Post on 18-Dec-2014
WACANA TENTANG GLOBAL WARMING
Oleh: Erstayudha Hayyu N.
Wacana mengenai global warming terus menjadi topik pembicaraan yang
serius di masyarakat. Naiknya suhu permukaan bumi mengakibatkan mencairnya
daratan es di Benua Antartika dan memicu kenaikan muka air laut. Salah satu
akibat adalah fenomena sea level rise. Laporan dari Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun
terhitung mulai tahun 2000 permukaan air laut akan meningkat setinggi 15-90 cm
dengan kepastian peningkatan setinggi 48 cm (Mimura, 2000).
Dewasa ini, 65% penduduk Pulau Jawa hidup di pesisir pantai dengan
tingkat pertumbuhan Penduduk Pesisir Jawa mencapai angka 2,2% per tahun (di
atas pertumbuhan penduduk rata-rata nasional (Miladan,2009). Berbagai bencana
kerap terjadi bersamaan dengan pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Salah
satu bencana yang sering terjadi di wilayah pesisir pantai adalah banjir akibat sea
level rise. Beberapa indikasi dari meningkatnya muka air laut seperti garis pantai
yang makin berkurang, Hilangnya pulau-pulau kecil, hilangnya kawasan hutan
bakau, abrasi, sedimentasi, meluasnya intrusi air laut, meningkatnya frekuensi dan
intensitas banjir, perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove,
terganggunya kegiatan sosial- ekonomi masyarakat pesisir.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Walhi (2006), Faktanya hampir
3.000 desa atau kelurahan di Pesisir Jawa mengalami bencana banjir setiap
tahunnya dan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, setidaknya terdapat 90 lokasi
pesisir Jawa mengalami abrasi pantai hingga puluhan kilometer. Hal tersebut
sesuai dengan apa yang telah diwacanakan oleh mantan wakil presiden Amerika
Al Gore dalam film dokumenternya “An Inconvenient Truth” (2006). Wacana
yang dikemukakan oleh Al Gore tersebut digunakan oleh peneliti sebagai
landasan teori baru bahwa Bumi sedang sekarat karena ulah Manusia. Dia adalah
pria pemimpin gerakan isu pemanasan global di dunia barat yang menyuarakan
bahwa manusia telah menjadi tokoh utama dibalik pemanasan global.
Sejak beredarnya mahakarya dari Al Gore ini, mata dunia seakan
‘terbuka’. Manusia merasa menjadi aktor dibalik hilangnya bongkahan-bongkahan
es di kutub, dan pemeran utama dibalik bencana-bencana alam yang timbul.
Semua orang yang menyaksikan bagaimana piawainya Al Gore
mendokumentasikan bagaimana longsornya bongkahan-bongkahan es yang
kemudian mengatakan ternyata manusia yang menghancurkan alam. Di film itu
hanya menunjukkan bagaimana gunung-gunung es itu mulai runtuh, lalu diberikan
gambaran bagaimana asap-asap rumah industri dan pengaruhnya terhadap
mencairnya gunung es itu kemudian bagaimana hubungannya dengan bencana
alam lainnya.
Fakta-fakta baru muncul untuk memperkuat wacana bahwa sekarang telah
terjadi Global Warming. IPCC melaporkan penelitiannya bahwa 0,15 – 0,30 C.
Dari data tersebut muncul wacana bahwa jika peningkatan suhu itu terus berlanjut,
diperkirakan pada tahun 2040 (33 tahun dari sekarang) lapisan es di kutub-kutub
bumi akan habis meleleh. Dan jika bumi masih terus memanas, pada tahun 2050
akan terjadi kekurangan air tawar, sehingga kelaparan pun akan meluas di dunia.
Udara akan sangat panas, jutaan orang berebut air dan makanan. dan ke mana lagi
kita akan tinggal, apabila bumi ini semakin lama dan semakin lama manusia tidak
dapat bertahan hidup di bumi, Napas tersengal oleh asap dan debu. Rumah-rumah
di pesisir terendam air laut. Luapan air laut makin lama makin luas, sehingga
akhirnya menelan seluruh pulau. Harta benda akan lenyap, begitu pula nyawa
manusia.
Bumi semakin panas, mereka menyebutnya Pemanasan Global dan mulai
menyalahkan manusia sebagai penyebab dari rusaknya tatanan iklim dunia. Jauh
dibalik itu semua, semua konspirasi tingkat tinggi sedang berlangsung, Amerika
tidak menandatangani protokol Kyoto, negara-negara lain langsung bangkit untuk
mengecam. Segera setelah Konvensi Kerangka Kerjasama Persatuan Bangsa-
bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC - United Nations Framework
Convention on Climate Change) disetujui pada KTT Bumi (Earth Summit) tahun
1992 di Rio de Janeiro, Brazil, negara-negara peserta konvensi mulai melakukan
negosiasi-negosiasi untuk membentuk suatu aturan yang lebih detil dalam
mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (selanjutnya disebut GRK).
Pada saat pertemuan otoritas tertinggi tahunan dalam UNFCCC ke-3
(Conference of Parties 3 - COP) diadakan di Kyoto, Jepang, sebuah perangkat
peraturan yang bernama Protokol Kyoto diadopsi sebagai pendekatan untuk
mengurangi emisi GRK. Kepentingan protokol tersebut adalah mengatur
pengurangan emisi GRK dari semua negara-negara yang meratifikasi. Protokol
Kyoto ditetapkan tanggal 12 Desember 1997, kurang lebih 3 tahun setelah
Konvensi Perubahan Iklim mulai menegosiasikan bagaimana negara-negara
peratifikasi konvensi harus mulai menurunkan emisi GRK mereka.
Sepanjang COP 1 dan COP 2 hampir tidak ada kesepakatan yang berarti
dalam upaya penurunan emisi GRK. COP 3 dapat dipastikan adalah ajang
perjuangan negosiasi antara negara-negara ANNEX I (negara-negara
berkembang) yang lebih dulu mengemisikan GRK sejak revolusi industri dengan
negara-negara berkembang yang rentan terhadap perubahan iklim. Negara-negara
maju memiliki kepentingan bahwa pembangunan di negara mereka tidak dapat
lepas dari konsumsi energi dari sektor kelistrikan, transportasi, dan industri.
Untuk mengakomodasikan kepentingan antara kedua pihak tersebut Protokol
Kyoto adalah satu-satunya kesepakatan internasional untuk berkomitmen dalam
mengurangi emisi GRK yang mengatur soal pengurangan emisi tersebut dengan
lebih tegas dan terikat secara hukum (legally binding).
Dalam Protokol Kyoto disepakati bahwa seluruh negara ANNEX I wajib
menurunkan emisi GRK mereka rata-rata sebesar 5.2% dari tingkat emisi tersebut
di tahun 1990. Tahun 1990 ditetapkan dalam Protokol Kyoto sebagai acuan dasar
(baseline) untuk menghitung tingkat emisi GRK. Bagi negara NON ANNEX I
Protokol Kyoto tidak mewajibkan penurunan emisi GRK, tetapi mekanisme
partisipasi untuk penurunan emisi tersebut terdapat di dalamnya, prinsip tersebut
dikenal dengan istilah "tanggung jawab bersama dengan porsi yang berbeda"
(common but differentiated responsbility). Protokol Kyoto mengatur semua
ketentuan tersebut selama periode komitmen pertama yaitu dari tahun 2008
sampai dengan 2012. Beberapa mekanisme dalam Protokol Kyoto yang mengatur
masalah pengurangan emisi GRK, seperti dijelaskan di bawah ini:
1. Joint Implementation (JI), mekanisme yang memungkinkan negara-negara
maju untuk membangun proyek bersama yang dapat menghasilkan kredit
penurunan atau penyerapan emisi GRK.
2. Emission Trading (ET), mekanisme yang memungkinkan sebuah negara
maju untuk menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara maju
lainnya. ET dapat dimungkinkan ketika negara maju yang menjual kredit
penurunan emisi GRK memiliki kredit penurunan emisi GRK melebihi
target negaranya.
3. Clean Development Mechanism (CDM), mekanisme yang memungkinkan
negara non-ANNEX I (negara-negara berkembang) untuk berperan aktif
membantu penurunan emisi GRK melalui proyek yang diimplementasikan
oleh sebuah negara maju. Nantinya kredit penurunan emisi GRK yang
dihasilkan dari proyek tersebut dapat dimiliki oleh negara maju tersebut.
CDM juga bertujuan agar negara berkembang dapat mendukung
pembangunan berkelanjutan, selain itu CDM adalah satu-satunya
mekanisme di mana negara berkembang dapat berpartisipasi dalam
Protokol Kyoto.
Bagi negara-negara ANNEX I mekanisme-mekanisme di atas adalah
perwujudan dari prinsip mekanisme fleksibel (flexibility mechanism). Mekanisme
fleksibel memungkinkan negara-negara ANNEX I mencapai target penurunan
emisi mereka dengan 3 mekanisme tersebut di atas.
Ada dua syarat utama agar Protokol Kyoto berkekuatan hukum, yang
pertama adalah sekurang-kurangnya protokol harus diratifikasi oleh 55 negara
peratifikasi Konvensi Perubahan Iklim, dan yang kedua adalah jumlah emisi total
dari negara-negara ANNEX I peratifikasi protokol minimal 55% dari total emisi
mereka di tahun 1990. Pada tanggal 23 Mei 2002, Islandia menandatangani
protokol tersebut yang berarti syarat pertama telah dipenuhi. Kemudian pada
tanggal 18 November 2004 Rusia akhirnya meratifikasi Protokol Kyoto dan
menandai jumlah emisi total dari negara ANNEX I sebesar 61.79%, ini berarti
semua syarat telah dipenuhi dan Protokol Kyoto akhirnya berkekuatan hukum 90
hari setelah ratifikasi Rusia, yaitu pada tanggal 16 Februari 2005.
Dibalik semua itu satu hal yang membuat dunia gelisah yaitu, Amerika
Serikat, Jepang dan Kanada dan beberapa negara Eropa lainnya menolak untuk
menandatangani protokol tersebut. Hal ini langsung membuat munculnya
berbagai kecaman dari berbagai pihak yang menuduh Amerika Serikat terlalu
egois dengan industrinya bahkan dari masyarakat Amerika itu sendiri. Hal inilah
yang kemudian membuat keanehan. Suatu negara besar seperti Amerika tidak
akan main-main dengan kesepakatan antar negara apalagi jika mencakup
kepentingan banyak negara bahkan kelangsungan bumi.
Noel Sheppard yang juga penyelidik media-media barat memberitahukan,
bahwa usaha menekan polusi adalah ide yang bagus, namun tak ada sangkut-
pautnya dengan pemanasan global.
“Ini semua hanyalah rekayasa untuk mendapatkan kekuasaan, mendapatkan uang dan keuntungan serta mendapatkan kekuatan untuk mengontrol populasi dunia oleh para elite-elit dunia yang selama ini membuat mitos tentang terjadinya pemanasan global!”, jelas Noel Sheppard.
Semuanya memang terkait dengan karbondioksida dan pencemaran.
namun disitulah inti dari semuanya karena memang ada kaitan yang erat. Para elit
tersebut memproduksi dan menjual segala sesuatunya yang menyangkut untuk
pemberhentian pemanasan global yang mereka cetuskan tersebut sejak sekitar 20
tahun lamanya. Mereka mengumpulkan uang dari penjualan trilyunan dollar dari
semua program tentang pemberhentian pemanasan global ini, termasuk green
product misal pupuk dan lainnya, juga investasi keuangan perusahaan dari pabrik-
pabrik, perusahaan tenaga listrik dan energi lainnya, serta semua barang yang
menyangkut lingkungan hidup diseluruh pelosok dunia, bahkan hingga gaya hidup
masyarakat dunia. Semua itu bisa berdampak buruk, kenapa? Karena jika semua
masyarakat gaya hidupnya berubah, maka takkan pernah bisa normal seperti
semula lagi, dan mereka akan terus mendapat keuntungan yang tak terhingga
untuk modalnya guna mengontrol dunia.
Misalnya, jika suatu industri atau perusahaan telah mencemari lingkungan
(seperti pertambangan dan sejenisnya yang lain) dan mereka tak mungkin untuk
menutup pabrik atau produk tersebut, maka semua perusahaan, industri dan pabrik
diseluruh penjuru dunia tersebut akan dikenakan biaya pinalti yang tinggi dengan
alasan untuk mensubsidi pabrik-pabrik kecil dan pabrik-pabrik yang pro-
lingkungan hidup diseluruh penjuru dunia.
Seorang ilmuwan yang selama ini pro isu pemanasan global versi Al Gore
mengaku jika sebenarnya tidak ada bukti kompleks yang bisa menjelaskan bahwa
pemanasan global memang benar-benar terjadi. Ironisnya jika biasanya para
ilmuwan sekaliber dunia tiba-tiba berubah haluan selalu mendapatkan perhatian
publik, maka hal ini tidak berlaku dengan Prof. Mojib Latif yang berasal dari
Jerman. Prof. Latif adalah seorang ilmuwan dari Leibniz Institute of Marine
Sciences di Jerman. Ia adalah seorang pendukung utama teori yang mengatakan
bahwa emisi rumah kaca yang dihasilkan manusia telah menyebabkan
peningkatan suhu global di bumi. Ia turut serta dalam menciptakan model iklim
yang menjadi patokan bagi banyak peneliti di dunia. Ia juga pernah menerima
beberapa penghargaan dalam studi mengenai iklim dan ia adalah seorang peneliti
utama di IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), sebuah badan
milik PBB yang pada tahun 2007 menerima nobel perdamaian bersama Al Gore.
Pada konferensi itu yang sering membahas apa yang disebut "Scientific
Consensus" mengenai Pemanasan Global yang diakibatkan perbuatan manusia,
Latif mengakui bahwa Bumi ini ternyata tidak mengalami pemanasan selama
hampir satu dekade. Menurutnya, sepertinya kita akan memasuki masa "Satu atau
dua dekade dimana suhu bumi akan mendingin".
Suhu bumi kita sebenarnya hanya berubah sekitar 1 derajat fahrenheit
dalam satu abad terakhir jika matahari tetap stabil dengan suhunya. Salah satu juri
dari American Association for The Advancement of Science Awards, Steven
Milloy, mengatakan bahwa pemanasan global adalah “ibu dari segala ilmu
pengetahuan sampah”. Dia pun berhasil membuktikan bagaimana pemanasan
global telah terjadi tanpa adanya campur tangan manusia. Dia juga menambahkan
bahwa Protokol Kyoto adalah lelucon.
Di Rusia dilakukan suatu penelitian dan didapatkan hasil bahwa
sebenarnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer berada pada level sekitar 370
PPM (Parts per Million), dan jika Protokol Kyoto diikuti dengan benar, maka
hanya akan merubah sekitar 1 sampai 2 PPM saja di tahun 2012. Yang
menyebabkan bumi kita saat ini semakin panas adalah apa yang disebut oleh para
ilmuwan sebagai ‘badai matahari’. Matahari telah memasuki siklus ‘kembali
memanasnya’ yang telah diklaim para ilmuwan sebagai faktor yang telah
menyebabkan bumi telah beberapa kali memasuki zaman es. Anda juga pasti akan
terkejut dengan fakta yang mengatakan bahwa bukan hanya bumi kita yang
sedang mengalami pemanasan, tetapi sama halnya dengan yang terjadi di bumi,
bongkahan-bongkahan es di kutub planet Mars juga mulai mencair. Dengan kata
lain, manusia bukanlah aktor utama dibalik mengenai isu pemanasan global,
matahari yang semakin memanas sehingga menyebabkan Galactic Warming
(pemanasan galaksi) bukan Global Warming (pemanasan dunia).