TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA ...

12
PROSIDING SENASDAR 2018 61 Oleh Dr. I Dewa Gede Agung Diasana Putra [email protected] Dosen Universitas Udayana TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA KEANEKARAGAMAM GAYA ARSITEKTUR TRADISIONAL DI BALI PENDAHULUAN Karya-karya arsitektur merupakan produk-produk budaya yang mengekspresikan kesamaan tradisi dan budaya di antara anggota sebuah komunitas, atau perbedaan dengan yang bukan anggota. Perbedaan atau kekhasan dengan yang lain, kerajaan- kerajaan di abad ke-18 di Bali mewujudkannya dengan adanya variasi style arsitektur, seperti bebadungan di Badung, gegianyaran di Gianyar maupun gaya arsitektur di Buleleng. Arsitektur mengekspresikan perbedaan status di antara kerajaan yang ada untuk mengekspresikan keunggulan masing-masing. Setiap daerah memiliki gaya yang berbeda sehingga mampu mengekspresikan keanekaragaman gaya arsitektur di Bali. Dalam konteks ini, gaya setempat dan keragaman arsitektur dapat dilihat sebagai sumber daya untuk menciptakan kekhasan dan identitas Bali. Karya-karya budaya termasuk arsitektur adalah sarana untuk mengekspresikan kuatnya pengaruh suatu kerajaan dan untuk mengekspresikan identitasnya yang khas (Geertz 1980; Nordholt 1986). Namun, karena kurangnya studi tentang gaya-gaya arsitektur Bali, formulasi masing-masing karakter belum diidentifkasi dengan baik. Kekurangan informasi tentang style arsitektur di suatu kawasan membuat masyarakat meniru style arsitektur daerah lainnya yang lebih populer sebagai rujukan sehingga mengakibatkan memudarnya style arsitektur daerah terntentu di Bali.

Transcript of TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA ...

Page 1: TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA ...

PROSIDING SENASDAR 2018

61

Oleh

Dr. I Dewa Gede Agung Diasana Putra

[email protected]

Dosen Universitas Udayana

TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL:

MEMUDARNYA KEANEKARAGAMAM GAYA ARSITEKTUR

TRADISIONAL DI BALI

PENDAHULUAN

Karya-karya arsitektur merupakan produk-produk budaya yang mengekspresikan

kesamaan tradisi dan budaya di antara anggota sebuah komunitas, atau perbedaan

dengan yang bukan anggota. Perbedaan atau kekhasan dengan yang lain, kerajaan-

kerajaan di abad ke-18 di Bali mewujudkannya dengan adanya variasi style arsitektur,

seperti bebadungan di Badung, gegianyaran di Gianyar maupun gaya arsitektur di

Buleleng. Arsitektur mengekspresikan perbedaan status di antara kerajaan yang ada

untuk mengekspresikan keunggulan masing-masing. Setiap daerah memiliki gaya yang

berbeda sehingga mampu mengekspresikan keanekaragaman gaya arsitektur di Bali.

Dalam konteks ini, gaya setempat dan keragaman arsitektur dapat dilihat sebagai

sumber daya untuk menciptakan kekhasan dan identitas Bali.

Karya-karya budaya termasuk arsitektur adalah sarana untuk mengekspresikan

kuatnya pengaruh suatu kerajaan dan untuk mengekspresikan identitasnya yang khas

(Geertz 1980; Nordholt 1986). Namun, karena kurangnya studi tentang gaya-gaya

arsitektur Bali, formulasi masing-masing karakter belum diidentifikasi dengan baik. Kekurangan informasi tentang style arsitektur di suatu kawasan membuat masyarakat

meniru style arsitektur daerah lainnya yang lebih populer sebagai rujukan sehingga

mengakibatkan memudarnya style arsitektur daerah terntentu di Bali.

Page 2: TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA ...

PROSIDING SENASDAR 2018

62

Kurangnya studi tentang gaya arsitektur di Bali menyebabkan keunikan gaya

arsitektur di masing-masing kawasan yang ada, sebagai bagian dari keindahan

keanekaragaman arsitektur, belum diekspos secara detail dan komprehensif. Akibatnya,

gaya, yang telah dianggap sebagai gaya “lebih baik”, telah dicontoh oleh masyarakat

dan diterapkan di berbagai bangunan. Implikasi yang lebih besar dari pariwisata

adalah bahwa identitas lokal memudar dan gaya gegianyaran, yang terkenal sebagai

referensi arsitektur yang dipilih untuk arsitektur Bali, menyebar ke hampir semua

bagian Bali (Achmadi 2007). Oleh karena itu, tujuan dari makalah ini adalah untuk

mengeksplorasi perkembangan gaya-gaya arsitektur tradisional di Bali. Eksplorasi ini

dapat menjadi pedoman untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat dalam

rangka memecahkan tantangan arsitektur termasuk memudarnya identitas arsitektur

di sebagian besar wilayah di Bali.

Makalah ini mengeksplorasi perkembangan karakter gaya arsitektur di Bali

sehingga diketahui kondisi perkembangan dan keanekaragaman gaya arsitektur yang

pernah berkembangan dan kondisinya saat ini. Hal ini diharapkan dapat memberikan

informasi kepada masyarakat dan pemerintah untuk membangkitkan kembali

keanekaragaman gaya arsitektur di Bali. Paper ini menggunakan studi literature dan

architectural examination (Diasana Putra, Lozanovska & Fuller 2017) sebagai metode

investigasi. Metode ini melibatkan dokumentasi arsitektur dan analisis grafis. Tetapi pada awalnya, beberapa pertimbangan teoritis terkait dengan proses transformasi arsitektur

akan dibahas. Pada bagian selanjutnya, makalah ini mengeksplorasi dan membahas

tekstur dan dialek arsitektur gaya Klungkung sebagai salah satu contoh karakter gaya

arsitektur yang ada di Bali. Di bagian akhir akan diuraikan kesimpulan.

ARSITEKTUR SEBAGAI IDENTITAS BUDAYA

Karya arsitektur tradisional bali merupakan salah satu bentuk dan refleksi dari budaya dan tradisi masyarakat bali. Karya-karya masyarakat ini dapat dilihat sebagai

artefak yang mampu menciptakan identitas sebuah budaya (Hall 1990, Derek & Japha

1991; Proshansky et al. 1983). Identitas ini mengekspresikan kesamaan tradisi dan

budaya di antara anggota masyarakatnya dan mengungkapkan perbedaan dengan

yang bukan anggotanya (Brubaker & Cooper 2000). Produk-produk arsitektur saling

berkaitan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Makna dasar tradisi produksi ar-

sitektur adalah sangat mampu beradaptasi dan bertransformasi dalam sebuah pros-

Page 3: TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA ...

PROSIDING SENASDAR 2018

63

es transmisi antar generasi. Transmisi sebuah tradisi merupakan respon masyarakat

terhadap tradisi lama (Shils 1971, 1981). Transmisi ini merupakan sebuah mata rantai

atau jembatan komunikasi untuk menlanjutkan tradisi di dalam sebuah struktur sosial

sebuah komunitas (Shils 1971).

Penciptaan tradisi baru dalam masyarakat melibatkan kekuasaan institusi

tradisional yang memiliki hak secara moral dalam pembentukan sebuah tradisi (Shils

1971). Proses penciptaan ini dapat dilihat dalam proses transformasi tradisi di Bali dimana

pada periode pertengahan abad ke-14 terjadi hubungan budaya yang semakin intents

antara Bali dan Jawa (Covarrubias 1974; Swellengrebel 1984). Penaklukan Bali diikuti

oleh migrasi bangsawan Jawa yang membawa dan mempengaruhi penerapan tatanan

dan hirarki politik dan sosial baru (Nordholt 1986). Dengan menggunakan pendapat

Shils terkait dengan penciptaan tradisi baru yang melibatkan “strong personalities-

charismatic persons “ (Shils 1971, p. 145), di Bali, seorang cucu dari seorang pendeta

Jawa yang karismatik dikirim untuk membentuk tradisi baru Bali. Seorang golongan

brahmana ini dibebankan tugas sebagai seorang kesatria untuk menjadi raja di Bali

didampingi oleh para bangsawan Jawa, dimana masing-masing bangsawan diberikan

wilayah untuk membantu mengatur beberapa wilayah Bali (Geertz 1980).

Pada periode ini, Bali diperintah dari kerajaan Samprangan yang kemudian

dipindahkan ke Gelgel sementara yang lain seperti Badung, Bangli, Tabanan, dan

Karangasem digambarkan sebagai puri sekunder yang memiliki kekuasaan otonomi

(Geertz 1980). Ketika Gelgel tidak dapat menengahi konflik antara puri sekunder

dan juga ketika Gelgel mengalami permasalahan di dalam negerinya dengan adanya

pemberontakkan dari dalam, puri-puri sekunder ini mendapatkan lebih banyak kekuatan

untuk mengelola wilayah mereka. Selanjutnya pewaris langsung Majapahit di Gelgel

memindahkan purinya ke Klungkung untuk alasan keamanan (Agung 1991). Walaupun

demikian, puri yang baru masih menjadi pusat rujukan bagi puri-puri sekunder lainnya

(Agung 1991). Untuk mengekspresikan keunggulan mereka, puri-puri sekunder

juga melakukan ritual di wilayah mereka untuk mengekspresikan perbedaan status

mereka dengan yang lainnya (Geertz 1980; Nordholt 1986). Setiap puri, berdasarkan

budaya Majapahit, mentransformasikan budaya Bali yang disesuaikan dengan kondisi

daerah dan kepentingannya masing-masing yang menyebabkan perbedaan dalam

implementasi ritual di berbagai daerah di Bali. Setiap puri menjadi pusat rujukan dan

Page 4: TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA ...

PROSIDING SENASDAR 2018

64

pelindung budaya di wilayah mereka, sehingga ritual dan seni budaya berkembang

pesat di puri dan desa-desa di sekitarnya.

Di wilayah mereka, puri-puri sekunder berupaya menciptakan sebuah identitas

untuk mengekspresikan diri dan keunggulan masing-masing. Dalam hal ini, tradisi dan

budaya, dapat merefleksikan pengalaman sejarah dan kode budaya. Kode budaya ini dapat dilihat sebagai sumber daya untuk menciptakan karakter sebagai sebuah identitas

budaya (Derek & Japha 1991; Hall 1990; Proshansky et al. 1983) termasuk didalamnya

gaya arsitektur yang berbeda dari daerah lain.

Ornamen, proporsi dan bahan bangunan adalah komponen-komponen arsitektur

tradisional yang dapat menunjukkan perbedaan dalam arsitektur tradisional bali.

Gaya arsitektur kerajaan Badung (bebadungan) yang menggunakan batu bata untuk

semua bagian bangunan berbeda dari gaya di kerajaan Gianyar (gegianyaran), yang

menggunakan kombinasi batu bata dan batu padas sebagai bahan bangunan. Secara

umum, wujud bangunannya serupa, akan tetapi terdapat beberapa perbedaan baik dilihat

dari ornamen bentuk bangunan maupun bahan bangunan yang digunakan (Gambar 1).

Karakter ini dapat merepresentasikan identitas dan menciptakan kekhasannya. Karakter

ini ditransmisikan dan ditransfer antar generasi dan dipertahankan sebagai mahakarya

di dalam sebuah komunitas (Shils 1971).

Gambar 1. Gaya gegianyaran yang menggunakan batu bata

Page 5: TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA ...

PROSIDING SENASDAR 2018

65

Gaya bebadungan Gaya arsitektur di Buleleng Gaya arsitektur di Klungkung

Gambar 2. Berbagai bentuk gaya arsitektur di Bali

TRANSFORMASI ARSITEKTUR DI BALI

Arsitektur tradisional Bali telah dibahas dalam banyak penelitian di Bali, seperti

yang dilakukan oleh Geertz dan Geertz (1975), Goris (1984), Covarrubias (1974). Akan

tetapi, eksplorasinya masih belum mampu menghadirkan keanekaragaman arsitektur

sebagai identitas budaya Bali. Sebaliknya, arsitektur Bali hanya dipandang sebagai satu

gaya, seolah-olah tidak ada keanekaragaman dalam arsitektur tradisional Bali. Gaya

setempat dan keragaman budaya termasuk arsitektur di dalamnya, yang merupakan

cara komunitas di Bali untuk membuat batas dengan yang lain, secara bertahap telah

diubah menjadi satu gaya tunggal.

Page 6: TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA ...

PROSIDING SENASDAR 2018

66

Gaya tunggal ini dipengaruhi oleh visi pemerintahan Belanda selama era kolonial.

Interaksi anggota masyarakat Bali dengan budaya asing dan pertumbuhan gerakan

budaya sangat mempengaruhi budaya Bali termasuk arsitekturnya. Transformasi

arsitektur bali dipengaruhi oleh politik etis administrasi kolonial Belanda. Belanda

menggabungkan ambisi untuk memodernisasikan Bali dan aspirasi untuk melestarikan

arsitektur bali. Akan tetapi, agenda politik ini tidak mampu mempertahankan

keanekaragaman gaya arsitektur Bali. Keragaman secara bertahap berubah menjadi

satu gaya tunggal di mana gegianyaran telah menjadi referensi dari gaya arsitektur

di Bali. Reputasi gegianyaran dipengaruhi oleh visi pelestarian kolonial di Bali. Visi ini

dapat diamati dalam desain arsitektur paviliun Belanda di Pameran Kolonial 1931 di

Paris. Gaya arsitektur dari paviliun Belanda terinspirasi oleh arsitektur pura dan puri di

Gianyar (Morton 2000). Desain ini menjadi titik masuk untuk memperkenalkan Bali pada

1930-an (Picard 1996) sehingga model arsitekturnya telah menjadi referensi arsitektur

dan menginspirasi produksi arsitektur kolonial dan postcolonial termasuk pada saat

ini dimana ekonomi Bali banyak dipengaruhi oleh dunia pariwisata. Arsitektur Bali

terutama gaya gegianyaran banyak digunakan sebagai upaya untuk menarik perhatian

wisatawan untuk berkunjung (Diasana Putra, Lozanovska & Fuller 2015)

Masyarakat selanjutnya meniru visi ini sebagai sebuah gaya yang “lebih baik”. Oleh

karena itu, identitas lokal memudar dan gegianyaran menyebar ke hampir semua bagian

Bali (Achmadi 2007). Hal ini bisa dilihat dari banyaknya bangunan yang menggunakan

gaya gegianyaran di berbagai daerah termasuk di Badung dan daerah lainnya. Museum

Bali, Art Center, bangunan-bangunan pemerintah, bangunan-bangunan hotel maupun

bangunan rumah tinggal yang ada di luar Gianyar juga telah menggunakan gaya

gegianyaran (Gambar 2 dan 3).

Page 7: TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA ...

PROSIDING SENASDAR 2018

67

Gambar 4. Contoh gaya gegianyaran di Tabanan dan Kuta

Gambar 3. Contoh gaya gegianyaran di Denpasar

Page 8: TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA ...

PROSIDING SENASDAR 2018

68

Visi ini, yang juga diterapkan oleh Pemerintah Indonesia, telah membentuk konsep

arsitektur baru yang secara bertahap merubah keanekaragaman gaya arsitektur lokal

menjadi satu gaya tunggal (Achmadi 2007). Oleh karena itu, untuk melestarikan

keanekaragaman gaya arsitektur lokal di Bali sebagai identitas arsitektur, eksplorasi

keanekaragaman gaya arsitektur di Bali sangat penting. Gaya-gaya tersebut menjadi

rujukan arsitektural bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengekspresikan

identitas Bali di bangunan mereka. Keragaman gaya arsitektur juga menjadi sumber

pengembangan pariwisata di Bali.

MEMUDAR DAN UPAYA MEMPERTAHANKAN KEANEKARAGAMAN

Penyatuan keanekaragaman gaya arsitektur di Bali telah menyebabkan memudarnya

beberapa gaya arsitektur dari beberapa daerah di Bali. Ini dapat mengaburkan identitas

identitas Bali di mana orang akan berpikir bahwa Bali hanya memiliki satu gaya arsitektur.

Kurangnya studi tentang dialek arsitektur di Bali telah menyebabkan keunikan dan

kekhasan dialek arsitektur lokal dan keindahan keanekaragaman arsitektur belum

diekspos secara detail dan komprehensif. Akibatnya, masyarakat Bali, pemerintah

daerah, dan pemangku kepentingan lain yang terkait dengan praktik pembangunan

di Bali memiliki kekurangan informasi dan panduan terkait dengan implementasi

arsitektur lokal di banyak daerah di Bali. Karakter arsitektur lokal di beberapa daerah

akan digantikan oleh dialek arsitektur populer seperti gegianyaran, sehingga beberapa

daerah akan kehilangan identitas arsitekturnya.

Walaupun demikian, saat ini telah terjadi upaya untuk kembali menggunakan

gaya setempat dalam bentuk-bentuk arsitektur di suatu daerah seperti upaya yang

telah dilakukan Kota Denpasar yang ebrupaya mengembalikan berbagai bangunan ke

gaya bebadungan. Namun, agar dapat lebih eksis dengan kekhasan dan keunikannya,

eksplorasi gaya arsitektur daerah-daerah di Bali sangat penting dalam upaya inventarisasi

identitas arsitektur Bali. Untuk dapat mempertahankan keanekaragaman gaya arsitektur

ini maka perlu dilakukan beberapa penelitian dan explorasi terkait seperti misalnya :

a) Inventarisasi bangunan cagar budaya di banyak daerah di Bali.

b) Inventarisasi karakter arsitektur Bali dalam hal proporsi, bentuk, tekstur

dan bahan bangunan.

Page 9: TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA ...

PROSIDING SENASDAR 2018

69

c) Membandingkan gaya arsitektur, sehingga dapat diekspos keunikan

masing-masing dialek.

d) Membangkitkan kembali gaya-gaya arsitektur Bali dengan upaya

penerapan gaya arsitektur lokal di berbagai kawasan di Bali.

Sebagai salah satu contoh upaya eksplorasi gaya arsitektur setempat adalah

penelitian gaya arsitektur di Klungkung yang dalam hal ini adalah gaya arsitektur pada

kori agung Pura Agung Kentel Gumi. Secara umum, pura ini memiliki bagian-bagian

bangunan yang terdiri dari kepala; badan dengan dua buah lelengen yang mengapit

struktur utama kori; dan kaki yang merupakan bagian dasar kori agung. Kori ini memiliki

tinggi 9,091 m dengan lebar 5,986 m. Dilihat dari pembagian kepala-badan-kaki

bangunan, bagian kaki memiliki panjang 1,29 m, badan 4,035 m, dan kepala 4,028 m

(Gambar 4).

Gambar 5. Bangunan Kori Agung Pura Kentel Gumi

Page 10: TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA ...

PROSIDING SENASDAR 2018

70

PENUTUP

Sebagai sebuah karya budaya, arsitektur adalah sarana mengekspresikan identitas

sebuah masyarakat dimana identitas ini ditransmisikan dari generasi ke generasi.

Bentuk-bentuk ini telah juga mengalami transformasi sesuai dengan kebutuhan dan

kondisi perpolitikan di dalam suatu daerah. Gaya arsitektur Bali telah dipengaruhi oleh

budaya sehingga mengalami transformasi yang terus menerus. Transformasi yang

awalnya bervariasi karena otonomi yang dimiliki oleh penguasa di Bali saat itu menjadi

sebuah gaya tunggal karena visi pengembangan dan upaya mempertahankan identitas

lokal dari berbagai pemangku kepentingan dari masa ke masa.

Dalam hal ini keanekaragaman gaya arsitektur yang ada telah mulai memudar dan

salah satu gaya menjadi rujukan dari masyarakat untuk membangun. Hal ini tentunya

akan dapat memudarkan identitas arsitektur local yang ada sehingga diperlukan

berbagai upaya untuk mempertahankannya. Dalam hal ini diperlukan upaya penelitian

untuk meninventaris dan menidentifikasi karakter gaya di masing-masing kawasan yang tidak hanya berbasis kabupaten atau bekas kerajaan dimasa lampau, tetapi berdasarkan

batasan teritori komunitas dan lokasi.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, A 2007. ‘The architecture of Balinisation: writings on architecture,the villages,

and the construction of Balinese cultural identity in the 20th century’, PhD thesis,

the University of Melbourne. Australia.

Agung, IAAG 1991. Bali in the 19th century, Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Brubaker, R & Cooper, F 2000. ‘Beyond identity’, Theory and Society, vol. 29, no. 1, pp.

1-47.

Covarrubias, M 1974. Island of Bali, Oxford University Press. Kuala Lumpur.

Derek & Japha, V 1991. ‘Identity through detail: an architecture and cultural aspiration

in Montagu. South Africa, 1850-1915’, TDSR, vol. II, pp. 17-33.

Diasana Putra, IDGA, Lozanovska, M & Fuller, RJ, 2015. The transformation of the

Page 11: TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA ...

PROSIDING SENASDAR 2018

71

traditional Balinese house for tourist facilities: managing a home-based

enterprise and maintaining an architectural identity, Asia-Pacific Management and Business Application 2 (2) pp 120-131.

Diasana Putra, IDGA, Lozanovska, M & Fuller, RJ, 2017. A metodology to evaluate

the transformation of the traditional Balinese house as a consequence of

tourism. ArchNet-IJAR 11(1) pp 83-100.

Geertz, C 1980. Negara: the theatre state in nineteenth-century Bali, Pricenton

University Press. New Jersey.

Geertz, H & Geertz, C 1975. Kinship in Bali, the University of Chicago Press, Chicago.

Goris R 1984, ‘The religious character of the village community’ in JL Swellengrebel

(ed), Bali: studies in life, thought and ritual, Foris Publications. Doedrecht-

Holland, pp. 77-100.

Hall, S 1990. ‘Cultural identity and diaspora’, in J Rutherford (ed), Identity, community,

culture difference, Lawrence and Wishart. London, pp. 222-237.

Morton, PA, 2000. Hybrid Modernities: Architecture and Representation at the 1931

Colonial Exposition, the MIT Press. Cambridge.

Nordholt, HS 1986. Bali: colonial conceptions and political change 1700-1940 from

shifting hierarchies to ‘fixed’ order, Erasmus. Rotterdam.

Picard, M 1996, Bali: cultural tourism and touristic culture, Archipelago Press, Singapore.

Proshansky, HM et al. 1983. ‘Place identity: physical world socialization of the self’,

Journal of Environmental Psychology, vol. 3, pp. 57-83.

Shils, E 1971. ‘Tradition’, Comparative Studies in Society and History, vol. 13, no. 2,

Special Issue on Tradition and Modernity, pp. 122-159.

Shils, E 1981. Tradition, Faber and Faber Limited. London.

Swellengrebel, JL 1984. Introduction, in JL Swellengrebel (ed), Bali: studies in life,

thought, and ritual, Foris Publication Holland. Nethelands, pp. 1-76.

Page 12: TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL: MEMUDARNYA ...