Post on 22-Jun-2015
TUGAS PKn
EFEKTIVITAS MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM MEMUTUSKAN SENGKETA PEMILU
Dosen Pengampu : Natal Kristiono
UNNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Nama : Rofiqoh Ratna Cahyaningtyas
NIM : 6411413014
Rombel: 48
2014
ABSTRAK
Penanganan sengketa pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi, sejak
dialihkan dari Mahkamah Agung, menimbulkan tekanan beban kerja yang cukup
besar terhadap Sembilan hakim konstitusi. Tekanan ini terjadi karena banyaknya
perkara yang masuk dan singkatnya waktu penyelesaian yang menurut Undang-
Undang hanya 14 hari kerja sehingga memunculkan pertanyaan tentang efektifitas
penyelesaian sengketa pemilukada yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pada sebuah penelitian, yang merupakan penelitian hukum doktrin atau
normatif, mengkaji tiga pertanyaan, yaitu : Apakah dengan struktur, prosedur dan
kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi sekarang ini berpengaruh
terhadap efektifitas penyelesaian sengketa pemilukada, apa saja kendala yang
dihadapi dan rekomendasi apa yang dibutuhkan agar Mahkamah Konstitusi bisa
berperan lebih baik di masa yang akan datang. Melalui pendekatan desktriptif
kualitatif penelitian ini menemukan bahwa beberapa persoalan yang
mempengaruhi efektifitas penyelesaian sengketa pemilukada di Mahkamah Konstitusi
adalah sifat Mahkamah Konstitusi yang sentralistik menimbulkan masalah access to
justice, mengingat wilayah Negara Keastuan Republik Indonesia yang sangat
luas dan jumlah hakim yang hanya sembilan orang dengan waktu penyelesaian
yang sangat singkat serta perluasan kewenangan Mahkamah Konstitusi melalui
putusannya. Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimpulankan bahwa
penyelesaian sengketa pemilukada di Mahkamah Konstitusi tidak berjalan efektif.
Pemilu adalah proses memilih seorang untuk mengisi jabatan - jabatan politik
tertentu yang sangat beranekaragam seperti, pemilihan jabatan presiden dan wakil
presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, dari DPR sampai kepala
desa.
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara
persuasif dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa,
lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi
sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik
propaganda banyak juga dipakai oleh para kandidat atau politikus selalu komunikator
politik.
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-
sama dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga
yang dibentuk pada masa reformasi. Setelah amandemen UUD 1945 Mahkamah
Konstitusi diatur didalam BAB kekuasaan kehakiman.
A. Sengketa Pemilu
Jumlah sengketa pemilu semakin meningkat pada saat ini. Hal ini dapat
dilihat dari semakin banyaknya gugatan sengketa yang diajukan ke Mahkamah
Konstitusi pada tahun 2014 ini. Peningkatannya sangat jelas dapat dilihat jika
dibandingkan dengan jumlah sengketa pemilu tahun 2009 yang lalu. Para politisi
mengajukan gugatan karena menilai ada kecurangan yang kebanyakan terjadi,
sehingga gugatan ke Mahkamah Konstitusi membludak dan naik sebesar 22,13
persen walaupun jumlah peserta pemilu hanya 15 partai politik dibanding 2009
yang diikuti oleh 35 partai politik. Sengketa yang terjadi pada tahun 2014 ini
berbeda dengan tahun 2009 yang lalu. Jika tahun 2009 lalu sengketa yang terjadi
adalah persengketaan antar partai, kalau pada tahun 2014 ini sengketa terjadi
antar calon legislator dalam satu partai.
Hamdan Zoelva, ketua Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa ada
767 perkara yang disengketakan pada tahun 2014 ini, yang diajukan oleh partai
politik sebanyak 735 perkara dan yang 32 perkara diajukan oleh calon anggota
Dewan Perwakilan Daerah. Hamdan Zoelva mengakui bahwa perkara ini
mengalami perubahan dari pengumuman Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya
hanya menyebut 702 perkara.
B. Peranan Mahkamah Konstitusi
Fungsi dan peran utama Mahkamah Konstitusi adalah untuk menjaga
konstitusi guna tegaknya konstitusionalitas hukum. Selain itu Mahkamah
Konstitusi juga mempunyai fungsi dan peran lain yang telah diatur didalam UUD
1945 yaitu Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan dan satu
kewajiban. Empat kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah:
1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945
2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Pada pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi termasuk
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah
Konstitusi menjadi suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif
yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya
berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali
dalam Pasal 10 ayat (1) dari a sampai d UU 24/2003, kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945,
memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945, memutuskan pembubaran partai politik, dan
memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan
Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang
ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah
Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, perbuatan tercela,
atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
C. Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Pemilu
Kewenangan yang terkait dengan memutuskan perselisihan hasil pemilu
oleh Mahkamah Konstitusi semula merupakan pemilihan umum presiden, DPR,
DPRD, dan DPD. Namun dalam perkembangan kewenangan tersebut bertambah
dengan memutuskan perselisihan hasil pemilukada, semenjak pengertian
“pilkada” diubah menjadi “pemilukada” berdasarkan undang-undang nomor 22
tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil
pemilukada (PHPU.D) terdapat putusan-putusan yang kontroversial. Mahkamah
Konstitusi dengan putusannya seolah-olah telah memperluas kewenangannya
yang semula hanya terkait perselisihan hasil saja dan sekarang juga dapat
memeriksa proses-proses selama penyelenggaraan pemilukada. Mahkamah
Konstitusi harus menegakkan keadilan dan demokrasi dalam proses pemilukada
sehingga apabila dalam prosesnya terdapat pelanggaran yang telah mencederai
nilai demokrasi yang telah mempengaruhi hasil Mahkamah Konstitusi dapat
memeriksa perkara. Peran Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan demokrasi
adalah hal yang baik, namun dalam menegakkannya diperlukan dasar-dasar yang
jelas.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil
Pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah Sengketa hasil pemilihan umum
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dulunya merupakan wewenang
Mahkamah Agung sekarang sudah menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi.
Pemindahan wewenang ini berdasarkan pada Undang – Undang Nomor 22
Tahun 2007 yaitu tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang mengubah
pengertian Pilkada menjadi pemilihan umum kepala dan wakil kepala daerah
(Pemilukada). Sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 22
Tahun 2007 pasal 1 (4), yaitu “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara
langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Didalam UUD 1945 pasal 24 C yang isinya memberikan kewenangan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil pemilu.
Sehingga sejak pilkada dimasukkan dalam pengertian “pemilu”, maka
berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua
atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
penanganan hasil pemilihan umum Daerah dialihkan dari Mahkamah Agung ke
Mahkamah Konstitusi.
Putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi dalam
perkembangannya mengenai perkara hasil pemilihan umum daerah (PHPU.D)
tidak selalu menimbulkan kontroversi. Terdapat beberapa putusan yang menjadi
kontroversi terkait dengan Mahkamah Konstitusi yang memutus untuk
dilakukannya pemungutan suara ulang atas dasar terjadinya pelanggaran dalam
penyelenggaraan pemilukada yang mencederai demokrasi. Contohnya saja
putusan yang memerintahkan agar dilakukan pemungutan suara ulang
diantaranya pada perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan
wakil kepala daerah (PHPU.D) Jawa Timur pada tahun 2008 dengan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 dan perkara perselisihan
hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah Tangerang Selatan
pada tahun 2010 dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
209-210/PHPU.D-VIII/2010.
Pada perkara PHPU.D Jawa Timur, Mahkamah Konstitusi mengabulkan
sebagian permohonan dengan membatalkan dan menyatakan tidak mengikat
secara hukum keputusan KPUD Jawa Timur, namun pembatalan tersebut hanya
mengenai hasil rekapitulasi penghitungan suara di kabupaten Bangkalan,
Sampang, dan Pamekasan. Mahkamah Konstitusi tidak menetapkan hasil
penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah Konstitusi. Namun justru
memerintahkan kepada KPU Provinsi Jawa Timur untuk melaksanakan
pemungutan suara ulang di kabupaten Bangkalan dan Sampang, dan
penghitungan suara ulang di kabupaten Pamekasan dengan menghitung kembali
secara berjenjang surat suara yang sudah dicoblos.
Dan pada perkara PHPU.D Tangerang Selatan, Mahkamah Konstitusi
mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan dan menyatakan tidak
mengikat secara hukum keputusan KPU Tangerang Selatan tersebut. Pemohonan
yang dikabulkan adalah permohonan yang terbukti beralasan. Selain itu
Mahkamah Konstitusi juga mengabulkan pemohonan pemohon berupa
pemungutan suara ulang.
Putusan yang memerintahkan pemungutan suara ulang ini menjadi suatu
kontroversi, karena Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara ini telah
melampaui kewenangannya sebagaimana yang telah diatur dalam hukum acara
Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Dalam pasal 4 PMK Nomor.15 tahun 2008
menyatakan :
Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan
oleh termohon yang mempengaruhi :
1. Penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua
pemilukada; atau
2. Terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala
daerah”
Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi menafsirankan
secara luas dalam mengadili sengketa pemilukada. Mahkamah Konstitusi
berpendapat dalam mengadili sengketa Pemilukada tidak hanya membedah
permohonan dengan melihat hasil perolehan suara, melainkan Mahkamah
Konstitusi juga meneliti lebih dalam adanya pelanggaran yang bersifat
terstruktur, sistematis yang memengaruhi hasil perolehan suara tersebut. Dari
pandangan tersebut terlihat seolah-olah ada perluasan objek sengketa perselisihan
hasil pemilihan umum yang tidak hanya melihat dari hasilnya tetapi juga
prosesnya.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya baik dalam perkara PHPU.D
Jawa Timur maupun PHPU.D Tangerang Selatan telah menerapkan doktrin
judicial activism. Pada perkara PHPU.D di Jawa timur Mahkamah Konstitusi
memberikan pandangan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh membiarkan
aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) mengesampingkan
keadilan substantif (substantive justice) , karena fakta-fakta hukum yang telah
terbukti dalam perkara tersebut merupakan pelanggaran konstitusi, khususnya
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan Pemilihan Kepala Daerah
dilakukan secara demokratis, dan tidak melanggar asas-asas pemilihan umum
yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi mengutip salah satu prinsip hukum dan keadilan
yang dianut secara universal menyatakan bahwa : “tidak seorang pun boleh
diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan
tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang
dilakukan oleh orang lain”. Dengan demikian, tidak ada kecurangan dalam
pemilihan umum. Terlepas dari penanganan penegak hukum yang akan
memproses semua tindak pidana dalam Pemilukada secara cepat dan adil untuk
menjadi alat bukti dalam sengketa pemilukada di hadapan Mahkamah yang
dalam pengalaman empiris Pemilukada tampaknya kurang efektif, maka
Mahkamah memandang perlu menciptakan terobosan baru guna memajukan
demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan praktik pelanggaran sistematis,
yang terstruktur.
Kemudian Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa dalam memutuskan
perselisihan hasil Pemilukada, Mahkamah Konstitusi tidak hanya menghitung
kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan suara tetapi
juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan
yang diperselisihkan, sebab kalau hanya menghitung saja sebenarnya bisa
dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di bawah pengawasan
Panwaslu dan aparat kepolisian atau cukup oleh pengadilan biasa.
Atas alasan-alasan tersebutlah Konstitusi dapat memasuki proses mengadili
dan dalam putusannya memerintahkan pemungutan suara ulang apabila telah
terjadi pelanggaran yang mempunyai sifat terstruktur,sistematis dan massif
karena Mahkamah Konstitusi tidak mungkin menetapkan versi perhitungan yang
tepat menurut Mahkamah Konstitusi apabila dalam prosesnya diwarnai dengan
pelanggaran-pelanggaran.
D. Putusan PHPU
Selain ketentuan yang ada di luar putusan tidak dapat diterima, Mahkamah
Konstitusi juga dapat memutuskan permohonan ditolak atau permohonan
diterima. Apabila dalam persidangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa permohonan tidak beralasan, maka putusan menyatakan
kalau permohonan ditolak. Dan sebaliknya, jika Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa permohonan terbukti beralasan, maka putusan
menyataka bahwa permohonan dapat dikabulkan dan selanjutnya Mahkamah
Konstitusi akan menyatakan pembatalan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
Intisari dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi tentang sengketa pemilu
(kepala daerah), yang mempengaruhi hasil pemilu bukan hanya kesalahan
penghitungan, tetapi juga kesalahan dalam proses sehingga hal itu juga
berpengaruh pada bentuk putusan lainnya.
Putusan bukan hanya: (1) tidak dapat diterima dan (2) dikabulkan, dalam arti
membatalkan Keputusan KPUD dan menetapkan perhitungan yang benar; serta
(3) ditolak, yaitu jika permohonan tidak beralasan. Akan tetapi, kini putusan bisa
memerintahkan penghitungan suara ulang dan pemungutan suara ulang. Hal ini,
menurut Mahkamah Konstitusi, bermaksud untuk menegakkan keadilan
substantif dan untuk memberi manfaat dalam penegakan demokrasi dan
konstitusi.
Pada beberapa putusannya, Mahkamah Konstitusi melihat telah terjadi
pelanggaran-pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif. Pada putusannya juga
disinggung adanya pelanggaran yang signifikan dan terstruktur sehingga
mencederai konstitusi, demokrasi, dan hak-hak warga negara [Pasal 18 ayat (4)
dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945], serta peraturan perundang-undangan lainnya
yang tidak dibenarkan terjadi di negara hukum Republik Indonesia. Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa dalam mengadili perkara, Mahkamah Konstitusi
tidak hanya merujuk pada objek formal perselisihan pemilu saja, tetapi
Mahkamah Konstitusi juga harus menggali dan menemukan kebenaran hukum
dan keadilan sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Dalam upaya
mewujudkan keadilan prosedural dan keadilan substantif, serta asas manfaat
demi supremasi konstitusi, hukum, dan demokrasi, Mahkamah Konstitusi telah
menilai seluruh keterangan para pihak, bukti-bukti surat, dan saksi-saksi di
persidangan sesuai dengan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai
penanganan sengketa pemilu pengawal konstitusi dan demokrasi serta pelindung
HAM.
Dalam beberapa kasus sengketa pemilu, ada beberapa dasar lain yang
coba diajukan sebagai dasar gugatan, antara lain terjadinya kesalahan dalam
pendaftaran pemilih, adanya kecurangan (khususnya money politics,
penyimpangan birokrasi dan intimidasi), atau adanya keputusan KPUD yang
merugikan. Dasar gugatan dalam perselisihan hasil pemilu cukup terbatas.
Dasar untuk mengajukan keberatan hasil pemilu adalah adanya kesalahan
dalam keputusan mengenai hasil pemilu yang dikeluarkan oleh KPU. Dasar
gugatan ini pada akhirnya akan menentukan sejauh mana pengadilan akan
memutuskan kasus tersebut, apakah hanya pembatalan penghitungan dan
perintah untuk menghitung ulang, atau menyatakan batal suatu hasil pemilu dan
dilakukan pemilihan ulang. Apa yang bisa diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi
dalam suatu perselisihan hasil pemilu? Apa batasan bagi Mahkamah Konstitusi
dalam memutuskan sengketa yang diajukan? Jawabannya tentu terkait dengan
apa yang dapat dimohonkan dalam suatu sengketa atau perselisihan pemilihan.
Baik untuk pemilu legislatif, presiden, maupun pemilihan kepala daerah, sudah
ditegaskan dasar gugatan maupun putusannya secara jelas. Putusan berisi
perintah untuk mengadakan pemilihan ulang atau penghitungan ulang tidak ada
dalam hukum acara penyelesaian sengketa pemilu di Indonesia. Hal itu berlaku
dalam pemilu legislatif maupun presiden yang ditangani oleh Mahkamah
Konstitusi. Dalam praktiknya, untuk mencari kebenaran, Mahkamah Konstitusi
melakukan pemeriksaan ke lapangan dan memerintahkan kepada penyelenggara
KPUD dan jajarannya untuk membuka kotak suara dan menghitung ulang. Hal
itu dilakukan untuk menguatkan bukti-bukti dan menjadi pertimbangan dalam
membuat putusan. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi tidak pernah
memerintahkan kepada KPU untuk melakukan pemilihan ulang. Adanya perintah
pemilihan ulang ini juga tidak selaras dengan konsep bahwa penyelesaian
sengketa pemilu berada di jalur cepat (fast track). Keputusan di sini tentu yang
dimaksud adalah apakah permohonan tidak diterima, ditolak, atau diterima, dan
bukan suatu perintah pemilihan ulang yang akan memperpanjang proses
pemilihan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/1-
Penelitian%20Efektifitas-upload.pdf
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/1-
Penelitian%20Efektifitas-upload.pdf
http://regafelix.wordpress.com/2011/05/25/peran-mahkamah-konstitusi-dalam-
menyelesaikan-sengketa-pemilukada-dalam-rangka-menegakkan-demokrasi-
berdasarkan-konstitusi/
www.gresnews.com/berita/tips/31194-peran-mahkamah-konstitusi-untuk-sengketa-
pemilu/
http://pshk.law.uii.ac.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=37&Itemid=126