Post on 07-Jan-2023
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki lautan yang sangat luas, kurang lebih dua per tiga dari
seluruh wilayah negara, ciri perairan laut Indonesia yang dilihat dari segi
oseanografi, keadaan topografi dasar perairan, dan banyaknya jenis ikan, udang
dan biota laut lainnya yang membawa dampak dalam cara pengusahaannya
terutama dalam penggunaan alat penangkap yang beragam. Kehadiran alat
penangkap untuk tiap daerah perikanan tidak terjadi secara bersamaan, tetapi
memakan waktu yang lama, bahkan ratusan tahun dan secara bertahap sesuai
dengan kebutuhan. Beberapa alat penangkap sederhana yang telah lama
diusahakan secara tradisional antara lain tombak, sero, pancing jala, sodo, seser
dll., dalam perkembangan lebih lanjut kumudian muncul alat penangkap yang
lebih produktif dan efisien (Subani dan Barus, 1989).
Masyarakat pembangunan diharuskan berperan aktif, sehingga diperlukan
sikap mental dari masyarakat pemakai jasa produk perikanan karena menyangkut
harkat orang banyak tercantum dalam pasal 33 UUD 1945. Keseluruhan
keberhasilan pembangunan ditentukan oleh dua faktor yaitu petani nelayan
sebagai pelaksana pembangunan perikanan dan pihak pemerintah sebagai
pengatur jalannya pembangunan, kedua faktor tersebut seharusnya saling terkait,
saling pengertian dan saling mengisi terhadap elemen terkait didalam pembinaan
nelayan (Nur Bambang, 2001).
Sejalan dengan Otonomi daerah dan pedoman pada Undang-undang No. 32
tahun 2004 tentang pemerintah daerah mengamanatkan bahwa pemerintah
2
kabupaten atau kota diberi wewenang mengelola perairan lautnya. Kewenagan
tersebut meliputi eksploraasi, pemanfaatan konservasi, pengaturan kepentingan
administrasi, tata ruang, penegakan hukum, pelaksanaan limpahan wewenang oleh
pusat serta bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Kewenangan
tersebut kawasan laut dengan ekosistem dan sumberdaya ikan perlu dilestarikan
dan dimanfaatkan optimal sehingga diperlukan suatu perencanaan pemanfaatan
Sumberdaya laut (Aidy, 2003).
Kondisi perikanan tangkap Kota Semarang masih didominasi perikanan
tradisional. Operasi perikanan tangkap Kota Semarang secara dominan bersifat
one day fishing, dengan daerah penangkapan masih di sekitar perairan pesisir
Kota Semarang. Untuk pengembangan usaha penangkapan di Kota Semarang,
diperlukan data dan informasi untuk bahan pertimbangan, baik untuk investor
maupun pemerintah, termasuk kelayakan usaha berbagai usaha perikanan tangkap
di Kota Semarang.
Menurut Nur Bambang (2001), klasifikasi petani nelayan berdasarkan
kemampuan pola pikir berdasarkan naluri atau tradisional, pada umumnya nelayan
tersebut cenderung menerima nasib apa adanya sehingga kemajuan teknologi sulit
untuk diikuti apalagi menerapkan dan hasilnya yang akan diperoleh sangat
tergantung pada kemampuan alam dan bahkan sering terjadi kegagalan total,
selain itu mereka sangat apatis terhadap perubahan yang terjadi disekelilingnya.
Sikap inilah yang mengakibatkan tidak maju dan berkembangnya usaha perikanan
yang dilaksanakan.
Kemampuan regenerasi rekruitmen sumber daya ikan terganggu oleh tingkat
pemanfaatan yang tidak terkendali dan berlebih sering kali disebabkan oleh
3
penggunaan alat tangkap termasuk dalam kategori merusak ekosistem dasar,
terjadi karena lemahnya pengaturan dan faktor sosial ekonomi yang terjadi di
dalam masyarakat (LP2LKA, 2000).
Menurut Nur Bambang (2001), ciri umum nelayan tradisional dinegara kita
yaitu Pendidikan cenderung relatif rendah dan menengah, hal ini dimungkinkan
keterbatasan fasilitas. Pola hidup sederhana sehingga apa yang didapat wajib
diterima dan tidak ada upaya untuk meningkatkan yang lebih baik. Sosial
ekonomi menengah kebawah cenderung rendah dan keterbatasan kedudukan, serta
fungsi dimasyarakat kurang bisa berkembang dan terbelenggu dengan mitos
berkaitan dengan rendahnya tingkat sosial ekonomi, Lahan pertanian sempit
karena perubahan peraturan yang diterapkan pemerintah dalam memanfaatkan
alih guna lahan pertanian. Pola usaha perikanan rendah menyebabkan pola
usahanya kurang berkembang sehingga usahanya tidak seperti yang diharapkan.
Informasi teknologi kurang merata dikalangan nelayan sehingga teknologi anjuran
tidak dilaksanakan sesuai aturan serta tidak adanya umpan balik dalam mengatasi
permasalahan dilapangan. Pola manajemen rendah merupakan manajemen turun
temurun dari orang tua, tidak berorientasi penciptaan nilai tambah dalam
mengatur kegiatan usaha tani. Kesadaran hukum rendah banyak nelayan
melanggar hukum dalam upaya pengaturan sumber daya alam menyebabkan
sumberdaya perikanan akan mengaami kerusakan bahkan menjadi punah.
Menurut Subani dan Barus (1989), berdasarkan bentuk dan cara
pengoperasiannya Sodo (push net) termasuk dalam alat tangkap tradisional yaitu
Jaring angkat (lift net) adalah suatu alat penangkapan yang cara pengoperasiannya
dilakukan dengna menurunkan dan mengangkat secara vertikal, dalam
4
pengoperasiannya dapat dilakukan menggunakan atau tanpa alat bantu lampu.
Dilihat dari perikanan industri jaring angkat diperuntukan bagi perikanan skala
kecil, menurut data statistik perikanan 1986 jumlah jaring angkat (bagan, serok,
jaring rajungan, Sodo, Anco, Bondong) sekitar 39.715 unit (jumlah seluruh alat
tangkap secara nasional sekitar 452.845) dengan produksi 251.340 ton (produksi
perikanan laut seara nasional 1.922.781 ton) atau sekitar 13.07 %.
Berdasarkan bentuk dan cara pengoperasiannya ada beberapa macam Jaring
angkat (lift net) yaitu Bagan yang pertama kali di tahun 1950 diperkenalkan oleh
orang Makasar dan Bugis di daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara. Serok (scoop/
dip net) merupakan alat bantu penangkapan untuk membantu mengambil
(menyerok) hasil tangkapan yang diperoleh dari penggunaan alat tangkap tertentu
seperti bagan, sero dll., Bandong atau Banrong (lift net) yaitu alat tangkap
berbentuk empat persegi panjang atau berbentuk bujur sangkar terbuat dari waring
atau benang katun (banrong) dan Jaring Dorong (push net) yaitu jaring kantong
yang berbentuk kerucut dengan mulut berbingkai dan pengoperasiannya didorong
menelurusi dasar perairan (Subani dan Barus, 1989).
Jaring Dorong (push net) dalam klasifikasi alat tangkap dapat dikategorikan
sebagai jaring angkat (lift net). Jaring Dorong adalah jaring kantong berbentuk
kerucut dengan mulut berbingkai segitiga sama kaki, pengoperasiannya dilakukan
dengan mendorong menelusuri dasar perairan dangkal atau melayang-layang di
bawah permukaan air (skimming push net) dengan menggunakan perahu atau
sampan (Subani dan Barus, 1989).
5
1.2. Tujuan
Tujuan pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan antara lain adalah untuk:
1. Melakukan identifikasi sekaligus mengetahui struktur dan cara pengoperasian
alat tangkap sodo (push net);
2. Mengetahui desain dan kontruksi alat tangkap sodo (push net);
3. Mengetahui jumlah dan komposisi hasil tangkapan serta daerah penangkapan
Ikan pada alat tangkap sodo (push net)
1.3. Permasalahan
Perairan Tambak Lorok cukup potensial untuk perairan demersal, salah satu
alat tangkap tradisional yang digunakan adalah Sodo. Nelayan umumya belum
mengetahui fishing ground dari ikan demersal yang menjadi sasaran penangkapan,
dan tidak mempunyai pedoman atau acuan wilayah perairan yang banyak terdapat
ikannya. Operasi penangkapan berdasarkan pengalaman dan bila disuatu tempat
tetangkap banyak ikan maka akan dilakukan penangkapan berulang-ulang disekitar
daerah tersebut.
Alat Tangkap Sodo merupakan alat tangkap bawaan dari daerah perairan di
luar perairan Tambak Lorok, sehingga alat tangkap ini menjadi alat tangkap
pendatang yang mulai digunakan oleh nelayan sekitar Tambak Lorok, dengan
bentuk yang cukup sederhana dan konstruksinya menggunakan bambu dan jaring
yang memilki kantong (bag net), hal ini menjadi alasan untuk dijadikan Praktek
Kerja Lapangan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian penangkapan perikanan
dengan alat tangkap Sodo dilihat secara aspek teknis, sosial dan ekonomi dengan
6
studi kasus di perairan Tambak Lorok Semarang, sehingga dalam penerapannya
dapat mengoptimalkan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal.
Sumberdaya ikan demersal merupaka salah satu sumberdaya perikanan yang
memiliki nilai ekonomis penting di perairan Tambak Lorok. Penangkapan
sumberdaya ikan demersal di Tambak Lorok diantaranya banyak menggunakan alat
tangkap modifikasi dari alat tangkap yang tidak diketahui keramahannya maka
dikawatirkan akan mempengaruhi rekruitmen ikan-ikan demersal di perairan
tersebut. Alat tangkap Sodo merupakan jenis alat tangkap baru bagi nelayan di
Tambak Lorok, sehingga belum banyak diketahui tingkat ke efektifan alat tangkap
sodo.
1.4. Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari Praktek Kerja Lapangan ini yaitu
mengetahui desain dan konstruksi alat tangkap sodo (push net) yang digunakan di
perairan Tambak Lorok, Semarang.
1.5. Waktu dan Tempat
Pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan dilaksanakan pada tanggal 12-14 Maret
2013 di lokasi perairan Semarang, Tambak Lorok, Kecamatan Semarang Utara.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Alat Tangkap Sodo
Menurut FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations),
Metode dalam menangkap sumber daya ikan dengan atau tanpa alat (gears)
memilki prinsip dasar dari alat tangkap, yaitu penyaring (filtering), memikat
kemudian mempermainkan mangsanya dan berburu, merupakan dasar dan metode
dari sebagian besar alat tangkap yang digunakan hingga sekarang, perubahan dan
efisiensi dari alat tangkap berubah secara signifikan. Alat tangkap adalah
peralatan untuk menangkap sumber daya ikan, sedangkan metode penangkapan
adalah bagaimana menggunakan peralatan yang digunakan. Alat mesin pemanen
juga termasuk alat tangkap, bila tidak ada alat (tools) yang tersedia. Alat tangkap
yang sama dapat digunakan dalam cara berbeda, mengklasifikasikan alat
penangkapan ikan dan prinsip metode dasar ikan yang ditangkap pada tingkat
minimum, di bagian konstruksi alat tangkapnya.
Menurut Sainsbury (1996), pemilihan metode alat tangkap tergantung
pada;
1. Spesies ikan yang akan ditangkap (fish target);
2. Nilai ikan tangkapan bagi nelayan (individual fish value);
3. Kedalaman perairan (depth);
4. Karakteristik dasar perairan (berakaitan dengan fishing gear yang kontak
langsung dengan dasar perairan); dan
5. Selektifitas yang berkaitan dengann ukuran minimum dari ikan target
tangkapan tidak menangkap hasil sampingan (by-catch).
8
Menurut Brandt (1984), menyebutkan perkembangan dari alat tangkap
tradisional seperti sero (scoop basket) dari bahan anyaman bambu menjadi bahan
jaring (net) dan memiliki jaring kantong (bag net) dari bahan jaring yang disebut
scoope nets, dioperasikan dengan tangan (hand-operated deviced) terdapat
bingkai (frame), jaring kantong (bag net) bersifat tetap (stationary) tempat operasi
di danau atau pinggir pantai dengan syarat adanya arus untuk merentangkan mulut
jaring kantong (bag net).
Jaring angkat (lift net) adalah alat tangkap dengan atau tanpa bingkai
(frame) dengan jaring yang dioperaikan dengan cara penggunaan seperti sekop
yang didorong (scooping manner) yang dipasang menetap (stationary) di perahu
atau sampan, digunakan di permukaan dan menggunakan lampu sebagai alat
penarik (attraction) untuk menarik ikan (Sainsbury, 1996).
Pukat Dorong adalah alat penangkap ikan berupa pukat berkantong yang
dioperasikan di lapisan periaran permukaan atau perairan dasar dengan atau tanpa
didorong kapal, dimana satu unitnya bisa terdiri dari satu jaring atau lebih yang
terdiri dari bagian sayap, badan dan kantong. Untuk membuka bagian mulut
kearah horizontal dibentang menggunakan tongkat (batang kayu, bambu) yang
dipasang menyudut kearah laut dan disorong kearah depan dengan atau tanpa
kapal (BBPPI, 2007).
2.2 Klasifikasi alat tangkap sodo
Klasifikasi alat tangkap ikan disusun untuk menggolongkan dan
mengelompokan setiap jenis alat tangkap berdasarkan spesifikasi teknis dan cara
pengoperasiannya, tercantum singkatan kode dengan penamaan yang digunakan
9
untuk setiap jenis alat. Klasifikasi ini dikeluarkan berdasarkan hasil inventarisasi
dan identifikasi alat penangkap ikan di Indonesia oleh Balai Besar Pengembangan
Penangkapan Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan
dan Perikanan (Kementrian Kelautan dan Perikanan) dengan mengadopsi
Klasifikasi yang dikeluarkan oleh FAO (Definition and Classification of Fishing
Gear Categories, 1989) dan ditambahkan dengan penggolongan yang ada di
Indonesia (BBPPI, 2007).
Alat tangkap sodo termasuk Jaring dorong (push nets) yang dalam
klasifikasi alat tangkap dapat dikategorikan sebagi Jaring angkat (lift nets). Jaring
dorong adalah jaring kantong berbentuk kerut dengan mulut berbingkai segitiga
sama kaki, pengoperasiannya dilakukan dengan mendorong menelusuri dasar
perairan dangkal atau melayang-layangkan di bawah permukaan air (skimming
push net) dengan menggunakan perahu atau sampan (Subani dan Barus, 1989).
Menurut Subani dan Barus (1989), Jaring dorong (push net) dilihat dari cara
pengoperasiannya dibedakan antara lain sodo biasa (commonly push net) dan sodo
sampan (skimming push net). Sodo biasa (commonly push net) yaitu bentuk
umum dari alat tangkap sodo hampir terdapat di seluruh daerah perikanan laut
Indonesia. Lokasi penangkapan dilakukan ditepi-tepi pantai, tambak-tambak pada
kedalaman setinggi perut, maksimum setinggi dada. Bahan Jaring sodo ini terbuat
dari benang halus, waring karuna. Bingkai jaring terbuat dari kayu, bambu dengan
ukuran panjang 3 meter, macam dan jenis alat tangkap sodo banyak, meskipun
perbedaan satu dengan yang lainnya sangat kecil. Sodo biasa (commonly push net)
terdapat nama lain yaitu sonder, tangkar (Madura), sodu (Sulawesi Selatan), julu
(Bau-Bau, Muna, Kendari, Samarinda), sesodok, sodok, sungkur (Kalimantan
10
Tengah, Kaliantan Selatan), syair (Kota Baru, Muara Pasir), tanggo, tanggo loor
(Ambon); Sodo Perahu/ Sampan (skimping push net) adalah jaring dorong yang
cara pengoperasiannya dilakukan dengan menggunakan perahu baik didayung
maupun menggunakan motor. Cara penangkapan tidak lagi menelusuri dasar,
tetapi dilayang-layangkan (skimming motion) menelusuri perairaan di bawah
permukaan di tempat-tempat yang agak dalam.
Klasifkasi menurut International Standard Statistical Classification of
fishing Gear (ISSCFG-FAO), pukat dorong belum tercantum, penggolongannya
dimasukan kedalam kelompok alat penangkapann ikan lainnya (miscellaneous
gear), seperti pada tabel berikut;
Tabel 1. Klasifikasi Pukat Dorong
Penggolongan Singkatan Kode ISSCFG
Miscellaneous Gear MIS 20.0.0
sumber: BBPPI, 2008
Sedangkan menurut Klasifikasi Alat Penangkapan Indonesia (KAPI), kelompok
pukat dorong terdiri dari;
Tabel 2. Klasifikasi Alat Penangkapan Ikan (KAPI) Pukat Dorong
Penggolongan Singkatan Kode KAPI
Pukat dorong PD 04.0.0
Pukat Dorong Tanpa Kapal PDTK 04.1.0
Pukat Dorong Berkapal PDK 04.2.0
- Pukat Dorong Berkapal Satu Jaring PDK-1J 04.2.1
- Pukat Dorong Berkapal Dua Jaring PDK-2J 04.2.2
PUkat Dorong Lainnya PDL 04.9.0
sumber: BBPPI, 2008
Praktek Kerja Lapangan akan menggunakan alat tangkap sodo perahu atau
pukat dorong berkapal satu jaring (push net), dengan diopersikan oleh dua orang
11
nelayan dengan mesin sebagai pendorong pada perahu yang digunakan untuk
menelusuri areal sekitar Perairan Tambak Lorok Semarang.
2.3. Konstruksi Alat Tangkap Sodo
Menurut Subani dan Barus (1989), bentuk dan konstruksi Jaring dorong
(push net) terdiri dari tangkai yang digunakan sebagai bingkai atau frame dari
bambu yang disilangkan, dibawahnya tangkai terdapat sepatu atau kaki, terdapat
jaring kantong, dan pelampung.
Menurut BBPPI (2007), desain dan konstruksi pukat dorong terdiri dari;
1. Tongkat/ bambu/ batang kayu;
2. Sepatu togkat;
3. Sayap;
4. Badan;
5. Kantong;
6. Tali pembantu pengangkat kayu pembuka mulut;
7. Tali pembantu pengangkat kantong;
8. Tali penguat bagian mulut;
9. Tali penguat usus-usus;
10. Tali samping/ tali tegak;
11. Tali pendant;
12. Tali mulut atas (head rope);
13. Tali mulut bawah (ground rope);
14. Pelampung
15. Pemberat
16. Kili-kili (swivel)
Spesifikasi pukat dorong memberikan informasi teknis berupa komponen
dan material yang terdapat dari setiap jenis alat penangkap ikan yang ada pada
kelompok pukat dorong. Komponen utama pukat dorong terdiri dari;
12
(1) Tongkat/bambu yaitu sepasang tongkat yang menghubungkan jaring dengan
orang atau kapal membentuk sudut segitiga yang berfungsi sebagai pembentang
dan penyangga ujung sayap jaring agar bagian mulut jaring bisa membuka
maksimal kearah horizontal. (2) “Sepatu” Tongkat (merupakan komponen khusu
pada alat tangkap Sodo atau push net) yaitu sepatu yang dipasang pada ujung
tongkat atau bambu batang kayu berfungsi agar ujung tongkat atau bambu yang
bersentuhan dengan dasar perairan tidak menancap didasar perairan saat didorong
maju kedepan, bentuknya seperti papan ski dari papan pipih dan tipis atau terbuat
dari plat besi pipih yang biasanya dipasang pada ujung tongkat yang melengkung.
(3) Sayap yaitu bagian paling terdepan yang berfungsi untuk menghadang
ikan agar masuk ke bagian mulut atau badan dan akhirnya masuk ke bagian
kantong, ukuran mesh size paling lebar bila dibandingkan dengan ukuran mata
(mesh size) di bagian badan. (4) Badan yaitu bagian dibawah sayap yang berfungsi
mengarahkan agar ikan yang telah melewati mulut bisa masuk menuju ke bagian
kantong, ukuran mesh size atau mata lebih kecil bila dibandingkan dengan ukuran
mata dibagian sayap.
(5) Kantong bagian paling ujung belakang yang berfungsi menampung ikan
hasil tangkapan, ukuran mesh size atau mata paling kecil bila dibandingkan bagian
sayap maupun badan. (6) Tali pembantu pengangkat kayu pembuka mulut yaitu
tali yang menghubungkan antara ujung-ujung batang kayu yang ada didalam air
dengan air dengan kapal, fungsinya untuk mengangkat ujung batang kayu
pembuka mulut agar naik ke atas permukaan air, terbuat dari bahan yang kuat
seperti kuralon/ marlon atau PE dengan ukuran diameter yang besar antara 18-24
mm.
13
(7) Tali pembantu pengangkat kantong yaitu tali yang menghubungkan
antara sabuk kantong dengan kapal, fungsinya untuk mengangkat bagian kantong
yang berisi ikan hasil tangkapan ke atas dek kapal, terbuat dari bahan yang cukup
kuat seperti marlon atau PE dengan ukuran diameter 10-14 mm. (8) Tali penguat
bagian mulut yaitu tali-tali penguat mulut jaring pada tongkat atau bambu
pembuka mulut, terbuat dari PE dengan ukuran diameter 5-8 mm. (9) Tali penguat
usus-usus yaitu tali tempat sambungan antara dua bagian jaring baik itu yang ada
dibagaian badan atau kantong, terbuat dari bahan PE dengan ukuran diameter 2-4
mm. (10) Tali samping atau tali tegak yaitu tali penguat usus-usus yang letaknya
paling depan dibagian paling ujung depan sayap, terbuat dari PE dengan ukuran 8-
12 mm.
(11) Tali pendant yaitu tali penghubung bagian sayap dengan batang kayu
pembuka mulut, terbuat dari bahan PE atau kuralon dengan ukuran diameter 10-
12 mm. (12) Tali mulut atas (Head rope) yaitu merupakan tali tempat
penggantung pelampung yang dipasang sepanjang sisi mulut baian atas terbuat
dari bahan PE dengan diameter 10-12 mm. (13) Tali mulut bawah (Ground rope)
yaitu tali tempat penggantung pemberat yang dipasang sepanjang sisi mulut
bagian bawah, terbuat dari bahan PE/ Kuralon atau marlon dengann ukuran
diameter 10-12 mm.
(14) Pelampung yaitu berfungsi memberi efek pada bagian mulut jaring agar
bisa tertarik keatas sehingga memberi efek bagian mulut bisa terbuka lebih tinggi.
terbuat dari bahan karet/ PVC/ plastik dengan bentuk oval atau silinder. (15)
Pemberat yaitu berfungsi memberi efek pada bagian mulut jaring agar bisa tertarik
ke bawah sehingga memberi efek bagian mulut bisa terbuka lebih tinggi, terbuat
14
dari bahan Pb dengan bentuk oval atau silinder. (16) Kili-kili (Swivel) yaitu
berfungsi agar tali-tali penghubung antara jaring dengan batang kayu pembuka
mulut tidak membelit, terbuat dari bahan logam besi atau kuningan.
Bahan-bahan dari alat tangkap diatas banyak menggunakan serat sintetis
seperti nylon, PA (polyamide) dan PES (polyester) yang memilki sifat tidak
terapung sedangkan bentuk umumnya kedua bahan kedua sintetis berupa serat
namun serabut dan monofilament jarang ditemukan pada PA dan PES. Jika
dilakukan burning test PA memilki sifat segera meleleh setelah dipanaskan
membentuk tetesan yang cair sedangkan PES memiliki sifat meleleh dan terbakar
perlahan dengan api berwarna kuning. Asap dari PA berwarna putih sedangkan
PES berwarna hitam berjelaga. Bau yang ditimbulkan bahan sintetis PA seperti
seledri yang berbau anyir dan PES memiliki bau minyak panas agak manis. Sisa
dari PA berupa tetesan beku berwarna kuning dan PES sisanya berupa butiran
beku kehitaman (Prado dan Dremiere, 2005).
Bahan sintetis lainnya yaitu PE (polyethylene) dan PP (polypropylene)
keduanya memiliki sifat terapung. PE memiliki bentuk umum yang ada berupa
monofilament dan jarang diketemukan dalam bentuk pita sedangkan bahan sintetis
PP bentuk umumnya berupa serat dan dalam bentuk pita, jarang diketemukan
dalam bentuk serabut dan monofilament. Pada burning test kedua bahan sintesis
ini akan meleleh dan terbakar perlahan dengan cahaya biru muda. Asap yang
ditimbulkan berwarna sama yaitu berwarna putih. Bau yang ditimbulkan PE
berupa bau lilin yang baru ditiup dan PP baunya seperti lilin panas atau mirip
seperti bau aspal terbakar. Sisa bahan ini berupa butiran beku namun PP lebih
berwana kecoklatan (Prado dan Dremiere, 2005).
15
2.4. Cara Pengoperasian Alat Tangkap Sodo
Cara penangkapan alat tangkap sodo menurut Subani dan Barus (1989),
Penangkapan dilakukan dengan menurunkan (membenamkan) jaring kedalam air
kemudian mendorongnya menelusuri perairan.
Metode pengoperasian pukat dorong dengan kapal dioperasikan dengan cara
yaitu mendorong pukat di depan kapal yang sedang berjalan pada kolom perairan
untuk menangkap ikan pelagis kecil pada perairan dengan teknik pengoperasian
terdiri dari; Penurunan jaring pada suatu kapal sudah mencapai suatu daerah
penangkapan dimana terdapat ikan sasaran. Jaring didorong dengan kecepatan
kapal tertentu, sehingga ikan sasaran tangkap akan tersaring masuk ke dalam
jaring dan terkumpul pada bagian kantong; Pengangkatan Jaaring dilakukan
setelah diperkirakan ikan hasil tangkapan, dengan cara menarik tali pembantu
pengangkat kantong, kemudian kantong dinaikan keatas kapal untuk mengambil
hasil tangkapan (BBPPI, 2008).
Menurut FAO cara pengoperasian jaring dorong (push net) yaitu memiliki
tiga bagian yang berbeda yaitu bagian atas, bagian bawah dan kantong (bag net).
Ikatan tali yang berada dibawah, bisa berupa rantai atau tali yang berat dan
tenggelam, sehingga menyentuh dasar laut selama operasi penangkapan ikan.
Ujung-ujung dari ikatan tali mulut bawah (groundrope) diikatkan pada bingkai
mulut jaring. Ikatan menggantung pada bingkai bambu atau tiang. Dua ikatan
diikat satu sama lain sehingga berbentuk V, berakhir di ski kayu atau dari bahan
besi, yang didorong menyusuri dasar laut. Pelampung juga dilekatkan dekat ski
atau mulut jaring untuk mencegah macet atau terjebak jaring di lumpur. Pada alat
tangkap yang berukuran besar, pelampung yang disesuaikan dengan tali dan mulut
16
jaring. Mendorong jaring ikan dari perahu menggunakan tiang panjang yang tidak
terikat, tetapi diikat langsung ke cadik atau tiang geladak perahu.
2.5. Daerah Penangkapan
Jaring dorong (push net) digunakan dengan cara mendorong di peraian
dangkal setinggi pinggang dan mendorongnya untuk menangkap udang, bingkai
(frame) alat tangkap dijaga agar tetap terbuka dengan mendorong jaring dipinggir,
didorong seperti alat penggaruk (scraper) dibagian bawah (Brandt, 1984).
Jaring dorong (push net) jaring kantong berbentuk kerucut dengan mulut
berbingkai segitiga sama kaki, pengoperasiannya dilakukan dengan mendorong
menelusuri dasar perairan dangkal atau melayang di bawah permukaan air dengan
perahu. Sodo hampir terdapat di seluruh daerah perikanan laut Indonesia. Lokasi
penangkapan dilakukan di tepi-tepi pantai, ataupun tambak (Subani dan Barus,
1989).
Menurut FAO, daerah penangkapan dari Jaring dorong (push nets)
dioperasikan dengan mendorong dengan kaki di pantai atau digerakan tenaga
perahu mesin baik di siang hari atau di malam hari. Ketika perahu tiba di fishing
ground, terikat pada tiang, dengan tali mulut bawah (groundrope) dan tali mulut
atas (headrope). Setting Alat Jaring dorong (push nets) dalam air dan mengapung
disesuaikan sampai bagian bawah alat tangkap menyentuh bagian bawah dasar
laut. Pada akhir operasi penangkapan, kantong (bag nets) tersebut diangkut keluar
dengan melepaskan tali yang melekat pada kantong, kemudian dikosongkan, dan
diturunkan kembali untuk setting Jaring dorong (push net) berikutnya.
17
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Peralatan yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan sebagai berikut;
Tabel 3. Alat yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan
No Nama Alat dan Bahan Ketelitian Kegunaan
1 Penggaris 1 mm Mengukur panjang dan lebar
2 Kamera Digital Dokumentasi
3 Pelampung Keselamatan
4 GPS Menentukan koordinat fishing ground,
posisi kapal, kecepatan kapal
5 Kuisioner Pencatatan dari wawancara
6 Alat Tulis Mencatat Hasil Praktikum
7 Stopwatch 0,1 sekon Menghitung Waktu
8 Jangka Sorong 0,01 mm Mengukur pemberat, diameter tali,
lebar mata jaring, pelampung
3.2. Metode
3.2.1. Metode praktek kerja lapangan
Metode yang digunkanan dalam Praktek Kerja Lapangan ini adalah
metode deskriptif. Metode deskriptif memberikan gambaran atas suatu objek
sejelas mungkin tanpa ada perlakuan tanpa ada perlakuan terhadap objek yang
diteliti. Metode deskriptif diarahkan untuk memecahkan masalah dengan cara
memaparkan atau menggambarkan apa adanya hasil penelitian (Komar, 2011).
18
Metode yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan ini metode survey
yang dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui kondisi perikanan dengan alat
tangkap sodo di Tambak Lorok, Semarang yang meliputi;
1. Cara pengoperasian alat tangkap sodo (push net) di Perairan Tambak Lorok
Semarang;
2. Konstruksi alat tangkap sodo (push net) di Perairan Tambak Lorok Semarang;
3. Daerah penangkapan alat tangkap sodo (push net) di Perairan; dan
4. Hasil tangkapan alat tangkap sodo (push net) di Perairan.
3.2.2. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan
ini adalah sebagai berikut:
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan
ini adalah:
1. Metode Observasi
Menurut Nasution S. (2003), observasi dilakukan untuk memperoleh
informasi tentang kelakuan manusia dalam kenyataan. Mengadakan observasi
menurut kenyataan, melukiskannya dengan kata-kata secara cermat dan tepat apa
yang diamati, mencatatnya dan kemudian mengolahnya dalam rangka masalah
yang diteliti secara ilmiah.
Metode observasi ini dilakukan wawancara langsung kepada nelayan guna
mengetahui;
a. Cara pengoperasian alat tangkap sodo (push net)
19
Pada Praktek Kerja Lapangan ini di lakukan pengamatan terhadap metode
penggunaan alat tangkap sodo (push net) yang ada di Perairan Tambak Lorok
Semarang. Parameter yang diamati meliputi
• Lama Setting penurunan alat tangkap sodo (push net)
• Lama Pendorongan alat tangkap
• Lama Pengangkatan (Hauling)
b. Konstruksi alat tangkap sodo (push net)
Pada Praktek Kerja Lapangan di lakukan pengamatan konstruksi alat
tangkap sodo (push net) yang ada di Perairan Tambak Lorok, Semarang.
Parameter yang diamati meliputi :
• Panjang jaring kantong sodo (push net)
• Bahan jaring kantong sodo (push net)
• Material rangka atau bingkai (frame) jaring kantong sodo (push net)
c. Daerah penangkapan alat tangkap sodo (push net)
Pada Praktek Kerja Lapangan di lakukan pengamatan pada daerah
penangkapan ikan (fishing ground) alat tangkap sodo (push net) yang ada di
Perairan Tambak Lorok Semarang. Parameter yang diamati adalah koordinat letak
dimana alat tangkap sodo di pasang.
d. Hasil tangkapan alat tangkap sodo (push net)
Pada Praktek Kerja Lapangan di lakukan pengamatan pada hasil tangkapan
per trip dari alat tangkap sodo (push net) yang ada di Tambak Lorok Semarang.
Parameter yang diamati adalah :
• Jenis hasil tangkapan yang didapat
• Jumlah hasil tangkapan per spesies
20
2. Metode wawancara
Penelitian menggunakan wawancara bebas terpimpin berarti menggunakan
pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu, tetapi daftar pertanyaan tidak
mengikat jalannya wawancara (Karomah, 2007).
Pada Praktek Kerja Lapangan ini akan di lakukan wawancara terhadap
nelayan pengguna alat tangkap sodo (push net) yang ada di Perairan Tambak
Lorok, Semarang. Parameter yang akan diamati adalah sebagai berikut :
• Konstruksi alat tangkap sodo (push net);
• Cara Pengoperasian alat tangkap sodo (push net);
• Jumlah hasil tangkapan ikan; dan
3. Metode studi pustaka
Studi pustaka adalah mencari sumber data sekunder yang akan mendukung
penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai kemana ilmu yang
berhubungan dengan penelitian telah berkembang, sampai kemana terdapat
kesimpulan dan generalisasi yang pernah dibuat, sehingga situasi yang
diperlukan diperoleh (Nazir, 2005).
4. Metode dokumentasi
Menurut Pusat Bahasa (2008), dokumentasi adalah pemberian atau
pengumpulam bukti dan keterangan, seperti gambar kutipan, guntingan koran, dan
bahan referensi lain.
3.2.3. Data-data yang diperlukan
a. data primer
Data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang diperoleh secara langsung dari unit sampel atau responden. Data
21
sekunder adalah data yang didapatkan dari publikasi dan dokumentasi yang
bersumber dari instansi.
Data primer diperoleh dengan cara observasi langsung ke lapangan dan
melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait. Data primer yang diambil dari
Praktek Kerja Lapangan ini antara lain:
a. Komposisi jenis ikan hasil tangkapan alat tangkap sodo (push net);
b. Jumlah hasil tangkapan ikan alat tangkap sodo (push net);
c. Konstruksi alat tangkap sodo (push net) dan kapal serta metode
pengoperasiannya; dan
d. Gambar yang diambil dalam Praktek Kerja Lapangan ini adalah:
• Alat tangkap sodo (push net);
• Kapal yang dipakai nelayan;
• Hasil tangkapan yang tertangkap dengan alat tangkap sodo (push net);
b. data sekunder
Data sekunder diperoleh dengan cara mencatat data-data yang diperoleh
dari Dinas Kelautan Perikanan Kota Semarang dan data dari TPI Tambak Lorok,
meliputi :
a. Kondisi umum perairan Tambak Lorok Semarang;
b. Produksi hasil tangkapan sodo (push net) di Perairan Tambak
Lorok Semarang; dan
c. Hasil tangkapan dengan alat tangkap sodo (push net) di Perairan Tambak
Lorok Semarang.
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi
4.1.1. Aspek geografi, topografi dan demografi
Kota Semarang dengan luas wilayah 373,70 km2. Secara administratif
Kota Semarang terbagi menjadi 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan. Dari 16
Kecamatan yang ada, terdapat dua Kecamatan yang mempunyai wilayah terluas
yaitu Kecamatan Mijen, dengan luas wilayah 57,55 km2 dan Kecamatan
Gunungpati, dengan luas wilayah 54,11 km2. Kedua Kecamatan tersebut terletak
di bagian selatan yang merupakan wilayah perbukitan yang sebagian besar
wilayahnya masih memiliki potensi pertanian dan perkebunan. Sedangkan
kecamatan yang mempunyai luas terkecil adalah Kecamatan Semarang Selatan,
dengan luas wilayah 5,93 km2 diikuti oleh Kecamatan Semarang Tengah, dengan
luas wilayah 6,14 km2 (RPJMD Kota Semarang, 2010-2015).
Sedangkan wilayah Kota Semarang yang berupa dataran rendah memiliki
jenis tanah berupa struktur pelapukan, endapan, dan lanau yang dalam. Jenis
Tanah di Kota Semarang meliputi kelompok mediteran coklat tua, latosol coklat
tua kemerahan, asosiai alluvial kelabu, Alluvial Hidromorf, Grumosol Kelabu
Tua, Latosol Coklat dan Komplek Regosol Kelabu Tua. Kurang lebih sebesar 25%
wilayah Kota Semarang memiliki jenis tanah mediteranian coklat tua. Sedangkan
kurang lebih 30% lainnya memiliki jenis tanah latosol coklat tua. Jenis tanah lain
memiliki geologi jenis tanah asosiasi kelabu dan aluvial coklat kelabu dengan luas
keseluruhan kurang lebih 22% dari seluruh luas Kota Semarang. Sisanya
merupakan jenis tanah alluvial hidromorf dan grumosol kelabu tua.
23
Tabel 4. Data Statistik Kota Semarang Periode Tahun 2005-2009.
No Tahun Jumlah penduduk Pertumbuhan
(%) Laki-laki perempuan jumlah
1 2005 705,627 713,851 1,419,478 1.45
2 2006 711,755 722,270 1,434,025 1.06
3 2007 722,026 732,568 1,454,594 1.43
4 2008 735,457 746,183 1,481,640 1.86
5 2009 748,515 758,409 1,506,924 1.71
Sumber: Kota Semarang Dalam Angka, 2009
gambar 1. grafik pertumbuhan jumlah penduduk Kota Semarang tahun 2005-2009
Peningkatan jumlah penduduk tersebut dipengaruhi oleh jumlah kelahiran,
kematian dan migrasi. Pada tahun 2005 jumlah kelahiran sebanyak 19.504 jiwa,
jumlah kematian sebanyak 8.172 jiwa, penduduk yang datang sebanyak 38.910
jiwa dan penduduk yang pergi sebanyak 29.107 jiwa. Besarnya penduduk yang
datang ke Kota Semarang disebabkan daya tarik kota Semarang sebagai kota
perdagangan, jasa, industri dan pendidikan.
4.1.2. Aspek perikanan tangkap di Tambak Lorok
Tambak lorok merupakan daerah pantai di kota Semarang yang terletak di
Sungai Banger, termasuk dalam Kelurahan Tanjung Mas. Masyarakat kebanyakan
24
mata pencaharian nelayan, memiliki ketergantungan terhadap natural resources
(sumber alam) yaitu laut sebagai tempat mencari ikan, sungai dan muara sebagai
tempat menambat perahu dan keluar masuknya perahu ke laut. Oleh karena
fenomena ini telah menyatu dengan kehidupan kebudayaan masyarakat serta
berlangsung turun menurun maka pemukiman ini lebih dikenal dengan
pemukiman nelayan.
Perairan Tambak Lorok Semarang termasuk daerah Pantai Utara Jawa yang
menjadi pilihan lokasi Praktek Kerja Lapangan Studi Alat Tangkap Sodo (push
net), hal ini dikarenakan alat tangkap ini jarang digunakan oleh nelayan setempat
dan menjadi minoritas ditempat tersebut dibandingkan dengan alat tangkap Arad
atau sejenisnya yang dominan digunakan hampir dalam segala musim, serta
sedikitnya studi dan informasi tentang keberadaan alat tangkap Sodo (push net).
Wilayah pengoperasian di pinggir Perairan Tambak Lorok pada waktu
malam hari selama tiga hari berada koordinat sekitar 06 56' 268" LS sampai 110
26' 013" BT. Alat tangkap yang digunakan adalah Sodo sejenis jaring kantong
(bag net) atau jaring dorong (push net) yang cara pegoperasiannya didorong oleh
kapal dengan bantuan mesin yang tertananm pada kapal dan mesin bantu untuk
membantu menarik dan menurunkan kantong. Wilayah fishing base pendaratan
kapal Tambak Mulyo.
Kedalaman fishing ground PPI Tambak Lorok memiliki dasar perairan
muara yang tidak sama antara 5 - 15 meter di atas permukaan air dan memiliki
kondisi geografis yang berbatasan dengan:
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah selatan : TPI Tambak Lorok, Semarang
25
Sebelah Timur : Perairan Demak
Sebelah Barat : Pelabuhan Tanjung Mas
Tabel 5. Data Pelabuhan di PPI Tambak Lorok, PPP Morodemak dan PPI Wedung No. TPI/PPI/
PPN/PPS
Jarak
TPI- Jln. Raya
Jumlah
Kapal
Jumlah
Kapal Mendarat
Produksi
(Kg)
Komoditas
Unggulan
1. PPI Tambak Lorok 1 Km 495 1.724 20.092 kakap
manyung
2. PPP Morodemak 0.5 Km 1073 23.772 1.124.65
3
teri,
kembung,
petek
3. PPI Wedung 0.5 Km 527 11.724 507.581 kerapu,
kakap,
manyung
Sumber: http: //diskanlutjateng.go.id/ 2012
Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, menyebutkan
terdapat beberapa PPI di kota Semarang dan sekitarnya, PPI Tambak Lorok
memiliki jumlah kapal yang mendarat sekitar 1.724 buah dengan jumlah kapal
495 buah, dengan tingkat produksi sebesar 20.092 kg, komoditas ekonomis
penting dan menjadi unggulan yaitu ikan kakap dan manyung.
Pantai Perairan Tambak Lorok Semarang seperti pada umumnya daerah
Pantai Utara Jawa merupakan pantai yang landai, dangkal, ombak relatif kecil dan
arus tidak begitu kuat. Dasar perairan terdiri dari lumpur dan banyak terdapat
sampah di dasar perairan, karena di sepanjang muara tambak terdapat
perkampungan masyarakat dan terdapat dermaga bagi pemberhentian kapal
dengan rata-rata 5 GT atau berupa sampan yang dimiliki oleh masyarakat nelayan
setempat.
Posisi fishing ground di plot dengan GPS (Global Positioning System) di
perairan Tambak Lorok, ketika melakukan setting alat tangkap nelayan hanya
menggunakan naluri atau prakiraan tempat dimana banyak ikannya, seperti
26
berdasarkan bunyi sekitar, keadaan permukaan air yang tidak tenang dan tentunya
berdasarkan pengalaman, berikut posisi lokasi setting dan haulling ketika
Praktikum Kerja Lapangan.
Tabel 6. Posisi setting dan hauling menggunakan GPS
Pengukuran Hari
I II III
Setting S: 06056’268”
E: 110026’013”
S: 06056’155”
E: 110026’155”
S: 06056’179”
E: 110024 780”
Haulling S: 06056’382”
E: 110024’ 433”
S: 06056’466”
E:110024’436”
S: 06056’058”
E: 110024’959”
Sumber : Praktek Kerja Lapangan 2013
Lokasi setting dan haulling berada disekitar perairan Tambak Lorok dengan
menggunakan GPS (Global Positioning System) dari Garmin. Lokasi Setting di
plotkan ketika kapal berhenti dan melakukan pemasangan alat tangkap sodo (push
net), kemudian dilakukan penyapuan dengan mendorong kapal bertenaga diesel
pada daerah pantai sekitar Tambak Lorok, Posisi haulling diplotkan ketika kapal
berhenti beroperasi dan dirasa hasil tangkapan mencukupi.
4.2. Kondisi Perikanan Tangkap di Tambak Lorok
Tambak Lorok memilki potensi perikanan demersal yang menjadi andalan
bagi penduduk sekitar, terutama nelayan tradisional (artisanal fisheries), di
Tambak Lorok banyak nelayan yang memiliki lebih dari satu alat tangkap dan
pada umumnya trip mereka one day fishing dan alat tangkap yang mereka
gunakan didominasi alat tangkap Arad dengan berbagai modifikasi (jaring apolo),
masyarakat nelayan Tambak Lorok terdiri dari nelayan asli bertempat tinggal di
27
daerah tersebut namun ada juga nelayan dari luar yang menggunakan alat tangkap
pasif kemudian diambil keesokan harinya (bubu atau perangkap).
Nelayan pendatang ini sering meletakan alat tangkapnya dengan jumlah
ratusan bahkan hingga ribuan bubu untuk sekali operasi, untuk ukuran nelayan
individu atau kelompok yang bekerja bersama dalam Usaha perikanan alat
tangkap bubu. Hal seperti ini jika dibiarkan akan menyebabkan konflik
kepentingan, disamping semakin menurunnya produktivitas perairan karena tidak
adanya usaha untuk melestarikan sumberdaya ikan. Jika nelayan pendatang ini
memasang alat tangkap dalam jumlah yang banyak secara terusmenerus,
masyarakat asli nelayan daerah tersebut juga akan mersakan dampak dari alat
tangkap tersebut meskipun tergolong alat tangkap ramah ligkungan karena bersifat
pasif dan menetap.
Nelayan setempat pergi melaut dipengaruhi oleh musim penangkapan, hal
ini dikarenakan banyak dari nelayan Tambak Lorok memiliki kapal berukuran ± 5
GT. Sehingga sulit untuk mencari fishing ground yang lebih jauh, yang akan
berpengaruh pada pola penangkapan dan juga mempengaruhi hasil tangkapan
serta pendapatan sebagai nelayan. Musim penangkapan ini memberikan pengaruh
besar dalam usaha perikanan tangkap, menentukan jumlah trip pada tiap musim
penangkapan.
Masyarakat nelayan Tambak Lorok sering menyebut alat tangkap Arad
digunakan untuk segala musim, sehingga alat inilah yang banyak ditemukan,
termasuk modifikasinya. Selain itu, persaingan ditingkat pada alat tangkap bagan,
cantrang yang diharuskan masuk ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Tambak Lorok
28
karena hasil tangkapannya yang lebih jika dibandingkan alat tangkap tradisional
seperti sodo (push net).
Menurut penjelasan salah satu staff TPI Tambak Lorok, menjelaskan
bahwa kondisi TPI Tambak Lorok dan rencana relokasi tempat pelelangan yang
baru, mengalami sejumlah kendala sehingga bangunan yang disiapkan pemerintah
dengan dana yang cukup besar tidak tersalurkan, masyarakat dan nelayan merasa
relokasi tempat tersebut terlalu jauh dan kondisi insfrastruktur seperti jalan
menuju lokasi tempat pelelangan mengalami kerusakan parah dan jauh dari
homebase pendaratan kapal para nelayan, selain itu tempat TPI yang baru
dibangun beberapa tahun yang lalu mengalami pendangkalan disekitarnya akibat
gelombang laut.
4.3. Deskripsi Kapal dan Alat Tangkap
Kapal yang digunakan untuk Praktek Kerja Lapangan di Tambak Lorok
Semarang menggunakan kapal “Joko Wakul” milik nelayan setempat bernama
Pak Selamet. Mesin yang dipakai pada kapal ini terdiri dari satu mesin utama
Dongfeng 15 PK dan satu mesin bantu Tianli.
Posisi kedua mesin ini menggunakan sistem in board (main engine) dan out
board. Untuk mesin out board (auxiliary engine) diletakkan di luar di sebelah
samping kanan kapal yang diletakkan di papan penyangga yang dikaitkan di atas
papan geladak kapal, mesin in board dikaitkan dengan gading kapal dan
tertananam di dalam kapal.
29
Tabel 7. Spesifikasi Kapal dan Mesin yang digunakan pada Praktik Kerja
Lapangan
No. Deskripsi Kapal Keterangan
1. Nama Pemilik Pak Selamet
2. Bahan Kayu
3. Tipe/Jenis Motor Tempel
4. Tahun Pembuatan 2007
5. Jumlah Geladak 1
6. Ukuran LxBxD (m) 7,50x 2,5 x 1,5
7. Tonase 5 GT
8. Merk Mesin Dongfeng dan Tian Li
9. Tenaga 16 PK
10. Bahan Bakar Solar
Sumber: Praktek Kerja Lapangan 2013
Perikiraan jumlah alat tangkap di Tambak Lorok tidak diketahui pasti,
namun pada umumnya nelayan setempat menggunakan alat tangkap arad dan gill
net. Jaring dorong atau sodo (push net) merupakan alat tangkap yang digunakan
oleh nelayan setempat namun, karena hasil tangkapan terbilang sedikit sehingga
tidak masuk dalam TPI Tambak Lorok. Sodo merupakan jaring berkantong yang
cara pengoperasiannya didorong dengan bantuan kapal bermesin diesel atau
dengan tenaga manuasia. Pengoperasian sodo (push net) bergantung pada musim
penangkapan dan dioperasikan di malam hari. Bagian-bagian dari Alat tangkap
Sodo (push net) antara lain terdiri dari:
1. Bambu digunakan untuk menghubungkan jaring dengan kapal membentuk
sudut segitiga yang berfungsi sebagai pembentang dan penyangga ujung sayap
jaring agar bagian mulut jaring bisa membuka maksimal kearah horizontal.
Komponen tambahan pada bambu yaitu sepatu tongkat yang dipasang pada
ujung bambu berfungsi agar ujung bambu yang bersentuhan dengan dasar
30
perairan tidak macet karena bambu menancap di dasar perairan saat alat
tangkap sodo menyapu ke lautan, bentuknya seperti papan ski terbuat dari
papan pipih atau tipis atau plat besi pipih yang biasanya dipasang pada ujung
tongkat yang melengkung.
2. Sayap yaitu bagian jaring paling terdepan yang berfungsi untuk menggiring
ikan masuk ke bagian mulut atau badan dan akhirnya masuk ke bagian
kantong dengan ukuran mesh size 3,25 inch. Badan yaitu bagian jaring setelah
sayap berfungsi mengarahkan ikan masuk ke bagian kantong, ukuran mesh
size lebih kecil jika dibandingkan bagian sayap yaitu 1,5 inch. Kantong yaitu
bagian jaring yang brfungsi menampung ikan hasil tangkapan, dengan ukuran
mesh size paling kecil yaitu 1,25 inch bila dibandingkan bagian sayap dan
badan).
3. Tali pengangkat alat tangkap Sodo yaitu tali yang saling menghubungkan
antara ujung bambu pada alat tangkap Sodo yang ada di dalam air dengan
kapal, fungsinya untuk mengangkat alat tangkap agar naik ke atas kapal, tali
ini terbuat dari bahan kuralon atau PE dengan diameter 18-24 mm). Selain itu
juga terdapat Tali pengangkat jaring kantong yaitu tali yang menghubungkan
antara bagian kantong dengan kapal, fungsinya untuk mengangkat bagian
kantong yang berisi ikan hasil tangkapan ke atas dek kapal, terbuat dari bahan
marlon atau PE dengan ukuran 10-14 mm.
4. Tali mulut atas (head rope) yaitu Tali tempat pelampung yang dipasang
sepanjang sisi mulut bagian atas, terbuat dari bahan PE dengan diameter 10-12
mm. Tali Mulut Bawah (ground rope) yaitu tali tempat pemberat yang
dipasang sepanjang sisi mulut bagian bawah, terbuat bahan dari PE atau
31
Kuralon atau Marlon dengan diameter 10-12 mm. Terdapat pelampung yang
berfungsi agar jaring pada posisi ke atas agar mulut jaring bisa terbuka lebih
tinggi, bahan terbuat dari karet atau PVC atauplastik dan pemberat pada mulut
jaring berfungsi agar bagian mulut jaring bisa tertarik kebawah sehingga
bagian mulut bisa terbuka lebih lebar, terbuat dari bahan Pb dengan bentuk
silinder atau oval.
5. Alat tangkap Sodo (push net) memiliki panjang jaring keseluruhan 15 meter
hingga menyentuh dasar perairan, panjang bambu 12 meter, dengan tiga
bagian dan ukuran mesh size yang berbeda yaitu pada sayap besarnya mata
atau mesh size 3,25 inch, jaring pada bagian badan 1,5 inch, dan jaring pada
bagian kantong 1,25 inch. Jenis material bahan yang digunakan sebagai pada
alat tangkap Sodo penduduk setempat menyebutnya “urean” dan lebar bukaan
mulut mulut horizontal 5 meter.
4.4. Gambar Desain dan Konstruksi Alat Tangkap Sodo
4.4.1. Gambar Konstruksi Alat Tangkap
1
2
3
4
5 gambar 2. konstruksi alat tangkap sodo
32
Keterangan :
1. tangkai atau bingkai
2. Mulut atas
3. kantong (bag)
4. Mulut bawah
5. sepatu (shoes of bamboo)
4.5. Metode Pengoperasian Alat Tangkap
Metode pengoperasian alat tangkap Sodo (push net) berkapal dengan
ukuran yang cukup besar, alat tangkap menempel pada sisi bagian tengah, terdapat
dua bambu yang nantinya dijadikan sebagai pembuka mulut jaring agar terbuka
secara horizontal dan tetap. Setting alat tangkap posisi kapal diam, dilakukan oleh
dua orang mengatur alat tangkap saat dipasang di depan kapal beserta jaring
kantong dengan posisi melawan arus dan yang satunya memposisikan bambu agar
tetap dan kuat. Ketika mendorong arus, sehingga alat tangkap tetap berada pada
posisinya.
Metode pengoperasian alat tangkap sodo (push net) terdiri dari:
1. Lama setting alat tangkap sodo (push net)
Waktu yang diperlukan untuk setting alat tangkap sodo 10 - 15 menit,
bersamaan mesin dimatikan, kemudian alat tangkap diturunkan. Nelayan pertama
bertugas untuk memastikan alat tangkap terpasang kuat khususnya pada bagian
bukaan mulut jaring, dan sepatu pada bambu ketika operasi penangkapan.
Sedangkan nelayan yang kedua bertugas memastikan pergerakan kapal dan hasil
tangkapan dengan menarik tali penhubung antara kantong dengan kapal.
Pentingnya sepatu (shoes of bamboo) adalah agar alat tangkap Sodo dapat
33
berfungsi sebagaimana mestinya, karena jika komponen ini lepas atau terlepas
ketika operasi maka akan mempengaruhi jalannya operasi penangkapan.
2. Lama Pendorongan alat tangkap sodo (push net)
Lama waktu yang dibutuhkan untuk pendorongan alat tangkap sodo
ketika alat tangkap dioperasikan tidak menentu, tentunya tergantung dari cuaca,
keadaan perairan, kondisi nelayan, suhu, arus, gelombang dll. Jika dirasa cukup
dengan hasil tangkapan melihat pada bagian kantong alat tangkap melalui seutas
tali yang terpasang dan menghubungkan antara kapal yang berikatan langsung
dengan bagian kantong (tali pengangkat kantong) sehingga memudahkan untuk
mengangkat kantong sewaktu-waktu. Jika pada waktu Praktek Kerja Lapangan
pengoperasian alat tangkap sodo (push net) ini membutuhkan waktu kurang lebih
3-5 jam untuk mendorong alat tangkap menyusuri area daerah tangkapan.
3. Lama Penarikan alat tangkap sodo (push net)
Lama waktu yang dibutuhkan untuk penarikan alat tangkap sodo (push
net) yaitu 5-10 menit (haulling), kemudian hasil tangkapan ditarik dan dinaikan ke
atas kapal dalam posisi diam. Kemudian alat tangkap juga dinaikan melalui tali
yang menghubungkan antara bagian bawah dan atas alat tangkap sodo dengan
kapal.
4.6. Hasil Tangkapan Alat Tangkap Sodo
Berdasarkan hasil Praktek Kerja Lapangan alat tangkap sodo diperoleh hasil
tangkapan dalam 3 hari penangkapan dengan daerah fishing ground yang berbeda.
Berikut ini adalah hasil yang di dapatkan yang tersaji pada tabel di bawah ini:
34
Tabel 8. Hasil Tangkapan hari pertama
No Jenis Berat (gram) Jumlah (ekor)
1 Udang putih (Penaeus merguiensis) 500 30
2 Kacangan 100 2
3 Tunul 200 2
4 Layur (Trichiuros) 400 4
5 Cumi-cumi (Loligo) 250 10
6 Belanak (Mugil) 50 2
7 Tenggiri (Scomberomous comersoni) 50 1
Total hasil tangkapan 1550
Sumber : Praktek Kerja Lapangan (2013)
gambar 3. Komposisi Hasil Tangkapan hari pertama
Tabel 9. Hasil Tangkapan hari ke-2
No Jenis Berat (gram) Jumlah (ekor)
1 Udang putih (Penaeus merguiensis) 500 30
2 Cumi-cumi (Loligo) 250 10
3 Teri (Stolepharus) 1000
4 Layur (Trichiuros) 500 5
5 Belanak (Mugil) 500 20
6 Tenggiri (Scomberomous comersoni) 250 2
7 Ikan – ikan kecil (kacangan, tunul, dll) 1000
Total hasil tangkapan 4000
Sumber : Praktek Kerja Lapangan (2013)
35
gambar 4. komposisi hasil tangkapan hari ke-2
Tabel 10. Hasil Tangkapan hari ke-3
No Jenis Berat (gram) Jumlah (ekor)
1 Petek (Leiognathus equulus) 250 10
2 Udang putih (Penaeus merguiensis) 500 50
3 Cumi-cumi (Loligo) 250 6
4 Teri (Stolepharus) 500
5 Layur (Trichiuros) 500 8
6 Belanak (Mugil) 250 10
7 Tenggiri (Scomberomous comersoni) 250 2
8 Kepiting (Scylla serrata) 100 7
9 Ikan – ikan kecil (kacangan, tunul, dll) 500
Total hasil tangkapan 3600
Sumber : Praktek Kerja Lapangan (2013).
gambar 5. komposisi hasil tangkapan hari ke-3
36
gambar 6. diagram perbandingan hasil tangkapan melaut
Dari grafik diatas dapat diketahui perbandingan hasil tangkapan pada hari
pertama, kedua, dan ketiga. Hari kedua mendapatkan hasil tangkapan paling
banyak dan hari pertama mendapatkan hasil tangkapan paling sedikit. Perbedaan
jumlah hasi tangkapan dipengaruhi oleh kondisi perairan seperti cuaca,
gelombang laut, dan kondisi nelayan ketika melaut juga harus diperhitungkan.
Karena perikanan tangkap ini bersifat one day fishing sehingga semuanya skill
dan kondisi oceanografi periaran sangat mempengaruhi.
Berdasarkan hasil tangkapan dari Praktek Kerja Lapangan, hasil tangkapan
pada hari pertama adalah udang putih (Penaeus merguiensis), layur (Trichiuros),
cumi-cumi (Loligo), belanak (Mugil), tenggiri (Scomberomous comersoni),
sedikitnya hasil tangkapan hari pertama dibandingkan hari kedua dan ketiga
dikarenakan kondisi perairan tambak lorok kurang mendukung dan arus yang
cenderung besar, sehingga mempengaruhi hasil tangkapan.
Hasil tangkapan pada hari kedua diperoleh hasil tangkapan ikan adalah
udang putih (Penaeus merguiensis), layur (Trichiuros), cumi-cumi (Loligo),
belanak (Mugil), tenggiri (Scomberomous comersoni)
37
Hasil tangkapan pada hari ketiga diperoleh ikan adalah adalah udang putih
(Penaeus merguiensis), layur (Trichiuros), cumi-cumi (Loligo), belanak (Mugil),
tenggiri (Scomberomous comersoni).
Ikan-ikan hasil tangkapan alat tangkap sodo adalah ikan-ikan yang berada
pada kolom air, seperti ikan petek (Leiognathus equulus), ikan beloso (Saurida
tumbil), ikan gulamah (Nibea albiflora ). Selain ikan demersal ada juga udang
putih (Penaeus merguiensis), udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea), kerang
(Anadara sp), dan rajungan (Portunus pelagicus) yang habitatnya juga didasar
perairan. Hal ini dikarenakan pengoperasian sodo hingga di dasar perairan. Hasil
tangkapan sodo terutama jenis udang halus, rebon/ jambret (Mysis, Acetes) yang
merupakan bahan pembuat terasi, teri (Stelophorus sp.), udang-udang kecil, ikan-
ikan kecil, tembang (Clupea sp.), kembung (Rastrelingger sp.).
Menurut hasil wawancara dengan nelayan, musim angin barat merupakan
musim paceklik bagi nelayan sodo. Musim angin barat biasa terjadi pada bulan
Desember-Maret. Hasil tangkapan yang didapatkan hanya dengan sedikit. Harga
udang saat musim paceklik menjadi lebih mahal karena langkanya udang, untuk
udang Rp 50.000,00 - Rp 60.000,00 per kg. Namun, jika musim dengan
gelombang besar nelayan sodo berganti dengan alat tangkap arad atau sejenisnya
yang dapat digunakan untuk segala musim. Sementara itu pada musim puncak
terjadi saat musim timur dimana keadaan perairan relatif tenang karena jarang
turun hujan, ombak di perairan pantai relatif tenang dan kekuatan angin tidak
terlalu kencang. Keadaan perairan yang seperti ini, hasil tangkapan udang menjadi
banyak yang tertangkap oleh alat tangkap sodo. Musim timur terjadi pada bulan
Mei dan Agustus-September. Semakin banyaknya udang yang tertangkap maka
38
harganya lebih murah daripada saat musim paceklik. Udang yang tertangkap saat
musim puncak harganya Rp 40.000,00 - Rp 50.000,00 per kg.
Hasil tangkapan alat tangkap sodo (push net) selain udang, cumi-cumi
juga terdapat kepiting, belanak, tenggiri, layur, tunul dan kacangan. By catch dari
operasi penangkapan pada umumnya dijual dalam bentuk ikan rucah dengan harga
yang murah. Dalam pendistribusian hasil tangkapan dilakukan oleh anggota
keluarga nelayan sendiri. Selain itu alat tangkap sodo (push net) tidak masuk di
dalam TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan data Kementrian Perikanan dan
Kelautan Kota Semarang Tambak Lorok, dikarenakan hasil tangkapan yang
sedikit jika dibandingkan alat tangkap yang masuk dalam TPI seperti alat tangkap
bagan, paying dan cantrang.
39
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil Praktek Kerja Lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut:
4. Alat tangkap sodo (push net), yaitu Klasifkasi menurut International
Standard Statistical Classification of fishing Gear (ISSCFG-FAO), pukat
dorong belum tercantum, penggolongannya dimasukan kedalam kelompok
alat penangkapann ikan lainnya (miscellaneous gear); Sedangkan menurut
Klasifikasi Alat Penangkapan Indonesia (KAPI), kelompok pukat dorong
terdiri dari Pukat Dorong Tanpa Kapal (PDTK), Pukat Dorong Berkapal
(PDK) dan Pukat Dorong Lainnya (PDL). Menurut Subani dan Barus (1989),
Jaring dorong (push nets) dilihat dari cara pengoperasiannya dibedakan antara
lain sodo biasa (commonly push nets) dan sodo sampan (skimming push nets).
Alat tangkap sodo termasuk Jaring dorong (push nets) yang dalam klasifikasi
alat tangkap dapat dikategorikan sebagi Jaring angkat (lift nets).
Cara pegoperasian yaitu alat tangkap sodo (push net) dioperasikan dengan
mendorong alat tangkap menyusuri perairan pantai. Prosesnya dari persiapan,
setting, pendorongan alat tangkap dan haulling.
5. Desain dan kontruksi alat tangkap sodo (push net) yaitu Menurut BBPPI
(2007), desain dan konstruksi pukat dorong terdiri dari tongkat/ bambu/
batang kayu; Sepatu togkat; Sayap; Badan; Kantong; Tali pembantu
pengangkat kayu pembuka mulut; Tali pembantu pengangkat kantong; Tali
penguat bagian mulut; Tali penguat usus-usus; Tali samping/ tali tegak; Tali
pendant; Tali mulut atas (head rope); Tali mulut bawah (ground rope);
40
Pelampung; Pemberat; Kili-kili (swivel). memiliki tiga bagian jaring yang
berbeda yaitu bagian sayap, bagian badan dan kantong (bag net). Ikatan tali
yang berada kantong bisa berupa rantai atau tali yang berat dan tenggelam,
sehingga menyentuh dasar laut selama operasi penangkapan ikan. Ujung-
ujung dari ikatan tali mulut bawah (groundrope) diikatkan pada bingkai mulut
jaring. Ikatan menggantung pada bingkai bambu atau tiang. Dua ikatan diikat
satu sama lain sehingga berbentuk V, berakhir di ski kayu atau besi, yang
didorong menyusuri dasar laut. Pelampung juga dilekatkan dekat ski atau
mulut jaring untuk mencegah macet atau terjebak jaring di lumpur. Pada alat
tangkap yang berukuran besar, pelampung yang disesuaikan dengan tali dan
mulut jaring. Mendorong jaring ikan dari perahu menggunakan tiang panjang
yang tidak terikat, tetapi diikat langsung ke cadik atau tiang geladak perahu.
Jaring kantong berbentuk kerucut dengan mulut berbingkai segitiga sama kaki,
pengoperasiannya dilakukan dengan mendorong menelusuri dasar perairan
dangkal atau melayang di bawah permukaan air dengan perahu.
6. Jumlah dan Komposisi Hasil Tangkapan hari pertama yaitu teri (Stelophorus ),
udang putih (Peanus merguiensis) 30 ekor, cumi-cumi (Loligo) 10 ekor,
tenggiri (Scomberomous comersoni) 1 ekor, belanak (Mugil) 2 ekor, kepiting
(Scylla serrata) 7 ekor, layur (Trichiuros) 4 ekor. Hari ke-2 udang putih 30
ekor, cumi-cumi (Loligo) 10 ekor, teri (Stelophorus) 1000gr, layur
(Trichiuros) 5 ekor, belanak (Mugil) 20 ekor, tenggiri (Scomberomous
comersoni) 2 ekor, ikan-ikann kecil 1000gr. Hari ke-3 petek (Leiognathus
equulus) 10 ekor, udang putih (Peanus merguiensis) 50 ekor, cumi-cumi
(Loligo) 6 ekor, layur (Trichiuros) 8 ekor, dan belanak (Mugil) 10 ekor.
41
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan untuk Praktek Kerja Lapangan antara lain:
1. Pada saat melakukan Praktek akan lebih baik jika memperhatikan daerah
fishing groud yang sesuai dengan alat tangkap yang digunakan, dan tidak
melakukan pada tempat yang sama dan terus-menerus;
2. Sebaiknya pada saat pendorongan alat tangkap (pushing) diharapkan jangan
terlalu lama, jadi tunggu untuk beberapa waktu ; dan
3. Kondisi alat dan kapal yang digunakan harus berada dalam kondisi baik untuk
keperluan penangkapan dan faktor keselamatan.
42
DAFTAR PUSTAKA
Aidy, Yusuf. 2003. Analisis Sebaran Ikan Demersal yang Tertangkap dengan
Jaring di Perairan Kabupaten Demak. Universitas Diponegoro, Semarang.
Anonim. 2011. Buku Saku Pemerintah Provinsi Jateng dan Dinas Kelautan dan
Perikanan.http://diskanlutjateng.go.id/images/file/7e27f76ae77a5ca13f3b0
37397c094cd.pdf (5 Februari 2013 pkl 12.55)
Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BBPPI). 2007. Katalog Alat
Penangkapan Ikan Indonesia. BBPPI: Semarang.
Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BBPPI). 2008. Klasifikasi Alat
Penangkpan Ikan Indonesia. BBPPI: Semarang.
Brandt, A von. 1984. Fish Catching Method of The World Third Edition. Farnham
Surrey: England.
FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations). 2013. Fishing
GearTypes Push Net. FAO Fisheries and Aquaqulture Departement and
UN. http://www. fao.org/fishery/geartype/253/en. (5 Februari 2013 pkl
12.35).
FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations). 2013. Fishing
Techniques Shrimp Push Net Fishing. FAO Fisheries and Aquaqulture
Departement and UN. http://www.fao.org/fishery/fishtech/1023/en. (5
Februari 2013 pkl 12.35).
FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations). 2013. Fishing
Gears and Methods Definitions. FAO Fisheries and Aquaqulture
Departement and UN. http://www.fao.org/fishery/topic/1617/en. (5
Februari 2013 pkl 12.35).
Fauzi, Nurochman dan Siregar, Nasruddin. 1989. Definisi dan Penggolongan Alat
Penangkapan Ikan. BBPPI: Semarang.
LP2LKA, 2000. Rencana Pengelolaan Untuk Mengurangi Konflik antara
Pengguna Alat Tangkap Arad dan Pengguna Alat Tangkap Lain. Bagian
proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan Jawa Tengah.
J. Prado dan P.Y. Dremiere. 2005. Panduan Teknis Usaha Penangkapan Ikan
(Fisherman’s Workbook). Balai Besar Penangkapan Ikan: Semarang.
Nazir, Mohammad. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta.
43
Sainsbury, John C. 1996. Commercial Fishing Methods Third Edition. University
Press Cambridge. England.
Subani, Waluyo dan Barus, H.R. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di
Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Laut: Jakarta.
Sugiono, 2005. Statistika Untuk Penelitian. CV Alfabeta: Bandung.