Post on 02-Dec-2015
description
TUGAS A : 1) CHECK AND BALANCES
2) REPRESENTATIVE INSTITUTIONS
1) CHECK AND BALANCES
Demokrasi Klasik Athena
Perkembangan pemikiran dan praktik demokrasi di dalam kajian ilmu politik maupun filsafat
tidak dilepaskan dari konsep demokrasi yang muncul dari masa Yunani-Kuno, khususnya di
wilayah Athena, atau yang sering disebut Polis Athena, atau sebuah negara-kota Athena.
Baik pemikiran liberal maupun republikan merujuk pada demokrasi klasik Athena sebagai
rujukan teoritik mereka, sekalipun nantinya demokrasi republikan yang lebih kental
mengadopsi ataupun mengembangkan kembali pemikiran demokrasi klasik Athena.
Leslie Lipson dalam studi klasiknya The Democratic Civilization menuliskan bahwa “the
foundations of democracy were laid in ancient Greece”, di mana Lipson memandang bahwa
dasar-dasar demokrasi dibangun pada masa Yunani kuno, yang bukan hanya istilah
“demokrasi” yang memang berasal dari Yunani, tetapi juga sebuah sistem yang pertama kali
digambarkan dan dikembangkan di masyarakat Yunani, yang semakin matang pada abad
keenam sampai keempat sebelum masehi, khususnya di negara-kota Athena.[3]
Studi lain, yakni David Held dalam Models of Democracy, memandang bahwa
perkembangan demokrasi di Athena merupakan sumber inspirasi bagi pemikiran politik
modern. Ideal-ideal politik yang tercakup di dalamnya – misalnya, kesetaraan di antara
warga, kebebasan, penghormatan terhadap hukum dan keadilan – sangat mempengaruhi
pemikiran politik Barat, meskipun terdapat sejumlah ide-ide pokok, misalnya, pemikiran
liberal modern bahwa manusia merupakan “individu” yang memiliki “hak”, yang secara
khusus tidak dapat dilacak secara langsung pada pemikiran demokrasi Athena.[4] Baik Held
maupun Lipson melihat bahwa perkembangan pemikiran demokrasi di Athena sangat
dipengaruhi oleh tiga pemikir utama, yakni Thucydides, Plato dan Aristoteles.[5]
Poin penting dalam karya Thucydides adalah pernyataan Pericles, di mana setiap warga
dapat, bahkan harus, terlibat atau berpartisipasi dalam menciptakan dan merawat sebuah
kehidupan bersama. Secara formal, warga tidak harus merasa terhalangi untuk terlibat dalam
urusan publik yang didasarkan pada kedudukan dan kekayaan, karena demos menggenggam
kekuasaan yang berdaulat, yakni otoritas tertinggi untuk terlibat dalam fungsi legislatif
maupun yudisial. Konsep “kewargaan” Athena mengharuskan setiap warga untuk ikut ambil
bagian dalam fungsi-fungsi tersebut, dan berpartisipasi secara langsung dalam urusan-urusan
kenegaraan. Demokrasi Athena ditandai oleh komitmen bersama terhadap prinsip civic virtue,
yakni: dedikasi kepada republik negara-kota dan subordinasi kehidupan privat terhadap
urusan-urusan publik dan kemaslahatan bersama (common good).
Menurut Held, deskripsi yang sangat baik mengenai demokrasi klasik dapat dilihat dalam
karya Aristoteles yakni The Politics, yang dinilai Held menyuguhkan deskripsi yang rinci
mengenai demokrasi. Bagi Held, deskripsi Aristoteles menyajikan secara jelas dan terang
mengenai institusi-institusi demokrasi klasik:
[…] A basic principle of the democratic constitution is liberty. People constantly make this
statement, implying that only in this constitution do men share in liberty; for every
democracy, they say, has liberty for its aim. ‘Ruling and being ruled in turn’ is one element in
liberty, and the democratic idea of justice is in fact numerical equality, not equality in based
on merit; and when this idea of is just prevails, the multitude must be sovereign, and
whatever the majority decides is final and constitutes justice. For, they say, there must be
equality for each of the citizens. The result is that in democracies the poor have more
sovereign power then the rich; for they are more numerous, and the decisions of majority are
sovereign. So this is one mark of liberty, one which all democrats make a definitive principle
of their constitution. Another is to live as you like. For this, they say, is a function of being
free, since its opposite, living not as you like, is the function of one enslaved. This is the
second defining principle of democracy, and from it has come to idea of ‘not being ruled’, not
by anyone at all if possible, or at least only in alternation. This [‘to be ruled by alternation’] is
a contribution towards that liberty which based on equality.
From these fundamentals, and from rule thus conceive, are derived from rule thus conceived,
are derived the following features of democracy: (a) Elections to office by all from among all.
(b) Rule all over each and of each by turns over all. (c) Office filled by lot, either all or at any
rate those not calling for experience or skill. (d) No tenure of office dependent on the
possession of a property qualification, or only on the lowest possible. (e) The same man not
to hold the same office twice, or only rarely, or only a few apart from those connected with
warfare. (f) Short terms for all offices or as many as possible. (g) All to sit on juries, chosen
from all and adjudicating on all or most matters, i.e. the most important and supreme, such as
those affecting the constitution, scrutinies, and contracts between individuals. (h) The
assembly as the sovereign authority in everything, or at least the most important matters,
officials having no sovereign power over any, or over as few as possible… Next (i) payments
for services, in the assembly, in the law-courts, and in the offices, is regular for all (or at any
rate the offices, the law-courts, council, and the sovereign meetings of assembly, or in the
offices where it is obligatory to have meals together). Again (j), as birth, wealth, and
education are the defining marks of oligarchy, so their opposites, low birth, low incomes, and
mechanical occupations, are regarded as typical of democracy. (k) No official has perpetual
tenure, and if any such office remains in being after an early change, it is shorn of its power
and its holders selected by lot from among picked candidates. These are the common
characteristics of democracies.[6]
Kalau merujuk pada preposisi Aristoteles di atas, maka bagi kaum demokrat, kebebasan
(liberty) dan kesetaraan (equality) adalah dua hal yang saling berkait dan tidak dapat
dipisahkan. Dari teks Aristoteles bisa dilihat dua kriteria mengenai kebebasan, yang ia
ajukan: (1) “ruling and being ruled in turn” dan (2) “living as one chooses”. Untuk
menciptakan kriteria pertama sebagai prinsip yang efektif dari pemerintahan, kesetaraan
menjadi sesuatu yang sangat pokok, artinya: tanpa “numerical equality” maka rakyat
kebanyakan tidak akan berdaulat (sovereign).[7] Dalam pandangan Aristoteles, di demokrasi
klasik terdapat kebebasan, dan di dalam kebebasan ditegaskan adanya kesetaraan politik.
Secara institusional, citizenry (semacam forum warga) secara keseluruhan dibentuk sebagai
lembaga berdaulat yang memiliki peran kunci di Athena, yakni: Majelis (The Assembly).
Majelis melakukan pertemuan sebanyak lebih dari 40 kali dalam setahun, dengan jumlah
quorum sebanyak 6,000 warga. Semua isu umum seperti kerangka hukum untuk menjaga
tata-aturan publik, keuangan dan pajak langsung, pengucilan orang (ostracism) dan urusan
luar negeri (termasuk memberikan penilaian terhadap performa militer dan angkatan laut,
membentuk persekutuan, mendeklarasikan perang maupun perdamaian) dibicarakan sebelum
warga yang berkumpul dalam mejelis memusyawarahkannya dan melakukan pengambilan
keputusan. Majelis yang memutuskan komitmen-komitmen politik dari negara Athena. Untuk
menjaga munculnya bahaya politik otokrasi atau asosiasi patron-klien dalam pemilihan
langsung, sejumlah metode pemilu dilakukan untuk menjaga akuntabilitas para administratur
politik dan sistem bernegara secara umum, seperti rotasi dalam pelaksanaan tugas, dalam
melakukan seleksi dan pemilihan langsung.[8]
2) REPRESENTATIVE INSTITUTIONS
Tulisan ini dibuat berdasarkan buku Political Theory: an Introduction oleh Andrew Heywood,
pada bab 8 “Democracy, Representation and the Public Interest”, Hampshire, diterbitkan oleh
Palgrave, 2002, halaman 220-252. Tujuan tulisan ini adalah menjelaskan makna konsep
demokrasi baik klasik dan modern, makna perwakilan dan juga kepentingan publik.
Heywood menjelaskan dalam buku tersebut bahwa tradisi politik demokrasi dipahami sebagai
demokrasi yang dikuasai oleh massa yang bodoh dan tidak mengetahui kebenaran, bila diusut
kembali pada masa Yunani Kuno. Makna kata demokrasi berdasarkan bahasa Yunani adalah
pemerintahan oleh banyak orang. Menjelang abad ke-19 para pemikir politik kemudian
mengembangkan pengertian demokrasi tersebut, bahkan semua terlihat adalah demokrasi,
liberal, konservatif, sosialis, komunis, anarkhis dan bahkan fasis telah berhasrat sekali untuk
menyatakan kebajikan demokrasi dan mempertunjukkan kepercayaan demokratik mereka.
Hal ini tentu menunjukkan bahwa tradisi demokrasi tidak memberi demokrasi sebagai
kekuasaan popular ideal yang tunggal dan disetujui, namun lebih pada sebuah arena
perdebatan di mana maksud kekuasaan popular, dan dalam cara apa dapat diperoleh dan
didiskusikan. Sehingga dalam hal ini, pemikiran politik demokrasi menyebutkan tiga
pertanyaan pokok. Pertama, siapa rakyat? Karena tidak seorang pun yang akan memperluas
partisipasi politik kepada semua orang, pertanyaannya adalah pada dasar apa partisipasi
tersebut dibatasi—berhubungan dengan umur, pendidikan, jenis kelamin, latar belakang
sosial? Kedua, bagaimana rakyat akan memerintah? Hal ini berhubungan tidak saja pada
pilihan antara bentuk demokrasi langsung dan tidak langsung, tapi juga perdebatan tentang
bentuk perwakilan dan perbedaan sistem pemilihan. Ketiga, sejauh mana pemerintah popular
sampai? Akankah demokrasi akan dibatasi terhadap kehidupan politik, atau akankah
demokrasi juga digunakan baik dalam keluarga, tempat kerja, atau di seluruh ekonomi?
Demokrasi adalah phenomena yang ambigu, karena dalam kenyataannya ada sejumlah teori
atau model demokrasi yang masing-masing menawarkan versi pemerintahan populernya
sendiri. Tidak hanya ada sejumlah bentuk dan mekanisme demokrasi, tapi juga, secara
fundamental, sedikit perbedaan mendasar dimana pemerintahan demokrasi dapat dibenarkan.
Demokrasi klasik, berdasarkan model Athena, diberi ciri-ciri dengan partisipasi langsung dan
berkelanjutan oleh rakyat dalam proses pemerintahan. Demokrasi pretektif adalah terbatas
dan bentuk tidak langsung pemerintahan demokrasi yang diatur untuk memberikan individu-
individu dengan arti pertahanan melawan pemerintah. Terakhir, demokrasi rakyat, yang
berakar dalam Marxisme ortodoks, menerjemahkan demokrasi dalam pola pencarian yang
membawa persamaan sosial dengan pengkolektifan kekayaan. Berdasarkan pernyataan di atas
dapat dimengerti mengapa banyak sekali makna atau penafsiran mengenai demokrasi.
Sehingga, tidak salah apabila Bernard Crick menyatakan bahwa demokrasi adalah istilah
politik yang paling tidak memilih-milih, yang berarti bahwa kata demokrasi adalah hal yang
berbeda dengan orang yang berbeda.
Demokrasi langsung atau demokrasi partisipatori model Athena dipandang tidak efektif lagi
digunakan oleh negara modern dewasa ini. Demokrasi langsung ala Athena tersebut dipahami
bahwa setiap warga negara memenuhi syarat untuk memegang jabatan publik yang juga
sesuai budaya mereka bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan untuk membicarakan
hal-hal yang berkaitan dengan negara. Demokrasi langsung ini memang efektif bila jumlah
warga negaranya sedikit dan semua terlibat dalam pertemuan-pertemuan yang membicarakan
kepentingan negara, dan hal ini tidak ditemukan lagi dalam negara modern dewasa ini.
Dewasa ini, negara modern telah memiliki jumlah penduduk yang banyak dan akan
mengalami kesulitan untuk mencapai kesepakatan dalam waktu yang cepat. Walaupun
beberapa tradisi Yunani kuno masih berjalan di beberapa daerah negara modern. Misalnya
demokrasi pertemuan kota di pemerintahan lokal Amerika Serikat, New England.
Ide perwakilan adalah bagian dari teori-teori demokrasi modern yang banyak digunakan
negara modern dewasa ini. Dalam hal ini, demokrasi dinyatakan berdasarkan penegasan
bahwa para politisi melayani sebagai perwakilan-perwakilan rakyat. Perwakilan ini
menggambarkan bahwa mereka berdiri untuk mewakili kepentingan dari kumpulan besar
orang-orang. Perwakilan kadang-kadang dilihat sebagai orang yang “tahu lebih baik”
daripada yang lain, dan oleh karena itu dapat bertidak dengan bijaksana dalam kepentingan
mereka. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa para politisi tidak seharusnya diikat
seperti delegasi terhadap pandangan-pandangan konstituen mereka, namum seharusnya
memiliki kapasitas berpikir untuk kepentingan dan menggunakan pertimbangan personal.
Mekanisme yang digunakan dalam perwakilan adalah melalui pemilihan, politisi yang
terpilih dapat menyebut diri mereka mewaliki pada alasan-alasan di mana mereka telah
dimandatkan oleh orang-orang. Contoh perwakilan demokrasi dalan negara modern dewasa
ini misalnya adalah parlemen atau badan. Supaya perwakilan ini menjadi penuh demokratis,
dapat dilakukan dengan pemilihan yang reguler, terbuka, dan yang lebih utama adalah
persaingan.
Berlakunya sistem perwakilan ini mengakibatkany terbatasnya kesempatan untuk partisipasi
popular secara langsung. Oleh karena itu, pemerintah yang memiliki kesempatan untuk
mewakili rakyat akan melayani rakyat atau bertindak di dalam kepentingan mereka. para
politisi hampir di setiap sistem politik berhasrat untuk menyatakan bahwa mereka bekerja
untuk “kepentingan umum” atau “kebaikan bersama”. Terlalu sering pemaham melayani
kepengtingan publik hanya memberi pandangan politisi atau bertindak menyelubungi
tanggung jawab moral. Selain itu, dinyatakan juga bahwa sulit untuk membedakan
kepentingan pribadi dari setiap warga dan apa yang dapat dipikirkan sebagai kepentingan
bersama atau publik mereka. Oleh karena itu, perhatian telah diberikan terhadap bagaimana
kepentingan publik dapat ditetapkan dalam praktek. Perdebatan inilah yang kemudian dikenal
dengan “dilema demokrasi”. Beberapa pemahaman mengenai demokrasi berdasarkan ide
bahwa pemerintah dapat dan melakukan tindakan dalam kepentingan publik, kepentingan
bersama atau kolektif masyarakat. Namun pemahaman individualis dan pluralis telah
mempertanyakan apakah ada seperti kepentingan umum berpisah dari kepentingan pribadi
warga.
Berdasarkan penjelasan di atas, akhirnya penulis menyimpulkan bahwa munculnya
perbedatan mengenai ketidakjelasan demokrasi adalah karena demokrasi hasil dari pemikir
filsafat yang berbeda atau individu-individu yang memikirkan demokrasi hingga menemukan
ide yang ideal mengenai demokrasi atau nilai-nilai tersendiri. Berkaitan dengan tujuan tulisan
ini, penulis merangkai kesimpulan bahwa sistem politik yang demokratis ialah di mana
kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan
politik dan dilaksanakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Contoh yang penulis
angkat dalam tulisan ini adalah hasil penelitian Kuskridho Ambardi tentang mengungkap
Politik Kartel. Dalam penelitiannya dijelaskan, tahun 2004 Indonesia melakukan pemilihan
umum yang demokratis untuk anggota parlemen, sebagaimana praktek demokrasi modern ini
yaitu melalui perwakilan yang dipilih secara reguler, terbuka dan berkelanjutan. Ketika pada
pemilihan tersebut, para calon anggota partai bersaing dengan berpatokan pada ideologis
masing-masing partai dan berusaha untuk menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan atau
kepentingan konstituennya. Namun kenyataannya, ketika para calon parlemen tersebut
berhasil menduduki parlemen yang terjadi adalah mereka mengabaikan perbedaan ideologis,
membentuk koalisi secara permisif, mengaburkan oposisi, dan membuat hasil pemilu tak lagi
menjadi faktor penentu koalisi. Mereka bertindak seragam sebagai satu kelompok tunggal
demi kepentingan bersama, dengan memelihara sistem kepartaian yang terkartelisasi.
Sehingga menurut penulis, para anggota parlemen sebagai perwakilan dalam sistem
demokrasi bertindak bukan demi kepentingan publik, namun lebih kepada kepentingan partai
saja. Benar-benar menjadi dilema demokrasi.
MENGAPA CB DAN RI?
Check and Balance dan Representative Institutions sangat memiliki hubungan kuat atau
semacam korelasi positif. Sebelum membahas terlalu jauh ini, ada baiknya kita pahami
contoh dari masing-masing teori ini, yakni : wujud dari CB adalah Trias Politika (eksekutif
yudikatif dan legislatif). Apa perwujudan dari RI? Kita bisa lihat dari adanya Badan-Badan
yang semacam Institusi, seperti BNP2TKI, KPK, KOMNAS HAM, WALHI dll. Dari semua
ini, apa yang menghubungkan mereka? Jika saya pandang dari kacamta saya secara
komprehensif, adanya Trias Politika guna menjaga agar lembaga pemerintahan yang ada
dapat bekerja maksimal, tahu akan tupoksi mereka, Trias Politika ada guna menjaga kinerja
lembaga negara agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan, yakni ABIUSE OF POWER.
Setelah ini berjalan sesuai harapan, Maka selanjutnya ada Representative Institutions, ini
sebagai wujud lembaga perwakilan dari eksekutif guna mempercepat pelaksanaan tugas, dan
implementasi atau output yang ada bukan hanya dari pihak eksekutif, melainkan pihak luar,
seperti ICW WALHI dll, dan efek dari otonomi daerah yang dimana telah terterapkan sejak
dulu dalam wujud desentralisasi yang dimana pelimpahan wewenang pusat kepada daerah.
Kita sebagai manusia intelek sudah seharusnya mampu menyikapi segala sesuatunya secara
objektif dan menyeluruh, apa kaitannya dengan CB dan RI terkait objektifitas? Tentu ada,
karena ketika kita mampu bersikap objektif, tentunya kita dalam menjalankan tugas atau
memandang suatu realita terlebih terkait dengan politik, kita dapat bersikap bijak tanpa
tertunggangi oleh kepentingan politik. Demokrasi sangat erat bahkan memang harus berkaitan
dengan politik, karena itulah, dengan objektif dalam memandang realita, kita dapat
menerapkan sistem Check and Balances dengan maksimal, dan pemanfaatan lembaga
perwakilan guna menjamin kehidupan masyarakat dan roda pemerintahan yang lebih baik