Post on 10-Jun-2019
GFSI
Keterjangkauan
Ketersediaan
Kualitas & Keamanan
PendapatanPer KapitaNegara
Peringkat
Nilai
Peringkat
Nilai
Peringkat
Nilai
Peringkat
Nilai
Singapura
2
88.2
1
80.0
11
78.9
13 84.6
53.274
Malaysia
34
69.0
40
68.1
29
69.2
36 70.4
10.073
Tiongkok
42
64.2
50
61.0
39
65.2
38 69.3
8.280
Thailand
52
60.0
46
63.4
57
58.6
61 58.6
5.246
Vietnam
65
53.4
69
48.9
52
58.4
69 50.7
2.170
India
68
50.9
72
47.4
58
56.1
79 45.3
1.688
Filipina 72 49.4 73 44.4 66 53.4 68 50.8 2.951
Indonesia 74 46.7 74 44.3 72 51.2 88 40.1 3.415
Myanmar 78 44.0 92 29.0 64 54.3 65 42.9 1.268
Kamboja 96 34.6 91 30.3 101 39.1 98 32.8 1.139
Meningkatkan kapasitas produksi pangan domestik, terutama melalui pembangunan infrastruktur pertanian (pembukaan lahan, fasilitas irigasi) dan R&D, dan secara bertahap mulai mengurangi anggaran subsidi pupuk yang terbukti kurang efektif untuk melindungi kesejahteraan petani.
Perlu dikaji ulang kebijakan impor pangan yang tidak berdasarkan pembatasan dan penjatahan, karena rawan untuk dipolitisasi dan menjadi sumber korupsi dan rente ekonomi. Kebijakan penerapan bea masuk impor dapat menjadi alternatif, mengingat Indonesia masih dapat menerapkan bea masuk yang cukup tinggi.
Mempertimbangkan dengan serius impor pangan sebagai alternatif instrumen stabilisasi harga pangan. Indonesia tidak boleh bergantung terhadap impor, tetapi juga tidak perlu tertutup sama sekali. Saat ini peran impor pangan sangat krusial dalam mencapai ketahanan pangan di Indonesia, terutama dengan kondisi pasokan domestik yang belum memadai dalam kuantitas maupun kualitas.
Melakukan perbaikan pada desain dan implementasi kebijakan intervensi melalui Operasi Pasar, dengan berdasarkan data yang akurat, agar lebih efektif dalam stabilisasi harga pangan di pasar ritel.
Dalam UU 18 Tahun 2012 tentang Pangan, disebutkan
bahwa penyelenggaraan pangan oleh pemerintah
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia,
berdasarkan prinsip kedaulatan pangan, kemandirian
pangan, dan ketahanan pangan. Ketahanan pangan tidak
hanya berbicara mengenai ketersediaan pangan, tetapi
juga mengenai keterjangkauan harga pangan serta kualitas
dan keamanan pangan. Pemerintah berusaha untuk
menyeimbangkan kepentingan konsumen dan produsen
dalam setiap kebijakan pangan. Di saat yang sama,
pemerintah juga telah berusaha untuk meningkatkan
partisipasi produsen domestik dalam penyediaan pangan,
bahkan menargetkan swasembada untuk beberapa produk
pangan pokok seperti beras, jagung, dan kedelai.
Namun demikian, sejumlah indikator menunjukkan
buruknya kondisi ketahanan pangan di Indonesia. Dalam
Indeks Ketahanan Pangan Global (GFSI), misalnya, pada
tahun 2015 Indonesia berada di urutan 74, jauh di bawah
Malaysia (32), Thailand (52), Vietnam (65), dan Filipina
(72). Lebih jauh, kinerja Indonesia tergolong buruk pada
ketiga dimensi ketahanan pangan: ketersediaan (72),
keterjangkauan (74), serta kualitas dan keamanan (88).
Meskipun memiliki pendapatan per kapita yang cukup
tinggi, kondisi ketahanan pangan Indonesia lebih buruk
dibanding sejumlah negara lain dengan pendapatan per
kapita yang lebih rendah.
Kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia
Strategi Menuju Ketahanan Pangan Indonesia
Indeks Ketahanan Pangan Global (GFSI), 2015
Sumber: The Economist, 2015.
Untuk mencapai ketahanan pangan yang lebih baik, diperlukan
sejumlah faktor pendukung (enablers), antara lain infrastruktur
logistik yang efisien, kerangka regulasi serta kebijakan
perdagangan dan investasi yang mendukung, serta ketersediaan
data pertanian yang akurat untuk mendukung pengambilan
kebijakan pangan yang tepat. Keberadaan faktor pendukung
tersebut perlu dilengkapi dengan paradigma dan implementasi
kebijakan pangan yang tepat, terutama dalam dua dimensi
berikut: sisi penawaran dan sisi intervensi. Berikut adalah
sejumlah permasalahan kunci serta rekomendasi pada kedua
dimensi tersebut.
Sisi Penawaran
Tantangan utama pada sisi penawaran adalah untuk
meningkatkan kapasitas produksi pangan dalam negeri,
terutama dalam kondisi di mana laju pertumbuhan produksi
pangan nasional belum mampu mengejar laju pertumbuhan
permintaan pangan nasional, yang mengakibatkan seringnya
terjadi kelangkaan (dan akibatnya tingginya harga) pada
beberapa komoditas pangan kunci.
Saat ini terdapat setidaknya empat kendala kunci dalam
peningkatan kapasitas produksi pangan domestik. Pertama,
kurangnya ketersediaan lahan untuk bercocok tanam.
Penurunan secara konsisten pada luas lahan pertanian, yang
dikarenakan oleh peralihan fungsi lahan, telah menyebabkan
penurunan signifikan pada kapasitas produksi pangan domestik
(Erwidodo, 2014). Kedua, kapasitas produksi domestik juga
menurun karena intensitas panen dan tanam yang stagnan
dan bahkan cenderung berkurang, dikarenakan oleh kurang
memadainya fasilitas irigasi.
Ketiga, produktivitas lahan domestik tidak bertumbuh dengan
signifikan karena kurangnya alokasi anggaran untuk
penelitian & pengembangan (R&D), yang sangat krusial
untuk perbaikan teknologi pertanian serta meningkatkan
jumlah dan kualitas panen. Keempat, anggaran pemerintah di
sektor pertanian terlalu banyak diserap oleh subsidi pupuk
(mencapai Rp 39,48 triliun pada 2015) yang sebenarnya
kurang efektif dalam mendukung dan melindungi petani, dan
bahkan cenderung distortif. Pembangunan infrastruktur
pertanian baru (lahan padi, bendungan, fasilitas irigasi) serta
perbaikan infrastruktur yang telah ada, serta tambahan
anggaran untuk R&D dan penggunaan asuransi tanaman
pangan (crop insurance) akan lebih efektif bagi kesejahteraan
petani dan ketersediaan pasokan pangan yang memadai,
ketimbang subsidi pupuk (Erwidodo, 2016).
Dalam intervensi pangan domestik, instrumen Operasi Pasar
(OP) terbukti kurang efektif dalam stabilisasi harga pangan,
terutama beras. Akibatnya, harga beras Indonesia jauh lebih
tinggi dari harga beras dunia. Pada Februari 2016, tercatat harga
beras kualitas medium di Indonesia 78% lebih tinggi dari
Vietnam.
Kurang efektifnya instrumen OP untuk stabilisasi harga
disebabkan oleh beberapa hal berikut. Pertama, pelaksanaan OP
yang seringkali tidak mengikuti prosedur yang telah diatur oleh
Permendag No 4 Tahun 2012. Kedua, jumlah dan/atau kualitas
yang tidak tepat dalam penyaluran OP. BULOG seringkali tidak
memiliki ketersediaan pasokan dalam kuantitas dan kualitas yang
memadai. Akibatnya, persediaan yang menipis di BULOG
memicu tindakan spekulatif dari pedagang grosir, yang
kemudian meningkatkan harga ritel (Erwidodo, 2016). Ketiga,
OP tidak ditargetkan dengan baik, sehingga sering terjadi
penyalahgunaan oleh pedagang di tingkat daerah. Keempat, OP
sering tertunda karena persoalan ketersediaan pasokan dan
inefisiensi dalam proses distribusi, terutama karena kondisi
infrastruktur dan logistik dalam negeri (Bank Dunia, 2016).
Dalam intervensi pangan yang melibatkan perdagangan
internasional, saat ini terdapat paradigma di mana impor pangan
dianggap tidak baik bagi kepentingan nasional. Bahkan ada
persepsi umum, di mana keberhasilan kebijakan pangan
domestik diukur dengan tidak dibukanya keran impor.
Keinginan untuk tidak mengimpor pangan seringkali sangat
besar hingga mengorbankan ketahanan pangan Indonesia, di
mana terjadi kelangkaan dan kenaikan harga pangan di dalam
negeri, sehingga akhirnya merugikan masyarakat secara luas.
Selain itu, impor juga masih sangat diperlukan untuk mencukupi
kebutuhan industri makanan dalam negeri akan produk pangan
(seperti jagung, gula dan garam industri) dengan kualitas tinggi
yang belum bisa disediakan oleh produsen domestik. Industri
makanan olahan di Indonesia merupakan suatu industri yang
mempunyai potensi dan menyerap banyak tenaga kerja.
Ketersediaan pasokan bahan baku menjadi bagian penting dalam
meningkatkan kinerja industry tersebut.
Pembatasan impor pangan dengan ketat sering dijalankan
dengan alasan dapat meningkatkan insentif bagi petani dalam
memproduksi pangan domestik. Kenyataannya, disparitas harga
eceran dan harga produsen semakin membesar, sehingga
kenaikan harga hanya dinikmati oleh para pedagang dan
perantara. Akibatnya kebijakan yang restriktif tersebut tidak
efektif dalam mendorong pasokan pangan domestik. Kebijakan
perdagangan terkait pangan, yang umumnya berbentuk
monopoli impor dan pembatasan, juga terbukti tidak responsif
terhadap keadaan, tidak efektif dalam menstabilkan harga, dan
bahkan cenderung rawan terjadi rente ekonomi. Selain itu, tidak
ditetapkannya pemicu yang jelas dan berbasis data, mengenai
kapan dan berapa banyak impor perlu dilakukan mengakibatkan
kebijakan impor rawan dipolitisasi.
Sisi Intervensi
Sementara itu, pada sisi intervensi, pemerintah dapat
melakukan dua jenis intervensi untuk menstabilisasi harga
pangan di pasaran, yaitu melalui kebijakan Operasi Pasar dan
kebijakan impor pangan. Dalam hal ini, ada beberapa
paradigma yang perlu dikaji kembali.
Publikasi Tinjauan Kebijakan Ekonomi Indonesia ini merupakan hasil dari Aktivitas KEBIJAKAN EKONOMI DI INDONESIA yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) dengan melibatkan sejumlah peneliti yang kompeten dalam berbagai bidang kebijakan ekonomi