Post on 10-Dec-2015
description
Gastroesophageal Refluks (GERD)
Pada gastroesophageal refluks (GERD) adalah kondisi di mana
esophagus mengalami iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari lambung.
Refluks terjadi ketika otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi
lambung mengalir kembali menuju esophagus disebabkan esophageal
sphincter bagian bawah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Gejala yang
paling umum adalah rasa panas ataunyeri terbakar di sekitar dada. Diagnosa
tersebut didasarkan pada gejala gejala.
Esophagus mengeluarkan lapisan pelindung tetapi akibat asam
lambung dan enzim yang mengalir ke belakang (refluks) menuju esophagus secara rutin
menyebabkan gejala-gejala dan pada beberapa kasus esophagus mengalami
kerusakan yang berat pada mukosa. Asam dan enzim mengalir kembali ketika
esophageal sphincter bagian bawah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Ketika seseorang berdiri atau duduk, gravitasi membantu untuk mencegah isi
perut mengalir kembali menuju esophagus, hal ini menjelaskan kenapa refluks
bisa memburuk ketika seseorang sedang berbaring. Refluks dapat terjadi
segera setelah makan, ketika jumlah dan keasaman isi di dalam lambung lebih
tinggi dan otot sphincter tidak mungkin untuk bekerja sebagaimana mestinya.
Faktor yang menyebabkan terjadinya refluks termasuk pertambahan
berat badan, makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat,
alkohol,merokok tembakau, dan obat-obatan tertentu. Jenis obat-obatan yang
bertentangan dengan fungsi
esophageal sphincter bagian bawah termasuk apa yang memiliki
efek antikolinergik (seperti berbagai antihistamin dan beberapa antihistamin).
Penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat. Alkohol dan kopi juga
berperan dengan merangsang produksi asam. Penundaan pengosongan
lambung (disebabkan diabetes atau penggunaan opioid) bisa juga
memperburuk refluks.
Epidemiologi
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah
dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada
populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan
kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia
Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%;
Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki
menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga
mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah 10,5%,
di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9%
(2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia (Jung,
2009), (Goh dan Wong, 2006). Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkan kasus
esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas
dasar dispepsia (Makmun, 2009).
Gambar 2.1 Prevalensi GERD pada Studi berbasis Populasi di Asia.
GERD didefinisikan sebagai mengalami heartburn atau regurgitasi minimal
setiap minggu. Studi dilakukan terhadap subyek yang sedang menjalani
medical check-up. ( Jung, 2011 )
Etiologi
Penyakit gastroesofageal refluks bersifat multifaktorial. Hal ini dapat
terjadi oleh karena perubahan yang sifatnya sementara ataupun
permanen pada barrier diantara esophagus dan lambung. Selain itu juga, dapat
disebabkan oleh karena sfingter esophagus bagian bawah yang inkompeten,
relaksasi dari sfingter esophagus bagian bawah yang bersifat sementara,
terrganggunya ekspulsi dari refluks lambung dari esophagus, ataupun hernia
hiatus.
Patogenesis
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada
individunormal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya
aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang
terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus
melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah.
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :
a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah
menelanc.
c. Meningkatnya tekanan intraabdominal
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor
ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah
pemisah anti refluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini
kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang
termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
- Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES.
Menurunnyatonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde
pada saatterjadinya peningkatan tekanan intra abdomen. Sebagian besar
pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor
yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang
LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal
antikolinergik, betaadrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal.
Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan
tonus LES. Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri,
tampak bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal
yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES
relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan
berlangsung lebih kurang 5detik tanpa didahului proses menelan. Belum
diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu
diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung yang lambat
(delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung. Peranan hiatus hernia pada
patogenesis terjadinya GERD masihkontroversial. Banyak pasien GERD
yang pada pemeriksaan endoskopiditemukan hiatus hernia, namun hanya
sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia
dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus
serta menurunkan tonus LES.
- Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus
adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat. Setelah
terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali kelambung
dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan.
Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar
salivadan kelenjar esophagus. Mekanisme bersihan ini sangat penting,
karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan esophagus
(waktu transit esophagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis.
Pada sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu transit
esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena
peristaltic esophagus yang minimal. Refluks malam hari (nocturnal
reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esophagus karena
selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.
- Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki
lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan
epithelial esophagus terdiri dari :-membran sel-batas intraselular
(intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan esophagus-
aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat,
serta mengeluarkan ion H+ dan CO2- sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk
mentransport ion H+ dan Cl-intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat
ekstraseluler. Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui
epitelesophagus, sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan
permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif
adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang
menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam
empedu, dan enzim pancreas
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang
dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada
pH < 2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu
yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam. Faktor-faktor
lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung
yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung,
atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying. Peranan infeksi
helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara
infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian
esofagitis, Barrett’s esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari
infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis
serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi
H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-
pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan
predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan
munculnya gejala GERD.
Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks
pra-infeksi H. pylori dengancorpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi
H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan
gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori
dengan antral predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperbaiki
keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung.
Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H.
pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat
memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung.
Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori
dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan
serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI
jangka panjang. Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui
bahwa non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala
GERD. Yang dimaksud dengan non-acid reflux adalah berupa bahan refluksat
yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala
GERD diduga karena hipersensitivitas visceral.
Manifestasi Klinik
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai
rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia
(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah.
Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak
selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa
tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina pektoris. Disfagia yang
timbul saat makan makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau
keganasan yang berkembang dari Barret’s esophagus. Odinofagia bisa muncul
jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.
Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau
regurgitasi, gejala tidak khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul
yang meliputi nyeri dada non kardiak (non cardiac chest pain/NCCP), suara
serak, laringitis, batuk, asma, bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain-lain
(Makmun 2009), (Jung, 2009).
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor
predisposisi untuk timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis di
daerah gastroesophageal high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan
yang menurunkan tonus LES. Asma dan GERD adalah dua keadaan yang
sering dijumpai secara bersaman. Selain itu, terdapat beberapa studi yang
menunjukkan hubungan antara gangguan tidur dan GERD (Jung, 2009).
Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala
klasik dan utama dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di
dunia Barat, kata ”heartburn” mudah dimengerti oleh pasien, sementara tidak
ada padanan kata yang sesuai untuk heartburn dalam mayoritas bahasa-bahasa
di Asia, termasuk bahasa Cina, Jepang, Melayu. Dokter lebih baik
menjelaskan dalam susunan kata-kata tentang apa yang mereka maksud
dengan heartburn dan regurgitasi daripada mengasumsikan bahwa pasien
memahami arti kata tersebut. Sebagai contoh, di Malaysia, banyak pasien
etnis Cina dan Melayu mengeluhkan ”angin” yang merujuk pada dispepsia
dan gejala refluks. Sebagai akibatnya, seperti yang terjadi di Cina, banyak
pasien GERD yang salah didiagnosis sebagai penderita non cardiac chest
pain atau dispepsia (Goh dan Wong, 2006).
Walaupun belum ada survei yang dilakukan, berdasarkan pengalaman
klinis sehari-hari, kejadian yang sama juga sering ditemui di Indonesia.
GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena gejala-
gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur,
penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas
sosial. Short-Form-36-Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup
yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding
dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan
artritis kronik (Hongo dkk, 2007).
Diagnosis
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya
dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur
dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau
regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian, derajat berat ringannya
keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik.
Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan
pada serangan angina pectoris.
Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi
karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett’s esophagus.
Odinofagia (rasa sakit saat menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi
ulserasi esophagus yang berat. Peradangan pada kerongkongan (esophagitis)
bisa menyebabkan pendarahanyang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar.
Darah kemungkinan dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan,
menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter (melena) atau
darah merah terang, jika pendarahan cukup berat. Penyempitan (stricture)
pada kerongkongan dari reflux membuat menelanmakanan keras meningkat
lebih sulit.
Gejala-gejala lain pada gastroesophageal reflux termasuk nyeri dada,
luka tenggorokan, suara parau, ludah berlebihan (water brash), rasa bengkak
pada tenggorokan (rasa globus), dan peradangan pada sinus (sinusitis).
Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks
berulang,lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi
yangdisebut Barrett’s esophagus). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-
gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan
berkembang menjadi kanker pada beberapa orang.GERD dapat juga
menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang atipik dan sangat
bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP),
suara serak, laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis
atau asma.Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor
predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di
daerah gastroesophagealhigh pressure zone akibat penggunaan obat-obatan
yang menurunkan tonus LES(misalnya teofilin).
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-perlahan, sangat jarang terjadi
episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu,
umunya pasien dengan GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.
Pemeriksaan fisik
Pada kasus GERD, pemeriksaan fisik tidak terlalu banyak membantu.
Pemeriksaan penunjang
Disamping anamnesis dan pemeriksaan yang seksama, beberapa pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :
- Endoskopi saluran cerna bahagian atas
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan
standar baku umtuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal
break di esophagus (esofagitis refluks).
Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai
perubahan mikroskopi dari mukosa esophagus, serta dapat
menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala
GERD. JIka tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bahagian atas pada pasien dengan gejala khas
GERD, keadaan ini disenut non-erosive reflux disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi
yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (Biopsi), dapat
mengkonfirmasikan bahwa gejala heartbyrn atau regurgitasi tersebut
disebabkan oleh GERD. Pemeriksaan histopatologi juga dapat
memastikan adanya Bareet’s esophagus, displasia, atau keganasan.
Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
histopatologi/biopsy pada NERD.
Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada
pemeriksaan endoskopi pada pasien GERD, antara lain klasifikasi Los
Angeles dan klasifikasi Savary-Miller.
Klasifikasi Los Angeles Derajat kerusakan Gambaran endoskopi
1. A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter
< 5 mm
2. B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm
tanpa saling berhubungan
3. C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh
lumen
4. D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esophagus)
- Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka
danseringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada
kasus esofagitis ringan.Pada keadaan yang lebih berat, gambar
radiology dapat berupa penebalandinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau
penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk
diagnosis GERD, namun padakeadaan tertentu pemeriksaan ini
mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus
derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejaladisfagia, dan pada
hiatus hernia.
- Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi
bagian distalesophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam
dengan menempatkanmikroelektroda pH pada bagian distal esophagus.
Pengukuran pH padaesophagus bagian distal dapat memastikan ada
tidaknya refluksgastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas
LES dianggapdiagnostik untuk refluks gastroesofageal.
- Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang
selangtransnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus
dengan HCl 0,1 Mdalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat
pelengkap terhadapmonitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan
gejala yang tidak khas. Bilalarutan ini menimbulkan rasa nyeri dada
seperti yang biasanya dialami pasien,sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein
yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal
dari esophagus.
- Pemeriksaan Darah Samar
Perdarahan di dalam saluran pencernaan dapat disebabkan baik
olehiritasi ringan maupun kanker yang serius. Bila perdarahannya
banyak, bisaterjadi muntah darah, dalam tinja terdapat darah segar atau
mengeluarkan tinja berwarna kehitaman (melena). Jumlah darah yang
terlalu sedikit sehingga tidak tampak atau tidak merubah penampilan
tinja, bisa diketahui secara kimia; dan hal ini bisa merupakan petunjuk awal dari
adanya ulkus, kanker dan kelainan lainnya. Pada pemeriksaan colok dubur,
dokter mengambil sejumlah kecil tinja . Contoh ini diletakkan pada
secarik kertas saring yang mengandung zat kimia. Setelah
ditambahkan bahan kimia lainnya, warna tinjakan berubah bila
terdapat darah.
Diagnosa Banding
a. Gastritis (radang lapisan lambung)
b. Kanker esophagus
Pada kanker kerongkongan adalah squamous sel carcinoma
danadenocarcinoma, yang terjadi di dalam sel yang melewati dinding
padakerongkongan. Kanker ini bisa terjadi dimana saja di dalam
kerongkongan dan bisa terlihat sebagai penyempitan pada
kerongkongan (penyempitan), sebuah pembengkakan, daerah flat yang
tidak normal (plaque), atau jaringan yangtidak normal (fistula).
c. Ulkus Peptikum
Ulkus Peptikum adalah luka berbentuk bulat atau oval yang
terjadikarena lapisan lambung atau usus dua belas jari (duodenum) telah
termakanoleh asam lambung dan getah pencernaan. Ulkus yang
dangkal disebut erosi.
d. Esophagitis
Esophagitis terutama disebabkan oleh GERD. Tetapi dapat
puladisebabkan oleh infeksi, efek obat, terapi radiasi, penyakit
sistemik, dan trauma.
Pengobatan
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya
hidup,terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai
dilakukan terapiendoskopik.Target penatalaksanaan GERD adalah
menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah
kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya
komplikasi.
Non Medikamentosa
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer.
Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya,
namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks
serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup,
yaitu :Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan
sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur
serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus. Makan makanan terakhir 3-4
jam sebelum tidur Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat
menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel
epitel.
Mengurangi konsumsi lemak serta Mengurangi jumlahmakanan yang
dimakan karena keduanya dapatmenimbulkan distensi lambungMenurunkan berat
badan pada pasien kegemukanMenghindari pakaian ketat sehingga dapat
mengurangitekanan intraabdomenMenghindari makanan/minuman seperti
coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapatmenstimulasi
sekresi asam.
Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapatmenurunkan
tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate,antagonis kalsium,
agonis beta adrenergic, progesterone.
Medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa
pada penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa
sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan
motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai
saat ini terbukti bahwa terapisupresi asam lebih efektif daripada pemberian
obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.Terdapat dua alur
pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang
tergolongkurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2)
atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi
asam yang lebih kuatdengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa
proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai
dengan PPI dan setelah berhasil dapatdilanjutkan dengan terapi pemeliharaan
dengan menggunakan dosis yang lebih rendahatau antagonis reseptor H2 atau
prokinetik atau bahkan antacid.
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik
tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini
pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi
step down. Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi
medikamentosa GERD :
- Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala
GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer
terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus
bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang
menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung
magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung
aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal.
- Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,
famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini
efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan
dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini
hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang
serta tanpa komplikasi.Obat-obatan prokinetik Secara teoritis, obat ini
paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini lebih condong
kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD
sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.
- Metokloprami
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya
rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan
lesi diesophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2
atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka
dapat timbulefek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing,
agitasi, tremor, dandiskinesia.
- Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek
sampingyang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui
sawar darahotak.Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan
penyembuhan lesiesophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini
diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat
pengosongan lambung.
- Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat
mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus
LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
- Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak
memilikiefek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan
carameningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap
HCl dieesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu.
Golongan obat inicukup aman diberikan karena bekerja secara topikal
(sitoproteksi).
- Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan
GERD.Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel
parietal denganmempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap
sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.Umumnya
pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang
dapatdilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy)
selama 4 bulan atau on-demand therapy, tergantung dari derajat
esofagitisnya.
Prognosis
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat
kesembuhandiatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat
diteruskan denganterapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan
terapi ³bila perlu´ (on-demand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama
beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai gejala
hilang.Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala
menandakanadanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal initampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam
mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.