Post on 10-Dec-2014
description
SUMBER DAN PRINSIP HUKUM ISLAM
Disusun Oleh :
ARGHYA NARENDRA DIANASTYA (111510501105)
(Mahasiswa Penerima Beasiswa Unggulan S-1 PS. Agroteknologi Fakultas Pertanian
UNEJ)
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGIFAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS JEMBER
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Islam berisi aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan
allah , manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam. Agama islam yang diturunkan
Allah SWT kepada semua nabi mengajarkan aqidah yang sama, yaitu tauhid atau
mengesakan Allah SWT. Islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad adalah wahyu
Allah terakhir yang diturunkan kepada manusia. Oleh karena itu, agama tersebut sudah
sempurna dan senantiasa sesuai dengan tingkat perkembangan manusia1.
Islam adalah agama dan cara hidup yang berdasarkan syari’at Allah yang terkandung
dalam al-Qur’an dan sunnah rasulullah SAW. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Yusuf
Qardhawi, syari’ah Ilahi yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Assunnah merupakan dua pilar
kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang
mempunyai hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan. Islam ini idealnya
tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba
mencakup. Sehingga, di dalam Agama islam terdapat Sumber dan prinsip-prinsip hukum
islam.
Hukum Islam memiliki suatu sistem. Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling berkaitan. Bagian-bagian tersebut berasal dari suatu sumber, yaitu
sumber hukum islam. Sumber hukum islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam.
Sumber hukum islam disebut juga dengan istilah dalil hukum islam atau pokok hukum islam
atau dasar hukum islam. Dilihat dari sumber-sumber hukumnya, sumber hukum islam
merupakan konsepsi hukum islam yang berorientasi kepada agama dengan dasar doktrin
keyakinan dalam membentuk kesadaran hukum manusia untuk melaksanakan syari’at.
Sumber hukumnya merupakan satu kesatuan yang berasal dari firman Allah SWT yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Diriwayatkan pada suatu ketika Nabi mengutus sahabatnya ke Yaman untuk menjadi
Gubernur disana. Sebelum berangkat Nabi menguji sahabatnya Mu’as bin Jabal dengan
menanyakan sumber hukum yang akan dipergunakan kelak untuk memecahkan berbagai
masalah dan sengketa yang dijumpai di daerah tersebut. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu’as
1 Suryana, A. Toto dkk.1996.Pendidikan Agama Islam.Bandung.Tiga Mutiara:29
dengan mengatakan bahwa dia akan mempergunakan Qur’an, sedangkan jika tidak terdapat
di Qur’an, dia akan menggunakan Hadist. Namun, jika tidak ditemukan di hadist maka dia
akan mempergunakan akal dan akan mengikuti pendapatnya itu. Berdasarkan Hadist Mu’as
bin Jabal dapat disimpulkan bahwa sumber hukum Islam ada tiga, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah
Rasul dan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
Melalui makalah ini, diharapkan kita bisa memahami lebih dalam tentang sumber dan
prinsip hukum Islam, sehingga kan memudahkan kita dalam berijtihad.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan Al Qur’an , Hadist , dan Ijtihad ?
2. Apa saja prinsip-prinsip hukum Islam ?
3. Apa tujuan akhir dari syariat Islam ?
1.3. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu :
1. Untuk menambah pengetahuan tentang sumber dan prinsip hukum Islam,
2. Untuk mengetahui sumber dan prinsip-prinsip hukum Islam,
3. Untuk mengetahui tujuan akhir dari Syariah Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Al Qur’an , Hadist dan Ijtihad
2.1.1 Al Qur’an
Al Quran berasal dari kata Qara’a yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca.
Secara terminilogis, Al-Quran adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi terakhir
Muhammad SAW. melalui perantaraan malaikat Jibril, tertulis dalam mushaf dan
disampaikan kepada manusia secara mutawatir, bernilai ibadah membacanya, diawali dengan
surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas2.
Al-Qur’an memiliki makna yang berarti buku yang dibaca atau buku yang mestinya
dibaca atau apabila dihubungkan dengan kepercayaan Islam berarti buku yang selamanya
akan tetap dibaca. Mengenai bacaan Al-Qur’an, timbul suatu cabang ilmu yang terkenal
dengan nama Ilmu Tajwid yaitu ilmu yang menerangkan cara-cara membaca dan
menyuarakan tiap-tiap huruf maupun hubungannya setelah menjadi kata yang kemudian
bersambung menjadi ayat.
Menurut istilah Qur’an berarti kumpulan wahyu Allah yang diterima oleh Nabi
Muhammad SAW selama menjalankan kenabiannya memalui malaikat Jibril untuk
disebarluaskan kepada umat manusia. Dalam hal ini Allah swt berfirman :
Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
membacakannya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu
(QS. Al-Qiyamah (75) : 17-18).
Berdasarkan masa turunnya Al-Qur’an dibedakan menjadi dua masa:
a. Makiyah
Yaitu ayat-ayat yang turun selama Nabi Muhammad SAW. masih ada di kota
Mekah. Ciri-ciri ayat Makiyah yaitu:
1. Ayatnya pendek-pendek,
2. Ditujukan kepada seluruh umat manusia,
3. Belum membicarakan secara khusus mengenai hukum,
2 Suryana, A. Toto dkk.1996.Pendidikan Agama Islam.Bandung.Tiga Mutiara:39
4. Berisi penanaman kepercayaan kepada Allah serta membongkar sisa-sisa
kepercayaan syirik di masa jahiliyah.
b. Madaniyah
Yaitu ayat-ayat yang turun selama Nabi hijrah ke Madinah. Ciri-ciri ayat
Madaniyah yaitu:
1. Ayatnya panjang-panjang,
2. Ditujukan khusus kepada orang-orang yang telah beriman,
3. Sudah membicarakan secara khusus mengenai hukum,
4. Tidak saja berisi penanaman kepercayaan kepada Allah tetapi juga berisi hal-
hal yang berhubungan dengan hubungan antara umat manusia dan alam
sekitarnya.
Al-Quran adalah sumber hukum bukanlah kitab hukum atau lebih tepatnya bukan
kitab undang-undang dalam pengertian biasa. Sebagai sumber hukum ayat-ayat Al-Quran
tidaklah menentukan syariat sampai pada bagian kecil yang mengatur muamalat usaha
manusia.
Fungsi dan peran Al Qur’an :
a. Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia
Kehidupan manusia dibumi ini bertujuan untuk mencapai kebahagian. Setiap
orang memiliki penilaian tentang kebahagian yang hendak dicapainya yang sesuai
dengan pandangan dasarnya dalam melihat kehidupan. Al-Qur’an memberikan
petunjuk kearah pencapaian kebahagiaan, yaitu kebahagian didunia dan kebahagiaan
di akhirat. Kebahagian yang hendak dicapai bukanlah kebahagianan berdasarkan
pikiran pikiran manusia saja , melainkan kebahagiaan yang hakiki dan abadi.
Sebagaimana kebahagian abadi itu dicapai, Al-Qur’an memberikan petunjuk yang
jelas yaitu meletakkan seluruh aspek kehidupan dalam kerangka ibadah kepada
Allah3. Firman Allah :
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku” (QS.Adz.Dzariyat, 51:56)
Apabila hidup telah diletakkan dalam penghambaan yang mutlak kepada Allah,
maka ridha Allah akan turun dan kebahagiaan yang hakiki akan dapat dicapai.
3 Suryana, A. Toto dkk.1996.Pendidikan Agama Islam.Bandung.Tiga Mutiara:42
b. Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap segala sesuatu
Al Qur’an diturunkan Allah kemuka bumi untuk memberikan penjelasan
terhadap segala sesuatu, sehingga manusia memiliki pedoman dan arahan yang jelas
dalam rangka melaksanakan tugas hidupnya sebagai makhluk Allah4. Firman Allah :
Artinya : “Tiadalah kami alpakan sesuatu pun didalam Al – Kitab” (QS.AL-An’am,
6:38)I
Berdasarkan ayat diatas nampak bahwa Al-Qur’an berfungsi memberikan
penjelasan kepada manusia terhadap segala sesuatu yang dimaksud dengan segala
sesuatu bukanlah apa saja yang ada dimuka bumi ini dijelaskan oleh Al-Qur’an,
karena Al-Qur’an bukan kamus tetapi Al-Qur’an memberikan dasar-dasar yang
bersifat global dan mendasar, karena itu manusia didorong untuk menggembangkan
kemampuannya dalam menggali isi pesan yang terkandung di dalamnya5.
c. Al Qur’an sebagai Penawar Jiwa Yang Haus (syifa)
Al Qur’an berfungsi juga sebagai obat (penawar) bagi manusia, sebagaimana
firman Allah :
Artinya : “Dan Kami turunkan dari al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al Qur’an itu tidaklah menambah
kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (QS.Al- Isra’ , 17:82)
4 Suryana, A. Toto dkk.1996.Pendidikan Agama Islam.Bandung.Tiga Mutiara:435 Suryana, A. Toto dkk.1996.Pendidikan Agama Islam.Bandung.Tiga Mutiara:43
Syifa artinya obat, penawar atau penyembuh. Sasaran dari penyembuh ini
adalah hati yaitu memberikan penyembuhan terhadap segala penyakit hati yang
menjadikan manusia menderita sakit rohaniah6.
Kandungan-kandungan di dalam Al- Qur’an :
Isi pokok kandungan Al-Qur’an dikelompokkan menjadi 5 perkara, yaitu :
a. Tauhid
Tauhid merupakan hukum tentang keyakinan. Dalam Al- Qur’an mengandung
tuntunan yang mengajarkan keimanan kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat serta beriman kepada Qada dan
Qadar.
b. Ibadah
Hukum ibadah yang terkandung dalam Al- Qur’an antara lain ibadah shalat,
puasa, zakat dan haji. Ibadah merupakan hubungan manusia dengan Tuhan. Ibadah
adalah bukti bahwa manusia bersyukur atas anugerah yang diberikan Allah
kepadanya. Dengan ibadah akan memupuk rasa iman kepada Allah swt.
c. Al Wadu‟ Wal Wa‟id
Artinya adalah jani dan ancaman. Melalui Al- Qur’an Allah telah berjanji
kepada manusia yang beriman kepada-Nya dan mengikuti semua petunjuk Al- Qur’an
akan memberikan pahala kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan sebaliknya Allah swt
mengancam manusia yang mengingkari dan melanggar ketentuan-ketentuan yang
telah digariskan oleh Al- Qur’an dengan azab dan siksa yang pedih.
d. Petunjuk untuk memperoleh kebahagiaan
Dalam Al- Qur’an terkandung petunjuk yang dibutuhkan manusia dalam
interaksinya untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
e. Sejarah Umat Terdahulu
Al- Qur’an banyak mengisahkan sejarah kehidupan Nabi dan Rasul dalam
berdakwah, menegakkan agama Islam di tengah umatnya yang masih jahiliyah. Selain
itu, Al Qur’an juga mengisahkan sejarah orang-orang saleh seperti Ashabul Kahfi,
Lukman Hakim, sahabat-sahabat Rasulullah dan sebagainya.
Kedudukan Al-Qur’an :
6 Suryana, A. Toto dkk.1996.Pendidikan Agama Islam.Bandung.Tiga Mutiara:44
Al- Qur’an merupakan sumber hukum utama dalam Islam. Semua tuntutan dan larangan dalam
Al- Qur‟an harus ditatati oleh semua muslim dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Firman
Allah SWT :
Artinya : “Maka berpegang teguhlah kamu kepada(agama) yang telahdiwahyukan
kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus”( QS. Az-Zukhruf (43) : 43).
Kandungan Al- Qur’an mencakup semua aspek kebutuhan manusia yang ada di bumi ini,
maka tidak satupun yang tertinggal. Al- Qur’an telah memberikn dasar-dasar hukum. Hal ini terdapat
dalam firman Allah swt :
Artinya : “Tiadalah kami alpakan sesuatu pun didalam Al – Kitab” (QS.AL-An’am, 6:38)
Secara umum isi pokok Al Qur’an terdiri dari :
1. Pokok-pokok keyakinan atau keimanan yang kemudian melahirkan teologi atau ilmu
kalam,
2. Pokok-pokok aturan atauhukum yang melahirkan ilmu hukum, syariat, atau ilmu
fiqih,
3. Pokok-pokok pengabdian kepada Allah SWT,
4. Pokok-pokok aturan tingkah laku,
5. Petunjuk tentang tanda-tanda alam yang menunjukkan adanya Tuhan dari sini dapat
lahir ilmu pengetahuan,
6. Sejarah para nabi dan umat terdahulu7.
2.1.2 Hadist
Hadist menurut bahasa (etimologi), berarti khabar, jadid, dan qarib. Khabar artinya
berita, misalnya berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Jadid, artinya
baru, lawan dari qadim yang berarti lama. Qarib, berarti dekat atau belum lama terjadi8.
Hadist secara terminologis sinonim dengan sunnah. Keduanya diartikan sebagai
segala sesuatu yang diambil dari Rasulullah SAW sebelum dab sesudah diangkat dari
7 Suryana, A. Toto dkk.1996.Pendidikan Agama Islam.Bandung.Tiga Mutiara:478 Sulaiman, Noor.2008.Antologi Ilmu Hadist.Jakarta:Gaung Persada Press:1
menjadi Rasul. Akan tetapi, bila disebut kata hadist, umumnya setelah kenabian, baik berupa
sabda, perbuatan, maupun taqrir9.
dipakai sebagai segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasul SAWHadist sebagai
sumber Hukum Agama Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hampir seluruh umat islam telah
sepakat menetapkan Hadist sebagai salah satu undang-undang yang wajib ditaati, baik
berdasarkan petunjuk akal, petunjuk nash-nash Al-Qur’an maupun Ijma’ para sahabat.
kedudukannya sebagai Sumber Hukum dan disertai ragam kualitas periwayatannya, sangat
perpengaruh terhadap hasil ijtihad para ulama mujtahid di dalam menggali hukum. Setiap
orang yang mendalami madhab-madhab fiqih, maka akan mengetahui betaba besar pengaruh
Hadist di dalam penetapan hukum-hukum fiqihiyah. Tak heran jika kemudian para intelektual
Muslim ataupun Barat (Orientalis) terutama perdebatan mereka tentang keotentikan Hadist
nabi. Dan juga para ulama mulai dari para sahabat sampai ulama zaman sekarang sangat
bersungguh-sungguh dalam mengkaji hadist baik tentang periwayatanya ataupun memahami
isi kandungnganya dari ragam sudut pandang ilmu pengetahuan, seperti ilmu fiqih, aqidah,
akhlaq, tafsir dll.
Al-Qur’an telah mewajibkan ittiba’ dan menaati hukum-hukum dan peraturan-
peraturan yang disampaikan oleh beliau Nabi besar Muhammad Sholallohu ‘alaihi Wa
sallam, dalam beberapa ayat anatara lain:
�م� �اك آت : و�م�ا ) الحشر �ه�و �ت ف�ان �ه� ع�ن �م� �ه�اك ن و�م�ا ف�خ�ذ�وه� س�ول� �)7الر
Artinya : “Apa-apa yang disampaikan Rosululloh kepadamu, terimalah dan apa-apa yang
dilarangnya bagimu tinggalkanlah”.
النساء ( : �ه الل ب إ ذ�ن �ط�اع� ل ي �إ ال س�ول+ ر� م ن� �ا �ن ل س� ر�� أ )64و�م�ا
Artinya : “Dan kami tidak mengutus Rosul, malainkan untuk ditaati dengan izin Alloh”.
م�ر ه م� � أ م ن� ة� �ر� ي �خ ال �ه�م� ل �ون� �ك ي ن�
� أ ا م�ر3� أ �ه� ول س� و�ر� �ه� الل ق�ض�ى إ ذ�ا �ة+ م�ؤ�م ن و�ال� ل م�ؤ�م ن+ �ان� ك و�م�ا
) 36األحزاب( :
Artinya : “Tidak banyak bagi orang islam laki-laki dan perempuan apabila Alloh dan Rosul-
Nya telah menetapkan suatu perawinya menggunakan hak pilihannya”.
Dari segi kaitan Fungsinya terhadap Al-Qur’an hadist dapat ditetapkan :
a. Sebagai Mubayyin (penjelas) terhadap apa yang secara umum telah diungkapkan
dalam Al-Qur’an. Sebagaimana hadist tentang cara melakukan sholat dan Manasik
Hajji.Sebagaimana hadist Rosul:
" أصلي" رأيتموني كما صلوا
Artinya : “Sholatlah kamu sekalian, sebagaimana kalian melihat aku Sholat”.
9 Almanar Abduh.2011.Studi Ilmu Hadist.Jakarta:Gaung Persada Press:2
Dan juga bisa dibaca hadist Rosul:
مناسككم عني خذوا
Artinya : “Ambillah pelajaran dari-Ku, tentang pelaksanaan ibadah Hajjimu”.
b. Dalam berbagai hal yang Al-Qur’an telah memberikan keterangan baik secara rinci
maupun secara Ijma’, hadist merupakan sumber Hukum yang berdiri sendiri. Hal ini
terjadi pada kasus Qodho. Artinya pasa saat Rosulullah menetapkan keputusan hukum
umumnya keputusan hukum itu ditetapkan berdasarkan Ijtihad Rosul. Dengan
demikian maka Ijtihad Rosul tersebut adalah Sunnah /Hadist Rosul yang berdiri
sendiri.
c. Hadist sebagai dasar hukum melakukan Ijtihad, seperti yang maknanya tersirat pada
point nomor dua, yaitu bahwa Ijtihad Rosul sebagai uswah hasanahnya Rosul dalam
bidang Hukum. Rosulullah bersabda kepada Muadz bin Jabal ketika dalam dialognya
tentang “Bimaa Tahkum” salah satu jawaban Muadz “Ajtahidu Ro’yi”.(( ي� أ ر� �ه د� ت ج�
� أ
الله س�ول� ر� ب ه ض�ى �ر� ي ب م�ا وسلم عليه الله صلى الله س�ول ر� س�ول� ر� و�ف�ق� �ذ ي ال �ه ل ل �ح�م�د� ال
Artinya : “Segala puji bagi Alloh yang telah memberi taufiq pada utusan Rosulullah
dengan apa yang Rosulullah setuju”.
Hadist sebagai sumber kajian dalam Islam
Umat Islam sepakat menjadikan Hadist atau Sunnah Nabi yang meliputi perkataan,
perbuatan, dan juga ketetapannya sebagai sumber kajian dalam Islam atau populernya sebagai
Sumber Hukum Islam yang kedua. Dimana Hadist menjadi sumber bagi para Mujtahid untuk
menistinbatkan hukum Islam yang berkaitan dengan perbuatan Mukallaf. Adapun dalil atau
dasar yang dapat dibuat sebagai alasan tentang kehujjahan Hadist atau Sunnah diantarannya:
satu, tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk mentaati Nabi.
Bahkan, mentaati Nabi merupakan bukti ketaatan hamba terhadap Allah SWT. Diantara
firman Allah SWT tentang perintah mentaati Nabi dalam Surat an-Nisa’, 4:59:
ء+ ي� ش� ف ي �م� ع�ت �از� �ن ت ف�إ ن� �م� �ك م ن م�ر � األ� �ول ي و�أ س�ول� �الر ط يع�وا
� و�أ �ه� الل ط يع�وا� أ �وا آم�ن �ذ ين� ال Jه�ا ي
� أ �ا ي
و يال3 � �أ ت �ح�س�ن� و�أ Mر� ي خ� ذ�ل ك� خ ر اآل� �و�م �ي و�ال �ه ب الل �ون� �ؤ�م ن ت �م� �ت �ن ك إ ن� س�ول �و�الر �ه الل إ ل�ى دJوه� ف�ر�
(59النساء : )
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya”.
Dalam Surat an-Nisa’, 4:80 Allah SWT juga menegaskan:
ح�ف يظ3ا �ه م� �ي ع�ل �اك� �ن ل س� ر�� أ ف�م�ا �و�ل�ى ت و�م�ن� �ه� الل ط�اع�
� أ ف�ق�د� س�ول� �الر �ط ع ي م�ن�
Artinya : “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan
barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka”.
Dalam masalah hadist, maka hadist itu terbagi berbagai kelompok untuk melihat
kehujjahan hadist itu sebagaimana berikut:
1. Pengkelompokan Hadist Berdasarkan Jumlah Perawi
a. Hadist Mutawatir
Hadist Mutawatir adalah suatu hadist hasil tanggapan dari panca indera yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rowi yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat dusta. Dengan adanya pengertian ini dapat difahami bahwa
syarat untuk menentukan hadist mutawatir yaitu hadist diterima berdasarkan tanggapan
panca indra, jumlah perowinya harus mencapai ketentuan yang tidak mungkin mereka
bersepakat bohong. Mengenahi ketentuan jumlah perowi untuk memenuhi syarat tersebut
para muhadditsin berselisih pendapat. Adanya keseimbangan jumlah rawi-rawi pada
thobaqoh pertama dengan jumlah rawi-rawi pada thobaqoh berikutnya.
Pendapat lain Hadits Mutawatir secara terminologi hadits yang diriwayatkan
oleh rowi yang banyak dan tidak mungkin mereka mufarokat berbuat dusta pada hadits
itu, mengingat banyaknya jumlah mereka.
c. Hadist Ahad
Hadist Ahad adalah hadist yang jumlah rawi pada thobaqoh pertama, kedua,
ketiga dan seterusnya terdiri dari tiga orang atau dua orang atau bahkan seorang.
Haidts Ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua perowi, hadits Ahad
ini tidak memenuhi hadits mutawatir ataupun masyhur. Hadits ini tidak sampai pada
jumlah periwayatan hadits mashur. Imam syafi’I menyebut hasits ini dengan istilah
khusus, yaitu khobar al khas. Yang mana hadist ini dikelompokkan oleh ahli hadist
menjadi tiga bagian yaitu hadist Masyhur, Hadist ‘Aziz dan Hadist Ghorib.
c. Hadits Masyhur yaitu hadits yang memiliki jalur terbatas oleh lebih dua
perowi namun tidak mencapai batas mutawatir.
2. Pembagian Hadist berdasarkan Dasar Alasan Berhujjah
a. Hadits Shohih yaitu hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rowi yang adil,
sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’ilat dan tidak
janggal. Maksud dari adil yaitu selalu berbuat taat, menjahui dosa – dosa kecil,
tidak melakukan perkara yang menggugurkan iman.
b. Hadits Hasan, yaitu hadits yang dibnukikan oleh orang adil (tapi) tidak begitu
kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya yang tidak terdapat ilat serta
kejanggalan dalam matannya.
c. Hadits Dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shohih ataupun
syarat-syarat hasan.
d. Hadits Qutsiy sinonim dengan hadits Ilahiy yaitu setiap hadits yang mengandung
sandaran Rosululloh saw. kepada Alloh swt. Perbedaan antara hadits Qudsiy dan
nabawi yaitu bahwa hadits Nabawi yang terakhir dinisbatkan kepada Rosul saw.
dan diriwayatkan dari beliu, sedangkan hadits Qudsiy dinisbatkan kepada Allah
swt.
2.1.3 Ijtihad
Kata ijtihad (ar-ijtihad) berakar dari kata al-Juhd yang berarti al-taqhah (daya,
kemampuan, kekuasaan) atau dari kata al-Jahd yang berarti al masyqqah (kesulitan,
kesukaran). Dari ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna “badal al wus” wal
mahud” (pengerahan daya kemampuan), atau pengerahan segala daya kemampuan dalam
suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang sukar dan berat.
Dari pengertian kebahasaan terlihat dua unsur pokok dalam ijtihad, daya atau
kemampuan 2 objek yang sulit dan berat. Daya dan kemampuan disni dapat diklasifikasikan
secara umum, yang meliputi daya, fisik-material, mental-spiritual dan intelektual. Ijtihad
sebagai terminology keilmuan dalam Islam juga tidak terlepas dari unsur-unsur tersebut.
Akan tetapi karena kegiatan keilmuan lebih banyak bertumpu pada kegiatan intelektual, maka
pengertian ijtihad lebih banyak mengarah pada pengerahan kemampuan intelektual dalam
memecahkan berbagai bentuk kesulitan yang dihadapi, baik yang dihadapi individu maupun
umat manusia secara menyeluruh. Dalam rumusan definisi ijtihad yang dikemukakan ibnu
Hazm berbunyi;
“Ijtihad dalam syariat ialah pencurahan kemampuan dalam mendapatkan hukum suatu kasus
dimana hukum itu tidak dapat diperoleh”.
Dasar Hukum Ijtihad
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah atau metode untuk menggali sumber hukum
Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan
yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:
Adanya keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad di antaranya hadis yang
diriwayatkan oleh Umar yang artinya sebagai berikut :
Artinya:
Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua dan bila salah
maka ia mendapat satu pahala.
Syarat-syarat Ijtihad
Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-
syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Secara
umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai
berikut;
1. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik
menurut bahasa maupun syariah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya,
melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya
apabila ia membutuhkan. Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Ar-Razi membatasi ayat-
ayat hukum tersebut sebanyak lima ratus ayat.
2. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun
syariat. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup
mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia
membutuhkannya. Ibnu Hanbal dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi
berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat
karena hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda
3. Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang
menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan
menggunakan kamus hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan sanad
dalam hadis (Asy-Syaukani : 22)
4. Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-
kitab yang sudah masyhur kesahihannya, seperti Bukhari Muslim, Baghawi, dan lain-
lain
5. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan sunnah, supaya tidak salah
dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghapalnya. Di antara
kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam naskah dan mansukh adalah kitab
karangan Ibnu Khujaimah, Abi Ja’far an Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm dan lain-lain
6. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga
ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa dijadikan rujukan
diantaranya kitab maratiba al-ijma’ (ibn Hajm)
7. Mengetahui Qiyas dan berbagai persyaratannya serta istinbathnya
8. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa,
serta problematikanya
9. Mengetahui ushul fiqh yang merupakan fondasi dari Ijtihad.
10. Mengetahui maqoshidu asy-syariah (tujuan syariah) secara umum, atau rahasia
disyariatkannya suatu hokum
Macam-macam Ijtihad
Menurut Muhammad Taqiyu al-Hakim membagi ijtihad menjadi dua bagian, yaitu :
1. Ijtihad al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal tidak menggunakan
dalil syara’
2. Ijtihad syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’
Hukum Melakukan Ijtihad
1. Fardhu ain : bila ada permasalahan yang meminta dirinya, dan harus mengamalkan
hasil dari ijtihad-nya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain.Juga dihukumi fardhu
ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.
2. Fardhu kifayah : jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan
akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi
syarat sebagai seorang mujtahid
3. Sunnah : apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik di tanya atau tidak
4. Haram : apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara
qoth’i, sehingga hasil ijtihadnya bertentangan dengan dalil syara’.
Tingkatan Mujtahid
1. Mujtahid mustaqil : adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah
yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan madzhab.
2. Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid
mustaqil, namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti
metode salah satu imam.
3. Mujtahid muqoyyad / mujtahid takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab
imamnya
4. Mujtahid tarjih adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij,
tetapi mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-
dalilnya, cara memutuskan hukum dan lain-lain, namun kalau dibandingkan dengan
mujtahid di atas ia tergolong masih kurang.
5. Mujtahid fatwa : adalah orang yang hafal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam
madzhab, mampu menguasai persoalan yang sudah jelas maupun yang sulit, namun
dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah
dalam menetapkan qiyas.
2.2 Prinsip-Prinsip Hukum islam
1. Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua
manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan
dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari
firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan
hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya
kepada Allah sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh
terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan
hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-
Nya.Prinsip tauhid inipun menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai
dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Qur‟an dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak
menghukumi dengan hukum Allah, maka orang tersebut dapat dikateegorikan kedalam
kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S. ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan
47).Dari prinsip umum tauhid ini, maka lahirlah prinsip khusus yang merupakan kelanjutan
dari prinsip tauhid ini, umpamanya yang berlaku dalam fiqih ibadah sebagai berikut :
Prinsip Pertama : Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara — Artinya
bahwa tak seorang pun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang wajib di
sembah.
Prinsip Kedua : Beban hukum (takli’f) ditujukan untuk memelihara akidah dan iman,
penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs) dan pembentukan pribadi yang luhur — Artinya
hamba Allah dibebani ibadah sebagai bentuk/aktualisasi dari rasa syukur atas nikmat
Allah.
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu Azas kemudahan/
meniadakan kesulitan. Dari azas hukum tersebut terumuskan kaidah-kaidah hukum ibadah
sebagai berikut :
Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’ — yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib
dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya ;
Al-masaqqah tujlibu at-taysiir — Kesulitan dalam melaksanakan ibadah akan
mendatangkan kemudahan.10
2. Prinsip Keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/ moderasi).
Kata keadilan dalam al-Qur‟an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-mizan yang
berarti keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25.Term
„keadilan‟ pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja.
Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika
dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah
ditujukan bukan karena esensinya, seba Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan
tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan
tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat
membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.11
Penggunaan term “adil/keadilan” dalam Al-Quran diantaranya sebagai berikut :
10
11 A. Hanafie, MA., Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1993, cet. XII
QS. Al-Maidah : 8 — Manusia yang memiliki kecenderungan mengikuti hawa nafsu,
adanya kecintan dan kebencian memungkinkan manusia tidak bertindak adil dan
mendahulukan kebatilan daripada kebenaran (dalam bersaksi) ;
QS. Al-An‟am : 152 — Perintah kepada manusia agar berlaku adil dalam segala hal
terutama kepada mereka yang mempunyai kekuasaan atau yang berhubungan dengan
kekuasaan dan dalam bermuamalah/berdagang ;
1. QS. An-Nisa : 128 — Kemestian berlaku adil kepada sesama isteri ;
2. QS. Al-Hujrat : 9 — Keadilan sesama muslim ;
3. QS. Al-An’am :52 — Keadilan yang berarti keseimbangan antara kewajiban yang
harus dipenuhi manusia (mukalaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan
kewajiban tersebut.
Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam praktiknya dapat
berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang menyatakan elastisitas
hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip
keadilan, sesuai dalil yang artinya:
Artinya : Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyeempit maka menjadi luas;
apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.
Teori keadilan‟ teologi Mu‟tazilah melahirkan dua terori turunan, yaitu :
1. al-sala’h wa al-aslah dan
2. al-Husna wa al-qubh.
Dari kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :
1. Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan” —
perbuatan tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia
2. Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektif
sehingga dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik.
Demikian halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal
sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.
3. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang
baik dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam filsafat hukum Barat diartikan
sebagai fungsi social engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar didasarkan
pada QS. Al-Imran : 110, pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan
berdasarkan wahyu dan akal.12
12 A. Hanafie, MA., Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1993, cet. XII
4. Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam
disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi.
Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup
berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama
dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah
: 256 dan Al-Kafirun: 5).13
5. Prinsip Persamaan/Egalite
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-
Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas
manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan
pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti
tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.
6. Prinsip At-Ta‟awun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan
sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.
7. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak
terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya — tegasnya toleransi hanya dapat diterima
apabila tidak merugikan agama Islam.
Wahbah Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran penerapan ketentuan
Al-Qur‟an dan Hadits yang menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak
mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syari‟at ketentuan hukum Islam. Dan
lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja
tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana,
ketetapan peradilan dan lain sebagainya.
2.3 Tujuan Akhir Syariah
Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun oleh Tim Dirasah
Islamiyah dari Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan tujuan
utama dari Syariat Islam, yaitu:
13 Dr. H. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999, cet. I
1. Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)
Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab
yang hendak merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan kebebasan
untuk memilih agama, seperti ayat Al-Quran:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]: 256).
Akan tetapi, untuk terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin, maka
Allah SWT telah membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat musyrik dan
murtad:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang
mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisaa [4]:
48).
Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.14
2. Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)
Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah
hukum qishash yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang yang telah
membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang lain, akan
dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain, akan disakiti secara setimpal.
Dengan demikian seseorang akan takut melakukan kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan:
“Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash (pembalasan) pada
orang-orang yang dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).15
Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang bersangkutan,
atau daiat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran menerangkan hal ini:
“Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik
dan hendaklah (orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani karena para calon
pembunuh akan berpikir ulang untuk membunuh karena nyawanya sebagai taruhannya.
Dengan begitu, jiwa orang beriman akan terpelihara.
14 Pamator. 1999.Syariah dan Ibadah”. Tim Dirasah Islamiyah Universitas Islam : Jakarta15 Pamator. 1999.Syariah dan Ibadah”. Tim Dirasah Islamiyah Universitas Islam : Jakarta
3. Memelihara akal (Hifzh al-’aqli)
Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal manusia
dibutuhkan untuk memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah)
menuju manusia kamil. Salah satu cara yang paling utama dalam memelihara akan adalah
dengan menghindari khamar (minuman keras) dan judi. Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan
sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman keras) dan
judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa bermabuk-mabukan dan dosa
perjudian.16
4. Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)
Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam Syariat
Islam telah jelas ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja yang tidak boleh
dinikahi. Al-Quran telah mengatur hal-hal ini:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan
oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2).17
Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan emosional
(dengan disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.
5. Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)
Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih aman,
karena Islam mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki. Seperti yang
tertulis di dalam Al-Quran:
16 Pamator. 1999.Syariah dan Ibadah”. Tim Dirasah Islamiyah Universitas Islam : Jakarta17 Pamator. 1999.Syariah dan Ibadah”. Tim Dirasah Islamiyah Universitas Islam : Jakarta
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagaimana) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana”
(QS Al-Maidah [5]: 38).18
18 A. Hanafie, MA., Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1993, cet. XII
KESIMPULAN
1) Al-Quran, Al-hadist, dan Ijtihad merupakan dasar bagi kita dalam melakukan sesuatu.
Apabila suatu peraturan tidak ada di dalam Al-Quran, maka ditentukan oleh Al-Hadist
ataupun Ijtihad.
2) Prinsip-prinsip dalam ijtihad yaitu prinsip tauhid, kebebasan, keadilan, amar makruf
nahi mungkar, toleransi, atta’wun, dan persamaan.
3) Tujuan akhir syariat islam antara lain : Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-
din), Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi), Memelihara akal (Hifzh al-’aqli), Memelihara
keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli), Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)
DAFTAR PUSTAKA
Almanar, Abduh.2011.Studi Ilmu Hadist.Jakarta: Gaung Persada Press
Hanafie, A.1993.Ushul Fiqh.Jakarta: Widjaya
Pamator. 1999.Syariah dan Ibadah. Jakarta: Tim Dirasah Islamiyah Universitas Islam
Sulaiman, Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadist. Jakarta: Gaung Persada Press
Suryana, A. Toto dkk.1996.Pendidikan Agama Islam.Bandung.Tiga Mutiara:
Syafe’i, Rachmat.1999.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka Setia