Post on 29-Jun-2015
1
TRUST SEBAGAI SEBUAH METRIK PEMASARAN PADA ONLINE STORE
Universitas Indonesia
Ricky Setiawan
Perum. Dian Asri II Blok B 8 No.8 RT 1/15 Cibinong, Bogor.
085716912345 ricky.stwn@gmail.com
Indra Ramadhan
Kp. Kamurang Rt 03 Rw 08 No. 4 Kel. Puspanegara Citeureup-Bogor
082113604181 indra_12a6@yahoo.co.id
Raisa Ornella Rico
Jl. Anugrah Raya No. 12 Jatiwaringin
081574698935 raisaornellarico@gmail.com
2
TRUST SEBAGAI SEBUAH METRIK
PEMASARAN PADA ONLINE STORE
Ricky Setiawan, Indra Ramadhan, Raisa Ornella Rico
ABSTRAK
Pengukuran efektivitas online store dibuat sebagai salah satu upaya menciptakan strategi
untuk meningkatkan penjualan. Namun demikian metrik-metrik yang ada selama ini
sebagian besar dibuat berdasarkan banyaknya trafik ke website tersebut (traffic-oriented).
Akibatnya efek yang dihasilkan hanya berupa efek jangka pendek—peningkatan trafik yang
terjadi tanpa peningkatan kualitas online store itu sendiri hanya akan menciptakan user-user
yang datang untuk pergi, tanpa pernah datang kembali. Dalam paper ini, kami mengusulkan
ide untuk menciptakan metrik berbasis trust yang secara langsung dapat memberikan
suggestion kepada marketer untuk menciptakan toko online yang baik penampilan, konten,
dan fungsionalitasnya sesuai dengan apa yang diinginkan target market mereka.
Kata kunci: ecommerce, kepercayaan, metrik pemasaran
PENGANTAR
Toko online banyak digunakan sebagai
salah satu metode pemasaran digital
dewasa ini. Perusahaan besar seperti
Apple, Barnes & Noble, dan Gramedia pun
berusaha memperluas eksistensi mereka
di dunia maya.
Pengukuran efektivitas online store pun
dibuat sebagai salah satu upaya
menciptakan strategi untuk meningkatkan
penjualan. Beberapa di antaranya yang
sering digunakan misalnya “page views”
dan “unique visitor.” Namun demikian
metrik-metrik yang ada selama ini
sebagian besar dibuat berdasarkan
seberapa banyak trafik ke website
tersebut (traffic-oriented).
Dari sini kami merasakan adanya
kebutuhan untuk menciptakan sebuah
metrik yang lebih dari sekedar mencari
trafik. Karenanya, kami mengusulkan ide
untuk menciptakan metrik berbasis trust
yang secara langsung dapat memberikan
suggestion kepada marketer untuk
menciptakan sebuah toko online yang
baik penampilan, konten, dan
fungsionalitasnya sesuai dengan apa yang
diinginkan target market mereka.
LATAR BELAKANG TEORI
2.1 METRIK-METRIK PEMASARAN
DIGITAL
Pengukuran efektivitas online store dibuat
sebagai salah satu upaya menciptakan
strategi untuk meningkatkan penjualan.
Beberapa di antaranya yang sering
digunakan misalnya “page views” dan
“unique visitor.” Namun demikian metrik-
metrik yang ada selama ini sebagian besar
dibuat berdasarkan seberapa banyak
3
trafik ke website tersebut (traffic-
oriented).
Hal ini dilatarbelakangi adanya asumsi
bahwa semakin besar kunjungan ke
website, maka akan semakin banyak
pengunjung. Asumsi yang sama
mengakibatkan budget spending online
store lebih banyak digunakan untuk
mempromosikan online store dibanding
memperbaiki website itu sendiri, misalnya
menggunakan jasa konsultasi SEO (Search
Engine Optimization) atau SEM (Search
Engine Marketing). Akibatnya efek yang
dihasilkan hanya berupa efek jangka
pendek—peningkatan trafik yang terjadi
tanpa peningkatan kualitas online store
itu sendiri hanya akan menciptakan user-
user yang datang untuk pergi, tanpa
pernah datang kembali.
Dari sini kami merasakan adanya
kebutuhan untuk menciptakan sebuah
metrik yang lebih dari sekedar mencari
trafik. Karenanya, kami mengusulkan ide
untuk menciptakan metrik berbasis trust
yang secara langsung dapat memberikan
suggestion kepada marketer untuk
menciptakan sebuah toko online yang
baik penampilan, konten, dan
fungsionalitasnya sesuai dengan apa yang
diinginkan target market mereka.
2.2 TRUST
Terdapat banyak definisi dari trust yang
digunakan dalam melakukan pengukuran.
Abbasi et al. (2010) mendefinisikan Trust
sebagai rasa percaya yang diberikan
pembeli (buyer) terhadap penjual (seller)
produk dan perusahaan serta rasa
percaya bahwa penjual memiliki loyalitas
terhadap garansi yang diberikan. Definisi
yang lain menganggap trust sebagai hal
yang harus muncul untuk mengurangi
ketidakpastian tentang hubungan
potensial atau yang sudah eksis didalam
bisnis, sosial, maupun hal lain yang
membentuk persepsi tertentu terhadap
risiko dan ketidakpastian [10]. Bradach
dan Eccles (1989) melihat trust dapat
menjadi mekanisme kontrol untuk
memfasilitasi hubungan dalam situasi
tersebut [3]. Trust memainkan peranan
penting dalam interaksi sosial dan
ekonomi yang dipenuhi ketidakpastian
dan saling ketergantungan [2].
Paper ini menggunakan definisi trust dari
Bradach dan Eccles yang melihat trust
sebagai mekanisme kontrol yang
memfasilitasi hubungan pertukaran yang
memiliki karakteristik uncertainty,
vulnerability, dan dependence [3]. Kami
menggunakan kata “trust,” alih-alih
“kepercayaan”, karena kata yang kedua
rancu dengan makna “belief.”
Trust merupakan elemen yang sangat
penting bagi pembeli dalam melakukan
transaksi secara online karena transaksi
tersebut memiliki karakteristik lingkungan
yang dipenuhi ketidakpastian,
vulnerability, dan ketergantungan [4].
Ketidakpastian muncul karena ketika
melakukan transaksi secara online,
pembeli tidak dapat menyeleksi penjual
secara personal, memeriksa kondisi fisik
barang yang hendak dibelinya. Sifat
kerentanan (vulnerability) ada karena
pembeli tidak dapat melindungi dirinya
sendiri dari perlakuan kurang
menyenangkan dari penjual dengan cara-
cara tradisional seperti dengan mengetes
atau mengujicoba barang [11].
Ketika berbelanja melalui toko online,
pembeli tidak banyak memiliki informasi
serta cognitive resource dan, karenanya,
pembeli akan berusaha mengurangi
ketidakpastian dan kompleksitas transaksi
online itu dengan melakukan apa yang
4
disebut sebagai mental shortcut [8].
Luhmann mengungkapkan salah satu
bentuk mental shortcut yang diambil
adalah trust, yang bertindak sebagai
mekanisme kontrol untuk mengurangi
kompleksitas permasalahan dalam situasi
tidak pasti [14]. Banyak peneliti yang
menggap trust sebagai salah satu faktor
kritis yang mempengaruhi sukses atau
tidaknya sebuah toko online [7].
Trust juga dianggap sebagai salah satu
faktor peningkatan intention to purchase,
yang pada akhirnya akan meningkatkan
purchase behavior [9]. Trust juga
mengurangi perceived risk (bagan 1) [9]
dan meningkatkan repeat purchase
intention (bagan 2) [4].
Trust terhadap penjual telah lama
dianggap sebagai salah satu syarat kunci
untuk membangun customer loyalty [18,
11] dan mempertahankan hubungan
jangka panjang antara penjual dan
pembeli [1]. Ketika konsumen sudah
mengunjungi website sebuah perusahaan
dan mereka merasa yakin dan percaya
terhadap website tersebut, maka
kemungkinan konsumen untuk berpindah
terhadap website perusahaan lainnya juga
relatif lebih rendah [18]. Seiring dengan
semakin meningkatnya jumlah online
store yang tersedia, hal ini akan sangat
berguna untuk meningkatkan competitive
advantage penjual.
Kim et al. (2008) juga menekankan peran
trust sebagai strategi pembeli untuk
menghadapi risiko ketidakpastian dan
uncontrollable future yang antara lain
disebabkan karena adanya vendor yang
tidak dapat dipercaya, hacker, atau
teknologi baru yang belum diketahui [9]
sementara Gambetta berpendapat bahwa
penggunaan trust terutama terjadi pada
kondisi ketidaktahuan atau ketidakpastian
yang disebabkan unknowable actions dari
pihak lainnya [6].
2.3 ANTECEDENT OF TRUST
Dalam konteks online shopping, ada
beberapa model yang menggambarkan
darimana trust seorang pembeli tercipta.
Pada tahun 2005, Teo dan Liu mengajukan
bahwa trust berasal baik dari karakteristik
trustees (pemilik toko online) yang terdiri
dari perceived reputation, perceived size,
multichannel integration, dan system
assurance; serta karakteristik trustor
(konsumen) yang terdiri dari propensity to
trust (bagan 3) [19].
Pada tahun 2008, Kim et al. mengajukan
sebuah model yang membagi antecedent
trust menjadi empat kelompok (bagan 4)
[9]. Kelompok pertama adalah Cognition
Based, yang terdiri dari informational
quality (akurasi dan kelengkapan
informasi dalam website), privacy
protection (perlindungan atas data
konsumen), dan security protection
protection (kelengkapan keamanan
seperti sistem autentikasi, integritas,
enkripsi, dan non-repudiasi). Kelompok
kedua adalah Affect-Based, terdiri dari
third party-seal (jaminan keamanan
website dari pihak ketiga seperti bank,
konsultan, perusahaan komputer, dan
lain-lain) serta positive reputation of
selling party. Kelompok ketiga adalah
experience oriented yang mengukur
seberapa familiar pengguna dengan
sistem online store tersebut, dan terakhir
adalah personality oriented, yaitu traits
dari konsumen yang menentukan apakah
ia mudah percaya atau tidak [9].
Chiu (2010) berpendapat bahwa trust
pada dasarnya dipengaruhi oleh bidding
justice—persepsi umum pembeli terhadap
keadilan serta evaluasi terhadap
5
kelayakan pelayanan yang diberikan oleh
penjual (bagan 2) [4]. Paper ini
menggunakan model yang dikembangkan
oleh Chiu sebagai dasar pembentukan
metrik karena sifat semua antecedents-
nya yang dapat memberikan saran kepada
manajemen dengan cepat.
Studi yang dilakukan oleh Chiu (2010)
tersebut menggunakan studi kasus online
marketplace, bukan online store. Namun
kami berpendapat bahwa model ini juga
dapat digunakan untuk online store
karena beberapa alasan: (1) Ada
kesamaan presepsi buyer terhadap online
store maupun online marketplace. Dalam
hal presepsi terhadap trustworthiness,
pembeli cenderung menganggap
kegagalan satu penjual dalam sebuah
online marketplace dalam memenuhi
kewajiban dan janjinya merupakan
kegagalan semua seller dalam online
marketplace tersebut [17], (2) beberapa
studi tentang trust seperti yang dilakukan
oleh Koufaris dan Hampton-Sosa (2004);
Kim et al. (2007); Oua dan Siab (2010)
tidak membedakan antara online
marketplace dan online store, melainkan
menggambungkannya dalam satu kategori
electronic commerce [16, 9, 10], (3) Chiu
sendiri tidak membatasi atau
mendefinisikan perbedaan antara online
store dan online marketplace. Namun
demikian, studi lanjutan tetap diperlukan
untuk mencari apakah ada perbedaan
antara pembentukan trust pada online
store dan online marketplace.
2.3 BIDDING JUSTICE
Teori bidding justice— persepsi umum
pembeli terhadap keadilan serta evaluasi
terhadap kelayakan pelayanan yang
diberikan oleh penjual—merupakan
pengembangan dari teori equity, yang
menyatakan bahwa ketika manusia
terlibat dalam sebuah pertukaran nilai, ia
akan memperhitungkan keseimbangan
antara input dan output [12]. Bidding
justice sendiri terdiri dari empat dimensi:
distributive justice, procedural justice,
informational justice, dan interpersonal
justice [5].
Distributive justice merujuk pada keadilan
dari distribusi dan alokasi outcome.
Kebanyakan riset tentang distributive
justice merupakan turunan dari karya
Homans (1961) dan Adams (1965) [4].
Homans menekankan tentang adanya
perbedaaan dalam rewards yang diterima
seseorang untuk input yang diberikan.
Adams menggunakan framework teori
pertukaran sosial (social exchange theory)
untuk menjelaskan keadilam dalam
hubungan pertukaran yang ditentukan
dengan membandingkan rasio
output/input. Teori itu mengindikasikan
bahwa individual mencari keseimbangan
yang adil antara input dan output serta
menjadi puas dan termotivasi bila mereka
merasa bahwa input mereka mendapat
imbalan yang adil
Procedural justice merujuk pada keadilan
(perceived fairness) dari proses
penyampaian outcome. Leventhal (1980)
mengungkapkan enam kriteria agar
sebuah prosedur dapat dinilai adil, yaitu:
(1) prosedur harus sama untuk semua
orang dan pada setiap waktu
(konsistensi), (2) tanpa bias pribadi atau
kepentingan diri sang pengambil
keputusan (bias supression), (3) semua
keputusan dibuat berdasarkan informasi
yang akurat (akurasi), (4) ada sistem
banding (appeal system) atau mekanisme
untuk membuat keputusan
banding/appeal decision (correctability),
(5) proses alukasi harus merefleksikan
kepentingan individual yang terlibat
6
dalam proses (representativeness), dan (6)
keputusan dibuat dengan memperhatikan
ethical manner (ethicality).
Interpersonal justice merujuk pada tingkat
seberapa layak, hormat, tulus,
bersahabat, dan sopan pembeli
diperlakukan oleh penjual. Lind (2002)
menekankan bahwa ‘‘people use overall
impressions of fair treatment as a
surrogate for interpersonal trust”, dan
komunikasi interpersonal yang dapat
mengekspresikan sensitifitas sosial dapat
mendorong penciptakan trust di antara
pihak yang terlibat [13].
Informational justice merujuk pada
seberapa banyak informasi dan
penjelasan tentang proses atau prosedur
transaksi online dan outcome-nya (co/
produk). Berbeda dengan procedural
justice, informational justice berfokus
pada “kelengkapan informasi dan
penjelasan” dalam proses atau prosedur,
bukan pada proses atau prosedur itu
sendiri. Kualitas informasi atau
komunikasi memainkan peran penting
dalam menciptakan kepercayaan (atau
juga ketidakpercayaan). Menurut Turel et
al., outcome yang adil, prosedur, dan
perlakuan interpersonal yang baik
memberikan sinyal adanya kepercayaan di
antara pihak yang terlibat.
Chiu (2010) menerangkan bahwa
meskipun empat tipe justice di atas
merupakan indikator signifikan terhadap
bidding justice, tingkat kepentingannya
(importance) berbeda satu sama lain.
Interpersonal justice adalah source
terbesar dari bidding justice, yang
kemudian diikuti oleh informational
justice. Penjelasan yang mungkin adalah
karena pembeli biasanya memiliki
informasi yang cukup lengkap tentang
bagaimana penjual akan berinteraksi
dengan mereka.
Distributive justice dan procedural justice
memiliki tingkat kepentingan
(importance) yang sama dalam
membentuk bidding justice. Penjelasan
yang mungkin adalah bahwa pembeli
tidak memperhatikan procedural justice di
setiap transaksi. Pembeli yang sudah
sering berbelanja biasanya tidak tertarik
dengan kebijakan atau bagaimana
permasalahan akan diatasi, kecuali
mereka sedang tersandung masalah [4].
Perbedaan tingkat kepentingan tidak
menjadi masalah dalam penghitungan
metrik trust, sebab metrik dibuat bukan
untuk menghitung seberapa besar bidding
justice, melainkan menghitung seberapa
besar tingkat masing-masing dimensi
untuk selajutnya dibuat keputusan
berdasarkan tinggi rendahnya tingkat
dimensi tersebut. Namun demikian
perbedaan ini mempengaruhi prioritas
langkah-langkah yang harus diambil oleh
manajamen, sebagaimana yang akan
dibahas di bagian 4.
TRUST SEBAGAI METRIK
PEMASARAN PADA ONLINE STORE
Pengukuran yang banyak dilakukan pada
saat ini masih berputar-putar pada jumlah
pengunjung pada suatu website (trafik),
jumlah orang melihat iklan yang
ditampilkan atau dapat dikatakan masih
bersifat kuantitatif. Misalnya melalui
penghitungan visit, visitor, unique visior,
bounce rate dan lain-lain. Belum banyak
pihak yang menyadari pentingnya kualitas
dari jumlah pengunjung tersebut. Salah
satu cara untuk mengukur kualitas dari
sebuah online store adalah dengan
mengukur trust konsumen terhadap suatu
online store itu.
7
Kami mengusulkan untuk menggunakan
trust digunakan sebagai metrik
pemasaran, yang tidak hanya dapat
mengukur seberapa baik kinerja online
store, namun juga memberikan
suggestion bagaimana memperbaikinya.
Cara yang kami usulkan untuk
membentuk metrik ini adalah dengan
membagikan kuisioner kepada target
market online store tersebut. Variabel-
varibel yang diujikan—mengacu pada
justice theory—antara lain (1) Distributive
justice, (2) Procedural justice, (3)
Interpersonal justice, (4) Informational
justice. Bentuk kuisioner mengadaptasi
kuisioner yang dibuat oleh Chiu (2010)
(appendix A).
Indikator sukses dari metrik ini adalah
tingginya angka-angka pada semua
dimensi bidding justice. Tinggi-rendahnya
angka-angka tersebut mengindikasikan
tinggi-rendahnya kepercayaan target
market terhadap online store.
Kepercayaan itu pada akhirnya akan
membawa pada peningkatan intention to
purchase [9] dan repeat purchase
intention [4].
IMPLIKASI TERHADAP KEBIJAKAN
MANAJEMEN
Ada beberapa indikator yang dihasilkan
dari metrik trust. Indikator ini ditentukan
dari tinggi rendahnya metrik masing-
masing dimensi bidding justice, yaitu
distributive justice, procedural justice,
informational justice, dan interpersonal
justice. Jika angkanya tinggi, maka online
store tersebut tidak memiliki masalah,
namun jika rendah, ada langkah-langkah
yang perlu dilakukan manajemen untuk
mengatasinya (tabel 1).
Yang perlu diperhatikan, akibat adanya
perbedaan tingkat kepentingan
(importance) dalam dimensi bidding trust,
maka manajemen hendaknya
memprioritaskan angka pada
interpersonal justice dan informational
justice sebelum memperbaiki angka
distributive justice dan procedural justice.
4.1 ANGKA RENDAH PADA
INTERPERSONAL JUSTICE
Angka rendah pada interpersonal justice
mengindikasikan calon pembeli memiliki
presepsi bahwa ia tidak diperlakukan
secara layak, hormat, tulus, bersahabat,
dan sopan [20]. Langkah yang perlu
dilakukan adalah peningkatan hubungan
dan kualitas manajemen relasional
dengan pembeli. Tampilan, konten, dan
bahasa yang digunakan juga harus sesuai
dengan target market sehingga mereka
merasa nyaman berbelanja di sana.
4.2 ANGKA RENDAH PADA
INFORMATIONAL JUSTICE
Angka rendah pada informational justice
mengindikasikan calon pembeli memiliki
presepsi bahwa jumlah dan kualitas
informasi dan penjelasan tentang proses
atau prosedur transaksi online di toko
tersebut kurang baik. Informasi yang
dibutuhkan antara lain produk, cara
bertransaksi, perubahan kebijakan, dan
proses order.
4.3 ANGKA RENDAH PADA
DISTRIBUTIVE JUSTICE
Angka rendah pada distributive justice
mengindikasikan calon pembeli memiliki
presepsi bahwa apa yang ia berikan (input
berupa uang, waktu, dan tenaga) tidak
akan sebanding dengan apa yang ia
dapatkan. Pavlou and Gefen (2005)
8
berpendapat bahwa distributive justice
berhubungan dengan order fulfillment
seperti keyakinan bahwa tidak ada fraud
dan keyakinan bahwa order akan sampai
tepat waktu [17]. Yang perlu dilakukan
oleh manajemen adalah meyakinkan
pembeli bahwa order fulfillment dari
online store tersebut akan berjalan lancar,
misalnya dengan memberikan informasi
jaminan (warranty) atau kepastian dalam
berapa hari (maksimal) order tersebut
akan sampai. Hal lain yang bisa dilakukan
adalah memperbaiki product
representation [17], misalnya kualitas dan
kelengkapan deskripsi serta foto dalam
website.
4.4 ANGKA RENDAH PADA
PROCEDURAL JUSTICE
Angka rendah pada procedural justice
mengindikasikan calon pembeli memiliki
presepsi bahwa ia kurang merasakan
keadilan (perceived fairness) pada proses
penyampaian outcome. Pembeli
meragukan kemampuan seller untuk
menjawab pertanyaan, menyelesaikan
masalah, kemampuan memahami
peraturan dan kebijakan transaksi, serta
gagal memperhatikan atau menghadapi
ketidaksetujuan pembeli terhadap
kebijakan yang sudah ada [4]. Karenanya,
manajer harus menambahkan fitur-fitur
atau jalur (line) baru untuk menciptakan
tingkat responsiveness yang tinggi [14]
serta memperlihatkan bahwa mereka
mematuhi segala peraturan dan prosedur
yang berkaitan dengan transaksi [6].
KESIMPULAN DAN SARAN
Metrik berbasis trust yang secara
langsung dapat memberikan suggestion
kepada marketer untuk menciptakan
sebuah toko online yang baik penampilan,
konten, dan fungsionalitasnya sesuai
dengan apa yang diinginkan target market
mereka.
Ada beberapa indikator yang dihasilkan
dari metrik trust. Indikator ini ditentukan
dari tinggi rendahnya metrik masing-
masing dimensi bidding justice, yaitu
distributive justice, procedural justice,
informational justice, dan interpersonal
justice. Jika angkanya tinggi, maka online
store tersebut tidak memiliki masalah,
namun jika rendah, ada langkah-langkah
yang perlu dilakukan manajemen untuk
mengatasinya.
Angka rendah pada distributive justice
mengindikasikan calon pembeli memiliki
presepsi bahwa ia tidak diperlakukan
secara layak, hormat, tulus, bersahabat,
dan sopan [20]. Angka rendah pada
distributive justice mengindikasikan calon
pembeli memiliki presepsi bahwa jumlah
dan kualitas informasi dan penjelasan
tentang proses atau prosedur transaksi
online di toko tersebut kurang baik.
Angka rendah pada distributive justice
mengindikasikan calon pembeli memiliki
presepsi bahwa apa yang ia berikan (input
berupa uang, waktu, dan tenaga) tidak
akan sebanding dengan apa yang ia
dapatkan. Angka rendah pada distributive
justice mengindikasikan calon pembeli
memiliki presepsi bahwa ia kurang
merasakan keadilan (perceived fairness)
pada proses penyampaian outcome.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Anderson, E., and Weitz, B. A.
Determinants of continuity in
conventional industrial channel dyads.
Marketing Science, 8, 4, 1989, 310–
323.
9
[2] Blau, P. M. Exchange and Power in
Social Life. John Wiley and Sons, New
York, NY, 1964.
[3] Bradach, J. L., and Eccles, R. G. Price,
authority, and trust: from ideal types
to plural forms. Annual Review of
Sociology, 15, 1, 1989, 97–118.
[4] Chiu, Chao-Min, Huang, Hsin-yi, dan
Yen, Chia-Hui. Antecedents of trust in
online auctions. Electronic Commerce
Research and Applications 9, 2010,
148–159.
[5] Colquitt, J. A., Wesson, M. J., Porter, C.
O. L. H., and Ng, K. Y. Justice at the
millennium: a meta-analytic review of
25 years of organizational justice
research. Journal of Applied
Psychology, 86, 3, 2001, 425–445.
[6] D.G. Gambetta, “Can We Trust
Trust?,” in Trust: Making and Breaking
Cooperative Relations, Gambetta, Ed.,
electronic edition ed. Department of
Sociology, University of Oxford,
(1988), 213–237.
[7] Gefen D. E-commerce: the role of
familiarity and trust. Omega
2000;28(6):725–37.
[8] Grabner-Kraeuter, S. The role of
consumers’ trust in online-shopping.
Journal of Business Ethics, 39, 1-2,
2002, 43–50.
[9] Kim, Dan J., Ferrin, Donald L., Rao, H.
Raghav. A trust-based consumer
decision-making model in electronic
commerce: The role of trust, perceived
risk, and their antecedents. Decision
Support Systems 44, 2008, 544–564
[10] Koufaris, Marios and Hampton-sosa,
William. The development of initial
trust in an online company by new
customers. Information &
Management 41 (2004) 377–397
[11] Kumar, N., Scheer, L. K., and
Steenkamp, J. E. The effects of
supplier fairness on vulnerable
resellers. Journal of Marketing
Research, 32, 1, 1995, 54–65.
[12] Lind, E. A., Kulik, C. T., Ambrose, M.,
and de Vera Park, M. V. Individual and
corporate dispute resolution: using
procedural fairness as a decision
heuristic. Administrative Science
Quarterly, 38, 2, 1993, 224–251.
[13] Lind, E. A. Fairness heuristic theory:
justice judgments as pivotal
cognitions in organizational relations.
In: J. Greenberg, R. Cropanzano (eds.),
Advances in Organizational Justice,
Stanford University Press, Palo Alto,
CA, 2002
[14] Liu, C., and Arnett, K. P. Exploring the
factors associated with web site
success in the context of electronic
commerce. Information and
Management, 38, 1, 2000, 23–33
[15] Luhmann, N. Vertrauen, ein
Mechanismus der Reduktion sozialer
Komplexitaet, Stuttgart, Verlag Enke,
1989
[16] Oua, Carol Xiaojuan. dan Siab, Choon
Ling. Consumer trust and distrust: An
issue of website design. Int. J. Human-
Computer Studies 68 (2010) 913–934
[17] Pavlou, P. A., and Gefen, D.
Psychological contract violation in
online marketplaces: antecedents,
consequences, and moderating roles.
Information Systems Research, 16, 4,
2005, 372–399
10
[18] Reichheld, F. F., and Schefter, P. E-
loyalty: your secret weapon on the
web. Harvard Business Review, 78, 4,
2000, 105–113.
[19] Teo, T. S. H., and Liu, J. Consumer trust
in e-commerce in the United States,
Singapore and China. Omega-
International Journal of Management
Science, 35, 1, 2007, 22–38.
[20] Yang, Z., and Fang, X. Online service
quality dimensions and their
relationships with satisfaction: a
content analysis of customer reviews
of securities brokerage services.
International Journal of Service
Industry Management, 15, 4, 2004,
302–326.
11
KUISIONER
Distributive justice (DJ)
DJ1 Anda mendapatkan apa yang anda bayar dari pembelian anda di Bhineka.com
DJ2 Menurut anda barang-barang yang anda beli di Bhineka.com sama dengan barang yang
diiklankan
DJ3 Produk yang dikirimkan oleh Bhineka.com tepat waktu
DJ4 Apa yang anda dapatkan dari Bhineka.com itu sesuai dengan usaha yang telah anda lakukan
Procedural justice (PJ)
PJ1 Bhineka.com menanggapi pertanyaan dan permintaan pelanggan dengan tepat waktu
PJ2 Bhineka.com mematuhi peraturan dalam penjualan
PJ3 Bhineka.com melakukan kebijakkan dan tindakkan yang adil dalam menyelesaikan sebuah
persengketaan
PJ4 Bhineka.com serius dalam mempertimbangkan setiap keberetan dan saran konsumen dalam
kebijakkan bertransaksi
Interpersonal justice (IPJ)
IPJ1 Bhineka.com memperlakukan saya dengan baik
IPJ2 Bhineka.com memperlakukan saya dengan tulus
IPJ3 Bhineka.com memperlakukan saya dengan ramah
IPJ4 Bhineka.com memperlakukan saya dengan sopan
Informational justice (IFJ)
IFJ1 Bhineka.com memberikan informasi yang akurat terkait dengan produk yang dijual
IFJ2 Bhineka.com memberikan penjelasan atau informasi yang cukup terhadap pertanyaan
pembeli
IFJ3 Bhineka.com memberikan informasi yang memadai mengenai kebijakkan bertransaksi atau
perubahan-perubahan yang terjadi dari setiap kebijakkan
IFJ4 Bhineka.com memberikan informasi yang memadai mengenai proses pemesanan
12
BAGAN
Bagan 1: Basic theoretical framework (Kim et al. 2008)
Bagan 2: Research model for online auction repeat purchase intentions (Chiu 2010)
13
Bagan 3: Research model and hypotheses (Teo dan Liu 2007)
Bagan 4: Fig. 2. A trust-based consumer decision-making model (Kim et al. 2008)
14
TABEL
Tabel 1: Application of justice theory to online auctions (Chiu 2010)