Post on 18-Mar-2019
22
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh di Wilayah Jakarta Timur
Di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Kota Jakarta Timur merupakan salah satu
wilayah yang mempunyai berbagai keunikan baik secara geografis, demografis serta
hidrologis. Dari sisi geografis, Kota Jakarta Timur merupakan wilayah yang terluas
dan terdiri dari beberapa perkampungan. Dari sisi demografisnya, Jakarta Timur
memiliki jumlah penduduknya terbanyak dibandingkan dengan wilayah Jakarta
lainnya. Sementara itu, dari sisi hidrologis, Jakarta Timur dilewati oleh beberapa
sungai dan kanal antara lain: Cakung Drain, Kali Ciliwung, Kali Malang, Kali
Sunter, dan Kali Cipinang.
Menurut BPS pada tahun 2000 dalam rangka pembangunan wilayah DKI
Jakarta, Kota Jakarta Timur diarahkan menjadi daerah pengembangan untuk
permukiman penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi terutama industri pengolahan
dan pariwisata. Banyaknya lapangan pekerjaan di wilayah ini telah mendorong
proses migrasi dan menetap, sehingga kebutuhan perumahan menjadi sangat tinggi.
Untuk migran yang tidak terdidik dengan pekerjaan yang terbatas, maka wilayah
permukiman kumuh menjadi pilihan. Gambar 6 menyajikan distribusi permukiman
kumuh di tingkat kecamatan Jakarta Timur.
Gambar 6. Sebaran Lokasi Kumuh di Jakarta Timur
Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa wilayah yang memiliki KK
kumuh paling banyak adalah Kecamatan Jatinegara dengan jumlah KK kumuh
sebesar 8023 KK, sedangkan untuk wilayah yang mempunyai KK kumuh paling
sedikit adalah Kecamatan Ciracas dengan jumlah sebesar 144 KK. Informasi
tersebut memberikan gambaran bahwa ketimpangan perekonomian dan kondisi
23
lingkungan di Jakarta Timur sangat besar. Hal ini tentu saja membawa dampak yang
serius dan membutuhkan mekanisme penataan ruang yang baik.
Berdasarkan informasi di atas, penelitian ini memfokuskan pada kawasan
kumuh yang berada di Kecamatan Jatinegara karena kawasan ini mempunyai jumlah
KK tertinggi secara relatif dibandingkan dengan kecamatan yang lain. Kecamatan
Jatinegara ini mempunyai 8 kelurahan yaitu Kelurahan Cipinang Muara, Cipinang
Besar Selatan, Cipinang Besar Utara, Cipinang Cempedak, Rawa Bunga, Bidara
Cina, Balimester, Kampung Melayu. Setiap kelurahan mempunyai KK kumuh yang
berbeda-beda. Tabel 7 menyajikan data jumlah KK kumuh di Kecamatan Jatinegara.
Seperti yang terlihat pada tabel tersebut bahwa jumlah KK kumuh paling banyak
terdapat pada Kelurahan Kampung Melayu, sedangkan jumlah KK kumuh Kelurahan
Balimester adalah 0. Namun demikian, berdasarkan data evaluasi RW Kumuh DKI
2004 dan data dari Kelurahan Balimester, kelurahan tersebut masih mempunyai KK
kumuh.
Tabel 7. Jumlah KK Kumuh di Kecamatan Jatinegara
Kelurahan KK Kumuh
2008
KK Kumuh
2004
Bali Mester 0 869
Bidara Cina 209 1262
Cipinang Besar Selatan 215 2014
Cipinang Besar Utara 3027 4094
Cipinang Cempedak 300 64
Kampung Melayu 3233 1991
Rawa Bunga 1039 1544 Sumber Data : BPS dalam Evaluasi RW Kumuh DKI 2008
Lokasi kawasan kumuh di Kecamatan Jatinegara umumnya tersebar pada
daerah bantaran sungai (Gambar 7). Hal ini cukup relevan mengingat bahwa
Kecamatan Jatinegara dibatasi oleh sungai Ciliwung dan Kali Sunter, serta dilalui
oleh Kali Cipinang. Disamping itu, terdapat juga sungai buatan yaitu Kali Malang
yang digunakan sebagai pengendalian banjir dan irigasi serta untuk instalasi air
minum.
24
Gambar 7. Sebaran Lokasi Kumuh di Kecamatan Jatinegara Berdasaran Data Evaluasi RW
Kumuh DKI 2008
5.1.1. Distribusi Spasial Permukiman Kumuh
Kelemahan mendasar dari data BPS tentang permukiman kumuh adalah
ketiadaan batas yang jelas pada masing-masing lokasi yang ditetapkan sebagai
permukiman kumuh, sehingga penetapan luas serta analisis spasial lanjutan tidak
dapat dilakukan. Hal ini dapat dimengerti mengingat data tersebut diperoleh dari
hasil pendataan lapangan oleh dinas. Untuk mengurangi kelemahan tersebut,
penelitian ini menggunakan citra resolusi tinggi Quickbird tahun pengamatan 2006.
Kunci interpretasi untuk menentukan kenampakan kawasan kumuh pada citra
adalah dengan melihat pola dari permukiman. Pola pemukiman teratur menunjukkan
kenampakan lebih rapi dan dapat diidentifikasinya jarak antar rumah serta dapat
dibedakan jelas antara jalan dengan rumah. Menurut Kusumawati (2006) pola
permukiman tidak teratur menunjukkan 2 kemungkinan yaitu permukiman kumuh
atau bukan permukiman kumuh. Ciri-ciri pemukiman kumuh yang nampak pada citra
adalah berpola tidak teratur, ukuran rumah kecil-kecil, rapat tidak ada jarak antara
rumah yang satu dengan yang lainnya, sebagian besar rumah beratapkan asbes atau
seng dan sebagian kecil beratapkan genteng (Gambar 8). Atap seng pada citra
Quickbird umumnya terlihat berwarna hitam (pada Citra ditandai dengan huruf a),
untuk asbes berwarna putih keabu-abuan (pada citra dengan huruf c) sedangkan
untuk genteng umumnya berwarna oranye (pada citra terlihat dengan huruf b).
Kenampakan pada citra tersebut sangat berbeda dengan kenampakan pada
perumahan teratur seperti tersaji pada Gambar 9.
25
Gambar 8. Pola Pemukiman Tidak Teratur Yang Merupakan Daerah Kumuh: Atap
Seng(a), Atap Genteng (b), dan Atap Asbes(c): Kenampakan Citra Quickbird
Pada Daerah Kumuh Yang Terletak di Kelurahan Cipinang Besar Utara
Gambar 9. Pola Permukiman Teratur di Kelurahan Cipinang Besar Selatan Pada Citra
Quickbird: Pola Teratur dan Tampak Rapi Antara Rumah dan Jalan Dapat di
Bedakan
Hasil identifikasi citra pada wilayah kumuh menunjukkan bahwa wilayah
kumuh mempunyai pola yang tidak teratur, sebagian besar rumah beratapkan asbes
atau seng. Sejalan dengan informasi yang diperoleh dari data statistik, lokasi
pemukiman kumuh umumnya berada di sekitar sungai. Pengecekan lapang dilakukan
pada setiap lokasi yang diidentifikasi memiliki permukiman kumuh. Data geografis
direkam dengan memanfaatkan GPS dan pada setiap titik yang diamati, beberapa
gambar diambil untuk dokumentasi lapang (Gambar 10).
26
a.
b. Koordinat (106.86°,-6.22°)
Gambar 10. (a) Permukiman Kumuh Yang Terletak di Dekat Sungai Ciliwung, Dekat Pasar
Mester Atau Pasar Jatinegara, (B) Pemukiman Kumuh Yang Terletak di Dekat
Sungai Ciliwung
5.2. Karakterisasi Permukiman Kumuh di Wilayah Jakarta Timur
5.2.1. Karakteristik Lokasi
Berdasarkan hasil interpretasi citra Quickbird 2006, terlihat bahwa
kenampakan permukiman kumuh secara spasial umumnya berasosiasi dengan
kedekatannya terhadap sungai dan jalan lokal. Beberapa permukiman kumuh ditemui
berlokasi di sekitar jalur rel kereta api, jalan tol, jalan kolektor serta jalan arteri
seperti tersaji pada Gambar 11. Kenampakan permukiman kumuh dari citra
Quickbird tersebut, dilengkapi dengan foto lapangan, pada berbagai lokasi disajikan
pada Gambar 13 sampai dengan Gambar 15.
Gambar 11. Frekuensi Jumlah Permukiman Kumuh Terhadap Lokasi Permukiman di Jakarta
Timur
Hasil interpretasi citra Quickbird pada seluruh wilayah Jakarta Timur
disajikan pada Gambar 12. Luas permukiman kumuh berdasarkan hasil klasifikasi
27
pada citra Quicbird dapat dilihat pada Tabel 8. Dari tabel tersebut dapat diketahui
bahwa setiap Kecamatan di Jakarta Timur mempunyai luas permukiman kumuh yang
relatif beragam. Luas permukiman kumuh yang terluas terdapat pada Kecamatan
Jatinegara yaitu sekitar 15,97 Ha, sedangkan luas permukiman kumuh yang terkecil
berada pada Kecamatan Cipayung yaitu sekitar 0,58 Ha. Total keseluruhan luas
permukiman kumuh di Jakarta Timur yaitu sekitar 36,81 Ha.
Tabel 8. Luas Sebaran Permukiman Kumuh Hasil Klasifikasi Citra Quickbird
Kecamatan Kumuh Tidak
Kumuh
Cakung 2.41 4135.96
Cipayung 0.58 2838.35
Ciracas 1.09 1728.30
Duren Sawit 1.74 2129.25
Jatinegara 15.97 1296.96
Kramat Jati 1.62 1217.58
Makasar 1.08 2399.91
Matraman 1.80 473.97
Pasar Rebo 1.60 1397.16
Pulogadung 8.92 1447.51
Total 36.81 19064.95
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar (66%) kawasan
kumuh berada di dekat sungai dan hanya sekitar 8% berada di sekitar pasar.
Kawasan kumuh yang berada di dekat sungai adalah kawasan kumuh berat, kumuh
sedang, dan kumuh ringan, dan yang berada di dekat pasar adalah kumuh sangat
ringan dan sebagian kumuh sedang.
28
Cakung
Cipayung
Makasar
Ciracas
Duren Sawit
Jatinegara
Pulogadung
Pasar Rebo
Kramat Jati
Matraman
6°21' 6°21'
6°18' 6°18'
6°15' 6°15'
6°12' 6°12'
106°51'
106°51'
106°54'
106°54'
106°57'
106°57'
PETA SEBARAN PERMUKIMAN KUMUH
JAKARTA TIMUR
U
TB
S1000 0 1000 M
Batas Kecamatan
Kawasan Kumuh
Jalan Arteri
SungaiKereta Api Rangkap
Jalan KolektorJalan Lokal
Jalan Tol
LEGENDA
Sumber : Hasil Klasifikasi Citra Quickbird Tahun 2006 dan Survei Lapang 2009
KODYA BEKASI
JAKARTA SELATAN
JAKARTA PUSAT
JAKARTA UTARA
JAKARTA BARAT
JAKARTA SELATAN
JAKARTA UTARA
JAKARTA PUSAT
JAKARTA TIMUR
Gambar 12. Peta Sebaran Permukiman Kumuh di Jakarta Timur
29
a.
b. Koordinat ( 106.95°,-6.20°)
Gambar 13. (a) Penampakan Obyek Permukiman Kumuh Yang Terlihat Dari Citra Berada di
Sekitar Jalan Tol,(b) Penampakan Obyek Foto Lokasi Permukiman Kumuh di
Sekitar Jalan Tol
a.
b. Koordinat (106.88°,-6.19°)
Gambar 14. (a) Penampakkan Obyek Permukiman Kumuh Yang Terlihat Dari Citra
Berada di Sekitar Jalan Arteri, (b) Penampakan Obyek Foto Lokasi
Permukiman Kumuh di Sekitar Jalan Arteri
a. b. Koordinat (106.89°,-6.21°)
Gambar 15. (a) Penampakkan Obyek Permukiman Kumuh Yang Terlihat Dari Citra
Berada di Sekitar Jalur Kereta Api, (b) Penampakan Obyek Foto Lokasi
Permukiman Kumuh di Sekitar Jalur Kereta Api
30
Gambar 16. Lokasi Permukiman Kumuh Reponden di Kecamatan Jatinegara
Secara umum lokasi permukiman kumuh ini dipilih oleh penghuni pada
lokasi yang tidak jauh dari tempat-tempat strategis dalam mencari pekerjaan.
Misalnya Kelurahan Cipinang Besar Utara yang berada di tengah Kota Jakarta
Timur, kawasan ini dibatasi oleh dua jalan arteri utama, yaitu Jl. D.I Panjaitan dan Jl.
Bekasi Timur Raya sehingga memudahkan masyarakat kawasan kumuh mengakses
berbagai fasilitas kota termasuk akses ke lapangan kerja di sektor informal.
Kelurahan Kampung Melayu, Kelurahan Bali Mester, Kelurahan Rawa Bunga serta
Kelurahan Bukit Duri berada di dekat Pasar Jatinegara. Lokasi pasar yang dekat
dengan permukiman kumuh memudahkan para ibu rumah tangga dalam berbelanja
kebutuhan sehari-hari, serta memudahkan dalam mencari pekerjaan. Hal ini
berdampak langsung pada efisiensi waktu dan biaya perjalanan. Gambar 17
menyajikan peta sebaran pemukiman kumuh hasil delineasi menggunakan citra
Quickbird dan pengamatan lapang di wilayah studi.
.
5.2.2. Deskripsi Rumah Masyarakat di Permukiman Kumuh
Berdasarkan hasil penarikan contoh di wilayah Kecamatan Jatinegara,
umumnya masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh berat, kumuh sedang, dan
kumuh ringan mempunyai atap rumah berupa asbes (83%), sedangkan rumah yang
beratapkan genteng dari seluruh kawasan kumuh sekitar 17%. Persentase jenis atap
dan kenampakkan obyek di permukiman kumuh pada empat kelas tingkat
kekumuhan disajikan pada Gambar 18 dan Gambar 19.
31
Cakung
Maka sar
Duren Sawit
Jatinegara
Pulogadung
Krama t J ati
Matra man
6°15' 6°15'
6°14' 6°14'
6°13' 6°13'
6°12' 6°12'
106°51'
106°51'
106°52'
106°52'
106°53'
106°53'
106°54'
106°54'
JAKARTA SELATANJAKARTA SELATAN
PETA SEBARANPERMUKIMAN KUMUH
KECAMATAN JATINEGARA
U
500 0 500 1000 M
Kecamatan Lain
Kecamatan Jatinegara
Kawasan Kumuh
Jalan ArteriSungai
Kereta api
Jalan Kolektor
Jalan Lokal
Jalan Tol
LEGENDA
JAKARTA UTA RA
JAKARTA TIMUR
JAKARTA BARAT
JAKARTA SELATAN
JAKARTA PUSAT
BOGORBOGOR
TAN GGERANGTAN GGERANG
BEKASIBEKASI
LAUTLAUT
Gambar 17. Sebaran Pemukiman Kumuh Kecamatan Jatinegara
32
Gambar 18. Jenis Atap di Pemukiman Kumuh
a.
b.
Gambar 19. Foto Jenis Atap di Permukiman Kumuh (a) Atap Genteng di Kelurahan Rawa
Bunga, dan (b) Atap Seng di Kelurahan Cipinang Besar Utara
Jenis lantai di permukiman kumuh disajikan pada Gambar 20. Gambar
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar (60%) rumah yang berada di lokasi
kawasan kumuh berlantai keramik dan terletak di dekat sungai dan daerah rawan
banjir. Alasan utama penggunaan keramik adalah agar mudah dibersihkan sewaktu
banjir usai. Menurut Rashid et al (2007) masyarakat di permukiman kumuh
umumnya tetap memilih tinggal di lokasi banjir karena berharap mendapat insentif
ekonomi khususnya pada saat relokasi daripada mempertimbangkan aspek kesehatan
lingkungan seperti di lokasi-lokasi yang bebas banjir.
Kondisi permukiman kumuh yang berada di dekat sungai umumnya
mempunyai 2 lantai. Hal ini dilakukan agar pada saat banjir bisa menyelamatkan
barang-barang berharga yang dimiliki. Rumah tingkat umumnya berbahan kayu
seperti yang terlihat pada Gambar 21a.
33
Gambar 20. Jenis Lantai di Pemukiman Kumuh
a.
b.
Gambar 21. (a) Jenis Rumah Kumuh Berlantai 2 Yang Rata-Rata Terletak di Dekat
Sungai, (b) Jenis Rumah Kumuh Yang Berlantai Tanah, Lokasi Terletak di
Kelurahan Cipinang Besar Utara
Jenis dinding di permukiman kumuh berat, kumuh sedang, kumuh ringan dan
kumuh sangat ringan adalah sebagai berikut: 58% berdinding tembok dan 28%
berdinding semi permanen, yaitu ½ tembok dan ½ triplek atau ½ tembok dan ½ seng
(Gambar 22). Rumah di permukiman kumuh ini umumnya berupa rumah petakan-
petakan kecil yang luasnya sudah dibagi-bagi berdasarkan jumlah kepala rumah
tangga.
34
Gambar 22. Jenis Dinding di Pemukiman Kumuh
Luas hunian tempat tinggal di pemukiman kumuh sangat bervariasi, dari luas
yang terkecil 3 m2 sampai yang terbesar 165 m
2, dan rata-rata luas tempat tinggal
adalah 20,4 m2. Secara umum, rumah yang berada di permukiman kumuh ini tidak
memiliki halaman rumah. Lebar jalan rata-rata yang terdekat dengan rumah adalah
sekitar 1m (Tabel 9).
Tabel 9.Rata-Rata Luas Rumah dan Lebar Jalan di Setiap Kategori Kumuh
Kategori Kumuh Luas rumah
(m2)
Lebar jalan
(m)
Kumuh Berat 10,18 0,76
Kumuh Sedang 26,86 1,18
Kumuh Ringan 19,50 0,82
Kumuh Sangat Ringan 25,00 0,98
Gambar 23. Lokasi Rumah Yang Dimanfaatkan Sebagai Warung di Kelurahan Cipinang
Besar Utara
Jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lain sangat dekat, berupa
lorong, dan tidak menyisakan ruang untuk bermain anak-anak. Beberapa rumah
tangga memanfaatkan rumah mereka sebagai warung harian seperti yang terlihat
35
pada Gambar 23. Kawasan berkategori kumuh berat memiliki rata-rata luas rumah
10,18 m2 dan lebar jalan terdekat dengan rumah adalah 0,76 m.
Berdasarkan hasil penarikan contoh, sebanyak 49% responden di
permukiman kumuh umumnya tinggal di rumah sewaan dan sebanyak 51% tinggal di
rumah sendiri. Pada umumnya masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh yang
menyewa ini adalah para migran yang datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan.
Dengan cara menyewa ini mereka dapat berpindah-pindah lokasi sesuai dengan
kebutuhannya, jarak lokasi pekerjaan serta harga sewa rumah. Sewa rumah
berdasarkan hasil wawancara dengan responden umumnya berkisar Rp. 200.000/
bulan. Jika nilai sewa terlalu tinggi umumnya migran akan mencari sewa rumah yang
lebih murah. Umumnya rumah yang mereka tempati belum mempunyai fasilitas
MCK sehingga pada lokasi ini terdapat MCK umum. Walaupun sebagian telah
mempunyai kamar mandi sendiri namun tidak dilengkapi dengan jamban, sehingga
mengharuskan penghuni permukiman kumuh untuk menggunakan fasilitas MCK
bersama (Gambar 24).
a.
b.
Gambar 24. MCK Umum (a) Terletak di Kelurahan Kampung Melayu, (b) Terletak di
Kelurahan Rawa Bunga
Buruknya kondisi rumah tinggal serta kepadatan bangunan yang sangat tinggi
menyebabkan rumah-rumah tidak memiliki sistem pertukaran udara segar atau
ventilasi yang baik sehingga ruang-ruang di dalamnya tidak mendapatkan sinar
matahari dan cenderung lembab. Berdasarkan data survei lapang, rata-rata rumah
yang memiliki ventilasi yaitu sekitar 1.31 atau kurang dari 2 jendela. Bentuk
ventilasi juga bermacam-macam, diantaranya berupa ventilasi kawat atau seng sesuai
dengan dinding rumah. Contoh ventilasi di permukiman kumuh disajikan pada
Gambar 25.
36
Gambar 25. Jenis Ventilasi yang Terletak di Lokasi Kelurahan Cipinang Besar Utara
5.2.3. Karakteristik Pendidikan dan Jenis Pekerjaan
Masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh umumnya adalah kaum
pendatang yang tidak terdidik. Berdasarkan hasil wawancara, sekitar 8 % masyarakat
di daerah kumuh tidak sekolah. Sebagian besar pemukim (42%) adalah tamatan SD,
sedangkan lulusan SMP sekitar 18%. Masyarakat berpendidikan SMA dan tingkat
yang sederajat sejumlah kurang lebih 30%, dan hanya 1% yang menamatkan
perguruan tinggi ( Gambar 26). Menurut Frota (2008) masyarakat miskin yang
tinggal di permukiman kumuh tidak memiliki pengetahuan, kemampuan keuangan
dan keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang lebih baik,
karena keterbatasan itu masyarakat miskin banyak bekerja di sektor informal.
Pekerjaan yang dipilih pada umumnya adalah buruh harian serta pedagang informal
(Gambar 27a).
Gambar 26. Tingkat Pendidikan Responden di Permukiman Kumuh di Daerah Penelitian
37
a.
b.
Gambar 27. (a) Jenis Pekerjaan Dan (B) Total Pendapatan di Permukiman Kumuh di
Daerah Penelitian
Kirmanto (2001) menyatakan bahwa sebagian besar pekerjaan penghuni
lingkungan permukiman kumuh adalah sektor informal yang tidak memerlukan
keahlian tertentu, misalnya sebagai buruh kasar atau kuli bangunan. Oleh karena itu,
tingkat penghasilan pemukim sangat terbatas dan tidak mampu menyisihkan
penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan permukiman. Akibatnya terjadi
degradasi kualitas lingkungan yang pada gilirannya memperluas area permukiman
kumuh.
Pendapatan masyarakat di permukiman kumuh yang tertinggi adalah sebesar
Rp 25.970.000 per tahun, dihasilkan oleh penduduk yang berprofesi sebagai supir,
sedangkan pendapatan paling rendah sebesar Rp. 10.100.000 per tahun dihasilkan
oleh masyarakat yang berprofesi sebagai pemulung (Gambar 27b). Rata-rata ibu
rumah tangga pada permukiman kumuh bekerja sebagai buruh cuci dan buruh
setrika. Lokasi pekerjaan mereka berada di sekitar lingkungan tempat tinggal.
5.3. Faktor Penciri Kekumuhan
Identifikasi penciri kekumuhan ditelaah dengan menggunakan sembilan
peubah yaitu: asal, pendidikan, pekerjaan, lokasi rumah, cara buang sampah, skor
kualitas rumah, skor polusi, luas rumah, dan lebar jalan terdekat dengan rumah, hasil
analisis faktor penciri kekumuhan dapat dilihat pada Lampiran 3. Peubah tersebut
dipilih sesuai dengan penciri kekumuhan yang dirumuskan oleh Dinas Perumahan
DKI Jakarta. Untuk mengetahui faktor penciri pemukiman kumuh tersebut
digunakan metode analisis Kuantifikasi Hayashi II. Dari proses analisis didapatkan
hasil bahwa peubah yang memiliki nilai yang nyata adalah peubah asal, lokasi
rumah, luas rumah, dan lebar jalan terdekat dengan rumah dengan eta-square yang
diperoleh sebesar 0,805 pada selang kepercayaan 95%. Berikut adalah ringkasan
hasil analisis faktor penciri kekumuhan yang disajikan pada Tabel 10.
38
Tabel 10. Ringkasan Hasil Analisis Kuantifikasi Hayasi II
Peubah Koefisien Skor Kategori
Positif Negatif
Asal Jabodetabek Banten
Luar Jawa Jawa
Yogyakarta
Lokasi Rumah Dekat Pasar Dekat Sungai
Dekat Jalan Raya
Luas Rumah 26-52 m2 0-26 m2
>52 m2
Lebar Jalan >1 0-1
Berdasarkan nilai skor kategori peubah asal daerah, diketahui bahwa orang
yang berasal dari Banten, Jawa, dan Yogyakarta berada di kawasan kumuh berat, dan
orang yang berasal dari luar Jawa seperti dari Sumatera tinggal di kawasan kumuh
sedang. Hasil identifikasi lapang menunjukkan bahwa rata- rata masyarakat yang
tinggal di permukiman kumuh adalah pendatang yang sudah tinggal di permukiman
tersebut selama kurang lebih 24 tahun.
Berdasarkan nilai korelasi parsial yang terlihat pada Lampiran 3, peubah
lokasi rumah adalah peubah yang paling berpengaruh terhadap faktor penciri
kekumuhan. Lokasi kumuh berat berasosiasi dengan kedekatan terhadap sungai.
Kondisi rumah yang berada di dekat sungai umumnya rumah bersifat semi
permanen. Sedangkan kondisi rumah yang lebih baik berada di dekat jalan raya.
Kategori luas rumah juga berpengaruh nyata terhadap tingkat kekumuhan.
Dari sebaran nilai skor kategori, terindikasi bahwa semakin sempit luas rumah maka
kecenderungan berada di kawasan permukiman kategori kumuh berat. Ukuran rumah
yang terkecil yang ditempati oleh masyarakat di permukiman kumuh adalah rumah
dengan ukuran 3x3 m2 yang berupa rumah petakan.
Kategori lebar jalan sebagaimana dihipotesiskan teruji terkait erat dengan
tingkat kekumuhan. Semakin kecil lebar jalan lingkungan dimana satu rumah berada,
maka semakin besar peluang rumah tersebut berada di kawasan berkategori kumuh
berat. Dalam hal ini lebar tersempit adalah sekitar 0-1 meter. Sebaliknya di kawasan
kumuh ringan sampai dengan sedang kondisi jalan terdekat dengan rumah sudah
cukup baik yaitu lebih dari 1 m.
5.4. Mobilitas Masyarakat di Permukiman Kumuh
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di permukiman kumuh
dapat diketahui bahwa tingkat mobilitas masyarakat di pemukiman kumuh relatif
39
rendah. Hal ini terlihat dari semua aktivitas yang mereka lakukan tidak jauh dari
lokasi tempat tinggal. Penduduk permukiman umumnya melakukan aktivitas sehari-
hari seperti belanja, bekerja, pendidikan formal maupun informal di kawasan dekat
tempat tinggal. Sebagian dari masyarakat pemukiman kumuh yang tinggal di
Kecamatan Jatinegara melakukan aktivitas di sekitar Kecamatan Jatinegara (367
perjalanan dari total 863 perjalanan), demikian juga dengan masyarakat pemukiman
kumuh yang berada di Kelurahan Bukit Duri.
Mobilitas yang paling jauh dilakukan adalah keluar wilayah Jabodetabek,
masyarakat di permukiman kumuh melakukan mobilitas ini untuk tujuan silaturahmi
atau mudik saat lebaran tiba. Peta mobilitas masyarakat di permukiman kumuh dapat
dilihat pada Gambar 28 serta jumlah perjalanan dapat dilihat pada Lampiran 2.
690000
690000
695000
695000
700000
700000
705000
705000
710000
710000
715000
715000
9295000 9295000
9300000 9300000
9305000 9305000
9310000 9310000
9315000 9315000
9320000 9320000
9325000 9325000
Peta Mobilitas Masyarakat
Permukiman Kumuh
U
2000 0 20004000 M
Keterangan
Mobilitas dari Jatinegarake Jakarta Timur Lainya
Mobilitas dari Jatinegarake Jakarta SelatanMobilitas dari Jatinegarake Jakarta Pusat
Mobilitas dari Jatinegarake Jakarta Barat
Mobilitas dari Jatinegarake BodetabekMobilitas dari Jatinegarake Jawa dan Luar Jawa
Jalan Arteri/UtamaJalan Kereta Api
Jalan KolektorJalan Tol Nasional
Mobilitas dari Jatinegara ke Jakarta Utara
JAKARTA SELATAN
JAKARTA UTARA
JAKARTA PUSAT
JAKARTA BARAT
JAKARTA TIMUR
BEKASI
BOGOR
TANGERANG
Gambar 28. Peta Mobilitas Masyarakat di Permukiman Kumuh Kecamatan Jatinegara
5.4.1. Faktor Yang Mempengaruhi Mobilitas
Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi mobilitas masyarakat di
permukiman kumuh, digunakan metode analisis Kuantifikasi Hayashi I. Dari analisis
tersebut didapatkan nilai R2
sebesar 0,605. Hal ini menunjukkan bahwa peubah yang
digunakan dapat menjelaskan 60,5% keragaman data frekuensi kegiatan yang ada di
40
kawasan permukiman kumuh. Disamping itu, hasil tersebut juga menunjukkan
masih terdapat kurang lebih 39,5% ragam yang tidak dapat dijelaskan dari metode
yang digunakan. Hal tersebut dapat bersumber dari adanya beberapa faktor penting
lainnya yang belum dapat diintegrasikan dalam penelitian ini.
Hubungan antara peubah tujuan dengan peubah penjelas dapat dilihat dari
nilai skor kategori. Apabila nilai skor kategori peubah penjelas bertanda negatif
maka hal tersebut menunjukkan bahwa peubah penjelas tersebut berkorelasi negatif
terhadap peubah tujuan dan mengindikasikan bahwa peubah penjelas tersebut
mempunyai frekuensi kegiatan yang rendah. Sebaliknya, apabila nilai skor kategori
peubah penjelas bertanda positif maka peubah penjelas tersebut berkorelasi positif
terhadap peubah tujuan dan menggambarkan bahwa skor kategori pada peubah
penjelas mempunyai frekuensi kegiatan yang tinggi. Nilai skor kategori dari peubah-
peubah penjelas terhadap frekuensi kegiatan disajikan pada Lampiran 4.
Tabel 11 menyajikan ringkasan hasil analisis Hayashi I untuk
mengidentifikasi peubah yang secara statistik nyata pada α= 0,05 mempengaruhi
mobilitas penduduk di permukiman kumuh. Peubah-peubh tersebut adalah jumlah
kegiatan, pendidikan, alat transportasi, tujuan kegiatan, lokasi kegiatan, pekerjaan
dan pekerjaan lain. Seluruh peubah tersebut memiliki nilai korelasi parsial lebih
tinggi dari nilai kritis yaitu sebesar 0,231. Pada α= 0,1 peubah yang nyata adalah
peubah asal daerah. Peubah-peubah tersebut memiliki korelasi parsial lebih tinggi
dari nilai kritis yaitu sebesar 0,195.
Tabel 11. Ringkasan Hasil Analisis Kuantifikasi Hayashi I
Keterangan Peubah
Nyata Pada α= 0,05 Jumlah kegiatan
Pendidikan
Alat transportasi
Tujuan kegiatan
Lokasi kegiatan
Pekerjaan
Ada/tidak pekerjaan lain
Nyata Pada α= 0,1 Asal daerah
R2 0,621
5.4.1.1.Keterkaitan Karakteristik Pelaku Dengan Mobilitas Masyarakat
Permukiman Kumuh
Masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh umumnya adalah masyarakat
miskin yang tak terdidik. Mayoritas penghuni permukiman kumuh tersebut adalah
pendatang yang mencari pekerjaan. Tingkat pendidikan masyarakat pemukim ini
41
rendah, yaitu mayoritas tingkat SD, bahkan ada yang tidak pernah sekolah.
Rendahnya pendidikan masyarakat mengakibatkan terbatasnya alternatif pekerjaan.
Pilihan pekerjaan untuk masyarakat berpendidikan rendah tersebut adalah sektor
informal seperti buruh. Oleh karena itu, sebagaimana disampaikan pada bagian
sebelumnya sedikit diantara penghuni permukiman kumuh yang mempunyai
pekerjaan lebih dari satu jenis.
Gambar 29 menjelaskan hubungan antara tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,
ada tidaknya pekerjaan lain serta asal daerah terhadap frekuensi kegiatan masyarakat
di permukiman kumuh berdasarkan hasil wawancara dengan responden.
(a).
(b).
(c).
(d).
Gambar 29. Hubungan Antara Kategori (A) Tingkat Pendidikan, (B) Jenis Pekerjaan, (C)
Pekerjaan Lain, (D) Asal Daerah Dengan Rataan Frekuensi Kegiatan
Berdasarkan hasil analisis Kuantifikasi Hayashi 1, peubah tingkat pendidikan
berkorelasi posisif dengan frekuensi kegiatan. Hal tersebut ditunjukkan oleh tingkat
pendidikan SD, SMP, S1 yang berkorelasi positif dengan frekuensi kegiatan,
sedangkan tingkat pendidikan SMA dan tidak sekolah berkorelasi negatif dengan
frekuensi perjalanan. Jika dilihat pada Gambar 29a terlihat bahwa penduduk dengan
tingkat pendidikan SMA dan tidak sekolah memiliki rata-rata mobilitas tahunan
terendah dibandingkan dengan tingkat pendidikan lainnya. Dilihat dari jumlah
frekuensi responden di wilayah contoh, diketahui bahwa mayoritas penduduk (112
responden) berpendidikan SD.
42
Pada hasil analisis selanjutnya ditunjukkan bahwa kelompok penduduk ibu
rumah tangga dan pemulung mempunyai nilai skor yang berkorelasi negatif dengan
frekuensi kegiatan. Fenomena tersebut menunjukkan fakta bahwa ibu rumah tangga
dan pemulung secara relatif lebih sedikit melakukan aktivitas. Dari data responden
yang ditunjukkan pada Gambar 29b terlihat bahwa ibu rumah tangga mempunyai
frekuensi kegiatan yang paling kecil. Aktifitas ibu rumah tangga umumnya dilakukan
di sekitar rumah seperti berbelanja atau beberapa diantaranya bekerja sebagai buruh
cuci di lingkungan tempat tinggal. Berdasarkan hasil analisis, jenis pekerjaan dengan
aktivitas terbanyak adalah sekolah karena dilakukan setiap hari.
Peubah pekerjaan lain berkorelasi positif dengan frekuensi kegiatan. Dari
nilai skor, diketahui bahwa adanya pekerjaan lain berkorelasi positif dengan
frekuensi kegiatan, sedangkan tidak adanya pekerjaan lain akan berkorelasi negatif.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya pekerjaan lain menyebabkan masyarakat
banyak melakukan aktivitas setiap harinya, sedangkan tidak adanya pekerjaan lain
menyebabkan sedikitnya aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat di permukiman
kumuh.
Selanjutnya, peubah asal daerah berkorelasi positif terhadap frekuensi
kegiatan. Sebagian besar responden adalah penduduk asli Jakarta (98 responden) dan
migran Jawa Tengah (87 responden). Berdasarkan pola aktifitas responden
berdasarkan asal daerah yang ditunjukkan pada Gambar 29d, terlihat bahwa
masyarakat yang berasal dari Sumatera, Jawa Timur dan Yogyakarta lebih aktif
melakukan kegiatan dibandingkan dengan penduduk yang berasal dari daerah lain.
5.4.1.2.Aktivitas Masyarakat Permukiman Kumuh dan Moda Transportasi
Dari hasil analisis kuantifikasi Hayashi I yang ditunjukkan pada Tabel
Lampiran 3, diketahui bahwa peubah jumlah kegiatan paling berpengaruh nyata
terhadap frekuensi kegiatan. Pada nilai skor kategori ditunjukkan bahwa penduduk
yang melakukan mobilitas lebih dari tiga kali dalam sehari cenderung mempunyai
frekuensi kegiatan yang tinggi yaitu 102. Hal ini diduga disebabkan oleh jenis
kegiatan yang lebih beragam. Dari hasil wawancara yang disajikan pada Gambar 30a
terlihat bahwa semakin banyak jumlah kegiatan maka semakin banyak frekuensi
kegiatan yang dilakukan.
Selanjutnya dari Tabel Lampiran 4 diketahui bahwa aktifitas rekreasi
berkorelasi negatif dengan frekuensi kegiatan. Kegiatan berekreasi jarang dilakukan
oleh masyarakat di permukiman kumuh, namun dilakukan oleh hampir seluruh
responden. Pada Gambar 30b terlihat bahwa frekuensi kegiatan rekreasi paling rendah
43
dibandingkan dengan frekuensi kegiatan yang lain. Hal ini karena terbatasnya
penghasilan dan tidak adanya waktu untuk melakukan kegiatan tersebut. Kegiatan
rekreasi ini dilakukan setahun sekali pada saat libur sekolah atau libur nasional
seperti hari raya. Lokasi yang dipilih untuk rekreasi ini adalah lokasi yang biayanya
terjangkau seperti Kebun Binatang Ragunan, Monumen Nasional, Taman Mini
Indonesia Indah, serta Pantai Ancol.
a.
b.
c.
d.
Gambar 30. Hubungan Antara (a) Jumlah Kegiatan, (b) Tujuan Kegiatan, (c) Lokasi
Kegiatan, (d) Alat Transportasi Dengan Rataan Frekuensi Kegiatan
Berikutnya, dari nilai skor diketahui bahwa kegiatan belanja paling
berpengaruh terhadap peningkatan frekuensi kegiatan. Kegiatan belanja dilakukan
oleh hampir seluruh responden. Jika dilihat dari data responden pada Gambar 30b
terlihat bahwa rata-rata frekuensi belanja sekitar 239 kali. Berdasarkan hasil
wawancara dengan responden hanya sebagian ibu rumah tangga yang melakukan
kegiatan ini setiap harinya. Beberapa diantara ibu rumah tangga melakukan kegiatan
belanja seminggu 3 kali, bahkan ada yang melakukannya hanya sebulan sekali.
Frekuensi belanja ibu rumah tangga tersebut menyesuaikan dengan kondisi keuangan
rumah tangganya.
Selanjutnya dilakukan analisis karakterisasi masyarakat permukiman kumuh
berdasarkan tujuan kegiatan. Berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa tujuan
lokasi kegiatan dengan frekuensi tertinggi adalah Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah).
44
Fenomena ini menunjukkan banyaknya masyarakat memilih Jawa sebagai tujuan
kegiatan yang terkait dengan asal dari penduduk di permukiman contoh. Jika dilihat
dari nilai skor kategori maka Jawa berkorelasi negatif dengan frekuensi kegiatan.
Indikasi ini menunjukkan bahwa tujuan ke daerah tersebut sangat jarang dilakukan,
umumnya dilakukan hanya satu kali dalam setahun pada saat mudik lebaran. Pada
Gambar 30c ditunjukkan lokasi yang sering menjadi tujuan kegiatan adalah lokasi
yang terdekat dengan tempat tinggal seperti di daerah kecamatan Jatinegara atau
beberapa kecamatan lain di wilayah Jakarta timur.
Alat transportasi berkorelasi positif dengan frekuensi kegiatan. Dalam hal ini
jenis alat transportasi sepeda dan jalan kaki merupakan yang terbanyak. Hal ini
dikarenakan lokasi kegiatan penghuni umumnya di sekitar lokasi tempat tinggal.
Terdapat masyarakat di permukiman kumuh yang mempunyai mobil sendiri.
Kendaraan tersebut merupakan sarana usaha catering dan dijadikan sebagai
kendaraan sewaan. Beberapa diantaranya juga memiliki sepeda motor untuk ojek.
5.4. Rencana Tata Ruang Wilayah dan Sebaran Permukiman Kumuh
Rencana tata ruang wilayah merupakan wadah spasial dari seluruh aspek
pembangunan termasuk ekonomi dan sosial budaya. Dengan kata lain penataan ruang
merupakan rencana implementasi dari keterpaduan pembangunan di berbagai bidang.
Menurut Direktur Jendral Penataan Ruang, jumlah penduduk perkotaan yang terus
meningkat dari waktu ke waktu akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan
terhadap pemanfaatan ruang kota. Oleh karena itu, penataan ruang kota perlu
mendapatkan perhatian yang khusus, terutama yang terkait dengan penyediaan
kawasan hunian, fasilitas umum, dan sosial serta ruang-ruang terbuka publik di
perkotaan.
Kawasan bangunan umum merupakan kawasan yang diarahkan dan
diperuntukkan bagi pengembangan perkantoran, perdagangan jasa, pemerintahan dan
fasilitas umum atau fasilitas sosial beserta penunjangnya dengan koefisien dasar
bangunan lebih besar dari 20%. Sedangkan kawasan bangunan umum kepadatan
rendah adalah kawasan bangunan umum yang secara keseluruhan koefisien dasar
bangunannya maksimum 20%. Berdasarkan hasil operasi tumpang tindih antara
sebaran permukiman kumuh di wilayah Jakarta Timur dan RTRW wilayah tersebut
diketahui bahwa di area peruntukkan kawasan bangunan umum sebagaimana
disajikan pada Tabel 12, terdapat kurang lebih 1,30 hektar lahan yang dimanfaatkan
untuk permukiman kumuh, dan sekitar 5,34 hektar lahan pada peruntukan bangunan
umum kepadatan rendah ditempati oleh permukiman kumuh. Secara keseluruhan
45
kawasan kumuh adalah sebesar 36,81 hektar yang menyebar di seluruh peruntukan
lahan perkotaan.
Arahan pembangunan perumahan dalam RTRW Jakarta Timur Tahun 2010
terbagi atas perumahaan, perumahan kepadatan rendah serta campuran perumahan
dengan bangunan umum. Dari Tabel 12 terlihat bahwa kawasan permukiman kumuh
(11,14 Ha) terletak pada peruntukan lahan untuk kawasan perumahan yang
merupakan suatu kawasan yang diarahkan dan diperuntukkan bagi pengembangan
permukiman dengan koefisien dasar bangunan lebih besar dari 20%. Perumahan
dengan kepadatan rendah merupakan kawasan yang memiliki fungsi konservasi
sehingga kepadatan rendah dan ketinggian bangunannya dibatasi untuk
mengakomodasi fungsi resapan air, fungsi daerah penyangga, dan fungsi ruang
terbuka hijau.
Tabel 12. Luas Permukiman Kumuh Pada Berbagai Peruntukan Lahan Rencana
Tata Ruang Wilayah Jakarta Timur Tahun 2010.
Penggunaan Lahan Pada RTRW Kumuh
(Ha)
Tidak
Kumuh
(Ha)
Bangunan Umum 1,30 896,33
Bangunan Umum dan Perumahan 1,15 322,19
Bangunan Umum Kepadatan Rendah 5,34 1430,39
Industri dan Pergudangan 2,19 1754,89
Perumahan 11,14 7301,84
Perumahan Kepadatan Rendah 1,35 2103,14
Ruang Terbuka Hijau 14,34 5256,17
Total 36,81 19064,95
Permukiman kumuh terbanyak berada pada peruntukkan lahan ruang terbuka
hijau yaitu sekitar 14,34 hektar. Ruang terbuka hijau merupakan suatu kawasan atau
areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi
perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana kota/lingkungan, dan atau pengaman
jaringan prasarana dan atau budidaya pertanian yang difungsikan sebagai peresapan
air dan menghasilkan oksigen.
Kawasan permukiman kumuh, yang lokasinya sesuai dengan rencana tata
ruang, berada di kawasan perumahan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk dan
bangunan yang sangat tinggi. Penanganan yang sesuai dilakukan untuk kasus
tersebut adalah program peremajaan seperti yang dijelaskan pada undang-undang tata
ruang yang terkait dengan UU No 4 tahun 1992 Tentang Perumahan dan
Permukiman. Kemudian untuk kawasan kumuh yang berada di daerah yang tidak
46
sesuai dengan rencana tata ruang, berada di lokasi yang berbahaya/ terlarang seperti
di ruang terbuka hijau, bantaran kali, dan rel kereta api, penangannya dilakukan
dengan program re-lokasi ke rumah susun terdekat dari lokasi semula, ganti rugi
yang layak, program transmigrasi, dan dikembalikan ke daerah asal.
Hal- hal yang perlu diperhatikan dalam peremajaan kawasan permukiman
kumuh menurut dinas tata kota DKI Jakarta adalah sebagai berikut :
Mengupayakan dan mengakomodasikan serta dapat mengembangkan
keberagaman lapangan kerja di sektor formal maupun sektor informal secara
proporsional.
Kedekatan dengan tempat kerja/berusaha
Menciptakan rasa tempat (sense of place) dengan cara mempertahankan
karakter lokal, baik yang menyangkut aspek alamiah (pantai, topografi)
maupun aspek lingkungan binaan (bangunan atau bersejarah, landmark)
Pemenuhan kebutuhan fasilitas sosial, fasilitas umum, ruang terbuka, tempat
bermain sebagai sarana untuk kontak sosial atau interaksi sosial penghuni.
Pembenahan sistem transportasi, jejaring infrastruktur.
Untuk mengurangi penduduk musiman yang mencari nafkah di DKI Jakarta
diusulkan agar perlu disediakan bangunan rumah susun sewa yang murah
sebagai upaya mengantisipasi tumbuh dan berkembangnya kawasan-kawasan
permukiman kumuh yang baru.
Isu dan permasalahan yang teridentifikasi dalam penataan ruang terkait
dengan pembangunan perumahan dan permukiman yang dikemukakan oleh Idris
(2004) adalah
Pemanfaatan lahan perumahan dan permukiman belum sepenuhnya mengacu
pada RTRW, serta masih berorientasi pada pengembangan yang sifatnya
horizontal seperti pada kasus kota metropolitan dan kota besar sehingga
cenderung menciptakan urban spraw dan inefisiensi pelayanan prasarana dan
sarana.
Izin lokasi pemanfaatan lahan perumahan dan permukiman melebihi
kebutuhan nyata, sehingga meningkatkan luas area lahan tidur (vacant land).
Pola pemanfaatan lahan perumahan dan permukiman belum memberikan rasa
keadilan kepada penduduk berpenghasilan rendah, sehingga selalu tersingkir
keluar kota dan jauh dari tempat kerja. Sementara tuntutan pemberdayaan dan
keberpihakkan pada masyarakat tersebut semakin besar.
Pemanfaatan ruang untuk perumahan dan permukiman belum serasi dengan
pengembangan kawasan fungsional lainnya (seperti kawasan kritis, nelayan,
47
rawan, terbelakang, dsb) atau dengan program-program sektor/ fasilitas
pendukung lainnya.
Ketidakseimbangan pembangunan desa–kota, serta meningkatnya urbanisasi
yang mengakibatkan permukiman kumuh dan berkembangnya masalah sosial
di kawasan perkotaan.
Gambar 31 menyajikan peta rencana tata ruang wilayah studi dan lokasi
permukiman kumuh pada peruntukkan lahan dalam rencana tata ruang wilayah tahun
2010.
48
704000
704000
706000
706000
708000
708000
710000
710000
712000
712000
714000
714000
716000
716000
718000
718000
9296000
9296000
9298000
9298000
9300000
9300000
9302000
9302000
9304000
9304000
9306000
9306000
9308000
9308000
9310000
9310000
9312000
9312000
9314000
9314000
9316000
9316000
9318000
9318000
PETA RENCANA TATA RUANG WILAYAH
KOTAMADYA JAKARTA TIMUR 2010
U
TB
S
1000 0 1000 2000 M
Sumber : Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta
JAKARTA UTARA
JAKARTA BARAT
JAKART A SELAT AN
JAKART A PUSAT
JAKARTA TI MU R
JAKARTA SELATAN
JAKARTA UTARA
JAKARTA PUSAT
KODYA
BEKASI
KAB
BEKASI
JAKARTA SELATAN
Bangunan UmumBangunan Umum Kepadatan RendahBangunan Umum dan PerumahanIndustri dan PergudanganPerumahanPerumahan Kepadatan RendahRuang Terbuka Hijau
Kawasan KumuhLEGENDA
Gambar 31. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta Timur 2010 Dan Lokasi Permukiman Kumuh Pada Peruntukan Lahan Dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah