Terjemahan george makdisi

20
II. MAHASISWA I. KLASIFIKASI Mahasiswa diklasifikasikan dalam beberapa hal: (1) menurut tingkatan beasiswa yang relatif; (2) sebagai orang yang digaji; (3) sebagai yayasan; dan (4) sebagai partisipan di kelas. a. Menurut Tingkatan Beasiswa yang Relatif Ada tiga tingkatan beasiswa yang relatif: (1) mubtadi‟ (j. Mubtadi‟un), pemula; (2) mutawassit (j. mutawassitun), menengah; dan (3) mentahin (j. muntahun), akhir. 115 Ketiga tingkatan umum tersebut dirancang sebagai “kelas tertinggi” yang dikiaskan dalam Subkis, ayah, dan anak. Sang ayah ingin anaknya belajar hukum dengan Al-Mizzi yang, mungkin jauh berbeda dengan ayahnya, ingin menempatkan sang anak di kelas tertinggi (at- tabaqa al-„ulya). Sang ayah, yang keberatan, menginginkan anaknya agar ditempatkan di kelas dasar (mubtadi‟un). Dhahabi memprotesnya agar Subki muda ditempatkan di kelas yang lebih tinggi (dari dasar). Sang ayah kemudian menempatkannya di kelas menengah (mutawassitun). 116 b. Sebagai Orang yang Digaji Dalam tiga tingkatan umum ini, tingkatan lainnya dapat ditentukan menurut jumlah beasiswa mahasiswa. Perbaikan tingkatan selanjutnya akan dibahas dan ditetapkan secara hukum oleh Taqi ad-Din as-Subki yang berdasarkan pada hal berikut: 117 Mahasiswa hukum diranking berdasarkan tiga kelas, yang dalam hal ini, fakultas Shamiya dan fakultas lainnya. Jika ranking tersebut merupakan ketentuan dari pendiri, dalam hal ini adalah di Fakultas Shamiya Extra-Muros, maka ketentuan itu harus dipatuhi; jika tidak sesuai ketentuan, dalam hal ini adalah di Fakultas Shamiya Extra- Muros, maka pilihan yang paling tepat adalah tidak diperbolehkan untuk membatasi semua mahasiswa di tiga kelas ini saja; seperti yang disabdakan Nabi bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk memperlakukan seseorang sesuai dengan keadaannya. Karena itu, ketika ada mahasiswa hukum yang masuk dalam kelas dua puluh [dirham] dan yang lain masuk dalam kelas tiga puluh [dirham] serta yang ketiga ada diantara keduanya, yaitu di atas yang pertama dan di bawah yang kedua, yang menjadikan mereka ke dalam dua tingkatan sehingga ditempatkan di tingkatan yang tidak sesuai, hal itu melanggar sabda Nabi. Mereka harus ditempatkan di antara keduanya, yang merupakan tingkatannya. Tingkatan mahasiswa hukum dimulai dari porsi yang sedikit

description

bab student

Transcript of Terjemahan george makdisi

  • II. MAHASISWA

    I. KLASIFIKASI

    Mahasiswa diklasifikasikan dalam beberapa hal: (1) menurut tingkatan beasiswa yang relatif;

    (2) sebagai orang yang digaji; (3) sebagai yayasan; dan (4) sebagai partisipan di kelas.

    a. Menurut Tingkatan Beasiswa yang Relatif

    Ada tiga tingkatan beasiswa yang relatif: (1) mubtadi (j. Mubtadiun), pemula; (2)

    mutawassit (j. mutawassitun), menengah; dan (3) mentahin (j. muntahun), akhir.115

    Ketiga tingkatan umum tersebut dirancang sebagai kelas tertinggi yang dikiaskan dalam

    Subkis, ayah, dan anak. Sang ayah ingin anaknya belajar hukum dengan Al-Mizzi yang,

    mungkin jauh berbeda dengan ayahnya, ingin menempatkan sang anak di kelas tertinggi (at-

    tabaqa al-ulya). Sang ayah, yang keberatan, menginginkan anaknya agar ditempatkan di

    kelas dasar (mubtadiun). Dhahabi memprotesnya agar Subki muda ditempatkan di kelas

    yang lebih tinggi (dari dasar). Sang ayah kemudian menempatkannya di kelas menengah

    (mutawassitun).116

    b. Sebagai Orang yang Digaji

    Dalam tiga tingkatan umum ini, tingkatan lainnya dapat ditentukan menurut jumlah beasiswa

    mahasiswa. Perbaikan tingkatan selanjutnya akan dibahas dan ditetapkan secara hukum oleh

    Taqi ad-Din as-Subki yang berdasarkan pada hal berikut:117

    Mahasiswa hukum diranking berdasarkan tiga kelas, yang dalam hal ini, fakultas

    Shamiya dan fakultas lainnya. Jika ranking tersebut merupakan ketentuan dari pendiri,

    dalam hal ini adalah di Fakultas Shamiya Extra-Muros, maka ketentuan itu harus

    dipatuhi; jika tidak sesuai ketentuan, dalam hal ini adalah di Fakultas Shamiya Extra-

    Muros, maka pilihan yang paling tepat adalah tidak diperbolehkan untuk membatasi

    semua mahasiswa di tiga kelas ini saja; seperti yang disabdakan Nabi bahwa kita

    diperintahkan oleh Allah untuk memperlakukan seseorang sesuai dengan keadaannya.

    Karena itu, ketika ada mahasiswa hukum yang masuk dalam kelas dua puluh [dirham]

    dan yang lain masuk dalam kelas tiga puluh [dirham] serta yang ketiga ada diantara

    keduanya, yaitu di atas yang pertama dan di bawah yang kedua, yang menjadikan

    mereka ke dalam dua tingkatan sehingga ditempatkan di tingkatan yang tidak sesuai,

    hal itu melanggar sabda Nabi. Mereka harus ditempatkan di antara keduanya, yang

    merupakan tingkatannya. Tingkatan mahasiswa hukum dimulai dari porsi yang sedikit

  • ke banyak; dan itu tergantung pada mutawalli yang memutuskan sesuai dengan

    tingkatan aslinya.118

    c. Sebagai Yayasan

    Sebagai yayasan, mahasiswa dibagai menjadi 2 ranking berbeda: (1) mutafaqqih (j.

    Mutafaqqiha); dan (2) faqih (j.fuqaha).

    Mutafaqqih adalah mahasiswa hukum strata satu. Ketentuan ini ditujukan untuk

    semua kelas yang disebutkan di atas, tiga tingkatan beasiswa yang telatif, serta mahasiswa

    yang berada di antara ketegori tersebut dan dikenali dengan jumlah beasiswa yang

    dibayarkan. Istilah mutafaqqih adalah bentuk aktif dari kata tafaqqaha, dari akar kata fiqh

    yang artinya untuk belajar ilmu hukum, untuk menerapkan dirinya ke pemerolehan hukum

    (fiqh). Kata faqih berlaku untuk sarjana serta konsultan hukum yang pandai. Selanjutnya,

    setiap faqih adalah pengacara dan konsultan hukum, orang yang mengerti hukum dan

    mengeluarkan pendapat hukum. Lebih singkatnya, kata mutafaqqih dan faqihi berlaku untuk

    dua kelompok mahasiswa tertentu: (1) istilah mutafaqqih ditujukan mahasiswa hukum hingga

    dan termasuk dalam kelas terakhir, al-muntahun; (2) istilah faqih ditujukan untuk mahasiswa

    hukum di atas tingkat akhir dan hingga mendapatkan lisensi untuk mengajar hokum dan

    mengeluarkan keputusan hukum.

    Akan tetapi, umumnya istilah-istilah tersebut digunakan secara bergantian,

    penerapannya yang menimbulkan masalah terkait penafsiran akta wakaf. Keputusan hukum

    dari Taqi ad-Din as-Subki terhadap masalah seperti ini mengklarifikasi perbedaan di antara

    kedua istilah tersebut. Beliau mengatakan:

    Istilah mutafaqqih bisa digunakan untuk pemula [mubtadi], dalam hal ini yang akan

    ditunjuk adalah ketua dan digaji bersama faqih. Istilah tersebut juga digunakan untuk

    menyebut setiap orang yang terlibat dalam bidang hukum [kull man yataatal-fiqh];

    sesuai dengan pernyataan Imam Abu Hamid al-Isfaraini Ketika kita telah

    menyelesaikan studi hukum, kita akan mati [lamma tafaqqahna mitna]

    sebagaimana fiqih adalah lautan tanpa batas. Bukanlah seorang konsultan hukum, hari

    ini atau di masa lampau, jika tidak pernah mendapatkan pertanyaan yang bisa

    membuat rambutnya beruban, dan maka dari itu dia disebut sebagai mahasiswa yang

    masih belajar hukum [yatafaqqah]. Karena itu, istilah mutafaqqih dengan faqih tidak

    dalam teks tertentu dengan kesamaan makna tetapi untuk satu istilah saja.119

  • Subki membuat perbedaan lebih lanju antara dua golongan. Sebuah ketentuan dalam

    peraturan Perguruan Tinggi Shamiya Intra-Muros membatasi jumlah fuqaha dan

    mutafaqqiha itu 20 orang saja yang bekerja di Perguruan Tinggi. Diantara mereka adalah

    repetitor (muid) dari Perguruan Tinggi dan imam, tetapi tidak temasuk professor hukum

    (mudarris), muadzin dan qaiyim.120 menurut terminology peraturan repetitor (muid) dan

    imam adalah para faqih sedangkan professor (mudarris) bukan. Ditempat lain Repetitor

    adalah salah satu fuqaha yang dengan jelas dinyatakan oleh pediri. Ia bukan salah satu

    mutafaqqiha karena ia adalah golongan yang lebih tinggi (li-annahu arfau ruthbatan).121

    Sehubungan dengan pernyataan mengenai fungsi repetitor, Subki menyatakan bahwa

    mutawalli dari Perguruan Tinggi itu berkewajiban memberikannya pilihan yang sesuai

    dengan manfaatnya. Manfaat yang berdasarkan qualifikasi yang sudah dibahas sebelumnya

    dan faktanya adalah fungsi mengajar mahasiswa (yushghilut-talaba) dan itu menguntungkan

    mereka (mutawalli).122

    Perbedaan pada dua istilah ini telah ada sejak dulu. Ibn Aqil, dalam Wadih-nya,

    menyatakan: .. dan ini merupakan kecaman kecil bagi banyak fuqaha ( faqih) yang lengah

    dan yang tidak mempedulikan dirinya dengan ilmu ini apalagi mutafaqqiha123 yang telah

    membuat perbedaan dengan sangat jelas.

    Pertanyaan yang menuntut pendapat hukum dari Ibnu as-Salah (543H/1148M) telah

    ditetapkan perbedaan diantara kedua golongan tersebut. Beliau menanyakan tentang Fakultas

    Hukum yang didirikan untuk kepentingan fuqaha dan mutafaqqiha, dan sumbangan yang

    ditetapkan untuk fuqaha dan mutafaqqiha-nya.124

    Beberapa istilah tertentu digunakan sehubungan dengan kelas mahasiswa terakhir,

    yang disebut al-muntahun, yang telah menyelesaikan studinya dan bagian dari at-tabaqa al-

    ulya, yang merupakan kelas tertinggi. Terkait dengan istilah pertama, al-muntahun, terdapat

    dua kata kerja, satu dalam Bentuk IV, anha, dan Bentuk VII lainnya, intaha, di mana

    keduanya diambil dari akar kata yang sama, nhy. Kata anha digunakan dalam konteks

    intransitif dan transitif biasa; sedangkan kata intaha digunakan dalam konteks intransitif.

    Dalam tulisannya tentang Imam Imad ad-Din al-Hisbani (778H/1376M), Nuaimi

    mengatakan bahwa beliau datang ke Damaskus pada tahun 738H/1338M dan masuk sebagai

    faqih di Fakultas Shamiya Extra-Muros. Profesor beliau, Sham ad-Din bin an-Naqib

    (745H/1345M), merekomendasikan beliau untuk mengakhiri studi (anhah: secara tekstual,

    mengeluarkan beliau); Hisbani kemudian menjadi asisten tetap (lazama) Fakhr ad-Din al-

  • Misri hingga kemudian mengesahkan beliah untuk mengeluarkan fatwa (hatta adhana lahu bi

    I-ifta); beliau kemudian mengajar hukum (darrasa), mengeluarkan keputusan hukum (afta),

    dan mengabdi sebagai asisten (afada), semua yang dilakukan tersebut kemudian yang

    menjadikan beliau sebagai konsultan hukum. Beliaun kemudian menggantikan dua profesor

    hukum. Kemudian beliaulah yang menyerang Taj ad-Din as-Subki dan merampas gelar

    keprofesoran hukum as-Subki di Fakultas Aminiya. Beliau kemudian menjadi profesor di

    Fakultas Iqbaliya dan Jarukhiya.

    Jamal ad_din az-Zuhri (801H/1399M) dan sang kakak mengakhiri studi mereka

    (anha) di Fakultas Syamiya pada tahun 785H/1383M. Kemudian pada tahun 791H/1389M,

    ayah beliau, seorang guru besar konsultan hukum, mengesahkan keduanya, bersama dengan

    kelompok mahasiswa konsultan hukum (fuqaha), untuk mengeluarkan fatwa; yang berbunyi,

    enam tahun ikut campur antara pemutusan studi hukum dan pengesahan untuk mengeluarkan

    putusan hukum. Ayah beliau kemudian mengundurkan diri dari keprofesoran di Fakultas

    Shamiya demi kedua anaknya, yang masing-masing ditunjuk sebagai bagian dari

    keprofesoran.126

    Terkait status ketika mahasiswa telah menyelesaikan kelas akhir studi dan

    memperoleh pengakuan untuk masuk ke kelas ifta diperjelas oleh Shams ad-Din al-Kufti

    (818H/1415M). Terkait dengan fase pendidikan, beliau berpendapat:

    Saya bersama Shams ad-Din al-Jurjawi, Shams ad-Din as-Sanadiqi, dan Baqa ad-Din

    bin Imam al-Mashhad sering bertemu di Fakultas Aminiya untuk mengerjakan

    penelitian kami. Ketika itu Sanadiqi menulis tentang taliqa dalam satu volume pada

    Tanbih [dari Abu Ishaq ash-Shiraji]. Kemudian beliau ingin masuk ke Fakultas

    Shamiya Extra-Muros di kelas ifta. Selanjutnya beliau menemui Hakim Shihab ad-

    Din az-Zuhri dan bermusyawarah tentang keinginan tersebut. Beliau (Hakim)

    menjawab, Tidak, hingga kamu tulisanmu selesai. Dengan membawa volume yang

    telah beliau kumpulkan, Sanadiqi berkata, bawa ini dan tanyai saya pada tiap bagian

    dari ini karena saya tidak menulis sesuatu disitu yang tidak bisa saya bacakan

    padamu. Profesor melakukan yang beliau minta, dan Saniqi menjawab semua

    pertanyaan yang diajukan. Kemudian profesor memberikan izin untuk masuk ke kelas

    ifta. Saniqi berkata: Teman-teman kelasku memahami isi dari volume tersebut

    seperti diriku yang dimaksud adalah al-Jurjawi, Ibn Imam al-Mashhad, dan Ibn al-

    Kufti. Kemudian profesor menyatakan bahwa mereka Saniqi dan temannya telah

    menyelesaikan studi hukum [anha li l-jami].127

  • Ketika studi mahasiswa dirasa cukup, maka dinyatakan lulus dari fase pendidikan

    hukum. Pada awal abad pertengahan, fase ini disebut suhba, mahasiswanya menjadi sahib,

    mahasiswa, dari profesor hokum; kemudian fase ini merujuk pada kelas ifta, tabaqat al-ifta.

    Maka kelas akhir segera melanjutkan kelas ifta dari pendidikan hukum, masa di mana

    mahasiswa dilatih untuk melakukan penelitian dan debat terkait dengan pembuatan putusan

    hokum dan pembelaan hokum. Mahasiswa konsultan hukum, pada tingkat ini, mencurahkan

    waktunya untuk magang dengan pakar hukum, tergantung dengan siapa dia belajar dan

    berproses hingga tahap putusan hukum. Saat tahap pendidikan ini selesai di tabaqat al-ifta

    kelas magang untu mutiship, ia diiziinkan oleh pakar hukum untuk mengutarakan pendapat

    mereka (ijaza, atau idhn, bil ifta).

    d. Sebagai Partisipan di Kelas

    Dua istilah membedakan satu mahasiswa dengan mahasiswa lainnya sebagai partisipan di

    kelas. Mahasiswa yang bekerja disebut dengan istilah al-mushtaghil, dan mahasiswa

    editor disebut dengan al-mustami. Mahasiswa yang bekerja, sebagai yang digaji,

    ditempatkan di atas auditor. Sesuai dengan peraturan Fakultas Hadits Ashrafiya, ia digaji

    delapan dirham, sedangkan auditor digaji empat dirham.128

    e. Istilah Lain untuk Mahasiswa

    Istilah lain yang menandakan seorang mahasiswa tidak menunjukkan perbedaan menurut

    tingkatan: talib (pencari ilmu), j.talaba, tullab; dan tilmidh, j.talamidh, talamidha. Kedua

    istilah tersebut digunakan untuk menyebut mahasiswa secara umum. Istilah tilmidh

    selanjutnya dikonotasikan dengan pengertian murid. Mahasiswa khusus hadits berkelana

    mencari hadits dari jaman dulu yang hidup sebagai satu-satunya perawi hadits yang sah;

    whence penggunaan istilah talib, pencari, pengejar. Kata kerja talaba secara khusus

    digunakan sehubungan dengan ilm dan hadits, untuk mencari, untuk mengejar, pengetahuan

    agama, hadits.

    2. BEBERAPA ASPEK KEHIDUPAN MAHASISWA

    a. Mahasiswa Pendiam

    Muid an-niam Subki membantu untuk membentuk citra mahasiswa Muslim yang jelas di

    Abad Pertengahan. Ketika berbicara tentang kewajiban mahasiswa tingkat atas (al-muntahi),

    mengacu pada kelas yang mengarahkan ke kelas ifta, beliau mengatakan bahwa mahasiswa

  • harus berpartisipasi dalam perdebatan yang lebih aktif dibandingkan peringkat di bawahnya.

    Jika ia harus tetap diam, dan mengumpulkan beasiswa dari yayasan sebagai mahasiswa

    tingkat atas karena ia merasa lebih mengerti daripada mahasiswa yang hadir di perdebatan,

    kemudian ia tidak akan memuji Tuhan yang seharusnya ia agungkan sebagai ucapan terima

    kasih atas anugerah yang diberikan kepadanya.129 Selain itu, mahasiswa harus melakukan

    sesuatu sesuai dengan tingkatannya, tidak hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk

    teman mahasiswanya. Maka wajib bagi dia untuk lebih aktif dalam perdebatan, untuk

    kebaikan dirinya serta bagi mahasiswa yang mungkin memperoleh manfaat atas

    keikutsertaannya. Jika sebaliknya, maka dia tidak berhak menerima biaya yang diperoleh dari

    dana sumbangan.

    Di salah satu bagian bukunya, Subki sepakat dengan mahasiswa tingkat atas setelah

    sepakat dengan mufid, dan sebelum itu, dengan muid, dua pos yang ditempati oleh sarjana di

    periode-suhba dari studi mereka. Mahasiswa tingkat akhir adalah mahasiswa yang selangkah

    di bawahnya adalah mufid, dan kemudian, di bawah lagi ada muid.130 dua pos ini dapat

    dibandingkan dengan mahasiswa pengajaran modern atau asisten, yang diadakan oleh

    para sarjana yang bekerja untuk tingkatan doktor.

    Dengan mempertimbangkan mahasiswa hukum secara umum di fakultas (fuqaha al-

    madrasa), Subki mengatakan bahwa mereka memiliki kewajiban untuk memahami sebanyak

    yang mereka bisa, rajin hadir, kecuali mereka memiliki alasan yang sah untuk tidak hadir

    menurut hukum agama (illa bi-udhrin sahri).131 Subki secara tegas meminta agar mahasiswa

    mengerjakan tugasnya dengan baik agar sumbangan beasiswa yang diberikan tidak sia-sia.

    Kenyataannya beberapa mahasiswa datang ke banyak fakultas untuk mendapatkan biaya

    sebanyak mungkin, seperti praktik yang dikejar profesornya yang menggabungkan beberapa

    jabatan profesor.

    Subki mengkritik mahasiwa yang pendiam dan molor yang mengobrol dengan

    tetangganya saat membaca Quran. Jika demikian, mahasiswa tidak hanya gagal dalam

    membaca Quran, tetapi juga dapat menimbulkan fitnah. Membaca Quran adalah salah satu

    kewajibannya seperti yang ditetapkan di ketentuan lembaga pemberi beasiswa. Kegagalan

    melakukan kewajibannya, dia menambah daftar kesalahan dengan menimbulkan fitnah. Juga

    ada mahasiswa yang tidak mendengarkan penyair yang membaca sholawat untuk Nabi (al-

    madih). Ia malah sering membuka buku yang ia baca dan tidak memperhatikan penjelasan

    profesornya; sebaliknya ia duduk sedikit jauh sehingga tidak dapat mendengarkan professor.

    Mahasiswa seperti itu tidak berhak mendapatkan beasiswa, maupun manfaat dari membuka

  • buku ketika dosennya sedang menjelaskan. Jika semua pendiri menghendakinya, ia

    dinyatakan tidak berhak mengikuti kelas.133

    Keterangan yang dibuat oleh Subki terkait fungsi bagian absensi (katib al-ghaiba)

    menjelaskan tentang praktik mahasiswa yang terlibat dalam ketidakhadiran. Bagian absensi

    berkewajiban mencari kebenaran. Dia tidak boleh melaporkan seseorang yang tidak masuk

    kelas sebelum mencari alasan tidak masuk. Jika mahasiswa yang tidak masuk memiliki

    alasan yang jelas, bagian absensi harus membuat keterangan; tetapi jika dia melaporkan

    ketidak hadiran mahasiswa tanpa mencari alasannya, maka dia telah salah karena mengambil

    hak mahasiswa.134

    Selain itu, jika dia membiarkan mahasiswa yang tidak masuk dan tidak

    melaporkannya, karena diberi imbalan/disogok, maka dia telah menempatkan dirinya di pintu

    neraka.135

    Tugas bagian absensi adalah suatu kewajiban karena merupakan ketentuan yang

    telah dibuat yayasan terkait ketidakhadiran. Mahasiswa yang molor akan dicabut sebagian

    atau keseluruhan beasiswanya, tergantung lama ketidakhadirannya.

    Juga ada pos bagian absensi untuk mahasiswa hadits (katib ghaibat as-samiin),

    bagian tersebut juga diperuntukkan bagi mahasiswa hukum (katib al-ghaiba ala i-fuqaha).

    Yang terakhir disebut itu memiliki tugas menjaga catatan asli dari nama mahasiswa yang

    hadir, berhati-hati dalam mendeteksi mahasiswa yang tidak menuliskan hadits yang

    disampaikan.

    b. Sufi Palsu

    Subki sangat prihatin terhadap apa yang beliau anggap sebagai krisis pendidikan hari

    ini. Salah satu sektor sangat beliau perhatikan adalah pemula sufi dari biara-biara. Institusi

    ini, seperti halnya institusi pembelajaran yang lain, dibantu oleh yayasan amal berdasarkan

    wakaf. Sekitar pertengahan abad ke enam/dua belas, jumlah pemula sufi meningkat pesat,

    dan jumlah mereka semakin membengkak karena tidak diimbangi dengan bertambahnya

    jumlah yayasan yang didirikan dalam mendukung sufisme. Kelompok sufi yang pertama,

    Qadiriya, diberi nama setelah Sufi Hanbali Abdul Qadir Al-Jaelani (561H/1166M) dari

    Baghdad diikuti oleh yang lain. Jumlah biara-biara di Baghdad dan tempat lain semakin

    bertambah. Perbuatan yang berlebihan dari beberapa pengikutnya disebut kecaman keras dari

    ulama, khususnya dari orang yang mempunyai pengetahuan tentang Hambali yaitu Ibnu al-

    Jauzi pada abad ke-6/ke-11 dan ShafiI Subki pada abad ke-8/ke-14. Seluruhnya sepertiga

    adalah Talbis Iblis (Penipuan Iblis) yang mengabdikan diri pada kelebihan Sufi; dan Subki

    menyediakan sebuah bagian panjang kepada mereka di dalam Muid an-niam wa-mubid an-

  • niqam (menganugerahkan rahmat dan menjauhkan penderitaan). Perlu dicatat bahwa penulis

    tidak sedang mengutuk Sufisme seperti itu akan tetapi hanya kepada perbuatan yang

    berlebihan dari para pengikutnya.

    Subki memulai dengan mengatakan bahwa ada banyak pendapat mengenai sufi

    berdasarkan ketidaktahuan tentang sifat sejati mereka. Ini disebabkan banyaknya orang yang

    berpura-pura menjadi sufi. Ia mengutif seorang ahli hukum SyafiI yaitu Abu Muhammad al-

    Juwaini (438H/1047M), yang menyatakan sebagai sufi tidak diperbolehkan melakukan

    kegiatan untuk badan amal karena mereka tidak memiliki system aturan untuk diikuti. Subki

    tidak setuju dan mengatakan bahwa sebuah badan amal yang membantu mereka pasti akan

    berlaku. Ia kemudian melanjutkan menggambarkan sufi sebagai orang-orang yang

    menjauhkan diri dari harta duniawi dan menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah

    kepada Allah SWT. Ia mengutip perkataan dari seorang sufi terdahulu yang secara umum

    diterima oleh para ulama, yaitu Junaid (290H/903M), Abu Bakar ash-Shibli (334H/946M),

    Dhun-Nun al-Misri (245H/859M), Ali bin Bundar (seorang murid dari Junaid), Abu Ali ar-

    Rudhbari (323H/935M), dan ayahnya sendiri Taqiyuddin as-Subki, semuanya mengatakan

    banyak hal yang sama dalam memuji para sufi: mereka adalah ciptaan Allah terutama yang

    dekat denganNya (Allah SWT). Kutipan selanjutnya dari Abul Qasim al-Qushairi dan Junaid

    (metode yang kita gunakan berdasarkan pada al-Quran dan Sunnah Rasul), dan mengenai

    anekdot tentang kedekatan mereka kepada Allah dan karomah mereka, ia beralih kepada

    orang-orang yang berpura-pura menjadi sufi dengan mengatakan secara substansi:137

    Sekarang anda tahu bahwa para sufi adalah orang special dalam ciptaan Allah,

    anda juga harus tahu bahwa ada orang tertentu yang sama dengan mereka, tetapi

    bukan dari mereka dan ini adalah fakta yang menciptakan anggapan buruk tentang

    sufi yang sejati. Mungki Allah bermaksud ini untuk menyembunyikan orang-orang

    yang lebih suka tanpa nama (anonim). Kebayakan sufi sejati mundur dari

    keanggotaan biara, merek menjauhkan diri dari harta benda dunia dari pada

    menerima tunjangan untuk mencari dan beribadah kepada Allah. Kami mencoba

    meniru mereka dengan menyebut pikiran baik mereka. Kita disini berbicara tentang

    orang-orang yang jauh dari harta benda duniawi; mereka menjadi terbuka untuk

    diawasi sejauh mereka bergaul. Seperti kata penyair, jika anda biarkan, anda akan

    selamat dari orang-orang yang mengklaim itu / tetapi jika anda ambil, anda akan

    memiliki anjing mereka.138

  • Membuat perbedaan antara sufi sejati dan sufi palsu, Subki kemudian meneruskan ke

    sufi yang minta-minta dari biara (fuqara al-khawaniq). Disinilah bahwa sufi palsu

    bercampur baur dengan orang-orang yang mempunyai panggilan jiwa sejati.

    Sufi yang memiliki panggilan jiwa sejati adalah orang yang telah berpaling dari

    urusan duniawi kepada Allah. Jika sufi yang miskin masuk ke biara-biara untuk

    mengobati rasa lapar dan menggunakan fasilitas biara untuk membantunya dalam

    mengejar status sufinya. kemudian ia melakukan hal baik tetapi jika ia melakukanya

    hanya untuk mendapatkan keuntungan materi, jika ia tidak segera meninggalkan

    harta benda duniawi dan benar-benar melayani Tuhan, maka ia adalah seorang

    penipu yang tidak mempunyai hak untuk memperoleh bagian bantuan sufi dan

    berbagi dalam hal ini melanggar hukum karena pendiri yayasan mendirikan

    yayasannya hanya untuk para sufi saja dan ia bukan salah satu dari mereka.

    Subki terus berbicara tentang orang-orang yang sering menggunakan biara-biara sufi

    sebagai keuntungan untuk mencari posisi duniawi.

    Berpura-pura dengan menggunakan pakaian jelek yang penuh tambalan, mereka

    tidak memiliki apa-apa tentang karakter moral sufi. Orang-orang itu adalah sufi

    palsu yang ShafiI katakana sebagai orang yang makan banyak, suka tidur, dan

    sangat usil. Abul Muzaffar bin as-Samani (489H/1096M) berkata: Tuhan

    melindungi kita dari kalajengking dan tikus-tikus dan seorang sufi yang belajar cara

    kerumah kami. Dan guru besar kita Abu Haiyan telah berkata kepada mereka:

    pemakan, pemalas, pemabuk; tidak jujur bekerja atau melakukan pekerjaan! Guru

    besar lain juga berkata: orang seperti itu adalah orang yang membuat keyakinan

    didalam Islam tetapi mereka dengan berani menyembunyikan keyakinan yang penuh

    kebohongan dan bidah. Ia memakai sepatu jumjum dari derwis dan ekor surbannya

    ada didepan dan ia sangat kelihatan seperti penduduk asli Persia. Dan seorang

    penyair berkata: Sufi tidak memakai baju kain wol / juga bukan air mata palsumu

    ketika mendengar lagu-lagu sufi.

    Mereka menggunakan biara-biara sebagai alasan untuk menutupi baju palsu mereka,

    menggunakan obat-obatan (hashish) dan mengasyikkan diri dalam memperoleh harta benda

    duniawi. Subki meminta kepada Allah dan mengungkapkan keberadaan palsu mereka dan

    mengeksposnya kepada semua orang. Ia bersyukur kepada Allah bahwa diantara mereka

    masih ada orang yang tinggal di biara semata-mata untuk melepaskan urusan ke-duniawi-an

  • dan berserah diri kepada Raja-nya. Ia puas dengan apa yang disediakan untuknya, seperti

    makanan untuk menghilangkan rasa lapar dan pakaian untuk menutupi badannya.139

    Sufi yang miskin itu dianggap sebagai ketulusan mereka dalam keinginan melepaskan

    diri dari harta duniawi dan mengabdikan diri untuk melayani Allah. Tidak ada kecurigaan

    dari mereka ketika berada diluar biara-biara. Secara diam-diam mereka mengabdikan diri

    untuk beribadah kepada Allah dirumah mereka sendiri. Namun, ketika ada yang menjadi

    penerima bantuan dari biara alasanya berada dibawah pengawan karena ia sama-sama bisa

    menerima bantuan. Tidak hanya itu, ia juga menggunakan posisinya untuk memperoleh

    keuntungan lain dari para pengikut diantaranya orang awam yang dipercaya sebagai pemuja

    yang tulus. Tetapi banyak sufi yang tulus yang tidak bisa mandiri karena kemiskinan yang

    dialami mereka. Maka dari itu mereka disebut sebagai orang miskin (fuqara). Subki ingin

    membuat perbedaaan sejelas mngkin. Ada orang-orang diantara mendicant (orang fakir) yang

    tulus memasuki biara. Tetapi sulit menahan godaan dengan menerima perlindungan dari

    orang-orang yang berkuasa dan berpengaruh yang hanya mencari sufi sebagai dukungan

    masa dan para pengikut mereka.

    3. Kondisi Finansial

    Mahasiswa muslim mungkin lebih banyak yang mempelajari tentang sejarah abad

    pertengahan dari berbagai anekdot yang mempunyai hubungan dengan kehidupan, bantuan

    finansial, tunjangan wakaf dan sejenisnya.

    a. Bantuan Profesor kepada Mahasiswa

    Seperti yang sudah disebutkan diatas, selain dari sumber-sumber pendapatan profesor,

    mahasiswa juga membayar para guru mereka untuk SPP. Sebaliknya, ada para profesor yang

    mengajar bukan untuk uang (upah), hal ini merupakan sebuah pekerjaan yang luar biasa bagi

    orang alim dan zuhud. Masih ada yang lebih menarik, banyak profesor yang membantu para

    mahasiswa dari uang mereka sendiri selama masa belajar mahasiswa.

    Abu Hanifah pernah berkata bahwa untuk membantu muridnya Abu Yusuf, beliau

    memberinya secara berkala, seperti kebutuhan yang meningkat, uang seratus dirham,

    mengizinkannya melanjutkan belajarnya tanpa bekerja mencari nafkah.140

    Imam SyafiI dan

    ahli hadist Muhammad Ibnu Hibban al-Busti (354H/965M) penah berkata bahwa belaiu

    mengizinkan mahasiswa yang berasal dari luar kota (al-ghuraba) belajar ilmu hadist dan

    hukum dirumahnya.141

    Al Khatib al-Baghdadi, (456H/1064M) pernah memberikan salah satu

  • muridnya lima dinar emas dan jumlah yang sama diberikan di lain kesempatan, seperti

    keperluan untuk membuat makalah (kaghid).142

    Dalam surat wasiatnya, beliau memberkan

    intruksi kepada seorang ahli hadist Ibnu Khairun untuk mewakafkan bukunya; dan beliau

    juga mewakafkan semua tanah miliknya sebagai sedekah dalam membantu mahasiswa yang

    belajar ilmu hadist pada umumnya.143 Ahmad Ibnu Abd al-Malik an-Nisaburi (470H/1078M)

    mengumpulkan sumbangan untuk mahasiswa yang belajar ilmu hadist, yang meliputi warisan

    buku-buku oleh profesor, dan sumbangan untuk membeli kertas dan tinta. Beliau menerima

    sedekah dari tokoh-tokoh terkemuka dan pedagang yang dimintai untuk membantu

    memenuhi kebutuhan di komunitas sekolastik.

    Imam al-Haramain al-Juwaini menghabiskan hartanya untuk mahasiswa hukumnya dan

    dilanjutkan membantu mereka dari pendapatannya sebagai professor. Beliau telah

    mendonasikan hartanya sejak umur 20 tahun, sejak kematian ayahnya, pada seluruh masjid

    yang telah dia lewati, umpamanya ia ketua hukum.145

    Kasus yang sama bahwa al-Qasim Ibnu

    Asakir (600H/1204M) menggantikan tempat ayahnya mengajar ilmu hadist di masjid

    Umaiyad and juga sebagai ketua ilmu hadist di Fakultas ilmu hadist Nuriya di Damaskus,

    yang menyumbangkan seluruh gajinya untuk membantu keuangan para mahasiswa yang

    datang meminta bantuannya.146

    Seorang sarjana al-Quran Hambali, Abu Mansur al-Khaiyat

    (499H/1106M) adalah seorang imam Masjid Ibnu Jarada di istana Khalifah di sisi Timur

    Baghdad, dimana ia hidup sebagai seorang zuhud, dan mengajar al-Quran untuk orang buta.

    Beliau tidak hanya mengajar, tapi demi Allah, beliau keluar mengemis agar dapat membantu

    mereka melanjutkan kehidupan. Hampir saat ajalnya tiba, beliau berkata telah mengajarkan

    al-Quran selama hidupnya kepada 70 ribu mahasiswa buta.147 Quth ad-Din ash-Shirazi

    (710H/1311M) telah menghabiskan seluruh pendapatan tahunannya 30 ribu dinar untuk para

    mahasiswanya.148

    Ibn ash-Sharishi (795H/1393M), yang memegang dua jabatan professional,

    satu di Fakultas Badaraiya dan yang lain di Masjid Umaiyad di Damaskus, sering

    memberikan gajinya kepada para mahasiswanya.149

    Begitu juga dengan Ibn al-Habbab

    (800H/1398M).150

    Sampling sebelumnya dari para profesor pilantropis yang membantu para mahasiswa

    secara finansial tersebut menunjukkan bahwa bantuan itu terjadi jauh sebelumnya, serta lama

    setelah itu, mulai bermunculan perguruan tinggi yang dibantu. Meskipun ada perguruan

    tinggi yang mendapatkan pendapatan dari beberapa sumbangan, pada saat itu sudah lebih dari

    cukup, baik sumbangan itu diberikan karena kegagalan panen, ataupun karena

  • penyalahgunaan. Bahkan saat kondisi terbaikpun, perguruan tinggi yang mendapat bantuan

    hanya bisa menampung sejumlah mahasiswa saja.

    b. Kekuatan dikalangan para Donatur

    Khalifah, pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat ada diantara para dermawan tersebut

    termasuk para ulama. Uang pada saat itu biasanya ditawarkan kepada para professor untuk

    didistribusikan kepada para pengikut mereka. Khalifah Harus ar-Rashid member Muhammad

    Ibn Hasan ash-Shaibani uang untuk diberikan kepada para murid-muridnya.151

    Tahun 311H/823M, Wazir Ibnu al-Furat menyalurkan dana kepada para mahasiswa sastra

    (adab) dan untuk mereka yang sedang mempelajari ilmu hadist. Dia melembagakan bantuan

    dana ini secara tahunan, menyisihkan sejumlah uang yang bisa digunakan untuk keperluan

    membeli kertas. Hal tersebut tidak pernah ada orang yang melakukan batuan tahunan

    sebelumnya. Dia juga biasanya menyiapkan didapurnya (dapur) dan di dalam tempat

    dagingnya, diisi dengan daging manis, buah dan berbagai minuman, serta lilin dan kertas,

    semua ini ditawarkan kepada para pengunjung yang pertama kali datang sebagai sambutan

    awal. Ia juga mengatakan bahwa selama masa jabatannya sebagai Wazir, harga lilin, es

    (untuk minuman) dan kertas akan naik, dan ketika dia diberhentikan dari jabatannya, mereka

    menurunkan harganya kembali.152

    Maslamah bin Abdul Malik dalam keinginannya yang terakhir agar menyisihkan uang

    untuk para mahasiswa yang belajar sastra.153

    Waqidi mengatakan bahwa dia menginginkan

    sepertiga dari tanah miliknya untuk tujuan ini, dan ia berkomentar: ini ada panggilan yang

    jathuh ke dalam hati, diabaikan dan dijauhi oleh mantan praktisinya.154

    Di tahun 378H/988M, Khalifah Fatimiyah al-Aziz bi llah atas saran wazirnya yaqub b.

    Killis (380H/990M) dia mendirikan sebuah rumah bagi para mahasiswa hukum di masjid

    Azhar, dan membuka tunjungan bagi mereka dari kas umum.155

    Para profesor sering dilaporkan menolak uang yang ditawarkan pada mereka serta juga

    menolak untuk mendistribusikan kepada para mahasiswa dan murid-murid mereka. Mereka

    menolak dari rasa asketisme (kezuhudan) dan keinginan untuk menjauhi uang yang dapat

    membahayakan mereka dimata para pengikut dan pengagum mereka karena khawatir

    dianggap sebagai alat pemerintah atau orang tidak bermoral karena dipengaruhi oleh

    kekayaan. Sufi Junaid saat merayakan ulang tahunnya menawarkan 500 dinar emas agar

    diberikan kepada para murid-muridnya, dan dia menolaknya.156

  • Abu Hamid al-Isfaraini (406H/1016M)157 seorang professor sukses hukum madzhab

    Syafii dikatakan telah memberikan kuliah dalam kelas mahasiswa hukum yang berjumlah

    700 orang, jumlah yang sangat luar biasa untuk matakuliah hukum. Ia begitu dihormati

    diantara para pejabat yang berada di pemerintahan karena beliau dianggap sebagai orang

    yang sangat penting oleh wazir Fakhr ad-Daula Abu Ghalib. Banyak para utusan yang datang

    kepadanya dari berbagai bidang dengan membawa uang dalam jumlah besar agar berikan

    kepada para pengikutnya sebagai sedekah. Dia memberikan bantuan 160 dinar sesuai yang

    dibutuh oleh para muridnya setiap bulan. Biasanya dia setiap tahun memberikan 14 ribu dinar

    kepada para peziarah yang pergi ke Mekkah. Sangat mengherankan bahwa dia mempunyai

    begitu banyak mahasiswa hukum yang menghadiri matakuliahnya. Semua murid-muridnya

    sangat dekat dengan beliau, semua murid-muridnya belajar dibawah petunjuknya di Masjid

    Abdullah b. al-Mubarak, dia dinamai sebagai pendiri ahli hukum tradisionalis dan pedagang

    kaya yang meninggal pada tahun 181H/797M, dia juga termasuk murid yang paling hebat

    dalam bidang hukum dari ulama Syiria yaitu Imam Sufyan ath-Thauri dan Malik bin Anas.158

    Ibnu Khidir (852H/1448M), selama muncul perguruan tingga yang mendapat bantuan, dia

    telah menerima bantuan dalam jumlah besar untuk diberikan kepada para mahasiswanya dan

    yang membutuhkan pada umunya.159

    c. Gotong Royong

    Tanukhi (384H/994M) melaporkan adanya kasus mahasiswa ahli hukum yang

    mengumpulkan dana untuk membantu sesaae mahasiswa. Karena dengan kemampuannya

    yang besar, mahasiswa yang membutuhkan menarik perhatian mereka dan mereka ikut

    bergabung agar dapat membantunya dengan memenuhi uang yang ia butuhkan untuk

    melanjutkan belajarnya yaitu 100 dirham setiap bulan. Jumlah tersebut sudah disediakan

    untuk beberapa tahun sampai ia menyelesaikan belajarnya dan kembali kerumahnya.160

    Abu Ishaq ar-RifaI (411H/1020M) seorang pemuda lain yang sedang membutuhkan

    bantuan datang ke Wasit untuk melanjutkan belajar al-Quran. Anggota studi-lingkaran

    membernya penghidupan.161

    Beberapa tahun kemudian ia kembali lagi ke Wasit untuk

    menyelesaikan professor yang telah ia tinggalkan.162

    d. Kekayaan Orang Tua

    Ini merupakan gambaran mahasiswa yang datang dari sumber-sumber lain terutama dari

    kemiskinan dan perjuangan. Mereka bertahan hidup dengan mengandalkan bantuan dari

  • perguruan tinggi. Tidak seperti madrasah yang saat ini sedang tumbuh, dan masjid-masjid

    tidak memiliki tunjungan atau bantuan apa-apa bagi mahasiswa hanya diperuntukan bagi staf

    dan pembangunan masjid saja. Dikalangan mahasiswa yang sedang mengalami kesulitan

    dalam keuangan, ada juga mahasiswa kaya yang tinggal di apartemen mewah. Memiliki

    orang tua yang kaya, mereka bisa meminjam uang dengan sangat mudah kepada para dosen

    atau profesor mereka dan kepada para pedagang local ketika kiriman mereka dari rumah

    lambat. Mereka dapat dengan mudah menyewa rumah untuk ditinggali dengan pelayan gadis-

    gadis untuk melayani mereka.

    Dua anekdot berikut telah dikukuhkan dalam Muntazam Ibnu al-Jauzi, kita mungkin

    dapat merasakan sekilas saja dari gaya hidup mahasiswa yang kaya antara pergantian abad

    ketiga/kesembilan dan abad keempat/kesepuluh.

    Anekdot yang pertama adalah menyangkut mahasiswa hukum yang dipanggil oleh dosen

    atau profesornya karena sudah lama tidak bertemu. Datang sebelum profesornya datang,

    mereka menjelaskan bahwa mereka telah membeli budak perempuan tetapi karena kiriman

    dari rumah mereka telat datangnya jadi mereka terpaksa menjualnya kembali dipasar.

    Namun, setelah semua itu selesai, ia menyadari sejauh mana ia mempunyai keterkaitan

    padanya. Ia begitu merindukannya bahwa ia tidak bisa mengerjakan tugas-tugasnya lebih

    lama, atau menyibukkan diri dengan hal yang lain. Professor kemudian menemani

    mahasiswanya yang membeli budak perempuan dari pasar dimana mahasiswa menjualnya.

    Gadis itu kemudian dikembalikan kepada mahasiswa dan menyuruhnya menahan harganya

    sampai kiriman dari rumahnya datang.163

    Kasus berikut ini merupakan salah satu dari mahasiswa professor hukum di masjid

    Abdullah al- Mubarak yaitu profesor al-Khasfui (414H/1023M). Mahasiswa asal Balkh

    sedang mengalami kesulitan keuangan karena lama menunggu kiriman dari rumahnya. Ia

    mengadu kepada profesornya Kashfuli. Dia (profesor) menemaninya menemui seorang

    pemilik tempat tinggal mereka. Pedagang tersebut diminta untuk memberikan pinjaman

    terlebih dahulu sampai kiriman dari rumahnya datang. Dia mengundang mereka makan

    malam dan setelah selesai makan dia menyuruh kepada gadis pelayan itu untuk

    membawakannya sebuah wadah yang diisi 20 dinar emas dan memberikannya kepada

    mahasiswa tersebut. Kashfuli berterima kasih kepada pedagang itu dan mulai berbicara

    kepada mahasiswa. Ketika pulang, Dia melihat perubahan diwajah mahasiswa. Dia bertanya

    apa yang terjadi. Mahasiswa itu menjawab bahwa dia telah cinta pada gadis pelayan itu.

  • Professor kemudian menemui pedagang tersebut dan mengatakan bahwa kita punya masalah

    yang lain! Pedagang itu diberi tahu kalau mahasiswanya tergila-gila pada gadis pelayan itu.

    Kemudia gadis pelayan itu diberikan kepada mahasiswa dan berkata kepada professor,

    mungkin gadis itu juga merasakan hal yang sama seperti yang dia rasakan padanya.

    Akhirnya mahasiswa tersebut mendapatkan 600 dinar dari ayahnya.164

    Pada umumnya semua mahasiswa kurang beruntung baik yang berasal dari luar kota

    ataupun penduduk asli kota tersebut dimana mereka semua sedang melanjutkan pendidikan

    mereka. Ini semua berasal dari kalangan mahasiswa yang hebat dan ahli hukum sehingga

    mereka membuat jejaknya dibidang hukum. Misalnya seperti, Abu Abdullah ad-Damaghani

    (478H/1085M) yang pekerjaannya sampai posisi paling tinggi dalam hukum Hanafi dan

    mengalami kemiskinan selama masa hidup muridnya. Dia sering belajar dimalam hari

    dengan bantuan oleh lampu penjaga.165

    Putranya khalifah al-Muqtadir pernah sekali belajar

    ditepi sungai Tigris yang berada dikawasan istana; ia memberinya uang untuk membeli

    makanan dan membiarkanya datang setiap hari Kamis untuk menjenguknya. Sebenarnya

    Damagani akan menggunakan sebagaian uang tersebut untuk membeli buku-buku hukum.

    Ketika Dinasi Saljuq mengambil alih kerajaan Dinasti Buwaihid, ia kemudian membuat

    kepala Hakim dan mendirikan Hakim dari kepala Hakim.166

    Ada beberapa pertanyaan apakah mencapai wawasan yang tinggi merupakan prestasi

    yang sulit bagi mahasiswa kaya atau miskin. Dua sisi yang begitu kontroversi ini

    diilustrasikan dalam prilaku yang berbeda oleh dua orang Andalusia yaitu Ibnu Hazm dan

    Abul Walid al-Baji (474H/1081M), keduanya merupakan teman seperjuangan didalam

    berdiskusi dan berdebat.Untuk membenarkan kekalahannya pada Ibnu Hazm, al-Baji

    mengaku bahwa selama belajarnya ia sangat kekurangan: Anda pasti akan memaafkan saya;

    karena sebagian besar saya belajar dibawah lampu para penjaga. Ibnu Hazm membalas, Dan

    Anda pasti akan memaafkan saya juga; karena saya belajar diatas mimbar emas dan juga

    perak, artinya kemewahan menjadi jarak yang begitu berbeda bagi mereka dalam

    mempelajari ilmu.

    Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat lebih mendukung pendapatnya Ibnu Hazm dari

    pada al-Baji. Ketika ada sekolah-sekolah yang menyediakan bantuan bagi para mahasiswa,

    para ulama sangat menyayangkan hal ini karena mereka yakin ini akan membuat kerusakan

    besar pada aturan yang ada dan semangat belajar para mahasiswa. Sekolah-sekolah membuka

    pintu beasiswa bagi mereka yang temotivasi oleh uang beasiswa dari pada kehausan mereka

  • pada ilmu pengetahuan.167

    Hal tersebut telah disebut oleh Abu Shamma dalam salah satu

    karyanya yang tidak dipublikasikan yaitu al-Kitab al-Marqum. Ia berbicara tentang orang

    yang puas dengan penampilan luar mahasiswa hukum dan yang berteriak diantara orang-

    orang yang berselisih, dan yang mengatakan kenapa masalah terjadi pada kita sendiri ketika

    bantuan dari sekolah-sekolah itu masuk ke saku kita.168

    e. Perguruan Tinggi yang dibantu

    Jumlah mahasiswa yang berada di Masjid Shirazi, menurut catatan autobiografinya Fariqi

    jumlahnya berubah-ubah antara 10 dan 20 mahasiswa.169

    Tetapi ada sekolah-sekolah yang

    memberi bantuan Mutawalli dengan tujuan menambah atau mengurangi jumlah mahasiswa

    berdasarkan turun naiknya pendapatan dan kebijakannya sendiri. Seperti kasus yang terjadi di

    Perguruan Tinggi Shamiya Intra-Muros pada abad ketujuh sampai abad ke tigabelas.170

    Dikarenakan jumlahnya yang tidak tetap atau selalu berubah-ubah.

    Di Perguruan Tinggi Shamiya Intra-Muros ada sekitar 100 mahasiswa. Ada sebuah

    pendapat yang dapat dipercaya menagatakan bahwa pendirinya menginginkan jumlah yang

    sama dengan jumlah mahasiswa yang ada di Perguruan Tinggi Shamiya Extra-Muros.171

    Di

    Perguruan Tinggi Ashrafiya juga memiliki jumlah mahasiswa yang lebih besar. Menurut dana

    bantuan yang diberikan kepada mahasiswa setiap tahunnya, itu hampir 245 mahasiswa, baik

    mahasiswa yang sudah bekerja dan yang sedang belajar (hadir).

    Mengenai Perguruan Tinggi yang pendaftarannya tidak dibatasi oleh ketentuan apapun

    dalam yayasan, sebuah fatwa sudah dikeluarkan untuk menjawab pertanyaan tersebut: jika di

    Perguruan Tinggi seperti itu Hakim dan Mutawaali tetap mengakui jumlah mahasiswa

    tersebut dengan menetapkan tunjangan pendapatan yang sama juga, kemudin apakah bisa

    mahasiswa yang lain juga diberikan tunjangan? Menurut Ibnu ar-RifaI (710H/1311M) untuk

    hal semacam itu diperbolehkan walaupun tidak sah secara hukum (ilegal). Taqiyuddin as-

    Subki setuju dengan pendapat tersebut bahwa memberikan akta yayasan harus ditetapkan

    terlebih dahulu jumlah tunjangan tersebut. Akan tetapi jika, misalnya, pendaftaran 10

    mahasiswa hukum yang tunjangannya tidak ditetapkan, juga tidak ada ditetapkan didalam

    pendapatan. Kasus seperti ini terjadi di mayoritas Perguruan Tinggi yang pendaftarannya

    tidak dibatasi oleh peraturan. Kemudian tidak ada yang mencegah mahasiswa lain yang

    mengaku sebagai penduduk setempat.172

    Dalam hal ini tentu jumlah beasiswa yang ada untuk

    mahasiswa harus dikurangi.

  • Tetapi walaupun pendaftaran dibatasi oleh ketentuan yang ada, beasiswa harus tetap

    dikurangi setiap tahun namun selalu gagal. Misalnya, pada tahun (829H/1426M), menurut

    Hakim Ibnu Shuhba bahwa pendaftaran di Perguruan Tinggi Shamiya Extra-Muros

    mengalami penurunan. Mahasiswa tidak hadir di kelas karena menurunnya jumlah beasiswa

    yang dihasilkan dari gagalnya korps tahun sebelumnya. Mayoritas Perguruan Tinggi tidak

    ada beasiswa yang dibayarkan dalam satu kali.173

    Maka dari itu Perguruan Tinggi hanya

    memerhatikan ketika mereka mendapat hasil yang baik saja. Tetapi ketika gagal Perguruan

    Tinggi akan mengalami kegagalan yang sesuai.

    Mahasiswa diberi tunjangan dalam jumlah yang berbeda-beda sesuai dengan jumlah uang

    yang ada untuk pembayaran dan sistem peringkat berikut berdasarkan kerajinan mahasiswa di

    tiga kelas yang ada yaitu kelas awal, menengah dan terakhir. Sistem yang diperbolehkan

    untuk kelas yang ada ditentukan berdasarkan jumlah yang dibayarkan. Conthonya, Subki

    dalam salah satu fatwanya membahas cara pembayaran yang dapat dilakukan. Dia

    menyarankan system berikut untuk Perguruan Tinggi SyafiI Shamiya Intra-Muros: untuk

    mahasiswa kelas akhir mendapatkan 30 dirham, untuk kelas menengah mendapatkan 20

    dirham dan untuk kelas awal mendapatkan 10 dirham.174

    Sejak adanya perbedaan dalam

    kinerja mahasiswa di dalam masing-masing kelas, dia menyarankan bahwa tunjangan bagi

    mahasiswa kelas akhir dapat berubah-ubah antara 20-30 dirham; kelas menengah yaitu dari

    15-20 dirham dan kelas awal 10-15 dirham. Jumlah tersebut bisa turun hingga 10 dan naik

    menjadi 30 dirham.175

    Mutawalli juga menentukan bayaran untuk kelas paling tinggi yaitu

    dari 60 menjadi 40 dirham, kelas menengah dari 40 menjadi 20 dan kleas paing bawah dari

    20 menjadi 5 dirham.176

    Ada kondisi tertentu dimana tunjangan mahasiswa dapat dibatalkan. pada legalitas

    pembayaran mahasiswa dalam kondisi tertentu, ada beberapa pertanyaan yang muncul diawal

    dalam sejarah Perguruan Tinggi dan berlangsung selama berabad-abad. Sebuah fatwa yang

    dikeluarkan oleh Ibnu Salah tentang hal tersebut. Di sebuah Perguruan Tinggi ditemukan

    adanya keuntungan bagi mahasiswa hukum. Pertanyaan yang muncul apakah mahasiswa-

    mahasiswa berikut berhak mendapatkan tunjangan dari sumbangan: (1) mahasiswa yang tidak

    masuk matakuliah professor hukum; (2) mahasiswa yang masuk tetapi tidak memperhatikan;

    (3) mahasiswa yang belajar sendiri (tanpa masuk kelas atau tidak mendapatkan dari professor

    atau asisten profesor).

  • Ibnu as-Salah menjawab tiga kasus itu sebagai berikut: (1) mahasiswa yang bekerja di

    Perguruan Tinggi tanpa ikut matakuliah tidak berhak mendapatkan uang saku atau tunjangan

    karena biasanya mahasiswa hukum harus ikut matakuliah hukum. Sebaliknya ketentuan ini

    tetap berlaku walaupun tidak ada ketentuan di dalam peraturan yayasan; (2) mahasiswa yang

    mengikuti matakuliah dan tidak memperhatikan dan juga tidak belajar berhak mendapatkan

    uang saku atau tunjangan jika ia sedang menjadi mahasiswa kelas akhir (muntahin), dan jika

    pendiri tidak memberikan ia harus menunjukkan bahwa matakuliah tersebut sudah dipelajari;

    demikian juga dengan mahasiswa yang belajar hukum dari apa yang ia dengarkan ketika

    menghadiri matakuliah karena ia mengerti dan selalu menjaganya. Akan tetapi mereka tidak

    berhak menerima uang saku atau tunjangan jika ia tidak mampu di salah satu matakuliah

    yang ada maka ia tidak dikategorikan sebagai sarjana hukum (fuqaha), dan juga bukan

    termasuk sebagai mahasiswa (mutafaqqih), dan untuk siapa saja sebenarnya yayasan ini

    didirikan; (3) mahasiswa yang tidak menghadiri matakuliah tetapi memilih belajar sendirian

    berhak mendapatkan uang saku atau tunjangan jika ia sebagai mahasiswa akhir atau sebagai

    mahasiswa yang belajar dari menghadiri matakuliah tetapi tidak belajar.177

    Berikut ini adalah catatan autobiograpi seorang ahli hadist terkenal yaitu Nawawi, beliau

    mencontohkan beberapa hal dalam mendidik. Ketika saya berumur 9 tahun, beliau berkata,

    ayah saya membawaku dari Nawa ke Damaskus pada tahun 649H/1251M dan saya menjadi

    seorang mahasiswa di Perguruan Tinggi Rawahiya. Ini diperoleh berkat bantuan dari seorang

    mufti Damaskus yang terkenal yaitu Tajuddin al-Fazari (690H/1291M). Ketika Nawawi

    dibawa ke Fazari untuk belajar dibawah bimbingannya, Fazari membawa dan mengirimnya

    ke Perguruan Tinggi Rawahiya sehingga Nawawi mendapatkan kamar dan bisa menerima

    uang saku atau tunjangan (malum). Saya selama beberapa tahun, kata Nawawi, tidak

    pernah tidur (maksudnya beliau selalu belajar setiap malam), dan biaya hidupku hanya dari

    tunjangan (jiraya) yang diberikan oleh Kampus.178

    Sehingga mahasiswa bisa tinggal di Perguruan Tinggi sebagai salah seorang yang

    mendapatkan bantuan seperti kamar dan makan. Sementara belajar kepada professor di

    tempat lain. Pertanyaan yang muncul dari para ahli hukum biasanya berkaitan dengan hak

    mahasiswa untuk bermukim. Uang saku atau tunjangan dari Perguruan Tinggi tertentu seperti

    yang dialami oleh Nawawi bahwa beliau hidup dari tunjangan saja. Ini adalah kehidupan

    yang sangat sederhana sekali. Perthatikan juga istilah untuk uang saku atau tunjangan,

    malum dan jiraya. Fazari (690H/1291M) adalah seorang guru besar di Perguruan Tinggi

    Badariiya, menurut Dhahabi yang mengatakan bahwa beliau adalah satu-satunya guru besar

  • yang ia miliki.179

    Pernyataan ini menunjukkan bahwa sumbangan adalah sesuatu yang

    sederhana seperti yang diberikan Perguruan Tinggi Rawahiya. Ia rupanya harus mengirim

    Nawawi untuk tinggal di Perguruan Tinggi Rawahiya. Entah karena ia belum menjadi guru

    besar di Badariya atau karena alasan yang lain. Karena sejak 25 tahun ketika ia datang tidak

    pernah ada tempat untuk mengajar disana bagi Nawawi.

    Persaingan antar sesama mahasiswa untuk mendapatkan tempat tinggal pasti sangat ketat,

    jika salah satunya dinilai dengan frequensi berdiskusi mengenai fatwa yang ada sekarang dan

    selanjutnya. Ini berkaitan dengan hukum beasiswa yang berikan kepada mahasiswa.

    III. JABATAN, PEKERJAAN, FUNGSI

    Berikut adalah daftar jabatan yang tidak lengkap. Bahwa tentang Mutawalli telah cukup

    dibahas didalam bab pertama. Mutawalli juga telah meniadakan kebutuhan untuk keperluan

    selanjutnya. Dalam beberapa pekerjaan, seorang naib atau pengganti atau wakil dapat disewa

    oleh orang yang sedang memegang jabatan; jabatan-jabatan ini biasanya seperti mudarris,

    hakim, dan khatib dan kadang-kadang beberapa imam dan rais. Istilah naib disesuaikan

    dengan jabatan yang ada agar bisa ditunjuk sebagai pemegang. Maka dari itu ada beberapa

    jabatan seperti naib an-nazar,181 naib at-tadris, naib al-qada, naib al-khitaba,182 naib al-

    imama,183

    dan naib ar-riyasa.184 Istilah pemegang yaitu seperti naib-mudarris dan naib-

    qadi. Sedangkan istilah perwakilan sendiri disebut sebagai niyaba dan diidentifikasi oleh

    jabatan itu sendiri, seperti niyabat an-nazar, niyabat at-tadris dan lain sebagainya.

    Selain itu masih ada jabatan lain yang dibuat oleh mutawalli untuk mengelola yayasan;

    pemegang kantor cabang bekerja bersama dengan mutawalli dibawah komandomanya atau

    bekerja sendiri di yayasan yang lebih kecil. Ada jabatan sebagai qaiyim, mushrif, musharif

    atau naib mutawalli yang bekerja sebagai tindakan pura-pura untuk mutawalli dalam masa

    menunggu pengangkatan mutawalli sementara. Ada juga katib al-fatwas (katabat al-fatwa:

    jamak), seorang juru tulis yang bekerja menulis fatwa-fatwa ahli hukum; muhdir, adalah

    seorang yang memberitakan acara dalam sebuah litigasi dan wakil seorang agen hukum

    bertugas menjadi pengacara pengadilan.185

    Perguruan Tinggi hukum apakah itu masjid atau sekolah biasanya hanya memiliki satu

    guru besar saja yang mewakili dua, tiga atau empat madhab didalam sebuah institusi atau

    lembaga. Keadaan ini merupakan bagian dari perkembangan Perguruan Tinggi bagi kelulusan

    mahasiswa hukum agar bisa menjadi guru besar. Hal itu menjadi persaingan yang keras bagi

  • mahasiswa dalam memperoleh jabatan yang tersedia. Meskipun banyak penyumbang yang

    dermawan dalam mendirikan lembaga namun mereka tidak bisa mengakomodir semua pihak.

    Maka dari itu tidak semua calon bisa mencapai jabatan diatas karena orang-orang mutawalli

    atau mudarris atau lebih jelasnya kedua jabatan itu sering diduduki satu orang atau bisa juga

    pendirinya menahan jabatan mutawalli untuk dirinya sendiri.