Tinjauan Pustaka Gerd

26
Gastroesophageal Refluks (GERD) Pada gastroesophageal refluks (GERD) adalah kondisi di mana esophagus mengalami iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari lambung. Refluks terjadi ketika otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi lambung mengalir kembali menuju esophagus disebabkan esophageal sphincter bagian bawah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Gejala yang paling umum adalah rasa panas ataunyeri terbakar di sekitar dada. Diagnosa tersebut didasarkan pada gejala gejala. Esophagus mengeluarkan lapisan pelindung tetapi akibat asam lambung dan enzim yang mengalir ke belakang (refluks) menuju esophagus secara rutin menyebabkan gejala-gejala dan pada beberapa kasus esophagus mengalami kerusakan yang berat pada mukosa. Asam dan enzim mengalir kembali ketika esophageal sphincter bagian bawah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika seseorang berdiri atau duduk, gravitasi membantu untuk mencegah isi perut mengalir kembali menuju esophagus, hal ini menjelaskan kenapa refluks bisa memburuk ketika seseorang sedang berbaring. Refluks dapat terjadi segera setelah makan, ketika jumlah dan keasaman isi di dalam lambung

description

GERD

Transcript of Tinjauan Pustaka Gerd

Page 1: Tinjauan Pustaka Gerd

Gastroesophageal Refluks (GERD)

Pada gastroesophageal refluks (GERD) adalah kondisi di mana

esophagus mengalami iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari lambung.

Refluks terjadi ketika otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi

lambung mengalir kembali menuju esophagus disebabkan esophageal

sphincter bagian bawah tidak  berfungsi sebagaimana mestinya. Gejala yang

paling umum adalah rasa panas ataunyeri terbakar di sekitar dada. Diagnosa

tersebut didasarkan pada gejala gejala.

Esophagus mengeluarkan lapisan pelindung tetapi akibat asam

lambung dan enzim yang mengalir ke belakang (refluks) menuju esophagus secara rutin

menyebabkan gejala-gejala dan pada beberapa kasus esophagus mengalami

kerusakan yang berat pada mukosa. Asam dan enzim mengalir kembali ketika

esophageal sphincter bagian bawah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Ketika seseorang berdiri atau duduk, gravitasi membantu untuk mencegah isi

perut mengalir kembali menuju esophagus, hal ini menjelaskan kenapa refluks

bisa memburuk ketika seseorang sedang berbaring. Refluks dapat terjadi

segera setelah makan, ketika jumlah dan keasaman isi di dalam lambung lebih

tinggi dan otot sphincter tidak mungkin untuk bekerja sebagaimana mestinya.

Faktor yang menyebabkan terjadinya refluks termasuk pertambahan

berat badan, makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat,

alkohol,merokok tembakau, dan obat-obatan tertentu. Jenis obat-obatan yang

bertentangan dengan fungsi

esophageal sphincter  bagian bawah termasuk apa yang memiliki

efek antikolinergik (seperti berbagai antihistamin dan beberapa antihistamin).

Penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat. Alkohol dan kopi juga

berperan dengan merangsang produksi asam. Penundaan pengosongan

lambung (disebabkan diabetes atau penggunaan opioid) bisa juga

memperburuk refluks.

Page 2: Tinjauan Pustaka Gerd

Epidemiologi

Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah

dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada

populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan

kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia

Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%;

Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki

menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga

mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah 10,5%,

di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9%

(2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia (Jung,

2009), (Goh dan Wong, 2006). Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkan kasus

esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas

dasar dispepsia (Makmun, 2009).

Gambar 2.1 Prevalensi GERD pada Studi berbasis Populasi di Asia.

Page 3: Tinjauan Pustaka Gerd

GERD didefinisikan sebagai mengalami heartburn atau regurgitasi minimal

setiap minggu. Studi dilakukan terhadap subyek yang sedang menjalani

medical check-up. ( Jung, 2011 )

Etiologi

  Penyakit gastroesofageal refluks bersifat multifaktorial. Hal ini dapat

terjadi oleh karena perubahan yang sifatnya sementara ataupun

permanen pada barrier diantara esophagus dan lambung. Selain itu juga, dapat

disebabkan oleh karena sfingter esophagus bagian bawah yang inkompeten,

relaksasi dari sfingter esophagus bagian bawah yang bersifat sementara,

terrganggunya ekspulsi dari refluks lambung dari esophagus, ataupun hernia

hiatus.

Page 4: Tinjauan Pustaka Gerd

Patogenesis

 

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang

dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada

individunormal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya

aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang

terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus

melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah.

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :

 

a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat 

 

b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah

menelanc.

 

c. Meningkatnya tekanan intraabdominal

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD

menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor

ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah

pemisah anti refluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini

kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang

termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.

 

- Pemisah antirefluks

Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES.

Menurunnyatonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde

pada saatterjadinya peningkatan tekanan intra abdomen. Sebagian besar

pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor

yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang

LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal

antikolinergik, betaadrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal.

Page 5: Tinjauan Pustaka Gerd

Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan

tonus LES. Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri,

tampak  bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal

yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES

relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan

berlangsung lebih kurang 5detik tanpa didahului proses menelan. Belum

diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu

diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung yang lambat

(delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung. Peranan hiatus hernia pada

patogenesis terjadinya GERD masihkontroversial. Banyak pasien GERD

yang pada pemeriksaan endoskopiditemukan hiatus hernia, namun hanya

sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia

dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus

serta menurunkan tonus LES.

- Bersihan asam dari lumen esophagus

Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus

adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat. Setelah

terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali kelambung

dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan.

Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar

salivadan kelenjar esophagus. Mekanisme bersihan ini sangat penting,

karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan esophagus

(waktu transit esophagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis.

Pada sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu transit

esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena

peristaltic esophagus yang minimal. Refluks malam hari (nocturnal

reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esophagus karena

selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.

Page 6: Tinjauan Pustaka Gerd

- Ketahanan epithelial esophagus

Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki

lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan

epithelial esophagus terdiri dari :-membran sel-batas intraselular

(intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan esophagus-

aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat,

serta mengeluarkan ion H+ dan CO2- sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk

mentransport ion H+ dan Cl-intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat

ekstraseluler. Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui

epitelesophagus, sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan

permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif

adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang

menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam

empedu, dan enzim pancreas

Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang

dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada

pH < 2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu

yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam. Faktor-faktor

lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung

yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung,

atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying. Peranan infeksi

helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang

didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara

infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian

esofagitis, Barrett’s esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari

infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis

serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi

H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-

pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan

predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan

munculnya gejala GERD.

Page 7: Tinjauan Pustaka Gerd

Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks

pra-infeksi H. pylori dengancorpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi

H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan

gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori

dengan antral predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperbaiki

keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung.

Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H.

pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat

memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung.

Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori

dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan

serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI

jangka panjang. Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui

bahwa non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala

GERD. Yang dimaksud dengan non-acid reflux adalah berupa bahan refluksat

yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala

GERD diduga karena hipersensitivitas visceral.

Manifestasi Klinik

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di

epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai

rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia

(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah.

Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak

selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa

tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina pektoris. Disfagia yang

timbul saat makan makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau

keganasan yang berkembang dari Barret’s esophagus. Odinofagia bisa muncul

jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.

Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau

regurgitasi, gejala tidak khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul

yang meliputi nyeri dada non kardiak (non cardiac chest pain/NCCP), suara

Page 8: Tinjauan Pustaka Gerd

serak, laringitis, batuk, asma, bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain-lain

(Makmun 2009), (Jung, 2009).

Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor

predisposisi untuk timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis di

daerah gastroesophageal high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan

yang menurunkan tonus LES. Asma dan GERD adalah dua keadaan yang

sering dijumpai secara bersaman. Selain itu, terdapat beberapa studi yang

menunjukkan hubungan antara gangguan tidur dan GERD (Jung, 2009).

Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala

klasik dan utama dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di

dunia Barat, kata ”heartburn” mudah dimengerti oleh pasien, sementara tidak

ada padanan kata yang sesuai untuk heartburn dalam mayoritas bahasa-bahasa

di Asia, termasuk bahasa Cina, Jepang, Melayu. Dokter lebih baik

menjelaskan dalam susunan kata-kata tentang apa yang mereka maksud

dengan heartburn dan regurgitasi daripada mengasumsikan bahwa pasien

memahami arti kata tersebut. Sebagai contoh, di Malaysia, banyak pasien

etnis Cina dan Melayu mengeluhkan ”angin” yang merujuk pada dispepsia

dan gejala refluks. Sebagai akibatnya, seperti yang terjadi di Cina, banyak

pasien GERD yang salah didiagnosis sebagai penderita non cardiac chest

pain atau dispepsia (Goh dan Wong, 2006).

Walaupun belum ada survei yang dilakukan, berdasarkan pengalaman

klinis sehari-hari, kejadian yang sama juga sering ditemui di Indonesia.

GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena gejala-

gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur,

penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas

sosial. Short-Form-36-Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan bahwa

dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup

yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding

dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan

artritis kronik (Hongo dkk, 2007).

Page 9: Tinjauan Pustaka Gerd

Diagnosis

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di

epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya

dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur

dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau

regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian, derajat berat ringannya

keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik.

Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan

pada serangan angina pectoris.

Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi

karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett’s esophagus.

Odinofagia (rasa sakit saat menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi

ulserasi esophagus yang berat. Peradangan pada kerongkongan (esophagitis)

bisa menyebabkan pendarahanyang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar.

Darah kemungkinan dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan,

menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter (melena) atau

darah merah terang, jika pendarahan cukup berat. Penyempitan (stricture)

pada kerongkongan dari reflux membuat menelanmakanan keras meningkat

lebih sulit.

Gejala-gejala lain pada gastroesophageal reflux termasuk nyeri dada,

luka tenggorokan, suara parau, ludah berlebihan (water brash), rasa bengkak

pada tenggorokan (rasa globus), dan peradangan pada sinus (sinusitis).

Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks

berulang,lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi

yangdisebut Barrett’s esophagus). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-

gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan

berkembang menjadi kanker  pada beberapa orang.GERD dapat juga

menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang atipik dan sangat

bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP),

suara serak, laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis

atau asma.Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor

predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di

Page 10: Tinjauan Pustaka Gerd

daerah gastroesophagealhigh pressure zone akibat penggunaan obat-obatan

yang menurunkan tonus LES(misalnya teofilin).

Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-perlahan, sangat jarang terjadi

episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu,

umunya pasien dengan GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.

Pemeriksaan fisik

Pada kasus GERD, pemeriksaan fisik tidak terlalu banyak membantu.

Pemeriksaan penunjang

Disamping anamnesis dan pemeriksaan yang seksama, beberapa pemeriksaan

penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :

- Endoskopi saluran cerna bahagian atas

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan

standar baku umtuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal

break di esophagus (esofagitis refluks).

Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai

perubahan mikroskopi dari mukosa esophagus, serta dapat

menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala

GERD. JIka tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan

endoskopi saluran cerna bahagian atas pada pasien dengan gejala khas

GERD, keadaan ini disenut non-erosive reflux disease (NERD).

Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi

yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (Biopsi), dapat

mengkonfirmasikan bahwa gejala heartbyrn atau regurgitasi tersebut

disebabkan oleh GERD. Pemeriksaan histopatologi juga dapat

memastikan adanya Bareet’s esophagus, displasia, atau keganasan.

Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan

histopatologi/biopsy pada NERD.

Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada

pemeriksaan endoskopi pada pasien GERD, antara lain klasifikasi Los

Angeles dan klasifikasi Savary-Miller.

Page 11: Tinjauan Pustaka Gerd

Klasifikasi Los Angeles Derajat kerusakan Gambaran endoskopi

1. A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter

< 5 mm

2. B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm

tanpa saling berhubungan

3. C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh

lumen

4. D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial

(mengelilingi seluruh lumen esophagus)

- Esofagografi dengan barium

Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka

danseringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada

kasus esofagitis ringan.Pada keadaan yang lebih berat, gambar

radiology dapat berupa penebalandinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau

penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk

diagnosis GERD, namun padakeadaan tertentu pemeriksaan ini

mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus

derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejaladisfagia, dan pada

hiatus hernia.

- Pemantauan pH 24 jam

Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi

bagian distalesophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam

dengan menempatkanmikroelektroda pH pada bagian distal esophagus.

Pengukuran pH padaesophagus bagian distal dapat memastikan ada

tidaknya refluksgastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas

LES dianggapdiagnostik untuk refluks gastroesofageal.

- Tes Bernstein

Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang

selangtransnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus

dengan HCl 0,1 Mdalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat

pelengkap terhadapmonitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan

Page 12: Tinjauan Pustaka Gerd

gejala yang tidak khas. Bilalarutan ini menimbulkan rasa nyeri dada

seperti yang biasanya dialami pasien,sedangkan larutan NaCl tidak

menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein

yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal

dari esophagus.

- Pemeriksaan Darah Samar 

Perdarahan di dalam saluran pencernaan dapat disebabkan baik

olehiritasi ringan maupun kanker yang serius. Bila perdarahannya

banyak, bisaterjadi muntah darah, dalam tinja terdapat darah segar atau

mengeluarkan tinja berwarna kehitaman (melena). Jumlah darah yang

terlalu sedikit sehingga tidak tampak atau tidak merubah penampilan

tinja, bisa diketahui secara kimia; dan hal ini bisa merupakan petunjuk awal dari

adanya ulkus, kanker dan kelainan lainnya. Pada pemeriksaan colok dubur,

dokter mengambil sejumlah kecil tinja . Contoh ini diletakkan pada

secarik kertas saring yang mengandung zat kimia. Setelah

ditambahkan bahan kimia lainnya, warna tinjakan berubah bila

terdapat darah.

Diagnosa Banding

a. Gastritis (radang lapisan lambung)

b. Kanker esophagus

Pada kanker kerongkongan adalah squamous sel carcinoma

danadenocarcinoma, yang terjadi di dalam sel yang melewati dinding

padakerongkongan. Kanker ini bisa terjadi dimana saja di dalam

kerongkongan dan bisa terlihat sebagai penyempitan pada

kerongkongan (penyempitan), sebuah pembengkakan, daerah flat yang

tidak normal (plaque), atau jaringan yangtidak normal (fistula).

c. Ulkus Peptikum

Ulkus Peptikum adalah luka berbentuk bulat atau oval yang

terjadikarena lapisan lambung atau usus dua belas jari (duodenum) telah

termakanoleh asam lambung dan getah pencernaan. Ulkus yang

dangkal disebut erosi.

Page 13: Tinjauan Pustaka Gerd

d. Esophagitis

Esophagitis terutama disebabkan oleh GERD. Tetapi dapat

puladisebabkan oleh infeksi, efek obat, terapi radiasi, penyakit

sistemik, dan trauma.

Pengobatan

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya

hidup,terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai

dilakukan terapiendoskopik.Target penatalaksanaan GERD adalah

menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah

kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya

komplikasi.

Non Medikamentosa

Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari

penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer.

Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya,

namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks

serta mencegah kekambuhan.

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup,

yaitu :Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan

sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur

serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus. Makan makanan terakhir 3-4

jam sebelum tidur  Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat

menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel

epitel.

Mengurangi konsumsi lemak serta Mengurangi jumlahmakanan yang

dimakan karena keduanya dapatmenimbulkan distensi lambungMenurunkan berat

badan pada pasien kegemukanMenghindari pakaian ketat sehingga dapat

mengurangitekanan intraabdomenMenghindari makanan/minuman seperti

coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapatmenstimulasi

sekresi asam.

Page 14: Tinjauan Pustaka Gerd

Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapatmenurunkan

tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate,antagonis kalsium,

agonis beta adrenergic, progesterone.

Medikamentosa

Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa

pada penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa

sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan

motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai

saat ini terbukti bahwa terapisupresi asam lebih efektif daripada pemberian

obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.Terdapat dua alur

pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada

pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang

tergolongkurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2)

atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi

asam yang lebih kuatdengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa

proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai

dengan PPI dan setelah berhasil dapatdilanjutkan dengan terapi pemeliharaan

dengan menggunakan dosis yang lebih rendahatau antagonis reseptor H2 atau

prokinetik atau bahkan antacid.

 

Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik

tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini

pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi

step down. Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi

medikamentosa GERD :

- Antasid

Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala

GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer

terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus

bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang

menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung

Page 15: Tinjauan Pustaka Gerd

magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung

aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan

fungsi ginjal.

- Antagonis reseptor H2

Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,

famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini

efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan

dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini

hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang

serta tanpa komplikasi.Obat-obatan prokinetik Secara teoritis, obat ini

paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini lebih condong

kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD

sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.

- Metokloprami

Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya

rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan

lesi diesophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2

atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka

dapat timbulefek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing,

agitasi, tremor, dandiskinesia.

- Domperidon

Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek

sampingyang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui

sawar darahotak.Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan

penyembuhan lesiesophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini

diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat

pengosongan lambung.

- Cisapride

Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat

mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus

Page 16: Tinjauan Pustaka Gerd

LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi

esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.

- Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)

Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak

memilikiefek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan

carameningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap

HCl dieesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu.

Golongan obat inicukup aman diberikan karena bekerja secara topikal

(sitoproteksi).

- Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)

Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan

GERD.Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel

parietal denganmempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap

sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.Umumnya

pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang

dapatdilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy)

selama 4 bulan atau on-demand therapy, tergantung dari derajat

esofagitisnya.

Prognosis

Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat

kesembuhandiatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat

diteruskan denganterapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan

terapi ³bila perlu´ (on-demand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama

beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai gejala

hilang.Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala

menandakanadanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan

esofagitisnya). Hal initampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam

mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.

Page 17: Tinjauan Pustaka Gerd