Post on 24-Mar-2019
ANALISIS PRAKTEK DAN AKIBAT NIKAH SIRRI DI TAJUR BOGOR
DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
Yati Nurhayati Soelistijono
NIM : 10.2.001.09.01.0095
Pembimbing :
Dr. JM. Muslimin, M.A
KONSENTRASI SYARIAH
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur alhamdulillah peneliti haturkan dan panjatkan
kepada ilahi robbi Allah SWT. Karena berkat limpahan rahmat dan kasih
sayang-Nya peneliti dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Analisis Praktek dan Akibat Nikah Sirri di Tajur Bogor Dalam Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW. Beliau merupakan suri tauladan terbaik sepanjang
zaman yang telah membebaskan ummat manusia dari zaman jahiliyah
menuju zaman terang benderang untuk keselamatan dunia dan akhirat.
Selama melaksanakan penelitian dan penyusunan tesis, peneliti
mendapat bantuan serta dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini, peneliti menghaturkan rasa terima kasih kepada
Bapak Dr. J.M. Muslimin, M.A, sebagai dosen pembimbing yang telah
menyediakan banyak waktu, pikiran dan tenaga untuk membantu serta
mengarahkan peneliti dalam penyusunan tesis.
Peneliti juga mengucapkan rasa terima kasih kepada bapak Prof.
Dr. Masykuri Abdillah, M.A, sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A,
sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran pengurus
dan pimpinan Sekolah Pascasarjana. Kepada Prof. Dr. Didin Syaefuddin,
M.A, serta kepada seluruh staff akademik dan Perpustakaan Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta yang memberikan pelayanan kampus. Kepada
mas Arief Mahmudi, mas Adam Hesa, mbak Vemy Nurbaiti, dan mbak
Imawati serta pegawai lainnya.
Selanjutnya, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada suami tercinta, bapak Soelistijono yang telah
memberikan banyak motivasi selama pengerjaan tesis. Kepada anak-
anakku tersayang, Virra Krisnafitriana dan Rike Adhyartie
Krisnawardhani yang tidak henti-hentinya memberikan do’a, semangat,
bantuan, dan dukungan kepada bunda. Semoga karya ini bermanfaat dan
suksess selalu kepada suami dan anak-anaku.
Seluruh responden yang telah memberikan waktunya untuk
diwawancarai, sehingga kebutuhan data selama penelitian dapat
terpenuhi. Pihak-pihak lain yang telah membantu peneliti selama
melaksanakan penelitian dan penyusunan tesis yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
ii
Peneliti menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan
dalam tesis ini. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun dari
semua pihak terutama para guru besar yang memberikan banyak
pengetahuan. Peneliti juga meminta saran dan masukan dari teman-
teman mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
guna perbaikan tesis ini. Peneliti memohon maaf atas segala kekurangan
dalam penyusunan tesis ini. Semoga tesis ini tetap dapat bermanfaat
bagi banyak pihak dan juga bagi perkembangan keilmuan serta dapat
berkontribusi dalam memperkaya penelitian dan pengembangan bidang
khazanah ilmu pengetahuan agama dan umum.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
Peneliti
Yati Nurhayati Soelistijono
NIM : 10200109010095
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Yati Nurhayati Soelistijono
NIM : 10.2.001.09.01.0095
TTL : Bogor, 13 Oktober 1958
Program Studi : Studi Islam
Konsentrasi : Syariah
Menyatakan bahwa Tesis yang berjudul “Analisis Praktek dan
Akibat Nikah Sirri di Tajur Bogor Dalam Perspektif Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan” adalah murni karya saya
sendiri, kecuali beberapa kutipan-kutipan yang telah disebutkan
sumbernya.
Apabila di kemudian hari terbukti ditemukan adanya unsur-
unsur plagiasi dalam tesis ini. Saya siap menerima sanksi pencabutan
gelar akademik yang diberlakukan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Demikianlah surat pernyataan bebas plagiasi ini
saya buat dengan sebenar-benarnya.
Jakarta, 30 Juni 2017
Yati Nurhayati Soelistijono
iv
v
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis yang berjudul “Analisis Praktek dan Akibat Nikah Sirri di
Tajur Bogor Dalam Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan” yang ditulis oleh:
Nama : Yati Nurhayati Soelistijono
NIM : 10.2.001.09.01.0095
TTL : Bogor, 13 Oktober 1958
Program Studi : Studi Islam
Konsentrasi : Syariah
Menerangkan bahwa tesis ini telah melalui proses Work in Progress I, II, Ujian Pendahuluan, dan Ujian Promosi, serta telah
diperiksa dan diperbaiki sebagaimana mestinya. Dengan ini saya
menyetujui untuk dicetak dan diterbitkan menjadi buku.
Jakarta, 30 Juni 2017
Pembimbing
Dr. JM. Muslimin, M.A
vi
vii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI
Tesis yang berjudul “Analisis Praktek dan Akibat Nikah Sirri di
Tajur Bogor Dalam Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan” oleh Yati Nurhayati Soelistijono NIM:
15.10.2.001.09.01.0095 telah dinyatakan lulus pada Ujian Promosi yang
diselenggarakan pada hari Jum’at, tanggal 31 Maret 2017. Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran dan komentar para
penguji, sehingga disetujui untuk dicetak dan diterbitkan dalam bentuk
buku.
Jakarta, 30 Juni 2017
Tim Penguji :
No Nama Tanda Tangan Tanggal
1
1
1
1
Prof. Dr. Masykuri Abdillah,
M.A
(Ketua sidang dan merangkap
Penguji)
2
Prof. Dr. Didin Saepudin, MA
(Penguji I)
3
Prof. Dr. Huzaemah T.
Yanggo, MA.
(Penguji II)
4
Dr. JM Muslimin, M.A
(Pembimbing/merangkap
Penguji)
viii
xix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ................................................................ iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... v
PERSETUJUAN TIM PENGUJI ...................................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... ix
TRANSLITERASI ............................................................................................ xv
DAFTAR ISI .................................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Permasalahan ...................................................................................... 19
1. Identifikasi Masalah ...................................................................... 19
2. Rumusan Masalah ......................................................................... 20
3. Pembatasan Masalah ..................................................................... 20
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 21
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 21
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan .................................................... 22
F. Metode Penelitian ............................................................................... 24
1. Jenis Penelitian .............................................................................. 24
2. Sumber Data .................................................................................. 25
3. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 26
4. Teknik Analisa Data ...................................................................... 27
G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 27
BAB II TINJAUAN NIKAH SIRRI DALAM PERSEPEKTIF
UNDANG-UNDANG
A. Pengertian Perkawinan ....................................................................... 29
1. Menurut Undang-Undang Perkawinan .......................................... 33
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam ................................................. 35
3. Tujuan Melakukan Perkawinan ..................................................... 42
B. Dalil Hukum Perkawinan ................................................................... 50
1. Menurut al-Qur'an ......................................................................... 50
2. Menurut Hadits ............................................................................. 50
3. Menurut Ijma’ (Konsensus Ulama) ............................................... 51
4. Menurut Peraturan Perundang-undangan ...................................... 52
C. Syarat Sahnya Perkawinan ................................................................. 53
1 Menurut Kompilasi Hukum Islam ................................................. 54
2 Menurut Undang-Undang Perkawinan .......................................... 61
3 Hukum Melakukan Perkawinan .................................................... 67
D. Pencatatan Perkawinan ....................................................................... 72
1. Menurut Undang-Undang Perkawinan .......................................... 76
2. Menurut Kompikasi Hukum Islam ................................................ 84
E. Pengertian Nikah Sirri ........................................................................ 85
xx
1. Latar Belakang Terjadinya Pernikahan Sirri ................................. 92
2. Hukum Nikah Sirri di Indonesia ................................................... 99
3. Dampak Pernikahan Sirri .............................................................. 107
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KONDISI
MASYARAKAT KELURAHAN TAJUR
KECAMATAN BOGOR TIMUR
A. Deskripsi Wilayah Bogor Timur ....................................................... 113
1. Kondisi Geografis .......................................................................... 113
2. Struktur Pemerintahan Kelurahan Tajur ........................................ 114
3. Susunan Kepengurusan ................................................................. 115
B. Deskripsi Demografi Kelurahan Tajur ............................................... 116
1. Penduduk ....................................................................................... 116
2. Keagamaan .................................................................................... 117
3. Pendidikan ..................................................................................... 118
C. Sosial dan Ekonomi Masyarakat Tajur .............................................. 120
BAB IV ANALISIS PRAKTEK DAN AKIBAT
PERNIKAHAN SIRRI
A. Tinjauan Analisis Sosiologis .............................................................. 128
B. Tinjauan Analisis Yuridis ................................................................... 141
C. Tinjauan Analisis Filosofis ................................................................. 151
D. Kedudukan Akta Nikah Dalam Perundang-undangan ....................... 153
E. Pendapat Para Pelaku Nikah Sirri ...................................................... 156
1. Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Sirri di Kelurahan Tajur ..... 163
2. Dampak yang tidak Terpikirkan oleh Pelaku Nikah Sirri ............. 169
F. Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Pernikahan Sirri ................... 171
1. Terhadap Suami Isteri ................................................................... 171
2. Terhadap Anak .............................................................................. 173
3. Terhadap Harta Kekayaan ............................................................. 177
BAB V PENUTUP
Kesimpulan ....................................................................................................... 181
Saran ................................................................................................................. 182
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 183
GLOSARIUM ................................................................................................... 195
INDEKS ........................................................................................................... 199
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... 205
DAFTAR TABEL DAN SUSUNAN KEPENGURUSAN
KELURAHAN TAJUR ..................................................................................... 207
LAMPIRAN ...................................................................................................... 209
BIOGRAFI PENULIS ....................................................................................... 215
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial (zoon politicoon) yang tidak
dapat hidup sendiri. Pendapat ini dikemukakan oleh Aristoteles, seorang
filsuf Yunani terkemuka. Kodrat manusia diciptakan Tuhan antara satu
sama lain selalu adalah saling membutuhkan. Sejak dilahirkan, manusia
telah dilengkapi dengan naluri yang senantiasa hidup bersama dengan
orang lain, manusia selalu mencari manusia lain untuk hidup bersama.
Hidup bersama merupakan suatu gejala yang biasa bagi seorang manusia.
Hanya manusia-manusia yang memiliki kelainan sajalah yang mampu
hidup mengasingkan diri dari orang lain.1 Naluri untuk hidup bersama
dengan orang lain mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur.2
Hidup bersama antar manusia untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat
jasmani maupun rohani. Demikian pula di antara wanita dan pria selalu
pula saling membutuhkan.
Sebagai makhluk sosial, manusia diciptakan Allah SWT dalam
dunia ini untuk hidup bersama, berdampingan, dan saling tolong
menolong. Di antara kehidupan bersama itu adalah kehidupan antara dua
insan, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Hal ini karena manusia
pada dasarnya diciptakan Allah SWT saling berpasang-pasangan.3 Hidup
bersama dalam suatu perkawinan.4 Syarat sah perkawinan tersebut harus
1 Lili Rosyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan
Indonesia (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), 1. 2 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press,
1982), 9. 3 Dalam QS al-Zariyat ayat 49 ditegaskan tentang hukum umum
penciptaan, yaitu segala sesuatu dijadikan berpasang-pasangan. Hal ini
menunjukkan suami dan isteri sebagai pasangan harus senantiasa saling
melengkapi dan tolong menolong. Ayat ini menunjukkan bahwa dalam
kehidupan apapun di alam ini, binatang, pepohonan, buah-buahan, tumbuh-
tumbuhan, rerumputan dan lain-lain termasuk manusia, diciptakan berpasang-
pasangan, diciptakan mempunyai partner. Karena itu berpasang-pasangan
merupakan sunnah Allah (fitrah atau hukum alam) yang dari jenis apapun
membutuhkannya. Khairuddin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam, 241. 4 Perkawinan menurut istilah fikih adalah akad yang mengandung
kebolehan untuk bersetubuh dengan lafaz inkaha atau tazwij. Definisi nikah
tidak terdapat perbedaan yang prinsipil di kalangan ulama-ulama fikih, yang ada
hanya perbedaan redaksi saja. Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh 'ala madhahibi al-arba'ah (Beirut: Da<r al-fikr), 2-4. Nikah menurut bahasa mempunyai dua arti,
yaitu arti yang sebenarnya (haqi@qi) dan arti kias (maja@z). Arti yang sebenarnya
2 | P a g e
sesuai menurut ketentuan agama dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia
dan kekal. Perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
realita kehidupan umat manusia sesuai dengan ketentuan al-Qur'an surat
an-Nisa ayat 1 yang menyatakan:5
ها زوجها وب هما رجالا ياأي ها الناس ات قوا ربكم الذي خلقكم من ن فس واحدة وخلق من ث من كثرياا ونساءا وات قوا الله الذي تساءلون به والرحام إن الله كان عليكم رقيباا
"Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang Allah menciptakan kamu dari diri yang satu dan menciptakan darinya pasangannya. Allah SWT memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah dengan namaNya kamu saling meminta dan (pelihara pula) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah Maha Mengawasimu."
Ketentuan al-Qur'an surat an-Nisa ayat 1 ini merupakan
proklamasi Tuhan tentang terjadinya manusia yang diciptakan Allah
SWT dari satu zat (tanah yang disucikan) yaitu Adam. Kemudian dari
zat itu pula Adam setelah menjadi manusia, diciptakan pasangannya
yang diberi nama Siti Hawa. Siti Hawa dinikahkan dengan Adam
sebagai suami isteri melalui lembaga perkawinan, jadi bukan lembaga
promiskwiti (perkawinan primitif yang kacau balau). Dari pasangan
suami isteri Adam dan Siti Hawa itu lahirlah anak-anak, baik laki-laki
maupun perempuan yang banyak sekarang ini (rija>lan kathi>ra<n wanisa>’an) dan masyarakat yang kita kenal sekarang ini.
Hubungan antara laki-laki dan perempuan ini diikat melalui
suatu lembaga resmi yang sah secara agama dan negara. Lembaga
dari nikah ialah dam yang berarti menghimpit, meninfih atau berkumpul.
Sedangkan arti kiasannya ialah “wat}a” yang berarti setubuh atau aqad yang
berarti mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari
perkataan “nikah” lebih banyak dipakai dalam arti kiasan dari pada arti yang
sebenarnya, bahkan “nikah” dalam arti yang sebenarnya jarang sekali dipakai
saat ini. Kamal Muchtar, Azas-azas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1974), 1. Jumhur fuqaha sepakat bahwa nikah itu adalah akad
yang diatur oleh agama, untuk memberikan kepada laki-laki hak milik
penggunaan terhadap faraj (kemaluan) bagian dari alat reproduksi perempuan
dan seluruh tubuhnya untuk kenikmatan sebagai tujuan primer. Abdurrahman
al-Jaziri, al-fiqh 'ala Madha>hibi al-arba'ah, 4. 5 Quraish Shihab, Tafsir al-Mis}bah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 37.
3 | P a g e
tersebut dikuatkan oleh al-Qur'an surat an-Nisa ayat 21 yang berbunyi:
"mi>tha>qan ghali>z}an" ( ). Suatu perjanjian perkawinan yang
membentuk keluarga bahagia, kekal abadi, kuat dan kokoh.6 Perkawinan
sebagai langkah awal untuk membentuk keluarga. Kumpulan keluarga
inilah yang akan membentuk warga masyarakat yang pada akhirnya
menjadi sebuah negara. Dapat dikatakan jika perkawinan itu
dilangsungkan sesuai dengan peraturan agama dan perundang-undangan.
Dapat dipastikan akan terbentuk keluarga-keluarga yang baik yang dapat
menciptakan tatanan negara menjadi baik.7 Seyogyanya, hubungan
suami isteri itu harus langgeng, penuh kebahagiaan lahir batin,
kebahagiaan rohani dan jasmani baik moral, material maupun spiritual
dilandasi dengan ma'ru>f, sa>kinah, mawaddah dan rahmah.8 Tuntutan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 29 ayat (1)
memuat ketentuan tentang negara menjamin adanya kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Sehubungan dengan
ketentuan Pasal 29 ayat (1) tersebut, dituntut adanya ketentuan hukum
yang mengatur pelaksanaan perkawinan bagi orang yang beragama
Islam. Karena perkawinan merupakan suatu lembaga yang sangat
mempengaruhi kedudukan manusia sebagai subjek hukum. Perkawinan
mempunyai kedudukan yang sangat penting secara sosial dan
keagamaan, maupun dari sudut pandangan hukum baik dalam
6 Bantahan keras terhadap teori evolusi Darwin (Darwinisme teori)
yang menyatakan bahwa manusia di dunia ini terjadi secara evolusi dari monyet
(the origine of species). M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), 6.
7 Amiurr Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Prenada Media, 2004), 57.
8Makruf artinya pergaulan suami isteri dengan saling hormat
menghormati, saling menjaga rahasia masing-masing. Menjaga pergaulan yang
harmonis baik antara suami isteri maupun hubungan dengan anak-anak. Sa>kinah
adalah penjabaran lebih lanjut dari ma’ru>f, yaitu agar suasana kehidupan dalam
rumah tangga itu terdapat keadaan yang aman dan tentram, tidak terjadi
perselisihan paham yang prinsipil. Mawaddah dan rahmah yaitu agar kehidupan
rumah tangga itu selalu dan harus dijamin, saling cinta mencintai dikala masih
muda remaja, dipupuk terus agar saling santun menyantuni dikala tua renta dan
kakek nenek, demikian diberi petunjuk oleh Allah dalam al-Qur'an Surah an-
Nisa: 21 dan 19, Surah al-Rum: 21. Lihat, M. Idris Ramulya, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 dari Segi Perkawinan Hukum Islam (Jakarta: Indo-Hilco, 1986), 25.
4 | P a g e
pandangan hukum Islam maupun hukum Nasional.9 Warga Negara
Indonesia (WNI) terdiri dari penganut berbagai agama dalam
masyarakat. Dengan demikian, masyarakat Indonesia adalah masyarakat
yang pluralistik. Mereka memerlukan ketentuan hukum yang dapat
diterima dan berlaku dalam masyarakat tersebut. Sebagai bukti bahwa
perkawinan itu mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam
hukum Islam dan hukum Nasional. Dibentuklah ketentuan hukum
perkawinan yang bersifat unifikatif yang dapat berlaku dalam
masyarakat tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan,10
(untuk selanjutnya disebut Undang-Undang
Perkawinan).
Undang-Undang Perkawinan pada dasarnya merupakan hukum
positif,11
yakni mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan tersebut
menampung kepentingan masyarakat sesuai dengan perkembangan dan
tuntutan zaman, baik menurut hukum adat, hukum agama, dan
kepercayaan masyarakat. Rumusan hukum dalam Undang-Undang
Perkawinan adalah rumusan hukum yang dibuat secara unifikatif.
Sehingga mendapat akseptasi masyarakat dan berusaha menekan
sedemikian rupa resistensi atau penolakan dari masyarakat yang
pluralistik. Undang-Undang Perkawinan memberikan konsep tentang
perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.12
Dari definisi perkawinan yang telah disebutkan di atas,
pertimbangannya adalah, bahwa sebagai negara yang berdasarkan
9 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,
(Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004), 81. 10
Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun
1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019. 11 Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan
tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau
khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau Pengadilan dalam
negara Indonesia. Pengertian hukum positif diperluas bukan saja yang sedang
berlaku sekarang, tetapi juga hukum yang pernah berlaku, adalah juga hukum
positif karena berlaku pada waktu tertentu dan tempat tertentu.
http://www.emakalah.com/2013/04hukum-positif-indonesia, html#ixzz3Mja018
7, diunduh, tanggal 5 Januari 2017, pukul 19.25. 12
Kompilasi Hukum Islam (Direktorat Pembinaan Peradilan Agama
Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001).
5 | P a g e
Pancasila, di mana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau
kerohanian. Sehingga bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani
semata, tetapi juga unsur batin atau rohani yang mempunyai peranan
penting. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan
keturunan yang merupakan pula tujuan dari perkawinan.
Pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan
kewajiban bagi orang tua.13
Dengan demikian dua bentuk kebahagiaan
yang bersifat lahir dan batin inilah yang harus terdapat dalam sebuah
perkawinan. Dengan adanya perkawinan, rumah tangga dapat ditegakkan
dan dibina sesuai dengan norma-norma agama dan hukum yang berlaku,
serta tata kehidupan masyarakat. Karena tujuan perkawinan adalah
mendapatkan keturunan sebagai generasi penerus yang jelas dan sah di
mata hukum. Sehingga kehidupan manusia tidak terputus, tetap lestari
dan berkesinambungan. Jika menggunakan nalar al-Maqa>s}id al-Shari>’ah, dan mempertimbangkan dari sudut sadd al-Dhara'i. Dapat diketahui
bahwa tujuan dari sebuah perkawinan adalah memuliakan perempuan.
Sebab kehidupannya terjaga dan memiliki orientasi masa depan yang
jelas berupa jalinan mahligai rumah tangga dengan cinta (mawadah),
tentram (sa>kinah), dan kasih-sayang (rahmah). Perkawinan dapat
menjaga dan memelihara keturunan (h}ifz}u al-Nasl) dengan membesarkan
dan mendidik anak menjadi manusia yang berguna dan bermanfaat bagi
yang lain.14
Orientasi pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga
yang tentram (sa}kinah), pergaulan yang saling mencitai (mawaddah) dan
saling menyantuni (rahmah), serta melahirkan anak-anak, mendidik dan
memelihara mereka demi terwujudnya masyarakat sejahtera secara
materiil dan spiritual. Hubungan pernikahan adalah hubungan yang
sebenar-benarnya dalam hidup dan kehidupan manusia. Bukan hanya
hubungan antara suami isteri dan keturunan, bahkan antara dua keluarga.
Betapa tidak, dari sebab hubungan baik (mu'a>sharah bi al-ma'ru>f) antara
13
Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan. Lihat juga Amiur
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam, 206. 14
Shahzad Iqbal Sham said: There are certain objectives behind the introduction of marriage (nikah) for the attainment of which Allah almighty has commended man to lead his life under a system. A study of the Holy Qur'an and the Sunnah of the Prophet, peace be upon him, shows that the significant objectives of marriage (nikah) are as under : 1. Protection of human morals, 2. Establishment of Islamic society, 3. Love and affection among the spouses. Shahzad Iqbal Sham, Islamic Law of Marriage and divorce (Islamabad:
International Islamic University, 2011), 13.
6 | P a g e
suami isteri dapat meneruskan kebaikan itu kepada semua keluarga dari
kedua belah pihak. Mereka menjadi satu dalam segala urusan, tolong
menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan menjaga diri dari
kejahatan.
Perkawinan tidak hanya semata-mataber dampak luas untuk
kepentingan dari orang yang melangsungkannya saja. Namun untuk
kepentingan keluarga dan masyarakat. Hubungan suami isteri harus
dibina dalam suatu hubungan dua arah yang saling menguatkan satu
pihak menjadi pendukung dari yang lain, dan tidak ada satu pihakpun
yang dirugikan atau hak-haknya terancam. Hilman Hadi Kusuma (2003),
berpendapat bahwa yang menjadi tujuan perkawinan menurut
perundang-undangan adalah kebahagiaan suami isteri. Tujuan tersebut
untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan dalam
kesatuan keluarga yang bersifat parental (ke-orangtuaan).15
Kata nikah berasal dari bahasa Arab yang di dalam bahasa
Indonesia sering diterjemahkan dengan perkawinan. Kata sirri berasal
dari kata sirran dan sirrun. Sirran berarti secara diam-diam atau tertutup,
secara batin atau di dalam hati, sedangkan kata sirrun berarti rahasia16
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nikah siri
berarti pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi,
tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Perkawinan tersebut
menurut agama Islam sudah sah. Dengan perkataan lain, kawin sirri
adalah perkawinan yang mengikuti aturan hukum agama atau adat
istiadat. Tetapi tidak dicatatkan pada KUA bagi yang beragama Islam
dan Catatan Sipil bagi yang non muslim. Perkawinan tersebut sah secara
agama tetapi melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yaitu Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan
bahwa:
“Ayat (1) perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
“Ayat (2): tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Ketentuan yang ada dalam Pasal 2 tersebut bila dicermati
bukanlah merupakan syarat sahnya suatu perkawinan. Karena
perkawinan dianggap sah apabila hukum agama dan kepercayaannya
sudah menentukan sah. Namun pada bagian Penjelasan Umum dari
15
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Agama dan Hukum Adat (Bandung: Mandar Maju, 2003),
22. 16
Happy Susanto, Nikah Sirri Apa Untungnya (Jakarta: Visi Media,
2009), 22.
7 | P a g e
Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa suatu perkawinan sah
apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya. Di
samping itu perkawinan harus dicatat yang merupakan syarat diakui atau
tidaknya perkawinan oleh negara.
Rumusan ketentuan yang ada dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut di
atas adalah rumusan unifikatif yang mampu mengakomodasi seluruh
kepentingan hukum dan kebutuhan semua penganut agama yang ada di
Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang pluralistik, ada yang menafsirkan secara teoritis bahwa
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mengandung rumusan
hukum yang legistik (qat}h'i).17 Rumusan itu sudah memuat norma
hukum yang tidak membutuhkan tafsir lain dari hukum untuk
menentukan kesahan perkawinan. Dengan demikian, setelah berlakunya
Undang-Undang Perkawinan, hukum yang berlaku dan diakui oleh
negara sebagai hukum yang sah bagi perkawinan seluruh rakyat
Indonesia adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan bagi
masing-masing pemeluknya. Bahkan menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di
luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Sehingga
bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar
hukum agamanya sendiri.18
Dalam penjelasan tersebut, dinyatakan pula
bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang
berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya, sepanjang tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Ketentuan yang ada dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas,
diterima oleh seluruh penganut agama yang ada di Indonesia. Bagi
masyarakat yang beragama Islam, hukum perkawinan yang digunakan
agar sejalan dengan ketentuan tersebut adalah hukum Islam yang
bersumber dari syariat Islam yang ada di dalam al-Qur'an,19
dan sunnah
17
Nash qath’i atau muhkama>t adalah nash yang bersifat universal dan
bebas dimensi ruang dan waktu. Atau nash yang berlaku umum dan cocok untuk
berlaku sepanjang masa, seluruh tempat dan kondisi. Lihat, Masdar F. Mas'udi,
Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan (Bandung: Mizan, 1977), 29-30.
Lihat juga, Khairuddin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2009), 211.
18 Hazairin, Tinjauan Undang-UndangaNo. 1/1974 tentang Perkawinan,
(Jakarta: Tintamas, 1986), 1-2. 19
Menurut Noel J. Coulson, Hukum Islam diakui sebagai Hukum
Tuhan, hal ini dapat dilihat dari pernyataannya : "dose not grow out of . . . an ovelving society as is the case with sistem but is imposed from above. N.J.
8 | P a g e
Rasul. Hukum Islam tersebut dalam konteks ke Indonesiaan dicoba
dirumuskan di dalam formulasi normatif yang ada di dalam Kompilasi
Hukum Islam untuk selanjutnya disebut KHI.20
Karena hukum Islam
Coulson, The consept Progress and Islamic Law, dalam Robert N. Bellah (ed)
Religion and Progress in Modern, Asia, hal.75 Menurutnya, hukum tidaklah
tumbuh dari masyarakat seperti halnya dipahami di Barat, tetapi justru berasal
dari atas (baca Tuhan) meskipun hal ini tidak harus diartikan bahwa hukum
Islam itu tidak berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti diakui
sendiri olehnya : Bat generaly speaking the qurenic precepts are ethical norm brood enough to support modern legal structure and capable of verying interpretations to meet the particular needs of time and place. And on the basic, it seems the Islamic Jurisprudence can implement, in practical realistis, and modernist term, its basic and uniqwe idea way of life based on the command of Allah. N.J. Culson, The consept Progress and Islamic law . hal. 92.
A.A. Fyzee, menilai Hukum Islam itu sama dengan Canon Law of Islam, yakni keseluruhan dari perintah Tuhan. Tiap perintah itu dinamakan
hukum. Hukum dan tafsirnya sangat mudah untuk dipahami dan hukum Islam
meliputi semua tingkah laku manusia. Oleh karena itu Hukum Islam tidaklah
dapat dikatakan sebagai hukum dalam artian modern akan tetapi hanya
mengandung pedoman-pedoman moral. A.A. Fyzee, outliness of Muhammadan Law (London: Oxford University Press, 1955), 13.
20 Sebenarnya kalau dilihat ke belakang usaha unifikasi hukum Islam
pertama diusulkan oleh Ibnu al-Muqaffa (w. 139/756). Sebagai seorang
sekretaris khalifah Abbasid, Abu Ja'far al-Mansur (754-775). Ibnu al-Muqaffa
mengusulkan agar diadakan unifikasi (kesatuan hukum) dari sekian perbedaan
pendapat yang ada dan hasil unifikasi ini menjadi hukum yang diberlakukan di
negara. Setelah melewati proses panjang, akhirnya imam Malik menulis
kitabnya yang terkenal al-Muwatta, namun imam Malik menolak
diberlakukannya isi buku ini kepada seluruh Muslim. Mazheruddin Siddiq,
Preface to Muwatta' Imam Malik, diterjemahkan dan diberi catatan oleh
Muhammad Rahimuddin (New Delhi: Kitab Bhavan, 1989), 4-5.
Penulis lain menyebut, bukan menggunakan kata "tujuan" tetapi
"fungsi", bahwa fungsi lahirnya KHI dapat ditinjau minimal dari dua sudut
pandang. Pertama dari sudut hukum material, bahwa KHI dapat berfungsi
sebagai hukum material di bidang perkawinan, warisan dan wakaf, di samping
UU No. 1 Tahun 1974 untuk perkawinan, dan PP No 28 Tahun 1977 untuk
wakaf. Kedua, dari sudut unifikasi hukum, bahwa lahirnya KHI dapat menjadi
kitab hukum yang dapat mengakhiri berbagai ragam sumber hukum Islam. Di
samping itu, KHI dapat menjadi pedoman di bidang perkawinan, kewarisan dan
wakaf, baik oleh instansi pemerintah maupun masyarakat.
Oleh Tahir Azhary ditambahkan dua poin penting. Pertama, bahwa
dengan lahirnya KHI, para hakim Agama dapat dengan mudah dan sangat
praktis merujuk KHI, khususnya bagi para hakim yang kurang mampu membaca
kitab kuning (nama lain dari kitab berbahasa Arab). Kedua, lahirnya KHI adalah
9 | P a g e
dalam bidang keperdataan, terutama yang menyangkut hukum keluarga,
tetap berlaku bagi umat Islam,21
sebagaimana telah dijadikan politik
hukum oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1848.
juga sebagai wujud kontekstualisasi hukum Islam, sebab apa yang ada dalam
kitab-kitab fikih konvensional, banyak yang sudah tidak relevan dengan
tuntutan sekarang. M. Tahir Azhary, Kompilasi Hukum Islam sebagai alternatif,
Suatu analisis Sumber-sumber Hukum Islam, "Mimbar Hukum, No. 4, Tahun II
(1991), 16.
Lebih rinci ditulis Matarda sebagai fungsi lahirnya KHI, yang
menurutnya ada lima, yaitu: Pertama, melengkapi Peradilan Agama sebagai
hukum terapan , di samping UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 di
bidang perkawinan dan PP No. 28 di bidang perwakafan ( maksudnya adalah
untuk melengkapi hukum material Peradilan Agama. Kedua, penyamaan
persepsi dan pandangan dalam penerapan hukum Islam. Ketiga, mendekatkan
umat dengan hukum Islam, yang maksudnya adalah kalau sebelumnya ada yang
alergi terhadap hukum Islam karena diidentikkan dengan Piagam Jakarta dan/
atau fundamentals, maka dengan diberlakukannya lewat KHI kesan semacam
itu menjadi hilang. Keempat, mengurangi sumber pertentangan di
masyarakat.Kelima, menyingkirkan pandangan bahwa pelaksanaan hukum Islam
adalah masalah pribadi (privat). Matardi E, Kompilasi Hukum Islam sebagai
hukum terapan di Pengadilan Agama, Mimbar Hukum, No. 24, Tahun vII
(1996), hal. 30.
Namun sebelumnya Matardi mencatat dua alasan penting sebagai
tuntutan lahirnya KHI. Pertama, ada akibat dari penggunaan beragam kitab oleh
para hakim di Pengadilan Agama dalam memutuskan masalah-masalah
perkawinan, kewarisan dan wakaf, yakni ketidakpastian hukum. Ketidakpastian
hukum ini mengakibatkan sikap sinis masyarakat. Kedua, adanya tuntutan
terhadap kontekstualisasi hukum Islam Indonesia. Bahwa hukum Islam yang
dirumuskan ulama masa lalu (konsep konvensional) tidak selalu cocok dan
sejalan dengan tuntutan masa kini, lebih-lebih untuk konteks Indonesia. Matardi
E, Kompilasi Hukum Islam sebagai Hukum Terapan di Pengadian Agama, hal.27. Lihat juga Khairuddin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam, hal.
67. 21
Dalam Reglement op het beleid der Regering van Nederlandsch
Indie, yang disingkat dengan Regreegringsreglement (R.R) yang dimuat dalam
Stb. Belanda 1854 : 129 atau Stbl. Hindia Belanda 1855 : 2 berlakunya undang-
undang Islam bagi orang Islam Indonesia itu telah ditegaskan. Pasal 75 RR Stbl.
Hindia Belanda 1855 : 2 itu berbunyi dalam ayat (3), " oleh hakim Indonesia itu
diberlakukan undang-undang agama (godsenstige wetten) dan kebiasaan
penduduk Indonesia itu. Ayat (4) berbunyi : Undang-undang agama, instelling
dan kebiasaan itu jugalah yang dipakai untuk mereka oleh hakim Eropa pada
Pengadilan yang lebih tinggi andaikata terjadi hoger beroep atau permintaan
pemeriksaan banding ". Bahkan pada Pasal 78 R.R. Stbl. Hindia Belanda 1855 :
152 itu ditegaskan lebih lanjut pada ayat (2), "Dalam hal terjadi perkara perdata
10 | P a g e
Keberlakuan undang-undang agama Islam bagi penduduk asli
bangsa Indonesia telah berjalan lama, sampai akhirnya dirumuskan
dalam bentuk undang-undang pada tahun 1855. Dengan dikeluarkannya
Regeerings Reglement 1855 tersebut, keadaan yang telah ada lebih
diperkokoh dan diperkuat dengan bentuk peraturan perundang-undangan.
Ketentuan peraturan dan undang-undang tersebut di atas, nampak bahwa
di masa pertama pemerintahan Hindia Belanda, hukum Islam diakui
eksistensinya sebagai hukum positif yang berlaku bagi orang Indonesia,
terutama mereka yang beragama Islam. Perumusan ketentuan-ketentuan
itu dalam perundang-undangan ditulis satu nafas dan sejajar dengan
hukum adat. Bahkan sejak zaman VOC, keadaan ini telah berlangsung
demikian terkenal dengan Compendium freijer.22 Untuk memperkuat
berlakunya hukum Islam berdasarkan Staatblat tahun 1882 Nomor 152
dan 153, dibentuklah suatu badan peradilan walaupun dengan penamaan
yang salah yaitu Priesterard (pengadilan pendeta).23
Tentang pemberlakuan hukum perdata Islam Indonesia
melanjutkan politik hukum pemerintah Hindia Belanda berdasarkan
Aturan Peralihan Pasal II Undang-Undang Dasar 1945, yakni
memberlakukan politik hukum 1848 yang membedakan penduduk ke
dalam tiga golongan. Pertama adalah golongan Bumi Putra. Kedua golongan Eropa. Ketiga golongan Timur asing, yang tunduk pada hukum
yang berbeda-beda berdasarkan praktek hukum tersebut, maka hukum
antara sesama orang Indonesia itu, atau mereka yang dipersamakan dengan
mereka menurut undang-undang agama (godsdienstige wetten) atau ketentuan-
ketentuan lama mereka. Sajuti Thalib, Receptio a Contrario, Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 7.
22 Compendium adalah buku ringkasan mengenai hukum perkawinan
dan warisan Islam yang disusun oleh D.W. Freijer. Setelah direvisi dan
disempurnakan oleh para penghulu, buku ini diberlakukan di daerah jajahan
VOC, yang kemudian terkenal dengan sebutan Compendium Freijer. Jadi pada
masa penjajahan Belanda, hukum perkawinan yang berlaku adalah compendium
freijer, yaitu kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum perkawinan dan
hukum waris menurut Islam. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hal.13-
14. Kitab ini ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh
Pengadilan Persatuan Kompeni Belanda di Hindia Timur (VOC). Ismail Sunny,
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam
Amrullah Ahmad, editor, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, hal.131.
23 Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Indonesia (Jakarta, 1982), Hukum Islam dan Pembangunan Tahun ke
XII No. 2, 101.
11 | P a g e
perdata Islam (termasuk perkawinan) berlaku bagi orang-orang Islam
sampai Indonesia merdeka.24
Karena perkawinan merupakan urusan pribadi (individual affair),25
maka hukum perkawinan yang akan diberlakukan dikembalikan
kepada pemeluk agama yang bersangkutan (agama yang dianut
seseorang). Bagi pemeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku
padanya. Terkait dengan peraturan perkawinan, bagi umat Islam di
Indonesia dalam menjalankan syariat-syariat hukum Islam, telah
dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni
1991 yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI). Inpres tersebut kemudian
ditindak lanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154
Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
KHI mengatur dengan tegas dan jelas dalam Pasal 4 Bab IV
Buku I tentang Perkawinan. Bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan ketentuan yang ada
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Sedangkan pelaksanaan perkawinan di Indonesia bervariasi
bentuknya, seperti perkawinan melalui KUA atau Catatan Sipil,
perkawinan adat sampai kawin sirri yang juga dikenal dengan istilah
kawin di bawah tangan atau nikah sirri. Dalam KHI ketentuan
perkawinan diatur dalam Pasal 2 Bab II Buku 5 tentang Perkawinan
yang berbunyi:
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mi>tha>qan ghali>z}an untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
Hazairin berpendapat bahwa dalam Islam, seharusnya
dipergunakan istilah uqdah nikah (uqdatun nika>h) yang sama maksudnya
dengan ikatan lahir batin yang ada dalam Pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan. Jika dalam kontrak yang sama artinya dengan akad, semua
kewajibannya telah dipenuhi maka selesailah kontrak itu. Tetapi, jika
dalam uqdah semua kewajiban dipenuhi maka uqdah itu hanya akan
berakhir setelah maut memisahkan suami isteri.26
Sedangkan istilah ikatan lahir batin itu dapat disamakan dengan
mi>tha>qan ghali>z}an yang menurut Sajuti Thalib merupakan perjanjian
24
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional" Seminar Nasional: Problematika Hukum Keluarga Dalam Sistem Hukum Nasional Antara Realitas Dan Kepastian Hukum (Jakarta, 2009).
25 H. Muchsin, Nikah Sirri Pasca UU Nomer 1 Tahun 1974 Antara
Realitas dan Kepastian Hukum (Jakarta: 2009). 26
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan (Jakarta: Tintamas, 1986), 1-2.
12 | P a g e
yang sangat kuat dalam al-Qur'an surat an-Nisa ayat 21 atau dengan
katauqdatun tadi.27
Hal ini menegaskan bahwa perkawinan dalam
pandangan agama Islam tidaklah sama dengan pandangan hukum perdata
barat yang melihat perkawinan hanya dari sisi hubungan keperdataan
seperti dalam kontrak biasa semata. Perkawinan dalam hukum Islam
adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan
untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan
menurut ketentuan-ketentuan hukum syariat Islam.28
Sangat penting untuk memenuhi ketentuan-ketentuan syariat
Islam dalam melaksanakan perkawinan agar ikatan tersebut menjadi sah.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa
perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut hukum Islam, suatu
perkawinan baru bisa dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan
syarat yang ada dalam al-Quran dan hadits. Menurut jumhur ulama
Syafi'i, rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun itu
memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut.29
1. Mempelai laki-laki, syarat-syaratnya adalah
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Jelas orangnya
d. Dapat memberikan persetujuannya
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
2. Mempelai perempuan, syarat-syaratnya adalah
a. Beragama Islam
b. Perempuan
c. Jelas orangnya
d. Dapat dimintai persetujuannya
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
3. Wali nikah syarat-syaratnya adalah
a. Laki-laki
b. Dewasa
c. Mempunyai hak perwalian
d. Tidak terdapat halangan perwalian.
4. Saksi nikah, syarat-syaratnya adalah:
27
Hazairin, Tinjauan mengenai UU perkawinan No. I/1974, hal, 25. 28
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia (Yogyakarta: Binacipta, 1978), 1.
29 Tihami dan Sokari Sakrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah
Lengkap, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), 12.
13 | P a g e
a. Minimal dua orang laki-laki
b. Hadir dalam ijab Qabu>l
c. Dapat mengerti maksud akad
d. Islam
e. Dewasa.
5. Ijab dan Qabu>l , syarat-syaratnya adalah:
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
laki-laki
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari
kedua kata tersebut
d. Antara ijab dan Qabu>l bersambungan
e. Antara ijab dan Qabu>l jelas maksudnya
f. Orang yang terkait dengan ijab dan Qabu>l tidak sedang
ihram haji atau umroh
g. Majelis ijab dan Qabu>l itu harus dihadiri minimum
empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali
dari mempelai wanita dan dua orang saksi.
Ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan yang ada dalam
Pasal 14 KHI.30
Meskipun ketentuan rukun dan syarat nikah
sebagaimana dituntunkan Rasulullah SAW telah sempurna. Terdapat
beberapa persoalan terkait pernikahan yang belum final. Sehingga
membuka ruang untuk menjadi perdebatan. Dalam masyarakat terdapat
dua pendapat tentang sahnya suatu perkawinan. Pertama, perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan
kepercayaannya. Sedangkan pencatatan perkawinan hanya kewajiban
administratif saja bukan merupakan syarat sahnya suatu perkawinan.
Kedua, sahnya suatu perkawinan harus memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, yakni perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya dan
tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Menurut pendapat penulis, Indonesia sebagai negara hukum,
maka setiap warga negara harus mentaati perintah ulil amri. Dalam hal
ini adalah pemerintah sesuai dengan ketentuan al-Qur'an surat an-Nisa
ayat 59. Sebagai hamba Allah dan juga sebagai warga negara Indonesia
diwajibkan untuk mentaati perintah Allah, Rasul dan ulil amri. Karena
perkawinan merupakan ikatan suci yang sangat kuat (mi>tha>qan ghali>z}an)
30
Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, untuk melaksanakan perkawinan
harus ada, a) calon suami, b) calon isteri, c) wali nikah, d) dua orang saksi dan e)
ijab dan Qabu>l.
14 | P a g e
antara seorang pria dan seorang wanita. Untuk menjaga kesucian
lembaga perkawinan tersebut, perkawinan tidak hanya harus sah
menurut hukum agama dan kepercayaannya, melainkan keberadaan
perkawinan tersebut perlu dilindungi oleh hukum negara melalui
pencatatan perkawinan.
Dalam hukum Islam, perkawinan merupakan lembaga sakral
yang menyatukan dua insan dalam suatu tujuan yang sentral dan luhur.
Mewujudkan kehidupan rumah tangga yang damai, penuh cinta, dan
kasih sayang (sakinah, mawaddah wa rahmah) tidak luput terkena
dampak dari perubahan zaman. Konteksnya dengan hukum Islam yang
bersifat universal. Hukum yang dimaksud harusnya juga berkembang
sesuai dengan kebutuhan itu sendiri, bahwa hukum itu akan berubah
bersama dengan perubahan zaman, waktu, dan perubahan tempat.31
Senada dengan Resolusi yang dihasilkan oleh week of Islamic Law. Sebuah pertemuan yang diadakan oleh cabang dari Oriental Satutes pada tanggal 7 Juli 1951. Sebelum menghadapi International Conggres of Comprative Law yang pada intinya adalah bahwa hukum itu
harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman.32
Menurut M. Rasyidi, Islam bertujuan baldatun thayyibatun wa rabbun Ghafur. Suatu masyarakat yang adil dan makmur dengan jiwa
penduduknya memegang nilai-nilai spiritual yang tinggi. Hukum Islam
adalah realisasi dari tujuan utama itu. Ibadah dan perinciannya tidak
dapat dirubah. Namun muamalat dan hal-hal yang berhubungan dengan
masyarakat dapat dirubah dalam perinciannya. Selama konsepsi tersebut
dipegang teguh, dapatlah kiranya hukum Islam dipergunakan sebaik-
baiknya dalam masyarakat abad ke XX yang sangat merasakan
31
Sadiani, Nikah via Telepon: Menggagas Pembaharuan Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Yatimedia STAIN Palangkaraya, 2008), 1.
32 Pertemuan dihadiri oleh Profesor-profesor terkemuka dalam ilmu
hukum baik dari Timur maupun dari Barat, dan dipimpin oleh Profesor Milliot
dari Universitas Paris. Dari hasil pembicaraan dalam sidang tersebut, nyata
telah terbukti bahwa "prinsip-prinsip hukum Islam mempunyai nilai yang tidak dapat dipertikaikan lagi dan bahwa pelbagai ragam madzhab yang ada dalam lingkungan besar sistem hukum itu mengandung suatu kekayaan alam pikiran hukum dan keyakinan tehnik yang mengagumkan yang memberikan kemungkinan kepada hukum ini memenuhi semua kebutuhan penyesuaian-penyesuaian yang dituntut oleh hidup modern", demikian dikutip oleh Said
Ramadhan dari Travoux de-la semaine International de Droit Musulman. Said
Ramadhan, Islamic Law, its Scope and Aquaty (Mac Milian Limites London,
1961), 30.
15 | P a g e
kegoncangan yang disebabkan oleh alineasi dari pada Tuhan.33
Secara
filosofis, hukum Islam di samping mewujudkan kebahagiaan materiil dan
spirituil (baldatun t}ayyibatun wa rabbun ghafu>r). Suatu negara yang baik
dan diridhoi oleh Allah dalam pelaksanaannya tidak luput dari hukum
perubahan zaman dan tidak luput dari pada interplay dengan situasi.34
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan mengatur lebih
lanjut. Bahwa perkawinan yang sudah dilaksanakan menurut ketentuan
Pasal 2 ayat (1) harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Apakah dalam hukum Islam ada kewajiban untuk
mencatat perkawinan seperti yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
tersebut? Apakah dengan dicatatnya perkawinan itu menjadi sah, baik
menurut hukum Islam maupun hukum nasional, atau sebaliknya menjadi
tidak sah. Selain pasal tersebut, perlu diperhatikan pula ketentuan Pasal
10 (3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (untuk selanjutnya
disebut PP. 9/1975) yang menyatakan bahwa dengan mengindahkan tata
cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai
Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Al-Qur'an dan hadits tidak mengatur secara tegas dan rinci
mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan oleh masyarakat
mengenai pentingnya hal itu. Sehingga diatur melalui perundang-
undangan, baik Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
maupun melalui KHI. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Baik perkawinan
yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang
dilaksanakan masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam.
Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian
(miitsaaqan gholiidhan) aspek hukum yang timbul dari ikatan
perkawinan.35
Terkait dengan pencatatan perkawinan, KHI memandang
pencatatan perkawinan hanya sebagai penatatertiban perkawinan bagi
masyarakat yang beragama Islam. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 5
ayat (1) Bab II Buku I tentang Perkawinan agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
Ayat (2) menentukan bahwa pencatatan perkawinan tersebut pada ayat
33
H.M. Rasyidi, Keutamaan Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1971), 31. 34
H.M. Rasyidi, "Ceramah tentang Hukum Islam pada Seminar Hukum Islam ke II di Semarang", 1968.
35 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), 26.
16 | P a g e
(1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun
1954. Ketertiban di sini menyangkut ghayat al-tasyri’ (tujuan hukum
Islam), yaitu menciptakan kemas}lah}ahan bagi masyarakat.36
Dengan demikian, KHI memandang pencatatan perkawinan
bukan merupakan bagian dari syarat sahnya perkawinan. Pencatatan
perkawinan ini tidak menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Untuk
memenuhi ketentuan yang ada dalam Pasal 5 KHI tersebut di atas,
menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2) nya menyatakan bahwa
setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Perkawinan yang dilakukan
di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum. Jika suatu perbuatan hukum tidak mempunyai kekuatan hukum,
maka dengan sendirinya tidak akan menimbulkan akibat hukum berupa
hak dan kewajiban.
Demikian juga dengan perkawinan dapat dikatakan sebagai
perbuatan hukum dan mempunyai kekuatan hukum, apabila dilakukan
menurut ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tata cara
pernikahan yang dibenarkan oleh hukum seperti yang diatur di dalam
Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan yang sesuai dengan undang-
undang ini mempunyai akibat hukum, mendapat pengakuan dan
perlindungan hukum. Perkawinan yang tidak mempunyai kekuatan
hukum, tidak akan menimbulkan akibat hukum. Sehingga misalnya bila
seorang ayah tidak melaksanakan kewajibannya, isteri dan anak-anaknya
tidak dapat menuntut apa-apa. KHI tidak memiliki penjelasan terhadap
kalimat tersebut, akan lebih baik jika kata tidak memiliki kekuatan
hukum diterjemahkan dengan kata tidak sah (la yas}ih}h}u). Oleh karena
itu, perkawinan yang tidak dicatat dipandang tidak sah.37
Menurut Khairudin Nasution, Undang-Undang Perkawinan
sebenarnya bukanlah Undang-Undang yang pertama yang mengatur
tentang pencatatan perkawinan bagi muslim Indonesia. Sebelumnya,
telah ada Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1946 yang mengatur
tentang pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Semula, Undang-Undang
ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura. Kemudian dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 1954 yang disahkan tanggal
26 Oktober 1954, Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1946 diberlakukan
36
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), 124.
37 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), 124.
17 | P a g e
untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Bahkan lebih jauh di dalam
Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1946, dijelaskan sebagai berikut:
1. Perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah;
2. Bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan
dari Pegawai Pencatat Nikah dikenakan hukuman karena
merupakan pelanggaran. Lebih tegas lagi dalam penjelasannya
dicatatkannya perkawinan agar mendapat kepastian hukum dan
ketertiban.38
Pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Perkawinan, meskipun telah disosialisasikan selama
36 tahun lebih sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-kendala.
Hal ini sebagai akibat adanya pemahaman fikih Imam Syafi’i yang sudah
membudaya di kalangan umat Islam Indonesia. Karena menurut paham
mereka, perkawinan telah dianggap cukup bila syarat dan rukunnya telah
terpenuhi, tanpa diikuti pencatatan apalagi akta nikah. Kondisi seperti
ini terjadi dalam masyarakat. Sehingga masih banyak ditemukan
perkawinan di bawah tangan (perkawinan yang dilakukan oleh calon
mempelai laki-laki dengan calon mempelai wanita tanpa dicatat oleh
Pegawai Pencatat Nikah dan tidak mempunyai akta nikah). Kenyataan
dalam masyarakat seperti ini pula yang merupakan hambatan Undang-
Undang Perkawinan.39
Dalam dimensi fikih dikenal macam-macam bentuk perkawinan,
seperti 'urfi, sirri dan semacamnya merupakan pembahasan yang timbul
dari realitas yang berkembang ditengah masyarakat. Melihat makin
maraknya fenomena model-model pernikahan di zaman sekarang.
Terutama pernikahan sirri yang banyak dilakukan oleh anggota
masyarakat. Pemerintah berkeinginan untuk memberikan fatwa hukum
yang tegas terhadap pernikahan semacam ini. Sebagaimana penjelasan
Nasaruddin Umar, Direktur Bimas Islam Departemen Agama RI.
Rancangan Undang-Undang ini akan memperketat pernikahan model-
model seperti di atas.40
38
Khairudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002), 158-159.
39 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 26.
40 Nasaruddin Umar mengatakan “Presiden SBY telah menyetujui
diadakannya Rancangan Undang- undang Peradilan Agama tentang Perkawinan (RUUPAP) yang mengatur sejumlah perkara yang belum ada dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Di antaranya Hukum Perkawinan bawah tangan, perkawinan kontrak, dan hukum waris untuk ahli waris kaum
18 | P a g e
Menurut Abdul Gani (1995), pernikahan di bawah tangan atau
pernikahan sirri sebenarnya tidak sesuai dengan maqa>s}id al-shari>’ah. Karena ada beberapa tujuan syariah yang dihilangkan di antaranya:
41
a. Pernikahan itu harus diumumkan (diketahui khalayak
ramai).
Maksudnya agar mengetahui bahwa antara A dan B telah
terikat sebagai suami isteri yang sah. Sehingga orang lain
dilarang melamar A atau B, akan tetapi dalam perkawinan
sirri selalu disembunyikan agar tidak diketahui oleh orang
lain, sehingga perkawinan antara A dan B masih diragukan.
b. Adanya perlindungan hak untuk perempuan.
Dalam perkawinan sirri pihak perempuan banyak dirugikan
hak-haknya karena kalau terjadi perceraian pihak wanita
tidak mendapat apa-apa dari mantan suaminya.
c. Maslahah manusia.
Dalam perkawinan sirri lebih banyak mudharatnya dari pada
mas}lah}ahnya. Seperti anak-anak yang lahir dari perkawinan
sirri lebih tidak terurus, sulit untuk bersekolah atau untuk
mencari pekerjaan, karena orang tuanya tidak mempunyai
surat nikah. Seandainya ayahnya meninggal atau cerai, anak
yang lahir dari perkawinan sirri tidak mempunyai kekuatan
hukum untuk menuntut hak waris dari ayahnya.
d. Harus mendapat izin dari isteri pertama.
Untuk perkawinan kedua, ketiga dan seterusnya, yang tidak
mendapat izin dari isteri pertama biasanya dilakukan di
bawah tangan. Sehingga isteri pertama tidak mengetahui
bahwa suaminya telah menikah lagi dengan perempuan lain.
Rumah tangga seperti ini penuh dengan kebohongan dan
dusta, karena suami selalu berbohong kepada isteri pertama,
sehingga perkawinan seperti ini tidak mendapat rahmat dari
Allah.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jika melihat
ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan maupun Pasal 5
ayat (1) KHI bahwa terdapat keharusan sebuah perkawinan untuk
dicatat. Tidak hanya untuk kepentingan administrasi penduduk semata,
tetapi pencatatan perkawinan juga memberikan kedudukan yang jelas
perempuan”. Diakses di http://www.suara-islam.com, 1 September 2016 jam
23.40. 41
Abdul Gani Abdullah, Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan Di Bawah Tangan ,dalam Mimbar Hukum (Jakarta: Pustaka Akbar, Nomor 23,
Tahun VI, 1995).
19 | P a g e
bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan. Dengan demikian,
akan terlihat jelas pembagian hak dan tanggung jawab yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun
peraturan tentang pencatatan perkawinan telah ada sejak tahun 1946,
dalam kenyataannya masih banyak umat Islam Indonesia yang tidak
mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut dengan
berbagai alasan melakukan pernikahan di bawah tangan, dalam arti
pernikahan tersebut tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang untuk itu.
B. Permasalahan
Terdapatnya dikotomi terhadap pernikahan sirri yang ada di
Indonesia, dikarenakan pengetahuan masyarakat yang belum bulat dan
masih terpecah-pecah antara sah menurut hukum agama dan sah menurut
hukum negara yang menimbulkan kontroversi di dalam masyarakat.
Kondisi seperti inilah yang penulis jumpai dalam masyarakat di wilayah
Kelurahan Tajur, kecamatan Bogor Timur, kota Bogor.
Permasalahan yang menarik bagi penulis untuk melakukan
pengkajian secara mendalam mengapa masih ada warga masyarakat di
Kelurahan Tajur yang melakukan pernikahan di bawah tangan
(perkawinan sirri). Kemudian apa yang melatarbelakangi dilakukannya
pernikahan sirri tersebut serta apakah mereka mengetahui akibat hukum
dari pernikahan sirri yang dituangkan dalam penulisan tesis dengan
judul “Analisis Praktek dan Akibat Nikah Sirri di Tajur Bogor Dalam Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”
1. Identifikasi Masalah
Nikah sirri yang dilakukan oleh seseorang dapat menimbulkan
dampak yang dapat merugikan pelakunya. Meskipun beberapa pihak
mengatakan secara agama sah, pernikahan sirri harus dilakukan dengan
menaati perintah perundang-undangan negara. Jika merujuk pada tujuan
hukum Islam dalam maqa>s}id al-shari>’ah,42 (h}ifz}u al-nasl). Pernikahan
42
Wahbah al-Zuhaily mengatakan bahwa maqasid al-shari'ah adalah
nilai-nilai dan sasaran shara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar
dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai
tujuan dan rahasia shari'ah, yang ditetapkan oleh al-shari' dalam setiap
ketentuan hukum. Wahbah al-Zuhaili, us}ul al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-
fikr, 1986) II, 225. Sedangkan ulama Us}ul al-Fiq mendefinisikan maqasid al-Shari'ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki shara'dalam mensyariatkan
suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia. Maqasid al-Shari'ah di kalangan
ulama usul al-Fiqh disebut juga asrar al- shari>’ah, yaitu rahasia-rahasia yang
terdapat di balik hukum yang ditetapkanoleh shara', berupa kemaslahatan bagi
20 | P a g e
sirri akan berdampak negatif, karena fenomena yang terjadi di
masyarakat lebih banyak mudharatnya dari pada mas}lah}ahnya.
Sedangkan jika dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat, karena jumlah
wanita lebih banyak dari kaum pria, sementara kalau monogami
dipertahankan akan memicu munculnya praktek prostitusi. Semuanya ini
akan menimbulkan terjadinya problema sosial.43
Berdasarkan latar belakang dengan mengkaji beberapa aspek
tentang nikah sirri. Peneliti dalam hal ini akan mengidentifikasi beberapa
aspek yang mempunyai korelasi. Adapun masalah yang teridentifikasi
dari latar belakang tersebut di atas adalah:
a. Pengertian nikah di bawah tangan atau nikah sirri
b. Alasan melakukan dan pelaksanaan nikah sirri
c. Kendala-kendala yang dihadapi dalam nikah sirri serta dampak
positif dan negatifnya
d. Pendapat para pelaku nikah sirri dan amil
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini
adalah sebuah perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Tetapi tidak dicatat di KUA atau tidak dilakukan di hadapan atau di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Padahal dalam Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan
harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penelitian ini diarahkan pada pengamatan terhadap realitas
hukum. Khususnya tentang perkawinan yang tidak dicatat di KUA atau
tidak dilakukan di hadapan atau di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah. Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui tentang perilaku nikah
sirri masyarakat desa Tajur Kelurahan Tajur, Kecamatan Bogor Timur.
Oleh karena itu, peneliti dalam hal ini merumuskan masalah sebagai
berikut: Pertama, faktor-faktor apa saja yang mendorong warga
masyarakat yang ada di desa Tajur melakukan perkawinan sirri? Kedua, problem apa saja yang akan dihadapinya? Ketiga bagaimana dampak
hukumnya bagi perempuan?
3. Pembatasan Masalah
Fokus kajian dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang
masalah dan identifikasi masalah adalah untuk mengetahui perilaku
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Misalnya, shara' mewajibkan
berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah swt.
Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), 1108. 43
Khairuddin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam, 233.
21 | P a g e
nikah sirri masyarakat desa Tajur Kelurahan Tajur, Kecamatan Bogor
Timur. Begitu luasnya masalah pembahasan mengenai nikah sirri, agar
lebih fokus dan terperinci pada permasalahan, perlu arah yang jelas
terhadap permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini. Penulis
membatasi fenomena nikah sirri yang terjadi pada masyarakat di desa
Tajur Kelurahan Tajur, Kecamatan Bogor Timur.
Masyarakat yang penulis batasi dalam penelitian ini adalah khusus
pada anggota masyarakat yang melakukan nikah sirri sebanyak enam
orang yang terdiri dari lima orang wanita, satu orang laki-laki dan
seorang amil. Penulis merasa perlu untuk membatasi penelitian ini agar
tidak menimbulkan generalisasi dalam pembahasan. Masalah yang
hendak dikaji selanjutnya akan disimpulkan dalam rumusan masalah.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi harapan dan tujuan
yang ingin dicapai agar masyarakat mengetahui dan memahami tentang
fungsi pencatatan perkawinan beserta akibat hukumnya. Karena dengan
semakin tingginya tingkat pengetahuan dan pemahaman terhadap fungsi
pencatatan perkawinan diharapkan tidak akan ada lagi warga masyarakat
di desa Tajur yang melakukan perkawinan sirri.
Kajian ini untuk mengetahui tentang perilaku nikah sirri
masyarakat desa Tajur Kelurahan Tajur, Kecamatan Bogor Timur. Oleh
karena itu, peneliti dalam hal ini ada beberapa tujuan penelitian antara
lain sebagai berikut: Pertama, mengetahui faktor-faktor apa saja yang
mendorong warga masyarakat yang ada di desa Tajur melakukan
perkawinan sirri? Kedua, mengetahui problem apa saja yang akan
dihadapinya? Ketiga mengungkap bagaimana dampak hukumnya bagi
perempuan?
D. Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian, tentu mempunyai dua manfaat secara
umum yakni manfaat praktis dan akademis. Penelitian ini diharapkan
tidak hanya untuk membuktikan kebenaran tentang masih banyaknya
warga masyarakat yang melakukan perkawinan sirri. Tetapi diharapkan
dapat mengungkap fenomena prilaku hukum (living law) dalam
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
persoalan perkawinan. Terutama Undang-Undang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan
22 | P a g e
Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan terkait lainnya.44
Selain itu, penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan
manfaat secara teoritis dan praktis. Manfaat teoritis yaitu untuk
perbaikan undang-undang dan memperluas pengetahuan mengenai
hukum perkawinan. Khususnya mengenai perkawinan sirri beserta akibat
hukumnya. Manfaat praktis, yaitu untuk memberikan pengetahuan bagi
pasangan mengenai pentingnya pencatatan perkawinan.
Agar kehidupan rumah tangga tidak menjadi permainan perasaan
dan emosi kelak yang menimbulkan akibat fatal dalam masyarakat pada
umumnya karena rumah tangga merupakan basis bagi kehidupan
bermasyarakat. Diharapkan juga bermanfaat dalam pelaksanaan Undang-
Undang Perkawinan dan dapat membantu tumbuhnya kesadaran
masyarakat dalam upaya pelaksanaan undang-undang perkawinan dan
hasil penulisan ini dapat menambah khazanah perpustakaan hukum.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Kajian penelitian tentang nikah sirri selama ini masih belum
banyak dibahas oleh kalangan akademisi. Pada bagian ini akan
dikemukakan hasil penelitian terdahulu yang memiliki korelasi dengan
penelitian. Karena untuk mengetahui persamaan serta perbedaannya
dengan penelitian terdahulu, di antaranya adalah: Hafizh, Pernikahan di
Bawah Tangan dan Pengaruh Terhadap Sengketa Pengadilan Agama
Jakarta Barat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2005. Penelitian
ini menjelaskan bahwa perkawinan di bawah tangan berdampak pada
sengketa di Pengadilan Agama. Diantaranya menuntut hak-hak isteri dan
anak ketika perceraian terjadi. Perkawinan di bawah tangan dapat
menimbulkan persengketaan dikarenakan tidak adanya bukti-bukti akta
surat pernikahan yang menguatkan dalam menuntut hak di Pengadilan
Agama.
Kemudian adalah penelitian A. Syaadzali dengan judul
Mahalnya Biaya Pernikahan Sebagai Faktor Pemicu Nikah Di Bawah
Tangan (Studi Kasus di KUA Kecamatan Benda Tangerang) UIN Syarif
Hidayatullah tahun 2006. Syaadzali menjelaskan dengan mahalnya biaya
pernikahan sebagai faktor mendorong seseorang melakukan nikah di
bawah tangan. Penelitian ini hanya membahas dengan mahalnya biaya
44
Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Direktorat Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Depag RI, 1921), 131.
23 | P a g e
sebagai pemicu seseorang melakukan nikah di bawah tangan, tidak ada
perbandingan hukumnya.
Siti Jubaedah dengan judul Praktek Nikah Sirri Ditinjau dari
Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 (Studi Kasus
Desa Lengkong) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2006. Penelitian ini
berisikan bahwasanya nikah sirri tidak mempunyai kekuatan hukum bila
ditinjau dari Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tetapi mempunyai
keabsahan menurut hukum Islam. Penelitian mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah, Hukum Pengulangan Nikah Sirri, Perspektif Hukum Islam
Dan Hukum Positif (Studi Kasus Masyarakat Kedoya Kebon Jeruk),
UIN Syarif Hidayatullah 2006. Penelitian ini menjelaskan mengenai
pengulangan nikah sirri yang dilakukan oleh masyarakat Kedoya
menurut hukum Islam dan hukum positif. Hukum pengulangan akad
yang disebabkan oleh nikah sirri menurut hukum Islam dan hukum
positif.
Selanjutnya adalah penelitian Ahmad Zulfahmi dengan judul
Realitas Nikah Sirri (Studi Empiris Masyarakat di Wilayah Kelurahan
Kebon Jeruk Jakart Barat) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2010.
Penelitian ini menjelaskan mengenai pandangan masyarakat di wilayah
kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat terkait praktek nikah sirri saling
berbeda pandangan. Ada yang memandang pernikahan sirri itu sah dan
diperbolehkan asalkan sesuai syariat Islam. Namun ada pula sebagian
masyarakat yang menganggap hal itu tidak diperbolehkan sekalipun
dalam proses pelaksanaannya sesuai dengan syariat Islam. Karena
pernikahan tersebut telah melanggar ketentuan hukum perkawinan.
Bahkan dalam pandangan KUA terhadap pernikahan sirri adalah tidak
membolehkan serta merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang
Perkawinan dan dapat dikenakan sanksi pidana.
Beberapa hasil kajian terdahulu di atas yang berhasil penulis
identifikasi secara garis besar menunjukkan pola pandang yang sektoral
pada masalah perkawinan sirri sebagian memfokuskan pada aspek
hukum semata. Namun penelitian yang secara khusus menggali masalah
perkawinan sirri dari tinjauan sosiologis, yuridis dan filosofit serta
akibat hukumnya sejauh ini belum penulis temukan. Oleh karena itu,
diketahui bahwa fokus kajian tesis ini memiliki perbedaan dengan kajian
terdahulu dalam beberapa aspek yaitu:
24 | P a g e
a) Penelitian ini secara eksplisit akan menjawab masalah
perkawinan sirri menurut perspektif perundang-undangan dan
hukum Islam, yang pada umumnya bersifat argumentatif.
b) Penelitian ini memunculkan aspek kesadaran hukum dan
ketaatan hukum sebagai sebuah faktor yang menyebabkan suatu
kodifikasi dan unifikasi hukum dapat dilaksanakan oleh seluruh
publik secara sadar dan sukarela, kesadaran dan kepatuhan
hukum masyarakat. Dalam konteks ini memiliki keterkaitan
yang cukup erat dengan materi dan substansi hukum dan
perundang-undangan tersebut.
c) Pembahasan permasalahan dalam penulisan karya ilmiyah ini
menggunakan paradigma fakta sosial. Karena permasalahan
yang dibahas menyangkut struktur sosial (social structure).
Teori hukum yang digunakan sebagai acuan adalah teori social
engginering, karena pembahasan ini menyangkut tentang pola
pikir dan gaya hidup masyarakat dalam menyikapi perkawinan
dan perceraian di bawah tangan dalam hubungan dengan fakta
sosial.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris (yuridis empiris). Karena penelitian ini adalah penelitian hukum empiris, maka
data yang digunakan penulis akan diperoleh langsung melalui wawancara
dengan anggota masyarakat yang melakukan pernikahan sirri di desa
Tajur dan pihak-pihak terkait. Tujuannya adalah untuk mengetahui
sampai sejauhmana implementasi dari Undang-Undang Perkawinan
khususnya mengenai pencatatan perkawinan.
1. Jenis Penelitian
Pada dasarnya tipe penelitian yang digunakan dalam tesis ini
merupakan perpaduan antara penelitian yang bersifat eksplanatoris dan
penelitian yang berbentuk preskriptif.45
Penelitian yang bersifat
eksplanatoris adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan
atau menjelaskan lebih dalam tentang suatu gejala hukum yang terjadi di
masyarakat. Penelitian preskriptif memiliki tujuan untuk memberikan
jalan keluar atau solusi atau saran untuk mengatasi permasalahan yang
45
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press,
1986), 52.
25 | P a g e
ada di masyarakat sebagai dampak perkembangan hukum sebagaimana
dijelaskan di dalam penelitian eksplanatoris.46
2. Sumber Data
Pada penelitian hukum empiris, maka yang diteliti pada awalnya
adalah data sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian
terhadap data primer. Data primer adalah data yang diambil secara
langsung dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan data penelitian yang
sedang dilakukan.
Selain itu, penelitian ini menggunakan jenis data sekunder, yaitu
data yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan dan dokumen yang
terdiri dari:
a) Bahan hukum primer yang meliputi norma dasar, peraturan
perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden,
yang merupakan bahan utama sebagai dasar landasan hukum
yang berkaitan dengan masalah pernikahan sirri, yaitu Peraturan
Perundang-undangan yang terdiri dari Undang-Undang Nomor
1/1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 22/1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk, Undang-Undang
Nomor 32/1954 tentang perluasan berlakunya Undang-Undang
Nomor 22/1946 untuk seluruh wilayah Indonesia, Peraturan
Pemerintah Nomor 9/1975 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, serta peraturan perundang-undangan
lainnya yang terkait dengan masalah tersebut.
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat dijadikan
landasan teori untuk menjelaskan bahan primer,47
bahan-bahan
yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan
isi bahan primer beserta implementasinya, bahan-bahan sekunder
yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari buku-buku
hukum serta buku-buku umum menyangkut masalah yang
sedang diteliti, artikel-artikel, laporan penelitian, makalah, tesis,
disertasi, jurnal ilmiah, tulisan para ahli hukum, hasil seminar,
dokumen yang berasal dari internet dan bahan hukum lainnya
yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.
c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
serta kejelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan
46
Sri Mamudji et al, Metode Penelitian dan Penelusuran Hukum
(Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), 4. 47
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2013), 13.
26 | P a g e
sekunder, berupa kamus Bahasa Indonesia dan ensiklopedi untuk
memperoleh definisi-definisi, istilah yang berkaitan dengan
penulisan ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pemilihan wilayah di desa Tajur adalah karena desa tersebut
merupakan tempat kelahiran dan tempat penulis mengenyam pendidikan
di tingakat Sekolah Dasar. Selain itu keluarga masih banyak yang
tinggal di Bogor. Sehingga mereka dapat membantu kelancaran penulis
dalam melakukan penelitian. Di samping itu informasi dari beberapa
pihak masih ada orang yang melakukan kawin cerai berkali-kali secara
sirri di lingkungan tersebut.
Pemilihan wilayah di desa Tajur adalah karena melihat
masyarakat yang khusus tinggal di desa Tajur jalan Tanuwijaya banyak
yang melakukan kawin cerai berkali-kali secara sirri. Oleh karena itu
penulis tertarik untuk meneliti apa yang menyebabkan mereka itu sering
melakukan kawin cerai secara sirri tersebut.
a) Studi kepustakaan (analisa normatif). Sumber data utamanya
adalah Undang-Undang Perkawinan, Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam dan wawancara
dengan pihak terkait. Dalam hal ini adalah para pelaku nikah
sirri dan amil yang ada di desa Tajur untuk mengetahui sampai
sejauh mana masyarakat mengetahui dan memahami mengenai
pentingnya pencatatn perkawinan. Selain itu.
b) Data diperoleh juga dari Kantor Kelurahan Tajur, Kecamatan
Bogor Timur Kabupaten Bogor. Khususnya mengenai Topografi
dan kondisi objektif masyarakatnya. Adapun sumber data untuk
penelitian ini adalah. Pertama, pihak pemerintah setempat,
dalam hal ini perangkat desa yang terkait dengan masalah
kependudukan, pembinaan mental masyarakat, kondisi ekonomi,
kondisi pendidikan dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh informasi yang sebanyak-banyaknya dan seakurat
mungkin tentang kondisi masyarakat di daerah Tajur Bogor. Kedua, seorang amil yang banyak mengetahui dan menikahkan
sirri warga masyarakat di desa Tajur. Ketiga, anggota
masyarakat yang melakukan perkawinan sirri dan mereka yang
pernah bercerai secara sirri.
c) Analisa data yang merupakan upaya yang dilakukan untuk
mengklasifikasi dan mengelompokkan data.
Setelah bahan-bahan tersebut terkumpul, dilakukan sebuah
analisis data dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif. Hal ini
27 | P a g e
dilakukan untuk memperoleh data yang lebih komprehensif, mendalam,
kredibel dan bermakna yang menghasilkan data deskriptif analitis.
Sebuah penjelasan yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang
bersangkutan secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata.48
Selain menggunakan tehnik deskriftif analisis, penelitian ini juga
diperkuat dengan menggunakan tehnik analisis interaktif sebagaimana
yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman. Siklus interaktif adalah
suatu kerja analisis yang saling mempengaruhi satu sama lain atau
pengaruh timbal balik. Proses ini dilakukan selama penelitian ditempuh
melalui serangkaian proses reduksi data, penyajian data, dan verifikasi
data atau penarikan kesimpulan.49
4. Teknik Analisa Data
Wawancara yang dilakukan secara mendalam terhadap
responden direkam dengan tape recorder yang berlangsung sangat
variatif dalam rentang waktu tiga puluh menit sampai dengan satu jam.
Wawancara umumnya dilakukan di tempat kediaman para pelaku nikah
sirri. Untuk penelitian yuridis, data berupa naskah Undang-Undang
Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi
Hukum Islam, dan berbagai data dokumenter lainnya akan dianalisis
melalui analisa isi (content analysis).
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibuat agar memenuhi syarat karya
ilmiah dalam penyusunan tesis ini. Diperlukan suatu sistimatika agar
pembahasan menjadi terarah. Sehingga apa yang menjadi tujuan
pembahasan ini dapat dijabarkan dengan jelas. Penulis membagi
pembahasan ini kedalam lima bab yang terdiri dari.
Bab Pertama, pendahuluan yang meliputi: latar belakang
masalah, permasalahan (pembatasan masalah, rumusan masalah,
identifikasi masalah). Selanjutnya adalah terdahulu yang relevan, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian yang meliputi jenis
penelitian, sumber data, sampel dan tehnik pengambilannya serta
pengolahan data. Selanjutnya sub bab yang terakhir adalah dan
sistimatika penulisan.
Bab kedua, pembahasan mengenai tinjauan nikah sirri dalam
perspektif undang-undang. Merupakan bab yang membahas mengenai
pengertian umum tentang perkawinan. Dalam sub bab ini terdiri dari
48
Sri Mamudji, Metode Penelitian dan Penelusuran Hukum, 67. 49
Miles dan Huberman, Quality Data Analysis (California: Sage
Publication, 1994), 32.
28 | P a g e
perkawinan menurut undang-undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
tujuan melakukan perkawinan.
Selanjutnya adalah sub bab mengenai dalil hukum perkawinan
menurut al-Qur’an, hadits dan ijma’ serta perkawinan menurut undang-
undang Perkawinan. Berikutnya adalah syarat sahnya perkawinan
menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), menurut undang-undang
perkawinan dan hukum melakukan perkawinan. Adapun sub bab
berikutnya membahas tentang pencatatan perkawian dan pengertian
nikah sirri. Pembahasan dalam bab ini meliputi latar belakang terjadinya
perkawinan sirri, hukum nikah sirri di Indonesia serta dampak positif dan
negatif dari pernikahan sirri.
Bab ketiga menguraikan gambaran umum tentang kondisi
masyarakat Kelurahan Tajur Kecamatan Bogor Timur. Penjelasan dalam
bab ini menjelaskan tentang deskripsi wilayah Bogor Timur yang
meliputi kondisi geografis, struktur pemerintahan Kelurahan Tajur dan
susunan kepengurusan. Sub bab kedua menjelaskan tentang deskripsi
demografi Kelurahan Tajur yang meliputi penduduk, keagamaan dan
pendidikan. Pembahasan selanjutnya adalah tentang sosial dan ekonomi
masyarakat Tajur.
Bab keempat, membahas mengenai analisis praktek dan akibat
pernikahan sirri yang dibagi dalam beberapa sub bab. Pertama, pernikahan sirri dalam analisis sosiologis. Kedua, perkawinan sirri dalam
analisis yuridis. Ketiga, perkawinan sirri dalam analisis filosofis.
Keempat, kedudukan akta dalam perundang-undangan. Keempat, kedudukan akta nikah dalam perundang-undangan. Kelima, Pendapat
para pelaku nikah sirri. Keenam, akibat hukum yang ditimbulkan dari
perkawinan sirri yang meliputi akibat hukum terhadap suami isteri,
akibat hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan sirri serta akibat
hukum terhadap harta kekayaan.
Bab kelima, penutup yang berisi kesimpulan, sara-saran, indeks,
daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar riwayat hidup.