Post on 28-Dec-2015
SISTEM PERADILAN AGAMA DI INDONESIA DALAM ANALISIS SISTEM PERADILAN SATU ATAP
A. Pendahuluan
Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam
rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup agenda
penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari tingkat
pusat sampai ke tingkat pemerintahan desa, pembaharuan berbagai
perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari Undang-Undang Dasar
sampai ke tingkat Peraturan Desa, dan pembaharuan dalam sikap, cara
berpikir dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi
yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dengan perkataan lain,
dalam agenda reformasi hukum itu tercakup pengertian reformasi
kelembagaan (Institutional reform), reformasi perundang-undangan
(instrumental reform), dan reformasi budaya hukum (cultural reform).
Pembenahan sistem dan politik hukum sebagaimana yang dituangkan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 salah
satunya diarahkan pada kebijakan untuk memperbaiki struktur
(kelembagaan) hukum dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang
terbuka dan transparan, menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan
transparansi agara peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan
bahwa hukum dapat diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran.
Ketika Daniel S. Lev memberikan kata pengantar dalam bukunya, Islamic
Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions,
menyatakan bahwa Peradilan Agama di Indonesia yang tampak rapuh
ternyata tidak hanya tegak berdiri tetapi juga tumbuh lebih kuat, sedangkan
di beberapa negara Islam institusi hukum keagamaan banyak yang dibatasi
dan atau dihapus. Pandangan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa
Peradilan Agama itu dihadapkan pada berbagai kontraversi dan tantangan,
1 |
baik pada masa penjajahan maupun pada awal kemerdekaan. Namun
demikian, ia terhindar dari kerapuhan bahkan posisinya menjadi lebih kuat.
Dalam rentang waktu 35 tahun terakhir (1972-2008) Peradilan Agama
mengalami berbagai perubahan yang berarti. Perubahan itu antara lain
berkenaan dengan dasar hukum penyelenggaraan peradilan, kedudukan,
susunan, dan kekuasaannya. Bahkan mengalami lompatan ketika badan
Peradilan Agama berwenang menerima, memutuskan, dan menyelesaikan
perkara di bidang ekonomi syari`ah tanpa kontroversi. Sementara itu,
ekonomi syari`ah merupakan entitas baru dalam masyarakat Islam Indonesia.
Selanjutnya, ketika UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diundangkan Peradilan Agama
memiliki kedudukan yang kuat dan sejajar dengan peradilan lain, yakni
Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara,
sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Yang membedakan keempat
penyelenggara kekuasaan kehakiman itu ditentukan oleh bidang yirisdiksi
yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Namun demikian, pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama, dalam hal ini Pengadilan Agama, tidak
memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sebelum dikukuhkan
oleh Pengadilan Negeri (dalam lingkungan Peradilan Umum), sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 63ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Institusi pengukuhan itu baru dihapus ketika disahkan dan
diundangkan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Kedudukan dan kemandirian Peradilan Agama lebih kuat ketika diundangkan
UU Nomor 7 Tahun 1989. Selanjutnya hal itu lebih kuat lagi berdasarkan
ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen, “Penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
2 |
Ketentuan konstitusi itu ditindaklanjuti dengan UU Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman; kemudian UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU Nomor 9 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pergeseran
B. Paradigma Peradilan Agama
Setiap yang pernah mempelajari sejarah peradilan agama akan
mengetahui, politik kolonial sangat mengecilkan peradilan agama. Politik
mengecilkan tidak hanya dalam mengurangi yuridiksi, melainkan segala
syarat pengadilan yang layak ditiadakan; pengadilan agama tidak mandiri.
Semua putusan baru mempunyai kekuatan eksekusi kalau sudah disetujui
pengadilan negeri, yang dikenal dengan sebutan fiat eksekusi. Keadaan serba
kurang diperhatikan berlanjut terus setelah merdeka. Suatu ketika kantor
pengadilan agama menempati satu bagian masjid, berada dalam lingkungan
Kantor Urusan Agama, dan lain-lain keadaan yang serupa itu.
Keadaan berubah setelah ada UU Nomor 14 Tahun 1970. Pengadilan
ditempatkan sederajat dengan lingkungan badan peradilan lain. Pernah ada
kesalahan, karena UU Nomor 1 Tahun 1974 mencantumkan lagi pranata fiat
eksekusi. Hal ini kemudian dikoreksi oleh PP Nomor 9 Tahun 1975. Sejak saat
itu, tidak ada lagi praktek fiat eksekusi. Pranata tersebut benar-benar hapus
setelah ada UU Nomor 7 Tahun 1989. Hal itu menunjukkan tentang suatu
dinamika Peradilan Agama di tengah-tengah kehidupan masyarakat bangsa
Indonesia yang majemuk. Dinamika itu secara bertahab menuju ke arah
kemajuan. Ini terlihat dalam berbagai ketentuan UU Nomor 7 Tahun 1989
yang sarat dengan pergeseran paradigma dari “peradilan semu” yang
cenderung menampakkan diri sebagai instansi pemerintahan menjadi
pengadilan yang sesungguhnya (court of law), yang memiliki ciri: hukum
acara dan minutasi dilaksanakan secara benar, administrasi dilaksanakan
secara tertib, dan putusan dilaksanakan oleh pengadilan yang memutuskan
perkara. Atas perihal tersebut dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 mengandung
3 |
beberapa perubahan penting, bahkan terdapat beberapa ketentuan baru
yang mencirikan pergeseran paradigma tersebut, yaitu antara lain tentang:
1. Dasar Hukum penyelenggaraan peradilan.
Sebelum UU Nomor 7 Tahun 1989 diundangkan, dasar hukum
penyelenggaraan Peradilan Agama bervariasi. Sebagian merupakan
produk pemerintah kolonial Belanda, dan sebagian produk pemerintah
Republik Indonesia. Dasar hukum itu meliputi berbagai peraturan
perundang-undangan, yaitu: a) Peraturan tentang Pengadilan Agama di
Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad
Tahun 1937 Nomor 116 dan 610); b) Peraturan tentang Kerapatan Qadi
dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan-
Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639); dan c) Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar`iyah di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara
Tahun 1957 Nomor 99).
2. Kedudukan Pengadilan.
Sebelum berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 terdapat
ketidaksejajaran antara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
dengan pengadilan lainnya, khususnya antara Pengadilan Agama dengan
Pengadilan Negeri. Hal itu tercermin dengan adanya institusi pengukuhan
putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri. Berdasarkan UU
Nomor 7 Tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama sejajar dengan pengadilan dalam lingkungan Peradilan lainnya.
Ketentuan pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan
Negeri, dinyatakan dicabut. Dengan demikian, Pengadilan Agama
memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri yang
dilaksanakan oleh jurusita. Kejurusitaan merupakan institusi bari di dalam
susunan organisasi Pengadilan Agama.
4 |
3. Kewenangan Pengadilan
Menurut ketentuan Pasal 49 ayat (1), “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Isla; c. Wakaf dan shadaqah”. Hal itu
menunjukkan bahwa kewenangan pengadilan di Jawa-Madura
dikembalikan sebagaimana kewenangan yang berlaku sebelum tahun
1937. dengan perkataan lain, kewenangan pengadilan tersebut “lebih
luas” dibandingkan pada masa sebelumnya (1937-1989). Sedangkan
kewenangan Pengadilan Agama yang lainnya tidak mengalami
perubahan. Namun demikian, menurut PP Nomor 45 Tahun 1957
kewenangan tersebut (selain perselisihan antara suami dengan isteri)
berhubungan dengan”hukum yang hidup” diputus menurut hukum
agama Islam. Kini, pengganti “hukum yang hidup” itu adalah hukum Islam
sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum undang-undang
tersebut.
4. Kedudukan Hakim.
Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1), hakim diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri
Agama berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung. Hal yang sama
berlaku bagi hakim dalam lingkungan Peradilan Umum dan hakim dalam
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam menjalankan tugasnya,
hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan, terlepas dari
pengaruh pemerintah dan pengaruh pihak lainnya.
5. Hukum Acara
Menurut ketentuan pasal 54, “Hukum acara yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum Acara
Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
5 |
Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang
ini”. Hal itu menunjukkan bahwa hukum acara yang berlaku adalah
hukum tertulis. Di samping itu, adanya kekecualian dan kekhususan yang
diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989. kekhususan itu meliputi prosedur
cerai talak, cerai gugat, cerai dengan alasan zina, dan biaya perkara.
Sebelum berlakunya undang-undang tersebut, hukum acara yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama tersebar dalam
berbagai sumber, baik hukum tertulis maupun hukum tak tertulis.
6. Penyelenggaraan administrasi peradilan.
Dalam lingkungan Peradilan Agama terdapat dua jenis
administrasi, yaitu administrasi peradilan dan administrasi umum. Jenis
pertama berkenaan dengan administrasi perkara dan teknis yudisial.
Sedangkan jenis kedua berkenaan dengan administrasi kepegawaian,
keuangan, dan tata usaha. Oleh karena itu, di pengadilan terdapat dua
jenis jabatan pengelola kedua jenis administrasi itu. Secara keseluruhan
kedua jenis administrasi tersebut dikelola oleh panitera yang merangkap
sebagai sekretaris pengadilan. Secara khusus, administrasi peradilan
dikelola oleh wakil panitera; sedangkan administrasi umum dikelola oleh
wakil sekretaris. Sebelum berlakunya UU tersebut administrasi pada
pengadilan bercorak tunggal, dan dikelola oleh panitera kepala.
Selanjutnya, ketika dilakukan perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989
menjadi UU Nomor 3 Tahun 2006, juga terdapat beberapa perubahan. Hal
paling menonjol adalah bidang yurisdiksi yang diberikan kepada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal itu menunjukkan pergeseran
paradigma badan peradilan yang semula terbatas pada bidang domestik
(ahwal syakhshiyah) bergeser ke arah bidang yang lebih luas, yakni bidang
domestik dan publik (muamalah), terutama di bidang zakat, infak, dan
ekonomi syari`ah dalam suatu sistem peradilan satu atap. Pergeseran
paradigma itu berkonsekuensi terhadap perluasan subyek hukum, tidak
6 |
hanya orang tetapi juga badan hukum. Adapun tentang perubahan,
Zainuddin Fajari menginventarisasi 15 pasal yang mengalami perubahan
termasuk satu pasal sisipan.
Di antara perubahan tersebut yang cukup menonjol adalah sebagai
berikut. Pertama, tentang Peradilan Agama, yang didefinisikan sebagai “salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu”. Perkara tertentu dalam
ketentuan pasal 2, merupakan hasil perubahan dari Perkara Perdata
sebagaimana ketentuan UU Nomor 7 Tahun 1989. Hal itu memberi peluang
kepada pengadilan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
pidana (jinayah) sebagaimana menjadi kewenangan Mahkamah Syar`iyah di
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang menjadi bagian dalam lingkungan
Peradilan Agama.
Kedua, tentang pengkhususan pengadilan. Dalam pasal 3A, sebagai
sisipan antara pasal 3 dengan pasal 4, diatur, “dalam lingkungan Peradilan
Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan
Undang-Undang. Ketentuan ini dapat dihubungkan dengan ketentuan pasal
15 UU Nomor 4 Tahun 2004, “Peradilan Syari`ah Islam di Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan
Agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan
Agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan
umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan
Umum”.
Ketiga, tentang pembinaan dan pengawasan. Menurut ketentuan
pasal 5, “Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finasial
pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Sementara itu, menurut pasal
12, “Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh
Ketua Mahkamah Agung”. Ketentuan ini merupakan implementasi sistem
7 |
peradilan satu atap sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 35 Tahun
1999 yang kemudian diganti dengan UU Nomor 4 Tahun 2004.
Keempat, tentang pengangkatan hakim. Menurut ketentuan pasal 15,
“Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung”. Ketentuan ini merupakan salah satu konsekuensi dari
sistem peradilan satu atap yang melepaskan keterlibatan Menteri Agama
dalam proses pengangkatan dan pemberhentian hakim.
Kelima, tentang kewenangan pengadilan. Menurut ketentuan pasal
49, “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: a) perkawinan; b) waris; c) wasiat; d) hibah; e)
wakaf; f) zakat; g) infaq; h) shadaqah; dan i) ekonomi syari`ah. Berdasarkan
pada sembilan tugas peradilan agama tersebut terdapat paradigma baru
dalam lingkungan peradilan agama, yaitu pengaturan tentang tugas peradilan
agama dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari`ah. Dalam
penjelasan undang-undang ini dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
ekonomi syari`ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip-prinsip syari`ah, antara lain meliputi: Bank syari`ah, lembaga
keuangan mikro syari`ah, asuransi syari`ah, reasuransi syari`ah, reksadana
syari`ah, obligasi syari`ah dan surat berharga berjangka menengah syari`ah,
sekuritas syari`ah, pembiayaan syari`ah, dana pensiun lembaga keuangan
syari`ah, dan bisnis syari`ah. Apa yang terkandung dalam ketentuan di atas,
selain memperluas kompetensi absolut pengadilan, juga menghapus
ketentuan tentang pilihan hukum sebagaimana dimuat dalam Penjelasan
Umum UU Nomor 7 Tahun 1989.
Keenam, tentang sengketa hak milik. Menurut ketentuan pasal 50
ayat (2), “Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam,
obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama
8 |
perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49”. Ketentuan ini selain
menambah keluasan kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama juga mempertegas kemandiriannya, terutama dalam menyelesaikan
sengketa hak milik atau sengketa lain di kalangan orang-orang yang
beragama Islam.
Ketujuh, tentang itsbat kesaksian rukyat hilal. Menurut ketentuan
pasal 52A, “Pengadilan Agama memberi itsbat kesaksian rukyat hilal dalam
penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”. Ketentuan ini dapat dipandang
sebagai penyambung matarantai hubungan antara pengadilan dengan
Departemen Agama, yang secara historis lahir dan dibesarkan oleh dan
dalam Departemen itu meskipun yang diatur hanya aspek peradilannya saja.
Atas perihal tersebut, dalam penjelasan pasal itu dinyatakan, “selama ini
Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan
penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau
menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal
bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan
penetapan secara nasional untuk penetapan penanggalan 1 (satu) Ramadhan
atau 1 (satu) Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau
nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu
sholat”.
Perubahan-perubahan tersebut memiliki dimensi ganda. Pertama,
sebagai peluang bagi badan Peradilan Agama untuk melaksanakan tugas
utamanya secara maksimal sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi para pencari keadilan. Kedua, sebagai tantangan untuk melengkapi
berbagai kebutuhan yang dapat mendukung berfungsinya pengadilan
tersebut. Berkenaan dengan dimensi kedua ini, terdapat tuntutan kebutuhan
internal dan eksternal agar pengadilan dapat menjalankan fungsinya secara
maksimal. Pertama, kebutuhan atas ketersediaan hukum substantif di bidang
ekonomi syari`ah. Penyusunan dan perumusan hukum substantif ini dapat
9 |
dikatakan mudah tapi sulit. Mudah, karena relatif netral dan penggunaannya
terbatas. Tidak sepeka hukum keluarga, apalagi hukum kewarisan yang akan
berbenturan dengan sistem kekerabatan yang dianut oleh berbagai
kelompok etnis. Sulit, karena ekonomi syari`ah belum menjadi entitas yang
ajeg dalam masyarakat Islam Indonesia yang sebagian besar komunitas
pedesaan dan berada dalam pengaruh mazhab Syafi`i. Oleh karena itu,
penyusunan dan perumusan membutuhkan waktu yang memadai, termasuk
untuk memilih instrumen hukum yang dapat menghindarkan gejolak. Dalam
konteks ini, apa yang tersurat dalam Majallah al-Ahkam al-`Adliyah dapat
dijadikan salah satu referensi meskipun bermazhab Hanafi.
Kedua, manakala hukum substantif itu telah dirumuskan
membutuhkan sosialisasi secara maksimal, terutama di kalangan masyarakat
yang membutuhkannya. Sosialisasi hukum, ini relatif agak mudah karena
yang membutuhkannya terbatas terutama kalangan pelaku bisnis yang
terkonsentrasi di perkotaan. Atas perihal yang sama, sosialisasi hukum
perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan sebagaimana
terhimpun dalam Kompilasi Hukum Islam masih memerlukan sosialisasi
karena kepatuhan hukum masyarakat terkadang masih mendua.
Ketiga, berkenaan dengan kepatuhan hukum masyarakat menunjukkan
bahwa perkara yang diterima dan diputus pengadilan relatif menurun
ketimbang pada masa awal berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974. terdapat
indikasi “praktik peradilan” di luar pengadilan yang berada di luar jangkauan
peraturan perundang-undangan. Boleh jadi, norma lokal yang dipandang
sakral dijadikan rujukan dalam memecahkan sengketa dalam keluarga
terutama perceraian, yang menjadi perkara terbesar yang diterima dan
diputus oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Komposisi Peradilan Agama dalam Sistem Satu Atap
Wacana tentang peradilan satu atap telah muncul pada masa Orde Baru,
terutama bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Gagasan itu
10 |
muncul di kalangan praktisi hukum, terutama pengacara. Pengadilan itu
dibina dan diawasi oleh dua badan penyelenggara negara, yakni yudikatif dan
eksekutif. Pembinaan teknis yudisial oleh Mahkamah Agung, sedangkan
pembinaan organisasi, administrasi dan finansial oleh Departemen
Kehakiman (kini Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia). Hal itu
dipandang sebagai praktik pembinaan yang dualistis, yang dapat memecah
kebebasan dan kinerja pengadilan terutama hakim. Tugas fungsionalnya
dibina dan diawasi oleh Mahkamah Agung; sedangkan nasibnya ditentukan
oleh Pemerintah (Departemen Kehakiman).
Wacana itu semakin berkembang ketika muncul tuntutan reformasi
total sebagai respon terhadap krisis berbagai bidang. Reformasi itu bergulir
untuk merombak tatanan berbagai bidang kehidupan masyarakat bangsa,
termasuk ‘penyatuatapan’ pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama,
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Awal reformasi (1999)
dimulai dengan mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang pada
masa Orde Baru ditabukan. Atas perihal yang sama pada tahun itu disahkan
dan diundangkan sebanyak 56 buah undang-undang, termasuk UU Nomor 35
Tahun 1999 yang dijadikan dasar kebijakan peradilan satu atap.
Menurut ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 1999, “(1) Badan-
badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), secara
organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung”. Sedangkan menurut ketentuan pasal 11A ayat (1) dan
ayat (2), “(1) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama
5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku; (2) Pengalihan
organisasi, administrasi, dan finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak
ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Sebagai pelaksanaan kebijakan peradilan satu atap itu dilakukan
perubahan beberapa undang-undang yang produknya adalah UU Nomor 4
11 |
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (sebagai pengganti UU Nomor 35
Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman); UU Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung; UU Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; UU Nomor 9
Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara; dan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
C. Sistem Satu Atap
Dari sejumlah komentar mengenai makna satu atap sistem peradilan,
terkadang terkesan ada ketidak tepatan memahami cakupan sistem
peradilan satu atap. Untuk lebih memahami hal tersebut, perlu diperhatikan
dua fungsi utama pengadilan. Pertama, memeriksa, dan memutus perkara,
lazim juga disebut tugas mengadili. Dalam tugas memeriksa dan memutus
perkara termasuk tugas-tugas kepaniteraan dan kejurusitaan yang berkaitan
dengan fungsi memeriksa, memutus, dan melaksanakan putusan.
Melaksanakan putusan, yang lazim disebut eksekusi harus ditempatkan
sebagai satu rangkaian memeriksa dan memutus perkara. Suatu perkara baru
dianggap selesai kalau sudah dilaksanakan. Karena itu, dalam memutus
perkara seorang hakim harus memperhitungkan juga pelaksanaannya. Suatu
putusan yang tidak dapat dilaksanakan tidak bermanfaat bagi pencari
keadilan. Apalagi kalau suatu putusan malah melahirkan perkara baru.
Kedua, membina organisasi, menyelenggarakan administrasi keuangan dan
kepegawaian.
Fungsi pertama, lazim disebut sebagai fungsi yudisial (judicial
function). Ini yang disebut Montesquieu dan seterusnya sampai hari ini
12 |
sebagai kekuasaan kehakiman atau kekuasaan peradilan (judicial power). Di
manapun dan kapanpun hanya pengadilan yang mempunyai kekuasaan
mengadili atau kekuasaan memeriksa dan memutus perkara. Ada
kemungkinan suatu badan yang bukan badan peradilan tetapi menjalankan
fungsi peradilan, yang dalam dunia ilmu pengetahuan hukum (legal science)
disebut sebagai badan peradilan semu (quacy judicial, quasirechtspraak).
Karena biasanya kompetensi badan ini di lapangan hukum administrasi, maka
dalam khazanah hukum Belanda disebut “quasiadministratiefrechtspraak”.
Walaupun bersifat semu, harus dipenuhi syarat sebagai badan peradilan
yaitu harus independen. Adapula badan lain yang biasanya disebut “badan
kehormatan” atau “majelis kehormatan” atau “dewan kehormatan”. Badan
ini bukan penegak hukum, melainkan penegak etika. Penegakkan etika
adalah penegakkan disiplin. Sanksi etik adalah disiplin. Kadang-kadang kita
bercampur aduk antara penegak hukum dan penegak etika (disiplin). Tetapi
ada juga badan kehormatan sebagai forum pembelaan sebelum sanksi
hukum dijatuhkan, misalnya “majelis kehormatan hakim”. Badan-badan
administrasi dapat juga memutus yang bersifat menghukum seperti
“schorsing”, tetapi tidak bersifat mengadili, karena itu dapat digugat ke
pengadilan.
Kekuasaan kehakiman harus independen, lepas dari pengaruh
kekuasaan lain. Dalam kaitan dengan sistem satu atap, hal tersebut telah ada
dan dijalankan sejak Indonesia merdeka karena merupakan perintah UUD,
bahkan telah ada sejak masa kolonial. Hal ini menunjukkan sistem satu atap
untuk fungsi memeriksa dan memutus perkara, termasuk membuat
ketetapan, telah dijalankan pengadilan atas dasar ketentuan UUD dan
perwujudan salah satu asas negara berdasarkan hukum. Dengan demikian,
sistem satu atap yang dimulai UU Nomor 35 Tahun 1999, yang kemudian
diatur kembali dalam UU Nomor 4 Tahun 2004, hanyalah mengenai soal
keorganisasian, ketenagaan (kepegawaian) dan keuangan, bukan mengenai
13 |
kekuasaan kehakiman. Kalau demikian, mengapa satu atap dianggap penting
untuk menunjang independensi kekuasaan kehakiman? Barangkali hal ini
merupakan kasus khusus Indonesia dan beberapa negara lain seperti
Thailand, yang pernah mengalami kekuasaan kediktatoran yang
mempengaruhi kekuasaan kehakiman. Dibanyak negara, seperti negara
Eropa, bahkan Amerika Serikat, masalah organisasi, ketenagaan, dan
keuangan atau bagian tertentu dari urusan-urusan tersebut, dijalankan oleh
Pemerintah. Indonesia selama Orde Lama dan Orde Baru, mengalami
pengaruh Pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman melalui wewenang
keorganisasian, ketenagaan dan keuangan tersebut. Bahkan di masa Orde
Lama, diciptakan hukum (UU Nomor 19 Tahun 1964) yang memberi
wewenang kepada Presiden untuk mencampuri suatu proses peradilan yang
sedang berjalan.
Pemindahan urusan organisasi, ketenagaan, dan keuangan ke
Mahkamah Agung, membawa konsekuensi perubahan tanggungjawab
pembinaan peradilan. Selama ini ada dua pembinaan peradilan. Pertama,
Mahkamah Agung; membina dan mengawasi jalannya peradilan (fungsi
yudisial) yang dijalankan pengadilan tingkat pertama dan banding. Kedua,
Departemen dan MABES TNI membina keorganisasian, ketenagaan, dan
keuangan.
Sejak satu atap, Mahkamah Agung menjadi pembina tunggal, baik
untuk fungsi peradilan maupun urusan keorganisasian, ketenagaan, dan
keuangan. Semua lingkungan peradilan ada di bawah tanggungjawab
Mahkamah Agung. Terdapat kebaikan dan kekurangan sistem satu atap, yaitu
sebagai berikut:
a. Kebaikan; pertama, ada kesatuan pembinaan, kesatuan tanggungjawab,
kesatuan perencanaan, dan kesatuan program. Kesatuan ini sangat
penting untuk meningkatkan efesiensi, efektifitas, penghematan sumber
daya (resources), dan kesatuan komando. Memudahkan kendali dan
14 |
kontrol serta menentukan pertanggungjawaban. Kedua, ada pembinaan
yang sama terhadap semua lingkungan badan peradilan. Ketiga,
pengadilan akan mengikuti standar-standar menimal yang telah berjalan.
Keempat, lebih memudahkan membangun kesatuan korp. Tidak akan ada
perasaan lingkungan tertentu lebih unggul dari lingkungan peradilan lain.
Sebaliknya peradilan tertentu tidak pula merasa rendah dari lingkungan
peradilan lainnya. Namun perlu dicatat, persamaan tidak berarti serba
sama. Kalau dibutuhkan berbeda tetap harus berbeda. Dalam hal tertentu
dianggap baik dijalankan atau ditempati lingkungan peradilan umum
biarkan tetap pada peradilan umum. Persamaan tidak harus diartikan
harus menerima tempat dan jatah yang sama. Kalau suatu saat, suatu
lingkungan karena keadaan harus agak berlebih harus diterima secara
wajar. Semua lingkungan peradilan harus memupuk semangat satu untuk
semua dan semua untu satu. Satu mewakili semua dan semua mewakili
yang satu.
b. Kekurangan. Pertama, organisasi Mahkamah Agung mungkin menjadi
terlalu besar, sistem pengelolaan lebih kompleks, pengawasan dan
pembinaan internal menjadi lebih sulit. Hal yang sangat memerlukan
perhatian yaitu kemungkinan percampuran yang tidak sehat antara
administrasi perkara dan administrasi bukan perkara. Untuk mengurangi
kekurangan tersebut diperlukan sistem pengorganisasian dan
administrasi yang canggih, kumpulan tenaga yang cakap, trampil, dan
berintegritas, serta partisipasi sosial yang baik. Kedua, acapkali dirasakan
tidak mudah menyesuaikan diri dengan keadaan baru, sehingga ada
kemungkinan wujud berbagai kebimbangan atau perasaan belum terima,
bahkan ada semacam perasaan gegar budaya (cultural shock) dalam
lingkungan yang baru termasuk berbagai purbasangka yang tidak
bermanfaat. Hal ini dapat mempengaruhi kelancaran upaya membangun
kesatuan dan persatuan di antara semua lingkungan badan peradilan.
15 |
D. Antara Peluang dan Tantangan Sistem Satu Atap
Satu atap adalah peluang dan sekaligus tantangan. Sebagai peluang,
satu atap memberi dasar untuk mempercepat “pembaharuan” peradilan
agama untuk mengejar ketinggalan dari lingkungan badan peradilan lain
terutama lingkungan peradilan umum. Ketinggalan-ketinggalan tersebut
meliputi prasarana dan sarana, sistem managemen yang meliputi organisasi,
ketenagaan, keuangan, pengawasan (kendali) dan evaluasi. Di balik peluang,
satu atap menimbulkan pula berbagai tantangan, antara lain: 1) perubahan
wawasan, yang mencakup antara lain, sebagai subsistem peradilan, harus
membangun kesadaran kesatuan, kesadaran menjadi peradilan yang mampu
melakukan aktualisasi menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan dan
perkembangan baru. 2) membangun sikap percaya diri untuk bersama-sama
lingkungan peradilan lain membangun tata peradilan yang berwibawa,
terhormat, dan dihormati. 3) perubahan tata kerja untuk mewujudkan sistem
satu atap sebagai suatu kenyataan yang meningkatkan kepuasan pencari
keadilan, baik dalam penanganan perkara sistem pengelolaan administrasi,
termasuk suasana lingkungan kerja. 4) perubahan penampilan yang akan
menambahkan kewibawaan. 5) meningkatkan terus kualitas untuk menjadi
hakim yang baik.
E. Penutup
Kebijakan pembinaan Satu Atap oleh Mahkamah Agung merupakan
salah satu upaya untuk mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman dan
menciptakan putusan pengadilan yang tidak memihak (impartial). Cetak biru
yang dibuat dalam rangka mendukung Mahkamah Agung untuk
melaksanakan pembinaan satu atap lembaga peradilan telah dibuat secara
komprehensif. Hal ini dimaksudkan untuk menetapkan langkah-langkah
perioritas dalam pembenahan lembaga peradilan. Untuk menuju ke arah itu
16 |
akan dihadapkan kepada berbagai tantangan, yang melibatkan unsur
normatif, unsur sumberdaya manusia, dan unsur sumberdaya amwal.
Atas perihal tersebut ada beberapa agenda yang dihadapkan kepada
berbagai pihak yang memiliki kepedulian terhadap efektifitas tugas badan
peradilan Agama serta kinerja unsur-unsur manusia di dalamnya pada masa
penyatuatapan. Pertama, meningkatkan efektifitas tugas pengadilan
terutama dalam memenuhi hajat para pencari keadilan dengan dukungan
kemudahan dari Mahkamah Agung. Diharapkan peradilan yang
sederhana,cepat dan biaya ringan dapat dilaksanakan secara efektif dan
merata. Kedua, meningkatkan profesionalisme para hakim dan jajaran
pendukungnya sehingga produk kerjanya memiliki kualitas yang tinggi dan
mampu memberi kontribusi bagi pengembangan hukum Islam dalam konteks
sistem hukum nasional. Ketiga, mempersiapkan sumber daya manusia yang
siap mengabdikan diri dalam lingkungan Peradilan Agama, baik sebagai
hakim maupun panitera. Hal terakhir dapat dilakukan melalui kerja sama
antara Mahkamah Agung dengan Fakultas Syari`ah sebagaimana pernah
dilakukan dalam penyelenggaraan pendidikan calon hakim dan calon panitera
pengganti pada awal hingga pertengahan tahun 1990-an. Selain itu, Fakultas
Sayari`ah dapat memberikan kontribusi dalam penyiapan “calon” advokat
yang akan mengabdikan diri dalam lingkungan Peradilan Agama.
17 |
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Ghani, “Anatomi Norma Ideal dalam Tafsir Historik Undang-Undang Peradilan Agama”, Pidato Disampaikan dalam Upacara Pengukuhan Guru Besar Ilmu Peradilan Agama, pada Fakultas Syari`ah, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Tanggal 11 Maret 2000.
Anonimus, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Penyatuatapan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung, Jakarta: Proyek Penyusunan Rancangan Undang-Undang Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004.
Bisri, Cik Hasan, “Paradigma Peradilan Agama dalam Kebijakan Peradilan Satu Atap”, Makalah Seminar “Paradigma Baru Peradilan Agama Dalam Sistem Peradilan Satu Atap” di Jatinagor, Sumedang, 2007.
——————-, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 .
——————-, Peradilan Islam dalam tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.
Fajari, Zainuddin, “Paradigma Baru Peradilan Agama”, makalah disampaikan dalam Kegiatan Sosialisasi Undang-Undang tentang Peradilan Agama, Tanggal 12 Juli 2006 di Jakarta.
Lev, Daniel S., Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions, Los Angeles: University of California, 1972.
Manan, Baqir, Fakultas Syari`ah dalam Perspektif Peradilan Satu Atap, Makalah Seminar “Paradigma Baru Peradilan dalam Sistem Peradilan Satu Atap”, Jatinagor, Sumedang, 2007.
Sabrie, Zuffran, ed., Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila: Dialog tentang RUUPA, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001.
18 |
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT Tuhan
semesta alam yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini, dengan lancar.
Shalawat salam semoga selalu terlimpahcurahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Dengan tersusunnya makalah ini, penulis mengucapkan berterimakasih
sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang telah ikut membantu dalam
pembuatan makalah ini, khususnya untuk Bapak Dosen yang bersangkutan yang
telah membimbing penulis. Semoga amal ibadah mereka dibalas oleh Allah
dengan berlipat ganda. Amin…..
Selanjutnya penulis minta saran yang membangun agar ke depannya
pembuatan makalah menjadi lebih baik, dan semoga makalah ini bermanfaat
khususnya kepada penulis, dan umumnya bagi para pembaca.
Cipasung, Januari 2012
Penulis
19 |
SISTEM PERADILAN AGAMA DI INDONESIA DALAM ANALISIS SISTEM PERADILAN SATU ATAP
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu TugasMata Kuliah Pembahasan Kitab Kaidah Peradilan Islam
Disusun Oleh:Nama : ROBIANTONPM : 10.2222.1Tk./Smt. : II / IVFak. / Jur. : Syariah / JS
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNGSINGAPARNA TASIKMALAYA
2012
20 |