Post on 09-Nov-2015
description
II. MAHASISWA
I. KLASIFIKASI
Mahasiswa diklasifikasikan dalam beberapa hal: (1) menurut tingkatan beasiswa yang relatif;
(2) sebagai orang yang digaji; (3) sebagai yayasan; dan (4) sebagai partisipan di kelas.
a. Menurut Tingkatan Beasiswa yang Relatif
Ada tiga tingkatan beasiswa yang relatif: (1) mubtadi (j. Mubtadiun), pemula; (2)
mutawassit (j. mutawassitun), menengah; dan (3) mentahin (j. muntahun), akhir.115
Ketiga tingkatan umum tersebut dirancang sebagai kelas tertinggi yang dikiaskan dalam
Subkis, ayah, dan anak. Sang ayah ingin anaknya belajar hukum dengan Al-Mizzi yang,
mungkin jauh berbeda dengan ayahnya, ingin menempatkan sang anak di kelas tertinggi (at-
tabaqa al-ulya). Sang ayah, yang keberatan, menginginkan anaknya agar ditempatkan di
kelas dasar (mubtadiun). Dhahabi memprotesnya agar Subki muda ditempatkan di kelas
yang lebih tinggi (dari dasar). Sang ayah kemudian menempatkannya di kelas menengah
(mutawassitun).116
b. Sebagai Orang yang Digaji
Dalam tiga tingkatan umum ini, tingkatan lainnya dapat ditentukan menurut jumlah beasiswa
mahasiswa. Perbaikan tingkatan selanjutnya akan dibahas dan ditetapkan secara hukum oleh
Taqi ad-Din as-Subki yang berdasarkan pada hal berikut:117
Mahasiswa hukum diranking berdasarkan tiga kelas, yang dalam hal ini, fakultas
Shamiya dan fakultas lainnya. Jika ranking tersebut merupakan ketentuan dari pendiri,
dalam hal ini adalah di Fakultas Shamiya Extra-Muros, maka ketentuan itu harus
dipatuhi; jika tidak sesuai ketentuan, dalam hal ini adalah di Fakultas Shamiya Extra-
Muros, maka pilihan yang paling tepat adalah tidak diperbolehkan untuk membatasi
semua mahasiswa di tiga kelas ini saja; seperti yang disabdakan Nabi bahwa kita
diperintahkan oleh Allah untuk memperlakukan seseorang sesuai dengan keadaannya.
Karena itu, ketika ada mahasiswa hukum yang masuk dalam kelas dua puluh [dirham]
dan yang lain masuk dalam kelas tiga puluh [dirham] serta yang ketiga ada diantara
keduanya, yaitu di atas yang pertama dan di bawah yang kedua, yang menjadikan
mereka ke dalam dua tingkatan sehingga ditempatkan di tingkatan yang tidak sesuai,
hal itu melanggar sabda Nabi. Mereka harus ditempatkan di antara keduanya, yang
merupakan tingkatannya. Tingkatan mahasiswa hukum dimulai dari porsi yang sedikit
ke banyak; dan itu tergantung pada mutawalli yang memutuskan sesuai dengan
tingkatan aslinya.118
c. Sebagai Yayasan
Sebagai yayasan, mahasiswa dibagai menjadi 2 ranking berbeda: (1) mutafaqqih (j.
Mutafaqqiha); dan (2) faqih (j.fuqaha).
Mutafaqqih adalah mahasiswa hukum strata satu. Ketentuan ini ditujukan untuk
semua kelas yang disebutkan di atas, tiga tingkatan beasiswa yang telatif, serta mahasiswa
yang berada di antara ketegori tersebut dan dikenali dengan jumlah beasiswa yang
dibayarkan. Istilah mutafaqqih adalah bentuk aktif dari kata tafaqqaha, dari akar kata fiqh
yang artinya untuk belajar ilmu hukum, untuk menerapkan dirinya ke pemerolehan hukum
(fiqh). Kata faqih berlaku untuk sarjana serta konsultan hukum yang pandai. Selanjutnya,
setiap faqih adalah pengacara dan konsultan hukum, orang yang mengerti hukum dan
mengeluarkan pendapat hukum. Lebih singkatnya, kata mutafaqqih dan faqihi berlaku untuk
dua kelompok mahasiswa tertentu: (1) istilah mutafaqqih ditujukan mahasiswa hukum hingga
dan termasuk dalam kelas terakhir, al-muntahun; (2) istilah faqih ditujukan untuk mahasiswa
hukum di atas tingkat akhir dan hingga mendapatkan lisensi untuk mengajar hokum dan
mengeluarkan keputusan hukum.
Akan tetapi, umumnya istilah-istilah tersebut digunakan secara bergantian,
penerapannya yang menimbulkan masalah terkait penafsiran akta wakaf. Keputusan hukum
dari Taqi ad-Din as-Subki terhadap masalah seperti ini mengklarifikasi perbedaan di antara
kedua istilah tersebut. Beliau mengatakan:
Istilah mutafaqqih bisa digunakan untuk pemula [mubtadi], dalam hal ini yang akan
ditunjuk adalah ketua dan digaji bersama faqih. Istilah tersebut juga digunakan untuk
menyebut setiap orang yang terlibat dalam bidang hukum [kull man yataatal-fiqh];
sesuai dengan pernyataan Imam Abu Hamid al-Isfaraini Ketika kita telah
menyelesaikan studi hukum, kita akan mati [lamma tafaqqahna mitna]
sebagaimana fiqih adalah lautan tanpa batas. Bukanlah seorang konsultan hukum, hari
ini atau di masa lampau, jika tidak pernah mendapatkan pertanyaan yang bisa
membuat rambutnya beruban, dan maka dari itu dia disebut sebagai mahasiswa yang
masih belajar hukum [yatafaqqah]. Karena itu, istilah mutafaqqih dengan faqih tidak
dalam teks tertentu dengan kesamaan makna tetapi untuk satu istilah saja.119
Subki membuat perbedaan lebih lanju antara dua golongan. Sebuah ketentuan dalam
peraturan Perguruan Tinggi Shamiya Intra-Muros membatasi jumlah fuqaha dan
mutafaqqiha itu 20 orang saja yang bekerja di Perguruan Tinggi. Diantara mereka adalah
repetitor (muid) dari Perguruan Tinggi dan imam, tetapi tidak temasuk professor hukum
(mudarris), muadzin dan qaiyim.120 menurut terminology peraturan repetitor (muid) dan
imam adalah para faqih sedangkan professor (mudarris) bukan. Ditempat lain Repetitor
adalah salah satu fuqaha yang dengan jelas dinyatakan oleh pediri. Ia bukan salah satu
mutafaqqiha karena ia adalah golongan yang lebih tinggi (li-annahu arfau ruthbatan).121
Sehubungan dengan pernyataan mengenai fungsi repetitor, Subki menyatakan bahwa
mutawalli dari Perguruan Tinggi itu berkewajiban memberikannya pilihan yang sesuai
dengan manfaatnya. Manfaat yang berdasarkan qualifikasi yang sudah dibahas sebelumnya
dan faktanya adalah fungsi mengajar mahasiswa (yushghilut-talaba) dan itu menguntungkan
mereka (mutawalli).122
Perbedaan pada dua istilah ini telah ada sejak dulu. Ibn Aqil, dalam Wadih-nya,
menyatakan: .. dan ini merupakan kecaman kecil bagi banyak fuqaha ( faqih) yang lengah
dan yang tidak mempedulikan dirinya dengan ilmu ini apalagi mutafaqqiha123 yang telah
membuat perbedaan dengan sangat jelas.
Pertanyaan yang menuntut pendapat hukum dari Ibnu as-Salah (543H/1148M) telah
ditetapkan perbedaan diantara kedua golongan tersebut. Beliau menanyakan tentang Fakultas
Hukum yang didirikan untuk kepentingan fuqaha dan mutafaqqiha, dan sumbangan yang
ditetapkan untuk fuqaha dan mutafaqqiha-nya.124
Beberapa istilah tertentu digunakan sehubungan dengan kelas mahasiswa terakhir,
yang disebut al-muntahun, yang telah menyelesaikan studinya dan bagian dari at-tabaqa al-
ulya, yang merupakan kelas tertinggi. Terkait dengan istilah pertama, al-muntahun, terdapat
dua kata kerja, satu dalam Bentuk IV, anha, dan Bentuk VII lainnya, intaha, di mana
keduanya diambil dari akar kata yang sama, nhy. Kata anha digunakan dalam konteks
intransitif dan transitif biasa; sedangkan kata intaha digunakan dalam konteks intransitif.
Dalam tulisannya tentang Imam Imad ad-Din al-Hisbani (778H/1376M), Nuaimi
mengatakan bahwa beliau datang ke Damaskus pada tahun 738H/1338M dan masuk sebagai
faqih di Fakultas Shamiya Extra-Muros. Profesor beliau, Sham ad-Din bin an-Naqib
(745H/1345M), merekomendasikan beliau untuk mengakhiri studi (anhah: secara tekstual,
mengeluarkan beliau); Hisbani kemudian menjadi asisten tetap (lazama) Fakhr ad-Din al-
Misri hingga kemudian mengesahkan beliah untuk mengeluarkan fatwa (hatta adhana lahu bi
I-ifta); beliau kemudian mengajar hukum (darrasa), mengeluarkan keputusan hukum (afta),
dan mengabdi sebagai asisten (afada), semua yang dilakukan tersebut kemudian yang
menjadikan beliau sebagai konsultan hukum. Beliaun kemudian menggantikan dua profesor
hukum. Kemudian beliaulah yang menyerang Taj ad-Din as-Subki dan merampas gelar
keprofesoran hukum as-Subki di Fakultas Aminiya. Beliau kemudian menjadi profesor di
Fakultas Iqbaliya dan Jarukhiya.
Jamal ad_din az-Zuhri (801H/1399M) dan sang kakak mengakhiri studi mereka
(anha) di Fakultas Syamiya pada tahun 785H/1383M. Kemudian pada tahun 791H/1389M,
ayah beliau, seorang guru besar konsultan hukum, mengesahkan keduanya, bersama dengan
kelompok mahasiswa konsultan hukum (fuqaha), untuk mengeluarkan fatwa; yang berbunyi,
enam tahun ikut campur antara pemutusan studi hukum dan pengesahan untuk mengeluarkan
putusan hukum. Ayah beliau kemudian mengundurkan diri dari keprofesoran di Fakultas
Shamiya demi kedua anaknya, yang masing-masing ditunjuk sebagai bagian dari
keprofesoran.126
Terkait status ketika mahasiswa telah menyelesaikan kelas akhir studi dan
memperoleh pengakuan untuk masuk ke kelas ifta diperjelas oleh Shams ad-Din al-Kufti
(818H/1415M). Terkait dengan fase pendidikan, beliau berpendapat:
Saya bersama Shams ad-Din al-Jurjawi, Shams ad-Din as-Sanadiqi, dan Baqa ad-Din
bin Imam al-Mashhad sering bertemu di Fakultas Aminiya untuk mengerjakan
penelitian kami. Ketika itu Sanadiqi menulis tentang taliqa dalam satu volume pada
Tanbih [dari Abu Ishaq ash-Shiraji]. Kemudian beliau ingin masuk ke Fakultas
Shamiya Extra-Muros di kelas ifta. Selanjutnya beliau menemui Hakim Shihab ad-
Din az-Zuhri dan bermusyawarah tentang keinginan tersebut. Beliau (Hakim)
menjawab, Tidak, hingga kamu tulisanmu selesai. Dengan membawa volume yang
telah beliau kumpulkan, Sanadiqi berkata, bawa ini dan tanyai saya pada tiap bagian
dari ini karena saya tidak menulis sesuatu disitu yang tidak bisa saya bacakan
padamu. Profesor melakukan yang beliau minta, dan Saniqi menjawab semua
pertanyaan yang diajukan. Kemudian profesor memberikan izin untuk masuk ke kelas
ifta. Saniqi berkata: Teman-teman kelasku memahami isi dari volume tersebut
seperti diriku yang dimaksud adalah al-Jurjawi, Ibn Imam al-Mashhad, dan Ibn al-
Kufti. Kemudian profesor menyatakan bahwa mereka Saniqi dan temannya telah
menyelesaikan studi hukum [anha li l-jami].127
Ketika studi mahasiswa dirasa cukup, maka dinyatakan lulus dari fase pendidikan
hukum. Pada awal abad pertengahan, fase ini disebut suhba, mahasiswanya menjadi sahib,
mahasiswa, dari profesor hokum; kemudian fase ini merujuk pada kelas ifta, tabaqat al-ifta.
Maka kelas akhir segera melanjutkan kelas ifta dari pendidikan hukum, masa di mana
mahasiswa dilatih untuk melakukan penelitian dan debat terkait dengan pembuatan putusan
hokum dan pembelaan hokum. Mahasiswa konsultan hukum, pada tingkat ini, mencurahkan
waktunya untuk magang dengan pakar hukum, tergantung dengan siapa dia belajar dan
berproses hingga tahap putusan hukum. Saat tahap pendidikan ini selesai di tabaqat al-ifta
kelas magang untu mutiship, ia diiziinkan oleh pakar hukum untuk mengutarakan pendapat
mereka (ijaza, atau idhn, bil ifta).
d. Sebagai Partisipan di Kelas
Dua istilah membedakan satu mahasiswa dengan mahasiswa lainnya sebagai partisipan di
kelas. Mahasiswa yang bekerja disebut dengan istilah al-mushtaghil, dan mahasiswa
editor disebut dengan al-mustami. Mahasiswa yang bekerja, sebagai yang digaji,
ditempatkan di atas auditor. Sesuai dengan peraturan Fakultas Hadits Ashrafiya, ia digaji
delapan dirham, sedangkan auditor digaji empat dirham.128
e. Istilah Lain untuk Mahasiswa
Istilah lain yang menandakan seorang mahasiswa tidak menunjukkan perbedaan menurut
tingkatan: talib (pencari ilmu), j.talaba, tullab; dan tilmidh, j.talamidh, talamidha. Kedua
istilah tersebut digunakan untuk menyebut mahasiswa secara umum. Istilah tilmidh
selanjutnya dikonotasikan dengan pengertian murid. Mahasiswa khusus hadits berkelana
mencari hadits dari jaman dulu yang hidup sebagai satu-satunya perawi hadits yang sah;
whence penggunaan istilah talib, pencari, pengejar. Kata kerja talaba secara khusus
digunakan sehubungan dengan ilm dan hadits, untuk mencari, untuk mengejar, pengetahuan
agama, hadits.
2. BEBERAPA ASPEK KEHIDUPAN MAHASISWA
a. Mahasiswa Pendiam
Muid an-niam Subki membantu untuk membentuk citra mahasiswa Muslim yang jelas di
Abad Pertengahan. Ketika berbicara tentang kewajiban mahasiswa tingkat atas (al-muntahi),
mengacu pada kelas yang mengarahkan ke kelas ifta, beliau mengatakan bahwa mahasiswa
harus berpartisipasi dalam perdebatan yang lebih aktif dibandingkan peringkat di bawahnya.
Jika ia harus tetap diam, dan mengumpulkan beasiswa dari yayasan sebagai mahasiswa
tingkat atas karena ia merasa lebih mengerti daripada mahasiswa yang hadir di perdebatan,
kemudian ia tidak akan memuji Tuhan yang seharusnya ia agungkan sebagai ucapan terima
kasih atas anugerah yang diberikan kepadanya.129 Selain itu, mahasiswa harus melakukan
sesuatu sesuai dengan tingkatannya, tidak hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk
teman mahasiswanya. Maka wajib bagi dia untuk lebih aktif dalam perdebatan, untuk
kebaikan dirinya serta bagi mahasiswa yang mungkin memperoleh manfaat atas
keikutsertaannya. Jika sebaliknya, maka dia tidak berhak menerima biaya yang diperoleh dari
dana sumbangan.
Di salah satu bagian bukunya, Subki sepakat dengan mahasiswa tingkat atas setelah
sepakat dengan mufid, dan sebelum itu, dengan muid, dua pos yang ditempati oleh sarjana di
periode-suhba dari studi mereka. Mahasiswa tingkat akhir adalah mahasiswa yang selangkah
di bawahnya adalah mufid, dan kemudian, di bawah lagi ada muid.130 dua pos ini dapat
dibandingkan dengan mahasiswa pengajaran modern atau asisten, yang diadakan oleh
para sarjana yang bekerja untuk tingkatan doktor.
Dengan mempertimbangkan mahasiswa hukum secara umum di fakultas (fuqaha al-
madrasa), Subki mengatakan bahwa mereka memiliki kewajiban untuk memahami sebanyak
yang mereka bisa, rajin hadir, kecuali mereka memiliki alasan yang sah untuk tidak hadir
menurut hukum agama (illa bi-udhrin sahri).131 Subki secara tegas meminta agar mahasiswa
mengerjakan tugasnya dengan baik agar sumbangan beasiswa yang diberikan tidak sia-sia.
Kenyataannya beberapa mahasiswa datang ke banyak fakultas untuk mendapatkan biaya
sebanyak mungkin, seperti praktik yang dikejar profesornya yang menggabungkan beberapa
jabatan profesor.
Subki mengkritik mahasiwa yang pendiam dan molor yang mengobrol dengan
tetangganya saat membaca Quran. Jika demikian, mahasiswa tidak hanya gagal dalam
membaca Quran, tetapi juga dapat menimbulkan fitnah. Membaca Quran adalah salah satu
kewajibannya seperti yang ditetapkan di ketentuan lembaga pemberi beasiswa. Kegagalan
melakukan kewajibannya, dia menambah daftar kesalahan dengan menimbulkan fitnah. Juga
ada mahasiswa yang tidak mendengarkan penyair yang membaca sholawat untuk Nabi (al-
madih). Ia malah sering membuka buku yang ia baca dan tidak memperhatikan penjelasan
profesornya; sebaliknya ia duduk sedikit jauh sehingga tidak dapat mendengarkan professor.
Mahasiswa seperti itu tidak berhak mendapatkan beasiswa, maupun manfaat dari membuka
buku ketika dosennya sedang menjelaskan. Jika semua pendiri menghendakinya, ia
dinyatakan tidak berhak mengikuti kelas.133
Keterangan yang dibuat oleh Subki terkait fungsi bagian absensi (katib al-ghaiba)
menjelaskan tentang praktik mahasiswa yang terlibat dalam ketidakhadiran. Bagian absensi
berkewajiban mencari kebenaran. Dia tidak boleh melaporkan seseorang yang tidak masuk
kelas sebelum mencari alasan tidak masuk. Jika mahasiswa yang tidak masuk memiliki
alasan yang jelas, bagian absensi harus membuat keterangan; tetapi jika dia melaporkan
ketidak hadiran mahasiswa tanpa mencari alasannya, maka dia telah salah karena mengambil
hak mahasiswa.134
Selain itu, jika dia membiarkan mahasiswa yang tidak masuk dan tidak
melaporkannya, karena diberi imbalan/disogok, maka dia telah menempatkan dirinya di pintu
neraka.135
Tugas bagian absensi adalah suatu kewajiban karena merupakan ketentuan yang
telah dibuat yayasan terkait ketidakhadiran. Mahasiswa yang molor akan dicabut sebagian
atau keseluruhan beasiswanya, tergantung lama ketidakhadirannya.
Juga ada pos bagian absensi untuk mahasiswa hadits (katib ghaibat as-samiin),
bagian tersebut juga diperuntukkan bagi mahasiswa hukum (katib al-ghaiba ala i-fuqaha).
Yang terakhir disebut itu memiliki tugas menjaga catatan asli dari nama mahasiswa yang
hadir, berhati-hati dalam mendeteksi mahasiswa yang tidak menuliskan hadits yang
disampaikan.
b. Sufi Palsu
Subki sangat prihatin terhadap apa yang beliau anggap sebagai krisis pendidikan hari
ini. Salah satu sektor sangat beliau perhatikan adalah pemula sufi dari biara-biara. Institusi
ini, seperti halnya institusi pembelajaran yang lain, dibantu oleh yayasan amal berdasarkan
wakaf. Sekitar pertengahan abad ke enam/dua belas, jumlah pemula sufi meningkat pesat,
dan jumlah mereka semakin membengkak karena tidak diimbangi dengan bertambahnya
jumlah yayasan yang didirikan dalam mendukung sufisme. Kelompok sufi yang pertama,
Qadiriya, diberi nama setelah Sufi Hanbali Abdul Qadir Al-Jaelani (561H/1166M) dari
Baghdad diikuti oleh yang lain. Jumlah biara-biara di Baghdad dan tempat lain semakin
bertambah. Perbuatan yang berlebihan dari beberapa pengikutnya disebut kecaman keras dari
ulama, khususnya dari orang yang mempunyai pengetahuan tentang Hambali yaitu Ibnu al-
Jauzi pada abad ke-6/ke-11 dan ShafiI Subki pada abad ke-8/ke-14. Seluruhnya sepertiga
adalah Talbis Iblis (Penipuan Iblis) yang mengabdikan diri pada kelebihan Sufi; dan Subki
menyediakan sebuah bagian panjang kepada mereka di dalam Muid an-niam wa-mubid an-
niqam (menganugerahkan rahmat dan menjauhkan penderitaan). Perlu dicatat bahwa penulis
tidak sedang mengutuk Sufisme seperti itu akan tetapi hanya kepada perbuatan yang
berlebihan dari para pengikutnya.
Subki memulai dengan mengatakan bahwa ada banyak pendapat mengenai sufi
berdasarkan ketidaktahuan tentang sifat sejati mereka. Ini disebabkan banyaknya orang yang
berpura-pura menjadi sufi. Ia mengutif seorang ahli hukum SyafiI yaitu Abu Muhammad al-
Juwaini (438H/1047M), yang menyatakan sebagai sufi tidak diperbolehkan melakukan
kegiatan untuk badan amal karena mereka tidak memiliki system aturan untuk diikuti. Subki
tidak setuju dan mengatakan bahwa sebuah badan amal yang membantu mereka pasti akan
berlaku. Ia kemudian melanjutkan menggambarkan sufi sebagai orang-orang yang
menjauhkan diri dari harta duniawi dan menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah
kepada Allah SWT. Ia mengutip perkataan dari seorang sufi terdahulu yang secara umum
diterima oleh para ulama, yaitu Junaid (290H/903M), Abu Bakar ash-Shibli (334H/946M),
Dhun-Nun al-Misri (245H/859M), Ali bin Bundar (seorang murid dari Junaid), Abu Ali ar-
Rudhbari (323H/935M), dan ayahnya sendiri Taqiyuddin as-Subki, semuanya mengatakan
banyak hal yang sama dalam memuji para sufi: mereka adalah ciptaan Allah terutama yang
dekat denganNya (Allah SWT). Kutipan selanjutnya dari Abul Qasim al-Qushairi dan Junaid
(metode yang kita gunakan berdasarkan pada al-Quran dan Sunnah Rasul), dan mengenai
anekdot tentang kedekatan mereka kepada Allah dan karomah mereka, ia beralih kepada
orang-orang yang berpura-pura menjadi sufi dengan mengatakan secara substansi:137
Sekarang anda tahu bahwa para sufi adalah orang special dalam ciptaan Allah,
anda juga harus tahu bahwa ada orang tertentu yang sama dengan mereka, tetapi
bukan dari mereka dan ini adalah fakta yang menciptakan anggapan buruk tentang
sufi yang sejati. Mungki Allah bermaksud ini untuk menyembunyikan orang-orang
yang lebih suka tanpa nama (anonim). Kebayakan sufi sejati mundur dari
keanggotaan biara, merek menjauhkan diri dari harta benda dunia dari pada
menerima tunjangan untuk mencari dan beribadah kepada Allah. Kami mencoba
meniru mereka dengan menyebut pikiran baik mereka. Kita disini berbicara tentang
orang-orang yang jauh dari harta benda duniawi; mereka menjadi terbuka untuk
diawasi sejauh mereka bergaul. Seperti kata penyair, jika anda biarkan, anda akan
selamat dari orang-orang yang mengklaim itu / tetapi jika anda ambil, anda akan
memiliki anjing mereka.138
Membuat perbedaan antara sufi sejati dan sufi palsu, Subki kemudian meneruskan ke
sufi yang minta-minta dari biara (fuqara al-khawaniq). Disinilah bahwa sufi palsu
bercampur baur dengan orang-orang yang mempunyai panggilan jiwa sejati.
Sufi yang memiliki panggilan jiwa sejati adalah orang yang telah berpaling dari
urusan duniawi kepada Allah. Jika sufi yang miskin masuk ke biara-biara untuk
mengobati rasa lapar dan menggunakan fasilitas biara untuk membantunya dalam
mengejar status sufinya. kemudian ia melakukan hal baik tetapi jika ia melakukanya
hanya untuk mendapatkan keuntungan materi, jika ia tidak segera meninggalkan
harta benda duniawi dan benar-benar melayani Tuhan, maka ia adalah seorang
penipu yang tidak mempunyai hak untuk memperoleh bagian bantuan sufi dan
berbagi dalam hal ini melanggar hukum karena pendiri yayasan mendirikan
yayasannya hanya untuk para sufi saja dan ia bukan salah satu dari mereka.
Subki terus berbicara tentang orang-orang yang sering menggunakan biara-biara sufi
sebagai keuntungan untuk mencari posisi duniawi.
Berpura-pura dengan menggunakan pakaian jelek yang penuh tambalan, mereka
tidak memiliki apa-apa tentang karakter moral sufi. Orang-orang itu adalah sufi
palsu yang ShafiI katakana sebagai orang yang makan banyak, suka tidur, dan
sangat usil. Abul Muzaffar bin as-Samani (489H/1096M) berkata: Tuhan
melindungi kita dari kalajengking dan tikus-tikus dan seorang sufi yang belajar cara
kerumah kami. Dan guru besar kita Abu Haiyan telah berkata kepada mereka:
pemakan, pemalas, pemabuk; tidak jujur bekerja atau melakukan pekerjaan! Guru
besar lain juga berkata: orang seperti itu adalah orang yang membuat keyakinan
didalam Islam tetapi mereka dengan berani menyembunyikan keyakinan yang penuh
kebohongan dan bidah. Ia memakai sepatu jumjum dari derwis dan ekor surbannya
ada didepan dan ia sangat kelihatan seperti penduduk asli Persia. Dan seorang
penyair berkata: Sufi tidak memakai baju kain wol / juga bukan air mata palsumu
ketika mendengar lagu-lagu sufi.
Mereka menggunakan biara-biara sebagai alasan untuk menutupi baju palsu mereka,
menggunakan obat-obatan (hashish) dan mengasyikkan diri dalam memperoleh harta benda
duniawi. Subki meminta kepada Allah dan mengungkapkan keberadaan palsu mereka dan
mengeksposnya kepada semua orang. Ia bersyukur kepada Allah bahwa diantara mereka
masih ada orang yang tinggal di biara semata-mata untuk melepaskan urusan ke-duniawi-an
dan berserah diri kepada Raja-nya. Ia puas dengan apa yang disediakan untuknya, seperti
makanan untuk menghilangkan rasa lapar dan pakaian untuk menutupi badannya.139
Sufi yang miskin itu dianggap sebagai ketulusan mereka dalam keinginan melepaskan
diri dari harta duniawi dan mengabdikan diri untuk melayani Allah. Tidak ada kecurigaan
dari mereka ketika berada diluar biara-biara. Secara diam-diam mereka mengabdikan diri
untuk beribadah kepada Allah dirumah mereka sendiri. Namun, ketika ada yang menjadi
penerima bantuan dari biara alasanya berada dibawah pengawan karena ia sama-sama bisa
menerima bantuan. Tidak hanya itu, ia juga menggunakan posisinya untuk memperoleh
keuntungan lain dari para pengikut diantaranya orang awam yang dipercaya sebagai pemuja
yang tulus. Tetapi banyak sufi yang tulus yang tidak bisa mandiri karena kemiskinan yang
dialami mereka. Maka dari itu mereka disebut sebagai orang miskin (fuqara). Subki ingin
membuat perbedaaan sejelas mngkin. Ada orang-orang diantara mendicant (orang fakir) yang
tulus memasuki biara. Tetapi sulit menahan godaan dengan menerima perlindungan dari
orang-orang yang berkuasa dan berpengaruh yang hanya mencari sufi sebagai dukungan
masa dan para pengikut mereka.
3. Kondisi Finansial
Mahasiswa muslim mungkin lebih banyak yang mempelajari tentang sejarah abad
pertengahan dari berbagai anekdot yang mempunyai hubungan dengan kehidupan, bantuan
finansial, tunjangan wakaf dan sejenisnya.
a. Bantuan Profesor kepada Mahasiswa
Seperti yang sudah disebutkan diatas, selain dari sumber-sumber pendapatan profesor,
mahasiswa juga membayar para guru mereka untuk SPP. Sebaliknya, ada para profesor yang
mengajar bukan untuk uang (upah), hal ini merupakan sebuah pekerjaan yang luar biasa bagi
orang alim dan zuhud. Masih ada yang lebih menarik, banyak profesor yang membantu para
mahasiswa dari uang mereka sendiri selama masa belajar mahasiswa.
Abu Hanifah pernah berkata bahwa untuk membantu muridnya Abu Yusuf, beliau
memberinya secara berkala, seperti kebutuhan yang meningkat, uang seratus dirham,
mengizinkannya melanjutkan belajarnya tanpa bekerja mencari nafkah.140
Imam SyafiI dan
ahli hadist Muhammad Ibnu Hibban al-Busti (354H/965M) penah berkata bahwa belaiu
mengizinkan mahasiswa yang berasal dari luar kota (al-ghuraba) belajar ilmu hadist dan
hukum dirumahnya.141
Al Khatib al-Baghdadi, (456H/1064M) pernah memberikan salah satu
muridnya lima dinar emas dan jumlah yang sama diberikan di lain kesempatan, seperti
keperluan untuk membuat makalah (kaghid).142
Dalam surat wasiatnya, beliau memberkan
intruksi kepada seorang ahli hadist Ibnu Khairun untuk mewakafkan bukunya; dan beliau
juga mewakafkan semua tanah miliknya sebagai sedekah dalam membantu mahasiswa yang
belajar ilmu hadist pada umumnya.143 Ahmad Ibnu Abd al-Malik an-Nisaburi (470H/1078M)
mengumpulkan sumbangan untuk mahasiswa yang belajar ilmu hadist, yang meliputi warisan
buku-buku oleh profesor, dan sumbangan untuk membeli kertas dan tinta. Beliau menerima
sedekah dari tokoh-tokoh terkemuka dan pedagang yang dimintai untuk membantu
memenuhi kebutuhan di komunitas sekolastik.
Imam al-Haramain al-Juwaini menghabiskan hartanya untuk mahasiswa hukumnya dan
dilanjutkan membantu mereka dari pendapatannya sebagai professor. Beliau telah
mendonasikan hartanya sejak umur 20 tahun, sejak kematian ayahnya, pada seluruh masjid
yang telah dia lewati, umpamanya ia ketua hukum.145
Kasus yang sama bahwa al-Qasim Ibnu
Asakir (600H/1204M) menggantikan tempat ayahnya mengajar ilmu hadist di masjid
Umaiyad and juga sebagai ketua ilmu hadist di Fakultas ilmu hadist Nuriya di Damaskus,
yang menyumbangkan seluruh gajinya untuk membantu keuangan para mahasiswa yang
datang meminta bantuannya.146
Seorang sarjana al-Quran Hambali, Abu Mansur al-Khaiyat
(499H/1106M) adalah seorang imam Masjid Ibnu Jarada di istana Khalifah di sisi Timur
Baghdad, dimana ia hidup sebagai seorang zuhud, dan mengajar al-Quran untuk orang buta.
Beliau tidak hanya mengajar, tapi demi Allah, beliau keluar mengemis agar dapat membantu
mereka melanjutkan kehidupan. Hampir saat ajalnya tiba, beliau berkata telah mengajarkan
al-Quran selama hidupnya kepada 70 ribu mahasiswa buta.147 Quth ad-Din ash-Shirazi
(710H/1311M) telah menghabiskan seluruh pendapatan tahunannya 30 ribu dinar untuk para
mahasiswanya.148
Ibn ash-Sharishi (795H/1393M), yang memegang dua jabatan professional,
satu di Fakultas Badaraiya dan yang lain di Masjid Umaiyad di Damaskus, sering
memberikan gajinya kepada para mahasiswanya.149
Begitu juga dengan Ibn al-Habbab
(800H/1398M).150
Sampling sebelumnya dari para profesor pilantropis yang membantu para mahasiswa
secara finansial tersebut menunjukkan bahwa bantuan itu terjadi jauh sebelumnya, serta lama
setelah itu, mulai bermunculan perguruan tinggi yang dibantu. Meskipun ada perguruan
tinggi yang mendapatkan pendapatan dari beberapa sumbangan, pada saat itu sudah lebih dari
cukup, baik sumbangan itu diberikan karena kegagalan panen, ataupun karena
penyalahgunaan. Bahkan saat kondisi terbaikpun, perguruan tinggi yang mendapat bantuan
hanya bisa menampung sejumlah mahasiswa saja.
b. Kekuatan dikalangan para Donatur
Khalifah, pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat ada diantara para dermawan tersebut
termasuk para ulama. Uang pada saat itu biasanya ditawarkan kepada para professor untuk
didistribusikan kepada para pengikut mereka. Khalifah Harus ar-Rashid member Muhammad
Ibn Hasan ash-Shaibani uang untuk diberikan kepada para murid-muridnya.151
Tahun 311H/823M, Wazir Ibnu al-Furat menyalurkan dana kepada para mahasiswa sastra
(adab) dan untuk mereka yang sedang mempelajari ilmu hadist. Dia melembagakan bantuan
dana ini secara tahunan, menyisihkan sejumlah uang yang bisa digunakan untuk keperluan
membeli kertas. Hal tersebut tidak pernah ada orang yang melakukan batuan tahunan
sebelumnya. Dia juga biasanya menyiapkan didapurnya (dapur) dan di dalam tempat
dagingnya, diisi dengan daging manis, buah dan berbagai minuman, serta lilin dan kertas,
semua ini ditawarkan kepada para pengunjung yang pertama kali datang sebagai sambutan
awal. Ia juga mengatakan bahwa selama masa jabatannya sebagai Wazir, harga lilin, es
(untuk minuman) dan kertas akan naik, dan ketika dia diberhentikan dari jabatannya, mereka
menurunkan harganya kembali.152
Maslamah bin Abdul Malik dalam keinginannya yang terakhir agar menyisihkan uang
untuk para mahasiswa yang belajar sastra.153
Waqidi mengatakan bahwa dia menginginkan
sepertiga dari tanah miliknya untuk tujuan ini, dan ia berkomentar: ini ada panggilan yang
jathuh ke dalam hati, diabaikan dan dijauhi oleh mantan praktisinya.154
Di tahun 378H/988M, Khalifah Fatimiyah al-Aziz bi llah atas saran wazirnya yaqub b.
Killis (380H/990M) dia mendirikan sebuah rumah bagi para mahasiswa hukum di masjid
Azhar, dan membuka tunjungan bagi mereka dari kas umum.155
Para profesor sering dilaporkan menolak uang yang ditawarkan pada mereka serta juga
menolak untuk mendistribusikan kepada para mahasiswa dan murid-murid mereka. Mereka
menolak dari rasa asketisme (kezuhudan) dan keinginan untuk menjauhi uang yang dapat
membahayakan mereka dimata para pengikut dan pengagum mereka karena khawatir
dianggap sebagai alat pemerintah atau orang tidak bermoral karena dipengaruhi oleh
kekayaan. Sufi Junaid saat merayakan ulang tahunnya menawarkan 500 dinar emas agar
diberikan kepada para murid-muridnya, dan dia menolaknya.156
Abu Hamid al-Isfaraini (406H/1016M)157 seorang professor sukses hukum madzhab
Syafii dikatakan telah memberikan kuliah dalam kelas mahasiswa hukum yang berjumlah
700 orang, jumlah yang sangat luar biasa untuk matakuliah hukum. Ia begitu dihormati
diantara para pejabat yang berada di pemerintahan karena beliau dianggap sebagai orang
yang sangat penting oleh wazir Fakhr ad-Daula Abu Ghalib. Banyak para utusan yang datang
kepadanya dari berbagai bidang dengan membawa uang dalam jumlah besar agar berikan
kepada para pengikutnya sebagai sedekah. Dia memberikan bantuan 160 dinar sesuai yang
dibutuh oleh para muridnya setiap bulan. Biasanya dia setiap tahun memberikan 14 ribu dinar
kepada para peziarah yang pergi ke Mekkah. Sangat mengherankan bahwa dia mempunyai
begitu banyak mahasiswa hukum yang menghadiri matakuliahnya. Semua murid-muridnya
sangat dekat dengan beliau, semua murid-muridnya belajar dibawah petunjuknya di Masjid
Abdullah b. al-Mubarak, dia dinamai sebagai pendiri ahli hukum tradisionalis dan pedagang
kaya yang meninggal pada tahun 181H/797M, dia juga termasuk murid yang paling hebat
dalam bidang hukum dari ulama Syiria yaitu Imam Sufyan ath-Thauri dan Malik bin Anas.158
Ibnu Khidir (852H/1448M), selama muncul perguruan tingga yang mendapat bantuan, dia
telah menerima bantuan dalam jumlah besar untuk diberikan kepada para mahasiswanya dan
yang membutuhkan pada umunya.159
c. Gotong Royong
Tanukhi (384H/994M) melaporkan adanya kasus mahasiswa ahli hukum yang
mengumpulkan dana untuk membantu sesaae mahasiswa. Karena dengan kemampuannya
yang besar, mahasiswa yang membutuhkan menarik perhatian mereka dan mereka ikut
bergabung agar dapat membantunya dengan memenuhi uang yang ia butuhkan untuk
melanjutkan belajarnya yaitu 100 dirham setiap bulan. Jumlah tersebut sudah disediakan
untuk beberapa tahun sampai ia menyelesaikan belajarnya dan kembali kerumahnya.160
Abu Ishaq ar-RifaI (411H/1020M) seorang pemuda lain yang sedang membutuhkan
bantuan datang ke Wasit untuk melanjutkan belajar al-Quran. Anggota studi-lingkaran
membernya penghidupan.161
Beberapa tahun kemudian ia kembali lagi ke Wasit untuk
menyelesaikan professor yang telah ia tinggalkan.162
d. Kekayaan Orang Tua
Ini merupakan gambaran mahasiswa yang datang dari sumber-sumber lain terutama dari
kemiskinan dan perjuangan. Mereka bertahan hidup dengan mengandalkan bantuan dari
perguruan tinggi. Tidak seperti madrasah yang saat ini sedang tumbuh, dan masjid-masjid
tidak memiliki tunjungan atau bantuan apa-apa bagi mahasiswa hanya diperuntukan bagi staf
dan pembangunan masjid saja. Dikalangan mahasiswa yang sedang mengalami kesulitan
dalam keuangan, ada juga mahasiswa kaya yang tinggal di apartemen mewah. Memiliki
orang tua yang kaya, mereka bisa meminjam uang dengan sangat mudah kepada para dosen
atau profesor mereka dan kepada para pedagang local ketika kiriman mereka dari rumah
lambat. Mereka dapat dengan mudah menyewa rumah untuk ditinggali dengan pelayan gadis-
gadis untuk melayani mereka.
Dua anekdot berikut telah dikukuhkan dalam Muntazam Ibnu al-Jauzi, kita mungkin
dapat merasakan sekilas saja dari gaya hidup mahasiswa yang kaya antara pergantian abad
ketiga/kesembilan dan abad keempat/kesepuluh.
Anekdot yang pertama adalah menyangkut mahasiswa hukum yang dipanggil oleh dosen
atau profesornya karena sudah lama tidak bertemu. Datang sebelum profesornya datang,
mereka menjelaskan bahwa mereka telah membeli budak perempuan tetapi karena kiriman
dari rumah mereka telat datangnya jadi mereka terpaksa menjualnya kembali dipasar.
Namun, setelah semua itu selesai, ia menyadari sejauh mana ia mempunyai keterkaitan
padanya. Ia begitu merindukannya bahwa ia tidak bisa mengerjakan tugas-tugasnya lebih
lama, atau menyibukkan diri dengan hal yang lain. Professor kemudian menemani
mahasiswanya yang membeli budak perempuan dari pasar dimana mahasiswa menjualnya.
Gadis itu kemudian dikembalikan kepada mahasiswa dan menyuruhnya menahan harganya
sampai kiriman dari rumahnya datang.163
Kasus berikut ini merupakan salah satu dari mahasiswa professor hukum di masjid
Abdullah al- Mubarak yaitu profesor al-Khasfui (414H/1023M). Mahasiswa asal Balkh
sedang mengalami kesulitan keuangan karena lama menunggu kiriman dari rumahnya. Ia
mengadu kepada profesornya Kashfuli. Dia (profesor) menemaninya menemui seorang
pemilik tempat tinggal mereka. Pedagang tersebut diminta untuk memberikan pinjaman
terlebih dahulu sampai kiriman dari rumahnya datang. Dia mengundang mereka makan
malam dan setelah selesai makan dia menyuruh kepada gadis pelayan itu untuk
membawakannya sebuah wadah yang diisi 20 dinar emas dan memberikannya kepada
mahasiswa tersebut. Kashfuli berterima kasih kepada pedagang itu dan mulai berbicara
kepada mahasiswa. Ketika pulang, Dia melihat perubahan diwajah mahasiswa. Dia bertanya
apa yang terjadi. Mahasiswa itu menjawab bahwa dia telah cinta pada gadis pelayan itu.
Professor kemudian menemui pedagang tersebut dan mengatakan bahwa kita punya masalah
yang lain! Pedagang itu diberi tahu kalau mahasiswanya tergila-gila pada gadis pelayan itu.
Kemudia gadis pelayan itu diberikan kepada mahasiswa dan berkata kepada professor,
mungkin gadis itu juga merasakan hal yang sama seperti yang dia rasakan padanya.
Akhirnya mahasiswa tersebut mendapatkan 600 dinar dari ayahnya.164
Pada umumnya semua mahasiswa kurang beruntung baik yang berasal dari luar kota
ataupun penduduk asli kota tersebut dimana mereka semua sedang melanjutkan pendidikan
mereka. Ini semua berasal dari kalangan mahasiswa yang hebat dan ahli hukum sehingga
mereka membuat jejaknya dibidang hukum. Misalnya seperti, Abu Abdullah ad-Damaghani
(478H/1085M) yang pekerjaannya sampai posisi paling tinggi dalam hukum Hanafi dan
mengalami kemiskinan selama masa hidup muridnya. Dia sering belajar dimalam hari
dengan bantuan oleh lampu penjaga.165
Putranya khalifah al-Muqtadir pernah sekali belajar
ditepi sungai Tigris yang berada dikawasan istana; ia memberinya uang untuk membeli
makanan dan membiarkanya datang setiap hari Kamis untuk menjenguknya. Sebenarnya
Damagani akan menggunakan sebagaian uang tersebut untuk membeli buku-buku hukum.
Ketika Dinasi Saljuq mengambil alih kerajaan Dinasti Buwaihid, ia kemudian membuat
kepala Hakim dan mendirikan Hakim dari kepala Hakim.166
Ada beberapa pertanyaan apakah mencapai wawasan yang tinggi merupakan prestasi
yang sulit bagi mahasiswa kaya atau miskin. Dua sisi yang begitu kontroversi ini
diilustrasikan dalam prilaku yang berbeda oleh dua orang Andalusia yaitu Ibnu Hazm dan
Abul Walid al-Baji (474H/1081M), keduanya merupakan teman seperjuangan didalam
berdiskusi dan berdebat.Untuk membenarkan kekalahannya pada Ibnu Hazm, al-Baji
mengaku bahwa selama belajarnya ia sangat kekurangan: Anda pasti akan memaafkan saya;
karena sebagian besar saya belajar dibawah lampu para penjaga. Ibnu Hazm membalas, Dan
Anda pasti akan memaafkan saya juga; karena saya belajar diatas mimbar emas dan juga
perak, artinya kemewahan menjadi jarak yang begitu berbeda bagi mereka dalam
mempelajari ilmu.
Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat lebih mendukung pendapatnya Ibnu Hazm dari
pada al-Baji. Ketika ada sekolah-sekolah yang menyediakan bantuan bagi para mahasiswa,
para ulama sangat menyayangkan hal ini karena mereka yakin ini akan membuat kerusakan
besar pada aturan yang ada dan semangat belajar para mahasiswa. Sekolah-sekolah membuka
pintu beasiswa bagi mereka yang temotivasi oleh uang beasiswa dari pada kehausan mereka
pada ilmu pengetahuan.167
Hal tersebut telah disebut oleh Abu Shamma dalam salah satu
karyanya yang tidak dipublikasikan yaitu al-Kitab al-Marqum. Ia berbicara tentang orang
yang puas dengan penampilan luar mahasiswa hukum dan yang berteriak diantara orang-
orang yang berselisih, dan yang mengatakan kenapa masalah terjadi pada kita sendiri ketika
bantuan dari sekolah-sekolah itu masuk ke saku kita.168
e. Perguruan Tinggi yang dibantu
Jumlah mahasiswa yang berada di Masjid Shirazi, menurut catatan autobiografinya Fariqi
jumlahnya berubah-ubah antara 10 dan 20 mahasiswa.169
Tetapi ada sekolah-sekolah yang
memberi bantuan Mutawalli dengan tujuan menambah atau mengurangi jumlah mahasiswa
berdasarkan turun naiknya pendapatan dan kebijakannya sendiri. Seperti kasus yang terjadi di
Perguruan Tinggi Shamiya Intra-Muros pada abad ketujuh sampai abad ke tigabelas.170
Dikarenakan jumlahnya yang tidak tetap atau selalu berubah-ubah.
Di Perguruan Tinggi Shamiya Intra-Muros ada sekitar 100 mahasiswa. Ada sebuah
pendapat yang dapat dipercaya menagatakan bahwa pendirinya menginginkan jumlah yang
sama dengan jumlah mahasiswa yang ada di Perguruan Tinggi Shamiya Extra-Muros.171
Di
Perguruan Tinggi Ashrafiya juga memiliki jumlah mahasiswa yang lebih besar. Menurut dana
bantuan yang diberikan kepada mahasiswa setiap tahunnya, itu hampir 245 mahasiswa, baik
mahasiswa yang sudah bekerja dan yang sedang belajar (hadir).
Mengenai Perguruan Tinggi yang pendaftarannya tidak dibatasi oleh ketentuan apapun
dalam yayasan, sebuah fatwa sudah dikeluarkan untuk menjawab pertanyaan tersebut: jika di
Perguruan Tinggi seperti itu Hakim dan Mutawaali tetap mengakui jumlah mahasiswa
tersebut dengan menetapkan tunjangan pendapatan yang sama juga, kemudin apakah bisa
mahasiswa yang lain juga diberikan tunjangan? Menurut Ibnu ar-RifaI (710H/1311M) untuk
hal semacam itu diperbolehkan walaupun tidak sah secara hukum (ilegal). Taqiyuddin as-
Subki setuju dengan pendapat tersebut bahwa memberikan akta yayasan harus ditetapkan
terlebih dahulu jumlah tunjangan tersebut. Akan tetapi jika, misalnya, pendaftaran 10
mahasiswa hukum yang tunjangannya tidak ditetapkan, juga tidak ada ditetapkan didalam
pendapatan. Kasus seperti ini terjadi di mayoritas Perguruan Tinggi yang pendaftarannya
tidak dibatasi oleh peraturan. Kemudian tidak ada yang mencegah mahasiswa lain yang
mengaku sebagai penduduk setempat.172
Dalam hal ini tentu jumlah beasiswa yang ada untuk
mahasiswa harus dikurangi.
Tetapi walaupun pendaftaran dibatasi oleh ketentuan yang ada, beasiswa harus tetap
dikurangi setiap tahun namun selalu gagal. Misalnya, pada tahun (829H/1426M), menurut
Hakim Ibnu Shuhba bahwa pendaftaran di Perguruan Tinggi Shamiya Extra-Muros
mengalami penurunan. Mahasiswa tidak hadir di kelas karena menurunnya jumlah beasiswa
yang dihasilkan dari gagalnya korps tahun sebelumnya. Mayoritas Perguruan Tinggi tidak
ada beasiswa yang dibayarkan dalam satu kali.173
Maka dari itu Perguruan Tinggi hanya
memerhatikan ketika mereka mendapat hasil yang baik saja. Tetapi ketika gagal Perguruan
Tinggi akan mengalami kegagalan yang sesuai.
Mahasiswa diberi tunjangan dalam jumlah yang berbeda-beda sesuai dengan jumlah uang
yang ada untuk pembayaran dan sistem peringkat berikut berdasarkan kerajinan mahasiswa di
tiga kelas yang ada yaitu kelas awal, menengah dan terakhir. Sistem yang diperbolehkan
untuk kelas yang ada ditentukan berdasarkan jumlah yang dibayarkan. Conthonya, Subki
dalam salah satu fatwanya membahas cara pembayaran yang dapat dilakukan. Dia
menyarankan system berikut untuk Perguruan Tinggi SyafiI Shamiya Intra-Muros: untuk
mahasiswa kelas akhir mendapatkan 30 dirham, untuk kelas menengah mendapatkan 20
dirham dan untuk kelas awal mendapatkan 10 dirham.174
Sejak adanya perbedaan dalam
kinerja mahasiswa di dalam masing-masing kelas, dia menyarankan bahwa tunjangan bagi
mahasiswa kelas akhir dapat berubah-ubah antara 20-30 dirham; kelas menengah yaitu dari
15-20 dirham dan kelas awal 10-15 dirham. Jumlah tersebut bisa turun hingga 10 dan naik
menjadi 30 dirham.175
Mutawalli juga menentukan bayaran untuk kelas paling tinggi yaitu
dari 60 menjadi 40 dirham, kelas menengah dari 40 menjadi 20 dan kleas paing bawah dari
20 menjadi 5 dirham.176
Ada kondisi tertentu dimana tunjangan mahasiswa dapat dibatalkan. pada legalitas
pembayaran mahasiswa dalam kondisi tertentu, ada beberapa pertanyaan yang muncul diawal
dalam sejarah Perguruan Tinggi dan berlangsung selama berabad-abad. Sebuah fatwa yang
dikeluarkan oleh Ibnu Salah tentang hal tersebut. Di sebuah Perguruan Tinggi ditemukan
adanya keuntungan bagi mahasiswa hukum. Pertanyaan yang muncul apakah mahasiswa-
mahasiswa berikut berhak mendapatkan tunjangan dari sumbangan: (1) mahasiswa yang tidak
masuk matakuliah professor hukum; (2) mahasiswa yang masuk tetapi tidak memperhatikan;
(3) mahasiswa yang belajar sendiri (tanpa masuk kelas atau tidak mendapatkan dari professor
atau asisten profesor).
Ibnu as-Salah menjawab tiga kasus itu sebagai berikut: (1) mahasiswa yang bekerja di
Perguruan Tinggi tanpa ikut matakuliah tidak berhak mendapatkan uang saku atau tunjangan
karena biasanya mahasiswa hukum harus ikut matakuliah hukum. Sebaliknya ketentuan ini
tetap berlaku walaupun tidak ada ketentuan di dalam peraturan yayasan; (2) mahasiswa yang
mengikuti matakuliah dan tidak memperhatikan dan juga tidak belajar berhak mendapatkan
uang saku atau tunjangan jika ia sedang menjadi mahasiswa kelas akhir (muntahin), dan jika
pendiri tidak memberikan ia harus menunjukkan bahwa matakuliah tersebut sudah dipelajari;
demikian juga dengan mahasiswa yang belajar hukum dari apa yang ia dengarkan ketika
menghadiri matakuliah karena ia mengerti dan selalu menjaganya. Akan tetapi mereka tidak
berhak menerima uang saku atau tunjangan jika ia tidak mampu di salah satu matakuliah
yang ada maka ia tidak dikategorikan sebagai sarjana hukum (fuqaha), dan juga bukan
termasuk sebagai mahasiswa (mutafaqqih), dan untuk siapa saja sebenarnya yayasan ini
didirikan; (3) mahasiswa yang tidak menghadiri matakuliah tetapi memilih belajar sendirian
berhak mendapatkan uang saku atau tunjangan jika ia sebagai mahasiswa akhir atau sebagai
mahasiswa yang belajar dari menghadiri matakuliah tetapi tidak belajar.177
Berikut ini adalah catatan autobiograpi seorang ahli hadist terkenal yaitu Nawawi, beliau
mencontohkan beberapa hal dalam mendidik. Ketika saya berumur 9 tahun, beliau berkata,
ayah saya membawaku dari Nawa ke Damaskus pada tahun 649H/1251M dan saya menjadi
seorang mahasiswa di Perguruan Tinggi Rawahiya. Ini diperoleh berkat bantuan dari seorang
mufti Damaskus yang terkenal yaitu Tajuddin al-Fazari (690H/1291M). Ketika Nawawi
dibawa ke Fazari untuk belajar dibawah bimbingannya, Fazari membawa dan mengirimnya
ke Perguruan Tinggi Rawahiya sehingga Nawawi mendapatkan kamar dan bisa menerima
uang saku atau tunjangan (malum). Saya selama beberapa tahun, kata Nawawi, tidak
pernah tidur (maksudnya beliau selalu belajar setiap malam), dan biaya hidupku hanya dari
tunjangan (jiraya) yang diberikan oleh Kampus.178
Sehingga mahasiswa bisa tinggal di Perguruan Tinggi sebagai salah seorang yang
mendapatkan bantuan seperti kamar dan makan. Sementara belajar kepada professor di
tempat lain. Pertanyaan yang muncul dari para ahli hukum biasanya berkaitan dengan hak
mahasiswa untuk bermukim. Uang saku atau tunjangan dari Perguruan Tinggi tertentu seperti
yang dialami oleh Nawawi bahwa beliau hidup dari tunjangan saja. Ini adalah kehidupan
yang sangat sederhana sekali. Perthatikan juga istilah untuk uang saku atau tunjangan,
malum dan jiraya. Fazari (690H/1291M) adalah seorang guru besar di Perguruan Tinggi
Badariiya, menurut Dhahabi yang mengatakan bahwa beliau adalah satu-satunya guru besar
yang ia miliki.179
Pernyataan ini menunjukkan bahwa sumbangan adalah sesuatu yang
sederhana seperti yang diberikan Perguruan Tinggi Rawahiya. Ia rupanya harus mengirim
Nawawi untuk tinggal di Perguruan Tinggi Rawahiya. Entah karena ia belum menjadi guru
besar di Badariya atau karena alasan yang lain. Karena sejak 25 tahun ketika ia datang tidak
pernah ada tempat untuk mengajar disana bagi Nawawi.
Persaingan antar sesama mahasiswa untuk mendapatkan tempat tinggal pasti sangat ketat,
jika salah satunya dinilai dengan frequensi berdiskusi mengenai fatwa yang ada sekarang dan
selanjutnya. Ini berkaitan dengan hukum beasiswa yang berikan kepada mahasiswa.
III. JABATAN, PEKERJAAN, FUNGSI
Berikut adalah daftar jabatan yang tidak lengkap. Bahwa tentang Mutawalli telah cukup
dibahas didalam bab pertama. Mutawalli juga telah meniadakan kebutuhan untuk keperluan
selanjutnya. Dalam beberapa pekerjaan, seorang naib atau pengganti atau wakil dapat disewa
oleh orang yang sedang memegang jabatan; jabatan-jabatan ini biasanya seperti mudarris,
hakim, dan khatib dan kadang-kadang beberapa imam dan rais. Istilah naib disesuaikan
dengan jabatan yang ada agar bisa ditunjuk sebagai pemegang. Maka dari itu ada beberapa
jabatan seperti naib an-nazar,181 naib at-tadris, naib al-qada, naib al-khitaba,182 naib al-
imama,183
dan naib ar-riyasa.184 Istilah pemegang yaitu seperti naib-mudarris dan naib-
qadi. Sedangkan istilah perwakilan sendiri disebut sebagai niyaba dan diidentifikasi oleh
jabatan itu sendiri, seperti niyabat an-nazar, niyabat at-tadris dan lain sebagainya.
Selain itu masih ada jabatan lain yang dibuat oleh mutawalli untuk mengelola yayasan;
pemegang kantor cabang bekerja bersama dengan mutawalli dibawah komandomanya atau
bekerja sendiri di yayasan yang lebih kecil. Ada jabatan sebagai qaiyim, mushrif, musharif
atau naib mutawalli yang bekerja sebagai tindakan pura-pura untuk mutawalli dalam masa
menunggu pengangkatan mutawalli sementara. Ada juga katib al-fatwas (katabat al-fatwa:
jamak), seorang juru tulis yang bekerja menulis fatwa-fatwa ahli hukum; muhdir, adalah
seorang yang memberitakan acara dalam sebuah litigasi dan wakil seorang agen hukum
bertugas menjadi pengacara pengadilan.185
Perguruan Tinggi hukum apakah itu masjid atau sekolah biasanya hanya memiliki satu
guru besar saja yang mewakili dua, tiga atau empat madhab didalam sebuah institusi atau
lembaga. Keadaan ini merupakan bagian dari perkembangan Perguruan Tinggi bagi kelulusan
mahasiswa hukum agar bisa menjadi guru besar. Hal itu menjadi persaingan yang keras bagi
mahasiswa dalam memperoleh jabatan yang tersedia. Meskipun banyak penyumbang yang
dermawan dalam mendirikan lembaga namun mereka tidak bisa mengakomodir semua pihak.
Maka dari itu tidak semua calon bisa mencapai jabatan diatas karena orang-orang mutawalli
atau mudarris atau lebih jelasnya kedua jabatan itu sering diduduki satu orang atau bisa juga
pendirinya menahan jabatan mutawalli untuk dirinya sendiri.