BAB I

Post on 08-Feb-2023

1 views 0 download

Transcript of BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Farmasi adalah suatu profesi di bidang

kesehatan yang meliputi kegiatan-kegiatan di

bidang penemuan, pengembangan, produksi,

pengolahan, peracikan, dan distribusi obat. Dalam

ilmu farmasi kita juga mempelajari ilmu fisika.

Salah satu ilmu fisika yang kita pelajari yaitu

farmasi fisika.

Farmasi fisika adalah tentang ilmu fisika

yang diterapkan pada pembuatan sediaan farmasi.

Ilmu ini mempelajari sifat fisika kimia suatu zat

yaitu seperti seperti penetapan bobot jenis,

mikromeritika kelarutan dan distribusi obat, dan

fenomena yang banyak dijumpai dalam bidang

kefarmasian. Selain itu, farmasi fisika juga

mempelajari tentang disolusi suatu obat.

Disolusi adalah tahapan yang membatasi,

mengontrol laju bioabsorbsi yang mempunyai

kelarutan rendah (Martin, A. 1993). Beberapa

faktor yang mempengaruhi disolusi suatu senyawa

antara lain sifat fisik dan kimia suatu larutan

seperti suhu,viskositas, pH pelarut, pengadukan,

ukuran partikel, pengadukan, polimerfisme, dan

sifat permukaan.

Oleh karena itu, pada percobaan ini dilakukan

dengan maksud untuk mengetahui bagaimana kecepatan

disolusi obat dari sediaan farmasi.

I.2 Maksud dan Tujuan

I.2.1 Maksud Percobaan

Maksud dari percobaan yaitu, untuk mengetahui

dan memahami cara penentuan konstanta kecepatan

disolusi dari suatu obat.

I.2.2 Tujuan Percobaan

Tujuan dari percobaan yaitu, menentukan

kecepatan disolusi dari tablet amoksisilin dengan

menggunakan alat disolusi.

I.3 Prinsip percobaan

Prinsip percobaan ini yaitu didasarkan pada

penentuan konstanta kecepatan disolusi dari tablet

amoksisilin berdasarkan kadar amoksisilin yang

terdisolusi dalam media air suling dengan

menggunakan alat disolusi dan menentukan kadarnya

menggunakan titrasi alkalimetri menggunakan NaOH

0,1250 N baku dan penambahan indikator fenoftalein

pada menit ke 0, 5, 10, 15, 20 dan 45 berdasarkan

perubahan warna dari tak berwarna menjadi merah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Teori

Disolusi adalah melarutnya partikel-partikel

yang lebih kecil itu dalam cairan untuk absorbsi (

Kee, 1996). Laju disolusi bila suatu tablet atau

sediaan obat lainnya dimasukan ke dalam beaker

glass yang berisi air atau dimasukan ke dalam

saluran cerna (Saluran gastrointestinal), obat

tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk

padanya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi

polimer, matriks padat juga mengalami diistegrasi

menjadi granul-granul, dan granul-grabuk mengalami

pemecahan menjadi partikel halus. Diintegrasi,

deagregrasi dan disolusi bisa berlangsung secara

serentak dengan melepasnya suatu obat di tempat

obat tersebut diberikan (Martin, 2008).

Sejumlah metode untuk menguji disolusi dari

tablet dan granul secara in vitro dapat digunakan

metode keranjang dan dayung (Martin, 2008). Uji

hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan

bahwa, tablet itu pecah menjadi partikel-partikel

kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut

menjadi lebih luas, dan akan berhubungan dengan

tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun,

sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang

diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi

yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan

bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan

obat dalam larutan dengan kecepatan yang

seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan

ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh

produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat

bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam

saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju

larut obat dalam tablet (Martin, 2008).

Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di

dalam darah, maka kecepatan obat dan tablet

melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu,

laju larut dapat berhubungan langsung dengan

efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas

dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya

evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas

kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada di

saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli

farmasi (Martin, 2008).

Tahap-tahap disolusi yang dialami suatu obat

yaitu :

1. Liberasi adalah pelepasan obat dari bentuk-

bentuk sediaan kemudian diabsorbsi di dalam

tubuh dikontrol dari sifat fisika dan kimia

suatu obat dan system biologis.

2. Difusi adalah suatu proses perpindahan massa

molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan

molecular secara acak dan berhubungan dengan

adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul

melalui suatu batas.

3. Disolusi adalah proses melarutnya suatu obat

dari bentuk dimana obat tersebut diberikan

(Martin, 2008).

Laju disolusi adalah dimana suatu padatan

melarut di dalam suatu pelarut telah diajukan

dalam batasan kuantitatif (Martin,2008).

Persamaan :

Keterangan :

M = Massa zat terlarut

D = Koefisien difusi

S = Luas permukaan

h = Ketebalan lapisan

difusi

Cs = Kelarutan zat

padat

Ct = Konsentrasi zat

terlarut pada waktu t

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan

disolusi dapat dilihat dari persamaannya yaitu :

1. Suhu

Meningginya suhu umumnya memperbesar

kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat

endotermik serta memperbesar harga koefisien

dMdt =

DSh (Cs -

Ct )

difusi zat. Menurut Einstein,koefisien difusi

dapat dinyatakan melalui persamaan berikut :

D : koefisien difusi

r : jari-jari molekul

k : konstanta Boltzman

ή : viskositas pelarut

T : suhu

2. Viskositas

Turunnya viskositas pelarut akan

memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai

dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu

juga menurunkan viskositas dan memperbesar

kecepatan disolusi.

3. pH pelarut

pH pelarut sangat berpengaruh terhadap

kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau basa

lemah.

Untuk asam lemah:

Jika (H+) kecil atau pH besar maka

kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian,

kecepatan disolusi zat juga meningkat.

Untuk basa lemah:

Jika (H+) besar atau pH kecil maka

kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian,

kecepatan disolusi juga meningkat.

4. Pengadukan

Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi

tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan

berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi

akan cepat berkurang.

5. Ukuran Partikel

Jika partikel zat berukuran kecil maka luas

permukaan efektif menjadi besar sehingga

kecepatan disolusi meningkat.

6. Polimorfisme

Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh

adanya polimorfisme. Struktur internal zat yang

berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan

yang berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya

lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya,

sehingga kecepatan disolusinya besar.

7. Sifat Permukaan Zat

Pada umumnya zat-zat yang digunakan

sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan

adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan

permukaan antar partikel zat dengan pelarut

akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan

kecepatan disolusinya bertambah (David, 2010).

Merode-metode yang dapat digunakan dalam

uji disolusi obat terbagi atas 2 yaitu ;

1. Metode Suspensi

Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam

pelarut tanpa pengontrolan terhadap luas

permukaan partikelnya. Sampel diambil pada

waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang larut

ditentukan dengan cara yang sesuai.

2. Metode permukaan konstan

Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang

diketahui luasnya, sehingga variable perbedaan

luas permukaan efektif dapat diabaikan, umumnya

zat diubah menjadi tablet terlebih dahulu,

kemudian ditentukan seperti pada metode

suspense (Martin,2008).

Prinsip kerja alat disolusi terbagi

menjadi 2 yaitu ;

Alat I :

Alat ini terdiri dari sebuah wadah

tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan

transparan lain yang inert. Suatu batang logam

yang digerakkan oleh motor dan keranjang yang

berbentuk silinder, wadah tertutup sebagian di

dalam suatu tangas air yang sesuai dengan

ukuran sedemikian sehingga dapat

mempertahankan suhu dalam wadah pada suhu 37°

kurang lebih 0,5° selama pengujian berlangsung

dalam menjaga agar gerakan air dalam tangas

air halus dan tetap.

Alat II :

Sama seperti alat 1 bedanya pada alat

ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan

batang sebagai pengaduk batang berada pada

posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih

dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertical

wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan

yang berarti.

II.2 Uraian Bahan

II.2.1 Air suling (DIRJEN POM,1979)

Nama resmi : Aqua destillata

Nama lain : Air suling, aquadest

RM/BM : H2O/18,02

Rumus Struktur : H H

O

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna,

tidak berbau, tidak

mempunyai rasa.

Kelarutan : -

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

Khasiat : -

Kegunaan : Sebagai zat pelarut.

II.2.2 Fenolftalein (DIRJEN POM,1995)

Nama resmi : Phenolftalein

Nama lain : Fenolftalein

RM/BM : C20H14O4/318,32

Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk hablur putih, putih

atau kekuningan, larut dalam

etanol, agak sukar larut dalam

eter.

Kelarutan : Sukar larut dalam air, larut

dalam etanol (95%) P.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

Khasiat : -

Kegunaan : Sebagai larutan indikator.

II.2.3 Natrium hidroksida (DIRJEN POM,1995)

Nama resmi : Natrii hydroxydum

Nama lain : Natrium hidroksida

RM/BM : NaOH/40,00

Rumus struktur : Na - O - H

Pemerian : Bentuk batang, butiran, masa

hablur atau keping, kering, rapuh

dan mudah meleleh basah, sangat

alkalis dan korosif, segera

menyerap CO2.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan

etanol (95%).

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

Khasiat : -

Kegunaan : -

II.2.4 Amoksisilin (DIRJEN POM,1995)

Nama resmi : Amoxicillinum

Nama lain : Amoksisilin

RM/BM : C16H19N3O5S/419,45

Rumus struktur :

Pemerian : serbuk hablur, putih ; praktis

tidak berbau

Kelarutan : sukar larut dalam air dan

methanol ; tidak larut dalam

benzena, dalam karbon tetraklorida

dan dalam kloroform

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup

rapat, pada suhu kamar

terkendali

Khasiat : Sebagai antibiotik

Kegunaan : Sebagai sampel

BAB III

METODE KERJA

III.1 Alat dan Bahan

III.1 Alat dan Bahan

III.1.1 Alat

1. Alat disolusi (HANSON)

2. Buret (PYREX)

3. Buret 50 mL (PYREX)

4. Erlenmeyer (PYREX)

5. Gelas beker (PYREX)

6. Gelas ukur (PYREX)

7. Labu ukur (PYREX)

8. Pipet volume(PYREX)

9. Termometer

III.1.2 Bahan

1. Aquadest

2. NaOH 0,1 N

3. Indikator Fenolftalein

4. Tablet Amoksisilin

III.2. Cara kerja

1. Disiapkan alat dan bahan.

2. Diisi bejana dan alat disolusi dengan 900 ml

air suling.

3. Diatur termostat pada temperatur 370C dan

dimasukkan 2 gr amoksisilin lalu dijalankan

motor penggerak dengan kecepatan 100 rpm.

4. Diambil sebanyak 20 ml air dalam bejana

setiap selang waktu 1, 5, 10, 20, 30 menit

setelah pengocokan. Setiap selesi pengambilan

sampel segera diganti dengan 20 ml air.

5. Ditentukan kadar amoksisilin yang larut pada

masing-masing sampel dengan metode

spektrofotometri atau titrasi asam basa

menggunakan NaOH 0,05 N dan fenolftalein.

Kemudian dilakukan percobaan yang sama untuk

400C.

6. Seluruh hasil yang diperoleh ditulis dalam

bentuk tabel.

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

IV.1 Data Pengamatan

No. Waktu V1 V2

1. 0 0,5 0,72. 5 0,5 0,43. 10 0,6 0,34. 15 0,5 0,35. 20 0,4 0,36. 45 0,4 0,2

1. Persen Kadar

T = 0’

%K0=N.V1.Bst

Bsx100%

¿0,05x0,5x52,43

2000x100%

¿ 131,072000

 = 0,065

%K0=N.V2.Bst

Bsx100%

¿ 0,05x0,7x52,432000

x100%

¿183,52000

 = 0,091

Krata-rata = K1+K22

= 0,065+0,0912

= 0,1562

= 0,08

T = 5’

%K5=N.V1.Bst

Bsx100%

¿0,05x0,5x52,43

2000x100%

¿131,072000

 = 0,065

%K5=N.V2.Bst

Bsx100%

¿0,05x0,4x52,43

2000x100%

¿104,82000

 = 0,052

Krata-rata = K1+K22

= 0,065+0,0522

= 0,1172

= 0,06

T = 10’

%K10=N.V1.BstBs

x100%

¿0,05x0,6x52,43

2000x100%

¿157,22000

  = 0, 078

%K10=N.V2.BstBs

x100%

¿0,05x0,3x52,43

2000x100%

¿78,6452000

 = 0,039

Krata-rata = K1+K22

= 0,078+0,0392

= 0,1172

= 0,08

T = 15’

%K15=N.V1.Bst

Bsx100%

¿0,05x0,5x52,43

2000x100%

¿ 131,032000

 = 0,078

%K15=N.V2.BstBs

x100%

¿0,05x0,3x52,43

2000x100%

¿78,6452000

 = 0,039

Krata-rata = K1+K22

= 0,065+0,0392

= 0,1042

= 0,052

T = 20’

%K20=N.V1.BstBs

x100%

¿0,05x0,4x52,43

2000x100%

¿104,82000

  = 0, 052

%K20=N.V2.BstBs

x100%

¿0,05x0,3x52,43

2000x100%

¿78,6452000

 = 0,039

Krata-rata = K1+K22

= 0,052+0,0392

= 0,0912

= 0,045

= 0,045

T = 45’

%K45=N.V1.BstBs

x100%

¿0,05x0,4x52,43

2000x100%

¿ 104,82000

  = 0, 052

%K45=N.V2.BstBs

x100%

¿ 0,05x0,2x52,432000

x100%

¿52,432000

 = 0,026

= 0,03

Krata-rata = K1+K22

= 0,052+0,032

= 0,0822

= 0,04

2. Bobot Zat Aktif

T = 0’

Wn = % K × 900 mL = 0,078 × 900 mL = 70,2

T = 5’

Wn = % K × 900 mL = 0,06 × 900 mL = 54

T = 10’

Wn = % K × 900 mL = 0,06 × 900 mL = 54

T = 15’

Wn = % K × 900 mL = 0,05 × 900 mL = 45

T = 20’

Wn = % K × 900 mL = 0,05 × 900 mL = 45

T = 45’

Wn = % K × 900 mL

= 0,04 × 900 mL = 36

3. Persen Kelarutan

T = 0’

% K = WnWa × 100 %

= 70,22000 × 100 %

= 3,51 %

T = 5’

% K = WnWa × 100 %

= 542000 × 100 %

= 2,7 %

T = 10’

% K = WnWa × 100 %

= 542000 × 100 %

= 2,7 %

T = 15’

% K = WnWa × 100 %

= 452000 × 100 %

= 2,251 %

T = 20’

% K = WnWa × 100 %

= 452000 × 100 %

= 2,25 %

T = 45’

% K = WnWa × 100 %

= 362000 × 100 %

= 1,8 %

BAB V

PEMBAHASAN

BAB VI

PENUTUP

VI.I Kesimpulan

VI.I Saran