang dihadapi guru di kelas dan

permasalahan belajar siswa bisa

tertangani secara optimal.

2. Penentuan Siswa dalam Program Pulled

out

Siswa yang mengikuti program ini

terlebih dahulu menjalani asesmen yang

dilakukan oleh guru pendamping khusus.

Asesmen dilaksanakan dengan

mendalami data siswa tentang hasil

belajar pada materi yang diajarkan,

informasi yang disampaikan oleh guru

kelas dan observasi yang dilakukan

Page 93: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 85

selama mendampingi siswa belajar di

kelas reguler. Setelah mengumpulkan

dan mengolah informasi tersebut.

Selanjutnya guru pendamping khusus

akan berdiskusi dengan guru kelas

mengenai waktu pelaksanaan program

pull out kepada siswa yang

bersangkutan.Kolaborasi Guru

Pendamping Khusus dan Guru Kelas

berjalan dengan baik. Komunikasi selalu

dilakukan oleh GPK dengan guru kelas

mengenai materi yang dipelajari di kelas

dan di ruang sumber terhadap siswa yang

menjalani program pull out. Proses

koordinasi pembelajaran ini

membutuhkan fleksibilitas, keterampilan

interpersonal yang kuat, komunikasi

yang lancar, dan pengalaman

memberikan instruksi intensif dan

individual. Hal ini juga membutuhkan

pengetahuan tentang kurikulum dan

keterampilan dalam menyesuaikan dan

mengadaptasi kurikulum utama menjadi

kurikulum individual (Casto, 2012).

Jumlah siswa yang diikutkan pull out

dalam satu kels bergantung dari hasil

asesmen jika terdapat lebih dari satu

siswa yang memiliki hambatan belajar

yang sama maka akan diterapkan sistem

cluster pull out. Kelompok siswa yang

terdiri dari 3-4 orang bisa langsung

diikutkan dalam satu sesi pogram. Misal

terdapat 6 siswa di keas VI yang memiliki

hambatan matematika. Berdasarkan

hasil asesmen oleh psikolog keenam

siswa dinyatakan mengalami hambatan

intelektual. Maka keenam siswa ini pada

mata pelajaran matematika, bahasa

Indonesia, dan IPA menjalani program

pull out. Keputusan ini diambil

berdasaran hasil asesmen akademik yang

dilakukan oleh guru pendamping khusus

dan didukung data hasil asesmen oleh

psikolog. Keenam siswa ini mengikuti

program pull out dan dibuatkan materi

secara individual oleh guru pendamping

khusus. Siswa yang mengikuti program

pull out merupakan siswa-siswa yang

mengalami beberapa hambatan belajar

maupun hambatan perilaku di kelas.

Misalnya di kelas II terdapat 3 siswa yang

menunjukkan perilaku mengganggu dan

sulit dikondisikan oleh guru, maka ketiga

tersebut juga pada pembelajaran tertentu

ditarik ke ruang sumber untuk belajar

secara terpisah dengan Guru Pendamping

Khusus. . Terdapat beberapa kriteria

dalam menentukan siswa yang mengikuti

program pull out yaitu siswa yang

membutuhkan (a) instruksi pembelajaran

yang intensif dalam keterampilan

akademis dasar karena kemampuan

akademisnya yang jauh melampaui

tingkat kelas di mana tempatnya belajar,

(b) instruksi eksplisit dalam

mengendalikan perilaku atau berinteraksi

dengan teman sebaya dan orang dewasa,

atau (c) untuk belajar sesuatu Itu tidak

biasa diajarkan kepada orang lain.

(Zigmond, 2003)

3. Pelaksanaan Program Pull out

Program pull out dilaksanakan di

ruangan sumber data disebut ruang

inklusi. Ruangan ini merupakan ruang

khusus untuk melaksanakan program-

program inklusi di sekolah. Di ruang

sumber guru pendamping khusus

memberikan pembelajaran khusus

kepada siswa-siswa. Di setiap harinya

selalu ada siswa yang menjalani program

pull out dari berbagai kelas. Waktu yang

ditetapkan pada siswa yang mengikuti

program pull out masih belum terjadwal.

Ada siswa yangmengikuti program pull

out 3 sampai 4 kali seminggu pada mata

pelajaran tertentu. Sebagai besar siswa

menjalani program pull out ada mata

pelajaran membaca dan berhitung.

Berdasarkan hasil wawancara dengan

siswa yang mengikuti program pull out,

mereka mengaku bahwa mereka lebih

senang mengikuti program pull out

karena mereka bisa mendapatkan

pembelajaran atau soal yang bisa

dikerjakan. Selain itu, mereka merasa

lebih diperhatikan oleh guru dan tidak

merasa terganggu dengan kondisi kelas

yang gaduh atau ramai. Hasil ini

Page 94: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 86

konsisten dengan penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya oleh Klingner,

et.al (1998) bahwa dari 32 siswa

berkebutuhan khusus yang diteliti

menyatakan bahwa sebagian besar lebih

menyukai program pull out karena siswa

merasa lebih mampu belajar di kelas pull

out dan bisa mendapatkan materi

pembelajaran yang sesuai dengan

kemampuan belajarnya.

Beberapa siswa dari kelas rendah

umumnya mengalami ketertinggalan

yang cukup jauh dalam kemampuan

membaca. Di kelas tinggi umumnya

siswa mengalami ketertinggalan pada

mata pelajaran matematika. Pada

beberapa siswa yang hambatan

belajarnya hampir sama maka guru

menerapkan sistem kelompok. Program

pull out dilaksanakan bersamaan dengan

jam mata pelajaran yang belajarnya. Pada

saat pelajaran di kelas besar dimulai,

maka siswa ditarik ke ruang sumber

untuk melakukan pembelajaran. Saat

guru pendamping khusus akan

membelajarkan satu siswa atau satu

kelompok siswa dari kelas yang sama.

Guru sebelumnya telah membuat

program bagi siswa yang menjalani pull

out. Program ini dibuat sesuai dengan

kebutuhan belajar mereka. Strategi yang

digunakan guru dalam membelajarkan

siswa juga biasanya berbeda dari guru

kelas. Guru pendamping khusus biasanya

menggunakan varian strategi yang

berbeda dari guru kelas. Misalnya dalam

membaca guru pendamping khusus bisa

menerapkan teknik belajar membaca

yang berbeda dari guru kelas.

4. Program Pembelajaran Individual

Program individual ini dibuat oleh

guru berdasar hasil asesmen siswa. Guru

pendamping khusus mengembangan

program ini pada siswa yang sering

mengikuti program pull out. Tidak semua

siswa berkebutuhan khusus diberikan

program individual secara lengkap.

Program individual di sekolah ini

dibuatkan pada beberapa siswa yang

mempunyai jadwal rutin dalam

mengikuti program pull out. Hal ini agar

kebutuhan belajar siswa bisa terpenuhi,

tepat sasaran dan terukur. Program

pembelajaran individual dibuat mengacu

pada kurikulum yang ada sesuai kelas

anak dan diselaraskan dengan hasil

asesmen anak. Materi yang

dikembangkan mengacu pada kebutuhan

belajar diselaraskan dengan kurikulum

yang dijalankan oleh guru kelas. Program

ini dikembangkan bersama guru kelas

agar materi yang dipelajari anak bisa

sejalan dengan tujuan pemebelajaran di

kelas utama. Evaluasi juga dilakukan

oleh guru pendamping khusus dalam

program pull out. Hasil evaluasi belajar

anak nantinya diserahkan kepada guru

kelas dan menjadi pertimbangan dalam

penentuan nilai akhir anak. Di akhir

semester guru pendamping khusus

membuat suatu bentuk evaluasi deskriptif

dan rekomendasi terhadap kemampuan

anak berkebutuhan khusus di setiap

kelas.

5. Dampak Program Pulled Out

Berdasarkan hasil yang diperoleh di

lapangan, maka program pull out ini

terbukti efektif dalam meningkatkan

kemampuan belajar siswa. Program pull

out bisa menjembatani siswa dalam

memahami materi pembelajaran.

Program ini juga menghindarkan siswa

dari rasa frustasi akibat ketertinggalan

yang di alami di kelas melalui program

pull out ini dapat diketahui kelemahan

dan kelebihan siswa secara lebih

mendalam. Hal ini dapat terlihat dari

siswa kelas I, II, dan III yang belum

mampu membaca. Di kelas pull out,

mereka diajarkan keterampilan membaca

secara individual, dan hasilnya siswa

menunjukkan peningkatan dalam

kemampuan membaca. Peningkatan

kemampuan membaca ini sangat

berpengaruh ketika siswa kembali

mengikuti pembelajaran bersama di kelas

reguler. secara psikologis mereka merasa

mampu mengikuti materi bersama dan

Page 95: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 87

menjawab pertanyaan dengan mandiri.

Walaupun terdapat kekhawatiran bahwa

program pull out mampu memisahkan

anak dari lingkungan sosialnya di kelas,

namun secara akademik siswa yang

mengikuti program pull out mengalami

peningkatan dalam kemampuan

membaca dan memahami materi

pembelajaran. (Karin et.al, 2012). Setiap

siswa harus mendapatkan apa yang

dibutuhkan untuk mencapai sukses di

sekolah, apakah itu dengan mengikuti

program pull-out, kelas inklusi penuh,

atau perpaduan keduanya. Sekolah

seharusnya bisa menyediakan rangkaian

layanan lengkap karena hal ini

merupakan prinsip dasar dalam

pendidikan khusus. (Marston, 1996)

KESIMPULAN

Program pulled out dilakukan kepada siswa

yang memiliki jarak kemampuan akademik

yang jauh dari teman-teman di kelasnya atau

yang memiliki permasalah perilaku di kelas.

Siswa yang mengikuti program pull out

sebelumnya telah menjalani asesmen oleh

guru kelas dan guru pendamping khusus.

Pulled-out dilakukan hanya pada materi-

materi pembelajaran tertentu. Siswa akan

ditarik ke ruang sumber pada jam pelajaran

tertentu untuk mendapatkan pembelajaran

secara individual. Siswa diberikan materi

dan program khusus di ruang sumber oleh

guru pendamping khusus. Model pulled-out

memberikan dampak positif bagi siswa

berkebutuhan khusus. Mereka mendapatkan

layanan belajar individual untuk memahami

materi yang diajarkan sesuai dengan

kemampuan dan kebutuhan belajarnya.

Siswa terbukti mengalami peningkatan

secara akademis ketika mengikuti program

pull out.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Dewi. (2015). Dampak Pola

Pembelajaran Sekolah Inklusi

Terhadap Anak Berkebutuhan

Khusus. Gema Wiralodra Vol.VII.

No.1 Juni 2015.

Casto, Susan. (2012). Academic Outcomes

for Students with Learning

Disabilities in an Inclusive

Mathematics Classroom. Diakses

pada tanggal 30 Oktober 2017 dari

www.researchgate.com.

Fernandez, Naomi., Hynes, James W.

(2016). The Efficacy of Pullout

Programs in Elementary Schools:

Making it Work. The Journal of

Multidisciplinary Graduate Research

2016, Volume 2, Article 3, pp. 32- 47.

Gunarhadi, et.al. (2016). The Effect of

Cluster-Based Instruction On

Mathematic Achievement In Inclusive

Schools. International Journal of

Special Education Vol 31, No: 1,

2016.

http://eprints.ums.ac.id/24262/14/AR

TIKEL_PUBLIKASI.pdf

Hurt, James Matthew, "A Comparison of

Inclusion and Pullout Programs on

Student Achievement for Students

with Disabilities" (2012). Electronic

Theses and Dissertations. Paper

1487. http://dc.etsu.edu/etd/1487.

Karin, Hannes. (2012). Don't Pull Me Out!?

Preliminary Findings Of A

Systematic Review Of Qualitative

Evidence On Experiences Of Pupils

With Special Educational Needs In

Inclusive Education. Procedia -

Social and Behavioral Sciences 69 (

2012 ) 1709 – 1713

Klingner, et.al. (1998). Inclusion or Pull-

Out: Which Do Students Prefer?

Journal of Learning Disabilities

volume 31, Number 2, March/April

1998, Pages 148-158.

Marston, Douglas. (1996). A Comparison of

Inclusion Only, Pull-Out Only, And

Combined Service Models For

Students With Mild Disabilities. The

Journal of Special Education

Volume 30/No. 2 Page 121-132.

Page 96: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 88

McLeskey, J., Henry, D., & Axelrod, M.I.

(1999). Inclusion of students with

learning disabilities: An examination

of data from reports to congress.

Exceptional Children, 66(1), 55-66.

Rea, Patricia J., McLaughlin, Virginia L.,

Walther-Thomas, Chriss. (2002).

Outcomes for Students With

Learning Disabilities in Inclusive

and Pullout Programs. Journal of

Exceptional Children Vol. 68, No.2

pp. 203-223.

Richmond, Aaron S. (2009). One School

District’s Examination of Least

Restrictive Environments: The

Effectiveness of Pull-­out and

Inclusion Instruction. Journal of

The Researcher, 21(1), 53-­66.

Rogers, J. (1993). The inclusion revolution.

Phi Delta Kappa Research Bulletin,

11(4), 1-6.

Stubbs, Sue. (2002). Pendidikan Inklusif :

Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber.

Bandung: Jurusan Pendidikan Luar

Biasa UPI.

Sunarno. (2012). Pengelolaan Pembelajaran

Inklusi Di Sekolah Dasar (Studi

Situs Di Kecamatan Selo

Kabupaten Boyolali). Artikel

Publikasi Ilmiah Program Studi

Manajemen Pendidikan Program

Pascasarjana Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Diakses dari

Zigmond, Naomi. (2003). Where Should

Students with Disabilities Receive

Special Education Services? : Is

One Place Better Than Another?

The Journal Of Special Education

Vol. 37/No. 3/2003/PP. 193–199.

Page 97: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 89

PENINGKATAN KEMAMPUAN MOTORIK KASAR ANAK AUTIS MELALUI

PERMAINAN BOLA BOCCE

Diajeng Tyas Pinru Phytanza

Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Muhammadiyah Lampung

e-mail: [email protected] Abstract:

This study aims to determine the impact of bocce ball game on the gross motor skill of children

with autism. This study uses classroom action research ( CAR), which is conducted in two

cycles. The subjects in this study were autistic students who sat in class 1 elementary level .

Techniques of data collection using observation and gross motor skills tests . Data analysis

techniques used in this study used quantitative description with percentage . The results showed

that the game of bocce ball can improve the gross motor skills of students with autism. This is

shown by the percentage of achievement on tests of gross motor skills exercise results obtained

by the subjects in the second cycle and achieve compliance with defined indicators of success

in the study was 65 % . Percentage of subjects obtaining gross motor skills by 73.33 % .

Keywords : gross motor skill, autism children, bocce game

PENDAHULUAN

Perkembangan anak berkebutuhan

khusus yang sekarang sedang menjadi

perhatian di Indonesia bahkan di dunia

adalah anak autis. Karena autisme

merupakan suatu gangguan yang banyak

muncul baru-baru ini dan

perkembangannya sangat pesat di

Indonesia. Secara umum, kemampuan

akademik dan non akademik pada anak

autis mengalami keterlambatan meskipun

ada beberapa yang mengalami kemampuan

di atas rata-rata anak normal.

Keterlambatan tersebut di sebabkan karena

kurang optimalnya perkembangan fungsi

otak sehingga mempengaruhi

perkembangan aspek lainnya seperti

intelegensi, motorik, sosial dan emosi.

Anak autis mengalami keterlambatan dan

gangguan baik dalam aspek kognitif, sosial

maupun perilaku sehingga sekolah khusus

berfungsi untuk memberikan layanan

pendidikan sesuai dengan kebutuhan siswa

agar dapat hidup dan berkembang di dalam

kehidupan pribadi, keluarga dan

masyarakat.

Menurut Triantoro Safaria (2005: 2)

autisme merupakan suatu gangguan

perkembangan pervasif yang secara

menyeluruh mengganggu fungsi kognitif,

emosi,dan psikomotorik anak. Dilihat dari

istilah ilmiah kedokteran, psikiatri, dan

psikologi anak dengan gangguan autisme

merupakan seseorang yang termasuk dalam

gangguan pervasif (pervasive

developmental disorder) yang ditandai

Page 98: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 90

dengan distorsi perkembangan fungsi

psikologis dasar majemuk yang meliputi

perkembangan keterampilan sosial dan

berbahasa seperti perhatian, persepsi, daya

nilai terhadap realitas, dan gerakan-gerakan

motorik (Triantoro Safaria 2005: 1).

Prasetyono (2008: 28) juga menambahkan

beberapa perilaku berkekurangan (deficit)

dari anak autis antara lain kesiapan belajar,

motorik kasar, motorik halus, imitasi

nonverbal, imitasi verbal, pembicaraan

sederhana yang berguna, identifikasi dan

labelling, konsep umum dan hubungan,

identifikasi fungsi benda, pemahaman

kalimat, mengikuti perintah serta tidak

mampu bekerja mandiri dalam suatu tugas.

Dari beberapa kekurangan yang dimiliki

anak autis,kemampuan yang ditingkatkan

dalam rangka mengembangkan

kemampuan kemandiriannya adalah

motorik kasar.

Kemampuan motorik kasar

merupakan kemampuan beraktifitas

menggunakan otot-otot besar yang

termasuk kemampuan motorik gerak dasar.

Kemampuan motorik kasar anak perlu

dilatih karena kemampuan motorik kasar

berpengaruh terhadap tingkat kemampuan

motorik halus yang tujuan akhirnya adalah

dapat meningkatkan aspek kehidupan anak.

Menurut Hembing Wijayakusuma (2004:

24) pada anak autis gerakan motorik

terkadang mengalami gangguan karena

sensitivitas indra yang juga terganggu.

Anak autis menganggap bahwa segala

sesuatu yang ditujukan kepadanya

merupakan hal buruk yang perlu mereka

hindari. Sehingga mereka cenderung

enggan melakukan berbagai aktifitas

bermain secara normal yang memerlukan

keterampilan dan koordinasi motorik yang

baik.

Berdasarkan hasil observasi dan

diskusi dengan guru kelas dasar 1 di SLB

Insan Mandiri didapatkan informasi

mengenai adanya permasalahan

kemampuan dan perkembangan motorik

kasar yang terjadi pada peserta didik.

Berdasarkan dari informasi tersebut maka

dilakukan observasi dan observer

menemukan beberapa fakta mengenai

keterlambatan pada kemampuan motorik

anak yang dapat dilihat pada saat di dalam

kelas anak belum mampu mengikuti materi

akademik dikarenakan kondisi kelemasan

yang berlebihan pada otot-otot tangan anak,

sehingga ketika memegang pensil posisi

tangan anak masih belum kuat dan selalu

ditempelkan dengan meja,jika diangkat

maka akan jatuh lagi ke atas meja tersebut.

Setelah dilakukan observasi lebih lanjut,

ternyata anak juga belum mampu

melakukan gerakan motorik kasar seperti

memegang benda, menggerakkan tangan ke

depan, mengangkat tangan ke atas.

Beberapa informasi diperoleh mengenai

Page 99: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 91

penyebab anak mengalami keterlambatan

dalam aspek motorik kasar antara lain

faktor usia ibu pada saat melahirkan,

kurangnya pemahaman orangtua akan

perkembangan anak, kurangnya pemberian

latihan untuk motorik kasar. Sedangkan

dari aspek pendidikan dapat dilihat

penyebabnya yaitu anak baru masuk dunia

pendidikan.

Dalam dunia pendidikan,

ketidakmampuan anak sangat berpengaruh

terhadap kegiatan pembelajaran lainnya

seperti latihan menulis, binadiri, serta

latihan pembelajaran akademik lainnya.

Pemilihan materi dan metode latihan yang

tepat diharapkan mampu meningkatkan

kemampuan motorik kasar anak autis agar

berkembang secara optimal. Selama ini

cara guru dalam mengembangkan

kemampuan motorik kasar mereka sudah

cukup baik yaitu dengan selalu mengajak

berjalan-jalan, memegang dan melempar

bola. Namun cara tersebut dirasa kurang

efektif karena waktu yang diberikan singkat

dan banyak variasi kegiatan dalam waktu

tersebut sehingga anak tidak mampu

mengembangkan kemampuan mereka

secara optimal.

Berdasarkan permasalahan di atas,

maka peneliti tertarik untuk melakukan

peningkatan kemampuan motorik kasar

anak melalui permainan bola bocce.

Permainan Bola Bocce dipilih karena dalam

rangkaian permainan Bola bocce banyak

mengandung materi latihan yang berkaitan

dengan pengembangan motorik kasar yaitu

memegang bola, melempar bola,

menggelindingkan bola serta

menggerakkan otot lengan untuk

mengayunkan bola. Selain itu, media bola

digunakan karena anak suka dengan bola.

Bola Bocce merupakan sebuah permainan

bola yang terdiri dari 8 bola besar dan satu

bola kecil yang disebut pallina dengan

tujuan menggulingkan bola besar sedekat

mungkin dengan pallina (Sumardi, 2009:1).

Cara kerja dalam permainan bola bocce

adalah dengan melemparkan bola bocce ke

arah sedekat mungkin dengan pallina yaitu

bola kecil yang dijadikan sebagai patokan

lemparan.

Rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut: “bagaimana

proses pelaksanaan permainan bola bocce

untuk meningkatkan kemampuan motorik

kasar pada anak autis kelas 1 SDLB di SLB

Insan Mandiri?”. Tujuan Penelitian ini

adalah untuk mengetahui proses

pelaksanaan permainan bola bocce untuk

meningkatkan kemampuan motorik kasar

pada anak autis kelas 1 SDLB di SLB Insan

Mandiri.

METODE

Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah penelitian

Page 100: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 92

tindakan kelas dengan menggunakan dua

siklus. Siklus pertama terdiri dari 3

pertemuan dan siklus kedua terdiri dari dua

pertemuan.

Tindakan dikatakan berhasil apabila

skor yang diperoleh anak mencapai kriteria

keberhasilan yaitu 65 %. Nilai tersebut

diperoleh dari nilai skor yang diperoleh

siswa kemudian dibagi dengan total skor

dikalikan seratus persen. Nilai kriteria ini

didasarkan dari kesepakatan antara

observer dengan guru karena pemberian

nilai disekolah hanya menggunakan

deskripsi bukan angka.

Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada

semester II, selama kurang lebih 1 bulan

dimulai sejak 1 Juni sampai 28 Juni 2013.

Penelitian ini dilakukan diluar

ruangan,dihalaman SLB Insan Mandiri

yang beralamat di Jalan Raya Pathuk-

Dlingo Km 10 Dusun Temuwuh Dlingo,

Kabupaten Bantul Provinsi DIY.

Subyek Penelitian

Penentuan subyek dalam penelitian

ini dilakukan dengan teknik purposive

sample, yaitu mengambil subyek yang

didasarkan atas dasar tujuan tertentu

(Suharsimi Arikunto, 2006:139). Dalam

penelitian ini dasar pertimbangan yang

dilakukan adalah berdasarkan karakteristik

yang dibutuhkan dalam penelitian. Subyek

dalam penelitian ini adalah siswa autis di

SLB Insan Mandiri yang berjumlah satu

anak.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua

siklus. Siklus pertama terdiri dari tiga

pertemuan dan siklus kedua terdiri dari lima

pertemuan. Setiap siklus terdiri dari empat

komponen yaitu perencanaan. Tindakan,

pengamatan dan refleksi. Tahap pertama,

perencanaan diawali dengan observasi

terhadap siswa untuk mengetahui tingkat

kemampuan motorik kasar siswa,

kemudian mengadakan kolaborasi dengan

guru untuk menentukan nilai kriteria

minimal, menyusun RPP, lembar observasi

serta menyiapkan media yang akan

digunakan.

Tahap kedua, melaksanakan tindakan

penelitian yaitu proses pemberian latihan

motorik kasar melalui permainan bala

bocce. Tahap ketiga melakukan

pengamatan terhadap kinerja siswa dan

guru selama proses latihan. Tahap keempat

yaitu melakukan refleksi terhadap semua

item yang terdapat pada instrumen

penelitian dan berdiskusi mengenai hasil

dan evaluasi program berikutnya.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian

ini menggunakan tes, dan observasi. Tes

digunakan untuk mengukur peningkatan

kemampuan motorik kasar anak selama

proses latihan. Observasi dilakukan untuk

Page 101: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 93

mengetahui kinerja siswa dan guru dalam

proses pembelajaran menggunakan

permainan bola bocce.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam

penelitian ini adalah tes unjuk kerja dan

panduan observasi. Hasil tes digunakan

untuk mengukur peningkatan kemampuan

motorik kasar selama proses pembelajaran.

Panduan observasi digunakan untuk

mengukur kinerja siswa selama proses

pembelajaran menggunakan permainan

bola bocce.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini

menggunakan deskriptif kuantitatif dengan

persentase yaitu data hasil penelitian

disajikan dalam bentuk angka dan

dibandingkan. Perbandingan ini diperoleh

dari hasil pretest, posttest I dan posttest II.

Kemudian hasil perbandingan tersebut

dianalisa seberapa besar peningkatannya

dalam bentuk presentase dan diagram

batang kemudian dilanjutkan dengan

mendeskripsikannya

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Peningkatan kemampuan motorik

kasar dapat diketahui dengan cara melihat

hasil nila tes kemampuan motorik kasar

yang dilakukan pada saat pretest, posttest I

dan posttest II. Hasil tes kemampuan

motorik kasar anak autis pada saat pretest,

posttest I dan posttest II, sebagai berikut :

Tabel 1. Kemampuan Motorik Kasar Siswa

Autis Kelas 1 pada saat pretest, posttest I

dan posttest II.

Berdasarkan hasil diatas,

menunjukkan bahwa anak autis dalam tes

kemampuan awal motorik kasar

mendapatkan skor 6 dengan persentase

sebesar 40 %, pada siklus I mendapat skor

8 dengan persentase 53,33 % dan pada

siklus II meningkat dengan nilai skor 11

dan persentase menjadi 73,33 %. Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik

berikut :

Gambar 1. Grafik Peningkatan

Kemampuan Motorik Kasar siswa Autis

pada saat Pretest, Posttest I dan Posttest II

40%

53,33%

73,33%

0%

20%

40%

60%

80%

SR

Peningkatan Kemampuan

Motorik Kasar

HistogramPeningkatanKemampuanMotorik KasarSiswa AutisKelas 1melaluiPermainanBola Bocce

N

o

Pretes

t Pottest I Posttest II

1. Skor 6 8 11

2. Persentase

pencapaian

40 % 53,33 % 73,33 %

Page 102: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 94

Berdasarkan data diatas maka dapat

disimpulkan bahwa kemampuan motorik

kasar siswa autis mengalami peningkatan

melalui permainan bola bocce. SR mampu

melaksanakan tahap-tahap kegiatan yang

diberikan meskipun dengan sedikit atau

banyak bantuan dari guru.

Pembahasan

Subyek dalam penelitian ini yaitu

anak autis. Anak autis merupakan

seseorang yang termasuk dalam gangguan

pervasif (pervasive developmental

disorder) yang ditandai dengan distorsi

perkembangan fungsi psikologis dasar

majemuk yang meliputi perkembangan

keterampilan sosial dan berbahasa seperti

perhatian, persepsi, daya nilai terhadap

realitas, dan gerakan-gerakan motorik, hal

ini dikemukakan oleh Triantoro Safaria

(2005: 1).

Subyek dalam penelitian ini

mengalami keterlambatan dalam

kemampuan motoriknya baik motorik kasar

mau[un motorik halus. Tetapi hal yang

mendasar adalah dari motorik kasarnya

sehingga motorik halus juga mengalami

keterlambatan perkembangan. Ketika anak

mengikuti kegiatan pembelajaran dikelas,

anak terlihat mengalami kekakuan pada

saat memegang pensil dan posisi tangan

anak sulit untuk digerakkan.

Tindakan dalam penelitian ini berupa

penerapan permainan bola bocce untuk

meningkatkan kemampuan motorik kasar

anak autis di SLB Insan Mandiri Dlingo.

Tindakan ini dilaksanakan dalam dua

siklus. Setelah dilakukan tes kemampuan

awal, anak diberikan tindakan siklus I dan

siklus II berupa kemampuan memegang

bola bocce, kemampuan mengayunkan

tangan kebelakang, melempar bola bocce,

menggelindingkan bola bocce dan

memposisikan tubuh dengan benar.

Penggunaan bola bocce dipilih dalam

penelitian ini karena memiliki beberapa

kelebihan dalam meningkatkan

kemampuan motorik kasar.

Nilai tes kemampuan awal motorik

kasar mendapatkan skor 6 dengan

persentase sebesar 40 % dengan kategori

kurang, pada siklus I mendapat skor 8

dengan persentase 53,33 % dalam kategori

cukup dan pada siklus II meningkat dengan

nilai skor 11 dan persentase menjadi 73,33

% termasuk dalam kategori baik.

Berdasarkan nilai pencapaian yang

diperoleh anak dalam penelitian ini

menunjukkan bahwa penerapan permainan

bola bocce dapat meningkatkan

kemampuan motorik kasar anak autis di

SLB Insan Mandiri Dlingo.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan, dapat disimpulkan bahwa

permainan bola bocce dapat meningkatkan

kemampuan motorik kasar anak autis di

Page 103: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 95

SLB Insan Mandiri Dlingo peningkatan

tersebut dapat dilihat dari hasil tes

kemampuan motorik kasar yang dilakukan

pada saat pretest, posttest I dan posttest II.

Peningkatan ini juga dapat dibuktikan

dengan adanya peningkatan perolehan skor

yang didapatkan oleh anak sehingga

mencapai kriteria kemampuan minimal.

Diharapkan permainan bola bocce

dapat diterapkan menjadi salah satu media

dalam melatih kemampuan motorik kasar

anak autis disekolah sehingga siswa tidak

merasa jenih dengan kegiatan pembelajaran

yang hanya dilakukan dikelas.

DAFTAR PUSTAKA

Hembing Wijayakusuma. (2004).

Psikoterapi Anak Autisma: teknik

bermain kreatif non verbal verbal

terapi khusus untuk autisma. Jakarta:

Pustaka Populer Obor.

Prasetyono. (2008). Serba-serbi Anak

Autis. Yogyakarta: Diva Press.

Suharsimi Arikunto. (2006). Prosedur

Penelitian:Suatu Pendekatan

Praktik. Jakarta: Bumi Aksara.

Sumardi. (2009). Buku Panduan Cabang

olahraga Bocce Special Olympics.

Jakarta: Pengurus Pusat special

Olympics Indonesia.

Triantoro Safaria. (2005). Autism

Pemahaman Baru untuk Hidup

Bermakna Bagi Orangtua.

Yogyakarta: Graha Ilmu

Page 104: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 96

Pengembangan Media Pembelajaran “Flash Card” Dalam Meningkatkan Pembendaharaan

Kosa Kata Anak Tuna Rungu Di Sd Luar Biasa Tuna Rungu Wicara Kota Malang

Agusti Mardikaningsih, MPd (IKIP Budi Utomo Malang)

[email protected]

Dimas Arif Dewantoro (PLB-FIP-UM)

[email protected]

Abstrak

Teknologi berkembang secara cepat begitu juga dengan media pembelajaran yang saat

ini semakin beragam. Media pembelajaran memiliki fungsi sebagai penyalur guru kepada anak

ketika menyampaikan isi materi pembelajaran. Media pembelajaran yang digunakan untuk

anak berkebutuhan khusus (tuna rungu) harus sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan

perkembangan anak pada umumnya. Dilihat secara fisik, anak tunarungu terlihat sama dengan

anak normal lainnya. Perbedaan anak tunarungu dengan anak normal terlihat pada kemampuan

mendengarnya. Anak tunarungu kehilangan kemampuan mendengarnya yang menyebabkan

keterlambatan dalam perkembangan bahasanya.

Mengacu pada masalah yang muncul dari penelitian di atas, peneliti mengembangkan

sebuah media pembelajaran yang dapat membantu anak untuk lebih aktif dalam kegiatan

pembelajaran kognitif. Media pembelajaran yang dikembangkan lebih difokuskan untuk

mengembangkan aspek kognitif anak, tetapi juga tidak meninggalkan aspek yang lainnya.

Media “Flash Card” dapat dibuat mudah oleh guru, dikemas secara menarik, efektif dan efisien

sesuai dengan perkembanga teknologi yang ada. Media dapat disesuaikan dengan karakteristik

dan kebutuhan anak serta dapat disesuaikan dengan tema kegiatan yang akan dilaksanakan,

sehingga diharapakan dapat digunakan sebagai salah satu alternatif media pembelajaran yang

dapat mengembangkan aspek kognitif anak tuna rungu secara optimal.

Penelitian pengembangan ini menggunakan Model ADDIE. Model ADDIE adalah

model system pembelajaran bersifat umum dan merupakan salah satu model dalam

pengembangan produk, penerapan model ADDIE dalam desain pembelajaran memfasilitasi

lingkungan belajar yang disesuaikan dengan masalah yang ada. Setiap tahapan dalam model

ADDIE terdapat evaluasi, sehingga setiap tahapan akan berpengaruh terhadap tahapan

selanjutnya. Terdapat 5 tahapan dalam model ADDIE: Analyze (Analisis), Design (Desain),

Development (Pengembangan), Imlementation (Implementasi) dan Evaluation (Evaluasi)

Berdasarkan uji coba yang telah dilakukan kepada ahli materi, ahli media dapat

disimpulkan bahwa pengembangan media pembelajaran “Flash Card” memiliki hasil dari:(1)

Ahli materi (96,2%) dengan kriteria valid/ layak, (2) Ahli media (95%) dengan kriteria valid/

layak Dan hasil tes kemampuan awal, diketahui subjekA memperoleh nilai 20 dan subjekB

memperoleh nilai 40. Pada hasil setelah penggunaan media pembelajaran “Flash Card”,

diketahui subjekA memperoleh nilai 53 dan subjekB memperoleh nilai 70. Sedangkan pada

hasil tes berikutnya, diketahui subjekA memperoleh nilai 77 dan subjekB memperoleh nilai 83.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan media flashcard dapat meningkatkan

penguasaan kosakata siswa tunarungu siswa kelas Dasar

Kata Kunci : Media Pembelajaran Flash Card, Tuna Rungu

Page 105: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 97

Abstract

The development of technology it is so fas ,altough with the media learning that so diverse

now. Media learning has the fuction as like teaxher connector to the students when conveying

the learning subject. Media learning that used for the deaf students should according to the

development of characteristic and necessary in general. Looked by phisic, the deaf looks like

same with the normal students. The difference of the deaf students with normal students looked

in the hearing skills. The deaf students lost of the hearing who induce the improvement of

language late.

According to the problem that appear in this research above, researcher improving a learning

media who can help the deaf students in the cognitif learning process. Media learning improved

more focused to improving cognitif aspect of the students, But also did not leaving the other

aspect. "Flash card" media can used by teacher easily, with interesting packed, efective and

evisien appropriate with the development of media that there. Media accorded to with the

characteristic and necessary of students along with can accorded with the theme of activity who

will done, So that expected can be the one of media learning alternative that can used to

improve the cognitive aspect of the deaf students optimaly.

This improvent research using the ADDIE model. ADDIE model is the model system of

learning generally and one of model in product development, the immplementation of ADDIE

model in learning design to facilate learning area that according to the problem that there. In

every step of the ADDIE model there the evaluation, so that in every step will influenced to

the next step. There five step in the ADDIE model : Analyze (analisis), design (desain),

development ( pengembangan), implementation (implementasi) and Evaluation ( evaluasi)

Based on the trial that did by subject exerpets, media experts can conclude that the development

of "flash card" media learning

Keywords: Flash card, deaf

Page 106: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 98

Pendahuluan

Teknologi berkembang secara cepat

begitu juga dengan media pembelajaran

yang saat ini semakin beragam. Media

pembelajaran memiliki fungsi sebagai

penyalur guru kepada anak ketika

menyampaikan isi materi pembelajaran.

Menurut Kustiawan (2012:02) bahwa

media pembelajaran merupakan segala

sesuatu yang digunakan oleh guru untuk

menyampaikan materi pelajaran kepada

murid, sehingga murid tertarik minat dan

perhatiannya, terangsang pikiran dan

perasaannya pada kegiatan belajar dalam

rangka mencapai tujuan pembelajaran.

Media pembelajaran yang

digunakan untuk anak berkebutuhan khusus

(tuna rungu) harus sesuai dengan

karakteristik dan kebutuhan perkembangan

anak pada umumnya. Media pembelajaran

yang digunakan haruslah bersifat

komunikatif, aman saat digunakan, menarik

minat anak untuk belajar, menumbuhkan

rasa ingin tahu anak, mampu menyalurkan

materi yang akan disampaikan oleh guru,

meningkatkan daya kreativitas anak, dan

dapat mengembangkan aspek kemampuan

anak secara optimal dan, tidak

meninggalkan unsur bermain bagi anak.

Dilihat secara fisik, anak tunarungu

terlihat sama dengan anak normal lainnya.

Perbedaan anak tunarungu dengan anak

normal terlihat pada kemampuan

mendengarnya. Anak tunarungu kehilangan

kemampuan mendengarnya yang

menyebabkan keterlambatan dalam

perkembangan bahasanya. Kehilangan

kemampuan mendengar tersebut juga

berpengaruh dalam menerima dan

menangkap informasi dari luar baik lisan

maupun tertulis. Kondisi tersebut juga 2

mempengaruhi penguasaan kosakata yang

dimiliki oleh anak tunarungu. Hasil

penelitian Lewton dan Mackey dalam Edja

Sadjaah (2005:5) menunjukkan bahwa

keterbelakangan atau hambatan

perkembangan kognisi anak tuli ada

hubungannya dengan kemiskinan bahasa,

oleh karena kurangnya pemerolehan

informasi, menjadikan data abstraksi dan

imajinasinya mengalami hambatan.

Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi

untuk dapat berinteraksi dengan sesama.

Dengan adanya komunikasi dengan orang

lain, bahasa diharapkan dapat membantu

manusia untuk mengemukakan gagasan,

pikiran, perasaan, dan pendapat dari

masing-masing individu. Setiap individu

harus memiliki banyak kosakata agar

mampu mengemukakan gagasan, pikiran,

perasaan, dan pendapat yang baik dan

benar. Pemerolehan kosakata anak

Page 107: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 99

diperoleh dari lingkungan sekitar baik itu

melalui indra penglihatan maupun indra

pendengaran. Akan tetapi, anak tunarungu

hanya memperoleh kosakata melalui indra

penglihatan saja. Hal tersebut

menyebabkan anak tunarungu kurang

dalam penerimaan kosakata

Mengacu pada masalah yang

muncul dari penelitian di atas, peneliti

mengembangkan sebuah media

pembelajaran yang dapat membantu anak

untuk lebih aktif dalam kegiatan

pembelajaran kognitif. Media pembelajaran

yang dikembangkan lebih difokuskan untuk

mengembangkan aspek kognitif anak,

tetapi juga tidak meninggalkan aspek yang

lainnya. Media “Flash Card” dapat dibuat

mudah oleh guru, dikemas secara menarik,

efektif dan efisien sesuai dengan

perkembanga teknologi yang ada. Media

dapat disesuaikan dengan karakteristik dan

kebutuhan anak serta dapat disesuaikan

dengan tema kegiatan yang akan

dilaksanakan, sehingga diharapakan dapat

digunakan sebagai salah satu alternatif

media pembelajaran yang dapat

mengembangkan aspek kognitif anak tuna

rungu secara optimal.

Kelebihan media pembelajaran

“Flash Card” dibanding dengan media

pembelajaran flash card pada umumnya

yaitu: (1) dapat mengembangkan aspek

perkembangan kognitif melalui media yang

dapat menarik minat anak, (2) selain dapat

mengembangkan aspek kognitif,

media flash cardpintar juga dapat

mengembangkan aspek sosial emosional,

bahasa, nilai agama moral, fisik motorik,

(3) media pembelajaran flash cardpintar

dapat disesuaikan dengan perkembangan

dan kebutuhan anak serta dapat disesuaikan

dengan tema pembelajaran, (4) didesain

sedemikian rupa sehingga menarik, efisien

dan efektif dalam penggunaannya.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses pengembangan

media pembelajaran “Flash Card”?

2. Bagaimana proses pembelajaran dalam

meningkatkan penguasaan kosakata

anak tunarungu kelas menggunakan

media flashcard?

Tujuan

1. Untuk mengetahui proses

pengembangan media pembelajaran

“Flash Card”

2. Untuk mengetahui proses

pembelajaran dalam meningkatkan

penguasaan kosakata anak tunarungu

kelas menggunakan media flashcard

Manfaat Penelitian

Page 108: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 100

1. Bagi siswa, dapat dijadikan sebagai

bahan pembelajaran yang dapat

digunakan untuk meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman kosakata

2. Bagi guru, dapat menjadi salah satu

alternatif media pembelajaran dalam

meningkatkan kosa kata anak tuna

rungu

3. Bagi sekolah, sebagai sarana

pengembangan, pengetahuan dan

penerapan alternatif media

pembelajaran

Metode

Penelitian pengembangan ini menggunakan

Model ADDIE. Model ADDIE adalah

model system pembelajaran bersifat umum

dan merupakan salah satu model dalam

pengembangan produk, penerapan model

ADDIE dalam desain pembelajaran

memfasilitasi lingkungan belajar yang

disesuaikan dengan masalah yang ada.

Setiap tahapan dalam model ADDIE

terdapat evaluasi, sehingga setiap tahapan

akan berpengaruh terhadap tahapan

selanjutnya. Terdapat 5 tahapan dalam

model ADDIE:

1. Analyze (Analisis)

Untuk menghasilkan Media

Pembelajaran “Flash Card” yang baik

maka diperlukan analisis. antara lain;

1) menentukan tujuan yang akan

dicapai, 3) menganalisis kemampuan

dan karakteristik pendidik dan peserta

didik. 4) mengidentifikasi

sumber/bahan yang telah tersedia

2. Design (Desain)

Langkah penting dalam desain adalah

bagaimana seseorang merancang

desain Media Pembelajaran “Flash

Card” yang sesuai dengan tujuan

pembelajaran

3. Develop (Pengembangan)

Merupakan tahapan produksi dimana

segala sesuatu yang telah dibuat dalam

tahapan desain menjadi nyata.

4. Implement(Implementasi)

Pada tahap ini Media Pembelajaran

“Flash Card” sudah siap untuk

digunakan dalam proses belajar

mengajar. Kegiatan yang dilakukan

adalah mempersiapkan guru dan siswa

dalam menggunakan media. Tujuan

dari implementasi dalam tahapan

ADDIE adalah membimbing pebelajar

untuk mencapai tujuan pebelajar,

5. Evaluate (Evaluasi)

Konsep penting dari tahapan evaluasi

model ADDIE adalah bagaimana

seorang perancang pembelajaran

mampu melakukan evaluasi

keseluruhan model dari tahap awal

sampai akhir. Kegiatan evaluasi

Page 109: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 101

setidaknya mampu menjawab

pertannyaan sebagai berikut:

bagaimana sikap peserta didik terhadap

kegiatan pembelajaran, bagaimana

peningkatan kompetensi dalam diri

pembelajar dan keuntungan apa yang

dirasakan oleh pengajar setelah

menggunakan Media Pembelajaran

“Flash Card dalam proses belajar

mengajar

Gbr1. Model Pengembangan ADDIE

Gbr2. Evaluasi Tahapan dalam

Model ADDIE

(Steven J. McGriff 2000:9)

Telah disebutkan sebelumnya

bahwa keistimewaan dari Model ADDIE

adalah setiap fase tahapan terdapat proses

evaluasi. 1) Evaluasi Formatif berfungsi

untuk menentukan kemajuan dalam setiap

tahapan, menyiapkan umpan balik yang

akan dilakukan pada tahap berikutnya.

Evaluasi Formatif berupa observasi,

wawancara, validasi dll. 2) Evaluasi

Sumatif berfungsi sebagai penentuan

pencapaian terakhir dari setiap tahapan

Hasil

Berdasarkan uji coba yang telah

dilakukan kepada ahli materi, ahli media

dapat disimpulkan bahwa pengembangan

media pembelajaran “Flash Card” memiliki

hasil dari:(1) Ahli materi (96,2%) dengan

kriteria valid/ layak, (2) Ahli media (95%)

dengan kriteria valid/ layak Dan hasil tes

kemampuan awal, diketahui subjekA

memperoleh nilai 20 dan subjekB

memperoleh nilai 40. Pada hasil setelah

penggunaan media pembelajaran “Flash

Card”, diketahui subjekA memperoleh nilai

53 dan subjekB memperoleh nilai 70.

Sedangkan pada hasil tes berikutnya,

diketahui subjekA memperoleh nilai 77 dan

subjekB memperoleh nilai 83. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa penerapan

media flashcard dapat meningkatkan

penguasaan kosakata siswa tunarungu

siswa kelas Dasar

Saran

Analyze

Design

Develop

Implement

Evaluate

Formative

Evaluate

Summative

Evaluate

Page 110: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 102

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan, maka peneliti memberikan

beberapa saran sebagai berikut: 1. Bagi

guru Guru dapat menggunakan media

flashcard dalam pembelajaran di kelas

untuk membelajarkan kosakata pada siswa

tuna rungu karena media flashcard dapat

menarik minat dan daya ingat siswa dalam

mengenal kosakata. 2. Bagi Sekolah

Sekolah dapat menyediakan media

flashcard sehingga dapat digunakan siswa

untuk pembelajaran dalam mempelajari

kosakata baru.

Daftar Pustaka

A Edward Blackhurst, dkk. (1981). An

Introduction To Special Education.

Canada: Little, Brown & Company.

Ahmad Wasita. (2012). Seluk-beluk

Tunarungu & Tunanetra.

Yogyakarta: Javalitera.

Arief Sadiman, dkk. (2011). Media

Pendidikan. Jakarta: Rajawali

Darmiyati Zuchdi. (1990). Strategi

Meningkatkan Kemampuan

Membaca Peningkatan Pemahaman

Bacaan. Yogyakarta: FPBS IKIP.

Dina Indriana. (2011). ragam Alat Bantu

Media Pengajaran. Yogyakarta: Diva

Press.

Djoko Saryono dan Soedjito. (2011). Seni

Terampil Menulis Kosakata Bahasa

Indonesia. Malang: Aditya Media

Publishing.

Edja Sadjaah. (2005). Pendidikan Bahasa

Bagi Anak Gangguan Pendengaran

dalam Keluarga. Jakarta : Depdiknas.

Sutjihati Soemantri. (2012). Psikologi

Anak Luar Biasa. Bandung: Refika

Aditama.

Page 111: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 103

Efektivitas Pembuatan Lukisan Plastik Timbul Terhadap Kemampuan Motorik Halus

Anak Hambatan Intelektual Kategori Sedang di SLB ERHA Semarang

Istiqomah

Pendidikan Luar Biasa/ Universitas Negeri Yogyakarta

e-mail: [email protected]

Abstract:

This research aimed to determine the effectiveness of making plastic painting embossed

“Lupit” to the fine motor skills of moderate intelctual disabilities children in SLB ERHA

Semarang. The research used quasi experiment which was One-Group Pre-test and Post-test

design. The techniques to collect the data were test, observation and documentation. The data

analyzing used sign test. In the table X. The significance level of 0.05 showed the equal to 0

(zero), so thw result of Xt ≥ X = ((ᾱ 0.500) ≥ 0. Therefore, the significance existed and Ho was

rejected. It’s means making plastic painting embossed effective to improve the fine motor skills

of moderate intellectual disabilitity children in SLB ERHA Semarang.

Keyword: Fine motor skills, Intelectual disabilities, Plastic painting embossed

PENDAHULUAN

Hambatan intelektual ditandakan

dengan keterbatasan yang signifikan dalam

fungsi inteketual maupun dalam perilaku

adaptif seperti adaptif konseptual, sosial

dan praktis (Hallahan, 2009: 147). Pendapat

lain mengatakan bahwa hambatan

intelektual adalah individu yang mengalami

keterbelakangan mental dengan ditunjukan

fungsi kecerdasan dibawah rata-rata dan

ketidak mampuan dalam penyesuaian

perilaku (Mumpuniarti, 2000: 26). Anak

hambatan intelektual diklasifikasikan

menjadi beberapa tingkatan diantaranya

adalah hambatan intelekrual kategori

ringan dengan IQ 50-70, hambatan

intelektual kategori sedang IQ 30-50 dan

hambatan intelektual kategori berat IQ <30.

Berdasarkan kemampaun intelektual yang

dimiliki oleh anak dengan hambatan

intelektual kategori sedang akan

berpengaruh terhadap berbagai aspek

diantaranya adalah kemampuan perilaku

dan motorik halus. Pendapat tersebut

diperkuat oleh Sunardi dan Sunaryo

(2007:122) yang menjelaskan bahwa

semakin berat hambatan intelektual anak

semakin berat defisiensi keterampilan

motoriknya terutama motorik halus,

sehingga perlu dimaksimalakan dengan

pembelajaran khusus dan latihan yang

disesuaikan dengan kemampuan anak.

Motorik halus merupakan gerakan-

gerakan kecil pada alat anggota tubuh dan

berhubungan dengan otot-otot halus.

Menurut Rahyubi Heri, (2012: 25) motorik

Page 112: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 105

halus merupakan keterampilan yang

memerlukan kemampuan untuk

mengkoordinasikan otot-otot kecil dalam

melakukan suatu aktivitas. Perkembangan

motorik halus melibatkan otot-otot kecil

dan melakukan gerak-gerak seperti meraih,

memegang, melambai dan menulis (Linda

L Dunlap, 2009: 186). Permasalah motorik

juga dialami oleh beberapa anak hambatan

intelektual kategori sedang yang ditandai

dengan adanya ketidak mampuan dalam

mengelola otorik halus berupa gerakan-

gerakan halus pada jari-jari tangan. Hal ini

ditegaskan oleh Sujarwanto (2005: 90)

yang menyatakan bahwa perasalahan

motorik ditunjukan dengan ketidak

mampuan dalam mengelola kemampuan

motorik halus yang berupa gerakan-

gerakan halus pada gerak jari-jari.

Kemampuan motorik halus pada anak

hambatan intelektual kategori sedang lebih

rendah jika dibandingkan dengan anak

normal pada umumnya yang seusianya.

Pendapat tersebut didukung oleh Kral dan

Stein (dalam Sutjihati Sumantri, 1996: 88)

bahwa “Secara umum penampilan anak

hambatan intelektual kurang memadai

hampir pada semua tes kecakapan motorik

jika dibandingkan dengan anak normal

yang memiliki cronology age relatif sama.

perbedaan yang mencolok pada koordinasi

gerak yang kompleks dan pemahaman”

Gerakan-gerakan motorik halus tersebut

dapat berupa gerakan jari-jari atau

keterampilan jari. Adapun unsur-unsur

dalam motorik halus diantaranya yaitu: 1)

Kecermatan, 2) Kelenturan, 3) Ketepatan,

dan 4) Kehalusan gerak. Tujuan dari

mengembangkan keterampilan motorik

halus khususnya jari tangan adalah untuk

mendukung berbagai aktivitas dan

kariernya.

Anak hambatan intelektual kategori

sedang yang mengalami defisiensi motorik

dapat dikembangkan kemampuannya

seperti melalui pelatihan motorik halus

pada jari-jari. Tahapan untuk pelatihan

pada dapat menggunakan tahapan

keterampilan belajar yaitu belajar mencoba

dan ralat (Trial and error), meniru, dan

pelatihan (Hurlock, 1978: 158). Anak

hambatan intelektual dalam pembelajaran

dan pelatihan motorik halus memerlukan

waktu lebih banyak jika dibandingkan

dengan anak pada umumnya dengan

bimbingan guru atau orangtua

(Mumpuniarti, 2000: 62). Pengajaran

motorik halus pada anak perlu

menggunakan koordinasi salah satu

caranya adalah mengunakan lukisan platik

timbul.

Teknik lukisan timbul menurut

Page 113: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 106

Sukimin dan Sutandur (2008: 60) dapat

dibuat dengan cara memahat atau

membentuk, menempel, memijit benda-

benda tertentu hingga membentuk suatu

yang dinginkan kemudian di tempelkan

pada suatu bidang. Pembuatan lukisan

plastik timbul merupakan salah satu teknik

meningkatkan motorik halus jari tangan

anak dengan bahan dasar kertas dan plastik

bekas.

Berdasarkan observasi di SLB ERHA

Semarang terdapat beberapa anak

hambatan intelektual kategori sedang yang

mengalami hambatan motorik halus.

Hambatan tersebut terlihat dari hasil

tempelan yang masih keluar dari garis dan

tidak sesuai dengan tempatnya. Begitu pula

dalam kegiatan mewarnai beberapa anak

hambatan intelekual sedang mengalami

kesulitan dalam memegang pensil sehingga

hasilnya tidak sesuai dengan garis dan

bidang yang akan di warnai. Ketika

dilakukan tes merangkai manik-manik anak

tidak dapat menjimpit manik-manik yang

ukurannya kecil dan memasukkanya dalam

benang atau lidi. Hasil dokumentasi yang

dialakukan dengan melihat buku tugas anak

terlihat jika dalam menebalkan huruf masih

keluar dari garis.

Permasalahan motorik halus anak

hambatan intelektual kategori sedang dapat

diakomodasi dalam pembelajaran, salah

satunya melalui pembuatan lukisan plastik

timbul. Lukisan plastik timbul merupakan

pembuatan lukisan dengan menggunakan

kertas dan plastik yang sudah tidak

terpakai. Pembuatan lukisan plastik timbul

memiliki keunggulan yaitu dalam proses

pembuatannya dimulai dari tahapan

sederhana ke konkrit. Tahapannya yaitu

menyobek kertas menjadi ukuran kecil,

meremas kertas menjadi bubur kertas,

memeras kertas, mancampurkannya dengan

berbagai adonan tambahan, membuat pola

dengan menebalkan garis, dan

menempelkan adonan kertas pada bidang

triplek. Setelah kering dilanjutkan dengan

memberikan lem dan menempelkan

potongan plastik di atas bubur kertas sesuai

dengan tempatnya.

Oleh karena itu pembuatan lukisan

platik timbul diasumsikan mampu

meningkatkan kemampuan motorik halus

anak hambatan intelektual kategori sedang

di SLB ERHA Semarang.

METODE

Jenis penelitian

Penelitian ini penulis menggunakan

jenis penelitian Quasi Experiment. Variavel

bebas dalam penelitian ini adalah

pembuatan lukisan plastik timbul dan

Page 114: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 107

variabel terikatnya adalah kemampuan

motorik halus pada anak hambatan

intektual kategori sedang. Subjek penelitian

akan dilihat kemampuan motorik halusnya

sebelum diberi intervensi dan setelah

diberikan intervensi dengan pembuatan

lukisan plastik timbul.

Desain penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah one grup pre-

test pos-test desaign, yaitu penelitian

dilakukan sebelum dan sesudah subjek

diberikan perlakuan:

Pre-Test (O1) Post-Test (O2)

X = Pembuatan lukisan plastik

timbul

Keterangan:

= arah perubahan kemampuan

motorik

= Treatment

Waktu dan tempat

Penelitian dilaksanakan di Sekolah

Luar Biasa ERHA yang beralamat di

Karajan Lor RT 05 RW 03, Kec. Pabelan,

Kab. Semarang. Waktu penelitian

dilakukan pada bulan Juli - September

2017.

Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah anak

hambatan intelektual kategori sedang di

SLB ERHA berjumlah 5 anak yakni 3 laku-

laki dan 2 perempuan, dengan masalah

kemampuan motorik halus.

Prosedur

Prosedur penelitian ini sebagai berikut

1) Tes awal (Pretest)

Peneliti memberikan tes awal berkaitan

dengan keterampilan motorik halus

anak hambatan intelektual kategori

sedang di SLB ERHA Semarang tanpa

diberi perlakukan. Peneliti menghitung

hasil pretest untuk menentukan kondisi

awal. Jumlah tes sebanyak 22 butir

dengan bentuk tes.

2) Perlakuan (treatment)

Peneliti memberikan perlakuan

terhadap subjek. Perlakuan yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah

pembuatan lukisan plastik timbul di

SLB ERHA Semarang. Tahapan

pembuatan lukisan plastik meliputi,

menyobek kertas menjadi ukuran kecil,

meremas kertas menjadi bubur kertas,

memeras kertas, mancampurkannya

dengan berbagai adonan tambahan,

membuat pola dengan menebalkan

Kemampuan

motorik halus

anak hambatan

intelektual

kategori sedang

Kemampuan

motorik halus

anak hambatan

intelektual

kategori sedang

O1 - x - O2

Page 115: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 108

garis, dan menempelkannya pada

bidang triplek. Menempelkannya

potongan plastik di atas bubur kertas

sesuai dengan tempatnya. Perlakukan

diberikan setelah dilakukan pretest.

Jumlah perlakuan sebanyak 10 kali

dengan durasi masing-masing

pertemuan 60 menit.

3) Tes akhir (Postest)

Postest dilakuakan setelah subjek

diberi perlakuan sebanyak 10 kali.

Peneliti memberikan tes sebanyak 22

butir dengan bentuk tes tindakan. Skor

hasil postest di jumlahkan dan dihitung

untuk menentukan hasil data setelah

diberikan perlakuan.

4) Membandingkan hasil pretest dan pos

test untuk melihat selisih atau pengaruh

yang di timbulkan.

5) Menetapkan taraf efektifitas dengan

menggunakan pengujian statistik non-

parametrik uji-t.

Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data pada

penelitian ini adalah tes dan observasi. Tes

berupa tes kemampuan motorik halus anak

yang digunakan untuk mengukur

pencapaian sebelum di berikan perlakuan

pembuatan lukisan plastik timbul da setelah

pemberian perlakuan. Teknik observasi

untuk melihat perilaku anak selama

pemberian perlakuan dan pengamatan

mengenai aktivitas peserta didik.

Instrumen yang digunakan pada tes

dan observasi adalah check list. Check

list/daftar cek merupakan pedoman

observasi yang berisikan daftar dari semua

aspek yang akan diamati. Instrumen ini

dikembangkan dari pendapat Dini P. Daeng

Sari (1996: 721) yang menyatakan

kemampuan motorik halus melibatkan

aktifitas otot-otot kecil atau halus, gerakan

ini menuntut koordinasi mata dan tangan

serta pengendalian gerakan yang

memungkinkan untuk melakukan ketetapan

dan kecermatan dalam gerakannya. Dengan

demikian, kisi-kisi penilaian keterampilan

motorik halus yang diamati pada anak

hambatan intelektual kategori adalah

ketepatan, kerapian dan kelenturan jari-jari.

Teknik analisis data

Teknik analisis data pada penelitian

ini mengunakan perbandingan skor antara

pretest dan postest. Langkah-langkah

analisis yang dilakukan adalah (Sugiyono,

2010: 225).

1. Mecari nilai tes awal

Mencari nilai tes awal dilakukan dari

skor tes yang di lakukan anak, kemudian

di jumlahkan.

Page 116: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 109

2. Mencari nilai tes akhir

Nilai tes akhir didapat dari nilai tes yang

dilakukan setelah diberi perlakukan

kemudian di jumlahkan dari skor tes.

3. Menghitung perbedaan rerata dengan

uji-t.

Perbedaan rerata didapatkan dari

membandingkan hasil pretest dan

postest. Selanjutnya menghitung

perbedaan skor dengan tes tanda untuk

menentukan perbedaan antara skor

pretest postest dan efektivitas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil penelitian menunjukan adanya

hasil perbedaan antara petest dan postest pada

masing-masing subjek setelah pemberian

treatment. Berdasarkan data hasil pretest pada

subjek BM 39 dan hasil postest 45. Subjek

ISA perolehan skor pretest 42 dan perolehan

skor postest 49. Subjek I perolehan skor

pretest 43 dan perolehan skor postest 51.

Subjek MU perolehan skor pretest 34 dan

skor postest 40. Subjek SP perolehan skor

pretest 38 dan skor postest 43. Pada masing-

masing subjek mengalami peningkatan

setelah diberikan perlakuan pembuatan

lukisan plastik timbul. Perbandingan skor

kemampuan motorik halus pretest dan postest

pada masing-masing individu dapat dilihat

pada tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan hasil

pretest dan postest

Subjek Hasil

Pretest

(A)

Postest

(I)

BM 39 45

ISA 42 49

I 43 51

MU 34 40

SP 38 43

Jumlah 196 228

Rerata 39,2 45,6

Selanjutnya hasil dari tabel disajikan dalam

bentuk grafik.

Gambar 1. Grafik skor pretest dan prostest

subjek

Hasil dari rata-rata pretest

kemampuan motorik halus pada anak

hambatan intelektual kategori sedang

sebesar 39,2 dan rata-rata hasil postest

sebanyak 45,6. Perolahan skor pretest

menunjukan perolehan skor rata-rata lebih

rendah dari skor rata-rata postest yaitu

mengalami peningkatan rata-rata sebesar

6,4. Perolehan skor rata-rata tersebut

menunjukan bahwa keterampilan motorik

halus anak lebih baik jika dibandingkan

dengan kondisi awal sebelum mendapat

0

20

40

60BM ISA I

MU SP

Pretest

Postes

Page 117: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 110

perlakukan berupa pembuatan lukisan

plastik timbul.

Perbandingan rata-rata hasil

observasi dan tes keterampilan motorik

halus anak terdiri kondisi awal dan akhir.

Perbandingan rata-rata keterampilan

motorik halus anak hambatan intelektual

ketegori sedang pada saat pretest dan

postest dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Grafik rerata pretest

dan postest

\\

Perhitungan rata-rata hasil tes

kemampuan motorik halus pada anak

hambatan intelektual kategori sedang

menggunakan tes tanda.

Tabel 2. Hasil analisis menggunakan tes

tanda

Subjek Arah

Perbedaan

Arah

Perbedaan

Tanda

Pre

tes

(A)

Postes

(I)

BM 39 45 I ≥ A +

ISA 42 49 I ≥ A +

I 43 51 I ≥ A +

MU 34 40 I ≥ A +

SP 38 43 I ≥ A +

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa nilai x = 0, dilihat dari arah

perubahan yang menunjukkan negativ.

Harga N = 5. Sedangkan D = 5 yang

menunjukkan jumlah subjek yang

mengalam perubahan. Dari tabel tersebut,

jumlah Xt dengan jumlah N= 5 dan x = 0

adalah sebesar 0.031 sebagai Xt hitungnya,

sehingga didapat hasil Xt = 0.031.

Persyaratan hipotesis diterima

apabila Xt ≤ X tabel. Pada X tabel pada

taraf signifikansi sebesar 0.05

menunjukkan hasil 0 (nol), sehingga

didapat hasil Xt ≥ X = (ᾱ 0.500) ≥ 0.

Kesimpulannya terjadi signifikasi dan Ho

ditolak. Sehingga pembuatan lukisan

plastik timbul efektif meningkatkan

kemampuan motorik halus bagi anak

hambatan intelektual sedang di SLB

ERHA Semarang.

Pembahasan

Penelitian yang dilakukan merupakan

penelitian quasi eksperimen dengan

langkah-langkah : 1) mencarai skor pretest

dan postest pada masing-masing subjek, 2)

mencari skor rerata pretest dan postest, 3)

menghitung rerata dengan uji-t Hasil yang

diperoleh menggunakan lembar observasi

dan tes berupa chek list (√). Lebar chek list

digunakan untuk memudahkan dalam

20

40

60 Reratapretest

Reratapostest

Page 118: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 111

melakukan observasi dan tes pada

kemampuan motorik halus anak hambatan

intelektual kategori sedang dengan

dilakukan penyususnan lembar chek list di

awal.

Hasil penelitian setelah dilakuakan

sebanyak 10 kali menunjukan perolahan

skor rata-rata pretest rata-rata lebih rendah

dari skor rata-rata postest yaitu mengalami

peningkatan rata-rata sebesar 6,4.

Pengujuan menggunakan tes tanda

persyaratan hipotesis diterima apabila Xt ≤

X tabel. Pada X tabel pada taraf

signifikansi sebesar 0.05 menunjukkan

hasil 0.031, sehingga didapat hasil Xt ≥ X =

(ᾱ 0.500) ≥ 0.031 sehingga Ho ditolak.

Sehingga pembuatan lukisan plastik timbul

efektif meningkatkan kemampuan motorik

halus bagi anak hambatan intelektual

sedang di SLB ERHA Semarang.

Keefektivan ini didukung oleh

beberapa hal. Pertama, pembuatan lukisan

platik timbul pelatihan disesuaikan dengan

perkembangan kemampuan anak.

pemberian trial and error yang dilakukan

dengan memusatkan perhatian, menuru

sesuai dengan arahan, melakukan sendiri.

Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock

(1978:158) bahwa anak belajar

keterampilan melalui tahapan mencoba dan

ralat (trial and error), meniru dan

pelatihan. Melalui kegiatan trial and error

anak akan lebih bersemangat dan tidak di

paksakan dalam pelaksanaanya.

Kedua, dukungan orangtua dan guru.

Selama diberi perlakuan anak didukung dan

didampingi oleh guru. Pendampingan dari

guru akan membuat anak hambatan

intelektual kategori sedang lebih

termotivasi untuk menyelesaikan tugas-

tugasnya dan merasa ada yang

meperhatikannya. Hal tersebut sesuai

dengan pendapat Mumpuniarti (2000: 62)

bahwa anak hambatan intelektual kategori

sedang perlu diberi banyak kesempatan

latihan untuk mengembangkan kemampuan

motorik halusnya dengan bimbingan dan

pendampingan guru atau orang tua.

Ketiga, Proses pembuatan lukisan

platik timbul dari yang sederhana menuju

kompleks. Tahapannya yaitu menyobek

kertas menjadi ukuran kecil, meremas

kertas menjadi bubur kertas, memeras

kertas, mancampurkannya dengan berbagai

adonan tambahan, membuat pola dengan

menebalkan garis, dan menempelkan

adonan kertas pada bidang triplek. Setelah

kering dilanjutkan dengan memberikan lem

dan menempelkan potongan plastik di atas

bubur kertas sesuai dengan tempatnya.

Tahapan yang dimuali dari yang sederhana

membuat anak mudah untuk mengikutinya.

Page 119: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 112

Oleh karena itu apabila keterampilan

pembuatan lukisan plastik dilatihkan secara

terus menerus akan meningkatkan

kemampuan motorik halus anak hambatan

intelektual kategori sedang. Hal tersebut

sependapat dengan Mumpuniarti, (2000:

62) anak hambatan intelektual dalam

pembelajaran dan pelatihan motorik halus

memerlukan waktu lebih banyak jika

dibandingkan dengan anak pada umumnya.

Keadaan tersebut membuktikan bahwa

kegiatan pembuatan lukisan platik timbul

efektif untuk meningkatkan kemampaun

motorik halus pada anak hambatan

intelektual kategori sedang di SLB ERHA

Semarang.

KESIMPULAN

Pembuatan lukisan plstik timbul

efektiv untuk meningkatkan kemampuan

motorik halus anak hambatan intelektual

kategori sedang di SLB ERHA Semarang.

Hal tersebut terbukti dari rerata pretes dan

postes dan dianalisis dengan statistik non-

parametrik tes tanda dengan hasil

persyaratan hipotesis diterima apabila Xt ≤

X tabel. Pada X tabel pada taraf signifikansi

sebesar 0.05 menunjukkan hasil 0.031,

sehingga didapat hasil Xt ≥ X = (ᾱ 0.500) ≥

0.031. Peningkatan motorik halus pada

anak hambatan intelektual kategori sedang

didukung oleh beberapa hal. Pertama,

pelatihan pembuatan lukisan platik timbul

disesuaikan dengan perkembangan

kemampuan anak. Pemberian trial and

error yang dilakukan dengan memusatkan

perhatian, menuru sesuai dengan arahan,

melakukan sendiri. Kedua, adanya

pendampingan dan dukungan guru maupun

orangtua, dan ketiga, proses pembuatn

dilakukan dari tahapan yang sederhana

menuju komplek.

Saran

Harapnnya pembuatan lukisan plastik

timbul ini menjadi salah satu alternatif

media pembelajaran untuk meningkatkan

kemampuan motorik halus pada anak

hambatan intelektual kategori sedang di

berbagai jenjang sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Dini P. Daeng Sari. (1996). Metode

Mengajar di Taman Kanak-Kanak.

Jakarta: Depdikbud.

Hallahan,D.P., Kauffman, J.M. & Pullen,

P.C. (2009) Exceptional Learners

and Introduction to Special

Education. New York: Person.

Hurlock, Elisabeth B. (1978).

Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta:

Erlangga.

Linda L. Dunlap. (2009). An Introduction to

Early Chilhood Special Education:

Birth to Age Five. Amerika: Person.

Page 120: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 113

Mumpuniarti. (2000). Pengertian Anak

Tunagrahita (Kajian dari Segi

Pendiidkan Sosial-Psikologi dan

Tindak Lanjut Usia Dewasa).

Yogyakarta: Universitas Negeri

Yogyakarta.

Rahyubi, Heri. (2012). Teori-teori Belajar

dan Aplikasi Pembelajaran Motorik.

Bandung: Nusa Media.

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian

Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.

Sujarwanto. (2005). Pengembangan

Kreativitas Senirupa Anak TK.

Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti.

Sukimin. A.W dan Sutandur. E. (2008).

Terampil Berkarya Seni Rupa 3.

Solo: Tiga Serangkai Pustaka

Mandiri.

Sunardi & Sunaryo. (2007). Intervensi Dini

anak Berkebutuhan Khusus -:

Departemen Pendidikan Nasional

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi

Direktorat Ketenagakerjaan.

T. Sutjihati Soemantri. (1996). Psikologi

Anak Luar Biasa. Jakarta:

Depdikbud.

Page 121: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 114

PENDIDIKAN INKLUSI BAGI ANAK GIFTED

Patricia Lestari Taslim1, a) and Nur Azizah2, b)

1Postgraduate Program for Education of Special Needs, Universitas Negeri Yogyakarta

2 Lecturer at Postgraduate for Education of Special Needs, Universitas Negeri Yogyakarta a)[email protected]

b)[email protected] Abstract: Base on Salamanca statement, which gives attention to the character difference and the students'

learning needs, inclusive education is very appropriate in the education system in Indonesia which has the motto

of bhinneka single ika. Differences in abilities possessed by children with special needs, including gifted children,

through the inclusive education system. But in practice, the inclusion education system has not run optimally,

causing problems in providing services to meet student learning needs, especially for gifted children. Need to

improve the understanding of gifted children and inclusive education system in order to improve the provision of

educational services according to the needs of students.

Keywords: inclusive education, gifted children

PENDAHULUAN

Keberagaman suku bangsa dan

bahasa yang menjadi kekayaan bangsa

Indonesia adalah sebuah kebanggaan yang

harus dilestarikan. Kebiasaan untuk tidak

membeda-bedakan satu sama lain adalah

menjadi sebuah kebiasaan positif yang

harus ditanamkan sejak dini baik melalui

pola asuh orang tua dalam keluarga,

maupun melalui sistem pendidikan di

sekolah melalui para guru kelas, guru

pendamping khusus, maupun guru bidang

studi.

Dalam menjalankan proses

pendidikan, sekolah, keluarga, dan

masyarakat, hendaknya bekerja sama dan

bersinergi dalam membentuk kepribadian

anak didik sebagai calon generasi penerus

bangsa. Sistem pendidikan yang dapat

memfasilitasi kerjasama yang baik antara

berbagai pihak dalam sistem pendidikan

adalah sistem pendidikan inklusi

(Dağlioğlu & Suveren, 2013: 444–446).

Peran orangtua menjadi bagian yang

penting dalam proses pendidikan yang

menerapkan sistem inklusi karena

dibutuhkan kerja sama orangtua dalam

menjalankan pendidikan secara utuh

(Vantassel-baska et al., 2017: 234).

Pelaksanaan pendidikan inklusi

menghargai setiap individu dengan segala

keunikan dan perbedaan yang ada,

termasuk segala kelebihan dan kekurangan

yang ada. Hal inilah yang mendasari

lahirnya Salamanca Statement pada tahun

1994 yang kemudian berlanjut dengan

munculnya deklarasi Education For All

tahun 2000.

Indonesia sebagai salah satu negara

yang turut mendukung kedua kesepakatan

Page 122: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 115

tersebut, bahkan sangat mendukung dengan

diselenggarakannya kegiatan tentang

inklusi di Bukit Tinggi pada tahun 2005

yang ingin menghilangkan adanya berbagai

hal yang bersifat diskriminasi karena

perbedaan gender, disabilitas, ras, etnik,

bahasa, minoritas, dan lain sebagainya. Hal

ini hendaknya menjadi landasan yang kuat

bagi para akademisi, tidak terkecuali guru,

untuk menjunjung tinggi terselenggaranya

sistem pendidikan yang inklusi.

Anak didik dalam sistem

pendidikan inklusi, hendaknya

diperkenalkan untuk belajar berdampingan

dalam keberagaman. Hal ini sesungguhnya

bukanlah hal yang baru bagi bangsa

Indonesia yang memiliki semboyan

Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi seringkali

perbedaan digunakan untuk membedakan,

sehingga anak didik tidak dibiasakan untuk

belajar bersama dalam perbedaan dan

saling menghargai.

Sangat tragis terjadi dalam dunia

pendidikan bahwa upaya membedakan

dilakukan bukan hanya oleh anak didik,

tetapi juga oleh guru. Sebagai seorang

pendidik, seharusnya guru dapat menerima

setiap anak didik dengan segala perbedaan

yang ada, dan memberikan kesempatan

pada setiap anak didik untuk berkembang

dan belajar sesuai dengan potensi yang ada

dalam diri anak didik masing-masing secara

optimal. Dengan demikian tidak ada lagi

seorang anak didik pun yang tertinggal di

belakang.

Konsep inilah yang seharunya

dijunjung tinggi dalam melakukan proses

pembelajaran di kelas pada sekolah inklusi

dengan menyesuaikan materi pelajaran

yang diberikan pada kemampuan setiap

anak didik, sehingga landasan pendidikan

untuk semua dapat diusung dengan baik.

Hal ini perlu diperhatikan terutama pada

penyelenggaraan sekolah inklusi yang

menerima anak didik dengan berbagai

kemampuan dan potensi yang berbeda-

beda.

Dalam sekolah inklusi, bukan hanya

guru yang bertanggungjawab dalam proses

pendidikan. Tetapi disadari dan diyakini

bahwa anak didik belajar dari setiap

individu yang berelasi dengannya, baik itu

dari pergaulan bersama teman-temannya,

juga dalam kegiatan pembelajaran bersama

di dalam kelas. Tetapi pendidikan inklusi

sama sekali tidak dapat mengabaikan

pentingnya keterlibatan orangtua dalam

penyelenggaraan pendidikan. Untuk itu,

sekolah bersama guru kelas, guru bidang

studi, guru pendamping khusus, orangtua

dan para ahli, seharusnya bergandengan

tangan untuk membantu anak didik belajar

dan berkembang sesuai dengan

keterbatasan dan potensi yang

dimiliki.(Takala, Pirttimaa, & Törmänen,

2009: 162–164)

Page 123: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 116

Sebagai sekolah inklusi, anak didik

di sekolah tersebut, pasti memiliki berbagai

latar belakang dan kemampuan yang

berbeda-beda. Sangat mungkin ada di

antara anak didik terdapat pula beberapa

anak berkebutuhan khusus, tanpa kecuali

anak gifted. Adalah tugas guru untuk dapat

memfasilitasi kebutuhan belajar anak

didiknya yang beragam, mulai dari yang

lambat belajar, hingga yang memiliki

potensi unggul. Kecenderungan guru untuk

memperhatikan anak didik secara

menyeluruh, harus dilakukan dengan tidak

mengabaikan anak didik yang

membutuhkan pendidikan khusus, atau

layanan khusus.

Salah satu anak berkebutuhan

khusus yang terdapat di sekolah inklusi

adalah anak gifted. Yang dimaksud dengan

anak gifted adalah anak yang memiliki skor

IQ di atas 130 pada skala wesler atau 140

pada skala binnet, memiliki kreativitas

tinggi, dan juga memiliki komitmen yang

tinggi terhadap tugas dan tanggung jawab

yang dimiliki atau diberikan. Hal ini sesuai

dengan pemahaman tentang anak gifted

yang disampaikan melalui Three Rings of

Renzulli Yang kemudian disempurnakan

oleh Monk melalui teorinya yang dikenal

dengan Triadic Renzulli-Monk (Manning,

2006: 64–68).

Berdasarkan hasil penelitian terkait

jumlah anak gifted, dapat kita asumsikan

bahwa paling sedikit terdapat dua sampai

lima persen anak didik dalam sebuah

sekolah merupakan anak gifted (Bélanger

& Gagné, 2006: 132). Namun jumlahnya

yang sedikit, seharusnya tidak menjadi

alasan untuk mengabaikan kebutuhan

belajar mereka yang berbeda, melalinkan

difasilitasi dalam sistem pendidikan

inklusi.

Hal inilah yang menjadikan

pemaparan dalam paper ini menjadi penting

untuk diteliti dan dipelajari.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif dengan metoda studi kasus yang

dilakukan pada enam kasus anak yang

sudah terdeteksi gifted dalam komunitas

PSGGC Jogja. Dari 35 orang tua yang

berada di komunitas PSGGC, dilakukan

penelusuran 3 kasus dengan pertimbangan

kasus yang terjadi pada dua anak gifted

tersebut terjadi di sekolah inklusi di

Yogyakarta. Ketiga anak gifted dalam

penelitian ini sudah teridentifikasi dan

dinyatakan sebagai anak gifted oleh

psikolog.

Pengumpulan data dilakukan

melalui wawancara mendalam dan

dokumentasi percakapan daring selama

bulan Februari 2017 sampai dengan

Oktober 2017.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 124: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 117

Hasil

Pada tiga anak gifted yang diteliti,

terdapat tiga kasus yang berbeda.

Anak yang pertama (A) melalui data

hasil test psikolog dinyatakan sebagai anak

gifted underachiever. Memiliki IQ 147

pada skala Wesler, dengan masalah pada

perkembangan motorik halus dan memiliki

hambatan dalam menulis. A mampu

menjawab setiap pertanyaan guru secara

lisan dengan sangat baik, tetapi mengalami

kesulitan ketika diminta menuliskan

jawaban tersebut di buku atau di kertas.

Guru memahami kesulitan A, tetapi karena

masalah tersebut, pihak sekolah

memutuskan bahwa A tidak dapat naik

kelas. Akibatnya, A marah dan putus

sekolah.

Pada kasus yang kedua (B) melalui

data hasil test psikolog, dinyatakan sebagai

anak gifted learner. Memiliki IQ 166 pada

skala Binnet, dengan masalah pada kontrol

emosi. Di sekolah, B masuk dalam kelas

akselerasi. B mampu mengikuti pelajaran

dengan baik di kelas, tetapi tidak mampu

mengontrol emosi setiap kali ada kejadian

di kelas yang menurut B melanggar aturan.

B selalu berusaha untuk menegur

temannya. Dalam sebuah peristiwa, karena

kejadian serupa, berakibat pada

pertengkaran di kelas saat istirahat dan B

kehilangan kontrol emosinya sehingga

memporak-porandakan meja kursi di kelas.

Atas kejadian tersebut, B sempat

mendapatkan intimidasi akan dikeluarkan

dari sekolah. Kejadian ini sampai harus

diselesaikan dengan melibatkan pihak

kediga sebagai penengah.

Pada kasus yang ketiga (C) melalui

dta hasil test psikolog, dinyatakan sebagai

anak gifted harmoni. Memiliki IQ 146 pada

skala wesler. Anak sering merasa jenuh

dengan pembelajaran di kelas yang terasa

sangat lambat dan membosankan bagi C.

Setelah lulus SD, C akhirnya tidak mau

sekolah dan memilih belajar di rumah.

Untuk keperluan ijazah, C menempuhnya

dengan mengikuti program kejar paket pada

jenjang pendidikan berikutnya. Saat ingin

menempuh kejar paket c (setara SMA)

sempat mengalami hambatan, yaitu tidak

boleh mengikuti ujian dengan alasan usia C

dan usia ijazah sebelumnya yang belum

memenuhi syarat untuk mengikuti ujian

setara SMA. Kasus ini pun akhirnya

diselesaikan dengan bantuan LBH

Yogyakarta dan dikawal sampai selesai

ujian.

Pembahasan

Dari hasil wawancara, observasi

dan dokumentasi diperoleh kesimpulan

bahwa guru dan sistem pendidikan yang

ada, belum mampu melaksanakan sistem

pendidikan inklusi secara utuh. Kebutuhan

Page 125: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 118

belajar anak gifted dengan potensi yang

berbeda dari anak didik lainnya di kelas,

belum terfasilitasi secara optimal sehingga

mengakibatkan anak putus sekolah,

mendapat intimidasi untuk dikeluarkan dari

sekolah, dan terancam untuk tidak dapat

mengikuti ujian akhir.

KESIMPULAN

Pelaksanaan pendidikan inklusi di

Indonesia masih belum berjalan secara

optimal. Sistem pendidikan inklusi, bila

dijalankan dengan baik, sangat

memungkinkan untuk memfasilitasi

kemampuan belajar anak didik yang

berbeda-beda mulai dari yang lambat

belajar sampai anak gifted dengan potensi

istimewanya. Fakta di lapangan

menunjukkan masih banyak sekolah yang

belum mampu memberikan pendidikan

bagi anak didik di sekolah inklusi. Padahal

jelas dinyatakan dalam salamanca

statement tahun 1994, deklarasi education

for all tahun 2000, dan penyelenggaraan

pendidikan inklusi tahun 2005, bahwa

pendidikan hendaknya diberikan pada

setiap anak didik sesuai dengan

keterbatasan, potensi, serta perbedaan yang

ada.

Untuk itu perlu lebih digalakkan

sosialisasi tentang sekolah inklusi sebagai

sebuah sistem yang sangat dibutuhkan dan

sangat baik untuk diterapkan dalam sistem

pendidikan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Pustaka

Bélanger, J., & Gagné, F. (2006).

Estimating the size of the

gifted/talented population from

multiple identification criteria.

Journal for the Education of the

Gifted, 30(2), 131–163.

Dağlioğlu, H. E., & Suveren, S. (2013). The

Role of Teacher and Family Opinions

in Identifying Gifted Kindergarten

Children and the Consistence of These

Views with Children’ s Actual

Performance. Educational Sciences:

Theory & Practice, 13(1), 444–453.

Education For All Declaration,

http://unesdoc.unesco.org/images/002

3/002312/231288e.pdf

Manning, S. (2006). Recognizing Gifted

Students : A Practical Guide for

Recognizing Gifted Students,

8958(September), 64–68.

https://doi.org/10.1080/00228958.200

6.10516435

Salamanca Statement, 1994

http://www.unesco.org/education/pdf/

SALAMA_E.PDF

Takala, M., Pirttimaa, R., & Törmänen, M.

Page 126: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 119

(2009). Inclusive special education:

the role of special education teachers

in Finlandb jsp_432 162..172. British

Journal of Special Education, 36(3),

162–173.

Vantassel-baska, J., Educators, F.,

Interaction, T., Database, S.-, Parents,

F., Potential, H., … Heather, Y.

(2017). The Role of Parents in Helping

Gifted Children with Learning

Problems, 1–3.

National Report on the provision of

inclusive quality primary and

secondary education Sub‐regional

Workshop on “Building inclusive

education system to respond to the

diverse needs of disabled children”

http://www.ibe.unesco.org/fileadmin/

user_upload/Inclusive_Education/Rep

orts/jakarta_09/indonesia_inclusion_0

9.pdf

Page 127: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 120

MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS TEGAK BERSAMBUNG MELALUI PENGGUNAAN METODE GLOBAL INTUITIF PADA PESERTA

DIDIK TUNARUNGU KELAS II ( Penelitian Tindakan Kelas di SLB BC Cempaka Putih )

Indina Tarjiah dan Isti Haryani ([email protected])

Program Studi Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Jakarta

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan menulis tegak bersambung melalui penggunaan metode global intuitif pada peserta didik tunarungu kelas II di SLB BC Cempaka Putih. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus, yang setiap siklusnya terdiri dari empat tahapan, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Subjek penelitian adalah peserta didik tunarungu kelas II di SLB BC Cempaka Putih yang berjumlah enam peserta didik. Fokus penelitian adalah peningkatan keterampilan menulis tegak bersambung. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen tes berupa lembar instrumen keterampilan menulis tegak bersambung. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan metode global intuitif dapat meningkatkan keterampilan menulis tegak bersambung peserta didik tunarungu. Persentase rata-rata hasil keterampilan menulis tegak bersambung peserta didik tunarungu sebelum diberikan tindakan yaitu 46,16%. Setelah diberikan tindakan pada siklus I diperoleh rata-rata persentase yaitu 58%. Pada siklus II terjadi peningkatan persentase perolehan skor pada keterampilan menulis tegak bersambung pada peserta didik tunarungu yaitu 71,5%. Penelitian ini berhasil memberikan peningkatan persentase keterampilan menulis tegak bersambung pada peserta didik tunarungu kelas II di SLB BC Cempaka Putih.

Kata kunci: Tulisan Tegak Bersambung, Metode Global Intuitif, Tunarungu

Page 128: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 121

1. Pendahuluan Menulis merupakan bagian dari aspek

keterampilan berbahasa. Menulis adalah suatu kegiatan atau aktivitas dari seorang penulis untuk menyampaikan suatu gagasan secara tidak langsung kepada orang lain. Pada dasarnya menulis menuntut banyak pengalaman dan banyak latihan terpimpin. Menulis merupakan kegiatan dalam mengorganisasikan keterampilan motorik halus dan motorik kasar, disamping itu juga menulis melibatkan beberapa aspek keterampilan berbahasa yang lainnya seperti menyimak, berbicara, dan membaca. Dari tiga aspek tersebut menulis merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Keterampilan menulis merupakan salah satu aspek dari keterampilan berbahasa yang digunakan sebagai sarana berkomunikasi. Keterampilan menulis permulaan merupakan keterampilan yang harus dikuasai peserta didik Sekolah Dasar sejak dini, karena keterampilan menulis permulaan merupakan keterampilan yang mendasar bagi peserta didik. karena keterampilan menulis permulaan merupakan keterampilan yang mendasar bagi peserta didik Sekolah Dasar (SD). Menulis permulaan di kelas rendah terdiri atas menulis dengan huruf lepas dan huruf tegak bersambung. Keterampilan menulis huruf tegak bersambung dipelajari di kelas I dan II kemudian dilanjutkan dikelas III. Kegiatan menulis tegak bersambung dapat melatih kemampuan berpikir dan motorik halus peserta didik.

Kegiatan menulis tegak bersambung akan merangsang kerja otak, terutama otak kanan peserta didik yang merupakan tempat mengatur berbagai macam seni dan estetika. Kemampuan otak peserta didik usia SD terutama peserta didik kelas awal sedang berkembang dengan sangat baik, sehingga pembelajaran menulis tegak bersambung secara tidak langsung akan mengajarkan prinsip ketelitian, keindahan dan keterbacaan secara utuh pada peserta didik terutama peserta didik berkebutuhan khusus yakni peserta didik tunarungu.

Kegiatan menulis merupakan kegiatan yang tidak mudah bagi peserta didik tunarungu. Proses tersebut membutuhkan

daya konsentrasi, koordinasi lengan dan jari, serta memori. Peserta didik tunarungu juga harus berusaha mencocokkan bunyi dan tulisan berupa simbol-simbol yang dibaca.

Hasil observasi dan diskusi dengan pendidik kelas dua yang dilakukan oleh peneliti di SLB BC Cempaka Putih, peserta didik tunarungu yang duduk dibangku kelas II B SLB BC Cempaka Putih memiliki kemampuan menulis yang rendah. Kenyataannya peserta didik tunarungu tersebut telah mampu menulis huruf A-Z, bahkan merangkainya menjadi sebuah kata. Akan tetapi, dalam proses menulisnya membutuhkan waktu yang cukup lama, untuk menulis kalimat pendek yang terdiri dari 4 kata menghabiskan waktu ±2 menit. Jika dlihat dari kesesuaian ukuran huruf dalam tulisan, ukuran huruf berbeda-beda satu sama lain, sering sekali ditemukan huruf yang masih terpisah-pisah dalam setiap kata dan peserta didik belum memahami penempatan huruf kapital. Di samping itu, dilihat dari kerapian tulisan, tulisan peserta didik masih belum rapi, sebagai contoh menulis nama sendiri, terkadang huruf pertama ditulis di atas garis namun untuk huruf ke dua dan ketiga biasanya tepat atau dibawah garis barisan,masih minimnya kemampuan peserta didik dalam mengatur kesejajaran dan kualitas barisan dalam sebuah tulisan.

Pelaksanaan proses pembelajaran di kelas II pada saat dilakukan pengamatan oleh peneliti, terlihat guru sangat memaksimalkan tulisan cetak sebagai tulisan yang digunakan dalam proses pembelajaran serta metode yang digunakan guru dalam pembelajaran menulis belum variatif. Guru tidak berinisiatif mengembangkan metode lain yang lebih menarik dan interaktif. Pada umumnya penggunaan tulisan dalam proses pembelajaran bagi peserta didik tunarungu sangatlah penting, karena melalui tulisanlah kemampuan bahasanya akan berkembang. Namun untuk saat ini penggunaan tulisan cetak dan metode pembelajaran yang kurang variatif belum mampu memaksimalkan keterampilan menulis peserta didik tunarungu dengan cukup baik,sehingga diperlukan alternatif

Page 129: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 122

penggunaan metode pembelajaran serta penggunaan tulisan lain yang dapat meningkatkan keterampilan menulis untuk peserta didik tunarungu.

Setelah peneliti membaca beberapa literatur yang menyebutkan bahwa, penggunaan tulisan tegak bersambung dapat meningkatkan keterampilan menulis pada peserta didik tunarungu, mengingat tulisan tersebut bermanfaat terhadap perkembangan otak peserta didik tersebut. Melalui pembelajaran menulis tegak bersambung peserta dapat melatih kemampuan berpikir serta motorik halusnya. Tulisan tegak bersambung memiliki makna bahwa pada tiap partikel huruf tidak akan berdiri sendiri dalam sebuah kata, akan tetapi tiap partikel huruf akan di hubungkan dengan partikel huruf lain yang akan membentuk sebuah kata dengan tulisan yang indah, rapi dan mudah dibaca oleh orang lain.

Literatur lain mengatakan bahwa, dalam proses pembelajaran menulis tegak bersambung diperlukan metode pembelajaran yang efektif, variatif dan menarik yang melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran. Jika peserta didik sudah tertarik dalam pembelajaran, maka keterampilan menulis peserta didik dalam menulis tegak bersambung akan meningkat. Metode pembelajaran yang sesuai mampu meningkatkan keterampilan peserta didik dalam menulis tegak bersambung. Metode tersebut antara lain metode global intuitif. Berbeda dengan metode pembelajaran lain, metode tersebut merupakan metode pembelajaran yang melibatkan peserta didik tunarungu untuk mempelajari keterampilan menulis dan membaca secara utuh (global) tanpa terputus serta memaknai sebuah tulisan melalui intuisi bahasa yang dimiliki.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengupayakan perbaikan kualitas pembelajaran menulis dengan menerapkan metode global intuitif untuk meningkatkan keterampilan menulis tegak bersambung pada peserta didik Tunarungu kelas II SLB BC Cempaka Putih, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Berdasarkan identifikasi penelitian, penelitian ini dibatasi pada:

Meningkatkan keterampilan menulis tegak bersambung melalui penggunaan metode global intuitif. Subjek penelitian adalah peserta didik tunarungu kelas II di SLB BC Cempaka Putih. Partikel huruf yang digunakan untuk menulis tegak bersambung adalah 5 huruf vokal (a,i,u,e, o) dan 7 huruf konsonan (b,c,d,h,m,n,s).

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah berdasarkan pembatasan masalah di atas maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana meningkatkan keterampilan menulis tegak bersambung melalui penggunaan metode global intuitif pada peserta didik tunarungu kelas II SLB BC Cempaka Putih?”

2. Dasar Teori

2.1. Pengertian Menulis Tegak Bersambung

Menulis tegak bersambung merupakan suatu kegiatan yang menghasilkan tulisan dengan huruf yang saling bersambung satu sama lain yang dilakukan tanpa mengangkat alat tulis

2.2. Pengertian Metode Global Intuitif

Metode Global Intuitif merupakan metode yang melihat segala sesuatu sebagai keseluruhan dengan melalui pemahaman yang tepat.

2.3. Pengertian Tunarungu

Tunarungu adalah hilangnya kemampuan mendengar seseorang baik sebagian maupun seluruhnya sehingga seseorang tersebut kurang dapat merasakan, mendengarkan, serta memahami suara. Hal ini disebabkan oleh rusaknya fungsi pendengaran baik dari penyakit maupun faktor kecelakaan, sehingga memerlukan pelayanan khusus.

3. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini,peneliti menggunakan metode penelitian tindakan kelas (Clasroom Action Research) dengan desain model penelitian Kemmis dan Mc. Taggart dimana dalam model penelitian ini terdiri dari dua siklus dan pada tahapan tindakan dan pengamatan dijadikan sebagai satu

Page 130: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 123

kesatuan. Adapun desain model penelitian Kemmis dan Mc. Taggart seperti pada gambar 3.1.

Gambar 3.1.Model Spiral Kemmis dan Mc. Taggart

Subjek pada penelitian ini adalah

peserta didik tunarungu di kelas II SLB BC Cempaka Putih yang berjumlah enam peserta didik yang diantaranya 3 peserta didik laki-laki dan 3 peserta didik perempuan. Peserta didik ini mengalami hambatan dalam kegiatan keterampilan menulis.

Penelian ini dilaksanakan sebanyak dua siklus, siklus I terdiri dari enam kali pertemuan dan siklus II terdiri dari 5 kali pertemuan. Di setiap pertemuan diberikan waktu 45 menit. Sebelum penelitian dilaksanakan peneliti melakukan observasi, melakukan asesmen, menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan menyiapkan media realia sebagai sarana penunjang proses pembelajaran

3.1 Instrumen Pengumpulan Data dan

Penelitian a. Definisi Konseptual

Keterampilan menulis tegak bersambung merupakan keterampilan yang diperoleh peserta didik setelah melalui kegiatan belajar dalam keterampilan menulis tegak bersambung yang meliputi keterampilan mencoret yang menghubungkan titik-titik menjadi garis, keterampilan pengulangan linear, keterampilan menulis random melalui kegiatan menyalin tulisan dan menulis label/nama.

b. Definisi Operasional

Keterampilan menulis tegak bersambung peserta didik tunarungu kelas

II adalah skor yang diperoleh setelah mengerjakan soal tes menulis tegak bersambung yaitu materi yang berhubungan dengan, 1) keterampilan mencoret yaitu menghubungkan titik-titik menjadi garis, terdiri dari : a) garis lengkung, b) garis berkelok,c) garis zigzag, 2) Keterampilan pengulangan linear yaitu membuat garis yang terdiri dari, a) garis lengkung, b) garis zigzag, dan 3) Keterampilan menulis random, 4) keterampilan menulis label/nama melalui kegiatan menyalin tulisan menggunakan 5 huruf vokal a, i, u, e, o dan 7 huruf konsonan b, c , d, h, m, n, s tegak bersambung.

Tabel 3.1 Kisi-kisi instrumen keterampilan menulis

tegak bersambung pada peserta didik tunarungu kelas II di SLB BC Cempaka Putih

No

Variabel

Aspek

Indikator

Butir Instrumen

Jmlh

1. Keterampilan Menulis Menulis Tegak Bersambung

Keterampilan mencoret

Menghubungkan titik-titik menjadi garis.

1, 2, 3 3

Keterampilan pengulangan linear

Membuat garis

3, 4, 5 3

Keterampilan menulis random dan label /nama

Menulis huruf vokal

6, 7, 8, 9

4

Menulis huruf konsonan.

10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17

8

Jumlah 18 18

Page 131: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 124

4. Hasil dan Pembahasan

Setelah menyelesaikan semua tahapan dalam pemberian tindakan, analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data proses dan tindakan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Analisis data kualitatif berupa hasil pengamatan, wawancara, dan dokumentasi saat melakukan kegiatan pembelajaran dengan media realia. Sedangkan analisis data kuantitatiif diperoleh melalui tes tertulis pada tes keterampilan awal, serta pada tes di akhir siklus 1& 2.

Tes keterampilan awal diberikan kepada ke enam peserta didik. Tes keterampilan awal dilakukan pada hari Rabu, tanggal 08 Februari 2017, pukul 08.15 WIB, selama empat puluh menit. Hasil tes keterampilan awal dapat dilihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1.

Data Hasil Tes Keterampilan Awal

Berdasarkan hasil tes keterampilan awal

yang telah dilakukan peserta didik, peneliti melihat dari keenam peserta didik tidak ada yang mendapat nilai di atas KKM yaitu 65. Peneliti menyimpulkan bahwa keterampilan menulis peserta didik masih rendah. Hal tersebut menjadi dasar untuk dilaksanakannya penelitian tindakan kelas dengan melalui tulisan tegak bersambung dengan menggunakan metode global intuitif. Penggunaan metode global intuitif ini diharapkan dapat membantu dalam meningkatkan hasil belajar menulis dengan pokok bahasan kegiatan menulis tegak bersambung pada peserta didik tunarungu kelas II di SLB Cempaka Putih. Peneliti menetapkan target keberhasilan sebesar 65% dalam dua siklus.

Tindakan tes diberikan kepada keenam peserta didik dikelas II yang dilakukan pada

hari Jumat, tanggal 10 Februari 2017, pukul 08.50 WIB, selama empat puluh lima menit dengan jumlah soal sepuluh buah sesuai dengan instrumen penelitian yang telah dibuat. Hasil tes siklus I dan persentase keterampilan awal dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2

Perbandingan Penguasaan antara Keterampilan Awal dan Setelah Siklus I

Berdasarkan hasil tes siklus pertama yang telah dilakukan peserta didik, tiga dari enam peserta didik sudah mencapai target yang diharapkan peneliti dan sisanya belum mencapai target yang diharapkan peneliti. Nilai rata-rata persentase peningkatan hasil belajar keterampilan menulis tegak bersambung menggunakan metode global intuitif adalah 58%, dan belum mencapai target yang diharapkan peneliti yaitu 65% sehingga masih perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya.

Tes diberikan kepada keenam peserta didik yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 14 Maret 2017, pukul 08.15 WIB, selama empat puluh lima menit dengan jumlah soal sepuluh buah sesuai dengan instrumen penelitian yang telah dibuat.Hasil analisis data tes siklus II dan persentase keterampilan awal, siklus I, dan siklus II dapat dilihat pada tabel 4.3.

No Nama Peserta Didik

Nilai Yang

Diperoleh

Persentase Tingkat

Keterampilan

1. NA 46 46%

2. RA 35 35%

3. AD 38 38%

4. KY 50 50%

5. WA 58 58%

6. MZ 50 50%

Rata-rata 277/6 46,16%

No

Nama

Penguasaan KA

Setelah Tindakan Siklus I

Peningkatan Nilai

1. NA

46 48 2

2. RA 35 44 9

3. AD

38 67 29

4.

KY 50 50

Belum ada

peningkatan

5. WA

58 66 8

6. MZ

50 72 22

Page 132: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 125

Tabel 4.3

Berdasarkan hasil tes akhir siklus kedua yang telah dilakukan peserta didik, seluruh peserta didik sudah mencapai target yang diharapkan peneliti. Nilai rata-rata persentase peningkatan hasil belajar menulis tegak bersambung dengan menggunakan metode global intuitif adalah 71,5%, dan sudah mencapai target yang diharapkan peneliti yaitu 65% sehingga penelitian dihentikan pada siklus kedua.

Berdasarkan pelaksanaan pemberian tindakan yang telah dilakukan di siklus I dan siklus II, maka penggunaan metode global intuitif terhadap peningkatan hasil belajar keterampilan menulis tegak bersambung pada peserta didik tunarungu kelas II di SLB BC Cempaka Putih telah berhasil dan mencapai target yang telah ditetapkan oleh peneliti. Hasil tes pemahaman peserta didik dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Persentase Hasil Tes Kemampuan Awal, Tes

Siklus I, dan Tes Siklus II

5. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan adanya perubahan pada hasil belajar menulis tegak bersambung melalui penggunaan metode global intuitif pada peserta didik tunarungu kelas II yang dilaksanakan di SLB BC Cempaka Putih.

Dengan demikian penggunaan metode global intuitif dalam meningkatkan hasil belajar keterampilan menulis tegak bersambung pada peserta didik tunarungu kelas II SLB BC Cempaka Putih dinyatakan berhasil.

Dengan meningkatkan keterampilan menulis tegak bersambung pada peserta didik tunarungu ini, selain memiliki manfaat yang besar dalam merangsang kerja otak peserta didik untuk menjadi lebih kreatif, tulisan tegak bersambung juga dapat melatih peserta didik tunarungu agar mampu menghasilkan tulisan yang lebih indah, rapi dan terbaca secara utuh.

Peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan pembelajaran menulis tegak bersambung dapat dilanjutkan pada tahap menulis tegak bersambung melalui latihan terbimbing dengan tetap menyesuaikan tingkat kebutuhan peserta didik dalam pembelajaran yang diberikan Daftar Pustaka Bunawan Lani & Susilawati Cicilia. 2000.

Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santi Rama.

Haenudin. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus tunarungu. Bandung: Luxima.

Murniati Hetty. 2012. Belajar Cepat Menulis Huruf Tegak Bersambung untuk Sekolah Dasar Kelas 2. Magelang: CV. Tidar Ilmu.

No Nama Peserta Didik

Nilai Yang

Diperoleh

KKM Keterangan

1. NA 67

65 Tuntas

2. RA 66 65 Tuntas

3. AD 71 65 Tuntas

4. KY 75 65 Tuntas

5. WA 75 65 Tuntas

6. MZ 75 65 Tuntas

Rata-rata 429/6 71,5% Meningkat,

sudah memenuhi KKM

No Nama PD

Nilai KA

Nilai Siklus I

Nilai Siklus II

1. NA 46 48 67

2. RA 35 44 66

3. AD 38 67 71

4. KY 50 50 75

5. WA 58 66 75

6. MZ 50 72 75

Page 133: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 126

Keterlibatan Orangtua Dalam Tahap Awal Proses Pembelajaran Braille

Untuk Anak Tunanetra

Ade Koentiatri1, Rahmawati Herlina2, Ishartiwi3

[email protected]

[email protected]

[email protected]

Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract

This article discusses the involvement of parents in the development of the visually

impaired child of the visually impaired. The learning process in schools for the blind children

can not be separated from the sensitivity ability of taktual sensitivity to facilitate in learning to

read and write braille. Development of the senses can be done taktual since children of the

blind early age. Taktual sensitivity can be optimized through planned programs with school

teams, families and communities. The role of parents begins through communication with the

teacher for the needs that can be done at home. The second role is related to the development

of learning programs to stimulate the taktual senses. The third role as a supervisor to assess the

development of the sense of taktual based on full performance. Parental involvement can

strengthen relationships with children so as to foster motivation to learn. There needs to be

positive support and open attitude between the school and parents to create, implement and

assess the development program of the taktual senses in the blind child.

Keywords: blind, taktual senses, parents

Pendahuluan

Pendidikan adalah salah satu upaya

untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan dilakukan untuk membuat

perubahan yang baik kepada siswanya.

Termasuk untuk anak-anak dengan

kebutuhan khusus, tentunya pendidikan

yang akan diberikan kepada mereka harus

disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi

yang mereka alami. Pendidikan sejatinya

digunakan untuk menunjang

perkembangan aspek kognitif, emosi,

psikomotor dan keterampilan hidup yang

dimiliki anak berkebutuhan khusus agar

menjadi lebih terarah. Sehingga siswa perlu

belajar secara optimal untuk menunjang

kebutuhannya, salah satunya yaitu dengan

menempatkan anak di sekolah khusus.

Sekolah khusus (SLB) adalah sekolah yang

sengaja diperuntukkan untuk anak-anak

dengan kebutuhan khusus.

Salah satu jenis anak berkebutuhan

khusus adalah anak tunanetra, menurut

Depdikbud dalam Sari Rudiyati (2002)

Anak Tunanetra adalah seseorang yang

rusak matanya atau luka matanya atau tidak

Page 134: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 127

memiliki mata yang berarti buta atau

kurang dalam penglihatannya. Dampak dari

kondisi tersebut, siswa tunaetra, mengalami

kesulitan dalam menerima informasi, untuk

itu siswa tunanetra menggunakan indra

yang lain untuk memperoleh informasi.

Sedangkan menurut Daniel P. Hallahan,

James M. Kauffman, dan Paige C. Pullen

(2009: 380), mengemukakan “Legally

blind is a person who has visual acuity of

20/200 or less in the better eye even with

correction (e.g., eyeglasses) or has a field

of vision so narrow that its widest diameter

subtends an angular distance no greater

than 20 degrees”. Anak tunanetra

merupakan seseorang yang mengalami

ketidakmampuan pada indra penglihatan,

sehingga mereka memiliki hambatan dalam

melakukan aktifitas sehari-hari. Seperti

dalam mobilitas, sosialisasi dengan

lingkungan disekitarnya dan proses

pembelajarannya. Meskipun mengalami

hambatan dalam proses pembelajarannya

namun hal tersebut tidak berpengaruh

terhadap intelegensi anak tunanetra. (Juang

Sunanto 2005: 184).

Perbedaan antara anak tunanetra

dengan anak pada umumnya ialah dalam

hal penerimaan informasi yang anak

dapatkan dari luar dan cara anak

mempresepsikan suatu konsep. Hal ini

seringkali terjadi bagi anak yang tunanetra

sejak lahir. Selain itu dalam melakukan

aktivitas sehari-hari anak tunanetra

mengalami hambatan sesuai dengan tingkat

ketunanetraannya. Salah satu masalah yang

sering terjadi pada anak tunanetra usia dini,

yaitu anak tunanetra mengalami kesulitan

membaca huruf braille permulaan, terutama

dalam mengingat titik-titik pada huruf

braille. Hal ini terjadi karena di sekolah

khusus maupun disekolah umum anak tidak

diberikan tes kepekaan indra taktual atau

anak tidak diberikan program untuk

meningkatkan kepekaan indra taktualnya.

Jika ditinjau lebih jauh, hampir

semua pembelajaran disekolah bagi anak

tunanetra tidak lepas dari kemampuan

kepekaan indra taktual yang dimiliki.

Sehingga, sangat perlu untuk meningkatkan

kepekaan indera tactual anak tunanetra

sejak dini sebelum anak masuk usia

sekolah. Hal ini nantinya untuk

memudahkan anak dalam pembelajaran

terkait dengan kode-kode huruf braille.

Banyak cara yang dapat dilakukan sebagai

upaya pengenalan kode-kode braille pada

anak tunanetra usia dini. Salah satunya

berupa keterlibatan orangtua untuk

meningkatkanindra taktual sebagai dasar

dalam upaya guru dan orangtua dalam

mengenalkan kode-kode braille.

Page 135: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 128

Selain mendapat pelatihan indra

taktual disekolah pada anak tunanetra

diperlukan latihan lanjutan dan kerjasama

antara pihak sekolah dengan pihak

orangtua. Dimana dalam proses pelibatan

orangtua dalam pembelajaran pelatihan

indra taktual untuk pra membaca braille

merupakan hal yang sangat penting,

sehingga pembelajaran di sekolah juga

dapat dilakukan secara berkelanjutan di

rumah. “Dukungan dan peran keluarga

sangat penting terlebih untuk anak

berkebutuhan khusus”. (Hallahan dan

Kauffman, 1988).

Pembahasan

Tunanetra merupakan salah satu

bagian dari anak berkebutuhan khusus yang

memiliki kelainan pada indra sensory, yaitu

penglihatan. Pengertian tunanetra secara

paedagogis adalah “Anak yang mengalami

gangguan daya penglihatannya, berupa

kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan

walaupun sudah diberi pertolongan dengan

alat-alat bantu khusus masih tetap

memerlukan pelayanan pendidikan

khusus.” (Direktorat PLB, 2004:5).

Anak tunanetra mengalami

keterbatasan dalam penglihatan, dimana

keterbatasan ini menjadi faktor penghambat

bagi mereka untuk dapat menguasai

komponen dasar pendidikan tersebut. Pada

umumnya yang digunakan sebagai patokan

apakah seorang anak termasuk tunanetra

atau tidak ialah berdasarkan tingkat

ketajaman penglihatannya (Sutjihati,2006).

Dari pernyataan diatas dapat

ditegaskan bahwa tunanetra adalah anak

yang memiliki keterbatasan dalam

penglihatan sehingga memiliki kesulitan

dalam membaca awas maupun melakukan

kegiatan sehari-hari. Hal ini mengakibatkan

anak membutuhkan alat bantu untuk

memperluas ruang geraknya, selain itu

kebutuhan anak dalam hal perabaan sangat

penting sehingga indra taktualnya perlu

ditingkatkan.

Ketidakmampuan anak tunanetra

dalam melihat, mengakibatkan indra-indra

lain yang dimiliki anak tunanetra menjadi

lebih peka. Salah satunya adalah indera

taktualnya. Adanya indra taktual ini dapat

membantu anak tunanetra untuk

mengumpulkan informasi tentang

lingkungan dan untuk melakukan tugas

sehari-hari. Melalui indra taktual seperti

sentuhan atau rabaan akan memberikan

informasi untuk tunanetra mengenai

karakteristik objek, seperti bentuk, ukuran,

dan tekstur. Namun tunanetra masih belum

dapat mengetahui aspek fungsional objek

yang dirabanya, seperti penggunaan objek

sebagai alat bantu dikarenakan hilangnya

kemampuan melihatnya.

Dalam proses akademik anak,

kemampuan indra taktual akan sangat

Page 136: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 129

berguna dalam proses membaca huruf

Braille. Penggunaan huruf braille juga akan

berdampak pada kelancaran proses

pembelajaran yang ada disekolah.

Sayangnya, tidak jarang anak tunanetra

awal mengalami kesulitan dalam mengenal

huruf braille. Bukan hanya karena sulitnya

memahami simbol-simbol braille, tetapi

faktor lain yang membuat anak sulit

memahami braille adalah kurang tingginya

sensitivitas indra taktual anak.

Salah satu program pendidikan

yang dapat digunakan untuk meningkatkan

kemampuan indera taktual yang dimiliki

oleh anak yaitu dengan melibatkan anggota

keluarga dirumah, terutama orangtua.

Program peningkatan indera taktual anak

tunanetra yang di rancang antara anak

dengan orang tua akan membuat kegiatan

belajar menjadi lebih bermakna. Hal ini

akan berdampak positif bagi anak dan

lembaga pendidikan dimana anak tersebut

menempuh pendidikan. Secara tidak

langsung, program dengan orangtua akan

membuat lembaga pendidikan memperoleh

keuntungan.

Menurut Morrison (1988:321)

terkait dengan keterlibatan orang tua

terbagi menjadi tiga bagian, pertama yaitu

kerjasama orangtua dengan guru sebagai

penolong dalam komunitas, kedua

merupakan proses yang berkembang

melampaui waktu perencanaan yang

intensional dan usaha dari setiap anggota

tim, dan ketiga sebagai proses orangtua dan

guru dalam bekerja, belajar dan

berpartisipasi dalam menentukan

keputusan. Dari pendapat tersebut,

Keterlibatan orang tua dalam proses

pendidikan dapat berkembang dengan

adanya kerjasama dan berbagi pendapat

dalam membuat keputusan terhadap

terhadap kegiatan pendidikan.

Keterlibatan orangtua dalam

pendidikan anak dapat memberikan

pengaruh yang kuat terhadap sikap anak

dalam pembelajaran yang diajarkan di

sekolah. Semakin orangtua menunjukkan

sikap positif terhadap materi pembelajaran

yang diajarkan di sekolah, maka semakin

baik anak akan mendapatkan ilmu yang

disampaikan oleh Guru. Hal tersebut juga

sejalan dengan pendapat Hornby (2005)

yang menyebutkan bahwa orangtua bisa

berkontribusi melalui berbagai informasi

dengan guru di sekolah agar kepekaan

indera taktual pada anak dapat diketahui

dengan baik.

Program pembelajaran yang

dibentuk oleh guru dan orang tua untuk

anak dapat diberikan sebelum anak

mempelajari huruf-huruf braille. Kegiatan

ini dapat diberikan ketika anak masih

berada di usia dini. Sehingga, kepekaan

taktual anak akan meningkat. Karena faktor

Page 137: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 130

penentu seseorang dapat dengan mudah

mempelajari braille bukan hanya karena

seseorang tersebut mampu menghafalnya,

tetapi karena memiliki sensitivitas yang

tinggi terhadap indra taktualnya.

Pembelajaran untuk meningkatkan

kepekaan indera taktual bagi tunanetra

dengan keterlibatan orangtua dapat ditinjau

dari pendapat Hornby (2005) yang

menyebutkan ada lima tahapan dalam

memberikan pembelajaran bersama

orangtua, yang pertama yaitu orangtua aktif

memberikan informasi kepada pihak

sekolah mengenai perkembangan anaknya.

Kedua, orangtua membantu anak untuk

mengerjakan PR di rumah. Ketiga, orangtua

menerapkan kembali kebiasaan-kebiasaan

di sekolah untuk dilakukan di rumah.

Keempat, orangtua kadang-kadang saja

mengulang kembali materi pembelajaraan

di sekolah dan kelima orang tua

memberikan kegaitan yang dianjurkan oleh

pihak sekolah untuk memperbaiki

kekurangan anak.

Pada tahapan satu, disebutkan

bahwa orangtua harus aktif memberikan

informasi pada pihak sekolah mengenai

perkembangan anak. Informasi tersebut

dapat berisi tentang kelebihan dan

kekurangan anak, serta apa yang perlu

diperbaiki untuk mengatasi kekurangan

anak. Jika kaitannya dengan kemampuan

taktual anak, orang tua dapat memberikan

gambaran seputar kepekaan yang dimiliki

anak, benda-benda yang bisa dan tidak bisa

anak bedakan dengan indera perabaanya

tersebut.

Selanjutnya untuk tahapan yang

kedua, orangtua membantu anak untuk

mengerjakan PR di rumah. Melalui PR

tersebut secara tidak langsung orangtua

juga mendapatkan informasi tentang

perkembangan anak di sekolah. Informasi

tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi dan

diskusi dengan guru.

Ketiga, orangtua menerapkan

kembali kebiasaan-kebiasaan di sekolah

untuk dilakukan di rumah. Orang tua

memberikan kegiatan secara aktif terkait

dengan latihan-latihan sederhana untuk

meningkatkan indera taktual anak.

Contohnya, anak diajak untuk mengenal

benda-benda di lingkungan rumahnya.

Anak akan menemukan tekstur benda yang

berbeda-beda. Melalui benda yang ia

temukan itulah yang akan menjadi obyek

pembelajaran anak.

Keempat, orangtua menerapkan

kembali kebiasaan-kebiasaan di sekolah

untuk dilakukan di rumah. Guru di sekolah

akan memberikan pembelajaran tekait

dengan kepekaan indera taktual.

Kelima orang tua memberikan

kegiatan yang dianjurkan oleh pihak

sekolah untuk memperbaiki kekurangan

Page 138: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 131

anak. Ketika di sekolah didapati anak

belum mampu untuk diajak mempelajari

braille, artinya orang tua perlu memberikan

aktivitas tambahan untuk meningkatkan

indera taktualnya.

Faktor Keterlibatan Orang Tua

Sangat penting bagi orangtua yang

memiliki anak tunanetra untuk memberikan

tempat belajar yang nyaman bagi mereka,

karena mereka percaya bahwa orangtua

harus memahami peran mereka bukan saja

untuk pendidikan tetapi juga dalam

kehidupan anak.

Memberikan kegiatan

pembelajaraan di rumah dapat membantu

anak berkembang tanpa paksaan, Orangtua

juga yakin bahwa keterlibatan mereka akan

memberikan pengaruh positif bagi anak.

Karena orangtua memahami potensi yang

dimiliki oleh anak dan dapat memberikan

fasilitas yang sesuai untuk meningkatkan

kepekaan indra taktual anak. Orang tua juga

berperan penting untuk proses

pembelajaran anak disekolah agar dapat

saling terkait antara pembelajaran di rumah

dan juga di sekolah.

Dampak keterlibatan orangtua

Dampak yang diberikan jika

orangtua berperan dalam pembelajaran

anak maka secara otomatis pembelajaran

akan mudah untuk diterima oleh anak,

fasilitas untuk pembelajaran anak juga lebih

mudah untuk didapatkan, orangtua secara

tidak langsung juga mendapatkan

pengetahuan dan dapat berbagi

pengetahuan kepada anak. Selain itu,

keterlibatan orang tua dalam pembelajaran

dapat mempererat hubungan orangtua

dengan anak.

Kesimpulan

Dalam proses akademik anak,

Kemampuan indra taktual akan sangat

berguna dalam proses membaca huruf

Braille. Penggunaan huruf braille juga akan

berdampak pada kelancaran proses

pembelajaran. Program peningkatan indera

taktual anak tunanetra yang di rancang

antara anak dengan orang tua akan

membuat kegiatan belajar menjadi lebih

bermakna. Pembelajaran untuk

meningkatkan kepekaan indera taktual bagi

tunanetra dengan keterlibatan orangtua

dapat membantu anak berkembang tanpa

paksaan. Orangtua juga yakin bahwa

keterlibatan mereka akan memberikan

pengaruh positif bagi anak. Karena

orangtua memahami potensi yang dimiliki

oleh anak dan dapat memberikan fasilitas

yang sesuai untuk meningkatkan kepekaan

indra taktual anak. Orang tua juga berperan

penting untuk proses pembelajaran anak

disekolah agar dapat saling terkait antara

pembelajaran di rumah dan juga di sekolah.

Selain itu, keterlibatan orang tua dalam

Page 139: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 132

pembelajaran dapat mempererat hubungan

orangtua dengan anak.

Daftar Pustaka

Hallahan, Kauffman. (2009). Exceptional

Learners an introduction to Special

Education eleventh edition. USA:

PEARSON

Juang, Sunanto. (2005). Mengembangkan

Potensi Anak Berkelainan penglihatan.

Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Direktorat PLB. (2004). Pedoman

Penyelenggaraan Pendidikan

Terpadu/Inklusi Mengenal Pendidikan

Terpadu. Jakarta: Depdiknas.

Sutjihati Somantri, 2006, Psikologi Anak

Luar Biasa, Bandung, PT. Refika Aditama.

Hornby, G. (2005). Improving parental

involvement. London: Continuum.

Morisson, George S. (1988). Early

Childhood Education Today. Fourth

Edition. Columbus: Merrill Publishing

Company.

Morrison, George S. (1988). Education and

Development of Infants, Toddlers, and

Preschoolers. London: Scott,

Foresman,and Company.

Page 140: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 133

Model Pelatihan Baca Tulis Braille Bagi Guru di Sekolah Inklusi

Muhammad Faris Darussalam1, Ishartiwi2

[email protected]

[email protected]

Abstrak

This article discusses the importance of braille reading and writing training for teachers in

inclusive schools. Inclusion schools are the type of school that is friendly to all characteristics

of students including students with special needs. Therefore, teachers assigned to inclusion

schools should have the competence to teach all types of students who are studying in such

schools such as blind children. Blind children have different ways with other children in

teaching and learning activities. They need different teachers' abilities to explain the material

so that blind students can grasp the concept of the material they are studying. Literacy and how

to write a blind child is different so that inclusion teachers should be able to master the ability

to read and write braille in order to launch teaching and learning activities of students with

special needs, especially students with visual impairment.

Keyword: braille, inclusion, visual impairment

Pendahuluan

World Health Organization (WHO)

memperkirakan jumlah anak berkebutuhan

khusus di Indonesia 7-10% dari total

jumlah anak. Data tahun 2003, mencatat

bahwa terdapat 679.048 anak mengalami

kebutuhan khusus atau sekitar 21,42% dari

seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus.

Tercatat jumlah anak berkebutuhan khusus

di Indonesia mencapai 10 anak dari 100

anak, hal tersebut menunjukkan bahwa

10% populasi anak-anak adalah anak

berkebutuhan khusus yang harus

mendapatkan pelayanan, baik pelayanan

kesehatan maupun pelayanan pendidikan

(Kementerian Kesehatan RI, 2010). Begitu

banyaknya jumlah anak berekutuhan

khusus sehingga diperlukan tidak hanya

sekolah lua biasa yang menampung anak

berkebutuhan khusus tetapi juga sekolah

reguler atau model inklusi pada umumnya.

Menurut PERMEN Pendidikan nomor

70 tahun 2009, yang dimaksud dengan

pendidikan inklusif adalah suatu sistem

pendidikan yang memungkinkan peserta

didik dengan hambatan tertentu dan

memiliki potensi dan bakat istimewa yang

dapat dikembangkan untuk mengikuti

proses pembelajaran secara bersama-sama

dengan peserta didik reguler. .

Page 141: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 134

Konsep pendidikan inklusi

diciptakan dengan maksud sebagai solusi

dari perlakuan diskriminatif dalam layanan

pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan

khusus. Pendidikan inklusif memiliki

prinsip bahwa selama anak berkebutuhan

khusus masih memungkinkan untuk

mengikuti pembelajaran secara reguler

maka anak didik tersebut diusahakan untuk

belajar bersama- sama dengan siswa reguler

yang lain tanpa memandang perbedaan dan

memberikan akomodasi/ modifikasi pada

kebutuhan khususnya sehingga kesulitan

dapat tertangani. (Ni’matuzahroh:2015)

Pelayanan pendidikan yang terjadi di

Indonesia masih mengalami hambatan. ,

seperti halnya kurangnya pengetahuan guru

tentang anak berkebutuhan khusus,

minimnya keterampilan guru dalam

menangani ABK dan sikap guru terhadap

ABK yang dilihat masih memandang

sebelah mata.

Ketidakmampuan guru di sekolah

inklusi yang masih terjadi dalam

pelaksanaan di lapangan seperti contoh

guru belum bisa membaca dan menulis

braille. Ketidakmampuan ini berlanjut pada

kurang lengkap dan kurang terintegrasinya

pengetahuan yang diterima oleh siswa

tunanetra seperti dalam menulis huruf

braille dan kaidah penulisan pada masing-

masing mata pelajaran yang berbeda.

Hal ini disebabkan karena basis

guru pada mulanya memang guru reguler

dan belum mengenal lebih dalam tentang

pendidikan untuk anak berkebutuhan

khusus, khususnya tunanetra, belum

memahami karakteristik belajarnya,

termasuk tulisan yang digunakan.

Pembahasan

a. Braille

Tulisan braille adalah sistem penulisan

yang mengandalkan titik-titik timbul pada

suatu bidang. Cara membaca kode braille

dengan menggunakan indera perabaan

(taktual) dari arah kiri ke kanan.

Huruf braille di dasarkan pada pola

enam titik timbul dengn posisi tiga titik

vertikal dan dua titik horizontal. Titik-titik

tersebut diberi nomor tetap 1, 2, 3, 4, 5, 6

pada posisi sebagai berikut:

1) Susunan titik huruf Braille cara baca.

Untuk keperluan mambaca, titik timbul

(positif) yang dibaca. Cara membaca

seperti pada umumnya yaitu dari kiri ke

kanan. Titik satu pada penulisan Braille

terdapat pada titik sebelah kiri atas. Posisi

titik-titik di atas adalah posisi huruf Braille

terdiri dari satu atau kombinasi beberapa

titik tersebut. Dengan bantuan nomor dari

setiap titik, maka suatu huruf dapat

dinyatakan dengan menyebutkan nomor

dari titik-titiknya.

Page 142: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 135

2) Susunan titik huruf Braille cara tulis.

Untuk menulis, prinsip kerjanya berbeda

dengan mambaca. Cara menulis huruf

Braille tidak seperti pada umumnya yaitu

dimulai dari kanan ke kiri, biasanya sering

disebut dengan menulis secara negatif

(membuattitik cekung). Jadi menulis

Braille secara negatif dan menghasilkan

tulisan secara timbul positif di sebaliknya.

Titik satu pada penulisan Braille terdapat

pada titik sebelah kanan atas. Posisi titik-

titik di atas adalah posisi huruf Braille yang

ditulis dari kanan ke kiri. Huruf Braille

terdiri dari satu atau kombinasi beberapa

titik tersebut. Bantuan dengan nomor dari

setiap titik, maka suatu huruf dapat

dinyatakan dengan menyebutkan nomor

dari titik-titiknya.

Dengan mempergunakan huruf

Braille seorang tunantera tidak membaca

tetapi juga dapat menuliskan apa yang

dipikir serta kemudian membacanya

kembali.

Kompetensi guru inklusi (braille)

Guru adalah seorang pendidik yang

bertugas untuk mengajar, mendidik,

membimbing, mengarahkan, melatih, dan

mengevaluasi peserta didik mulai dari usia

dini sampai ke perguruan tinggi. Guru

sebagai ujung tobak pendidikan yang

dianggap pandai dan berwawasan, sehingga

guru dapat memberikan ilmu yang

bermanfaat dengan menididik anak tanpa

membeda-bedakan (Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2005).

Guru harus memiliki pengetahuan

yang lebih banyak tentang anak

berkebutuhan khusus, memiliki sikap

penerimaan yang baik dan memiliki

keterampilan dalam mengajar sehingga

semua anak dapat menerima pelajaran yang

diberikan.

Kompetensi guru adalah

kemampuan melakukan tugas mengajar dan

mendidik yang diperoleh melalui

pendidikan dan latihan yang di dalamnya

terdapat pengetahuan, sikap penerimaan,

keterampilan dan nilai-nilai yang ditujukan

dalam mengajar. (Sahertian: 1994,

Suparlan, 2006 dan Mulyasa, 2007). Hal

tersebut juga harus dimiliki oleh guru-guru

disekolah inklusi, sehingga dalam

menangani anak berkebutuhan khusus

dengan berbagai keistimewaan, guru-guru

memiliki kemampuan yang cukup

memadai. Tamansyah (2009)

menambahkan bahwa kompetensi guru

sekolah inklusi adalah memahami maksud

dan tujuan pendidikan inklusi yang

diberlakukan, terampil dalam mengenali

karakteristik anak, melaksanakan asesmen,

diagnosis dan evaluasi pendidikan.

Sedangkan guru-guru di sekolah inklusi

tidak semua berlatar belakang dari

Page 143: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 136

pendidikan luar biasa, banyak guru reguler

yang diminta untuk mengajar anak

berkebutuhan khusus. Oleh karena

itu,masih banyak guru sekolah inklusi yang

belum paham akan kondisi dan keberadaan

anak berkebutuhan khusus yang ada di

sekolah.

Di dalam kompetensi guru

tunanetra, disebutkan bahwa guru mampu

menerapkan bidang-bidang pengembangan

program yang meliputi: Dasar-dasar

Tulisan Braille, Orientasi dan Mobilitas,

Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan

Irama, Bina Diri, Bina Gerak, Bina Pribadi

dan Sosial dan Bina Potensi Kecerdasan

dan Bakat Istimewa.

Oleh karena itu, untuk mengajarkan

mata pelajaran bagi siswa dengan hambatan

penglihatan setidaknya guru inklusi

menguasai baca tulis braille meliputi huruf,

simbol-simbol baca, simbol-simbol angka,

dan kaidah-kaidah penulisannya serta

orientasi mobilitas jika diperlukan.

Implementasi dari konsep

pendidikan inklusi di lapangan sering kali

tidak sesuai/ tidak ideal dengan teori yang

ada. Berdasarkan hasil observasi Temi

Damayanti, et. al (2017), selama proses

pembelajaran telah menemukan bahwa

masih ada guru yang menyamakan metode

pengajaran kepada seluruh siswa, meski

mereka juga menghadapi siswa

berkebutuhan khusus yang memerlukan

metode yang diterapkan secara individual.

Alasan mengapa masih

menggunakan metode yang sama kepada

seluruh siswa dikarenakan guru tidak

mengetahui cara atau metode yang tepat

dalam menangani siswa dengan kondisi

yang berbeda dari umumnya di kelasnya

tidak terkecuali anak dengan hambatan

penglihatan. Anak dengan hambatan

penglihatan diajarkan dengan cara yang

biasa dan cenderung abstrak. Anak

mungkin akan mengaku paham jika

ditanya oleh guru tetapi pada kenyataannya

anak belum memahami apa yang dijelaskan

oleh guru tersebut.

Oleh karena itu, guru-guru di

sekolah inklusi perlu untuk diberikan

pelatihan (in-service training) tentang

membaca dan menulis huruf braille.

Program in-service training adalah

suatu usaha pelatihan atau pembinaan yang

memberi kesempatan kepada seseorang

yang mendapat tugas jabatan tertentu dalam

hal tersebut ialah guru, untuk mendapat

pengembangan kinerja. in-service training

juga bisa dikatakan sebagai suatu program

sekaligus metode pelatihan dan pendidikan

dalam jabatan yang dilaksanakan dengan

cara langsung bekerja di tempat untuk

Page 144: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 137

belajar dan meniru suatu pekerjaan dibawah

bimbingan seorang pengawas.

Istilah lain yang juga dipergunakan

ialah Upgrading atau penataran dan in-

service education yang pada dasarnya

mempunyai maksud yang sama. in-service

training diberikan kepada guru-guru yang

dipandang perlu meningkatkan

ketrampilan/ pengetahuannya sesuai

dengan perkembangan ilmu pengetahuan,

khususnya dibidang pendidikan. Jadi dalam

hal ini, in service training dapat diartikan

sebagai usaha meningkatkan pengetahuan

dan ketrampilan guru dalam bidang tertentu

sesuai dengan tugasnya, agar dapat

meningkatkan kinerja dan

mempertahankan profesionalismenya

dalam melakukan tugas-tugas tersebut.

2. Tujuan in-service training

In-service (dalam jabatan) atau

latihan-latihan semasa berdinas,

dimaksudkan untuk meningkatkan dan

mengembangkan secara kontinu

pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan dan

sikap-sikap para guru dan tenaga-tenaga

kependidikan lainnya guna mengefektifkan

dan mengefesiensikan pekerjaan/

jabatannya.

Program pendidikan dan latihan

tersebut dapat diselenggarakan secara

formal oleh pemerintah, berupa penataran-

penataran atau loka karya baik secara lisan

atau tertulis, dapat pula diselenggarakan

secara informal oleh yang berkepentingan

baik secara individual, maupun secara

berkelompok.

Secara umum, tujuan kegiatan in-service

training adalah sebagai berikut:

a. Meningkatkan produktivitas kerja

b. Meningkatkan efisiensi

c. Mengurangi terjadinya berbagai

kerusakan

d. Mengurangi tingkat kesalahan dalam

mengajar

e. Meningkatkan pelayanan yang lebih

baik, dalam hal ini pelayanan pendidikan

f. Meningkatkan moral karyawan

g. Memberikan kesempatan bagi

peningkatan karir

h. Meningkatkan kemampuan manajer

mengambil keputusan

i. Meningkatkan kepemimpinan seseorang

menjadi lebih baik

j. Meningkatkan balas jasa (kompensasi)

3. pelaksanaan in-service training

menggunakan model Pengembangan

Pribadi Guru. Menurut Roger Neil (1986)

perbaikan suatu kualitas organisasi sangat

Page 145: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 138

bergantung pada perubahan dalam diri

individu masing-masing, setelah itu,

mungkin beberapa bentuk dari guru in-

service training lebih kondusif. Sehingga

proses perbaikan dalam metode ini

menggunakan pendekatan secara individual

agar kemajuan dari masing-masing guru

tersebut dapat terpantau. Masing-masing

guru diberikan suatu materi yang sesuai

dengan yang belum dikuasainya kemudian

secara individual akan dipantau

perkembangan kompetensi guru tersebut.

Penutup

Kesimpulan

in-service training baca-tulis braille

untuk guru-guru inklusi digunakan untuk

meningkatkan kompetensi guru dalam

bidang baca tulis braille dalam rangka

untuk mengatasi permasalahan kurangnya

kompetensi guru dalam membaca dan

menulis braille.

Saran

Perlunya mengadakan in-service training

bagi guru inklusi secepatnya.

Daftar Pustaka:

Direktorat Bina Kesehatan Anak.

(2010). Pedoman Pelayanan Kesehatan

Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) bagi

petugas kesehatan. Kementrian Kesehatan

RI: Direktorat Jendral Bina Kesehatan

Masyarakat.

Ni’matuzahroh. 2015. Analisis

Kesiapan Guru dalam Pengelolaan Kelas

Inklusi. ISBN: 978-979-796-324-8

Sunanto, J. (2005). Mengembangkan

Potensi Anak Berkelainan Penglihatan.

Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga

Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan

Tinggi.

A. Sahertian, Piet. 1994. Profil

Pendidik Profesional. Yogyakarta: Andi

Offset.

Suparlan. (2006). Guru Sebagai

Profesi. Yogyakarta: Hikayat Publishing

E.Mulyasa. (2007).Standar

Kompetensi dan Sertifikasi Guru.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Damayanti, dkk.2017.Kompetensi

Guru dalam Proses Pembelajaran Inklusi

Pada Guru Sd Negeri Kota Bandung. Volume

3, No.1. SCHEMA - Journal of

Psychological Research

Tarmansyah, 2007, Inklusi

Pendidikan Untuk Semua, Jakarta :

Depdiknas.

Roger Neil (1986) Current Models

and Approaches to In‐service Teacher

Education. British Journal of In-Service

Education,

Page 146: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 139

ABSTRAK

Lilis.Suwandari, (2017), Pengembangan Pembelajaran Bagi Guru SLB Kotamadya

Bandung Dalam Meningkatkan Kemampuan Vokasional Anak Tunagrahita

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan kemampuan dalam pembelajaran

vokasional bagi anak tunagrahita belum optimal dan kurang efektifnya penyelenggaraan

kelompok pelatihan vokasional yang diselenggarakan oleh beberapa yayasan

penyelenggara pendidikan tunagrahita di kota Bandung. Berdasarkan pada keadaan

tersebut penelitian ini bertujuan untuk: 1) memperoleh gambaran tentang kondisi obyektif

pembelajaran vokasional bagi anak tunagrahita 2) Konsep dan teori yang dijadikan acuan

dalam pelaksanaan penelitian ini, meliputi: hakekat pembelajaran vokasional yang ada di

SLB, hakekat vokasional, dan pendidikan vokasional tunagrahita ringan. Kenyataan di

lapangan bahwa tidak semua penyandang berkebutuan khusus dapat mengenyam

pendidikan formal melalui Sekolah Luar Biasa karena berbagai kendala seperti jarak

sekolah yang jauh dari tempat tinggal, keterbatasan biaya, kasadaran orang tua penyandang

berkebutuhan khusus yang masih rendah, kepedulian masyarakat terhadap penyandang

berkebutuhan khusus yang masih sangat rendah pula dan juga bagi mereka yang bersekolah

merasakan ketidakseimbangan antara program kurikulum dengan kebutuhan belajar

penyandang tunagrahita yang disertai keterbatasan-keterbatasan mereka maka hasil

pendidikan formal dirasakan belum cukup bagi mereka untuk bekal meraih

kemandiriannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan

metode penelitian dan pengembangan, yang berlokasi di 6 SLB di kota Bandung. Data yang

diperoleh melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi, semiloka dan diskusi

dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan: keberadaan pembelajaran

vokasional belum optimal, artinya dalam prencanaan, pelaksanaan, dan tindak lanjut belum

sesuai dengan kebutuhan penyandang tunagrahita ringan. Oleh karena itu diperlukan

pelayanan pendidikan yang lebih fleksibel, berdiversifikasi, dan lebih berorientasi pada

pendidikan kecakapan hidup termasuk keterampilan vokasional yang dapat diakses

sepanjang hidupnya. Rekomendasi hasil penelitian ini adalah pengembangan vokasional

bagi anak tunagrahita dan dapat mengantarkan anak tunagrahita memperoleh pekerjaan

sebagai bekal hidupnya. Pandangan masyarakat yang menganggap kehadiran tunagrahita

hanya menjadi beban berubah bahwa penyandang tunagrahita memiliki potensi yang patut

dikembangkan sehingga mereka hidup mandiri.

Kata Kunci: Pengembangan pelatihan, Vokasional, Anak Tunagrahita.

Page 147: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 140

ABSTRACK

Lilis.Suwandari, (2017), Learning Development for SLB Teacher Municipality Bandung in

Improving Mentally Disabled Child’s Vocational Skill

This research is motivated by the problems and abilities in learning vocational for Mentally

Disabled children who have not optimal yet and the ineffectiveness of organizing

vocational training groups organized by several foundations of Mentally Disabled’s

education provider in Bandung City. Based on the circumstances, the purpose of this

research are: 1) acquired a picture of the objective conditions of vocational learning for

Mentally Disabled children 2) concepts and theories used as a reference in the

implementation of this research, including: the nature of vocational learning existing in

SLB, vocational essence, and vocational education of lightweight disabilities. The reality

of the field that not all people with special needs can receive formal education through SLB

because of various obstacles such as long distance of school that far from home, limited

fee, awareness of special needs’ parents is still low, low public awarness of special needs,

and also for them who attend school that feels imbalance between curriculum program with

learning needs of Mentally Disabled that accompanied by their limitations then the result

of formal education felt not enough for them to be ready to reach their independence. This

research is using qualitative and quantitative approaches with research and development

methods, that located in group 18 in Bandung. Data that obtained through observation,

interview, study documentation, semiloka, and the discussion analyzed by qualitative. The

result of research indicate: the exixtence of vocational learning that have not optimal yet,

it means in planning, implementation, and follow-up is not suitable with the needs of light

mentally disabled. Therefore, education flexible service is required, diversify, and more

oriented to education skill including vocational skills that could be accessed throughout his

life. Recommendation of research result are vocational development for mentally disabled

children and could deliver mentally disabled child to reach job as stock of his life. Public

vision that considers presence of mentally disabled is only burden could be change to

mentally disabled has potential that have to be developed so they could live independent.

Key words: training development, vocational, mentally disabled child

Page 148: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 141

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN

BAGI GURU SLB KOTAMADYA

BANDUNG DALAM

MENINGKATKAN KEMAMPUAN

VOKASIONAL ANAK

TUNAGRAHITA

A. PENDAHULUAN

Pembelajaran Vokasional adalah

proses dalam menyiapkan siswa agar

memiliki kompetensi berupa

kecakapan hidup untuk hidup mandiri

di masyarakat. Pendidikan vokasional

bagi anak tunagrahita ringan sangat

ditentukan oleh sejauh mana program

pelatihan dilakukan, dan kemampuan

guru dalam melaksanakan

pembelajaran vokasional. Oleh karena

itu perlu untuk dirumuskan dan dikaji

untuk mengetahui sejauh mana

kemampuan guru dalam pelaksanaan

pembelajaran vokasional.

Dengan berdasarkan hasil kajian

maka akan dijadikan sebagai bahan

untuk reorientasi program dan

perbaikan dalam mutu layanan,

sehingga pembelajaran bagi anak

tunagrahita dapat ditingkatkan dan

menghasilkan siswa yang mampu

menghidupi dirinya sendiri.

Pendidikan merupakan sub sistem dari

supra sistem kehidupan yang berperan

dalam mencerdaskan kehidupan

bangsa, tentunya mempunyai peran

yang sangat berarti dalam

pembentukan sumber daya manusia.

Berdasarkan tujuan tersebut,

sekolah sebagai tempat untuk

berlangsungnya proses pendidikan

mempunyai tangggung jawab untuk

memberikan pendidikan semaksimal

mungkin sehingga anak-anak luar

biasa dapat memiliki kompetensi baik

kompetensi personal, sosial maupun

teknis yang dapat diaplikasikan dalam

kehidupan sehari-hari. Mereka harus

mampu untuk memenuhi kebutuhan

dirinya, mampu untuk bergaul dengan

masyarakat, dapat memiliki

keterampilan, sehingga mereka dapat

memiliki kecakapan untuk hidup di

masyarakat. Dengan terbentuknya

kecakapan hidup akan tumbuh

kemandirian sehingga anak luar biasa

tidak lagi menjadi individu yang

memiliki ketergantungan kepada orang

lain tetapi mereka dapat hidup mandiri

mampu hidup dalam kehidupan.

Dengan berbekal kecakapan

hidup maka akan menuju kemandirian

dan kita yakin bahwa dengan

kemandirian maka anak luar biasa akan

dapat mengurangi ketergantungannya

kepada orang lain. Jadi dengan

pendidikan dapat mengurangi

ketergantungan dan menumbuhkan

Page 149: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 142

kemandirian baik secara personal,

sosial dan vokasional.

1. Kemampuan guru dalam

pengembangan pembelajaran

vokasional

2. Kemampuan guru dalam

mengelola pembelajaran

vokasional dan mampu

mengembangkan keterampilan

itu sendiri

3. Relevansi pengembangan

keterampilan vokasional dengan

tuntutan/kebutuhan lingkungan.

Pengembangan pembelajaran

Vokasional bagi anak

tunagrahita harus senantiasa

relevan dengan kebutuhan anak

serta kebutuhan lingkungan,

sehingga apapun yang mereka

dapatkan dari bangku sekolah

dapat berguna untuk

memecahkan berbagai masalah

dalam kehidupan, dan

keterampilan tersebut disebut

kecakapan hidup.

B. METODE PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian

tentunya yang sangat penting perlu

untuk dipertimbangkan adalah

metodologi penelitian, di mana dengan

mempergunakan metodologi penelitian

yang tepat dan sesuai dengan

problematika penelitian, maka akan

dapat mengungkap dan mengolah data

dengan secara maksimal. maka peneliti

menggunakan metode deskriptif

dengan pendekatan kualitatif.

Teknik Pengumpulan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

a. Teknik studi dokumentasi

Teknik studi dokumentasi

adalah teknik telah dokumen

yang digunakan untuk

memperoleh sejumlah data

dan informasi yang berkenaan

dengan pengembangan

pembelajaran Vokasioanal.

Substansi yang dijadikan

bahan kajian dari studi

dokumentasi adalah

menyangkut berbagai

dokumen baik buku

kurikulum, bukti fisik

mengajar guru, arsip sekolah

maupun catatan lapangan

(field note).

b. Teknik Wawancara

Teknik wawancara

dipergunakan untuk menggali

informasi secara akurat dan

informasi sebanyak-

banyaknya yang berupa

pendapat, pikiran,

pengetahuan, orang-orang

yang terlibat dalam

Page 150: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 143

pengembangan pembelajaran

vokasional. Teknik

wawancara ini dianggap akan

lebih efektif mengingat

dengan wawancara, kita dapat

menggali berbagai informasi

dengan lebih fleksibel.

c. Teknik Observasi

Teknik observasi digunakan

untuk memperoleh sejumlah

data tentang konteks nyata

dari pengelolaan program

Vokasional (Spesific Life

Skill) Pasca sekolah. Teknik

observasi ini bertujuan untuk

mengetahui berbagai aktivitas

langsung yang akan

memberikan gambaran data

untuk kepentingan penelitian.

C. HASIL PEMBAHASAN

a. Mengembangkan potensi peserta

didik agar memiliki pengetahuan,

sikap keterampilan dalam berbagai

bentuk kreatifitas, dan seni budaya

baik di lingkungan sekolah

maupun di masyarakat.

b. Memupuk rasa kebersamaan dan

langkah dalam mencapai prestasi.

c. Mengembangkan wawasan yang

luas dalam menciptakan

lingkungan yang kondusif.

Memberikan kesempatan yang

sama untuk sejajar di masyarakat.

Kepala sekolah dalam membuat

program pembelajaran vokasional

(spesific life skill) mengacu kepada

program yang sudah dilakukan

tahun-tahun sebelumnya baik

dalam sistem pembelajaran

maupun dalam jenis rumpun

pilihan yang diambil. Selain itu,

program pembelajaran vokasional

disusun tidak berdasarkan hasil

kajian serta analisis lingkungan

dan dibuat tidak berdasarkan hasil

rumusan dengan guru dan warga

sekolah lainnya termasuk dengan

yayasan jadi hanya dibuat oleh

kepala sekolah sendiri.

Dalam temuan ini peneliti

membagi menjadi tujuh katagori yaitu:

a. Perencanaan

Dalam merencanakan program

vokasional, kepala sekolah

melakukan manajeman komponen

sekolah yaitu kurikulum, sarana-

prasarana, ketenagaan dan

pendanaan.

b. Kurikulum

Dari hasil temuan menunjukkan

bahwa kepala sekolah dalam

merencanakan program

vokasional mengacu kepada

kurikulum SLB tahun 2006, dan

program ini merupakan program

Page 151: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 144

rutin yang diselenggarakan dari

tahun ke tahun. Program

vokasional yang diambil sebagai

program pilihan adalah Kerumah

tanggaan dengan mengambil

rumpun busana dan paket

keterampilan yang dipilih adalah

tata busana.

Pemahaman kepala sekolah

terhadap kurikulum SLB belum

secara detail hal ini menunjukkan

bahwa penguasaan materi program

vokasional masih berkisar kepada

hasil keterampilannya saja

sedangkan berdasarkan studi

dokumentasi dalam kurikulum

seharusnya disertai dengan

berbagai aspek kepribadian secara

holistik yang harus dikembangkan

melalui program vokasional.

c. Sarana Prasarana

Perencanaan dalam penyiapan

sarana prasarana dilakukan dengan

mengupayakan bantuan dari

berbagai pihak baik dari

pemerintah maupun donatur

lainnya. Sarana prasarana masih

memberdayakan apa yang ada.

Dan berdasarkan pengamatan

penulis sarana prasarana yang ada

sangat terbatas jumlahnya yaitu

berupa empat buah mesin jahit,

mesin obras dan mesin potong

masing-masing satu buah serta

beberapa peralatan jahit lainnya

yang tidak memadai bila

dibandingkan dengan jumlah

murid yang ada.

d. Ketenagaan

Tenaga guru yang berkualifikasi

untuk mengajar program

vokasional masih belum ada dan

kepala sekolah tidak

mengupayakan dari luar karena

dengan pertimbangan dana.

Sedangkan untuk mengatasi

kekurangan guru pada program

keterampilan ini diupayakan

tenaga instruktur dari alumni SLB

itu sendiri. Hal ini menunjukkan

perkembangan yang bagus di

mana peserta didik lebih disiplin

dan termotivasi, karena dalam

komunikasinya lebih mudah untuk

dipahami.

Berdasarkan studi dokumentasi

ternyata guru-guru di SLB-C

jumlahnya sangat terbatas dan bila

dibandingkan dengan rombel yang

ada, kepala sekolah harus

mengajar untuk mengatasi guru

yang tidak hadir. Selain tugasnya

sebagai guru yang diwajibkan

untuk mengajar selama 6 jam, juga

harus menginval ketika guru tidak

hadir dan ditambah lagi dengan

Page 152: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 145

tugas tambahan sebagai kepala

sekolah yang harus memimpin

empat jenjang sekolah sekaligus.

Selain itu untuk peningkatan mutu

guru program vokasional telah

dilakukan penataran dan pelatihan

yang diselenggarakan oleh Balai

Pelatihan Guru SLB, namun

kepala sekolah merasakan hal itu

masih belum cukup, perlu ada

penataran lebih lanjut.

e. Pendanaan

Pendanaan untuk kegiatan

program vokasional, kepala

sekolah mengupayakan dari

bantuan imbal swadaya dan dana

pengembangan program BBE dan

Life Skill dari pemerintah serta dari

donatur lainnya.

f. Pelaksanaan

Berdasarkan temuan di lapangan

bahwa dalam pelaksanaan

Program Vokasional, kepala

sekolah memberikan tanggung

jawab penuh kepada guru untuk

berperan dalam pembelajaran.

Namun dalam kebijakan

pengembangan dan pelaporan

adalah tanggung jawab kepala

sekolah. Implementasi visi sekolah

dalam program vokasional tidak

jelas, tidak tertuang dalam

kegiatan pembelajaran.

Pelaksanaan program cenderung

monoton tidak tampak berbagai

kegiatan inovatif dan kreatif.

Inovasi yang mengarah kepada

pengembangan model dan sistem

pembelajaran tidak tampak. .

g. Pembinaan dan Pengawasan

Pembinaan dan pengawasan

merupakan bentuk pengembangan

dan evaluasi di mana dalam

pelaksanaan program perlu

mendapat pembinaan agar

program vokasional dapat terarah

sesuai dengan tujuan. Begitu juga

dalam pengawasan tentunya akan

melibatkan kegiatan monitoring

dan evaluasi. Kegiatan ini sangat

penting karena dengan

mengadakan pembinaan dan

pengawasan pengelolaan program

diharapkan lebih efektif dan

efisien.

Page 153: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 146

D. KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian

bahwa model pelatihan keterampilan

vokasional bagi penyandang

tunagrahita ringan dapat dikatakan

efektif dalam meningkatkan

kemampuan kerja, seperti

pengetahuan, keterampilan.

Bervariasinya tingkat pendidikan guru

dengan bobot dan tantangan tugas yang

sama dilapangan diperlukan strategi

dan program pembinaan guru,

sehingga dengan kualifikasi yang

belum standar dapat tetap menjalankan

tugas-tugas untuk menghasilkan mutu

pendidikan yang standar.

Dari hasil temuan penelitian

terdapat data bahwa: Kepala sekolah

sudah melakukan kerja sama hanya

dengan orang tua murid namun itu

dilakukan dengan tidak formal, artinya

tidak direncanakan dan dirumuskan

secara formal dan akhirnya kembali

orang tua hanya sebagai outsider pasif.

Dalam upaya melibatkan

masyarakat, kepala sekolah terkesan

masih menunggu dan tidak jemput

bola, artinya kepala sekolah tidak

khusus membuat jalinan kerjasama

apalagi melakukan kemitraan atau

MOU.

Berdasarkan temuan data hasil

penelitian ditemukan bahwa dalam

memasarkan tamatan kepala sekolah

belum membuat perencanaan dan

tindakan yang dirancang secara formal.

Kepala sekolah masih beranggapan

bahwa tugas sekolah hanya meluluskan

tamatan sehingga penyaluran lulusan

adalah kegiatan pasca sekolah.

”Memasarkan tamatan” hanya

dilakukan dari mulut ke mulut saja.

Selain itu bagi tamatan yang akan

bekerja, pihak sekolah hanya

memberikan surat keterangan

Page 154: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju

indonesia yang lebih ramah disabilitas 147

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (1993). Manajemen

Pengajaran secara Manusiawi.

Jakarta: Rineka Cipta.

Abdurrahman, M. (1999). Pendidikan Bagi

Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:

Rineka Cipta.

Depdikbud. (1994). Kepmendikbud No.

0126/U/1994/Tgl. 19 Mei 1994

tentang Kurikulum Pendidikan Luar

Biasa. Jakarta.

_________. (1996). Himpunan Peraturan

tentang Pendidikan Dasar.

Dikdasmen. Jakarta.

_________. (1998). Kepmendikbud No.

0126/U/1994/Tgl. 19 Mei 1994

tentang Program Pilihan di

SLTPLB dan SMLB. Jakarta.

Depsos. (1994). Upaya Peningkatan

Kesejahteraan Penyandang Cacat.

Jakarta.

Gardner, H. (1993). Multiple Intelligences :

The Theory in Practice. Basic

Books, A Division of Harper

Collins Publishers.

Himpunan Peraturan Tentang Pendidikan

Dasar. Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Direktorat Jendral

Pendidikan Dasar dan Menengah.

Jakarta: Direktorat Pendidikan

Dasar 1996/1997.

Howard and Orlandsky. (1980).

Exceptional Children. Ohio: A Bell

& Howell Company, 42316.

Hunger, J. David and Wheelen, Thomas L.

(2001). Manajemen Strategis.

Yogyakarta: Andi.

Meadow. (1980). Deafness and Child

Development. London : Edward

Arnold Ltd.Mulyana, D. (2001).

Metodologi Penelitian Kualitatif.

Bandung: Remaja Rosda Karya.

_________. (2001). Manajemen Berbasis

Sekolah dan Kepemimpinan

Mandiri Kepala Sekolah. Bandung:

Sarana Panca Karya Nusa.

Suparman dan Dudi. (2003). Pendidikan

Karakter Mandiri dan

Kewirausahaan. Bandung:

Angkasa.

___________. (2004). Implementasi

Kurikulum Berbasis Kompetensi

(KBK) : Pembaharuan Pendidikan

dalam Undang-undang Sisdiknas

2003. Bandung: Cipta Cekas

Grafika.

Syaodih, N. (2001). Pengembangan

Kurikulum : Teori dan Praktek.

Bandung: Remaja Rosda

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional

2003 beserta Penjelasannya.

Bandung: Wahana Anak Bangsa.

Page 155: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 148

MEMBANGUN KARAKTER SOSIAL EMOSIONAL

CALON GURU SEKOLAH LUAR BIASA MELALUI PORTOFOLIO ELEKTRONIK

Sinta Yuni Susilawati1*,Umi syafiul Ummah21*, Henry Praherdhiono3*,

Rizq Fajar Pradipta4* Universitas Negeri Malang

[email protected]

ABSTRAK

Tanggung jawab utama untuk perubahan guru bertumpu pada program persiapan bagi calon guru di pendidikan

tinggi (Lombardi dan Hunka , 2001). Calon guru di Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Malang

memiliki keberagaman dimensi yang komplek. Sehingga memerlukan konten pembelajaran sosial dan

emosional yang mampu mengakuisisi seluruh potensi calon guru dengan efektif dalam rangka memberikan

pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan untuk mengenali dan mengelola emosi,

mengembangkan kepedulian orang lain, membuat bertanggung jawab keputusan, membangun hubungan, dan

penanganan situasi akademik yang memiliki sikap positif.. Penerapan teknologi SVOD dalam belajar dan

pembelajaran dapat dikategorikan sebagai media portofolio yang simpel dan realistis.

Kata Kunci: calon guru, SVOD, potofolio, sosial, emosional

PENDAHULUAN

Anak-anak, remaja, hingga

manusia dewasa di seluruh dunia pada usia

yang sama masuk ke kelas kelas yang

sesuai dengan usianya masing-masing

dengan kondisi berbeda dan beragam

(Karangwa, Miles, & Lewis, 2010; Mowat,

2010; Schirmer & Casbon, 1995).

Keberagaman tersebut berupa kemampuan

dan tantangan belajar, latar belakang

pengetahuan, budaya, bahasa, pengalaman,

sosial bahkan ekonomi. Pebelajar

memaknai belajar dan pembelajaran

dengan beragam. Secara sosial, pebelajar

tidak hanya memaknai belajar dan

pembelajaran sebagai aktivitas yang

melibatkan diri sendiri saja, melainkan

aktivitas dalam masyarakat yang beragam

seperti berinteraksi dengan guru-guru

ketika di sekolah, berinteraksi dengan

rekan-rekan kerja ketika di perusahaan dan

bermuara membawa nilai-nilai dan ajaran

ke keluarga mereka. Studi terhadap

pengelolaan emosional oleh pebelajar

secara global telah dilakukan. Secara umum

perkembangan emosional pebelajar

mengarah pada tingkat yang sangat tinggi

dari kekerasan di sekolah, bullying, putus

sekolah, bunuh diri remaja, dan perilaku

negatif lainnya (Kawabata, Crick &

Hamaguchi, 2010; Liang, Flisher, &

Lombard, 2007; McCombs, 2004; Zins &

Elias, 2006). Perilaku tersebut sebenarnya

hanya sebuah cara jalan pintas bagi

pebelajar yang tidak mampu menerima

keberagaman sosial dan kurangnya

kesejahteraan emosional. Kondisi tersebut

dibuktikan dengan peningkatan tingkat

depresi, penyakit emosi berlebihan terkait

dengan ekspresi tidak tersalurkan,

ketakutan dan keputusasaan (Cluver,

Bowes, & Gardner, 2010; Hymel,

Page 156: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 159

Schonert-Reichl, & Miller, 2006; Modrcin-

McCarthy & Dalton, 1996). Hal ini

mempertegas bahwa, temuan dari sejumlah

investigasi penelitian terbaru menunjukkan

bahwa sekolah dan kampus adalah salah

satu konteks sosialisasi yang paling efektif

dalam budaya kita, dan di antara yang

paling berpengaruh dalam membimbing

pembelajaran sosial dan emosional

(Schonert-Reichl, Smith, &Zaidman-Zait,

2006) pembelajaran sosial dan emosional

anak-anak dapat dipupuk melalui kelas dan

upaya intervensi di kelas (Durlak &

Weissberg, 2007; Graczyk, dkk,

2000; Greenberg, Domitrovich, &

Bumbarger, 2001).

Pembelajaran sosial dan

emosional merupakan proses akuisisi yang

efektif dalam memberikan pengetahuan,

sikap, dan keterampilan yang diperlukan

untuk mengenali dan mengelola emosi,

mengembangkan kepedulian orang lain,

membuat bertanggung jawab keputusan,

membangun hubungan yang positif, dan

penanganan situasi akademik yang

memiliki sikap positif (Zins & Elias, 2006,

hal. 1). Pembelajaran sosial dan emosional

memiliki efek positif pada banyak aspek

perkembangan anak, termasuk prestasi

akademik, fisik, mental, dan kesehatan

emosional, perilaku positif terhadap

keberagaman sosial. (Zins & Elias,

2006). Namun, perdebatan terus muncul di

berbagai perguruan tinggi di Indonesia

penyelenggara Pendidikan Luar Biasa

termasuk di Universitas Negeri Malang

adalah sejauh mana jurusan atau program

studi dapat atau harus diminta untuk

mencurahkan waktu dalam pembelajaran

sosial dan emosional. Walaupun semuanya

menyadari bahwa calon guru pendidikan

luar biasa sangat rentan dengan beban

sosial dan emosional. Sikap positif secara

soasial dan kemampuan mengelola

emosional calon guru Luar Biasa

merupakan faktor penentu dan melandasi

keseluruhan keilmuan yang diperoleh

selama pembelajaran hingga kelak pada

saat mengimplementasikan keilmuan.

Perdebatan yang muncul di tingkat

akademisi adalah pengakuan terhadap

hubungan antara perkembangan sosial dan

emosional dengan keberhasilan akademis

serta implementasi keilmuan di

masyarakat. Perlu disadari bahwa

memperkuat sikap positif mahasiswa dan

mengelola emosi mahasiswa dalam sebuah

komunitas (calon guru di Pendidikan Luar

Biasa) akan meningkatkan motivasi dan

aspirasi akademik, sehingga memiliki efek

besar pada prestasi akademik

(Brock, Nishida, Chiong, Grimm , &

Rimm-Kaufamn, 2008; Zins et al., 2004),

Berbagai kajian telah

mengerucut pada tanggung jawab utama

untuk perubahan guru bertumpu pada

Page 157: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 160

program persiapan bagi calon guru di

pendidikan tinggi (Lombardi dan Hunka ,

2001). Namun demikian banyak

dokumentasi stabilitas keyakinan calon

guru dan penolakan terhadap

perubahan. Literatur pada umumnya

menunjukkan bahwa pendidik atau calon

guru belum sukses dalam

mempengaruhi keyakinan dan sikap yang

membentuk watak dan menginformasikan

kemampuan diri (Renzaglia , Hutchins, dan

Lee, 1997). Bahkan,Renzaglia dan

koleganya memaparkan ketidak siapan

calon guru secara emosional adalah

ketidaksiapan calon pendidik guru dalam

pendidikan luar biasa sehingga membuat

dampak pada keyakinan dan sikap calon

guru tentang sekolah luar biasa dalam

konteks mengajar, belajar, pembelajaran

dan pebelajar yang menyandang

disabilitas ( Renzaglia , Hutchins , dan Lee,

1997, hal. 360).

Pembelajaran bagi calon guru

di pendidikan luar biasa adalah usaha untuk

membawa pebelajar luar biasa berpindah

dari margin menuju inti yang membantu

pebelajar memahami disabilitas

(keluarbiasaan) sebagai hanya fenomena

sosial (winzer.2002) . Hal ini akan

membawa sikap sosial bagaimana

memaknai disabilitas diciptakan dan

diabadikan oleh masyarakat, memaknai

secara sosial, dan bagaimana orang

menafsirkan disabilitas. Portofolio bagi

calon guru digunakan sebagai salah satu

alat untuk memberikan titik acuan untuk

membantu siswa mempelajari disabilitas

pada cara-cara baru melalui analisis

terhadap persepsi sosial yang

berlaku. Untuk merekonstruksi pandangan

secara sosial, asumsi dan keyakinan tentang

disabilitas secara umum ditantang melalui

analisis penggambaran, Calon guru di

pendidikan luar biasa harus mampu

merefleksi diri, dan memperkaya membaca

dan mengakses sumber belajar. Hingga

pada akhirnya calon guru pada pendidikan

luar biasa memiliki sikap positif secara

sosial dan emosional yang baik yang

melandasi seluruh ketrampilan yang

dikuasainya. Hasil penelitian dan kajian

menunjukkan bahwa penggunaan

portofolio merupakan salah satu praktek

menjanjikan bahwa dapat berfungsi untuk

memodifikasi keyakinan sehingga calon

guru di pendidikan luar biasa akan menjadi

lebih responsif dan akomodatif.

Video self-modeling (VSM)

adalah jenis intervensi dikelas yang telah

dikembangkan untuk membantu pebelajar

dalam melihat diri mereka sukses dalam

berbagai domain (Schmidt & Raacke.

2013). Pada calon guru pendidikan luar

biasa, perlu dikenalkan modifikasi

teknologi VSM yang berupa Self Video On

Demand (SVOD). Secara umum SVOD

Page 158: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 161

merupakan bentuk aktualisasi diri bagi

calon guru agar mampu melihat

perkembangan diri sendiri selama belajar

dalam sebuah pembelajaran. Banyak

penelitian yang menggunggulkan teknologi

Self Video (Video Diri). Penelitian

umumnya dilakukan kepada pebelajar yang

memiliki disabilitas dan belum dilakukan

bagi pebelajar yang memiliki identitas

sebagai calon guru bagi siswa yang

memiliki disabilitas. Salah satu penelitian

video diri adalah penelitian yang dilakukan

oleh Schmidt & Raacke pada tahun 2013

untuk menganalisis efek dari self video

pada pebelajar yang memiliki disabilitas.

Penelitian tersebut memiliki fokus khusus

pada peningkatan perilaku belajar dan

keterlibatan dalam pembelajaran. Hasil

menunjukkan bahwa terdapat perubahan

perilaku anak yang memiliki disabilitas

mengalami peningkatan secara signifikan

dengan pebelajar lain yang diberlakukan

sebagai kontrol hari. Perubahan tersebut

berupa meningkatnya kemampuan belajar

dan pembelajaran. SVOD merupakan

teknologi yang memodidifikasi VSM untuk

anak yang memiliki disabiltas yang

dijadikan perangkat asesmen portofolio

bagi calon guru pada pendidikan luar biasa.

Tentunya calon guru pada pendidikan luar

bias secara emosioanl memiliki kedekatan

dengan pebelajar yang memiliki disabilitas.

Secara khusus calon guru harus memiliki

pengalaman belajar dalam penggunaan

teknologi self video untuk kebutuhan

belajar dan pembelajaran. Secara umum

calon guru akan mampu melihat

perkembangan diri sendiri secara

portofolio, sehingga calon guru memiliki

sikap positif dalam menyalurkan dan

mengekspresikan emosional serta sebagai

cara berbagi kemampuan melalui wahana

SVOD.

Penerapan teknologi SVOD dalam

belajar dan pembelajaran dapat

dikategorikan sebagai kegiatan akademik

yang simpel dan realistis. SVOD tidak

membutuhkan perangkat perekam video

sekelas broadcast poket maupun

professional. SVOD haya membutuhkan

software dan hardware minimalis.

Gambaran umum SVOD yang diterapkan

dalam tulisan ini merupakan teknologi

presentasi mandiri yang hanya berbantuan

personal computer yang memiliki system

operasi tertentu. SVOD juga merupakan

produk akhir dari software yang memiliki

kemampuan dan spesifikasi perangkat

perekam layar monitor dikomputer.

Kemudahan yang diberikan oleh software

SVOD adalah Calon guru pendidikan luar

biasa tidak perlu menggunakan kamera

khusus dan perangkat editing video khusus

dalam mengembangkan portofolio. Calon

guru pendidikan luar biasa hanya perlu

menyiapkan sikap sosial berbagi dan

Page 159: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 162

mengkspresikan emosi seakan ingin orang

lain melihat portofolio yang dikembangkan

calon guru pada layar pada personal

komputer masing-masing. Calon guru

pendidikan luar biasa hannya perlu

mengaktifkan webcam, mikrofon internal

pada computer. Kemudahan SVOD

adalah kemampuan untuk menambahkan

file teks untuk captioning dan berbagi video

audiens lainnya. Video dapat disimpan

dalam format MP4, AVI, FLV atau dan

kemudian upload ke web space.

METODE

a. Analisis

Mahasiswa pada Jurusan

Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri

Malang telah memiliki pengetahuan dasar-

dasar menggunakan komputer.

Kemampuan secara teknis berupa

penggunaan software aplikasi dan hardware

komputer cukup bervariatif. Mahasiswa

umumnya telah mampu memanfaatkan

komputer sebagai media tertentu yang

dapat digunakan dalam pembelajaran

secara off-line maupun on-line. Mahasiswa

memiliki literasi yang baik terhadap

pembuatan video diri untuk aplikasi media

sosial. Literasi terhadap perkembangan di

bidang Teknologi Informasi cukup

memadai dan kemampuan

mengkomunikasikan cukup baik, namun

literasi terhadap sumber-sumber belajar

seperti jurnal, penelitian, paper dll masih

sangat minim. Indikatornya adalah

kepemilikan komputer dan penggunaan

laboratorium internet dijurusan

menunjukkan peningkatan penggunaan

yang sangat pesat untuk mengakses media

sosial. Namun file-file yang ada dalam

komputer mahasiswa maupun komputer

laboratorium kurang menunjang

pendidikan mereka.

Mahasiswa merupakan pebelajar

perlu mengkonstruksi kemampuan mereka

sendiri secara aktif. Akses on-line dengan

kecepatan yang terbatas membuat calon

mahasiswa pendidikan luar biasa kesulitan

memperoleh informasi berbentuk video.

Sehingga memerlukan video yang

dikembangkan secara mandiri dengan yang

memanfaatkan pengetahuan dan

keterampilan tambahan dari web-web di

Internet non-video dalam rangka

menunjang kelancaran dalam penyelesaian

tugas-tugasnya. Secara umum terdapat

kecenderungan membuka media sosial

yang berlebihan, memiliki perilaku

ketergantungan terhadap bahan ajar dosen,

serta perilaku tidak nyaman dan cenderung

ketakutan yang berlebihan terhadap

kegiatan evaluasi jika dilakukan dengan

pengawasan dosen. Ketergantungan dan

Ketakutan mahasiswa secara kualitatif

masih sulit untuk diungkapkan latar

belakangnya.

Page 160: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 163

Adapun Pola ketergantungan dari

calon-pebelajar tersebut cukup

menghawatirkan. Hal ini terlihat dalam

perilaku mahasiswa sebagai berikut 1)

Ketergantungan terhadap kehadiran sosok

dosen. 2)Ketergantungan terhadap Bahan

Ajar dosen. 3) Ketergantungan terhadap

cara berfikir dan berekspresi dosen. 4)

Ketergantungan terhadap batas akhir

penjadwalan.

Konteks pengembangan adalah

membangun sistem yang dapat membantu

pelaksanaan pembelajaran bagi pebelajar di

lingkungan Universitas Negeri Malang.

Kegiatan belajar dan pembelajaran bagi

pebelajar di Universitas Negeri Malang

telah menerima karakteristik lingkungan

belajar off-line (pertemuan kelas,

konsultasi personal, diskusi tentang

permasalahan khusus dll) dan dengan

karakteristik lingkungan belajar on-line

(forum pembelajaran umum, forum

kelompok, diskusi umum, diskusi

kelompok, ruang dokumen material

pembelajaran, presentasi tayang tunda, dll).

Sehingga perlu dikembangkan sebuah

model sistem cyberwellnes terhadap

pengelolaan akses internet bagi pebelajar

b. Prosedur Perkuliahan dengan

SVOD sebagai portofolio

Pengembangan prosedur

pertemuan awal dari sistem atau untuk

materi yang baru. Pada perkuliahan awal

biasanya dosen belum mengetahui

penguasaan mahasiswa atas substansi mata

kuliah. Model ini efisien dari segi waktu

pelaksanaannya, tetapi waktu interaksi

antara mahasiswa dengan mahasiswa atau

dengan dosen menjadi sedikit. Model

terdiri atas lima langkah, yaitu penyajian

materi oleh dosen, diskusi kelompok,

pemberian tes/kuis, pelaksanaan silang

tanya untuk meningkatkan kemampuan,

dan pemantapan oleh dosen.

Gambar SVOD pada perkuliahan tahap

awal oleh dosen

Pengembangan prosedur

perkuliahan inti menjadikan setiap

mahasiswa terlibat secara aktif. Masing-

masing beraktualisasi melalui interaksi,

keterlibatan, dan pemeranan diatur secara

bersama antara dosen dan mahasiswa.

Pengembangan prosedur

perkuliahan tahap akhir menekankan

tanggung jawab pembelajaran pada

mahasiswa yang diwujudkan dalam bentuk

portofolio dengan memanfaatkan teknologi

SVOD. Model ini lebih menonjolkan

kemampuan individual atau kemampuan

Page 161: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 164

bekerja dalam kelompok. Kekuatan

pengembangan terletak pada interaksi yang

tinggi, baik antara dosen dengan mahasiswa

maupun mahasiswa dengan mahasiswa.

Untuk mampu melakukan hal seperti itu,

mahasiswa dipastikan harus mempelajari

bagian-bagian sebelumnya melalui hal-hal

yang telah dilakukan dan terekam. Hasil

akhir portofolio mahasiswa tidak akan

maksimal jika mahasiswa tidak memiliki

kesiapan sikap sosial yang positif dan

pengeaturan emosional yang baik.

Gambar SVOD pada perkuliahan tahap

akhir oleh mahasiswa

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil portofolio elektronik melalui

teknologi SVOD sebagai media

pembelajaran sosial dan emosional bagi

calon guru sekolah luar biasa yang

diimplementasikan pada matakuliah

Aplikasi Komputer di S1 Jurusan

Pendidikan Luar biasa Universitas Negeri

Malang mendapatkan respon yang positif,

sehingga layak untuk digunakan dalam

penelitian ke depan.

Calon guru dapat menggunakan

SVOD untuk merekam presentasi produk

matakuliah yang dikembangkan,

memberikan demonstrasi cara

mengembangkan produk, mampu dijadikan

wujud orientasi kehadiran dalam kelas,

dapat digunakan sebagai wahana bercerita

secara digital, dan bias dijadikan sarana

umpan balik pada tugas portofolio, dapat

menciptakan tugas yang mengharuskan

dengan penjelasan yang rinci. Beberapa

calon guru telah mengeksploitasi software

dan menyatakan bahwa dukungan teknis

bahwa SVOD memberikan cara yang

sangat efisien untuk menunjukkan

eksistensi penggembang dan sara berbagi

antar calon guru sekolah luar biasa,

sehingga secara kolaborasi mereka

menemukan bagaimana untuk

memecahkan masalah dan tugas matakuliah

aplikasi komputer.

SVOD dalam matakuliah aplikasi

computer sangat berguna untuk

memaparkan learning object, penyajian

kuliah dalam bentuk peta konsep serta

memberikan peluang umpan balik terhadap

pebelajar. SVOD berupa video yang

dikemas sedemikian rupa hingga semua

player mampu membuka dan dapat dibuat

dan dilihat kapan saja dan dimana saja oleh

baik oleh PC, tablet maupun Handphone

pengguna. Fleksibiltas yang diwarkan juga

sangat baik yaitu dapat disimpan di

Page 162: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 165

Perangkat Keras secara offline maupun

online. Sehingga ada dan tidaknya jaringan

internet tetap memungkinkan

mahasiswa/calon guru sekolah luar biasa

tetap belajar atau yang memiliki koneksi

internet dan browser. Pebelajar dapat

melihat sajian pada waktu yang dipilih

sendiri atau nyaman bagi mereka, sehingga

media ini dapat juga digunakan dengan baik

dalam pembelajaran online dan

hybrid. Video dapat dilihat dan diulang

untuk referensi oleh calon guru, sehingga

hasil produk perkuliahan calon guru sangat

fleksibel. Secara umum, SVOD

menciptakan lingkungan yang lebih

menarik bagi calon guru sekolah luar biasa

baik secara online maupun off-line,

memberikan kuliah atau demonstrasi lebih

pribadi melalui copy file,

Salah satu keluhan yang mincul

pada SVOD adalah software tidak interaktif

yang memberikan fasilitas menyisipkan

kuis dan fitur interaktif

lainnya. Interaktivitas mungkin bisa

menjadi langkah berikutnya untuk alat

perekaman layar gratis. Konten

pembelajaran aplikasi computer pada

Jurusan Pendidikan Luar biasa dalam

SOVD memiliki potensi untuk menjadi

lebih kaya, lebih menarik, dan lebih mudah

diakses oleh semua pengguna dari kuliah

tatap muka atau dokumen teks sederhana

atau gambar.Karena kemudahan

penggunaan, SOVD tidak banya

membutuhkan ketrampilan khusus.

Simpulan

Konteks pembelajaran sosial dan

emosional pada portofolio dengan

teknologi SVOD adalah melihat,

membenahi dan berbagi sikap sosial dan

emosional calon guru di lingkungan

pendidikan luar biasa. Calon guru dapat

menggunakan SVOD untuk merekam

ceramah, memberikan demonstrasi, sebuah

orientasi kehadiran baik untuk kelas online

maupun offline, bercerita secara digital, dan

memberikan umpan balik pada tugas

pebelajar. Teknologi SVOD sangat

menarik untuk tujuan pembelajaran karena

sangat mudah digunakan dan menyediakan

cara yang paling mudah untuk

mengaktualisasikan diri dalam wujud

presentasi maupun tutorial melalui video

dan audio capture. SVOD juga memberikan

dukungan teknis Screencasting bagi calon

guru di lingkungan pendidikan luar biasa

dalam konteks pembelajaran yang

memberikan cara efisien untuk

menunjukkan kepada pengguna dan

pebelajar lain bagaimana cara untuk

memecahkan suatu masalah.

SVOD sangat berguna untuk

menunjukkan dan menjelaskan objek

belajar, penyajian kuliah atau pelajaran

singkat, atau memberikan umpan balik

Page 163: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 166

karya calon guru. SVOD berupa video

tayang tunda yang fleksibel sehingga dapat

dibuat dan dilihat kapan saja dan dimana

saja oleh PC pengguna baik secara offline

maupun yang memiliki koneksi internet dan

browser. Pebelajar (calon guru) dan

pengempu matakuliah (dosen) dapat

melihat sajian pada waktu yang nyaman

bagi mereka, sehingga mereka bekerja

dengan baik dalam pembelajaran. Video

dapat dilihat dan diulang untuk referensi

oleh Pebelajar, sehingga mereka bekerja

dengan baik untuk menyajikan pelajaran

atau demonstrasi instruktif untuk pebelajar

lain. Secara umum, SVOD menciptakan

lingkungan yang lebih menarik bagi

Pebelajar yang bekerja secara online

maupun off-line, meningkatkan sikap sosial

berbagi pengalaman dan pengendalian

emosi melalui penyaluran dan ekspresi

bebas dalam mendemonstrasi kemampuan

pribadi melalui presentasi face-to-face

secara tayang tunda.

DAFTAR PUSTAKA

Brock, L. L., Nishida, T. K., Chiong, C.,

Grimm, K. J., & Rimm-Kaufamn,

S. E. (2008). Children's

perceptions of the classroom

environment and social and

academic performance: A

longitudinal analysis of the

contribution of the Responsive

Classroom approach. Journal of

School Psychology, Vol46,

Hal.129-149.

Cluver, L., Bowes, L, & Gardner, F.

(2010). Risk and protective factors

for bullying victimization among

AIDS-affected and vulnerable

children in South Africa. Child

Abuse & Neglect, 34, 793-803.

Durlak, J. A. & Weissberg, R. P. (2007).

The impact of after school

programs that promote personal

and social skills. Retrieved March

18th,

2008, http://www.casel.org/pub/ar

ticles.php

Graczyk. P. A., Weissberg, R. P., Payton, J.

W., Elias, M. J., Greenberg, M. T.,

& Zins, J. E. (2000). Criteria for

evaluating the quality of school-

based social and emotional

learning programs. In R. Bar-On &

J. D. Parker (Eds.), The handbook

of emotional intelligence: The

theory and practice of

development, evaluation,

education, and application--at

home, school, and in the

workplace (Hal. 391-410).

SanFrancisco: Jossey-Bass.

Greenberg, M. T. (2004). Current and

future challenges in school-based

prevention: The researcher

perspective. Prevention Science,

Vol 5, Hal 5-13.

Greenberg, M. T., Domitrovich, C., &

Bumbarger, B. (2001). The

prevention of mental disorders in

school aged children: Current state

of the field. Prevention &

Treatment, 4, Article 1a. Retrieved

February 13th, 2008,

from http://www.apa.org/psycarti

cles/

Hymel, S., Schonert-Reichl, K. A., &

Miller, L. D. (2006). Reading,

‘riting, and relationships:

Considering the social side of

education. Exceptionality

Education Canada, Vol16, Hal

149-192.

Page 164: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 167

Katz. j. porath. m. 2013. teaching to

diversity: creating compassionate

learning communities for diverse

elementary school students.

international journal of special

education

Karangwa, E., Miles, S., & Lewis, I.

(2010). Community-level

responses to disability and

education in Rwanda.

International Journal of Disability,

Development and Education, Vol

57, Hal. 267 — 278

Kawabata, Y., Crick, N. R., & Hamaguchi,

Y. (2010). The role of culture in

relational aggression:

Associations with social-

psychological adjustment

problems in Japanese and US

school-aged children.

International Journal of

Behavioral Development, Vol

34, Hal. 354-362.

Lombardi, T. P. and Hunka, N.

NJ.(2001).Preparing general

education teachers for inclusive

classrooms:Assessing the

process.Teacher Education and

Special Education, Vol 24, Hal.

183-197.

McCombs, B. L (2004). The learner-

centered psychological principles:

A framework for balancing

academic achievement and social-

emotional learning outcomes. In J.

E. Zins, R. P. Weissberg, M. C.

Wang, & H. J. Walberg

(Eds.), Building academic success

on social and emotional

learning (Hal. 23-39). New York:

Teachers College Press.

Modrcin-McCarthy, M.A., & Dalton, M.

M. (1996). Responding to healthy

people 2000: Depression in our

youth, common yet

misunderstood. Issues in

Comprehensive Pediatric Nursing,

Vol 19, Hal 275-290.

Mowat, J. G. (2010). Inclusion of pupils

perceived as experiencing social

and emotional behavioural

difficulties (SEBD): affordances

and constraints. International

Journal of Inclusive Education,

Vol 14, Hal. 631— 648.

Renzaglia, A., Hutchins, M., and Lee, S.

(1997) The impact of teacher

education on the beliefs, attitudes,

and dispositions

of preservice special

educators. Teacher Education and

Special Education, 20, 360, 377.

Schirmer, B. R., & Casbon, J.

(1995). Inclusion of children with

disabilities in elementary school

classrooms. Reading Teacher, Vol

49, Halaman 66 - 69.

Schonert-Reichel, K. A., Smith, V. &

Zaidman-Zait, A. (2006). Can an

infant be a catalyst for

change?Effectiveness of the

“Roots of Empathy” program in

fostering the social-emotional

development of primary grade

children. Manuscript submitted for

publication.

Winzer. M.A. (2002). portfolio use in

undergraduate special education.

international journal of special

education, vol 17, Vol.1.

Zins, J.E., & Elias, M.E. (2006). Social and

emotional learning. In G.G. Bear

& K.M. Minke (dkk.), Children's

Needs III, (hal 1-13). National

Association of School

Psychologists.

Page 165: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 168

KAJIAN EVALUASI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI INDONESIA

Munawir Yusuf, Erma Kumalasari, Mahardika Supratiwi, Arsy Anggrellanggi

Special Education Department, Faculty of Teacher Training and Education

Universitas Sebelas Maret, Solo Indonesia

[email protected]

Abstract: Pendidikan inklusif merupakan strategi efektif dalam menkampanyekan

pendidikan yang universal. Melalui pendidikan inklusif akses pendidikan bagi anak-anak

disabilitas semakin terbuka sehingga hak pendidikan bagi mereka semakin terpenuhi. Di

Indonesia pendidikan inklusif telah dikembangkan sejak tahun 2003. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengkaji implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan fokus pada

evaluasi kebijakan pendidikan inklusif. Responden penelitian adalah perangkat pelaksana

pendidikan inklusif di 16 Kabupaten/Kota seluruh Indonesia yang terdiri dari unsur Dinas

Pendidikan yang menangani pendidikan inklusif, unsur Kelompok Kerja (Pokja) pendidikan

inklusif, Pengawas, Kepala Sekolah Inklusi, Kepala SLB, GPK, dan Guru SD. Pengumpulan

data dilakukan menggunakan instrumen (kuesioner), interviu, data dokumentasi, observasi

lapangan, dan seminar dengan mengundang ahli/pakar/praktisi/ pengambil kebijakan dalam

bidang pendidikan inklusif.

Hasil penelitian disimpulkan bahwa: (1) Pelaksanaan pendidikan inklusif di tingkat

Pokja Kabupaten/Kota telah terlaksana dengan baik, dengan rerata capaian pelaksanaan

pada kategori baik (75,18%); (2) Pelaksanaan pendidikan inklusif di satuan pendidikan tingkat

dasar dan menengah terlaksana dengan cukup baik, dengan rerata capaian pelaksanaan pada

kategori Sedang (60,8%); (3) Implementasi kebijakan dan regulasi pendidikan inklusif di

daerah masih tergolong kurang karena masih memiliki beberapa hambatan, (4) Rekomendasi

dalam meningkatkan implementasi pendidikan inklusif di Indonesia adalah dengan

dilaksanakan pelatihan bagi pelaku pendidikan inklusi, pemberian bantuan sarana dan

prasarana bagi siswa ABK, dilakukan perbaikan sistem regulasi atau penempatan tenaga kerja

pendidik, adanya kerjasama oleh pihak inklusif dengan instansi terkait, dan penambahan

jumlah GPK. Keywords: learning braille introduction, blind students.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Isu tentang pendidikan inklusif telah

menjadi tema penting dalam peraturan

pendidikan di Indonesia. Tidak saja karena

isu tersebut merupakan bagian dari

‘international issues’ yang selalu

digelorakan oleh negara-negara maju agar

negara-negara berkembang ikut

meratifikasi berbagai konvensi dunia dalam

rangka mewujudkan hak pendidikan untuk

semua anak, akan tetapi juga semakin

disadari bahwa membangun pendidikan

yang luas dan bermutu, tidak mungkin

dilakukan secara diskriminatif hanya

mengutamakan mereka yang ‘normal’

Page 166: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 169

dan/atau yang memiliki potensi di atas rata-

rata atau luar biasa.

Di negara-negara yang telah lama

menerapkan program pendidikan inklusif,

terutama di negara-negara maju,

pendidikan inklusif dimaknai secara lebih

luas dalam konteks kultur sekolah yang

menekankan pada bagaimana sekolah,

kelas, dan struktur kurikulum didesain

untuk semua anak dapat mengikuti

pembelajaran dan berkembang secara

optimal (Kugelmass, 2004). Dalam konteks

yang lebih luas, pendidikan inklusif dapat

dimaknai sebagai satu bentuk reformasi

pendidikan yang menekankan sikap anti

diskriminasi, perjuangan kesempatan hak,

keadilan dan perluasan akses pendidikan

bagi semua, peningkatan mutu pendidikan,

upaya strategis dalam penuntasan wajib

belajar 9 tahun, serta upaya mengubah

sikap masyarakat terhadap anak

berkebutuhan khusus (Sunaryo, 2009).

Dukungan terhadap Pendidikan

Inklusif di Indonesia, ditunjukkan dengan

adanya regulasi Permendiknas No. 70

Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif

Bagi anak yang memiliki kelainan dan

memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat

istimewa. Selain itu agar pendidikan

inklusif diimplementasikan dalam setiap

jenjang pendidikan, regulasi yang

mendukung pendidikan inklusif adalah

Surat Edaran Direktorat Jenderal

Dikdasmen Depdiknas Nomor.

380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003:

”Setiap kabupaten/kota diwajibkan

menyelenggarakan dan mengembangkan

pendidikan inklusif di sekurang-kurangnya

4 (empat) sekolah yang terdiri dari ; SD,

SMP, SMA, SMK”.

Penelitian tentang pendidikan

inklusif di Indonesia juga telah banyak

dilakukan. Penelitian-penelitian terkait

dengan pendidikan inklusif dilakukan salah

satunya dengan tujuan untuk mengetahui

peta pelaksanaan pendidikan inklusif di

Indonesia guna menghasilkan sebuah

sistem penyelenggaraan pendidikan

inklusif berbasis riset yang didukung oleh

regulasi, norma, standar, prosedur, dan

kriteria (NSPK), guru yang kompeten dan

profesional, aksesibilitas lingkungan dan

fisik, serta tumbuhnya budaya inklusif

dalam pembelajaran di setiap sekolah. Hal

ini juga menjadi salah satu cara untuk

melakukan evaluasi terhadap penerapan

kebijakan pendidikan inklusif di Indonesia.

Berdasarkan Permendikbud Nomor 8

tahun 2015 tentang tugas dan fungsi,

disebutkan pada pasal 452 bahwa

Direktorat Pembinaan PK-LK bertugas

melaksanakan penyiapan perumusan dan

pelaksanaan kebijakan di bidang

pembinaan pendidikan khusus dan layanan

khusus serta satuan pendidikan Indonesia di

luar negeri. Salah satu dari sepuluh program

Page 167: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 170

prioritas yang dicanangkan oleh Direktorat

Pembinaan PK-LK adalah program

pendidikan inklusif. Program ini telah

dilaksanakan secara konsisten lebih dari 3

tahun dan tetap dilanjutkan untuk jangka

waktu minimal sampai dengan 2019 sejalan

dengan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Dalam rangka peningkatan capaian

kinerja terhadap program tersebut, maka

perlu dilakukan evaluasi sehingga proses

perbaikan dapat terus dilakukan. Saai ini

sebanyak 23 propinsi dan 70

Kabupaten/Kota telah menyelenggarakan

gerakan pembudayaan pendidikan inklusif.

Oleh karena itu, evaluasi kebijakan

pendidikan inklusif perlu dilakukan untuk

memperoleh data hasil evaluasi dari

implementasi kebijakan pendidikan

inklusif di Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, dalam

tujuannya mengkaji sejauh mana penerapan

kebijakan pendidikan inklusif, maka

dilakukan evaluasi terhadap implementasi

kebijakan pendidikan inklusi di seluruh

Indonesia.

METODE

Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif dan kuantitatif

dengan empat hal yang dikaji yaitu: (1)

implementasi pendidikan inklusif di tingkat

Pokja Kabupaten/Kota, (2) implementasi

pendidikan inklusif di satuan pendidikan

tingkat dasar dan menengah, (3)

permasalahan dalam implementasi

pendidikan inklusif di daerah, dan (4)

rekomendasi untuk pengembangan

pendidikan inklusif di Indonesia.

Responden penelitian adalah

perangkat pelaksana pendidikan inklusif di

16 Kabupaten/Kota seluruh Indonesia

(Sumatera, Jawa, Kalimantan, NTB,

Maluku) yang terdiri dari unsur Dinas

Pendidikan yang menangani pendidikan

inklusif, unsur Pokja pendidikan inklusif,

Pengawas, Kepala Sekolah, Kepala SLB,

GPK, dan Guru SD. Pengumpulan data

dilakukan menggunakan instrumen

(kuesioner) dan interviu untuk

mendapatkan evaluasi dengan menganalisis

kekuatan (strength), kelemahan

(weaknesses), peluang (opportunities), dan

ancaman (threats) mengenai pelaksanaan

program pendidikan inklusif di Indonesia

yang terwakili dari sampel penelitian. Data

dokumentasi dan observasi lapangan juga

digunakan untuk mendukung proses

pengumpulan data. Selain itu, juga

dilakukan seminar dengan mengundang

ahli/pakar/praktisi/pengambil kebijakan

dalam bidang pendidikan inklusif untuk

mempertajam analisis dan mendapat

masukan mengenai evaluasi kebijakan

program pendidikan inklusif.

Page 168: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 171

HASIL DAN PEMBAHASAN

Implementasi pendidikan inklusif di

tingkat Pokja Kabupaten/Kota

Tabel 1. Rekapitulasi capaian program-

program implementasi pendidikan inklusif

di tingkat Pokja Kabupaten/Kota

Program

Rata-

rata

(%)

Program peningkatan kapasitas

SDM penyelenggara

pendidikan inklusif

73,2

Program kebijakan dan regulasi

terkait penyelenggaraan

pendidikan inklusif

70

Proram membangun kemitraan

melaui penguatan networking

dalam rangka menciptakan dan

kepedulian terhadap pendidikan

inklusif

75,4

program piloting penyelenggara

pendidikan inklusif

76,4

Program pusat data, informasi,

dan publikasi

69,8

Program penataan dan

penguatan sistem dukungan

pendidikan inklusif

71,9

Program dokumentasi dan

pelaporan

79,2

Program manajemen pokja

inklusi dan grand design

pengembangan pendidikan

inklusi

70,4

Program monitoring dan

evaluasi penyelengaraan

pendidikan inklusif

64,9

Program pencanangan program

sebagai

Provinsi/Kabupaten/Kota

inklusif

90,3

Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui

bahwa program implementasi pendidikan

inklusif di tingkat Pokja Kabupaten/Kota

yang memiliki capaian tertinggi adalah

program pencanangan program sebagai

Provinsi/Kabupaten/Kota Inklusif (90,3%).

Sedangkan program yang memiliki capaian

terendah adalah program monitoring dan

evaluasi penyelenggaraan pendidikan

inklusif (64,9%).

Di Indonesia pendidikan inklusif

telah dikembangkan luas di seluruh

provinsi sejak tahun 2003 setelah adanya

payung hukum dalam UU No. 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Ditegaskan bahwa pendidikan khusus bagi

peserta didik yang mengalam kelainan

fisik, mental, emosi dan sosial, serta mereka

yang memiliki potensi kecerdasan dan

bakat istimewa, dapat diselenggarakan

secara inklusif di sekolah umum dan/atau

berupa satuan pendidikan khusus. Kini

jumlah sekolah inklusi SD, SMP,

SMA/SMK telah mencapai lebih dari 3000

sekolah (Direktorat Pembinaan PKPLK,

dalam Yusuf, 2016).

Namun, kebijakan tersebut belum

dapat sepenuhnya terlaksana dengan baik

karena minimnya pelaksanaan monitoring

dan evaluasi implementasi pendidikan

inklusif di masing-masing daerah dengan

hasil 64,9%. Hal ini menyebabkan

implementasi yang seharusnya sudah dapat

terlaksana dengan baik dengan adanya

rekomendasi dari hasil evaluasi menjadi

hanya sekadarnya berdasarkan persepsi

tentang pendidikan inklusif dari masing-

Page 169: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 172

masing sekolah pelaksana pendidikan

inklusif.

Implementasi pendidikan inklusif di

satuan pendidikan tingkat dasar dan

menengah

Tabel 2. Rekapitulasi Total Capaian

Sekolah Inklusi

Kriteria %

Sangat Kurang 0 0

Kurang 5 6

Sedang 33 40

Baik 43 53

Sangat Baik 1 1

Total 82 100%

Rata-rata

Capaian

60.8%

(Sedang)

Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa

dari 82 sekolah inklusif, rata-rata memiliki

total capaian yang berada pada kategori

Sedang (60,8%).

Tabel 3. Rekapitulasi

Implementasi Pendidikan Inklusif

Aspek %

Kelembagaan 62

Kurikulum 71,7

Pembelajaran 53,1

Penilaian dan Kenaikan Kelas 60,9

Keiswaan 54,6

Sumber Daya Manusia 45,8

Sarana dan Prasarana 22,1

Peran Serta Masyarakat 50,8

Pembiayaan 45,4

Berdasarkan tabel 3, aspek

kurikulum merupakan aspek implementasi

pendidikan inklusif yang memiliki

rekapitulasi paling tinggi (71,1%).

Sedangkan aspek sarana dan prasarana

merupakan aspek yang memiliki

implementasi paling rendah (22,1%).

Terlaksananya pendidikan inklusif

dengan baik salah satunya dengan

terpenuhinya sarana dan prasarana yang

dibutuhkan baik oleh pendidik maupun

peserta didik, khususnya siswa ABK.

Berdasarkan hasil tersebut, capaian

sekolah inklusi berada di tingkat sedang

(60,8%) yang berarti implementasi

pendidikan inklusif di sekolah belum

terlaksana dengan baik.

Meskipun kurikulum sekolah

inklusi yang dimiliki cukup baik (71,1%),

namun sarana dan prasarana yang

dibutuhkan oleh siswa ABK belum

mencukupi dalam tercapainya pendidikan

yang aksesibel. Salah satu kriteria sekolah

dalam melaksanakan pendidikan inklusif

adalah aksesibilitas yang memadahi bagi

siswa ABK, sedangkan hasil menunjukkan

sangat rendahnya sarana dan prasarana

(22,1%) sekolah inklusi. Maka hal ini juga

akan berdampak pada rendahnya

implementasi pendidikan inklusif.

Permasalahan dalam implementasi

pendidikan inklusif di daerah

Tabel 4. Hasil Focused Group

Discussion Kelompok 3

tentang Hambatan-Hambatan

yang Dihadapi oleh Sekolah

Inklusif

Page 170: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 173

No. Permasalahan Frekuensi Persentase

1 Jumlah Guru Pendidikan

Khusus terbatas

11 10%

2 Aksesibilitas bagi ABK masih kurang

11 10%

3 Prasarana yang tidak

memadai

10 9%

4 Kurangnya pendanaan untuk siswa ABK

8 7%

5 Paradigma buruk masyarakat,

guru, dan orang tua tentang

keberadaan ABK di sekolah reguler

7 6%

6 Guru tidak memiliki latar

belakang GPK

5 5%

7 Sulit mendapatkan tenaga kerja yang berlatar belakang

GPK

5 5%

8 Ketersediaan ruang khusus bagi ABK masih kurang

5 5%

9 Belum ada kurikulum khusus

inklusi

5 5%

10 Orang tua malu dengan kondisi anak yang mengalami

keterbelakangan

4 4%

11 Kurangnya informasi

orangtua dan masyarakat tentang sekolah inklusi

4 4%

12 Kompetensi guru dalam

menangani ABK masih kurang

4 4%

13 Guru GPK kesulitan

mengurus sertifikasi

4 4%

14 Pemahaman orangtua dan masyarakat tentang ABK

masih rendah

3 3%

15 Tidak ada ujian akhir khusus bagi ABK

3 3%

16 Ijazah ABK yang berbeda

dari siswa lain

3 3%

17 Sekolah tidak mau menerima siswa ABK

3 3%

18 Kurangnya kesadaran orang

tua ABK untuk

menyekolahkan anak

2 2%

19 Jarak rumah dan sekolah

terlalu jauh

2 2%

20 Sekolah reguler belum

memahami tentang pendidikan inklusi

2 2%

21 Diskriminasi pada siswa

ABK oleh siswa, guru, dan

sekolah

2 2%

22 Sekolah belum berani

menyatakan anak didik yang mengalami lamban belajar

dan kesukaran belajar kalau

anak itu ABK karena tidak ada dokter psikolog.

2 2%

23 Tidak ada bimbingan teknis

bagi guru yang menangani

ABK

1 1%

24 Dukungan dari warga sekolah

belum maksimal

1 1%

25 Orangtua tidak mampu

menyekolahkan ABK

1 1%

26 Sekolah belum memasukan

inklusi di rkas

1 1%

27 Keikutsertaan guru dalam

kegiatan yang berkaitan

1 1%

pendidikan inklusif masih

kurang

28 Guru GPK merasa tidak dihargai

1 1%

Jumlah 111 100%

Berdasarkan tabel 4, dapat diketahui

bahwa hambatan yang paling banyak

dihadapi oleh sekolah inklusif menurut

pernyataan para stakeholder dari 16

Kabupaten/Kota adalah aksesibilitas

sekolah bagi anak berkebutuhan khusus

(10%), jumlah guru pendidikan khusus

yang terbatas (10%), prasarana yang tidak

memadai (9%), kurangnya pendanaan

untuk siswa ABK (7%), dan paradigma

buruk masyarakat, guru, dan orang tua

tentang keberadaan ABK di sekolah

reguler (6%).

Aksesibilitas kembali menjadi

hambatan yang cukup besar bagi sekolah

yang melaksanakan pendidikan inklusif.

Aksesibilitas merupakan sarana dan

prasarana yang utama dalam pelaksanaan

pendidikan inklusif, salah satunya adalah

dengan penyediaan guru yang kompeten.

Sesuai Permendiknas RI Nomor 70 tahun

2009 tentang Pendidikan Inklusif

ditegaskan bahwa setiap sekolah inklusi

sekurang-kurangnya disediakan seorang

guru pembimbing khusus (special

education teacher). Pemerintah

Kabupaten/Kota bertanggung jawab dalam

penyediaan GPK di sekolah inklusi.

Selain itu, pemerintah daerah perlu

melaksanakan sosialisasi tentang

Page 171: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 174

pendidikan inklusif, tidak hanya bagi

sekolah pelaksana, namun lebih luas lagi

bagi masyarakat dan orangtua siswa non-

ABK, sehingga stigma negatif tentang

ABK dapat semakin berkurang dan

implementasi pendidikan inklusif akan

semakin mendapat dukungan dari

masyarakat.

Rekomendasi untuk Pengembangan

Pendidikan Inklusif di Indonesia

Tabel 5. Hasil Focused Group

Discussion Kelompok 6 tentang

Rekomendasi untuk Pengembangan

Inklusif di Indonesia No Kategori Frekuensi Persentase

1. Bantuan sarana dan

prasarana bagi siswa

ABK

8 10%

2. Beasiswa bagi siswa

ABK

2 2,4%

3. Pelatihan bagi pelaku

pendidikan inklusi

13 16%

4. Regulasi atau aturan

penempatan tenaga

pendidik

6 7%

5. Sosialisasi tentang

ABK kepada

masyarakat

3 4%

6. Sosialisasi tentang

pendidikan inklusi

kepada masyarakat

3 4%

7. Melakukan

kerjasama antara

pendidikan inklusif

dengan pihak terkait

6 7%

8. Bantuan dana dari

pemerintah

5 6%

9. Pemberian

kesejahteraan GPK

2 2,4%

10. Pengadaan GPK 6 7%

11. Mendatangkan guru

kunjung pendidikan

1 1%

12. Penambahan shadow

teacher

2 2,4%

13. Orang tua percaya

diri memiliki anak

berkebutuhan khusus

1 1%

14. Siswa ABK dapat

diterima

keberadaannya

2 2,4%

15. Siswa ABK

memperoleh

pelayanan

pendidikan sesuai

kebutuhan

1 1%

16. Peningkatan

kapasitas sekolah

2 2,4%

17. Asesemen pada ABK

dilakukan oleh

Psikolog PLB

1 1%

18. Pedoman umum

penyelenggaraan

pendidikan inklusi

3 4%

19. Evaluasi program

pendidikan inklusi

2 2,4%

20. Pusat sumber inklusi 3 4%

21. Pembentukan forum

komunikasi orang tua

ABK

1 1%

22. Pendataan ABK 2 2,4%

23. Penyelenggaraan

ujian akhir sekolah

khusus siswa ABK

1 1%

24. Penyelenggaraan

anggaran kegiatan

pendidikan inklusi

3 4%

25. Sertifikasi bagi GPK 3 4%

Jumlah 78 100%

Berdasarkan tabel 5, dapat diketahui

bahwa masukan atau rekomendasi yang

banyak diberikan oleh para stakeholder

adalah dilaksanakan pelatihan bagi pelaku

pendidikan inklusi (16%), pemberian

bantuan sarana dan prasarana bagi siswa

ABK (10%), dilakukan perbaikan sistem

regulasi atau penempatan tenaga kerja

pendidik (7%), Adanya kerjasama yang

dilakukan oleh pihak inklusif dengan

instansi terkait (7%), dan pengadaan GPK

(7%).

Sesuai dengan Permenpan dan RB

nomor 16 tahun 2009 tentang jabatan

fungsional guru dan angka kreditnya, di

Indonesia hanya dikenal ada 3 jenis guru

yaitu guru kelas, guru mapel dan guru

Page 172: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 175

bimbingan konseling. Istilah guru

pembimbing khusus (GPK) tidak masuk

dalam numenklatur guru yang diakui di

Kemenpan dan RB, tetapi hanya diakui

sebagai tugas tambahan. Dengan demikian

homebase GPK secara formal harus ada

dalam salah satu jenis guru yang diakui

yaitu guru kelas, atau guru mapel atau guru

BK. Hal ini penting karena jumlah GPK

yang ada saat ini belum mencukupi

meskipun mereka secara resmi diangkat

oleh pejabat pemerintah, baik Kepala

Sekolah, Dinas atau Bupati/Walikota

setempat. Dengan tugas tambahan tersebut,

maka guru yang bukan berlatar belakang

PLB harus mendapat pelatihan ke-PLB-an

agar pelaksanaan pendidikan inklusif di

sekolah dapat berjalan dengan baik

Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan, dapat

disimpulkan bahwa: (1) Pelaksanaan

pendidikan inklusif di tingkat Pokja

Kabupaten/ Kota telah terlaksana dengan

baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai

rata-rata capaian pelaksanaan yang

termasuk dalam kategori baik yaitu

75,18%. (2) Pelaksanaan pendidikan

inklusif di satuan pendidikan tingkat dasar

dan menengah cukup terlaksana dengan

baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai

rata-rata capaian pelaksanaan yang berada

pada kategori Sedang (60,8%), (3)

Implementasi kebijakan dan regulasi

pendidikan inklusif di daerah masih

tergolong kurang. Hal tersebut ditunjukkan

dengan implementasi kebijakan dan

regulasi pendidikan inklusi di daerah yang

masih memiliki beberapa hambatan, (4)

Rekomendasi yang dapat diberikan untuk

meningkatkan pelaksanaan program

inklusif di Indonesia adalah dilaksanakan

pelatihan bagi pelaku pendidikan inklusif,

pemberian bantuan sarana dan prasarana

bagi siswa ABK, dilakukan perbaikan

sistem regulasi atau penempatan tenaga

kerja pendidik, adanya kerjasama yang

dilakukan oleh pihak inklusif dengan

instansi terkait, dan penambahan SDM

GPK di masing-masing daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Pembinaan PK-LK. Rencana

Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Kugelmass, Judi W. (2004), The Inclusive

School : Sustaining Equity and

Standards, Teacher College Press,

Teacher College, Columbia

University New York and London.

Permendikbud Nomor 8 tahun 2015 tentang

tugas dan fungsi.

Permendiknas No. 70 th 2009 tentang

Pendidikan Inklusif Bagi anak yang

memiliki kelainan dan memiliki

potensi kecerdasan dan/atau bakat

istimewa.

Permenpan dan RB Republik Indonesia

Nomor 16 Tahun 2009 tentang

Page 173: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id

pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia

yang lebih ramah disabilitas 176

Jabatan Fungsional Guru dan Angka

Kreditnya.

Sunardi; Yusuf, Munawir; Gunarhadi;

Priono (2010), The Implementation

of Inclusive Education in Indonesia,

Research Report International

Collaborative Research Grant

Funded by World Class University

Project DIPA Sebelas Maret

University.

Sunaryo, (2009), Manajemen Pendidikan

Inklusif (Konsep, Kebijakan, dan

Implementasinya dalam Perspektif

Pendidikan Luar Biasa), Jurusan

PLB FIP UPI Bandung.

Surat Edaran Direktorat jenderal

Dikdasmen Depdiknas Nomor.

380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003

tentang pelaksanaan dan

pengembangan sekolah inklusi di

daerah.

Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan

Nasional.

Yusuf, Munawir (2011), The Development

of School Management Model-

Based on Inclusive Education in

Elementary School, Paper on Final

Seminar of the Participants of

Sandwich, PAR and Bermutu

Program, Ohio State University,

Desember, 1, 2011.

Yusuf, Munawir (2016), Memperkokoh

Eksistensi Guru Pembimbing

Khusus di Sekolah Inklusi, Makalah

disampaikan dalam Seminar

Nasional , FIP UNESA, Surabaya

tanggal 30 Januari 2016.

Yusuf, Munawir dan Indianto, R. (2009),

Kajian Tentang Implementasi

Pendidikan Inklusif Sebagai

Alternatif Penuntasan Wajib

Belajar Pendidikan Dasar Bagi

Anak Berkebutuhan Khusus Di

Kabupaten Boyolali, Laporan

Penelitian, Lembaga Penelitian dan

Pengabdian Masyarakat Universitas

Sebelas Maret.

Yusuf, Munawir, (2014), Pengembangan

Model Manajemen Pendidikan

Inklusif, Disertasi, UNNES

Semarang, 2014.

Yusuf, Munawir, Choiri, Salim; Sugini;

Rejeki, Dewi Sri (2015),

Pengembangan Model Bahan

Pembelajaran Utama (BPU)

Pendidikan Inklusif dan

Perlindungan Anak, Lapaoran

Penelitian, LPPM UNS.

Yusuf, Munawir; Sunardi, Priyono, (2014),

Pengembangan Model

Pemberdayaan Kepala Sekolah,

Guru Kelas, Guru Pembimbing

Khusus dan Komite Sekolah dalam

rangka Pendidikan Inklusif yang

Ramah terhadap Semua Anak,

Laporan Penelitian, LPPM UNS.

Page 174: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3635/1/PROSIDING APPKHI 2017 (HOTEL UNY).pdfeprints.ulm.ac.id