Post on 16-Jan-2016
description
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat faktor pembekuan darah
yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recesive pada kromosom X (Xh).
Meskipun Hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 20-30%
pasien tidak memiliki riwayat pembekuan darah, sehingga diduga terjadi
mutasi spontan akibat lingkungan endogen ataupun eksogen (Rotty, 2009).
Sampai saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-
linked recesive, yaitu:
a. Hemofilia A (hemofilia klasik), akibat defisiensi atau disfungsi factor
pembekuan VIII (F VIIIc_)
b. Hemofilia B (Christmas Disease) akibat defisiensi atau disfungsi F IX
(Faktor Christmas)
c. Hemofilia C merupakan penyakit pendarahan akibat kekurangan factor XI
yang diturunkan secara autosomal recessive pada kromosom 4q32q35.
Gen F VIII dan F IX terletak pada kromosom X serta bersifat resisf,
maka penyakit ini dibawa oleh perempuan (karier XXh) dan bermanifestasi
klinis pada laki-laki (pasien XhY), dapat bermanifestasi klinis pada
perempuan bila kedua kromosom X pada perempuan terdapat kelainan
(XhXh). (Rotty, 2009).
Penyakit ini pertama kali dikenal pada keluarga Judah yaitu sekitar
abad ke-2 sesudah masehi di Talmud. Pada awal abad ke-19 sejarah modern
hemofilia baru dimulai dengan dituliskannya silsilah keluarga Kerajaan
Inggris mengenai penyakit ini oleh Otto (1803).sejak itu hemofilia dikenal
sebagai kelainan pembekuan darah yang diturunkan secara sex-linked
recesive,, sekitar setengah abad sebelum hokum Mandel diperkenalkan.
1
Selanjutnya Legg pada tahun 1872 berhasil membedakan hemofilia dari
penyakit gangguan pembekuan darah lainnya berdasarkan gejala klinis, yaitu
berupa kelainan yang diturunkan dengan kecenderungan perdarahan otot serta
sendi yang berlangsung seumur hidup. Pada permulaan abad 20, hemofilia
masih didiagnosis berdasarkan riwayat keluarga dan gangguan pembekuan
darah. Pada tahun 1940-1950 para ahli baru berhasil mengidentifikasi
defisiensi F VIII dan F IX pada hemofilia A dan hemofilia B. pada tahun 1970
berhasil diisolasi FVIII dari protein pembawanya di plasma, yaitu factor von
Willebrand (F vW), sehingga sekarang dapat dibedakan kelainan perdarahan
akibat hemofilia A dengan penyakit von Willebrand (Rotty, 2009).
Memasuki abad 21, pendekatan diagnostic dengan teknologi yang
maju serta pemberian factor koagulasi yang diperlukan mampu membawa
pasien hemofilia melakukan aktivitas seperti orang sehat lainnya tanpa
tambahan.
Pada abad ke 20, pada dokter terus mencari penyebab timbulnya
hemofilia. Hingga mereka percaya bahwa pembuluh darah dari penderita
hemofilia mudah pecah. Kemudian pada tahun 1937, dua orang dokter dari
Havard, Patek dan Taylor, menemukan pemecahan masalah pada pembekuan
darah, yaitu dengan menambahkan suatu zat yang diambil dari plasma dalam
darah (Gugun. 2007).
2
B. Tujuan
1. Mengetahui definisi hemofilia
2. Mengetahui epidemiologi hemofilia
3. Mengetahui etiologi hemofilia
4. Mengetahui patomekanisme hemofilia
5. Mengetahui patofisiologi hemophilia
6. Mengetahui penegakan diagnosis hemophilia
7. Mengetahui Penatalaksanaan hemophilia
8. Mengetahui Prognosis hemophilia
3
BAB IIISI
A. Definisi Hemofilia
Hemofilia adalah kelainan genetik pada darah yang disebabkan adanya
kekurangan faktor pembekuan darah. Hemofilia A timbul jika ada kelainan
pada gen yang menyebabkan kurangnya faktor pembekuan VIII (FVIII).
Sedangkan, hemofilia B disebabkan kurangnya faktor pembekuan IX (FIX).
Hemofilia A dan B tidak dapat dibedakan karena mempunyai tampilan klinis
yang mirip dan pola pewarisan gen yang serupa.
Hemofilia adalah salah satu penyakit genetik tertua yang pernah
dicatat. Kelainan perdarahan yang diturunkan yang terjadi pada seorang laki-
laki tercatat dalam berkas Talmud pada Abad Kedua.Sejarah modern dari
hemofilia dimulai pada tahun 1803 oleh John Otto yang menerangkan adanya
anak yang menderita hemofilia.Pada tahun 1820, untuk pertama kalinya
dilakukan ulasan tentang hemofilia oleh Nasse.Pembuktian adanya kecacatan
pada proses pembekuan darah pada hemofilia dilakukan oleh Wright pada
tahun 1893.Namun, faktor VIII (FVIII) belum teridentifikasi hingg tahun
1937 ketika Patek dan Taylor berhasil mengisolasi faktor pembekuan dari
darah, yang saat itu disebut sebagai faktor antihemofilia (AHF).
Normalnya ada 13 faktor pembekuan darah, penderita hemofilia
kekurangan factor VIII dan IX. Hemofilia terbagi atas :
1. Hemofilia A
Merupakan hemofilia klasik dan terjadi karena defisiensi faktor VIII.
Sekitar 80% kasus hemofilia adalah hemofilia A.
2. Hemofilia B
Terjadi karena defisiensi faktor IX. Faktor IX diproduksi hati dan
merupakan salah satu faktor pembekuan dependen vitamin K. Hemofilia
B merupakan 12-15% kasus hemofilia
4
B. Epidemiologi Hemofilia
Penyakit Hemofilia merupakan penyakit keturunan yang
bermanifestasi Klinik pada Laki-laki. Hemofilia merupakan penyakit resesif
kromosom X akibat defisiensi Faktor VIII dan Faktor IX. Kejadian Penyakit
Hemofilia A lebih sering ditemui dibandingkan Hemofilia B. Sekitar 1:
10.000 orang untuk Hemofilia A dan 1 : 25.000-30.000 orang untuk
Hemofilia B.
Di Indonesia diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200 juta
penduduk, dan masih didominasi oleh Hemofilia A sekitar 80-85 % dengan
10-15% merupakan kasus Hemofilia B dengan tidak memandang ras,
geografi, dan keadaan sosial ekonomi.
Sementara di Amerika, terdapat 1 kasus dari 10.000 anak laki laki. Dengan 4
sampai 5 kasusnya merupakan defisiensi faktor VIII (Hemofilia A atau
Hemofilia Klasik).
C. Etiologi Hemofilia
Hemofilia A dan hemofilia B disebabkan oleh kerusakan pada
pasangan kromosom. Defek genetic ini berpengaruh pada produksi dan fungsi
dari faktor pembekuan. Semakin sedikit faktor pembekuan tersebut maka
semakin berat derajat hemofili yang diderita. Hemofilia A (Hemofilia klasik)
disebabkan oleh kelainan produksi dari faktor VIII. Hemofilia B akibat
defesiensi atau disfungsi F IX.
Meskipun hemofilia merupakan penyakit genetik , hemofilia dapat
timbul secara spontan ketika kromosom yang normal mengalami abnormalitas
(mutasi) yang berpengaruh pada gen untuk faktor pembukaan VIII atau IX.
Anak mewarisi mutasi tersebut dapat lahir dengan hemofilia atau dapat juga
sebagai carrier.
Sementara itu untuk hemofilia C disebabkan defisiensi kongenital
faktor XI yang disebabkan mutasi gen faktor XI yang diturunkan secara
5
autosomal recessive pada kromosom 4q32q35. Hal ini dapat terlihat dari 6
orang Ashkenazi jewish,dimana pada pasien hemofilia C tersebut terlihat
adanya mutasi gen faktor XI .Akibat dari mutasi ini terjadi kegagalan
produksi protein aktif yang berikatan dengan disfungsi molekul faktor
pembekuan.
D. Patomekanisme Hemofilia
Skema 1. Bagan Patomekanisme
Pada Hemofili, mekanisme pembekuan darah tidak normal karena kekurangan
faktor pembekuan darah yang diturunkan. Hemofili secara umum dibagi menjadi 2,
yaitu hemofili A (defisiensi fungsi faktor pembekuan VIII), dan Hemofili B
(defisiensi factor IX (Christmas).
6
Berikut gambar perkawinan silang pada penderita hemofilia:
Gambar 1. Perkawinan silang penderita hemofili
Pria penderita hemofilia berkromoson XhY yang menikah dengan
wanita normal akan menghasilkan keturunan dengan kemungkinan 50%
perempuan karier dan 50% laki – laki normal. Sedangkan wanita karier yang
menikah dengan pria normal akan menghasilkan keturunan dengan masing –
masing perbandingan / kemungkinan 25%. Baik perempuan normal, karier,
maupun laki – laki normal dan karier. Namun manifestasi klinis mayoritas
terjadi pada laki – laki karena hanya memiliki 1 kromosom X dari Ibunya
yang karier.
Pada hemofilia A dan B, selain karena faktor herediter melalui sex
linked recessive, dapat terjadi pula akibat mutasi spontan gen yang disebabkan
karena berbagai faktor. Mutasi spontan merupakan mutasi yang terjadi pada
aktivitas gen normal terutama saat replikasi DNA (Erlod, 2007). Penyebab
mutasi spontan ini antara lain seperti rekombinasi, maupun kesalahan saat
meiosis dan mitosis. Penyebab karena rekombinasi diakibatkan dari masuknya
7
gen – gen lain dari luar ke molekul ADN. Jenis rekombinasi yang
menyebabkan mutasi spontan mayoritas adalah rekombinasi homolog (Sujadi,
2007).
Sedangkan kesalahan meiosis dan mitosis disebabkan karena gangguan
ketika kromosom digandakan dan tidak dapat bersinapsis dengan baik (Sujadi,
2007).
Selain itu, mutasi juga dapat disebabkan faktor rangsangan dari luar,
baik alami maupun buatan. Faktor alami antara lain karena radiasi, panas,
radiasi sinar kosmis maupun radiasi unsur radioaktif alam. Sedangkan mutasi
secara buatan disebabkan dari prangsangan yang dilakukan oleh manusia
dengan tujuan tertentu. Baik tujuan memperoleh genetik baru maupun karena
penelitian genetika (Sujadi, 2007).
E. Patofisiologi Hemofilia
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter, bermanifestasi
dalam perdarahan intermiten. Hemofilia disebabkan oleh mutasi gen faktor
VIII atau faktor IX, dikelompokkan sebagai hemofilia A dan hemofilia B.
kedua gen tersebut penyakit resesif terkait-X (Ginsberg, 2000 dalam Price,
2005). Dua jenis hemofilia yang secara klinis identik adalah: hemofilia klasik
atau hemofilia A, yang ditemukan adanya defisiensi, kesalahan pengkodean
gen, atau tidak adanya aktifitas faktor antihemofilia VIII, dan penyakit
Christmas, atau hemofilia B yang ditemukan adanya defisiensi atau tidak
adanya aktivitas faktor IX. Tanpa faktor VIII maupun IX, jalur koagulasi
intrinsic terganggu dan terjadi perdarahan hebat dari luka kecil atau robekan
mikrovaskular.
8
Skema 2. Pembekuan darah
Hemofilia diklasifikasikan sebagai berat, ringan, dan sedang. Berat
dengan kadar aktivitas faktor kurang dari 1%. Sedang dengan kadar aktivitas
diantara 1%-5%. Ringan jika kadar aktivitas 5% atau lebih. Penghambat
antibody yang ditujukan untuk faktor koagulasi spesifik terjadi pada 5%-10%
pasien dengan defisiensi faktor VIII dan lebih jarang pada faktor IX.
Manifestasi klinis meliputi perdarahan jaringan lunak, otot, dan sendi,
terutama sendi yang menopang badan, disebut hemartrosis (perdarahan sendi).
Perdarahan berulang ke dalam sendi menyebabkan degenerasi kartilago
artikularis disertai gejala-gejala arthritis (Corwin, Elizabeth J. 2009).
9
Hemofilia A terjadi atas kecacatan dasar defisiensi factor VIII
antihemophlic faktor (AHF). Hati merupakan tempat terproduksinya AHF
yang merupakan faktor utama dalam pembentukan tromboplastin pada
pembekuan darah tahap I. AHF yang ditemukan dalam darah lebih sedikit,
yang dapat memperberat penyakit. Trombosit yang melekat pada kolagen
yang terbuka dari pembuluh yang cedera, mengerut dan melepaskan ADP
serta faktor 3 trombosit, yang sangat penting untuk mengawali sistem
pembekuan, sehingga untai anfibrin memendek dan mendekatkan pinggir-
pinggir pembuluh darah yang cedera dan menutup daerah tersebut. Setelah
pembekuan terjadi diikuti dengan sisitem fibrinolitik yang mengandung
antitrombin yang merupakan protein yang mengaktifkan fibrin dan memantau
mempertahankan darah dalam keadaan cair. Penderita hemofilia memiliki dua
dari tiga faktor yang dibutuhkan untuk proses pembekuan darah yaitu
pengaruh vaskuler dan trombosit (platelet) yang dapat memperpanjang
periode perdarahan, tetapi tidak pada tingat yang lebih cepat. Defisiensi faktor
VIII dan IX dapat menyebabkan perdarahan yang lama karena stabilisasi
fibrin yang tidak memadai. Masa perdarahan yang memanjang, dengan
adanya defisiensi faktor VIII, merupakan petunjuk terhadap penyakit von
willebrand. Perdarahan pada jaringan dapat terjadi dimana saja,tetapi
perdahan pada sendi dan otot merupakan tipe yang paling sering terjadi pada
perdarahan internal. Perubahan tulang dan kelumpuhan dapat terjadi setelah
perdarahan yang berulang-ulang dalam beberapa tahun. Perdarahan pada
leher, mulut atau dada merupakan hal yang serius, sejak airway mengalami
obstruksi. Perdarahan intracranial merupakan salah satu penyebab terbesar
dari kematian. Perdarahan pada gastrointestinal dapat menunjukkan anemia
dan perdarahan pada kavum retroperitoneal sangat berbahaya karena
merupakan ruang yang luas untuk berkumpulnya darah. Hematoma pada
batang otak dapat menyebabkan paralysis. Ganguan pembekuan darah itu
10
dapat terjadi; Gangguan itu dapat terjadi karena jumlah pembeku darah jenis
tertentu kurang dari jumlah normal, bahkan hampir tidak ada (Arif M. 2009).
Penghentian darah dari suatu pembuluh darah yang rusak
melibatkan tiga langkah, yaitu: spasme vascular, pembentukan sumbat
trombosit, dan koagulasi darah. Spasme vascular mengurangi aliran darah
melalui pembuluh yang cedera. Pada pembuluh darah yang terpotong atau
robek akan segera berkonstriksi, hal ini merupakan respon intrinsik yang
dipicu oleh zat parakrin yang dilepas secara local oleh endotel yang luka.
Trombosit menjadi aktif oleh kolagen yang terpajan, yaitu protein fibrosa di
jaringan ikat bawah endotel, setelah aktif makan trombosit cepat melekat ke
kolagen dan membentuk sumbat trombosit. Adenosin (ADP) menyebabkan
permukaan trombosit darah menjadi melekat kelapis pertama gumpalan
trombosit. Langkah terakhir dalam pembentukan bekuan adalah perubahan
fibrinogen, suatu protein plasma yang dapat larut dan berukuran besar yang
dihasilkan oleh hati dan secara normal ada di plasma, menjadi fibrin.
Perubahan menjadi fibrin ini dikatalisis oleh enzim thrombin di tempat luka.
Jala fibrin awalnya lemah, namun dengan cepat terbentuk ikatan kimia antara
untai-untai fibrin yang berdekatan untuk memperkuat dan menstabilkan jala
bekuan dan proses pembentukan ikatan silang ini dikatalisis oleh suatu faktor
pembekuan yang dikenal sebagai faktor XIII (fibrin-stabilizing factor).
Terdapat faktor pembekuan plasma aktif lainnya, faktor X yang mengubah
protrombin menjadi thrombin yang normalnya berada dalam darah dalam
bentuk inaktif dan akan aktif oleh 12 faktor lainnya secara bersama-sama
(Sherwood L. 2011). Terdapat 3 fase pada teori “Cell Based” pada koagulasi,
yaitu: inisiasi, amplifikasi, dan propagasi.
11
Gambar 2. Fase Inisiasi
Gambar 3. Fase Amplifikasi
12
Gambar 4. Fase Propagasi
Gambar 5. Pembentukan Benang Fibrin
13
F. Penegakkan Diagnosis Hemofilia
Salah satu cara terbaik untuk melakukan tapis pertama terhadap kasus
hemofilia adalah dengan melihat riwayat keluarga. Meskipun demikian,
terdapat 20-30% kasus hemofilia terjadi akibat mutasi spontan kromosom X
pada gen yang menyandi FVIII/ FIX. Seorang laki-laki diduga menderita
hemofilia jika terdapat riwayat perdarahan berulang seperti hemartrosis dan
hematom, atau riwayat perdarahan memanjang setelah trauma atau tindakan
tertentu dengan atau tanpa riwayat keluarga. Sebelum memasuki pemeriksaan
penunjang lainnya, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat diperlukan.
Kelainan laboratorium yang akan ditemukan yakni pada gangguan hemostasis,
seperti pemanjangan masa pembekuan dan masa tromboplastin parsial
teraktivasi, abnormalitas uji produksi tromboplastin, dengan perdarahan dan
masa protrombin dalam batas normal (Rotty, 2009).
Diagnosis definitif kemudian dapat ditegakkan dengan berkurangnya
aktivitas FVIII/FIX. Apabila memungkinkan adanya pemeriksaan sitogenetik,
dapat dilakukan pemeriksaan petanda gen FVIII/FIX. Aktivitas dari
FVIII/FIX dapat dinyatakan dalam U/ml yang artinya aktivitas faktor
pembekuan dalam 1 ml plasma normal adalah 100%. Nilai normal aktivitas
FVIII/FIX adalah 0,5-1,5 U/ml atau 50-150% (Rotty, 2009). Diagnosis
antenatal dapat dilakukan pada ibu hamil dengan risiko hemofilia.
Pemeriksaan aktivitas FVIII dan kadar antigen FVIII dalam darah janin pada
trimester kedua dapat membantu menentukan status janin terhadap kerentanan
hemofilia A (Rotty, 2009).
Jika seorang perempuan memiliki lebih dari satu anak laki laki atau
lebih saudara laki-laki dan seorang anak laki-laki pasien hemoflia atau
ayahnya pasien hemofilia, maka dapat diduga bahwa perempuan tersebut
membawa sifat hemofilia / karier hemofilia. Dengan menghitung rasio
aktivitas FVIIIc dengan antigen FVIIIvW, maka dapat dilakukan pendeteksian
hemofilia A karier. Apabila kurang dari 1 memiliki ketepatan dalam
14
menentukan hemofilia karier sebesar 90%. Aktivitas FVIII rata-rata pada
karier 50%, tetapi kadang-kadang kurang dari 30% dan dapat terjadi
perdarahan sesudah trauma atau pembedahan. Untuk mendapatkan informasi
yang lebih akurat, dapat dilakukan analisis genetika dengan DNA probe yaitu
dengan cara mencari lokus polimorfik pada kromosom X (Rotty, 2009).
G. Penatalaksanaan Hemofilia
1. Terapi Farmakologis
a. Terapi Suportif
Menormalkan kadar faktor anti hemofilia yang kurang
adalah pengobatan rasional pada hemofilia.Dengan
memperhatikan hal-hal, seperti berikut :
1) Merencanakan tindakan operasi dan mempertahankan kadar
aktivitas faktor pembekuan sekitar 30-50 %.
2) Dalam mengatasi permasalahan akut yang terjadi maka
dilakukan tindakan pertama, misalnya rest, ice, compressio,
elevation ( RICE ) pada lokasi pendarahan.
3) Pemberian kortikosteroid sangat membantu dalam
menghilangkan proses inflamasi yang terjadi pada sinuvitis
yang terjadi setelah serangan akut hemartrosis. Pemberian
prednison 0,5 – 1 mg/kg/BB hari selama 5 -7 hari dapat
mencegah terjadinya gejala sisa berupa kaku sendi ( artrosis ).
4) Pemakaian analgetika diindikasikan pada pasien hemartrosis
dengan nyeri hebat.
5) Rehabilitasi medik, sebaiknya dilakukan sedini mungkin
secara komprehensif dan holistik. Rehabilitasi medis artritis
hemofilia antara lain latihan pasif atau aktif, terapi dingin dan
panas, penggunaan ortosis, terapi psikososial dan terapi
rekreasi serta edukasi.
15
b. Terapi Pengganti Faktor Pembekuan
Pemberian faktor pembekuan dilakukan dalam 3 kali
seminggu untuk menghindari kecacatan fisik sehingga pasien
hemofilia dapat melakukan aktivitas normal. Untuk bisa mencapai
tujuan tersebut dibutuhkan faktor anti hemofilia (AHF).
Terapi pengganti pada faktor pembekuan pada hemofilia
dilakukan dengan cara memberikan F VIII atau F IX, baik
rekombinan konsentrat maupun komponen darah yang
mengandung cukup banyak faktor pembekuan tersebut.
Pemberian dilakukan beberapa hari sampai luka atau
pembengkakan membaik.
1) Konsentrat F VIII F IX
Hemofilia ringan, berat atau sedang dengan
masalah pendarahan yang serius membutuhkan koreksi
faktor pembekuan dengan kadar tinggi yang harus diterapi
dengan konsentrat F VIII yang telah dilemahkan virusnya.
Faktor IX tersedia dalam 2 bentuk yaitu protrombin
complex concentrates ( PSS ) yang berisi F II, VII, IX dan
X serta purified F IX concentrates yang berisi sejumlah F
IX tanpa faktor yang lain. PCC menyebabkan trombosis
paradoksial dan koagulasi intravena tesebar yang
diakibatkan oleh konsentrat faktor pembekuan lain. Risiko
meningkat pada pemberian F IX berulang, sehingga
purified konsentrat F IX lebih diinginkan.
2) Kriopresipitat AHF
Kriopresipitat AHF adalah salah satu komponen
darah non selular yang merupakan konsentrat plasma
tertentu yang mengandung F VIII, fibrinogen, faktor von
Willebrand. Dapat diberikan apabila konsentrat F VIII
16
tidak dapat ditemukan. Satu kantong kriopresipitat berisi
80-100 U F VIII dapat meningkatkan F VIII 35%. Efek
samping yang diakibatkan dapat menimbulkan demam dan
reaksi alergi.
3) 1 – deamino 8 – D Argirin Vasopresin ( DDAVP ) atau
Desmopresin
Hormon sintetik anti diuretik ( DDAVP )
merangsang peningkatan kadar aktivitas F VIII di dalam
plasma sampai 4 kali, namun bersifat sementara. Pemberian
melalui intravena dengan dosis 0,3 mg/kg BB dalam 30- 50
NaCl 0,9 % selama 15- 20 menit dengan lama kerja 8 jam.
Efek puncak pemberian ini dicapai dalam waktu 30-60
menit. Dosis yang dianjurkan untuk pasien dengan BB < 50
kg 150 mg ( sekali semprot ) dan 300 mg untuk pasien
dengan BB > 50 kg ( dua kali semprot ) dengan efek
puncak terjadi setelah 60-90 menit.
Pemberian DDAVP untuk pencegahan terhadap
kejadian pendarahan sebaiknya dilakukan setiap 12-24 jam.
Efek samping dapat menimbulkan takikardia, flushing,
trombosis dan hiponatremia dan bisa menimbulkan timbul
angina pada pasien penyakit jantung koroner.
4) Antifibrinolitik
Preparat antifibrinolitik digunakan pada pasien
hemofilia B untuk menstabilisasikan bekuan atau fibrin
dengan cara menghambat proses fibrinolisis. Hali ini
membantu pengelolaan pasien hemofilia dengna
pendarahan. Epsilon aminocaproic acid ( EACA ) dapat
diberikan secara oral maupun intravena dengan dosis awal
200 mg/kg BB, diikuti 100 mg/kg BB setiap 6 jam
17
( maksimum 5 g setiap pemberian ). Asam traneksamat
diberikan dengan dosis 25 mg/kg Bb secara oral atau 10
mg/kg BB secara intravena setiap 8 jam.
c. Terapi Gen
Penelitian terapi gen menggunakan vektor retrovirus,
adenovirus, dana deno-associated virus memberikans ebuah
harapan baru bagi pasien hemofilia. Sekarang ini, sedang intensif
dilakukan penelitian invivo dengan cara memindahkan vektor
adenovirus yang membawa gen antihemofilia ke dalam sel hati.
2. Terapi non-farmakologis
a. Melakukan pencegahan baik menghindari terjadinya luka atau
benturan.
b. Istirahatkan anggota tubuh yang terdapat luka. Apabila kaki yang
mengalami perdarahan, gunakan alat bantu seperti tongkat.
Kompres bagian tubuh yang terluka dan daerah sekitarnya dengan
es atau bahan lain yang lembut dan dingin. Tekan dan ikat,
sehingga bagian tubuh yang mengalami perdarahan tidak dapat
bergerak (immobilisasi). Gunakan perban elastis dan letakkan
bagian tubuh tersebut dalam posisi lebih tinggi dari posisi dada dan
letakkan diatas benda yang lembut seperti bantal ( Rotty, 2009 ).
H. Prognosis Hemofilia1. Prognosis baik bila diterapi dengan benar, dan pasien dapat hidup secara
normal2. Pasien harus secara rutin berkonsultasi dengan dokter spesialisnya untuk
menentukan manajemen.
18
BAB III
KESIMPULAN
1. Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat faktor pembekuan darah yang
diturunkan (herediter) secara sex-linked recesive pada kromosom X (Xh).
2. Hemofilia ini dibagi menjadi 2 yaitu hemofilia A dan hemofilia B. Hemofilia
A (Hemofilia klasik) disebabkan oleh kelainan produksi dari faktor VIII.
Hemofilia B akibat defesiensi atau disfungsi F IX. Hemofilia A dan hemofilia
B disebabkan oleh kerusakan pada pasangan kromosom.
3. Penderita hemofilia memiliki dua dari tiga faktor yang dibutuhkan untuk
proses pembekuan darah yaitu pengaruh vaskuler dan trombosit (platelet)
yang dapat memperpanjang periode perdarahan, tetapi tidak pada tingat yang
lebih cepat.
4. Hermofilia selain disebabkan karena factor herediter, juga disebabkan karena
factor mutasi spontan. Mutasi spontan tersebut disebabkan karena
rekombinasi gen dan kesalahan saat meiosis dan mitosis. Selain itu,
disebabkan juga karena factor alami dan buatan. Alami meliputi adanya gen –
gen lain masuk ke molekul AND, sedangkan yang buatan karena tujuan
tertentu seperti penelitian genetika maupun karena mendapatkan genotype
baru yang diinginkan.
5. Defisiensi faktor VIII dan IX dapat menyebabkan perdarahan yang lama
karena stabilisasi fibrin yang tidak memadai. Masa perdarahan yang
memanjang, dengan adanya defisiensi faktor VIII, merupakan petunjuk
terhadap penyakit von willebrand.
6. Penegakan diagnosis dilakukan dengan cara melihat riwayat keluarga,
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
19
7. Penatalaksanaan hemophilia dapat dilakukan secara farmakologi dan
farmakologi. Penatalaksanaan farmakologi diantaranya terapi suportif dan
terapi gen. Sedangkan non farmakologi misalnya pencegahan dan
mengistirahatkan anggota tubuh.
20
DAFTAR PUSTAKA
Agaliotis DP. 2002. Hemophilia overview: Departement of Medicine, Devison of
Hematology/Medical Oncology. University of Florida Health Science Center at
Jacksonville. Dapat diakses di: eMedicine.com, Inc. Http://www.
eMedicine .com
Cecily. L Betz. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Alih bahasa Jan Tambayong.
EGC: Jakarta
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku edisi 3; alih bahasa, Nike Budhi
Subekti; editor edisi bahasa Indonesia, Egi Komara Yudha [et.al.]. Jakarta: EGC.
Elzinga, H.S. 2002. Hemophilia. In : Christopher T. Coughlin (ed). Hematology. Dapat
diakses di: Http://www.Hemophilia.Html.
Gugun. 2007. Sejarah hemofilia. Indonesian Hemophilia Society. Dapat diakses di:
http://www.hemofilia.or.id/sejarah.php (diakses tanggal 16 September 2012
pukul 06.00 WIB)
Kessler CM. 2007. Hemorrhagic disorders: coagulationfactordeficiencies. In:
Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Medicine 23rd ed. Philadelphia: Saunder
Elsevier. Available at: www. Nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000538.htm
(diunduh tanggal 25 September 2012)
Mathew P. 2002. Montoyo Hemophilia Center: Departement of Pediatrics,
University of New Mexico. Dapat diakses di: eMedicine.com, Inc. Http://www.
eMedicine.com.html.
Mutaqin Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
edisi 6; alih bahasa, Brahm U. Pendit [et.al.]; editor edisi bahasa Indonesia,
Huriawati Hartanto [et.al]. Jakarta: EGC.
Rotty, Linda W.A. 2009. Hemofilia A dan B. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Editor: Aru W. Sudoyono dkk. Jakarta: Internal Publishing.
21
Sherwood Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Edisi 6; alih bahasa,
Brahm U. Pendit; editor bahasa Indonesia, Nella Yesdelita. Jakarta: EGC.
Sukamto HS. 2009. Hemofilia A dan B dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Tambunan KL, Widjanarko A. Kelainan hemostasis
bawaan.Dalam:Ssoeparman dkk (eds).Ilmu Penyakit Dalam Jilid II .
Ba l a i Pene rb i t FKUI. Jakarta, 1990 : 452-9
22