Post on 21-Oct-2021
PROSIDING SENASDAR 2018
61
Oleh
Dr. I Dewa Gede Agung Diasana Putra
diasanaputra@unud.ac.id
Dosen Universitas Udayana
TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL:
MEMUDARNYA KEANEKARAGAMAM GAYA ARSITEKTUR
TRADISIONAL DI BALI
PENDAHULUAN
Karya-karya arsitektur merupakan produk-produk budaya yang mengekspresikan
kesamaan tradisi dan budaya di antara anggota sebuah komunitas, atau perbedaan
dengan yang bukan anggota. Perbedaan atau kekhasan dengan yang lain, kerajaan-
kerajaan di abad ke-18 di Bali mewujudkannya dengan adanya variasi style arsitektur,
seperti bebadungan di Badung, gegianyaran di Gianyar maupun gaya arsitektur di
Buleleng. Arsitektur mengekspresikan perbedaan status di antara kerajaan yang ada
untuk mengekspresikan keunggulan masing-masing. Setiap daerah memiliki gaya yang
berbeda sehingga mampu mengekspresikan keanekaragaman gaya arsitektur di Bali.
Dalam konteks ini, gaya setempat dan keragaman arsitektur dapat dilihat sebagai
sumber daya untuk menciptakan kekhasan dan identitas Bali.
Karya-karya budaya termasuk arsitektur adalah sarana untuk mengekspresikan
kuatnya pengaruh suatu kerajaan dan untuk mengekspresikan identitasnya yang khas
(Geertz 1980; Nordholt 1986). Namun, karena kurangnya studi tentang gaya-gaya
arsitektur Bali, formulasi masing-masing karakter belum diidentifikasi dengan baik. Kekurangan informasi tentang style arsitektur di suatu kawasan membuat masyarakat
meniru style arsitektur daerah lainnya yang lebih populer sebagai rujukan sehingga
mengakibatkan memudarnya style arsitektur daerah terntentu di Bali.
PROSIDING SENASDAR 2018
62
Kurangnya studi tentang gaya arsitektur di Bali menyebabkan keunikan gaya
arsitektur di masing-masing kawasan yang ada, sebagai bagian dari keindahan
keanekaragaman arsitektur, belum diekspos secara detail dan komprehensif. Akibatnya,
gaya, yang telah dianggap sebagai gaya “lebih baik”, telah dicontoh oleh masyarakat
dan diterapkan di berbagai bangunan. Implikasi yang lebih besar dari pariwisata
adalah bahwa identitas lokal memudar dan gaya gegianyaran, yang terkenal sebagai
referensi arsitektur yang dipilih untuk arsitektur Bali, menyebar ke hampir semua
bagian Bali (Achmadi 2007). Oleh karena itu, tujuan dari makalah ini adalah untuk
mengeksplorasi perkembangan gaya-gaya arsitektur tradisional di Bali. Eksplorasi ini
dapat menjadi pedoman untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat dalam
rangka memecahkan tantangan arsitektur termasuk memudarnya identitas arsitektur
di sebagian besar wilayah di Bali.
Makalah ini mengeksplorasi perkembangan karakter gaya arsitektur di Bali
sehingga diketahui kondisi perkembangan dan keanekaragaman gaya arsitektur yang
pernah berkembangan dan kondisinya saat ini. Hal ini diharapkan dapat memberikan
informasi kepada masyarakat dan pemerintah untuk membangkitkan kembali
keanekaragaman gaya arsitektur di Bali. Paper ini menggunakan studi literature dan
architectural examination (Diasana Putra, Lozanovska & Fuller 2017) sebagai metode
investigasi. Metode ini melibatkan dokumentasi arsitektur dan analisis grafis. Tetapi pada awalnya, beberapa pertimbangan teoritis terkait dengan proses transformasi arsitektur
akan dibahas. Pada bagian selanjutnya, makalah ini mengeksplorasi dan membahas
tekstur dan dialek arsitektur gaya Klungkung sebagai salah satu contoh karakter gaya
arsitektur yang ada di Bali. Di bagian akhir akan diuraikan kesimpulan.
ARSITEKTUR SEBAGAI IDENTITAS BUDAYA
Karya arsitektur tradisional bali merupakan salah satu bentuk dan refleksi dari budaya dan tradisi masyarakat bali. Karya-karya masyarakat ini dapat dilihat sebagai
artefak yang mampu menciptakan identitas sebuah budaya (Hall 1990, Derek & Japha
1991; Proshansky et al. 1983). Identitas ini mengekspresikan kesamaan tradisi dan
budaya di antara anggota masyarakatnya dan mengungkapkan perbedaan dengan
yang bukan anggotanya (Brubaker & Cooper 2000). Produk-produk arsitektur saling
berkaitan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Makna dasar tradisi produksi ar-
sitektur adalah sangat mampu beradaptasi dan bertransformasi dalam sebuah pros-
PROSIDING SENASDAR 2018
63
es transmisi antar generasi. Transmisi sebuah tradisi merupakan respon masyarakat
terhadap tradisi lama (Shils 1971, 1981). Transmisi ini merupakan sebuah mata rantai
atau jembatan komunikasi untuk menlanjutkan tradisi di dalam sebuah struktur sosial
sebuah komunitas (Shils 1971).
Penciptaan tradisi baru dalam masyarakat melibatkan kekuasaan institusi
tradisional yang memiliki hak secara moral dalam pembentukan sebuah tradisi (Shils
1971). Proses penciptaan ini dapat dilihat dalam proses transformasi tradisi di Bali dimana
pada periode pertengahan abad ke-14 terjadi hubungan budaya yang semakin intents
antara Bali dan Jawa (Covarrubias 1974; Swellengrebel 1984). Penaklukan Bali diikuti
oleh migrasi bangsawan Jawa yang membawa dan mempengaruhi penerapan tatanan
dan hirarki politik dan sosial baru (Nordholt 1986). Dengan menggunakan pendapat
Shils terkait dengan penciptaan tradisi baru yang melibatkan “strong personalities-
charismatic persons “ (Shils 1971, p. 145), di Bali, seorang cucu dari seorang pendeta
Jawa yang karismatik dikirim untuk membentuk tradisi baru Bali. Seorang golongan
brahmana ini dibebankan tugas sebagai seorang kesatria untuk menjadi raja di Bali
didampingi oleh para bangsawan Jawa, dimana masing-masing bangsawan diberikan
wilayah untuk membantu mengatur beberapa wilayah Bali (Geertz 1980).
Pada periode ini, Bali diperintah dari kerajaan Samprangan yang kemudian
dipindahkan ke Gelgel sementara yang lain seperti Badung, Bangli, Tabanan, dan
Karangasem digambarkan sebagai puri sekunder yang memiliki kekuasaan otonomi
(Geertz 1980). Ketika Gelgel tidak dapat menengahi konflik antara puri sekunder
dan juga ketika Gelgel mengalami permasalahan di dalam negerinya dengan adanya
pemberontakkan dari dalam, puri-puri sekunder ini mendapatkan lebih banyak kekuatan
untuk mengelola wilayah mereka. Selanjutnya pewaris langsung Majapahit di Gelgel
memindahkan purinya ke Klungkung untuk alasan keamanan (Agung 1991). Walaupun
demikian, puri yang baru masih menjadi pusat rujukan bagi puri-puri sekunder lainnya
(Agung 1991). Untuk mengekspresikan keunggulan mereka, puri-puri sekunder
juga melakukan ritual di wilayah mereka untuk mengekspresikan perbedaan status
mereka dengan yang lainnya (Geertz 1980; Nordholt 1986). Setiap puri, berdasarkan
budaya Majapahit, mentransformasikan budaya Bali yang disesuaikan dengan kondisi
daerah dan kepentingannya masing-masing yang menyebabkan perbedaan dalam
implementasi ritual di berbagai daerah di Bali. Setiap puri menjadi pusat rujukan dan
PROSIDING SENASDAR 2018
64
pelindung budaya di wilayah mereka, sehingga ritual dan seni budaya berkembang
pesat di puri dan desa-desa di sekitarnya.
Di wilayah mereka, puri-puri sekunder berupaya menciptakan sebuah identitas
untuk mengekspresikan diri dan keunggulan masing-masing. Dalam hal ini, tradisi dan
budaya, dapat merefleksikan pengalaman sejarah dan kode budaya. Kode budaya ini dapat dilihat sebagai sumber daya untuk menciptakan karakter sebagai sebuah identitas
budaya (Derek & Japha 1991; Hall 1990; Proshansky et al. 1983) termasuk didalamnya
gaya arsitektur yang berbeda dari daerah lain.
Ornamen, proporsi dan bahan bangunan adalah komponen-komponen arsitektur
tradisional yang dapat menunjukkan perbedaan dalam arsitektur tradisional bali.
Gaya arsitektur kerajaan Badung (bebadungan) yang menggunakan batu bata untuk
semua bagian bangunan berbeda dari gaya di kerajaan Gianyar (gegianyaran), yang
menggunakan kombinasi batu bata dan batu padas sebagai bahan bangunan. Secara
umum, wujud bangunannya serupa, akan tetapi terdapat beberapa perbedaan baik dilihat
dari ornamen bentuk bangunan maupun bahan bangunan yang digunakan (Gambar 1).
Karakter ini dapat merepresentasikan identitas dan menciptakan kekhasannya. Karakter
ini ditransmisikan dan ditransfer antar generasi dan dipertahankan sebagai mahakarya
di dalam sebuah komunitas (Shils 1971).
Gambar 1. Gaya gegianyaran yang menggunakan batu bata
PROSIDING SENASDAR 2018
65
Gaya bebadungan Gaya arsitektur di Buleleng Gaya arsitektur di Klungkung
Gambar 2. Berbagai bentuk gaya arsitektur di Bali
TRANSFORMASI ARSITEKTUR DI BALI
Arsitektur tradisional Bali telah dibahas dalam banyak penelitian di Bali, seperti
yang dilakukan oleh Geertz dan Geertz (1975), Goris (1984), Covarrubias (1974). Akan
tetapi, eksplorasinya masih belum mampu menghadirkan keanekaragaman arsitektur
sebagai identitas budaya Bali. Sebaliknya, arsitektur Bali hanya dipandang sebagai satu
gaya, seolah-olah tidak ada keanekaragaman dalam arsitektur tradisional Bali. Gaya
setempat dan keragaman budaya termasuk arsitektur di dalamnya, yang merupakan
cara komunitas di Bali untuk membuat batas dengan yang lain, secara bertahap telah
diubah menjadi satu gaya tunggal.
PROSIDING SENASDAR 2018
66
Gaya tunggal ini dipengaruhi oleh visi pemerintahan Belanda selama era kolonial.
Interaksi anggota masyarakat Bali dengan budaya asing dan pertumbuhan gerakan
budaya sangat mempengaruhi budaya Bali termasuk arsitekturnya. Transformasi
arsitektur bali dipengaruhi oleh politik etis administrasi kolonial Belanda. Belanda
menggabungkan ambisi untuk memodernisasikan Bali dan aspirasi untuk melestarikan
arsitektur bali. Akan tetapi, agenda politik ini tidak mampu mempertahankan
keanekaragaman gaya arsitektur Bali. Keragaman secara bertahap berubah menjadi
satu gaya tunggal di mana gegianyaran telah menjadi referensi dari gaya arsitektur
di Bali. Reputasi gegianyaran dipengaruhi oleh visi pelestarian kolonial di Bali. Visi ini
dapat diamati dalam desain arsitektur paviliun Belanda di Pameran Kolonial 1931 di
Paris. Gaya arsitektur dari paviliun Belanda terinspirasi oleh arsitektur pura dan puri di
Gianyar (Morton 2000). Desain ini menjadi titik masuk untuk memperkenalkan Bali pada
1930-an (Picard 1996) sehingga model arsitekturnya telah menjadi referensi arsitektur
dan menginspirasi produksi arsitektur kolonial dan postcolonial termasuk pada saat
ini dimana ekonomi Bali banyak dipengaruhi oleh dunia pariwisata. Arsitektur Bali
terutama gaya gegianyaran banyak digunakan sebagai upaya untuk menarik perhatian
wisatawan untuk berkunjung (Diasana Putra, Lozanovska & Fuller 2015)
Masyarakat selanjutnya meniru visi ini sebagai sebuah gaya yang “lebih baik”. Oleh
karena itu, identitas lokal memudar dan gegianyaran menyebar ke hampir semua bagian
Bali (Achmadi 2007). Hal ini bisa dilihat dari banyaknya bangunan yang menggunakan
gaya gegianyaran di berbagai daerah termasuk di Badung dan daerah lainnya. Museum
Bali, Art Center, bangunan-bangunan pemerintah, bangunan-bangunan hotel maupun
bangunan rumah tinggal yang ada di luar Gianyar juga telah menggunakan gaya
gegianyaran (Gambar 2 dan 3).
PROSIDING SENASDAR 2018
67
Gambar 4. Contoh gaya gegianyaran di Tabanan dan Kuta
Gambar 3. Contoh gaya gegianyaran di Denpasar
PROSIDING SENASDAR 2018
68
Visi ini, yang juga diterapkan oleh Pemerintah Indonesia, telah membentuk konsep
arsitektur baru yang secara bertahap merubah keanekaragaman gaya arsitektur lokal
menjadi satu gaya tunggal (Achmadi 2007). Oleh karena itu, untuk melestarikan
keanekaragaman gaya arsitektur lokal di Bali sebagai identitas arsitektur, eksplorasi
keanekaragaman gaya arsitektur di Bali sangat penting. Gaya-gaya tersebut menjadi
rujukan arsitektural bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengekspresikan
identitas Bali di bangunan mereka. Keragaman gaya arsitektur juga menjadi sumber
pengembangan pariwisata di Bali.
MEMUDAR DAN UPAYA MEMPERTAHANKAN KEANEKARAGAMAN
Penyatuan keanekaragaman gaya arsitektur di Bali telah menyebabkan memudarnya
beberapa gaya arsitektur dari beberapa daerah di Bali. Ini dapat mengaburkan identitas
identitas Bali di mana orang akan berpikir bahwa Bali hanya memiliki satu gaya arsitektur.
Kurangnya studi tentang dialek arsitektur di Bali telah menyebabkan keunikan dan
kekhasan dialek arsitektur lokal dan keindahan keanekaragaman arsitektur belum
diekspos secara detail dan komprehensif. Akibatnya, masyarakat Bali, pemerintah
daerah, dan pemangku kepentingan lain yang terkait dengan praktik pembangunan
di Bali memiliki kekurangan informasi dan panduan terkait dengan implementasi
arsitektur lokal di banyak daerah di Bali. Karakter arsitektur lokal di beberapa daerah
akan digantikan oleh dialek arsitektur populer seperti gegianyaran, sehingga beberapa
daerah akan kehilangan identitas arsitekturnya.
Walaupun demikian, saat ini telah terjadi upaya untuk kembali menggunakan
gaya setempat dalam bentuk-bentuk arsitektur di suatu daerah seperti upaya yang
telah dilakukan Kota Denpasar yang ebrupaya mengembalikan berbagai bangunan ke
gaya bebadungan. Namun, agar dapat lebih eksis dengan kekhasan dan keunikannya,
eksplorasi gaya arsitektur daerah-daerah di Bali sangat penting dalam upaya inventarisasi
identitas arsitektur Bali. Untuk dapat mempertahankan keanekaragaman gaya arsitektur
ini maka perlu dilakukan beberapa penelitian dan explorasi terkait seperti misalnya :
a) Inventarisasi bangunan cagar budaya di banyak daerah di Bali.
b) Inventarisasi karakter arsitektur Bali dalam hal proporsi, bentuk, tekstur
dan bahan bangunan.
PROSIDING SENASDAR 2018
69
c) Membandingkan gaya arsitektur, sehingga dapat diekspos keunikan
masing-masing dialek.
d) Membangkitkan kembali gaya-gaya arsitektur Bali dengan upaya
penerapan gaya arsitektur lokal di berbagai kawasan di Bali.
Sebagai salah satu contoh upaya eksplorasi gaya arsitektur setempat adalah
penelitian gaya arsitektur di Klungkung yang dalam hal ini adalah gaya arsitektur pada
kori agung Pura Agung Kentel Gumi. Secara umum, pura ini memiliki bagian-bagian
bangunan yang terdiri dari kepala; badan dengan dua buah lelengen yang mengapit
struktur utama kori; dan kaki yang merupakan bagian dasar kori agung. Kori ini memiliki
tinggi 9,091 m dengan lebar 5,986 m. Dilihat dari pembagian kepala-badan-kaki
bangunan, bagian kaki memiliki panjang 1,29 m, badan 4,035 m, dan kepala 4,028 m
(Gambar 4).
Gambar 5. Bangunan Kori Agung Pura Kentel Gumi
PROSIDING SENASDAR 2018
70
PENUTUP
Sebagai sebuah karya budaya, arsitektur adalah sarana mengekspresikan identitas
sebuah masyarakat dimana identitas ini ditransmisikan dari generasi ke generasi.
Bentuk-bentuk ini telah juga mengalami transformasi sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi perpolitikan di dalam suatu daerah. Gaya arsitektur Bali telah dipengaruhi oleh
budaya sehingga mengalami transformasi yang terus menerus. Transformasi yang
awalnya bervariasi karena otonomi yang dimiliki oleh penguasa di Bali saat itu menjadi
sebuah gaya tunggal karena visi pengembangan dan upaya mempertahankan identitas
lokal dari berbagai pemangku kepentingan dari masa ke masa.
Dalam hal ini keanekaragaman gaya arsitektur yang ada telah mulai memudar dan
salah satu gaya menjadi rujukan dari masyarakat untuk membangun. Hal ini tentunya
akan dapat memudarkan identitas arsitektur local yang ada sehingga diperlukan
berbagai upaya untuk mempertahankannya. Dalam hal ini diperlukan upaya penelitian
untuk meninventaris dan menidentifikasi karakter gaya di masing-masing kawasan yang tidak hanya berbasis kabupaten atau bekas kerajaan dimasa lampau, tetapi berdasarkan
batasan teritori komunitas dan lokasi.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, A 2007. ‘The architecture of Balinisation: writings on architecture,the villages,
and the construction of Balinese cultural identity in the 20th century’, PhD thesis,
the University of Melbourne. Australia.
Agung, IAAG 1991. Bali in the 19th century, Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Brubaker, R & Cooper, F 2000. ‘Beyond identity’, Theory and Society, vol. 29, no. 1, pp.
1-47.
Covarrubias, M 1974. Island of Bali, Oxford University Press. Kuala Lumpur.
Derek & Japha, V 1991. ‘Identity through detail: an architecture and cultural aspiration
in Montagu. South Africa, 1850-1915’, TDSR, vol. II, pp. 17-33.
Diasana Putra, IDGA, Lozanovska, M & Fuller, RJ, 2015. The transformation of the
PROSIDING SENASDAR 2018
71
traditional Balinese house for tourist facilities: managing a home-based
enterprise and maintaining an architectural identity, Asia-Pacific Management and Business Application 2 (2) pp 120-131.
Diasana Putra, IDGA, Lozanovska, M & Fuller, RJ, 2017. A metodology to evaluate
the transformation of the traditional Balinese house as a consequence of
tourism. ArchNet-IJAR 11(1) pp 83-100.
Geertz, C 1980. Negara: the theatre state in nineteenth-century Bali, Pricenton
University Press. New Jersey.
Geertz, H & Geertz, C 1975. Kinship in Bali, the University of Chicago Press, Chicago.
Goris R 1984, ‘The religious character of the village community’ in JL Swellengrebel
(ed), Bali: studies in life, thought and ritual, Foris Publications. Doedrecht-
Holland, pp. 77-100.
Hall, S 1990. ‘Cultural identity and diaspora’, in J Rutherford (ed), Identity, community,
culture difference, Lawrence and Wishart. London, pp. 222-237.
Morton, PA, 2000. Hybrid Modernities: Architecture and Representation at the 1931
Colonial Exposition, the MIT Press. Cambridge.
Nordholt, HS 1986. Bali: colonial conceptions and political change 1700-1940 from
shifting hierarchies to ‘fixed’ order, Erasmus. Rotterdam.
Picard, M 1996, Bali: cultural tourism and touristic culture, Archipelago Press, Singapore.
Proshansky, HM et al. 1983. ‘Place identity: physical world socialization of the self’,
Journal of Environmental Psychology, vol. 3, pp. 57-83.
Shils, E 1971. ‘Tradition’, Comparative Studies in Society and History, vol. 13, no. 2,
Special Issue on Tradition and Modernity, pp. 122-159.
Shils, E 1981. Tradition, Faber and Faber Limited. London.
Swellengrebel, JL 1984. Introduction, in JL Swellengrebel (ed), Bali: studies in life,
thought, and ritual, Foris Publication Holland. Nethelands, pp. 1-76.