Post on 30-Nov-2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bronchopneumonia merupakan salah satu bagian dari penyakit Pneumonia.
Bronchopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari parenkim
paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak
yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda
asing.
Bronchopneumonia adalah peradangan paru, biasanya dimulai di bronkioli terminalis.
Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-
bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Penyakit ini seringnya bersifat sekunder,
mengikuti infeksi dari saluran nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang
melemahkan sistem pertahanan tubuh. Pada bayi dan orang-orang yang lemah, Pneumonia
dapat muncul sebagai infeksi primer.
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh virus
yang masuk ke saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan broncus dan alveolus.
Inflamasi bronkus ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk
produktif, ronchi positif dan mual. Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka
komplikasi yang terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisema dan atelektasis.
Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak napas, dan napas
ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan
sebagai pelumas yang berpungsi untuk melembabkan rongga pleura. Emfisema (tertimbunnya
cairan atau pus dalam rongga paru) adalah tindak lanjut dari pembedahan. Atelektasis
mengakibatkan peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis respiratori, pada klien
1
terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya gagal napas.
Secara singkat patofisiologi dapat digambarkan pada skema proses.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan tinjauan pustaka ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik senior di Departemen Radiologi RSUD Djasamen Saragih P. Siantar.
Dalam tinjauan pustaka ini dibahas tentang definisi, etiologi, insidens, patofisiologi, gejala
klinis, diagnosis, gambaran radiologi dan terapi dari bronchopneumoni.
1.3. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
a.Memberikan informasi pada dokter maupun tenaga kesehatan tentang
Bronchopneumoni serta berbagai hal lain yang berhubungan dengan penyakit ini.
b. Menambah pengetahuan penulis tentang penyakit Bronchopneumoni.
c.Sebagai sumber informasi bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian atau hal lain
yang ada kaitannya dengan penyakit ini.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi sistem pernafasan
Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama neonatus dan
dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada setiap usia tidak simetris. Apabila
dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan jumlah cabang yang tergantung dari
lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda
menyebabkan perbedaan resistensi terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi
udara atau partikel yang terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan
ukuran dan kehilangan kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus. Bronkhiolus terminalis
membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru.
Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap dari epitel
kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada area tempat
pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan mukus dari pinggir jalan nafas ke
faring. Sistem transport mukosilier ini berperan penting dalam mekanisme pertahanan paru.
Sel goblet pada trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam retikulum endoplasma
kasar dan apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya pada beberapa gangguan seperti
bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus dan peningkatan produksi
sputum. Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari bronkhiolus distal sampai
terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli.
Alveolus merupakan kantung udara yang berukuran sangat kecil, yang merupakan
tempat pertukaran gas. Terdapat >150juta alveoli pada setiap paru sehingga memberi bentuk
pada paru seperti spons dan dikelilingi banyak kapiler darah. Pada alveoli terdapat pula
3
makrofag alveolar yang memfagositosis partikel atau bakteri yang masuk ke permukaan paru-
paru. Terdiri dari 3 jenis yaitu :
Tipe 1(sel alveolar) yang membentuk dinding alveoi
Tipe 2 (sel septa) yang mengsekresikan surfaktan
Tipe 3 yang merupakan makrofag yang berfungsi sebagai sel fagositosis.
Paru-paru adalah organ berbentuk pyramid seperti spons dan berisi udara,terletak didalam
rongga toraks. Paru kanan terdiri dari 3 lobus dan 10 segmen yaitu :
a. Lobus superior
Apeks
Posterior
Anterior
b. Lobus anferior
Superior
Basal lateral
Basal medial
Basal posterior
c. Lobus medial
Lingular inferior
Lingular superior
Paru kiri terdiri dari 2 lobus dan 9 segmen yaitu:
a. Lobus superior: apeks, anterior,lingular,superior,lingular inferiol
b. Lobus inferior : apeks,basal medial,basal posterior,basal anterior dan
basal lateral.
Pada paru-paru terdapat pleura-pleura yaitu
pleura parentalis yang melapisi ronga dada.
Pleura viseralis yang menyelubungi setiap paru
Terdapat cairan setiap pleura yang berfungsi untuk:
Mempermudah gerakan kedua permukaan selama pernapasan dan sebagai
pemisah antara paru dan rongga dada.
Sebagai pelumas. Pada orang normal berkisar antara 10-20ml.
4
2.2. DEFENISI
Bronchopneumonia merupakan salah satu bagian dari penyakit Pneumonia.
Bronchopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari parenkim
paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak
yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda
asing.
Bronchopneumonia adalah peradangan paru, biasanya dimulai di bronkioli terminalis.
Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-
bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Penyakit ini seringnya bersifat sekunder,
mengikuti infeksi dari saluran nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang
5
melemahkan sistem pertahanan tubuh. Pada bayi dan orang-orang yang lemah, Pneumonia
dapat muncul sebagai infeksi primer.
2.3. EPIDEMIOLOGI
Pneumococcus merupakan penyebab utama pneumonia. Pneumococcus dengan serotipe
1 sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih dari 80%, sedangkan pada
anak ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9.
Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan megurang
dengan meningkatnya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh pneumococus,
ditemukan pada orang dewasa dan anak besar, sedangkan bronkopneumonia lebih sering
dijumpai pada anak kecil dan bayi.
2.4. ETIOLOGI
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah :
A. Faktor Infeksi
1. Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
2. Pada bayi :
Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.
Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza,Mycobacterium
tuberculosa, B. pertusis.
3. Pada anak-anak :
Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.
4. Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
6
Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.
B. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
a. Bronkopneumonia hidrokarbon : Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah
atau sonde lambung ( zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
b. Bronkopneumonia lipoid : Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak
secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu
mekanisme menelan seperti palatoskizis,pemberian makanan dengan posisi
horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang
sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi.
Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak
contohnya seperti susu dan minyak ikan .
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat
seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan
faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
2.5. PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat pada paru tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan
ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme penyebab terhisap ke paru
perifer melalui saluran napas menyebabkan reaksi jaringan berupa edema yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman.
Bronchopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas yang
disebabkan oleh bakteri staphylococcus, Haemophillus influenzae atau karena aspirasi
makanan dan minuman.
7
Dari saluran pernafasan kemudian sebagian kuman tersebut masuk ke saluran
pernafasan bagian bawah dan menyebabkan terjadinya infeksi kuman di tempat tersebut,
sebagian lagi masuk ke pembuluh darah dan menginfeksi saluran pernafasan dengan
ganbaran sebagai berikut:
1. Infeksi saluran nafas bagian bawah menyebabkan tiga hal, yaitu dilatasi pembuluh darah
alveoli, peningkatan suhu, dan edema antara kapiler dan alveoli.
2. Ekspansi kuman melalui pembuluh darah kemudian masuk ke dalam saluran pencernaan
dan menginfeksinya mengakibatkan terjadinya peningkatan flora normal dalam usus,
peristaltik meningkat akibat usus mengalami malabsorbsi dan kemudian terjadilah diare yang
beresiko terhadap gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
(Soeparman, 1991)
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Bila
pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke
alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.
Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi
empat stadium, yaitu :
A. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
8
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot
polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan
edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan
gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi
oksigen hemoglobin.
B. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan
cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium
ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium
ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
C. Stadium III ( 3 – 8 hari).
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang
cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
9
D. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke strukturnya semula.
2.6. GEJALA KLINIS
Bronchopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran napas bagian atas selama
beberapa hari. Suhu dapat naik sangat mendadak sampai 39 – 400 C dan mungkin disertai
kejang demam yang tinggi. Anak megalami kegelisahan, kecemasan, dispnoe pernapasan.
Kerusakan pernapasan diwujudkan dalam bentuk napas cepat dan dangkal, pernapasan
cuping hidung, retraksi pada daerah supraclavikular, ruang-ruang intercostal, sianosis sekitar
mulut dan hidung, kadang-kadang disertai muntah dan diare. Pada awalnya batuk jarang
ditemukan tetapi dapat dijumpai pada perjalanan penyakit lebih lanjut, mula-mula batuk
kering kemudian menjadi produktif.
Pada bronkopneumonia, pemeriksaan fisik tergantung dari pada luas daerah yang
terkena. Pada perkusi toraks sering tidak ditemukan kelainan. Pada auskultasi mungkin
terdengar ronki basah nyaring halus – sedang.
Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens), mungkin pada perkusi
terdengar keredupan dan suara pernapasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium
resolusi, ronki terengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya penyembuhan dapat terjadi sesudah
2 – 3 minggu.
2.7. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Gejala klinis
Bronchopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran napas bagian atas selama
beberapa hari. Suhu dapat naik sangat mendadak sampai 39 – 400 C dan mungkin disertai
10
kejang demam yang tinggi. Anak megalami kegelisahan, kecemasan, dispnoe pernapasan.
Kerusakan pernapasan diwujudkan dalam bentuk napas cepat dan dangkal, pernapasan
cuping hidung, retraksi pada daerah supraclavikular, ruang-ruang intercostal, sianosis sekitar
mulut dan hidung, kadang-kadang disertai muntah dan diare. Pada awalnya batuk jarang
ditemukan tetapi dapat dijumpai pada perjalanan penyakit lebih lanjut, mula-mula batuk
kering kemudian menjadi produktif.
Pada bronkopneumonia, pemeriksaan fisik tergantung dari pada luas daerah yang
terkena. Pada perkusi toraks sering tidak ditemukan kelainan. Pada auskultasi mungkin
terdengar ronki basah nyaring halus – sedang.
Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens), mungkin pada perkusi
terdengar keredupan dan suara pernapasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium
resolusi, ronki terengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya penyembuhan dapat terjadi sesudah
2 – 3 minggu.
2. Pemeriksaan fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkhopneumoni ditemukan hal-hal sebagai
berikut :
a. Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
d. Pada auskultasi ditemukan crackles (Ronkhi basah) sedang nyaring.
3. Pemeriksaan laboratorium
1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm¬¬¬3 dengan
pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan infeksi
virus atau mycoplasma.
11
2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun.
3. Peningkatan LED.
4. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50% penderita yang tidak diobati. Selain kultur
dahak, biakan juga dapat diambil dengan cara hapusan tenggorok (throat swab).
5. Analisa gas darah( AGDA ) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia. Pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis metabolik
4. Gambaran radiologis
a. Pneumonia lobularis (bronkopneumoni)
Merupakan pneumonia yang terjadi pada ujung akhir bronkhiolus yang dapat
tersumbat oleh eksudat mukopuren untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus.
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan
bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan
bercak ini sering terlihat pada lobus bawah. Tampak infiltrate peribronkial yang semi opak
dan inhomogen di daerah hilus yang menyebabkan batas jantung menghilang (silhoute sign).
Tampak juga air bronkogram, dapat terjadi nekrosis dan kavitas pada parenkim paru. Pada
keadaan yang lebih lanjut dimana semakin banyak alveolus yang telibat maka gambaran opak
mnjadi terlihat homogeny.
12
Infectious bronchiolitis and bronchopneumonia: radiographic findings. Posteroanterior chest radiograph shows
poorly defined nodular opacities and foci of consolidation in the right lower lobe. The patient was a 48-year-old
man with Mycoplasma bronchiolitis and bronchopneumonia. (Courtesy of Dr. Atsushi Nambu, Department of
Radiology, University of Yamanashi, Yamanashi, Japan.)
13
b. Pneumonia lobaris
Merupakan pneumonia yang terjadi pada seluruh atau satu bagian besar dari lobus
paru dan bila kedua lobus terkena bisa dikatakan sebagai pneumonia lobaris. Pada foto torax
PA posisi erec tampak infiltrate di parenkim paru perifer yang semiopak, homogeny tipis
seperti awan, berbatas tegas, bagian perifer lebih opak di banding bagian sentral. Konsolidasi
parenkim paru tanpa melibatkan jalan udara mengakibatkan timbulnya air bronkogram.
Tampak pelebaran dinding bronkhiolus. Tidak ada volume loss pada pneumonia tipe ini.
c. Pneumonia interstitial
Merupakan pneumonia yang dapat terjadi di dalam dinding alveolar. Pneumonia
interstitial ditandai dengan pola linear atau retikuler pada parenkim paru. Pada tahap akhir,
dijumpai penebalan jaringan interstitial sebagai densitas noduler yang kecil.
2.8. DIAGNOSIS BANDING
1. Bronchiolitis
2. TBC Paru
3. Atelektasis
4. Abses Paru
2.9. Penatalaksanaan
Tabel pemilihan antibiotika berdasarkan etiologi :
Mikroorganisme antibiotik
Streptokokus dan Stafilokokus M.
Pneumonia
H. Influenza
Klebsiella dan P. Aeruginosa
Penicilin G 50.000-100.000 unit/hari IV atau
Penicilin Prokain 6.000.000 unit/hari IM atau
Ampicilin 100-200 mg/kgBB/hari atau
15
Ceftriakson 75-200 mg/kgBB/hari
Eritromisin 15 mg/kgBB/hari
Kloramfenikol 50-100 mg/kgBB/hari
Sefalosporin
3.0. Pencegahan:
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya
bronkopneumonia ini.Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan
daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat,
makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin
berolahraga, dll.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi
antara lain:
Vaksinasi Pneumokokus
Vaksinasi H. influenza
Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.
3.1. Komplikasi
Dengan antibiotik komplikasi hampir tidak pernah dijumpai. Komplikasi yang dapat
dijumpai : Empiema, OMA, lompliasi lain ialah seperti Meningitis, Perikarditis,
Osteomielitis, peritonitis lebih jarang dilihat.
16
3.2. Prognosis
Dengan penggunaan antibiotik yang tepat dan cukup, mortalitas dapat diturunkan
sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang
terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.
Pada bronkopneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, angka
kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan penatalaksanaan sekarang, angka
mortalitas berkisar dari 10 – 30% dan bervariasi dengan lamanya sakit yang dialami sebelum
penderita dirawat, umur penderita, pengobatan yang memadai serta adanya penyakit yang
menyertai.
17
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Pneumonia adalah infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim
paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi : pneumonia lobaris, pneumonia interstisial,
bronkopneumonia.
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus
bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak.
Bronkopnemonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim
paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus di
sekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita yang disebabkan bermacam-macam etiologi
seperti bakteri, virus, jamur.
Penatalaksanaannya dengan bed rest dengan pemberian roborantia
( suplemen ),•Perbaiki oksigenasi dengan terapi pernapasan ( oksigen ), Jumlah cairan di
sesuaikan dengan berat badan dan suhu tubuh, Pemberian antibiotic sesuai biakan. Bila
terdapat obstruksi jalan nafas berikan Bronkodilator. Pengobatan terhadap batuk hanya
Simptomatik saja, jika batuk produktif tekan dengan antitusif, Pemberian
analgesik antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh, Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat
dimulai makanan enteral bertahapmelalui selang NGT dengan feeding drip. Jika sesak
berat maka pasien harus di puasakan.
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan
terjadinya bronkopneumonia ini.
18
Dengan penggunaan antibiotik yang tepat dan cukup, mortalitas dapat diturunkan
sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang
terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.
Pada bronkopneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, angka
kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan penatalaksanaan sekarang, angka
mortalitas berkisar dari 10 – 30% dan bervariasi dengan lamanya sakit yang dialami sebelum
penderita dirawat, umur penderita, pengobatan yang memadai serta adanya penyakit yang
menyertai.
B. Saran dan kritik
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya dan
mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui lebih dalam mengenai Pneumonia
dan Bronkopnemonia. Untuk mencegah komplikasi klien dapat diberikan tambahan
oksigen untuk mempermudah pernafasan . Kepada para ibu yang sedang hamil juga
diharapkan bisa menjaga kesehatan serta nutrisi sehingga penyakit dapat dicegah.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah kesehatan Anak, Jilid 3, bagian
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 1997
2. Djojodibroto, darmanto. Respirologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2009.
3. Mansjoer A, Wardhani WI, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2, Penerbit Media
Aesculapius FK UI, Jakarta 2000
4. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Standard Pelayanan Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara / Rumah Sakit H. Adam Malik, Medan 1995
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi Idrus, Setiati S, et all: editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi keempat, jilid II. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007.
6. Ekayuda I, editor. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
2009; 100-1.
7. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia: Jakarta. 2004.
8. Hasan R, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta. 2002.
9. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta. 2000.
10. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson Ilmu Keseha tan Anak. EGC: Jakarta.
2000.
11. Price SA, Wilson LM, 1995, Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes
(Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Prose Penyakit), Edisi 4, Penerbit EGC, Jakarta,
hal: 709-712.
20