Post on 31-Dec-2016
TESIS
SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN
DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR
YOGA IBNU GRAHA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
TESIS
SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN
DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR
YOGA IBNU GRAHA
NIM 1291261022
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN
DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Lingkungan,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
YOGA IBNU GRAHA
NIM 1291261022
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 9 JULI 2015
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD.
NIP. 196007281986091001
I Wayan Gede Astawa Karang, S.Si, M.Si, PhD.
NIP. 198305112010121006
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Magister Ilmu Lingkungan
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS.
NIP. 196703031994031002
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K). NIP. 195902151985102001
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 24 Juni 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No: 1854/UN.14.4/HK/2015,
Tanggal 18 Juni 2015
Ketua : Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD.
Anggota :
1. I Wayan Gede Astawa Karang, S.Si, M.Si, PhD.
2. Prof. Dr. Ir. I Wayan Suarna, MS.
3. Dr. Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc.
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Yoga Ibnu Graha
NIM : 1291261022
Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan
Judul Tesis : Simpanan Karbon Padang Lamun Di Kawasan Pantai Sanur,
Kota Denpasar
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010
dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 9 Juli 2015
Hormat Saya,
Yoga Ibnu Graha
NIM 1291261022
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini
perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD selaku pembimbing I yang
telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran selama penyelesaian
tesis ini.
2. Bapak I Wayan Gede Astawa Karang, S.Si, M.Si, PhD selaku pembimbing
II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan
bimbingan dan saran kepada penulis.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. I Wayan Suarna, MS selaku penguji yang telah
memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga tesis ini
dapat terwujud seperti ini.
4. Ibu Dr. Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc selaku pembahas yang dengan penuh
perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam mengkoreksi dan memberikan
masukan, saran sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini.
5. Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS selaku Ketua Program Studi
Magister Ilmu Lingkungan (PSMIL) Program Pascasarjana Universitas
Udayana atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti
pendidikan program magister serta dorongan agar menyelesaikan tesis.
6. Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Denpasar ( Bapak Ir.
Ikram Sangadji, M.Si) beserta para Kepala Seksi yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk dapat melanjutkan sekolah ke jenjang magister.
vii
7. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Dosen-Dosen pengajar di
PSMIL yang telah memberikan ilmu pengetahuan pada saat perkuliahan.
8. Pegawai Sekretariat PSMIL (Bli Made, Ari dan Mbok Tu) yang telah
membantu di dalam urusan administrasi.
9. Dosen-dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Udayana
(mas Dwi, Bu Elok, mas Aan) beserta para mahasiswa FKP (Sabil dkk)
yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini.
10. Pegawai Lab Tanah Fakultas Peternakan Universitas Udayana (Bu Bona
dan Bapak Udin) yang telah banyak membantu dan memberikan informasi
dalam analisa sampel penelitian.
11. Teman-teman kuliah PSMIL angkatan 2012, mba Ipah, Eka, Benita, Ismid
dan Pak Reza atas masukan dan saran dalam penyelesaian tesis ini.
12. Teman-teman dan senior di BPSPL Denpasar yang telah memberikan
dorongan dan semangat dalam menyelesaikan perkuliahan dan tesis.
13. Terima kasih kepada keluarga tercinta (Papah Kasmadi, Mamah Tuti dan
saudara tercinta), orang tersayang (Intan) dan sahabat-sahabat lain yang
telah banyak membantu terselesaikannya tesis ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan rahmat-Nya kepada
semua pihak yang telah membantu pelaksaan dan penyelesaian tesis ini. Akhirnya
kritik dan saran sangat penulis harapkan guna perbaikan tulisan-tulisan ilmiah
berikutnya.
Denpasar, Juli 2015
Penulis
viii
ABSTRACT
SEAGRASS FOR CARBON STORAGE
IN SANUR COASTAL AREA, DENPASAR CITY
Seagrass is one of the marine resources that considerably potential as a
CO2 absorbent and functioned as carbon sinks in the oceans known as blue
carbon. The result of carbon sequestration from the process of photosynthesis is
stored as carbon stocks on seagrass tissue, or streamed to multiple compartments,
such as sediment, herbivores and other ecosystems. This study aims to assess the
potential for carbon stock storage in biomass on a tissue of seagrass in Sanur
Beach coastal area. The observations of seagrass are included the seagrass type,
seagrass stands, and measurement of environmental parameters. Then the
sampling was conducted to obtain the value of seagrass biomass. The carbon
stocks obtained through the conversion of biomass by using carbon concentration
analysis of seagrass tissue and then carried a spatial distribution of carbon stocks.
Types of seagrass found in Sanur Beach coastal area consist of eight species that
are Enhalus acroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Syringodium
isoetifolium, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis
and Halodule pinifolia. The result of the carbon stock seagrass in the bottom
substrate is 60% greater than the carbon stock in the top substrate which is 40%.
Seagrass covering 322 ha of Sanur Beach coastal area with a total potential carbon
storage of 66.60 tons or 0.21 tons /ha. Seagrass key role as a carbon storage is on
the bottom substrate tissue, and Enhalus acoroides is a seagrass species that
contributes the most to the carbon storage.
Keywords: carbon storage, Sanur Beach, seagrass.
ix
ABSTRAK
SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN
PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR
Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial sebagai penyerap gas
CO2 adalah padang lamun dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan
(carbon sink) dikenal dengan istilah blue carbon. Hasil penyerapan karbon pada
proses fotosintesis disimpan sebagai stok karbon pada jaringan lamun, atau
dialirkan ke beberapa kompartemen, seperti sedimen, herbivora dan ekosistem
lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi penyimpanan stok karbon
dalam biomassa pada jaringan lamun di kawasan Pantai Sanur. Pengamatan lamun
yang dilakukan meliputi jenis, tegakan lamun dan pengukuran parameter
lingkungan. Kemudian dilakukan pencuplikan sampel lamun untuk memperoleh
nilai biomassa. Stok karbon didapatkan melalui konversi dari biomassa dengan
menggunakan analisis konsentrasi karbon jaringan lamun dan kemudian dilakukan
distribusi stok karbon secara spasial. Jenis lamun yang ditemukan di kawasan
Pantai Sanur sebanyak delapan jenis spesies yakni Enhalus acroides, Thalassia
hemprichii, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata,
Cymodocea rotundata, Halodule uninervis dan Halodule pinifolia. Hasil stok
karbon lamun bagian bawah substrat sebesar 60 % lebih besar dibandingkan stok
karbon di bagian atas substrat sebesar 40 %. Padang lamun di kawasan Pantai
Sanur mempunyai luas 322 ha dengan potensi total stok karbon sebesar 66,60 ton
atau 0,21 ton/ ha. Peran kunci lamun sebagai penyimpan karbon terletak pada
jaringan bawah substrat, sementara jenis lamun yang berkontribusi besar terhadap
stok karbon yaitu jenis Enhalus acroides.
Kata kunci: lamun, Pantai Sanur, stok karbon.
x
RINGKASAN
SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN
PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR
Peran vegetasi sebagai penyerap karbon sebelumnya hanya fokus terhadap
vegetasi darat seperti hutan dan perkebunan. Bukti ilmiah hingga kini juga sudah
menguak bahwa ada ekosistem laut tertentu yang berperan sebagai rosot karbon
(carbon sinks). Potensi ekosistem laut yang berperan dalam menyerap karbon dari
atmosfer lewat fotosintesis, yaitu berupa plankton yang mikroskopis maupun
yang berupa tumbuhan yang hanya hidup di pantai seperti di hutan mangrove,
padang lamun, ataupun rawa payau (salt marsh). Lamun merupakan tumbuhan
berbunga (Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh
di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air
dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Berbagai jenis ikan menjadikan
daerah padang lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground),
pengasuhan larva (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), sebagai
stabilitas dan penahanan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan
gelombang, sebagai tempat terjadinya siklus nutrien dan fungsinya sebagai
penyerap karbon di lautan (carbon sink) atau dikenal dengan istilah blue carbon.
Padang lamun yang hidup di kawasan Pantai Sanur selain sebagai
penyeimbang ekosistem disekitarnya, diharapkan juga dapat memberikan peranan
lain secara optimal yaitu sebagai salah satu penyerap CO2 dari atmosfer.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul
Potensi Penyimpanan Karbon Padang Lamun Di Kawasan Pantai Sanur, Kota
Denpasar. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengestimasi potensi
penyimpanan karbon dalam biomassa (stok karbon) pada jaringan lamun di bagian
atas substrat (daun) dan bagian bawah substrat (akar dan rhizoma).
Waktu penelitian ini dimulai pada bulan Juni 2014 sampai dengan
Februari 2015. Lamun yang ada di kawasan Pantai Sanur, Kota Denpasar tumbuh
di hamparan pantai sepanjang sekitar delapan km yang terbentang dari Pantai
Sanur sampai dengan Pantai Mertasari.
Pengamatan lamun (jenis dan kerapatan) dan pengambilan sampel
biomassa dilakukan di delapan stasiun yang tersebar di lokasi penelitian, dimana
tiap stasiun memiliki substasiun yang terdiri dari tiga titik transek kuadran (a,b
dan c) sehingga total titik pengamatan (transek kuadran) yang dilakukan sebanyak
24 titik. Pengamatan lamun untuk mengetahui jenis dan kerapatannya dilakukan
dengan menggunakan transek kuadrat berukuran 100cm x 100cm. Pengambilan
sampel biomassa dilakukan dengan transek kuadrat berukuran 20cm x20cm
sebanyak tiga kali pengambilan di dalam transek kuadrat yang berukuran 100cm x
100 cm tersebut. Penghitungan kandungan karbon dilakukan pada 8 titik yakni
pada bagian titik (kuadran) tengah (kuadran b) dari masing-masing garis transek.
Stok karbon didapatkan melalui konversi dari biomassa dengan menggunakan
hasil analisis konsentrasi karbon jaringan lamun yang dilakukan dengan metode
xi
Pengabuan dan metode Walkley & Black dan kemudian dilakukan distribusi stok
karbon secara spasial.
Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan delapan jenis spesies lamun di
wilayah perairan Pantai Sanur yaitu Enhalus acroides, Thalassia hemprichii,
Halophila ovalis (famili Hydrocharitaceae), Cymodocea rotundata, Cymodocea
serulata, Halodule uninervis, Halodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium
(famili Potamogetonaceae). Tingkat keanekaragaman jenis lamun di kawasan
Pantai Sanur termasuk dalam kriteria yang tinggi dan bertipe vegetasi campuran
(mixed vegetation). Nilai kerapatan lamun tertinggi yaitu pada jenis lamun
Syringodium isoetifolium berkisar pada 15 – 545 individu/ m2 dan Halophila
ovalis sebesar 10 – 535 individu/ m2. Untuk kemunculan jenis lamun tertinggi
pada masing-masing stasiun ditemukan pada jenis Enhalus acroides dan diikuti
oleh Halodule uninervis.
Nilai total biomassa lamun perkuadran (m2) yang diperoleh dari 8 stasiun
yang terbagi atas 24 kuadran (1mx1m) berkisar 26,33 – 235 gram berat kering
(gbk)/ m2 yang terdiri dari total biomassa diatas substrat (daun) sebesar 16,08 –
97,17 gbk/ m2 dan total biomassa di bawah substrat (akar dan rhizoma) sebesar
9,92 – 145,67 gbk/ m2. Nilai kandungan karbon dibawah substrat (akar dan
rhizoma) berkisar antara 1,62– 29,54 gC/m2 dan nilai kandungan karbon diatas
substrat (daun) berkisar antara 3,21 – 18,10 gC/m2. Sedangkan untuk hasil
perhitungan total stok karbon lamun dibawah substrat sebesar 39,85 ton karbon
atau 60 % lebih besar dibandingkan dengan total stok karbon lamun diatas
substrat yang hanya 40 % (26,75 ton karbon). Luas area padang lamun di kawasan
Pantai Sanur diestimasi sekitar 322 Ha dan untuk total stok karbon lamun
diperoleh total sebesar 66.600.749 gC atau sebesar 66,60 ton karbon. Sehingga
padang lamun yang tumbuh dikawasan pantai Sanur mempunyai potensi
penyimpanan karbon sebesar 66,60 ton atau setara dengan 0,21 ton/ha karbon
yang terdiri dari bagian lamun diatas substrat dan dibawah substrat.
Pendugaan konstribusi stok karbon terbesar disumbangkan oleh jenis
Enhalus acroides. Konstribusi ini dilihat dari hubungan antara kerapatan lamun,
nilai frekuensi kemunculan, nilai biomassa dan nilai kandungan karbon yang
menjelaskan bahwa hampir semua masing-masing transek yang ditemukan jenis
lamun Enhalus acroides baik yang tunggal (hanya Enhalus acroides) ataupun
campuran yang didominasi oleh Enhalus acroides maka nilai biomassa dan
kandungan karbonnya lebih tinggi daripada transek lain yang ditemukan lamun
dengan jenis lain. Fungsi penting peran lamun sebagai carbon sink adalah stok
karbon yang tersimpan pada jaringan lamun yakni sebagai biomassa dan karbon
yang dialirkan atau tersimpan (terkubur) ke sedimen.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ..................................................................................... i
PRASYARAT GELAR ............................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................ iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... vi
ABSTRACT ................................................................................................ viii
ABSTRAK .................................................................................................. ix
RINGKASAN ............................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………... 1
1.1 Latar Belakang ……………….…………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah ……………….……………………………… 3
1.3 Tujuan Penelitian ………………….……………………………. 4
1.4 Manfaat Penelitian ………………………….…………………... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………. 5
2.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian …………………………….. 5
2.2 Definisi Padang Lamun ……………………..………………….. 7
2.3 Klasifikasi Lamun ………………………………………………. 9
2.4 Morfologi Lamun ……………………………………………….. 12
2.4.1 Akar ………………………………………………………. 13
2.4.2 Rhizoma dan Batang ……………………………………… 14
xiii
2.4.3 Daun ………………………………………………………. 14
2.5 Fotosintesis ……………………………………………………... 15
2.5.1 Definisi Fotosintesis ……………………………………… 15
2.5.2 Fotosintesis Tumbuhan Air ………………………………. 23
2.6 Vegetasi Lamun Sebagai Blue Carbon Sink Di Laut …………... 25
2.7 Interpolasi Data …………………………………………………. 30
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN PENELITIAN 32
3.1 Kerangka Berpikir ……………………………………………… 32
3.2 Konsep Penelitian ………...…………………………………….. 34
BAB IV METODE PENELITIAN ……………………………………….. 36
4.1 Rancangan Penelitian ………….……………………………...… 36
4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ...………………………………... 37
4.3 Ruang Lingkup …………………………………………………. 39
4.4 Variabel Pengamatan …………………………………………… 39
4.5 Bahan Dan Instrument Penelitian ………………………………. 39
4.6 Prosedur Penelitian …………………………………………...... 40
4.6.1 Kondisi Umum Lamun …………………………………… 40
4.6.2 Biomassa dan Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun ……... 43
4.6.3 Total Stok Karbon ………………………………………… 47
4.6.4 Metode Interpolasi Data ………………………………….. 48
4.7 Analisa Data …………………………………………………….. 49
4.7.1 Kerapatan Lamun dan Frekuensi Kemunculan …………… 49
4.7.2 Biomassa dan Konsentrasi Karbon Lamun …... ………….. 50
4.7.3 Total Stok Karbon ………………………………………… 52
4.7.4 Interpolasi Data …………………………………………… 52
BAB V HASIL PENELITIAN ……………………………………............ 53
5.1 Kondisi Umum Lamun .............................................................. 53
xiv
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 108
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... 116
5.1.1 Distribusi dan Komposisi Jenis Lamun ............................... 53
5.1.2 Kerapatan dan Frekuensi Kemunculan Lamun ................... 55
5.1.2.1 Kerapatan ................................................................. 55
5.1.2.2 Frekuensi Kemunculan Lamun ............................... 65
5.1.3 Biomassa Lamun .................................................................. 67
5.2 Parameter Lingkungan Perairan Pantai Sanur .............................. 72
5.3 Karbon Lamun ............................................................................. 73
5.3.1 Kandungan Karbon Jaringan Lamun .................................... 73
5.3.2 Total Penyimpanan Stok Karbon ......................................... 85
BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................... 89
6.1 Kondisi Komunitas Lamun ........................................................... 89
6.1.1 Kondisi .................................................................................. 89
6.1.2 Parameter Lingkungan .......................................................... 93
6.2 Stok Karbon Lamun ...................................................................... 96
6.3 Peran Lamun Sebagai Carbon Sink .............................................. 101
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 106
7.1 Simpulan ....................................................................................... 106
7.2 Saran ............................................................................................. 107
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Deskripsi Substrat Jenis Lamun di Indonesia … ……………….……. 12
2.2 Perbedaan Antara Tumbuhan C3, C4 dan CAM ................................... 21
2.3 Perkiraan Area Potensi sebagai Carbon Sink …….…………….……. 29
4.1 Letak Geografis Lokasi Penelitian ...............……………………….… 37
4.2 Instrumen yang digunakan dalam Penelitian ........................................ 40
5.1 Distribusi dan Sebaran Jenis Lamun di Pantai Sanur ........................... 53
5.2 Kerapatan Lamun ................................................................................. 56
5.3 Biomassa Lamun Perjaringan Lamun .................................................. 68
5.4 Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan ............................................ 72
5.5 Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun ................................................... 73
5.6 Estimasi Kandungan Karbon Lamun Dengan Metode Wilkley &
Black .....................................................................................................
75
5.7 Estimasi Kandungan Karbon Lamun dengan Metode Pengabuan ....... 76
5.8 Rerata Nilai Kandungan Karbon Lamun .............................................. 78
5.9 Kategori Kelas Ukuran Karbon ............................................................ 81
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1. Peta Wilayah Administrasi Kota Denpasar ……...………………….. 6
2.2 Sebaran dan Kondisi Padang Lamun di Pantai Sanur ……………..... 8
2.3 Jenis Lamun Di Indonesia …………………………………………... 11
2.4 Ilustrasi Fotosintesis Lamun .…………..…………………………..... 25
2.5 Hasil Metode IDW …………………………………………………... 31
3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian…………………………………. 35
4.1 Bagan Alur Kegiatan Penelitian …………………………………….. 36
4.2 Peta Sebaran dan Titik Pengamatan Padang Lamun ………………... 38
4.3 Contoh Peletakan Transek Garis dan Transek Kuadrat ....................... 42
4.4 Ilustrasi Pengkonversian Nilai Kandungan Karbon Pada Titik
Pengamatan …………………………………………………………..
45
5.1 Komposisi Jenis Lamun di Pantai Sanur ............................................. 54
5.2 Grafik Kerapatan Jenis Lamun di Pantai Sanur ................................. 57
5.3 Hamparan Padang Lamun di Pantai Mertasari .................................. 61
5.4 Hamparan Padang Lamun di Pantai Semawang ................................ 61
5.5 Hamparan Padang Lamun di Pantai Semawang 2 ............................. 61
5.6 Hamparan Padang Lamun di Pantai Indah ........................................ 62
5.7 Hamparan Padang Lamun di Pantai Sindhu ....................................... 62
5.8 Hamparan Padang Lamun di Pantai Ina Grand Bali Beach ................ 62
5.9 Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur 2 ...................................... 63
5.10 Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur 1 ...................................... 63
5.11 Dendogram Pengelompokan Stasiun .................................................. 64
5.12 Grafik Frekuensi Kemunculan Jenis Lamun ...................................... 65
5.13 Grafik Sebaran Biomassa Lamun ....................................................... 69
5.14 Grafik Persentase Biomassa lamun ..................................................... 69
5.15 Persentase Keseluruhan Biomasa Lamun ............................................ 71
5.16 Rata-Rata Stok Karbon Lamun Pada Masing-Masing Transek .......... 77
5.17 Peta Sebaran Stok Karbon Lamun Bagian Atas Substrat di Kawasan 82
xvii
.
Pantai Sanur .........................................................................................
5.18 Peta Sebaran Stok Karbon Lamun Bagian Bawah Substrat di
Kawasan Pantai Sanur ......................................................................... 83
5.19 Total Stok Karbon Lamun Pada Masing-Masing Transek .................. 85
5.20 Peta Total Sebaran Stok Karbon Lamun di Kawasan Pantai Sanur .... 86
5.21 Persentase Konstribusi Stok Karbon Lamun Bagian Atas Substrat
Dan Bagian Bawah Substrat ................................................................ 88
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil Pengukuran Berat Kering (Biomassa) Sampel Lamun ............... 116
2 Hasil Analisis Mann-Whitney Nilai Karbon ........................................ 119
3 Dokumentasi Penelitian …………….................................................... 123
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu pemanasan global yang berimplikasi pada terjadinya perubahan iklim
saat ini berada pada laju yang mengkhawatirkan, dimana aktivitas manusia adalah
penyumbang gas karbon dioksida (CO2) terbanyak ke udara. Kegiatan manusia yang
dapat melepaskan emisi CO2 adalah pembakaran lahan, emisi kendaraan bermotor,
limbah pabrik dan lain sebagainya yang menyebabkan peningkatan konsentrasi Gas
Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dimana peningkatan ini menyebabkan keseimbangan
radiasi berubah sehingga suhu bumi meningkat. Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di
atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang
dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah
menyebabkan pemanasan atmosfer secara global (global warming). GRK yang
penting diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbon dioksida, metana
(CH4) dan nitrous oksida (N2O). Karbon dioksida memiliki kontribusi lebih dari 55%
terhadap kandungan GRK, maka dari itu karbon dioksida yang diemisikan dari
aktivitas manusia (anthropogenic) mendapat perhatian yang lebih besar (Darussalam,
2011).
Sebelumnya, fokus perhatian para pakar hanya tertuju pada peran vegetasi
darat sebagai penyerap karbon seperti hutan dan perkebunan (Ulumuddin, et al.
2005; Aminudin, 2008), dan mengabaikan peran ekosistem pesisir. Bukti ilmiah
hingga kini juga sudah menguak bahwa ada ekosistem laut tertentu yang berperan
sebagai rosot karbon (carbon sinks). Fourqurean et al (2012) mengemukakan
bahwa ekosistem padang lamun mampu menyimpan 83.000 metrik ton karbon
2
dalam setiap kilometer persegi. Angka ini adalah dua kali lipat dari kemampuan
hutan menyerap karbon: yaitu sekitar 30.000 metrik ton dalam setiap kilometer
perseginya. Dengan kemampuan menyimpan karbon di bagian tanah, para peneliti
menyatakan bahwa hamparan lamun menyimpan 10 persen dari kandungan
karbon di lautan di seluruh dunia. Dengan fungsi ini berarti ekosistem tersebut
berkemampuan menyerap dan memindahkan jumlah besar karbon dari atmosfir
setiap harinya, dan mengendapkannya dalam badan tumbuhan atau sedimen
tempat tumbuh untuk waktu yang lama. Maka dari itu sangat diperlukan jasa
ekosistem laut dalam penyerapan/ sekuestrasi karbon (Carbon sequestration ).
Ekosistem laut yang berpotensi menyerap karbon dari atmosfer lewat
fotosintesis, yaitu berupa plankton yang mikroskopis maupun yang berupa
tumbuhan yang hanya hidup di pantai seperti di hutan mangrove, padang lamun,
ataupun rawa payau (salt marsh). Meskipun tumbuhan pantai (mangrove, padang
lamun, dan rawa payau) tersebut luas totalnya kurang dari setengah persen dari
luas seluruh laut, ketiganya dapat mengunci lebih dari separuh karbon laut ke
sedimen dasar laut (Kawaroe, 2009).
Salah satu sumberdaya laut yang cukup potensial sebagai penyerap gas
CO2 adalah padang lamun. Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga
yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki
fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma,
daun, dan akar sejati. Hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir
disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Berbagai jenis ikan menjadikan
daerah padang lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground),
3
pengasuhan larva (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), sebagai
stabilitas dan penahanan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan
gelombang, sebagai tempat terjadinya siklus nutrien (Philips dan Menez 1988)
dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan (carbon sink) atau dikenal
dengan istilah blue carbon dan digunakan untuk proses fotosintesis (Kawaroe,
2009).
Lamun yang ada di Pantai Sanur, Kota Denpasar tumbuh di hamparan
pantai sepanjang sekitar 8 km yang terbentang dari Pantai Sanur sampai
Mertasari. Substrat dasar tempat lamun itu tumbuh terdiri atas pasir, pecahan
karang, karang mati, batuan massif, karang dan algae (Bali Beach Conservation
Project, 1998; Arthana, 2004). Keberadaan ekosistem padang lamun di Pantai
Sanur memiliki peranan penting terhadap ekosistem pantai di sekitarnya dan juga
kaitannya dalam mengurangi emisi karbon dalam proses pemanasan global, maka
diperlukan suatu perhitungan estimasi potensi penyimpanan karbon pada jaringan
lamun yang terdapat di Pantai Sanur.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana jenis, kondisi kerapatan dan frekuensi kemunculan padang
lamun yang terdapat di Pantai Sanur?
2. Bagaimana estimasi potensi penyimpanan karbon dalam biomassa (stok
karbon) pada jaringan lamun di bagian atas substrat (daun) dan bagian
bawah substrat (akar dan rhizoma) di Pantai Sanur?
4
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui jenis, kondisi kerapatan dan frekuensi kemunculan padang
lamun yang terdapat di Pantai Sanur.
2. Mengestimasi potensi penyimpanan karbon dalam biomassa (stok karbon)
pada jaringan lamun di bagian atas substrat (daun) dan bagian bawah
substrat (akar dan rhizoma) di Pantai Sanur.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai data awal untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan pada
lamun di Pantai Sanur kaitannya untuk mengurangi emisi karbon dalam
proses pemanasan global (global warming).
2. Memberi informasi mengenai potensi penyimpanan karbon pada jaringan
lamun (daun, akar dan rhizoma) di Pantai Sanur dalam usaha untuk
perbaikan kualitas lingkungan.
3. Pentingnya fungsi lain dari ekosistem padang lamun yaitu sebagai
penyerap karbon di atmosfer sehingga diharapkan masyarakat dan
pemerintah dapat melakukan usaha pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan
untuk menjaga keberadaan ekosistem pesisir khususnya ekosistem padang
lamun.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Pantai Sanur terletak pada 8° 38’ 00” dan 08° 42’ 30” LS, 115° 14’ 30”
dan 115° 16’ 30” BT. Luas wilayah kawasan pariwisata Pantai Sanur adalah
1.548,27 Ha. Secara administratif Pantai Sanur terletak di Kecamatan Denpasar
Selatan dan Denpasar Timur, Kota Denpasar. Kawasan Pantai Sanur di Denpasar
Selatan meliputi wilayah Kelurahan Sanur, wilayah Desa Sanur Kaja, wilayah
Desa Sanur Kauh, serta di Kecamatan Denpasar Timur meliputi wilayah Desa
Kesiman Petilan dan wilayah Desa Kesiman Kertalangu (Astuti, 2002).
Kawasan pariwisata Sanur memiliki garis pantai dengan panjang ± 8 km,
merupakan pantai di sebelah Timur yang membentang dari utara ke selatan
(Astuti, 2002). Kawasan pariwisata Sanur berada pada ketinggian antara 0 – 6
mdpl (meter di atas permukaan laut) dengan untuk wilayah (relief) datar dengan
kemiringan lereng antara 0 – 2 % dan di beberapa bagian wilayah Sanur
merupakan daerah bergelombang dan berombak dengan kemiringan lereng antara
3 – 8 % (Gautama, 2011). Wilayah tersebut terutama ada di daerah sekitar
sepanjang Sungai Ayung yang memisahkan antara Desa Kesiman Kertalangu
dengan Desa Kesiman Petilan serta di sebagian wilayah Kelurahan Sanur. Dataran
bermedan landai dengan ciri fisik tersebut mempunyai tingkat erosi permukaan
yang kecil dan beberapa tempat terdapat abrasi serta proses pengendapan aktif di
sekitar muara sungai. Sebagai daerah pantai, kawasan Sanur merupakan daerah
yang relatif datar sehingga berpotensi untuk tergenang di beberapa tempat pada
5
6
musim penghujan (Astuti, 2002). Adapun kawasan pariwisata Pantai Sanur dapat
dilihat pada Gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.1.
Peta administrasi Kota Denpasar
Sebaran ekosistem lamun terdapat di Sanur yakni seluas 322 ha, tersebar
dari Pantai Sanur, Pantai Matahari Terbit sampai Pantai Mertasari (Dinas
Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar, 2014). Habitat padang lamun
di Pantai Sanur dicirikan oleh habitat laguna yaitu perairan dangkal pasang surut
antara pantai dan tubir karang. Lebar sebaran padang lamun bervariasi tergantung
lebar laguna. Jangkauan pertumbuhan padang lamun paling lebar terdapat di
Pantai Semawang yaitu mencapai 820 meter, disusul Pantai Mertasari mencapai
750 meter. Lebar sebaran padang lamun di kawasan Pantai Sanur (depan Inna
7
Grand Bali Beach Hotel) adalah 180 meter (Balai Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Laut Denpasar, 2013).
2.2 Definisi Padang Lamun
Lamun didefinisikan sebagai satu-satunya tumbuhan berbunga yang
mampu beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau
hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun dan akar sejati.
Beberapa ahli juga mendefinisikan lamun sebagai tumbuhan air berbunga, hidup
di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan
biji dan tunas (Den Hartog, 1977).
Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga
istilah padang lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang
menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih
dengan kerapatan padat atau jarang. Sistem (organisasi) ekologi padang lamun
yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut ekosistem lamun (seagrass
ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir
dan sering juga dijumpai pada terumbu karang. Ekosistem padang lamun memiliki
kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan
terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain adalah (Den Hartog,
1977):
1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/ pasir.
2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran
terumbu karang.
8
3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan
terlindung.
4. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan.
5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan
tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif.
6. Mampu hidup di media air asin.
7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.
Sebaran dan kondisi padang lamun yang menutupi areal pantai dapat dilihat pada
Gambar 2.2 sebagai berikut:
Gambar 2.2.
Sebaran dan Kondisi Padang Lamun di Pantai Sanur
Padang lamun adalah ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun
sebagai vegetasi yang dominan. Lamun adalah kelompok tumbuhan berbiji
tertutup dan berkeping tunggal (monokotil) yang mampu hidup secara permanen
di bawah permukaan air laut (Sheppard et al, 1996). Komunitas lamun berada di
9
antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu dimana
cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut (Sitania, 1998).
2.3 Klasifikasi Lamun
Tanaman lamun memiliki bunga, berpolinasi, menghasilkan buah dan
menyebarkan bibit seperti banyak tumbuhan darat. Klasifikasi lamun adalah
berdasarkan karakter tumbuh-tumbuhan. Selain itu, genera di daerah tropis
memiliki morfologi yang berbeda sehingga pembedaan spesies dapat dilakukan
dengan dasar gambaran morfologi dan anatomi. Terdapat empat ciri-ciri pada
lamun menurut Endrawati (2000), yakni:
1. Toleransi terhadap kadar garam lingkungan.
2. Tumbuh pada perairan yang selamanya terendam.
3. Mampu bertahan dan mengakar pada lahan dari hempasan ombak dan arus.
4. Menghasilkan polinasi hydrophilous (benang sari yang tahan terhadap
kondisi perairan).
Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, di mana
di Indonesia ditemukan sekitar 12 jenis yang termasuk ke dalam dua famili: (1)
Hydrocharitaceae, dan (2) Cymodoceae. Jenis yang membentuk komunitas
padang lamun tunggal, antara lain: Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides,
Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, dan Thallassodendron ciliatum. Secara
rinci klasifikasi lamun menurut Den Hartog (1970) dan Menez, Phillips, dan
Calumpong (1983) adalah sebagai berikut :
10
Divisi : Anthophyta
Kelas : Angiospermae
Sub Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Helobiae
Famili : Hydrocharitaceae
Genus : Enhalus
Spesies : Enhalus acroides
Genus : Halophila
Spesies : Halophila decipiens
: Halophila ovalis
: Halophila minor
: Halophila spinulosa
Genus : Thalasia
Spesies : Thalasia hemprichii
Famili : Cymodoceae
Genus : Cymodocea
Spesies : Cymodocea rotundata
: Cymodocea serrulata
Genus : Halodule
Spesies : Halodule pinifolia
: Halodule uninervis
Genus : Syringodium
Spesies : Syringodium isoetifolium
Genus Thalassodendron
Spesies : Thalassodendron ciliatum
Contoh jenis-jenis lamun yang terdapat di Indonesia dapat disajikan pada Gambar
2.3 sebagai berikut:
11
Gambar 2.3
Jenis-Jenis Lamun di Indonesia
(Sumber: http://seagrass-indonesia.oseanografi.lipi.go.id)
Thalassia hemprichii Thalassodendron ciliatum Syringodium isoetifolium
Halodule uninervis Halophila spinulosa Halodule pinifolia
Halophila ovalis
Halophila minor
Halophila decipiens
Enhalus acoroides Cymodocea serrulata Cymodocea rotundata
12
2.4 Morfologi Lamun
Berbagai bentuk pertumbuhan tersebut mempunyai kaitan dengan
perbedaan ekologis lamun (Den Hartog, 1977). Misalnya Parvozosterid dan
Halophilid dapat dijumpai pada hampir semua habitat, mulai dari pasir yang kasar
sampai lumpur yang lunak, mulai dari daerah dangkal sampai dalam, mulai dari
laut terbuka sampai estuari. Magnosterid dapat dijumpai pada berbagai substrat,
tetapi terbatas pada daerah sublitoral sampai batas rata-rata daerah surut. Secara
umum lamun memiliki bentuk luar yang sama, dan yang membedakan antar
spesies adalah keanekaragaman bentuk organ sistem vegetatif. Menjadi tumbuhan
yang memiliki pembuluh, lamun juga memiliki struktur dan fungsi yang sama
dengan tumbuhan darat yaitu rumput. Berbeda dengan rumput laut (marine alga/
seaweeds), lamun memiliki akar sejati, daun, pembuluh internal yang merupakan
sistem yang menyalurkan nutrien, air, dan gas. Deskripsi substrat dari jenis-jenis
lamun dapat disajikan pada Tabel 2.1 sebagai berikut:
Tabel 2.1
Deskripsi Substrat Jenis-Jenis Lamun di Indonesia
No Jenis Lamun Deskripsi
1 Cymodocea rotundata Tumbuh dominan di daerah intertidal
2 Cymodocea serrulata Tumbuh di daerah yang berbatasan dengan mangrove
3 Enhalus acoroides Tumbuh di substrat pasir berlumpur
4 Halodule pinifolia Spesies pionir, dominan di daerah intertidal
5 Halodule uninervis Tumbuh pada rataan terumbu karang yang rusak
6 Halophila minor Tumbuh pada substrat berlumpur
7 Halophila ovalis Tumbuh di daerah yang intensitas cahayanya kurang
8 Halophila decipiens Tumbuh pada substrat berlumpur
9 Halophila spinulosa Tumbuh pada rataan terumbu karang yang rusak
10 Syringodium isoetifolium Tumbuh pada substrat lumpur yang dangkal
11 Thalassia hemprichii Tumbuh pada substrat pasir berlumpur dan
pecahan karang
12 Thalassodendron ciliatum Tumbuh pada daerah subtidal
(Sumber: Bengen 2004)
13
2.4.1 Akar
Akar pada beberapa spesies seperti Halophila sp dan Halodule sp
memiliki karakteristik tipis (fragile), seperti rambut, diameter kecil, sedangkan
spesies Thalassodendron sp memiliki akar yang kuat dan berkayu dengan sel
epidermal. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, akar dan akar rambut
lamun tidak berkembang dengan baik. Namun, beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa akar dan rhizoma lamun memiliki fungsi yang sama
dengan tumbuhan darat.
Patriquin (1972), menjelaskan bahwa lamun mampu menyerap nutrien dari
dalam substrat (interstitial) melalui sistem akar-rhizoma. Selanjutnya, fiksasi
nitrogen yang dilakukan oleh bakteri heterotropik di dalam rhizosper Halophila
ovalis, Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii
cukup tinggi lebih dari 40 mg N.m-2
.day-1
. Koloni bakteri yang ditemukan di
lamun memiliki peran yang penting dalam penyerapan nitrogen dan penyaluran
nutrien oleh akar. Fiksasi nitrogen merupakan proses yang penting karena
nitrogen merupakan unsur dasar yang penting dalam metabolisme untuk
menyusun struktur komponen sel.
Larkum et al (1989) menekankan bahwa transport oksigen ke akar
mengalami penurunan tergantung kebutuhan metabolisme sel epidermal akar dan
mikroflora yang berasosiasi. Melalui sistem akar dan rhizoma, lamun dapat
memodifikasi sedimen di sekitarnya melalui transpor oksigen dan kandungan
kimia lain. Kondisi ini juga dapat menjelaskan jika lamun dapat memodifikasi
sistem lakunal berdasarkan tingkat anoksia di sedimen. Dengan demikian
14
pengeluaran oksigen ke sedimen merupakan fungsi dari detoksifikasi yang sama
dengan yang dilakukan oleh tumbuhan darat. Kemampuan ini merupakan adaptasi
untuk kondisi anoksik yang sering ditemukan pada substrat yang memiliki
sedimen liat atau lumpur. Karena akar lamun merupakan tempat untuk melakukan
metabolisme aktif (respirasi) maka konnsentrasi CO2 di jaringan akar relatif
tinggi.
2.4.2 Rhizoma dan Batang
Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi
tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Rhizoma, bersama sama dengan
akar, menancapkan tumbuhan ke dalam substrat. Rhizoma seringkali terbenam di
dalam substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran yang utama
pada reproduksi secara vegetatif dan reproduksi yang dilakukan secara vegetatif
merupakan hal yang lebih penting daripada reproduksi dengan pembibitan karena
lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Rhizoma merupakan 60 – 80%
biomas lamun.
2.4.3 Daun
Spesies lamun memiliki morfologi khusus dan bentuk anatomi yang
memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Beberapa bentuk morfologi sangat
mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk puncak daun, keberadaan atau ketiadaan
ligula. Contohnya adalah puncak daun Cymodocea serrulata berbentuk
lengkungan dan berserat, sedangkan Cymodocea rotundata datar dan halus. Daun
lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun
15
menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi daun muda. Tetapi genus
Halophila yang memiliki bentuk daun petiolate tidak memiliki pelepah.
Anatomi yang khas dari daun lamun adalah ketiadaan stomata dan
keberadaan kutikula yang tipis. Kutikula daun yang tipis tidak dapat menahan
pergerakan ion dan difusi karbon sehingga daun dapat menyerap nutrien langsung
dari air laut. Air laut merupakan sumber bikarbonat bagi tumbuh-tumbuhan untuk
penggunaan karbon inorganik dalam proses fotosintesis.
2.5. Fotosintesis
2.5.1 Definisi Fotosintesis
Fotosintesis berasal dari kata “foton” yang berarti cahaya dan “sintesis”
yang berarti penyusunan. Jadi fotosintesis adalah proses penyusunan dari zat
organic H2O dan CO2 menjadi senyawa organik yang kompleks yang memerlukan
cahaya. Fotosintesis hanya dapat terjadi pada tumbuhan yang mempunyai klorofil,
yaitu pigmen yang berfungsi sebagai penangkap energi cahaya matahari (Kimball,
2002). Proses ini hanya akan terjadi jika ada cahaya dan melalui perantara pigmen
hijau daun yaitu klorofil yang terdapat dalam kloroplas. Jika fotosintesis adalah
suatu proses penyusunan (anabolisme atau asimilasi) di mana energi diperoleh
dari sumber cahaya dan disimpan sebagai zat kimia, maka proses respirasi adalah
suatu proses pembongkaran (katabolisme atau disasimilasi) di mana energi yang
tersimpan dibongkar kembali untuk menyelenggarakan proses – proses
kehidupan.
Tumbuhan terutama tumbuhan tingkat tinggi, untuk memperoleh makanan
sebagai kebutuhan pokoknya agar tetap bertahan hidup, tumbuhan tersebut harus
16
melakukan suatu proses yang dinamakan proses sintesis karbohidrat yang terjadi
di bagian daun satu tumbuhan yang memiliki klorofil, dengan menggunakan
cahaya matahari. Cahaya matahari merupakan sumber energi yang diperlukan
tumbuhan untuk proses tersebut. Tanpa adanya cahaya matahari tumbuhan tidak
akan mampu melakukan proses fotosintesis, hal ini disebabkan kloropil yang
berada di dalam daun tidak dapat menggunakan cahaya matahari karena klorofil
hanya akan berfungsi bila ada cahaya matahari. Tumbuhan hijau memiliki
kemampuan menggunakan CO2 dari udara yang akan diubah menjadi bahan
organik dengan bantuan cahaya matahari. Persamaan kimia fotosintesis dapat
direpresentasikan pada persamaan (1) sebagai berikut:
6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6O2 …………… …….. (1)
Tidak semua radiasi cahaya matahari dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
fotosintesis, hanya pada radiasi cahaya tampak (380 – 700 nm). Cahaya tampak
terbagi atas cahaya merah (610 – 700), hijau kuning (510 – 600 nm), biru ( 410 –
500 nm), dan violet. Berdasarkan proses reaksinya, fotosintesis dibagi menjadi 2
yaitu (Benyamin, 2004):
a. Reaksi Terang, yaitu reaksi fotosintesis dimana klorofil mengubah energi
matahari menjadi energi kimia dalam bentuk ATP (Adenosine Tri
Phosphate) dan NADH2 (Nikotilamid adenin dinukleotida H2). Bersamaan
dengan dihasilkannya ATP dan NADH2, dihasilkan juga O2 sebagai hasil
samping. Reaksi terang membutuhkan cahaya, karena itu harus terjadi di
siang hari.
Cahaya
17
b. Reaksi Gelap, yaitu reaksi fotosintesis yang tidak membutuhkan cahaya
dan merupakan reaksi lanjutan dari reaksi terang dalam fotosintesis yang
merupakan reaksi pembentukan gula dari bahan dasar CO2 dan energi.
Pada reaksi ini terjadi proses pembentukan karbohidrat melalui konversi
CO2 dan air. Reaksi gelap terjadi melalui dua jalur, yaitu siklus Calvin-
Benson dan siklus Hatch-Slack. Pada siklus Calin-Benson, tumbuhan
menghasilkan senyawa dengan jumlah atom karbon tiga, yaitu senyawa 3-
fosfogliserat. Siklus ini dibantu oleh enzim rubisco. Pada siklus hatch-
Slack, tumbuhan menghasilkan senyawa dengan jumlah atom karbon
empat. Enzim yang berperan adalah phosphoenolpyruvate carboxylase dan
produk akhir siklus gelap diperoleh glukosa yang dipakai tumbuhan untuk
aktivitasnya atau disimpan sebagai cadangan energi.
Berdasarkan tipe fotosintesis, tumbuhan dibagi ke dalam tiga kelompok besar
yaitu C3, C4 dan CAM (Crassulacean Acid Metabolism) yaitu sebagai berikut:
1. Tumbuhan C3
Tanaman C3 lebih adaptif pada kondisi kandungan CO2 atmosfer tinggi.
Sebagian besar tanaman pertanian, seperti gandum, kentang, kedelai, kacang-
kacangan, dan kapas merupakan tanaman dari kelompok C3. Pada tanaman C3,
enzim yang menyatukan CO2 dengan RuBP (RuBP merupakan substrat untuk
pembentukan karbohidrat dalam proses fotosintesis) dalam proses awal
assimilasi (enzim rubisco), juga dapat mengikat O2 pada saat yang bersamaan
untuk proses fotorespirasi (Sitompul, 1995). Jika konsentrasi CO2 di atmosfir
ditingkatkan, hasil dari kompetisi antara CO2 dan O2 akan lebih
18
menguntungkan CO2, sehingga fotorespirasi terhambat dan assimilasi akan
bertambah besar. Tumbuhan C3 tumbuh dengan fiksasi karbon C3 biasanya
tumbuh dengan baik di area dimana intensitas sinar matahari cenderung
sedang, temperature sedang dan dengan konsentrasi CO2 sekitar 200 ppm atau
lebih tinggi, dan juga dengan air tanah yang berlimpah. Tumbuhan C3 harus
berada dalam area dengan konsentrasi gas karbondioksida yang tinggi sebab
Rubisco carboxylase sering menyertakan molekul oksigen ke dalam RuBP
sebagai pengganti molekul karbondioksida. Konsentrasi gas karbondioksida
yang tinggi menurunkan kesempatan Rubisco carboxylase untuk menyertakan
molekul oksigen. Karena bila ada molekul oksigen maka RuBP akan terpecah
menjadi molekul 3-karbon yang tinggal dalam siklus Calvin, dan 2 molekul
glikolat akan dioksidasi dengan adanya oksigen, menjadi karbondioksida yang
akan menghabiskan energi (Sulisbury, 1995). Contoh tanaman C3 antara lain:
kedelai, kacang tanah, kentang, dan lain-lain.
2. Tumbuhan C4
Tumbuhan C4 dan CAM lebih adaptif di daerah panas dan kering. Pada
tanaman C4, CO2 diikat oleh PEP (phosphoenolpyruvate ) carboxylase (enzym
pengikat CO2 pada tanaman C4) yang tidak dapat mengikat O2 sehingga tidak
terjadi kompetisi antara CO2 dan O2 (Sulisbury, 1995). Lokasi terjadinya assosiasi
awal ini adalah di sel-sel mesofil (sekelompok sel-sel yang mempunyai klorofil
yang terletak di bawah sel-sel epidermis daun). CO2 yang sudah terikat oleh
PEP carboxylase kemudian ditransfer ke sel-sel “bundle sheath” (sekelompok
sel-sel di sekitar xylem dan phloem) dimana kemudian pengikatan oleh RuBP
19
terjadi. Karena tingginya konsentasi CO2 pada sel-sel bundle sheath ini, maka
O2 tidak mendapat kesempatan untuk bereaksi dengan RuBP, sehingga
fotorespirasi sangat kecil. PEP carboxylase mempunyai daya ikat yang tinggi
terhadap CO2, sehingga reaksi fotosintesis terhadap CO2 di bawah 100 m mol
m-2 s-
1 sangat tinggi, laju assimilasi tanaman C4 hanya bertambah sedikit
dengan meningkatnya CO2 (Gardner, 1991). Sehingga, dengan meningkatnya
CO2 di atmosfir, tanaman C3 akan lebih beruntung dari tanaman C4 dalam hal
pemanfaatan CO2 yang berlebihan. Contoh tanaman C4 adalah jagung, sorgum
dan tebu.
3. Tumbuhan CAM
Pada tumbuhan CAM, tanaman ini mengambil CO2 pada malam hari, dan
mengunakannya untuk fotosistensis pada siang harinya (Gardner, 1991).
Tumbuhan CAM yang dapat mudah ditemukan adalah nanas, kaktus, dan
bunga lili. Tanaman CAM , pada kelompok ini penambatan CO2 seperti pada
tanaman C4, tetapi dilakukan pada malam hari dan dibentuk senyawa dengan
gugus 4-C. Pada hari berikutnya ( siang hari ) pada saat stomata dalam keadaan
tertutup terjadi dekarboksilase senyawa C4 tersebut dan penambatan kembali
CO2 melalui kegiatan Rudp karboksilase. Jadi tanaman CAM mempunyai
beberapa persamaan dengan kelompok C4 yaitu dengan adanya dua tingkat
sistem penambatan CO2. Selama malam hari, ketika stomata tumbuhan itu
terbuka, tumbuhan mengambil CO2 dan memasukkannya kedalam berbagai
asam organik. Cara fiksasi karbon ini disebut metabolisme asam
krasulase, atau CAM. Dinamakan demikian karena metabolisme ini pertama
20
kali diteliti pada tumbuhan dari famili Crassulaceae. Termasuk golongan CAM
adalah Crassulaceae, Cactaceae, Bromeliaceae, Liliaceae, Agaveceae, Ananas
comosus, dan Oncidium lanceanum. Jalur CAM serupa dengan jalur C4 dalam
hal karbon dioksida terlebih dahulu dimasukkan kedalam senyawa organic
intermediet sebelum karbon dioksida ini memasuki siklus Calvin.
Perbedaannya ialah bahwa pada tumbuhan C4, kedua langkah ini terjadi pada
ruang yang terpisah. Langkah ini terpisahkan pada dua jenis sel. Pada
tumbuhan CAM, kedua langkah dipisahkan untuk sementara. Fiksasi karbon
terjadi pada malam hari, dan siklus calvin berlangsung selama siang hari
(Lakitan, 1995).
Perbedaan antara tumbuhan C3 , C4 dan CAM tersebut dapat dilihat pada Tabel
2.2 berikut (Prasetyo, 2008):
21
Tabel 2.2
Perbedaan Antara Tumbuhan C3 , C4 dan CAM
C3 C4 CAM
Lebih adaptif pada
kondisi kandungan CO2
atmosfer tinggi
Adaptif di daerah panas
dan kering
Adaptif di daerah panas
dan kering
Enzim yang menyatukan
CO2 dengan RuBP, juga
dapat mengikat O2 pada
saat yang bersamaan
untuk proses fotorespirasi
CO2 diikat oleh PEP
yang tidak dapat
mengikat O2 sehingga
tidak terjadi kompetisi
antara CO2 dan O2
Pada malam hari asam
malat tinggi, pada siang
hari malat
rendah Lintasan
CO2 masuk ke siklus
calvin secara langsung.
Tidak mengikat CO2
secara langsung
Tidak mengikat CO2
secara langsung
Disebut tumbuhan C3
karena senyawa awal
yang terbentuk berkarbon
3 (fosfogliserat)
Sel seludang pembuluh
berkembang dengan baik
dan banyak mengandung
kloroplas
Umumnya tumbuhan
yang beradaptasi pada
keadaan kering seperti
kaktus, anggrek dan nenas
Sebagian besar tumbuhan
tinggi masuk ke dalam
kelompok tumbuhan C3
Fotosintesis terjadi di
dalam sel mesofil dan sel
seludang pembuluh
Reduksi karbon melalui
lintasan C4 dan C3 dalam
sel mesofil tetapi
waktunya berbeda
Apabila stomata menutup
akibat stress terjadi
peningkatan fotorespirasi
pengikatan O2 oleh enzim
Rubisco
Pengikatan CO2 di udara
melalui lintasan C4 di sel
mesofil dan reduksi
karbon melalui siklus
Calvin (siklus C3) di
dalam sel seludang
pembuluh
Pada malam hari terjadi
lintasan C4 pada siang
hari terjadi suklus C3
Faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis adalah sebagi berikut (Puspita dan
Rohima, 2009):
1. Konsentrasi karbondioksida di udara
Semakin tinggi konsentrasi karbondioksida di udara, maka laju
fotosintesis semakin meningkat.
22
2. Klorofil
Semakin banyak jumlah klorofil dalam daun maka proses fotosintesis
berlangsung semakin cepat. Pembentukan klorofil memerlukan cahaya
matahari.
3. Cahaya
Intensitas cahaya yang cukup diperlukan agar fotosintesis berlangsung
dengan efisien. fotosintesi akan berlangsung maksimal jika lingkungan
memiliki suhu optimal.
4. Oksigen
Kenaikan kadar oksigen dapat menghambat fotosintesis karena oksigen
merupakan komponen untuk respirasi. Oksigen akan bersaing dengan
karbondioksida untuk mendapat hidrogen.
5. Air
Ketersediaan air mempengaruhi laju fotosintesis karena air merupakan bahan
baku dalam proses ini.
6. Suhu
Umumnya semakin tinggi suhunya, laju fotosintesis akan
meningkat, demikian juga sebaliknya. Namun bila siuhu terlalu tinggi,
fotosintesis akan berhenti karena enzim-enzim yang berperan dalam
fotosintesis rusak. Oleh karena itu tumbuhan menghendaki suhu optimum
yakni 28 - 30° C (tidak terlalu rendah atau terlalu tinggi) agar fotosintesis
berjalan secara efisien.
23
2.5.2 Fotosintesis Tumbuhan Air
Proses memproduksi makanan dengan bantuan energi cahaya tetap sama
untuk tumbuhan darat maupun tumbuhan air. Selain ringan, mereka membutuhkan
bahan baku dasar - karbon dioksida dan air (H2O) untuk sintesis glukosa
(C6H12O6). Apa yang khusus tentang produksi pangan dengan tumbuhan bawah
air yakni berasal bahan baku dan energi cahaya dari lingkungan mereka. Dalam
kasus tanaman darat, gas-gas yang diperlukan dan energi cahaya yang tersedia
dengan mudah. Mereka menyerap karbon dioksida dari udara atmosfer melalui
lubang stomata mereka (hadir di atas dan sisi bawah daun), air dari tanah melalui
sistem akar mereka, dan terakhir namun tidak sedikit, energi radiasi dari sinar
matahari. Oleh karena itu, tanaman darat menjalani fotosintesis alami tanpa
adaptasi khusus.
Untuk tumbuhan air yang memiliki ketersediaan air dalam jumlah yang
lebih dari cukup, tantangan utama adalah untuk mendapatkan karbon dioksida dan
cahaya. Untuk hal yang sama, sebagian besar tanaman ini menunjukkan adaptasi
dalam beberapa cara atau yang lain. Untuk tanaman laut, mereka diadaptasi
dengan batang lilin dan daun. Hal ini membantu dalam menyerap air, sementara
mencegah masuknya garam untuk sistem mereka. Selain itu, beberapa tumbuhan
laut memiliki fitur khusus untuk menghilangkan garam sesegera mungkin. Semua
proses ini membantu dalam mengatur keseimbangan osmotik, yang jika tidak
akan menyebabkan pencucian air dan pengeringan tanaman. Dengan cara ini,
tanaman air menjalani fotosintesis bawah air. Produk-produk dari fotosintesis
pada tumbuhan air, pada dasarnya karbohidrat dan oksigen, yang digunakan oleh
24
organisme lain yang hidup dalam komunitas biotik yang sama. Dan seperti hewan,
tumbuhan memang membutuhkan oksigen, tetapi dalam jumlah kecil. Hal ini
diperoleh dari oksigen yang dilepaskan pada saat fotosintesis.
Aliran karbon dioksida dari udara melewati muka air laut merupakan
fungsi dari kelarutan (solubility) CO2 di dalam air laut dan dikenal sebagai
solubility pump. Jumlah CO2 terlarut di air laut adalah utamanya dipengaruhi oleh
kondisi fisika-kimia (suhu air laut, salinitas, total alkalinitas) dan proses biologi
(produktivitas primer) yang terjadi di laut. Melalui proses pertukaran gas, CO2
ditransfer dari udara ke laut dan berubah bentuk menjadi dissolved inorganik
carbon (DIC). Proses ini terjadi secara terus menerus karena laut tidak jenuh oleh
kandungan CO2 jika dibandingkan atmosfer. Proses ini sangat efisien terjadi di
wilayah dengan posisi lintang tinggi (temperate) karena kelarutan CO2 sangat
efisien pada kondisi suhu rendah. Pada proses seperti ini, CO2 di atmosfer dalam
jumlah banyak akan terlarut dan tersimpan sehingga tidak menjadi gas rumah
kaca di atmosfer (Kawaroe, 2009).
Tumbuhan akuatik lebih menyukai karbondioksida sebagai sumber karbon
dibandingkan dengan bikarbonat dan karbonat. Bikarbonat sebenarnya dapat
berperan sebagai sumber karbon. Namun, di dalam kloroplas bikarbonat harus
dikonversi terlebih dahulu menjadi karbondioksida dengan bantuan enzim
karbonik anhidrase (Effendi, 2003). Gambar ilustrasi fotosintesis tumbuhan lamun
disajikan pada Gambar 2.4 sebagai berikut:
25
Gambar 2.4
Ilustrasi Fotosintesis Tumbuhan Lamun
2.6 Vegetasi Lamun Sebagai Blue Carbon Sink Di Laut
Perubahan iklim disebabkan karena meningkatnya kandungan gas rumah
kaca dan partikel di atmosfir. Pertama, disebabkan karena pembakaran bahan
bakar fosil, pelepasan gas rumah kaca seperti CO2, dikenal sebagai “brown
carbon”, dan partikel debu, dikenal sebagai “black carbon”. Kedua, disebabkan
karena emisi yang berasal dari penebangan vegetasi hutan, kebakaran hutan, dan
emisi dari kegiatan pertanian (pupuk). Ketiga, disebabkan karena pengurangan
kemampuan ekosistem alami untuk menyerap karbon dalam proses fotosintesis
dan menyimpannya, dikenal sebagai “green carbon” (Trumper et al, 2009).
Istilah baru dalam penyerapan karbon dikenal sebagai “blue carbon” yaitu
sebagai penyerapan karbon yang dilakukan oleh lautan termasuk di dalamnya
organisme hidup. Diperkirakan blue carbon dapat menyerap sekitar 55% karbon
yang berada di atmosfer dan digunakan untuk proses fotosintesis. Siklus karbon di
26
laut tersebut penyerapannya didominasi oleh mikro, nano, dan pikoplankton,
termasuk bakteria dan jamur. Nino, nano dan pikoplankton adalah kategori
ukuran dari plankton. Pikoplankton yakni dalam ukuran kurang dari 2 mikron
(µm) yang terdiri dari fitoplankton, zooplankton uniseluler dan bakterioplankton.
Nanoplankton dalam ukuran 2 – 20 mikron sedangkan untuk mikroplankton atau
netplankton yakni berkisar antara 20 – 200 mikron (Sverdrup and Armbrust,
2008).
Penyerapan karbon di lautan dunia tersimpan dalam bentuk sedimen yang
berasal dari mangrove, salt marshes, dan padang lamun. Blue carbon ini
tersimpan sampai dengan jutaan tahun dan lebih lama dibandingkan dengan hutan
yang hanya tersimpan puluhan sampai ratusan tahun karena mengalami
pencucian. Walaupun biomas tumbuhan laut jika dibandingkan dengan tumbuhan
darat hanya sekitar 0,05%, tetapi siklus karbon yang terjadi di laut jika
dijumlahkan selama setahun hampir sama bahkan lebih dibandingkan dengan
tumbuhan darat. Hal ini menunjukkan efisiensi tumbuhan laut sebagai carbon
sinks (Kawaroe, 2009).
Kontribusi vegetasi lamun terhadap penyerapan karbon dimulai dari proses
fotosintesis yang kemudian disimpan sebagai biomassa. Biomassa disusun oleh
senyawa utama karbohidrat yang terdiri dari unsur karbon dioksida, hidrogen, dan
oksigen. Biomassa tegakan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, komposisi, dan
strutur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi (Lugo dan Snedaker, 1974 dalam
Kusmana et al, 1992).
27
Dalam siklus karbon, vegetasi melalui fotosistesis merubah CO2 dari udara
dan air menghasilkan karbohidrat dan oksigen. Karbohidrat yang terbentuk
disimpan oleh vegetasi dan sebagian oksigen dilepaskan ke atmosfer (Fardiaz
1995). Menurut Whitmore (1985) umumnya karbon menyusun 45–50% berat
kering dari biomassa. Karbon yang telah diserap oleh lamun disimpan dalam
biomassa pada bagian daun, akar dan rhizoma. Biomassa di bawah substrat
umumnya lebih besar dibanding di atas substrat. Salah satu manfaat besarnya
biomassa di bawah substrat adalah ketersediaan cadangan makanan pada musim-
musim tertentu dimana produktivitas lamun sangat kecil (Lee et al, 2007). Karbon
dalam biomassa tersimpan selama lamun masih hidup. Umur yang bisa dicapai
oleh tunas lamun bervariasi menurut jenisnya. Biomassa di bawah substrat di
pulau Pari dapat mencapai 141.4 gram berat kering per m2 (gbk/m
2) untuk T.
hemprichii, 468.3 gbk/m2 untuk E. acoroides dan 23.3 gbk/m
2 untuk C. rotundata,
sedangkan di atas substrat secara berurutan masing masing 124.9 gbk/m2, 152.3
gbk/m2 dan 24.9 gbk/m
2 (Kiswara dan Ulumuddin 2009).
Sebagian besar oksigen disimpan di akar dan rhizoma, digunakan untuk
metabolisme aktif (respirasi) maka konnsentrasi CO2 di jaringan akar relatif
tinggi. Begitu juga rhizoma merupakan 60 – 80% biomas lamun sehingga
prosentase stok karbon meningkat sejalan dengan peningkatan biomassa. Stok
karbon berbanding lurus dengan kandungan biomassanya. Semakin besar
kandungan biomassa, maka stok karbon juga akan semakin besar (Hairiyah dan
Rahayu, 2007 dalam Imiliyana et al, 2012) sehingga bisa dikatakan simpanan
28
karbon di bawah substrat (bagian akar dan rhizoma) lebih besar daripada di atas
substrat (bagian daun).
Pada beberapa kasus, biomassa di bawah substrat lebih kecil dibanding di
atas substrat. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Kiswara dan
Ulumuddin (2009) di Pulau Pari menunjukkan bahwa jenis C. rotundata
mempunyai biomassa di bawah substrat 11.25 gbk/m2 dan 23.29 gbk/m
2,
sedangkan di atas substrat masing-masing 19.50 gbk/m2 dan 24.93 gbk/m
2.
Variasi biomassa dapat terjadi akibat perbedaan kedalaman. Pada jenis Zostera
caulescense, biomassa maksimum ditemukan pada kedalaman 10.9 meter dan
setelah itu menurun sesuai dengan pertambahan kedalaman. Rasio antara
biomassa di atas dan di bawah susbtrat ditemukan tertinggi pada kedalaman 4,4
meter dan setelah itu menurun dengan bertambahnya kedalaman.
Produktivitas primer di laut sangat ditentukan oleh keberadaan CO2 untuk
melakukan proses fotosintesis utamanya oleh fitoplankton dan proses ini dikenal
sebagai biological pump. Bersama dengan solubility pump, proses adang lamun
sebagai vegetasi ekosistem pesisir bersama sama dengan mangrove dan hutan di
darat merupakan pusat keanekaragaman (hot spot) yang menyediakan fungsi
penting dan bernilai yaitu sebagai karbon sinks. Akan tetapi pengurangan luasan
habitat pesisir empat kali lebih cepat dibandingkan dengan hutan dan rata-rata
pengurangannya juga mengalami peningkatan. Kondisi ini diduga disebabkan
karena masyarakat lebih banyak menerima informasi tentang keberadaan,
keuntungan dan fungsi hutan jika dibandingkan dengan vegetasi ekosistem pesisir.
Kurangnya perhatian masyarakat tentang vegetasi ekosistem pesisir bisa juga
29
disebabkan karena masih berorientasi darat dan tidak terlihatnya vegetasi pesisir
ini secara kasat mata sehingga sepertinya tidak berperan di dalam kehidupan.
Perubahan pola pikir ini menjadi salah satu tanggung jawab di dalam
pemberdayaan masyarakat pesisir dan targetnya adalah bukan saja masyarakat
pesisir tetapi semua masyarakat Indonesia dan dunia (Kawaroe, 2009). Sebagai
contoh area yang berperan sebagai blue carbon sink secara global disajikan pada
Tabel 2.3 sebagai berikut:
Tabel 2.3
Perkiraan Rata-Rata Area yang Potensi Sebagai Blue Carbon Sink dan
Karbon Organik yang Mengendap Per Tahun
Komponen Area
Juta km2
Pengendapan Karbon Organik
Ton C ha-1
y-1
TgCy-1
Vegetasi
Mangrove
Salt marsh
Lamun
Total
0.17
0.40
0.33
0.90
1.39
1.51
0.83
1.23
17.0-23.6 (57)
60.0-70 (190)
27.4-44 (82)
114-131 (329)
Keterangan : T = Tera (1012
), sumber UNEP (2009)
Pengendapan karbon di laut mencapai sekitar 10% dari kapasitas yang ada
dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti mencapai
2.000TgCy-1
(Sarmiento and Gruber, 2002). Berdasarkan data UNEP (2009),
diperkirakan rata-rata potensi penyerapan karbon lamun mencapai 0,83 Ton C per
Ha-1
tahun-1
dan laju pengendapan karbon tersimpan lamun sebesar 27,4 - 44 Tg C
Tahun-1
dengan area rata-rata 0,33x104
ha. Karbon ini merupakan karbon yang
berasal dari atmosfer yang terlarut di laut dan disimpan dalam bentuk DIC. Blue
carbon sink memberikan kontribusi sebesar 50% dari total pengendapan karbon
30
organik di lautan. Beberapa tumbuhan laut yang hidup pada substrat berbatu tidak
dapat mengendapkan karbon karena kondisi substrat yang tidak memungkinkan
contohnya adalah makroalga yang tumbuh pada karang, Halimeda sp.
2.7. Interpolasi Data
Untuk mengolah dan menganalisa data secara spasial, Sistem Informasi
Geografis (SIG) biasanya digunakan. Di dalam analisa spasial baik dalam format
vektor maupun raster, diperlukan data yang meliputi seluruh studi area. Oleh
sebab itu, proses interpolasi perlu dilaksanakan untuk mendapatkan nilai diantara
titik sampel. Hal ini bertujuan agar dalam perbandingan nilai dari titik observasi
dan titik model bisa berimbang.
Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematika yang menduga
nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial
mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu di dalam ruang (space) dan
atribut ini saling berhubungan (dependence) secara spasial (Anderson, 2001).
Logika dalam interpolasi spasial adalah bahwa nilai titik observasi yang
berdekatan akan memiliki nilai yang sama (mendekati) dibandingkan dengan nilai
di titik yang lebih jauh (Hukum geografi Tobler, dalam Christanto dkk, 2005).
Metode Inverse Distance Weighted (IDW) merupakan metode
deterministic yang sederhana dengan mempertimbangkan titik di sekitarnya
(NCGIA, 1997). Asumsi dari metode ini adalah nilai interpolasi akan lebih mirip
pada data sampel yang dekat dari pada yang lebih jauh. Bobot (weight) akan
berubah secara linear sesuai dengan jaraknya dengan data sampel. Bobot ini
tidak akan dipengaruhi oleh letak dari data sampel. Pemilihan nilai
31
pada power sangat mempengaruhi hasil interpolasi. Nilai power yang tinggi akan
memberikan hasil seperti menggunakan interpolasi nearest neighbour dimana
nilai yang didapatkan merupakan nilai dari data point terdekat. Kerugian dari
metode IDW adalah nilai hasil interpolasi terbatas pada nilai
yang ada pada data sampel. Contoh hasil dengan menggunakan metode Inverse
Distance Weighted dapat dilihat pada Gambar 2.5 sebagai berikut:
Gambar 2.5
Hasil Metode Inverse Distance Weighted
(Sumber: http:// shephard-modified-methods.html)
Pengaruh dari data sampel terhadap hasil interpolasi disebut sebagai
isotropic. Dengan kata lain, karena metode ini menggunakan rata-rata dari data
sampel sehingga nilainya tidak bisa lebih kecil dari minimum atau lebih besar dari
data sampel. Jadi, puncak bukit atau lembah terdalam tidak dapat ditampilkan dari
hasil interpolasi model ini (Watson and Philip, 1985). Untuk mendapatkan hasil
yang baik, sampel data yang digunakan harus rapat yang berhubungan dengan
variasi lokal. Jika sampelnya agak jarang dan tidak merata, hasilnya kemungkinan
besar tidak sesuai dengan yang diinginkan. Menurut Pramono (2004), metode
IDW cocok digunakan untuk melakukan interpolasi pada data fisik wilayah pesisir
karena tidak menghasilkan nilai melebihi rata-ratanya.
32
BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Berpijak pada keyakinan adanya kemampuan ekosistem laut dan pesisir
tersebut dalam menjaga keseimbangan penyerapan karbon dan potensi
pengurangan emisi GRK, UNEP (United Nations Environment Programme)
bekerjasama dengan Badan Pangan Dunia (FAO) dan Badan Pendidikan dan
Pengetahuan (UNESCO) memperkenalkan konsep Blue Carbon pada akhir tahun
2009. Konsep ini membuktikan peran ketiga ekosistem laut (lamun, mangrove dan
salt marsh) dan pesisir tersebut dalam mendeposisi karbon. Ekosistem pesisir dan
laut diyakini mampu menjadi garda penyeimbang bersama hutan untuk
mengurangi laju emisi melalui penyerapan karbon. Dalam laporan tersebut
disebutkan bahwa ketiga vegetasi pesisir berkontribusi menyimpan karbon laut ke
dalam sedimen lebih dari separuhnya, sementara luasnya kurang dari 0.5% luas
laut secara keseluruhan (Nellemann et al. 2009).
Lamun mempunyai keunikan tersendiri dibanding mangrove dan salt
marsh karena merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang hidup di perairan
laut, dimana seluruh bagian tubuhnya tenggelam di dalam air. Kondisi ini
menyebabkan lamun mudah menyesuaikan diri sepenuhnya sehingga mampu
tumbuh, berkembang dan bereproduksi dalam kondisi tenggelam. Mereka hidup
di perairan dangkal yang masih bisa ditembus oleh sinar matahari.
Disebutkan bahwa ekosistem padang lamun mampu menyimpan 83.000
metrik ton karbon dalam setiap kilometer persegi. Angka ini adalah dua kali lipat
32
33
dari kemampuan hutan menyerap karbon: yaitu sekitar 30.000 metrik ton dalam
setiap kilometer perseginya (Fourqurean, 2012). Blue carbon ini tersimpan sampai
dengan jutaan tahun dan lebih lama dibandingkan dengan hutan yang hanya
tersimpan puluhan sampai ratusan tahun karena mengalami pencucian (Kawaroe,
2009). Pencucian tanah biasanya terjadi di kawasan Tropis. Hal tersebut karena
curah hujan yang tinggi, pengelolaan tanah yang tidak baik dan irigasi yang
berlebih. Sehingga tanah humus (lapisan top soil) mengalami degradasi asam
yang diiringi dengan penurunan jumlah unsur hara karena mengendap atau
meresap pada lapisan tanah yang lebih dalam sehingga menurunkan kesuburan
tanah (Madjid, 2009).
Pada awalnya penelitian-penelitian yang dilakukan terkait dengan peran
lamun sebagai penyimpan bahan organik adalah dalam bentuk biomassa.
Biomassa yang digunakan untuk menyatakan materi tumbuhan, baik di atas
maupun di bawah tanah, biasanya dinyatakan dalam satuan gram berat kering per
meter persegi (gbk/m2) (Kuriandewa 2009). Namun dengan semakin
berkembangnya isu perubahan iklim dan pemanasan global, para peneliti mulai
mendiskusikan peran lamun sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Berkaitan
dengan peran lamun ini, maka dikenal istilah stok karbon, yaitu kandungan
karbon absolut dalam biomassa pada waktu tertentu (Apps et al. 2003 dalam
Supriadi, 2012).
Penelitian potensi stok karbon yang dimiliki oleh lamun di Indonesia
masih sangat terbatas. Salah satunya yakni penelitian mengenai stok dan neraca
karbon lamun di pantai Barranglompo (Supriadi, 2012), sedangkan penelitian di
34
Pulau Pari baru dilakukan terhadap 3 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides,
Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata (Kiswara & Ulumuddin 2009;
Kiswara 2010). Penelitian ini belum menghitung secara total potensi stok karbon
yang terdapat di Pulau Pari. Khusus di Pantai Sanur, belum diperoleh informasi
tentang penelitian potensi stok karbon tersebut. Penelitian terdahulu antara lain
yakni mengenai jenis dan kerapatan padang lamun di Pantai Sanur (Arthana,
2005), Struktur Komunitas Padang Lamun di Pantai Batu Jimbar Sanur (Fauziyah,
2004) dan penelitian mengenai kondisi dan strategis pengelolaan komunitas
padang lamun di wilayah pesisir Kota Denpasar (Sudiarta dan Restu, 2011).
3.2 Konsep Penelitian
Tumbuhan lamun merupakan karbon sink bersama-sama dengan rawa
payau dan mangrove yakni dapat menyerap karbon yang berada di atmosfer dan
digunakan untuk proses fotosintesis. Fotosintesis adalah proses pembuatan energi
atau zat makanan/ glukosa yang berlangsung atas peran cahaya matahari dengan
menggunakan zat hara/ mineral, karbon dioksida dan air. Hasil penyerapan karbon
oleh lamun pada proses fotosintesis disimpan atau dialirkan ke beberapa
kompartemen yaitu dalam bentuk biomassa dan sedimen tempat tumbuh lamun
untuk waktu yang lama.
Biomassa dapat digunakan untuk menduga potensi serapan karbon yang
tersimpan dalam vegetasi karena 45% - 50% biomassa tersusun oleh karbon.
Biomassa disusun oleh senyawa utama karbohidrat yang terdiri dari unsur karbon
dioksida, hidrogen, dan oksigen. Biomassa tegakan dipengaruhi oleh umur
35
tegakan hutan, komposisi, dan strutur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi.
Bagan konsep penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1 sebagai berikut:
Karbon sink
ekosistem laut
Disimpan di Biomassa
(karbon menyusun 20–50% berat
kering dari biomassa)
Ekosistem Lamun
Penyimpanan Karbon
Oleh Lamun
Gambar 3.1
Bagan Konsep Dalam Penelitian
Melalui:
Daun, Rhizoma dan Akar
Fotosintesis
(menghasilkan karbohidrat
dan oksigen)
36
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Bagan alur penelitian untuk mendapatkan total stok karbon pada lamun di
Pantai Sanur dapat dilihat pada Gambar 4.1 sebagai berikut :
Gambar 4.1
Bagan Alur Kegiatan Penelitian
Ekosistem Lamun
Kerapatan Lamun
(tegakan/ m2)
Biomassa Lamun per Tegakan
pada Daun, Rhizoma dan Akar
(gram berat kering/ transek
20x20 cm)
Biomassa per Satuan Luas
(gbk/ m2)
Stok Karbon Jaringan Lamun per
Satuan Luas (gC/m2)
Peta Distribusi Spasial Stok Karbon Lamun Hasil Interpolasi
(Bagian Atas Substrat dan Bawah Subtrat)
Peta Distribusi Spasial Total Stok
Karbon Lamun
Total Simpanan Karbon
Padang Lamun di Pantai Sanur
Analisis Kandungan
Karbon per Jenis/
per Jaringan (daun,
rhizoma dan akar)
Aplikasi
Arcgis
Kategori Kelas
Stok Karbon
36
Aplikasi
Arcgis
Stok Karbon Lamun bagian Atas Substrat (daun) dan
Bawah Subtrat (akar dan rhizoma) (gbk/ m2)
37
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni tahun 2014 sampai dengan bulan
Februari tahun 2015 di Perairan Pantai Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota
Denpasar, Provinsi Bali. Penelitian ini meliputi studi literatur, survey awal lokasi,
pengambilan data lapangan, analisa sampel, pengolahan data, analisa data dan
penyusunan laporan hasil penelitian. Lokasi penelitian berada di daerah pesisir
yang terdapat ekosistem padang lamun dan ditentukan oleh 8 stasiun, dengan
masing-masing stasiun terdiri dari 3 transek kuadrat (a,b dan c) sehingga total titik
transek yaitu 24 titik pengamatan. Posisi koordinat masing-masing lokasi
penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut :
Tabel 4.1
Letak Geografis Lokasi Penelitian
Stasiun
Lokasi Kuadran A Kuadran B Kuadran C
Lon* Lat* Lon* Lat* Lon* Lat*
1 Pantai Mertasari 115.2507 -8.7138 115.2506 -8.714 115.2506 -8.7146
2 Pantai Semawang I 115.2606 -8.7092 115.2607 -8.7093 115.2610 -8.7090
3 Pantai Semawang II 115.2649 -8.7039 115.2650 -8.7040 115.2660 -8.7044
4 Pantai Indah 115.266 -8.6988 115.2663 -8.6989 115.2668 -8.6989
5 Pantai Sindhu 115.2656 -8.6868 115.2662 -8.6867 115.2664 -8.6866
6 Pantai Inna Grand Bali 115.265 -8.6798 115.2653 -8.6798 115.2658 -8.6799
7 Pantai Sanur II 115.2645 -8.6759 115.2647 -8.6759 115.2650 -8.6759
8 Pantai Sanur I 115.2643 -8.6742 115.2646 -8.6743 115.2650 -8.6742
Ket : * = Koordinat geografis menggunakan sistem Decimal Degree
Sumber : Hasil pengamatan Lapang
Sebaran ekosistem padang lamun di Pantai Sanur yakni seluas 322 ha
(Dinas Kelautan Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar, 2014).
Ditinjau dari hubungan antara keberadaan padang lamun dengan ekosistem
terumbu karang dan mangrove maka sebaran lamun di Pantai Sanur
38
dikelompokkan dalam tipe yang berdampingan langsung dengan habitat terumbu
karang dan mempunyai keterkaitan (linked) dengan ekosistem mangrove di
sekitarnya. Peta sebaran dan titik pengamatan padang lamun dapat dilihat pada
Gambar 4.2 berikut:
Gambar 4.2
Peta Sebaran dan Titik Pengamatan Padang Lamun di Kawasan Pantai Sanur
39
4.3 Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu menunjukkan batas – batas
bidang yang akan diteliti, yaitu sebagai berikut :
1. Padang lamun yang tumbuh di rataan perairan Pantai Sanur Kota Denpasar
2. Stok karbon yang tersimpan pada biomassa lamun (daun, rhizoma dan akar)
4.4 Variabel Pengamatan
Variabel yang diamati yaitu spesies-spesies lamun mencakup kerapatan
dan frekuensi kemunculan dengan menggunakan metode transek kuadrat. Variabel
penunjang yaitu faktor lingkungan berupa suhu, salinitas, pH yang mempengaruhi
pertumbuhan lamun.
Setelah itu dilakukan pencuplikan sampel lamun dengan menganalisa
sampel jaringan lamun (daun, rhizoma dan akar) untuk mendapatkan sampling
biomassa. Kemudian dari berat kering tumbuhan lamun (biomassa) tersebut
dilakukan analisis laboratorium untuk mengetahui konsentrasi karbon jaringan
lamun. Setelah mendapatkan nilai kandungan karbon per jaringan lamun
dilakukan penghitungan total stok karbon yang nantinya akan disajikan dalam
bentuk peta yakni peta kategori ukuran stok karbon (bagian atas substrat dan
bagian bawah substrat) dan peta total stok penyimpanan karbon oleh tumbuhan
lamun di Pantai Sanur.
4.5 Bahan dan Instrument Penelitian
Bahan penelitian merupakan segala sesuatu atau spesifikasi yang dikenai
perlakuan atau yang digunakan untuk perlakuan. Instrument penelitian
40
merupakan segala macam instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tumbuhan lamun sebagai objek
yang diamati dan sebagai sampel jenis. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.2 sebagai berikut :
Tabel 4.2
Instrumen yang Digunakan Dalam Penelitian
No Komponen yang diamati Satuan Instrument Keterangan
1. Pengamatan Ekosistem
lamun (Transek)
Individu,
Kerapatan
,
Roll meter, tiang kayu,
alat tulis, buku
identifikasi, kantong
specimen, kertas label
In situ dan
Laboratorium
2. Suhu Perairan ºC Waterchecker. In situ
3. Salinitas Ppt Waterchecker. In situ
4. Kecepatan Arus m/dt Alat Ukur Arus In situ
5. pH - Waterchecker In situ
6. Oksigen Terlarut Ppm Waterchecker. In situ
7. Analisa Biomassa oven Laboratorium
8. Analisa Karbon Muffle dan bahan kimia Laboratorium
9. Pemetaan dan
Pemodelan
Spatial
- - Piranti lunak ArcGis
- Peta RBI Digital skala
1:25000
-
10. Koordinat Lapangan lat/long GPS In situ
11. Dokumentasi
Pengamatan Lapang
J
Kamera In situ
4.6 Prosedur Penelitian
4.6.1 Kondisi Umum Lamun
Pengamatan kondisi umum lamun dilakukan dengan pengumpulan data
yaitu mengkaji kerapatan dan frekuensi kemunculan berdasarkan penentuan lokasi
41
pengambilan sampel. Sebelum melakukan pengamatan, terlebih dahulu dilakukan
survei awal guna melihat distribusi lamun terkait penentuan letak garis transek.
Penentuan titik pengambilan sampel dilakukan secara purposive (Nasution, 2001),
yang mengacu pada fisiografi lokasi, agar sedapat mungkin bisa mewakili atau
menggambarkan keadaan perairan tersebut. Bersamaan pada saat dilakukan
pengamatan kondisi umum ekosistem padang lamun, dilakukan juga pengukuran
parameter lingkungan yaitu berupa suhu, salinitas, pH, kecepatan arus dan
Densitas oksigen (DO) yang mewakili pada bagian titik tengah (titik b pada
gambar 4.2) yang terdapat pada 8 garis transek.
Kerapatan adalah jumlah individu (tunas) suatu jenis lamun per-satuan
luas (satuan umum yang dipakai adalah per 1 meter persegi). Untuk menghitung
kerapatan lamun adalah sebagai berikut :
1) Kerapatan lamun diperoleh dengan menghitung tegakan (lunas) lamun dan
diamati dengan menggunakan transek kuadrat berukuran 100 cm x 100 cm
Untuk memudahkan pengamatan, pada transek dibuat kisi-kisi 20 cm x
20 cm.
2) Sampling dilakukan secara sistematis dari pantai tegak lurus ke arah luar
sampai tidak ditemukan lamun, dengan jarak antar transek 20 meter. Setiap
posisi transek dicatat berdasarkan pembacaan pada Global Positioning
System (GPS).
3) Awal peletakkan kuadran disesuaikan dengan awal ditemukan lamun pada
perairan tersebut, sehingga titik awal transek dapat diletakkan dengan
kisaran 0 – 20 m dari tepi pantai.
42
4) Jumlah tunas setiap jenis lamun di dalam transek dihitung untuk
mengetahui kerapatannya.
5) Pengamatan dilakukan pada saat perairan Pantai Sanur mengalami surut
untuk memudahkan proses penghitungan kerapatan dan pencuplikan
sampel lamun.
6) Jumlah titik pengamatan sebanyak 24 titik yang terbagi menjadi 8 garis
transek (tegak lurus dari pantai). Titik-titik sampling tersebut tersebar di
semua perairan Pantai Sanur yang mempunyai padang lamun sehingga
bisa mewakili kondisi umum lamun di Pantai Sanur.
Contoh petak pengamatan dan pengambilan contoh lamun dapat dilihat pada
Gambar 4.3 sebagai berikut:
Gambar 4.3
Contoh Peletakan Transek Garis Dan Transek Kuadrat
(Sumber : http://itk.fpik.ipb.ac.id/SIELT/lamun.php)
Untuk frekuensi kemunculan yaitu peluang suatu spesies yang ditemukan
dalam titik sampel yang diamati. Frekuensi kemunculan lamun merupakan
pengindikasikan luas distribusi suatu jenis lamun dihitung antara jumlah transek
dimana jenis lamun tertentu ditemukan dibagi dengan jumlah total transek yang
43
digunakan sehingga memunculkan prosentase kemunculan dari suatu jenis lamun.
Identifikasi lamun dilakukan berdasarkan Waycott et al. (2004).
4.6.2 Biomassa dan Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun
Biomassa lamun adalah satuan berat (berat kering atau berat abu) lamun
bagian tumbuhan yang berada di atas substrat (daun, seludang, buah dan bunga)
dan/ atau bagian di bawah substrat (akar dan rimpang) yang sering dinyatakan
dalam satuan gram berat kering per m2 (gbk/m
2).
Menurut Buku Pedoman Umum Identifikasi dan Monitoring Lamun Tahun
2008 mengatakan bahwa sampling biomassa dilakukan dengan menggunakan
transek yang berukuran 20 cm x 20 cm. Untuk pengambilan sampel lamun
dilakukan prosedur sebagai berikut:
1) Lamun yang terdapat pada transek tersebut dicuplik dengan menggunakan
tangan sampai pada kedalaman penetrasi akar. Sebelum dicuplik terlebih
dahulu dilakukan pemotongan rhizoma yang menjalar ke samping (batas
luar kuadran/ transek) dengan menggunakan parang untuk mempermudah
pencuplikan.
2) Pencuplikan lamun untuk sampel biomassa dilakukan bersamaan dengan
penghitungan kerapatan lamun.
3) Sampel dimasukkan ke kantong sampel setelah dibersihkan dari substrat
kemudian dimasukkan ke dalam ice box untuk tetap menjaga kessegaran
dan dibawa ke laboratorium.
44
4) Pencuplikan lamun dilakukan pada semua titik pengamatan (24 titik) yang
tersebar pada semua sisi pantai sehingga dapat mewakili biomassa lamun
secara keseluruhan.
Pencuplikan sampel lamun dilakukan dengan 3 kali pengambilan sampel
lamun untuk biomassa di setiap titik pengamatan (transek kuadrat) yang nantinya
akan dirata-rata dan dipisahkan daun, rhizoma dan akar untuk diketahui berat
basah dan berat keringnya. Hal ini dilakukan untuk kevalidan dan keterwakilan
sampel biomassa dari masing-masing garis transek dan untuk memudahkan di
dalam pembuatan peta sebaran karbon pada tahap berikutnya. Untuk biomassa per
jenis diperoleh dari hasil frekuensi kemunculan yang telah dilakukan
sebelumnya.
Biomassa per tegakan lamun diketahui dengan membagi berat total setiap
sampel dengan jumlah tegakannya. Perhitungan biomassa lamun dilakukan
dengan metode destruktif. Tumbuhan lamun akan dibagi menjadi tiga (3) bagian
yaitu daun, rhizoma dan akar. Untuk perhitungan biomassa lamun dilakukan di
laboratorium dengan perlakuan sebagai berikut (Azkab, 1999):
1) Semua contoh lamun dibersihkan, dicuci dan diidentifikasi.
2) Hitung dan timbang jumlah tegakkan pada setiap jenis untuk mengetahui
biomassa basah.
3) Satukan semua contoh lamun menurut jenisnya pada setiap titik.
4) Setiap contoh lamun dipisahkan antara daun, rhizoma dan akar, kemudian
ditimbang. Bisa juga daun lamun dipisahkan dengan seludangnya serta
rimpang dengan akarnya.
45
5) Sampel lamun dikeringkan pada suhu kamar dan setelah cukup kering
kemudian dimasukkan ke dalam wadah berupa kertas. Kemudian semua
contoh lamun dikeringkan dengan memasukkan ke dalam oven pada
temperatur tetap 60° C selama 24 jam, kemudian ditimbang untuk
mengetahui berat kering dengan menggunakan neraca analitik.
Setelah mendapatkan nilai hasil biomassa per jaringan lamun (daun,
rhizoma dan akar) disetiap titik pengamatan, dilakukan penghitungan kandungan
karbon terhadap sampel biomassa tersebut. Penghitungan kandungan karbon ini
dilakukan pada 8 titik yakni pada bagian titik (kuadran) tengah (kuadran b pada
Gambar 4.4) dari masing-masing garis transek. Nilai konsentrasi karbon yang
didapatkan digunakan untuk mengkonversi perbandingan nilai biomassa (berat
kering) menjadi nilai kandungan karbon pada titik-titik yang tidak dilakukan
penghitungan nilai karbon jaringan lamun. Ilustrasi penghitungan nilai kandungan
karbon dan konversi pada titik pengamatan lamun dapat dilihat pada Gambar 4.4
berikut:
Gambar 4.4
Ilustrasi Pengkonversian Nilai Kandungan Karbon pada Titik Pengamatan
46
Penghitungan nilai kandungan karbon lamun perjaringan (daun, rhizoma
dan akar) dianalisis dengan menggunakan metode Walkley dan Black (Sulaeman
et al. 2005) dan metode pengabuan (Helrick, 1990) yang dilakukan di
Laboratorium Tanah Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Metode Walkley
dan Black dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
1) Sebanyak satu gram sampel kering dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml,
ditambahkan 10 ml 0.167 M K2Cr2O7 dan 10 ml H2SO4 pekat lalu
dikocok. Warna merah jingga pada larutan harus tetap dijaga.
2) Jika terjadi perubahan warna menjadi hijau atau biru maka ditambahkan
10 ml K2Cr2O7 dan 10 ml H2SO4. Jumlah penambahan dicatat.
Penambahan untuk blanko juga harus sama banyak.
3) Larutan kemudian didiamkan selama 30 menit hingga dingin.
4) Setelah dingin, ditambahkan 5 ml H3PO3 85% dan 1 ml indikator
difenilamin, kemudian larutan diencerkan dengan akuades hingga volume
larutan mencapai 50 ml.
5) Sebanyak 5 ml larutan dipipet ke dalam Erlenmeyer 50 ml dan
ditambahkan 15 ml akuades, kemudian dititrasi dengan larutan FeSO4 1 N
atau 0,5 N hingga warna menjadi kehijauan. Prosedur tersebut dilakukan
terhadap sampel dan blanko. Kemudian dihitung dengan rumus (4).
Untuk metode pengabuan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
1) Cuci cawan porselin, bilas dan keringkan.
2) Masukkan ke dalam tanur listrik selama 2-3 jam pada suhu 500 0C.
47
3) Dinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian timbang sebagai
cawan kosong.
4) Sebanyak 1 - 2 gram sampel kering dimasukkan ke dalam cawan dan
dicatat sebagai berat cawan + berat sampel.
5) Bakar dalam tanur listrik selama 3-6 jam pada suhu 500 0C hingga menjadi
abu yang ditandai oleh warna putih keabu-abuan tanpa ada bintik hitam.
6) Didinginkan di dalam desikator kemudian ditimbang berat cawan + berat
abu dan dihitung dengan menggunakan rumus (6).
4.6.3 Total Stok Karbon
Prosentase stok karbon meningkat sejalan dengan peningkatan biomassa.
Stok karbon berbanding lurus dengan kandungan biomassanya. Semakin besar
kandungan biomassa, maka stok karbon juga akan semakin besar (Hairiyah dan
Rahayu, 2007 dalam Imiliyana et al, 2012).
Hasil analisis kandungan karbon lamun perjaringan (akar, rhizoma dan
akar) kemudian dibagi menjadi stok karbon lamun bagian atas subtrat (daun) dan
bagian bawah substrat (akar dan rhizoma). Kemudian di petakan sebaran stok
karbon lamun bagian atas dan bawah substrat tersebut dengan membagi lima kelas
untuk mempermudah analisis, kemudian dipetakan berdasarkan posisi setiap
transek dengan bantuan software Arcgis dengan proses interpolasi data. Setiap
kelas stok karbon dihitung luasnya kemudian dijumlahkan dengan kelas-kelas
lainnya sehingga didapatkan peta total sebaran stok karbon sehingga peta yang
ditampilkan pada Bab Hasil Penelitian adalah peta sebaran stok karbon bagian
48
atas substrat, peta sebaran stok karbon bagian bawah substrat dan peta sebaran
total stok karbon lamun.
Setelah itu dilakukan penghitungan total stok karbon lamun di kawasan
Pantai Sanur dianalisis dengan menggunakan konversi data biomassa menjadi
kandungan karbon yang didapatkan pada awal penelitian. Data hasil konversi ke
karbon keseluruhan kemudian dirata-rata dengan satuan gbk/m2. Setelah
mendapatkan nilai rata-rata karbon per meter persegi kemudian dikalikan dengan
luas lamun yang ada di kawasan Pantai Sanur.
4.6.4 Metode Interpolasi Data
Proses interpolasi ini dilakukan dengan menerapkan metode invers
distance menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 10.1. Proses interpolasi
perlu dilaksanakan untuk mengestimasi dan memetakan potensi penyerapan
karbon lamun dengan mudah dan cepat yakni mendapatkan nilai diantara titik
sampel yaitu nilai karbon yang terkandung dalam lamun yang diamati. Hal ini
bertujuan agar dalam perbandingan nilai dari titik observasi dan titik model bisa
berimbang.
Inti dari model ini adalah menganalisis titik pengamatan dalam suatu
ruang ketetanggaan yang menggambarkan kemiripan diantara titik-titik tersebut.
Pada umumnya program komputer akan melakukan beberapa teknik pencarian
dengan mendefinisikan ruang ketetanggaan. Mengingat model pembobotan ini
merupakan model ruang lokal, maka teknik pencarian yang umum digunakan
adalah dengan menetapkan jumlah titik observasi yang yang berada di sekitarnya
49
atau menggunakan teknik pencarian dalam radius tertentu (Trisasongko et al.
2008).
Teknik pencarian apapun yang digunakan, komputer akan mengukur jarak
suatu titik pengamatan dengan titik yang diamati. Nilai Z untuk setiap titik
umumnya kemudian diboboti dengan kuadrat jarak sehingga nilai yang dekat
secara spasial akan cenderung mempengaruhi nilai pada titik yang diamati.
4.7 Analisis Data
4.7.1 Kerapatan Lamun dan Frekuensi Kemunculan
Rumus yang digunakan untuk menghitung kerapatan lamun seperti yang
ditunjukkan oleh persamaan (2) sebagai berikut (Khouw 2009):
….. …………..…………………… (2)
dimana : Di = kerapatan lamun jenis-i (tunas/m2)
∑ni = jumlah tunas lamun jenis-i (tunas)
Ai = jumlah luas transek dimana lamun jenis-i ditemukan (m2)
Untuk menghitung frekuensi kemunculan lamun dihitung berdasarkan
persamaan (3) sebagai berikut (Khouw 2009):
…………… ……..…………………..… (3)
dimana : Fi = frekuensi jenis-i (%)
∑ti = jumlah transek dimana jenis-i ditemukan
T = jumlah total transek yang digunakan.
50
4.7.2 Biomassa dan Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun
Biomassa per tegakan lamun dapat diketahui dengan membagi berat total
setiap sampel dengan jumlah tegakannya dikalikan dengan jumlah tunas
(kepadatan) lamun dalam satu meter persegi. Hubungan antara kerapatan dan
biomassa lamun digunakan untuk memprediksi biomassa lamun pada semua titik
sampling kepadatan. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung biomassa
ditunjukkan oleh persamaan (4) sebagai berikut (http://theoceanandmariner.com):
B = W x D …………… ……..…………………..… (4)
Dimana : B = Biomassa Lamun (gram.m - 2
)
W = Berat Kering sebuah Tunas Lamun (gram.tunas -1
)
D = Kepadatan Lamun (tunas.m - 2
)
Rumus untuk menghitung kandungan karbon jaringan lamun dengan
metode Walkley dan Black berdasarkan persamaan (5) sebagai berikut
(Sulaeman et al. 2005):
…..…..………………….…… (5)
Dimana: C = kandungan karbon jaringan lamun (%)
A = volume titrasi sampel (ml)
B = volume titrasi blanko (ml)
12/4000 = miliequivalent berat dari C (gram)
Rumus yang digunakan untuk menghitung kandungan karbon jaringan
lamun dengan metode pengabuan dapat ditunjukkan oleh persamaan (6) sebagai
berikut (Helrich, 1990):
51
........................................... (6)
dimana : a = berat cawan
b = berat cawan + berat sampel
c = berat (cawan + abu)
Untuk menghitung bahan organik dengan metode pengabuan ini dapat
ditentukan dengan menghitung pengurangan berat saat pengabuan, yaitu dengan
persamaan (7) sebagai berikut (Helrich, 1990):
( ) ( )
( ) ...................................... (7)
dimana : a = berat cawan
b = berat cawan + berat sampel
c = berat (cawan + abu)
Setelah mengetahui kadar bahan organik, dilakukan penghitungan
kandungan karbon jaringan lamun dengan metode pengabuan yaitu dengan
persamaan (8) sebagai berikut (Helrich, 1990):
................................................. (8)
dimana : 1,724 = konstanta nilai bahan organik
Setelah mengetahui nilai kandungan karbon jaringan lamun dengan
metode Walkley & Black dan metode pengabuan, kemudian nilai hasil kandungan
karbon tersebut dirata-rata dan nilai rata-rata kandungan karbon inilah yang
digunakan sebagai kandungan karbon jaringan lamun.
52
4.7.3 Total Stok Karbon
Total stok karbon lamun dihitung dengan menggunakan rumus yang
mengacu pada persamaan (9) sebagai berikut (Walkley dan Black dalam
Sulaeman et al. 2005):
Ct = Σ (Li x ci) …………..……………………………… (9)
dimana : Ct = karbon total (ton)
Li = luas padang lamun kategori kelas i (m2)
Ci = rata-rata stok karbon lamun kategori kelas i (g/m2)
4.7.4 Intepolasi Data Dengan Sistem Informasi Geografis
Rumus umum Invers Distance Weighting (IDW) yaitu mengacu pada
persamaan (10) sebagai berikut (Bonham dan Carter, 1994):
………..……………………………….(10)
dimana : Z0 = Nilai yang diduga
Zi = Sekumpulan Nilai Penduga
Nilai pembobot dalam teknik Invers Distance Weighting umumnya
dihitung dengan rumus umum pada persamaan (11) sebagai berikut (Bonham dan
Carter,1994):
…………..…………………………….. (11)
dimana : di0= Jarak antara titik pengamatan i dengan titik yang diduga
53
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Kondisi Umum Lamun
5.1.1 Distribusi dan Komposisi Jenis Lamun
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di stasiun penelitian
(delapan stasiun yang terbagi dalam 24 titik kuadran) didapatkan delapan jenis
spesies lamun di wilayah perairan Pantai Sanur yaitu E. acoroides, T. hemprichii,
H. ovalis (famili Hydrocharitaceae), C. rotundata, C. serulata, H. uninervis, H.
pinifolia dan S. isoetifolium (famili Potamogetonaceae).
Padang lamun di Pantai Sanur umumnya terletak pada kondisi yang relatif
terlindung yakni di antara pantai dan terumbu karang. Habitat padang lamun
dicirikan oleh habitat laguna yaitu perairan dangkal pasang surut antara pantai dan
tubir karang. Keragaman dan kerapatan jenis lamun rata-rata cenderung banyak
ditemukan di tengah laguna. Distribusi dan sebaran jenis lamun yang ditemukan
pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut:
Tabel 5.1
Distribusi dan Sebaran Jenis Lamun yang di Temukan Di Pantai Sanur
No. Jenis Lamun Stasiun
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Halodule uninervis + - - + + + - +
2 Syringodium isoetifolium - - - - + - - +
3 Halophila ovalis - - - - + + + +
4 Halodule pinifolia - - - - - + + -
5 Enhalus acroides + + + + + - + -
6 Cymodocea rotundata - - - - - + + +
7 Thalassia hemprichii - + - + + - - -
8 Cymodocea serrulata - - - + - - - -
Sumber : Hasil pengamatan Lapang
53
54
Dari delapan jenis lamun yang ditemukan dari delapan stasiun pengamatan
di perairan kawasan Pantai Sanur, jenis lamun E. acroides yang paling sering
ditemukan pada enam stasiun yakni pada stasiun 1 (Pantai Mertasari), stasiun 2
(Pantai Semawang I), stasiun 3 (Pantai Semawang II), stasiun 4 (Pantai Indah),
stasiun 5 (Pantai Sindhu) dan stasiun 7 (Pantai Sanur II), kemudian diikuti oleh
lamun jenis H. uninervis yang ditemukan pada lima stasiun yakni stasiun 1, 4, 5, 6
dan 8 (5 stasiun) dan jenis H. ovalis yakni pada stasiun 5, 6, 7 dan 8 (4 stasiun).
Jenis lamun yang paling jarang ditemukan yakni C. serrulata yang hanya
ditemukan pada stasiun 4 yakni di Pantai Indah. Secara umum tumbuhan lamun di
Pantai Sanur ditemukan pada tepi pantai mulai garis air surut rendah ke arah laut
dengan lebar sebaran lamun yang berbeda-beda pada tiap stasiun pengamatan.
Komposisi jenis lamun secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 5.1 sebagai
berikut:
Ket:
Ea = E. acoroides; Th = T. hemprichii; Cr = C. rotundata; Cs = C. serrulata; Hu = H.
uninervis; Hp = H. pinifolia; Ho = H. ovalis dan Si = S. isoetifolium
Gambar 5.1
Komposisi Jenis Lamun di Pantai Sanur
55
Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jenis lamun dengan
jumlah individu per jenis yang menyusun suatu hamparan padang lamun dan
dinyatakan dengan persentase. Komposisi jenis diperoleh dengan membagi
jumlah keseluruhan lamun jenis i yang ditemukan pada keseluruhan transek
dengan jumlah keseluruhan jenis lamun pada keseluruhan transek kuadrat
dikalikan dengan 100 %.
Dari total komposisi jenis lamun sebesar 100%, jenis terbesar yakni H.
uninervis dengan nilai komposisi jenis sebesar 26,17% diikuti dengan S.
isoetifolium sebesar 19,85%, H. ovalis sebesar 17,59%, H. pinifolia sebesar
11,52%, E. acroides sebesar 9,89% , C. rotundata sebesar 9,60, T. hemprichii
sebesar 4,96 dan yang paling kecil yakni C. serrulata sebesar 0,42%. Meskipun
jenis E. acroides merupakan jenis yang paling sering ditemukan hampir di setiap
stasiun namun nilai komposisi jenisnya hanya menunjukkan 9,89%, berbeda
dengan S. isoetifolium yang lebih jarang ditemukan namun menunjukkan nilai
komposisi jenis sebesar 19,85%. Hal ini berhubungan dengan ukuran daun dan
letak daun dimana S. isoetifolium akan lebih rapat dibandingkan dengan jenis E.
acoroides dan C. rotundata sehingga mempengarungi nilai kerapatan masing-
masing individu.
5.1.2 Kerapatan dan Frekuensi Kemunculan Lamun
5.1.2.1 Kerapatan Lamun
Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan
tertentu. Kepadatan lamun per satuan luas tergantung pada jenisnya. Jenis-jenis
lamun dengan kepadatan tegakan yang tinggi biasanya juga memiliki frekuensi
56
kehadiran yang tinggi. Kerapatan jenis lamun di lokasi penelitian secara
keseluruhan dapat disajikan pada Tabel 5.2 berikut ini:
Tabel 5.2
Kerapatan Lamun di Lokasi Penelitian
Stasiun Transek
Kuadrat
Jenis Lamun (ind/m2) Total
(ind/m2) Ea Th Cr Cs Hu Hp Ho Si
1 A - - - - 238 - - - 238
B 21 - - - 158 - - - 179
C - - - - 196 - - - 196
2 A 78 - - - - - - - 78
B - 236 - - - - - - 236
C 128 - - - - - - - 128
3 A 62 - - - - - - - 62
B 85 - - - - - - - 85
C 87 - - - - - - - 87
4 A 65 10 - 15 30 - - - 120
B 96 - - 12 - - - - 108
C 77 - - 8 - - - - 85
5 A - - - - 306 - 309 - 615
B 27 169 - - 5 - - 15 216
C - - - - 232 - - 456 688
6 A - - 158 - - 272 535 - 965
B - - 6 - 463 11 29 - 509
C - - 305 - 299 294 - - 898
7 A 101 - 50 - - 30 - - 181
B - - 197 - - 356 - - 553
C - - 16 - - - 438 - 454
8 A - - - - 109 - 10 445 564
B - - 71 - 33 - 545 649
C - - - - 120 - 150 199 469
Sumber : Hasil pengamatan Lapang
Ket:
Ea = E. acroides; Th = T. hemprichii; Cr = C. rotundata; Cs = C. serrulata; Hu = H.
uninervis; Hp = H. pinifolia; Ho = H. ovalis dan Si = S. Isoetifolium
57
Grafik kerapatan jenis lamun yang ditemukan pada setiap stasiun dapat disajikan
pada Gambar 5.2 sebagai berikut:
Gambar 5.2
Grafik Kerapatan Jenis Lamun di Pantai Sanur
58
Perbedaan jenis lamun dan kerapatan pada masing-masing lokasi
penelitian ini diduga berkaitan dengan kemampuan adaptasi jenis lamun tersebut
terhadap kondisi lingkungan yang berbeda. Berdasarkan hasil pengamatan
didapatkan kerapatan jenis lamun S. isoetifolium mempunyai nilai paling tinggi di
semua stasiun pengamatan yaitu berkisar pada 15 – 545 individu/ m2. Jenis lamun
H. ovalis mempunyai nilai kerapatan sebesar 10 – 535 individu/ m2. Jenis lamun
H. uninervis sebesar 5 – 463 individu/ m2, jenis lamun H. pinifolia sebesar 11 –
356 individu/ m2, jenis lamun C. rotundata sebesar 6 – 305 individu/ m
2, jenis
lamun T. hemprichii sebesar 10 – 236 individu/ m2, jenis lamun E. acroides
sebesar 21 – 128 individu/ m2. Sedangkan jenis lamun C. serrulata hanya
ditemukan pada stasiun 4 dengan nilai kerapatan sebesar 8 – 15 individu/ m2.
Lamun jenis E. acroides dan H. uninervis ditemukan di Stasiun 1 yakni di
Pantai Mertasari yang di dominasi oleh H. uninervis dengan nilai kerapatan
sebesar 158 - 238 individu/ m2. Di stasiun ini terlihat jenis E. acroides dengan
nilai kerapatan sebesar 0 – 21 individu/ m2 membentuk kelompok-kelompok kecil
dan jarang. Pantai Mertasari memiliki tipe substrat adalah tekstur pasir, campuran
pasir dan pecahan karang (rubble) dan padang lamun yang ada di lokasi ini cukup
luas ke arah laut. Lebar pertumbuhan lamun pada laguna di stasiun ini mencapai
750 meter dimana lamun tumbuh mulai jarak 0 meter dari garis air surut rendah.
Di stasiun 2 yakni di Pantai Semawang I (bagian selatan) ditemukan 2
jenis lamun yaitu E. acroides (nilai kerapatan sebesar 78 - 128 individu/ m2) dan
T. hemprichii (nilai kerapatan sebesar 0 - 236 individu/ m2). Tipe substrat dasar
perairan di lokasi ini adalah pasir dengan campuran pasir dan pecahan karang.
59
Lebar pertumbuhan lamun pada laguna Pantai Semawang mencapai 800 meter
dimana lamun tumbuh mulai dari jarak 100 meter dari garis air surut rendah.
Di stasiun 3 yakni di Pantai Semawang II (bagian utara), hanya jenis
lamun E. acroides yang ditemukan yakni dengan nilai kerapatan sebesar 62 - 128
individu/ m2. Tipe substrat dasar perairan didominasi oleh tesktur pasir.
Di stasiun 4 yakni di Pantai Indah ditemukan 4 jenis lamun yakni E.
acroides, T. hemprichii, H. uninervis dan jenis C. serrulata dengan total individu
setelah di rata-rata dari 3 kuadran sebesar 104 individu/ m2 yang didominasi oleh
E. acroides. Tipe substrat dasar di stasiun 4 ini adalah tekstur pasir.
Stasiun 5 terletak di sekitar Pantai Sindhu dan merupakan stasiun yang
terbanyak jenis lamun ditemukan yakni berjumlah 5 jenis yaitu H. uninervis
dengan nilai kerapatan berkisar 5 – 306 individu/ m2 dan merupakan jenis yang
paling mendominasi di stasiun ini. Kemudian diikuti oleh jenis S. isoetifolium
(15 - 456 individu/ m2), H. ovalis (0 – 309 individu/ m
2) , T. hemprichii (0 – 169
individu/ m2) dan jenis yang paling jarang ditemukan adalah E. acroides (0 – 27
individu/ m2). Tipe substrat dasar di stasiun 5 ini adalah didominasi tekstur pasir.
Stasiun 6 yakni di pantai yang berada di depan Hotel Inna Grand Bali
Beach dimana lebar padang lamun sekitar 180 m mulai garis air surut rendah ke
arah laut. Di stasiun ini ditemukan 4 jenis lamun yaitu H. uninervis, C. rotundata,
H. pinifolia dan H. ovalis. Jenis yang mendominasi adalah H. uninervis dengan
nilai kerapatan berkisar 299 – 463 individu/ m2 diikuti oleh H. pinifolia sebesar
11- 294 individu/m2. Kemudian diikuti oleh H. ovalis (29 – 535 individu/ m
2) dan
yang paling sedikit ditemukan yakni jenis C. rotundata (6 – 305 individu/ m2).
60
Tipe substrat perairan yakni berupa pasir, campuran pasir dan pecahan karang
(rubble).
Stasiun 7 dan 8 terletak di Pantai Sanur yang merupakan salah satu pantai
utama di kawasan Pantai Sanur ini. Di stasiun ini banyak sekali kegiatan manusia
seperti berenang, bermain di pantai, bermain kano, berjemur, tambatan perahu-
perahu kecil untuk wisatawan dan juga sebagai alur dan tambatan bagi kapal
speedboat yang mengangkut penumpang dari Sanur menuju Nusa Lembongan dan
Nusa Penida. Tipe substrat perairan yakni berupa pasir, campuran pasir dan
pecahan karang (rubble).
Di stasiun 7 ditemukan 4 jenis lamun dan yang mendominasi yaitu jenis H.
ovalis dengan nilai kerapatan berkisar sebesar 0 – 438 individu/ m2
diikuti oleh
jenis H. pinifolia (30 – 356 individu) C. rotundata (16 – 197 individu/ m2) dan E.
acroides (0 – 101 individu/ m2).
Di stasiun 8 ditemukan 4 jenis lamun dan yang mendominasi yakni S.
isoetifolium dengan nilai kerapatan berkisar 199 – 545 individu/ m2, diikuti oleh
H. uninervis (33 – 120 individu/ m2), H. ovalis (10 – 150 individu/ m
2) dan yang
paling sedikit ditemukan yakni jenis C. rotundata (0 – 71 individu/ m2). Semua
jenis lamun umumnya dapat hidup pada semua jenis substrat, tetapi setiap jenis
lamun mempunyai karakter tersendiri terhadap lingkungan hidupnya.
Keadaan padang lamun di Pantai Sanur pada masing-masing stasiun dapat
disajikan pada Gambar 5.3 - 5.10 sebagai berikut:
61
Gambar 5.3
Hamparan Padang Lamun di Pantai Mertasari (Stasiun 1)
Gambar 5.4
Hamparan Padang Lamun di Pantai Semawang (Stasiun 2)
Gambar 5.5
Hamparan padang lamun di Pantai Semawang 2 (Stasiun 3)
62
Gambar 5.6
Hamparan Padang Lamun di Pantai Indah (Stasiun 4)
Gambar 5.7
Hamparan Padang Lamun di Pantai Sindhu (Stasiun 5)
Gambar 5.8
Hamparan Padang Lamun di Pantai Inna Grand Bali Beach (Stasiun 6)
63
Gambar 5.9
Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur 2 (Stasiun 7)
Gambar 5.10
Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur 1 (Stasiun 8)
Analisis kelompok (kluster) dilakukan untuk mengelompokan objek-objek
(lamun) berdasarkan karakteristik yang dimilikinya agar data yang terdapat di
dalam kelompok yang sama relatif lebih homogen dari pada data yang berada
pada kelompok yang berbeda dan dapat disajikan pada Gambar 5.11 sebagai
berikut:
64
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Jarak Euclidean (Dlink/Dmax)*100
Stasiun 6
Stasiun 8
Stasiun 5
Stasiun 7
Stasiun 4
Stasiun 3
Stasiun 2
Stasiun 1
Gambar 5.11
Dendogram Pengelompokan Stasiun Berdasarkan Kerapatan
Berdasarkan analisis kelompok yang dilakukan terlihat bahwa dari
keseluruhan stasiun pengamatan (delapan stasiun) berdasarkan tingkat
kesamaannya dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok yang memiliki
kesamaan habitat. Komponen yang digunakan dalam pengelompokkan ini adalah
jenis lamun yang ditemukan dan jumlah kerapatan jenis lamun pada tiap transek.
Urutan pengelompokan kerapatan lamun secara berurutan sebagai berikut :
Kelompok 1 terdiri dari stasiun 1, 2, 3 dan stasiun 4. Kelompok 2 (stasiun 7),
kelompok 3 (stasiun 5), Kelompok 4 (stasiun 8) dan kelompok 5 (stasiun 6).
Kelompok I (Stasiun 1, 2, 3 dan 4) mempunyai tingkat kesamaan paling
tinggi yang berarti bahwa struktur komunitas lamun pada masing-masing stasiun
tersebut hampir sama dilihat dari jenis lamun yang ditemukan dan jumlah
kerapatan jenis lamun dibandingkan dengan stasiun lainnya. Pengelompokan
tersebut dapat dikonfirmasi pada hasil analisis kluster karena pada kelompok
65
lainnya (stasiun lainnya) pada semua periode sampling membentuk kelompok
sendiri yang mempunyai komunitas yang berbeda baik jenis maupun kerapatan
lamun dari stasiun lainnya.
5.1.1.2 Frekuensi Kemunculan Lamun
Frekuensi kemunculan jenis lamun terhadap masing-masing stasiun dapat
disajikan pada Gambar 5.12 sebagai berikut:
Gambar 5.12
Grafik Frekuensi Kemunculan Jenis Lamun
66
Frekuensi kemunculan jenis lamun pada masing-masing stasiun memiliki
nilai yang berbeda-beda. Kuantifikasi sebaran lamun tercermin dari nilai frekuensi
masing-masing jenis lamun yang dihitung dari semua transek kuadrat pada setiap
stasiun. Pada stasiun 1 dan 5 terlihat hanya jenis lamun H. uninervis mempunyai
nilai frekuensi kemunculan yang paling tinggi sebesar 100% yang ditemukan pada
setiap transek kuadran (kuadran a, b dan c) pada masing-masing stasiun. Di
stasiun 8 nilai frekuensi kemunculan yang relatif tinggi juga ditemukan pada jenis
H. uninervis dan S. isoetifolium sebesar 100%. Pada stasiun 3 jenis E. acroides
memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi dan hanya jenis ini saja yang
ditemukan pada stasiun ini. Jenis E. acroides juga memiliki nilai frekuensi
kemunculan yang tinggi bersamaan dengan jenis C. serrulata pada stasiun 4. Di
stasiun 6 dan 7 jenis C. rotundata dan H. pinifolia memiliki nilai frekuensi
kemunculan yang tinggi sedangkan pada stasiun 7 hanya jenis C. rotundata yang
memiliki nilai frekuensi kemunculan yang tinggi. Di stasiun 2 tidak ditemukan
jenis lamun yang memiliki nilai frekuensi kemunculan yang tinggi, di stasiun ini
hanya ditemukan jenis E. acroides dengan nilai frekuensi kemunculan sebesar
67% dan jenis T. hemprichii sebesar 33%.
Nilai total frekuensi kemunculan jenis lamun di seluruh titik transek
didapatkan jenis H. uninervis yang memiliki nilai frekuensi tertinggi sebesar 50 %
dari keseluruhan transek diikuti oleh jenis E. acroides sebesar 46%, C. rotundata
sebesar 29%, H. ovalis sebesar 25%, H. pinifolia sebesar 21%, S. isoetifolium
sebesar 21% dan nilai frekuensi kemunculan yang terkecil yakni jenis C. serrulata
67
sebesar 12,5%. Kehadiran lamun di suatu lokasi sangat berkaitan dengan ruang
dan tipe substrat dasar.
5.1.3 Biomassa Lamun
Biomassa lamun dibagi menjadi dua kategori yaitu biomassa di atas
permukaan substrat (above ground biomass) dan bawah permukaan substrat
(below ground biomass). Pada penelitian ini, pengukuran biomassa di atas
permukaan (substrat) terdiri dari bagian daun lamun, sedangkan bagian biomassa
di bawah substrat terdiri dari bagian rhizoma dan akar. Data hasil pengukuran
biomassa lamun yang telah dirata-rata dari tiga kali pencuplikan sampel dalam
satu transek dan telah dikalkulasi dari ukuran gram berat kering per (kuadran) 20
x 20 cm menjadi gram berat kering permeter persegi disajikan pada Tabel 5.3
berikut:
68
Tabel 5.3
Biomassa Lamun Perjaringan di Lokasi Penelitian
Stasiun
Transek
Kuadrat
(1x1 m)
Biomassa perjaringan
(gbk/m2)
Total Biomassa perjaringan
(gbk/ m2)
Akar
Daun
Rizoma Bawah Atas Total
Substrat Substrat Keseluruhan
1 A 8.5 28.08 29.08 37.58 28.08 65.67
B 17.25 31.50 46.00 63.25 31.50 94.75
C 20.33 22.58 31.25 51.58 22.58 74.17
2 A 37.58 60.5 86.25 123.83 60.5 184.33
B 22.08 36.75 95.08 117.17 36.75 153.92
C 52.42 64.08 88.58 141 64.08 205.08
3 A 59.33 56.5 86.33 145.67 56.5 202.17
B 54.33 57.17 33.67 88 57.17 145.17
C 75.08 54.58 28.83 103.92 54.58 158.5
4 A 18.42 25.17 45.75 64.17 25.17 89.33
B 36.33 69.17 15.08 51.42 69.17 120.58
C 89.75 97.17 48.08 137.83 97.17 235
5 A 14.25 39 16.42 30.67 39 69.67
B 15.67 69.67 8.42 24.08 69.67 93.75
C 12 32.08 17 29 32.08 61.08
6 A 3.42 16.42 6.5 9.92 16.42 26.33
B 9.75 36 23.42 33.17 36 69.17
C 10.42 38.67 32.75 43.17 38.67 81.83
7 A 35.75 51.42 29.75 65.5 51.42 116.92
B 8.67 35.83 39.92 48.58 35.83 84.42
C 9.75 42.75 11.58 21.33 42.75 64.08
8 A 7.25 30.42 62.42 69.67 30.42 100.08
B 16 31 27.58 43.58 31 74.58
C 15.33 37.75 47.67 63 37.75 100.75
69
Sebaran biomassa lamun dan persentase biomassa lamun bagian atas dan bagian
bawah substrat pada masing-masing transek (delapan stasiun) dapat disajikan
pada Gambar 5.13 dan Gambar 5.14 sebagai berikut:
Gambar 5.13
Grafik Sebaran Biomassa Lamun
Gambar 5.14
Grafik Persentase Biomassa Lamun
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
160,00
1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C 5A 5B 5C 6A 6B 6C 7A 7B 7C 8A 8B 8C
biomassa diatas substrat Biomassa dibawah substrat
Stasiun
Biomassa (gbk/ m2)
Biomassa di bawah substrat Biomassa di atas substrat
57
,23
66
,75
69
,55
67
,18
76
,12
68
,75
72
,05
60
,62
65
,56
71
,83
42
,64
58
,65
44
,02
25
,69
47
,48
37
,66
47
,95
52
,75
56
,02
57
,55
33
,29
69
,61
58
,44
62
,53
42
,77
33
,35
30
,45
32
,82
23
,88
31
,25
27
,95
39
,38
34
,44
28
,17
57
,36
41
,35
55
,98
74
,31
52
,52
62
,34
52
,05
47
,25
43
,98
42
,45
66
,71
30
,39
41
,56
37
,47
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C 5A 5B 5C 6A 6B 6C 7A 7B 7C 8A 8B 8C
Biomassa dibawah substrat Biomassa diatas substrat
Biomassa (%)
Stasiun Biomassa di atas substrat Biomassa di bawah substrat
70
Biomassa lamun di Pantai Sanur menunjukkan bahwa nilai biomassa yang
diperoleh umumnya didominasi oleh jenis yang berukuran besar misalnya jenis E.
acroides dan T. Hemprichii meskipun nilai kerapatan masing-masing jenis ini
tidak sebanyak jenis H. uninervis, H. pinifolia, H. ovalis dan S. isoetifolium yang
berukuran kecil. Nilai total biomassa lamun perkuadran (m2) yang diperoleh dari 8
stasiun yang terbagi atas 24 kuadran (1mx1m) berkisar 26,33 – 235 gram berat
kering (gbk)/ m2 yang terdiri dari total biomassa diatas substrat (daun) sebesar
16,08 – 97,17 gbk/ m2 dan total biomassa di bawah substrat (akar dan rhizoma)
sebesar 9,92 – 145,67 gbk/ m2.
Nilai total biomassa (bagian atas substrat dan bawah substrat) yang
tertinggi ditemukan pada stasiun 4 di kuadran C sebesar 235 gbk/ m2 yang
didominasi oleh lamun jenis Enhalus acroides setelah itu diikuti oleh stasiun 2 di
kuadran C sebesar 205,8 gbk/ m2 yang hanya didominasi oleh jenis E. acroides.
Nilai total biomassa terkecil ditemukan pada stasiun 6 di kudran A sebesar 26,33
gbk/ m2 yang didominasi oleh lamun jenis H. ovalis dan H. pinifolia diikuti oleh
stasiun 1 Kuadran B sebesar 42,92 gbk/ m2 yang didominasi oleh jenis H.
uninervis.
Untuk total biomassa di bawah substrat (bagian akar dan rhizoma)
tertinggi ditemukan di stasiun 3 pada kuadran b sebesar 145,67 gbk/ m2
yang
didominasi oleh jenis E. acroides sedangkan biomassa di bawah substrat terkecil
ditemukan pada stasiun 1 kuadran b sebesar 26,83 gbk/ m2 yang didominasi oleh
H. uninervis. Untuk total biomassa di atas substrat (bagian daun) tertinggi
ditemukan pada stasiun 4 kuadran c sebesar 97,17 gbk/ m2 yang juga didominasi
71
39,84
60,16
Biomassa diatas substrat
Biomassa dibawah substrat
oleh jenis E. acroides sedangkan biomassa di atas substrat terkecil ditemukan
pada stasiun 1 kuadran B sebesar 16,08 gbk/ m2 yang didominasi oleh jenis H.
uninervis. Persentase keseluruhan biomassa lamun dapat dilihat pada Gambar
5.15 sebagai berikut:
Gambar 5.15
Persentase Keseluruhan Biomasa Lamun
Persentase keseluruhan biomassa di bagian atas substrat pada semua lokasi
stasiun sebesar 39,84% sedangkan biomassa dibagian bawah substrat berkisar
sebesar 60,16%. Secara umum pada penelitian ini nilai biomassa di bawah
substrat lebih tinggi dibandingkan nilai biomassa di atas substrat.
Distribusi biomassa lamun di atas substrat dan di bawah substrat yang
relatif tinggi ditemukan yakni terdapat pada stasiun 2 (Pantai Semawang I), 3
(Pantai Semawang II) dan 4 (Pantai Indah) yang didominasi oleh jenis E.
acroides. Hal ini sangat berkaitan dengan kerapatan lamun dari jenis berukuran
besar (E. acroides dan T. Hemprichii) pada ketiga stasiun (2, 3 dan 4) dan
sebaliknya pada stasiun lainnya didominasi oleh jenis berukuran kecil (H.
72
pinifolia, H. uninervis, H. ovalis dan S. isoetifolium) meskipun dengan kerapatan
yang lebih tinggi.
5.2 Parameter Lingkungan Kawasan Pantai Sanur
Karakteristik parameter lingkungan (fisika-kimia) pada suatu habitat
perairan akan sangat mempengaruhi struktur komunitas padang lamun di perairan.
Pengukuran parameter lingkungan dilaksanakan untuk mengetahui kondisi lamun
pada saat itu dan diukur bersamaan dengan identifikasi lamun serta dilakukan
pada saat perairan dalam kondisi pertengahan menuju pasang pada semua titik
pengamatan. Hasil dari pengukuran rata-rata parameter lingkungan di Pantai
Sanur disajikan pada Tabel 5.4 sebagai berikut:
Tabel 5.4
Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan di Pantai Sanur
Stasiun
Rata-Rata Hasil Pengukuran
Ph Salinitas o/oo) DO (mg/L) Suhu (°C) Kec. Arus(m/det)
1 7.22 33.77 6.40 29.23 0.086
2 7.60 33.40 6.52 29.20 0.106
3 7.05 33.53 7.60 29.60 0.170
4 7.19 34.70 6.69 30.13 0.117
5 7.00 33.87 7.70 28.97 0.135
6 7.07 33.87 6.94 29.57 0.262
7 7.06 34.23 6.63 29.53 0.314
8 7.20 33.83 7.22 29.70 0.320
Kisaran
Optimum 7,5 – 8,5* 24 – 35
o/oo
* > 5 mg/l * 28 -30°* 0,05 – 1,00
m/ det** Ket : * = Kisaran optimum berdasarkan Kep Men LH No. 51 Th 2004
** = Kisaran optimum berdasarkan Koch (2001)
Sumber: Hasil Pengukuran di Lapangan, Tahun 2014
73
5.3 Karbon Lamun
5.3.1 Kandungan Karbon Jaringan Lamun
Tumbuhan lamun memiliki kandungan karbon yang menggambarkan
seberapa besar lamun tersebut dapat mengikat CO2 dari udara. Kandungan karbon
dapat diartikan yaitu banyaknya karbon yang mampu diserap oleh tumbuhan
lamun dalam bentuk biomassa. Karbon dalam biomassa tersimpan selama
tumbuhan lamun masih hidup. Karbon tersebut akan menjadi energi untuk proses
fisiologi tanaman dan sebagian masuk kedalam struktur tumbuhan lamun. Stok
karbon yaitu kandungan karbon absolut dalam biomassa pada waktu tertentu
(Apps et al. 2003). Hasil analisis dengan menggunakan metode Walkley dan Black
dan metode pengabuan menghasilkan nilai kandungan karbon perjaringan (akar,
daun dan rhizoma) yang disajikan pada Tabel 5.5 sebagai berikut:
Tabel 5.5
Konsentasri Karbon Jaringan Lamun
Stasiun Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun (% dari berat kering)
(Transek Metode Wilkley & Black
Metode Pengabuan
Kuadrat) Akar Daun Rhizoma
Akar Daun Rhizoma
1 B 20.79 16.48 16.32
19.89 16.18 13.79
2 B 24.72 20.63 20.87
28.11 19.04 14.55
3 B 20.73 20.82 16.96
18.04 16.47 10.34
4 B 20.71 20.54 24.85
18.98 16.68 20.90
5 B 24.4 20.49 16.47
24.90 20.24 11.50
6 B 20.86 20.56 16.75
17.47 18.30 12.40
7 B 20.54 16.51 16.18
22.09 16.86 13.26
8 B 24.73 20.55 16.7 23.71 18.79 13.97
74
Dari Tabel 5.5 mengenai hasil analisis kandungan karbon di atas dapat
dijelaskan bahwa nilai rata-rata kandungan karbon dalam jaringan lamun dengan
metode Wilkley & Black yakni pada bagian akar sebesar 22,18 %, pada bagian
daun sebesar 19,57 % dan bagian rhizoma sebesar 18,14 %. Dengan metode
pengabuan diperoleh nilai kandungan karbon pada bagian akar sebesar 21,65 %,
pada bagian daun sebesar 17,81 % dan pada bagian rhizoma sebesar 13,84 %.
Estimasi stok karbon dilakukan dengan mengkonversi persentase
kandungan karbon dengan biomassa dari kuadrat b ke kuadrat a dan c pada
masing-masing stasiun (8 stasiun). Hal ini dilakukan berdasarkan prakiraan bahwa
masing-masing kuadrat (a, b dan c) memiliki kondisi lamun yang hampir sama
atau relatif homogen karena jarak yang berdekatan. Nilai kandungan karbon
dengan metode Wilkley & Black yang telah dikonversi ke dalam satu meter
persegi (m2) ke masing-masing transek kuadrat disajikan pada Tabel 5.6 sebagai
berikut:
75
Tabel 5.6
Estimasi Kandungan Karbon Lamun dengan Metode Wilkley & Black
Stasiun Kandungan karbon (gC/0,04 m
2) Kandungan karbon (gC/m
2)
Akar Daun Rizoma Akar Daun Rizoma
1 A 0.0707 0.1846 0.1893 1.7672 4.6144 4.7328
1 B 0.1435 0.2076 0.3003 3.5863 5.1912 7.5072
1 C 0.1684 0.1483 0.2040 4.2100 3.7080 5.1000
2 A 0.3708 0.4992 0.7200 9.2700 12.4812 18.0004
2 B 0.2175 0.3033 0.7931 5.4384 7.5815 19.8265
2 C 0.5191 0.5281 0.7388 12.9780 13.2032 18.4700
3 A 0.4913 0.4705 0.5851 12.2825 11.7633 14.6280
3 B 0.4498 0.4768 0.2290 11.2460 11.9195 5.7240
3 C 0.6219 0.4539 0.1950 15.5475 11.3469 4.8760
4 A 0.1533 0.2075 0.4548 3.8314 5.1864 11.3689
4 B 0.3003 0.5690 0.1491 7.5074 14.2240 3.7275
4 C 0.7435 0.7990 0.4771 18.5872 19.9752 11.9280
5 A 0.1391 0.3196 0.1087 3.4770 7.9911 2.7176
5 B 0.1537 0.5717 0.0560 3.8430 14.2918 1.4000
5 C 0.1171 0.2623 0.1120 2.9280 6.5568 2.7999
6 A 0.0292 0.1357 0.0436 0.7301 3.3924 1.0888
6 B 0.0814 0.2412 0.1575 2.0339 6.0300 3.9363
6 C 0.0876 0.3187 0.2194 2.1903 7.9670 5.4856
7 A 0.2937 0.3401 0.1925 7.3431 8.5027 4.8136
7 B 0.0719 0.2361 0.2589 1.7973 5.9023 6.4720
7 C 0.0801 0.2823 0.0744 2.0027 7.0580 1.8607
8 A 0.0717 0.2507 0.4175 1.7929 6.2678 10.4375
8 B 0.1583 0.2548 0.1837 3.9568 6.3705 4.5925
8 C 0.1509 0.3103 0.3190 3.7713 7.7576 7.9743
76
Nilai kandungan karbon dengan metode pengabuan yang telah dikonversi
ke dalam satu meter persegi (m2) ke masing-masing transek kuadrat dapat
disajikan pada Tabel 5.7 sebagai berikut:
Tabel 5.7
Estimasi Kandungan Karbon Lamun dengan Metode Pengabuan
Stasiun Kandungan karbon (gC/0,04 m
2) Kandungan karbon (gC/m
2)
Akar Daun Rizoma Akar Daun Rizoma
1 A 0.0676 0.1812 0.1600 1.6906 4.5297 4.0001
1 B 0.1372 0.2039 0.2537 3.4310 5.0967 6.3434
1 C 0.1611 0.1456 0.1724 4.0277 3.6399 4.3105
2 A 0.4216 0.4608 0.5021 10.5409 11.5210 12.5523
2 B 0.2474 0.2799 0.5530 6.1842 6.9983 13.8257
2 C 0.5903 0.4875 0.5152 14.7573 12.1875 12.8797
3 A 0.4275 0.3723 0.3568 10.6884 9.3074 8.9202
3 B 0.3915 0.3772 0.1396 9.7864 9.4310 3.4905
3 C 0.5412 0.3591 0.1189 13.5296 8.9780 2.9734
4 A 0.1404 0.1684 0.3825 3.5111 4.2108 9.5613
4 B 0.2752 0.4619 0.1254 6.8799 11.5484 3.1349
4 C 0.6814 0.6487 0.4013 17.0338 16.2177 10.0316
5 A 0.1419 0.3158 0.0759 3.5476 7.8950 1.8979
5 B 0.1568 0.5648 0.0391 3.9211 14.1199 0.9777
5 C 0.1195 0.2591 0.0782 2.9875 6.4780 1.9554
6 A 0.0245 0.1208 0.0322 0.6113 3.0196 0.8057
6 B 0.0681 0.2635 0.1165 1.7029 6.5882 2.9130
6 C 0.0734 0.2837 0.1624 1.8338 7.0914 4.0596
7 A 0.3159 0.3472 0.1578 7.8986 8.6809 3.9448
7 B 0.0773 0.2410 0.2122 1.9332 6.0261 5.3039
7 C 0.0862 0.2882 0.0610 2.1542 7.2060 1.5249
8 A 0.0688 0.2292 0.3493 1.7191 5.7302 8.7333
8 B 0.1518 0.2330 0.1537 3.7940 5.8242 3.8427
8 C 0.1446 0.2837 0.2669 3.6161 7.0924 6.6723
77
Setelah diketahui nilai hasil konversi kandungan karbon dengan metode
Wilkley & Black dan metode pengabuan ke dalam satu meter persegi (m2) pada
masing-masing jaringan lamun (akar, daun dan rhizoma) pada setiap masing-
masing transek kuadrat, kemudian dilakukan rata-rata kandungan karbon lamun
dari dua metode tersebut yang terdiri dari kandungan karbon lamun bagian atas
substrat (daun) dan kandungan karbon lamun bagian bawah substrat (akar dan
rhizoma). Hasil rata-rata inilah yang digunakan sebagai nilai stok kandungan
karbon lamun. Adapun grafik rerata dari stok karbon lamun dapat disajikan pada
Gambar 5.16 sebagai berikut:
Gambar 5.16
Rata-rata stok karbon Lamun pada masing-masing transek
Nilai rerata kandungan karbon tersebut dapat disajikan pada Tabel 5.8
sebagai berikut:
0
5
10
15
20
25
30
A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8
Atas Substrat Bawah Substrat
Rerata Kandungan Karbon (gC/m
2)
78
Tabel 5.8
Rerata Nilai Kandungan Karbon Lamun
Metode Wilkley
& Black
Metode
Pengabuan
Rerata dari metode
Wilkley & Black
Stasiun (gC/m2) (gC/m
2) Dan Pengabuan (gC/m
2)
Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Rerata
Substrat Substrat Substrat Substrat Substrat Substrat Total
1 A 6.5000 4.6144 5.6907 4.5297 6.0953 4.6144 10.7097
1 B 11.0935 5.1912 9.7744 5.0967 10.4339 5.1440 15.5779
1 C 9.3100 3.7080 8.3382 3.6399 8.8241 3.6740 12.4980
2 A 27.2704 12.4812 23.0932 11.5210 25.1818 12.0011 37.1828
2 B 25.2649 7.5815 20.0099 6.9983 22.6374 7.2899 29.9273
2 C 31.4480 13.2032 27.6370 12.1875 29.5425 12.6953 42.2378
3 A 26.9105 11.7633 19.6085 9.3074 23.2595 10.5354 33.7949
3 B 16.9700 11.9195 13.2769 9.4310 15.1235 10.6752 25.7987
3 C 20.4235 11.3469 16.5030 8.9780 18.4632 10.1624 28.6257
4 A 15.2002 5.1864 13.0725 4.2108 14.1363 4.6986 18.8349
4 B 11.2349 14.2240 10.0148 11.5484 10.6248 12.8862 23.5110
4 C 30.5152 19.9752 27.0653 16.2177 28.7903 18.0964 46.8867
5 A 6.1946 7.9911 5.4455 7.8950 5.8200 7.9431 13.7631
5 B 5.2430 14.2918 4.8988 14.1199 5.0709 14.2058 19.2767
5 C 5.7279 6.5568 4.9429 6.4780 5.3354 6.5174 11.8528
6 A 1.8189 3.3924 1.4170 3.0196 1.6179 3.2060 4.8239
6 B 5.9701 6.0300 4.6158 6.5882 5.2930 6.3091 11.6020
6 C 7.6759 7.9670 5.8934 7.0914 6.7847 7.5292 14.3139
7 A 12.1566 8.5027 11.8434 8.6809 12.0000 8.5918 20.5918
7 B 8.2693 5.9023 7.2372 6.0261 7.7532 5.9642 13.7174
7 C 3.8634 7.0580 3.6790 7.2060 3.7712 7.1320 10.9032
8 A 12.2304 6.2678 10.4525 5.7302 11.3414 5.9990 17.3404
8 B 8.5493 6.3705 7.6366 5.8242 8.0930 6.0973 14.1903
8 C 11.7456 7.7576 10.2884 7.0924 11.0170 7.4250 18.4420
79
Berdasarkan Tabel 5.8, nilai kandungan karbon lamun yang dipakai untuk
stok karbon lamun yaitu nilai hasil rata-rata dari dua metode yang telah
digunakan. Hasil uji Mann-Whitney tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata
antara metode pengabuan dan metode Walkley & Black. Hal ini dibuktikan oleh
nilai signifikansi p-value karbon bagian atas substrat antara metode pengabuan
dengan metode Walkley & Black sebesar 0.564 (P>0.05) dan karbon bagian
bawah substrat sebesar 0.375 (P>0.05) sehingga tidak terdapat perbedaan nyata
nilai kandungan karbon dari dua metode tersebut.
Grafik stok karbon lamun (Gambar 5.16) menunjukkan perbedaan besaran
kandungan karbon yang tersimpan pada bagian di atas substrat dan di bawah
substrat dari tumbuhan lamun pada setiap titik stasiun pengamatan. Secara umum
kandungan karbon di bawah substrat lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan
karbon di atas substrat.
Nilai kandungan karbon di bawah substrat berkisar antara 1,62 – 29,54
gC/m2. Nilai tertinggi ditemukan di stasiun 2C (kuadran c) yakni di Pantai
Semawang I sebesar 29,54 gC/m2
yang didominasi oleh jenis Enhalus Acroides
diikuti oleh stasiun 4C (Pantai Indah) sebesar 28,79 gC/m2
yang juga didominasi
oleh jenis E. Acroides. Sedangkan nilai kandungan karbon di bawah substrat
terkecil ditemukan di stasiun 6A (Pantai Inna Grand Bali) sebesar 1,61 gC/m2
yang didominasi oleh jenis H. ovalis dan H. pinifolia. Diikuti oleh stasiun 7C
(Pantai Sanur II) sebesar 3,77 gC/m2
yang didominasi oleh H. ovalis.
Nilai kandungan karbon di atas substrat berkisar antara 3,21 – 18,10
gC/m2. Nilai tertinggi ditemukan di stasiun 4C (Pantai Indah) sebesar 18,10 gC/m
80
yang didominasi oleh jenis E. acroides. Diikuti oleh stasiun 5B (Pantai Sindhu)
sebesar 14,20 gC/m2
yang didominasi oleh T. hemprichii. Sedangkan nilai
kandungan karbon di atas substrat terkecil ditemukan di stasiun 6A (Pantai Inna
Grand Bali) sebesar 3,21 gC/m2
yang didominasi oleh H. ovalis dan H. pinifolia.
Diikuti oleh stasiun 1C (Pantai Mertasari) sebesar 3,67 gC/m2 yang didominasi
oleh jenis H. uninervis.
Secara keseluruhan, total nilai stok kandungan karbon bagian atas substrat
dan bawah substrat tertinggi per stasiun ditemukan di Pantai Semawang 1 dengan
total kandungan karbon per kuadrat a,b dan c sebesar 109,35 gC dengan dominasi
jenis lamun E. acroides dan T. hemprichii. Nilai stok kandungan karbon terkecil
ditemukan di Pantai Inna Grand Bali Beach (total kandungan karbon per kuadrat
a,b dan c sebesar 30,74 gC) dengan dominasi jenis lamun H. uninervis dan H.
pinifolia.
Dari hasil analisis nilai kandungan karbon tersebut, maka diketahui nilai
stok karbon tertinggi dimiliki oleh jenis lamun E. acroides baik di bagian atas
substrat maupun pada bagian bawah subtratnya. Nilai stok karbon terkecil dimiliki
oleh jenis H. ovalis dan H. uninervis.
Berdasarkan data hasil stok karbon yang telah didapatkan pada masing-
masing transek, dibuat 5 kategori kelas stok karbon untuk memudahkan analisis
dan pendistribusian secara spasial. Kategori kelas stok karbon lamun dapat
disajikan pada Tabel 5.9 sebagai berikut:
81
Tabel 5.9
Kategori Kelas Ukuran Karbon
Karegori Stok Karbon (gC/m2)
Kelas Atas Substrat Bawah Substrat Total
1 < 5 < 5 < 10
2 5 - 10 5 - 10 10 - 20
3 10 - 15 10 - 15 20 - 30
4 15 - 20 15 - 20 30 - 40
5 > 20 > 20 > 40
Hasil pengkategorian kelas karbon lamun tersebut yaitu berupa peta
distribusi sebaran nilai stok karbon yang terdapat pada bagian atas substrat dan
bagian bawah subtrat yang dapat dilihat pada Gambar 5.17 dan Gambar 5.18. Peta
distribusi stok karbon dan perhitungan masing-masing luas kategori stok karbon
dilakukan dengan menggunakan software Arcgis 10.1 yaitu sebagai berikut:
82
Gambar 5.17
Peta Sebaran Stok Karbon Lamun Bagian Atas Substrat di Kawasan
Pantai Sanur
83
Gambar 5.18
Peta Sebaran Stok Karbon Lamun Bagian Bawah Substrat di Kawasan
Pantai Sanur
84
Berdasarkan peta stok karbon bagian atas substrat (Gambar 5.17), luas
kelas stok karbon atas substrat tertinggi ditemukan pada kelas 2 (5,01 – 10,00
gC/m2) sebesar 171,5 Ha atau 53,27 % dari luas keseluruhan padang lamun.
Kemudian berturut-turut diikuti oleh kelas 3 (10,01 – 15,00 gC/m2) sebesar 136,6
atau 42,44 %, kelas 1 (< 5,00 gC/m2) sebesar 13,18 Ha atau 4,09 %, dan luas
terkecil yakni pada kelas 4 (15,01 - 20,00 gC/m2) sebesar 0,65 Ha atau 0,20 %
dari luas keseluruhan padang lamun di kawasan Pantai Sanur. Stok karbon di atas
substrat untuk kategori kelas 5 (>20,01 gC/m2) tidak ditemukan karena kandungan
karbon di atas substrat tidak melebihi nilai 20,01 gC/m2. Dari keseluruhan
kategori kelas stok karbon lamun di atas substrat, terlihat bahwa kategori kelas
yang mendominasi yakni kelas 2 yang mempunyai nilai kisaran stok karbon
sebesar 05,01 – 10,00 gC/m2 yang melebihi setengah dari luas total padang lamun
yang ada.
Untuk luas kategori stok karbon lamun bagian bawah substrat (Gambar
5.18) tertinggi ditemukan pada kelas 4 (15,01 - 20,00 gC/m2) sebesar 106,1 Ha
atau sebesar 32,94 %. Kemudian berturut-turut diikuti oleh kelas 5 ( >20,00
gC/m2) sebesar 95 Ha atau 29,51 %, kelas 2 (05,01 – 10,00 gC/m
2) sebesar 61,2
Ha atau 19,01 %, kelas 3 (10,01 – 15,00 gC/m2) sebesar 56,1 Ha atau 17,42 % dan
luas terkecil yakni kelas 1 (< 05,00 gC/m2) sebesar 3,6 Ha atau 1,12 %. Dari
keseluruhan kategori kelas stok karbon lamun di bawah substrat, terlihat bahwa
kategori kelas yang mendominasi yakni kelas 4 dengan nilai kisaran stok karbon
sebesar 15,01 - 20,00 gC/m2 dan distribusi masing-masing kategori kelas lainnya
85
yakni kelas 2, kelas 4 dan kelas 5 tidak terpaut terlalu jauh, sedangkan distribusi
kelas 1 terlihat sangat sedikit.
5.3.2 Total Penyimpanan Stok Karbon
Total stok karbon diperoleh dengan menggabungkan nilai kandungan
karbon bagian atas substrat dan bagian bawah substrat dari tumbuhan lamun (yang
tertera pada Tabel 5.8) pada masing-masing transek. Grafik total stok karbon
lamun di Pantai Sanur dapat disajikan pada Gambar 5.19 sebagai berikut:
Gambar 5.19
Total Stok Karbon Lamun pada masing-masing Transek
Rata-rata total stok karbon lamun bagian atas dan bawah substrat dari
semua transek yakni sebesar 20,05 gC/m2 dengan kisaran antara 4.82 - 46.89
gC/m2. Stok karbon tertinggi ditemukan pada stasiun 4C (Pantai Indah) sebesar
46.89 gC/m2 yang didominasi oleh jenis lamun Enhalus Acroides dan terkecil
ditemukan di stasiun 6A (Pantai Inna Grand Bali) sebesar 4.82 gC/m2 yang
didominasi oleh jenis lamun H. ovalis. Peta distribusi total stok karbon lamun
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8Total Stok Karbon Lamun Karbon(Bagian Atas dan Bawah Substrat)
Kandungan Karbon (gC/m2)
86
di Pantai Sanur dapat dilihat pada peta (Gambar 5.20) sebagai berikut:
Gambar 5.20
Peta Total Sebaran Stok Karbon Lamun di Kawasan Pantai Sanur
87
Semakin tinggi nilai biomassa maka nilai kandungan karbon yang
terkandung di dalam biomassa pun semakin tinggi (Wardah, 2009). Hal ini sesuai
dengan hasil biomassa dalam penelitian ini yang berbanding lurus dengan nilai
kandungan karbon.
Berdasarkan peta di atas dan sesuai dengan luas total padang lamun
sebesar 322 Ha maka pembagian masing-masing luas kelas stok karbon yakni
kelas total stok karbon lamun tertinggi ditemukan pada kelas 3 (20,01 – 30,00
gC/m2) sebesar 119,14 Ha atau 37 % dari luas keseluruhan padang lamun.
Kemudian diikuti oleh kelas 2 (10,01 – 20,00 gC/m2) sebesar 89,58 atau 27,82 %
dan seterusnya oleh kelas 4 (30,01 - 40,00 gC/m2) sebesar 111,04 Ha atau 34,48
%, kelas 1 (< 5,00 gC/m2) sebesar 1,9 Ha atau 0,59 % dan luas terkecil yakni pada
kelas 5 (>40,00 gC/m2) sebesar 0,34 Ha atau 0,11 % dari luas keseluruhan padang
lamun di kawasan Pantai Sanur.
Berdasarkan jenis lamun, pendugaan konstribusi stok karbon terbesar
disumbangkan oleh jenis E. acroides. Konstribusi ini dilihat dari hubungan antara
kerapatan lamun, nilai frekuensi kemunculan, nilai biomassa dan nilai kandungan
karbon yang menjelaskan bahwa hampir semua masing-masing transek yang
ditemukan jenis lamun E. acroides baik yang tunggal (hanya E. acroides) ataupun
campuran yang didominasi oleh E. acroides maka nilai biomassa dan kandungan
karbonnya lebih tinggi daripada transek lain yang ditemukan lamun dengan jenis
lain. Konstribusi stok karbon terkecil disumbangkan oleh jenis C. serrulata yang
berdasarkan hasil identifikasi merupakan jenis yang paling jarang ditemui.
88
40%
60%
Karbon atas substrat
Karbon bawah subtrat
Untuk total stok karbon lamun seluruh luasan padang lamun diperoleh
dengan cara hasil rata-rata stok karbon (gC/m2) dikalikan dengan luas seluruh area
padang lamun (m2). Diagram persentase total stok karbon bagian atas substrat dan
bawah substrat dapat dilihat pada Gambar 5.21 sebagai berikut:
Gambar 5.21
Persentase Konstribusi Stok Karbon Lamun Bagian Atas Substrat dan
Bagian Bawah Substrat
Hasil perhitungan total stok karbon lamun dibawah substrat sebesar 39,85
ton karbon atau 60 % lebih besar dibandingkan dengan total stok karbon lamun
diatas substrat yang hanya 40 % (26,75 ton karbon). Untuk total stok karbon
lamun diperoleh total sebesar 66.600.749 gC atau sebesar 66,60 ton karbon.
Sehingga padang lamun yang tumbuh di kawasan Pantai Sanur mempunyai
potensi penyimpanan karbon sebesar 66,60 ton atau setara dengan 0,21 ton/ha
karbon yang terdiri dari bagian lamun diatas substrat dan dibawah substrat.
Sebaran total stok karbon lamun di perairan sebelah selatan (stasiun 1,2,3 dan 4)
lebih besar karena rataan/ lebar lamun yang tumbuh lebih luas sekitar 0 – 820 m
dibandingkan dibagian utara (stasiun 5,6,7 dan 8) sekitar 0 – 180 m dan juga
karena di perairan selatan didominasi oleh jenis lamun E. acroides yang secara
morfologi lebih besar dibandingkan jenis lainnya.
89
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Kondisi Komunitas Lamun di Kawasan Pantai Sanur
6.1.1 Kondisi Komunitas Lamun
Jumlah spesies lamun yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya yakni
ditemukan enam jenis lamun (Dewi, 2012) dan tujuh jenis lamun (Arthana, 2004)
di perairan Pantai Sanur, sedangkan di Pantai Nusa Dua (Bali) yang mempunyai
hamparan padang lamun cukup luas setelah Pantai Sanur hanya ditemukan enam
jenis lamun (Suryantara, 2005). Dalam penelitian ini telah ditemukan delapan
jenis lamun di kawasan perairan Pantai Sanur, hal ini dikarenakan peletakan
jumlah stasiun pengamatan lebih luas dari peneltian sebelumnya sehingga peluang
ditemukan jenis lamun di Pantai Sanur lebih tinggi.
Padang lamun pada lokasi penelitian secara umum mempunyai tipe
vegetasi campuran dengan asosiasi H. uninervis, S. isoetifolium, H. ovalis, H.
pinifolia dan diikuti oleh E. acroides. Hemminga dan Duarte (2000),
mengemukakan bahwa karakteristik padang lamun pada daerah tropis dan
subtropis Indo-Pasifik yaitu memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dan
bertipe vegetasi campuran (mixed vegetation).
Secara keseluruhan, jenis tegakan total lamun yang tertinggi ditemukan
pada jenis H. uninervis sebanyak 2.189 individu dari total keseluruhan transek (24
m2) kemudian diikuti oleh jenis S. isoetifolium dengan total 1.660 individu dari
keseluruhan transek. Untuk kemunculan jenis lamun tertinggi pada masing-
masing stasiun di Pantai Sanur ditemukan pada jenis E. acroides dan diikuti oleh
89
90
H. Uninervis. Sedangkan kemunculan jenis lamun yang paling jarang yakni jenis
C. Serrulata.
Kemunculan lamun tertinggi ini berkorelasi dengan yang dikemukakan
oleh Arthana (2004) bahwa spesies yang umum dijumpai di Pantai Sanur adalah
jenis E. acroides dan jenis ini memiliki toleransi tertinggi untuk berkembang di
Pantai Sanur. Masih menurut Arthana (2004) yakni lamun jenis E. acroides
memiliki daun yang lebih tebal, lebar dan panjang, sehingga memiliki ruang
fotosintesa yang lebih besar per individunya. Jenis E. acroides bahkan bisa hidup
mulai dari sedimen lumpur terrigenous sampai sedimen kasar karbonat, atau
mulai dari salinitas rendah di dekat muara sungai sampai salinitas yang relatif
tinggi di pulau-pulau yang jauh dari pengaruh muara sungai (Erftemeijer et al.
1993; Waycott et al. 2004) sehingga mempunyai daya saing yang besar dan
ditemukan lebih merata dibandingkan jenis lain di kawasan Pantai Sanur.
Kemunculan tertinggi berikutnya yakni jenis H. Uninervis, jenis lamun ini
banyak ditemukan karena perairan Pantai Sanur berupa laguna yang berbatasan
dengan terumbu karang dimana sebagian terumbu karang mengalami kerusakan
sehingga membentuk substrat pecahan karang dan pada jenis substrat inilah jenis
H. uninervis banyak hidup di Pantai Sanur. Hal ini dapat dilihat pada Stasiun 1,6
dan 8 yang mempunyai tipe substrat pasir dan pecahan karang dimana tumbuh
lamun jenis H. Uninervis dengan jumlah yang banyak, sedangkan pada Stasiun 4
dan 5 yang mempunyai jenis substrat bertekstur pasir juga ditemukan jenis H.
Uninervis. Hal ini terjadi karena H. Uninervis selain hidup di rataan terumbu
karang rusak namun juga dapat hidup pada perairan dengan substrat pasir dengan
91
kondisi lingkungan yang mendukung seperti yang dijelaskan oleh Bengen (2004)
bahwa jenis lamun H. Uninervis tumbuh pada rataan terumbu karang yang rusak.
Carruthers et al (2007) juga menyebutkan yakni H. Uninervis merupakan lamun
sublittoral ditemukan umumnya pada kedalaman antara 0-3 m di laguna sublittoral
dan tumbuh di dekat terumbu karang yang rusak namun dapat tumbuh di berbagai
habitat yang berbeda. Hal ini diperkuat oleh Rustendi (2001) bahwa H. Uninervis
dapat hidup pada substrat pasir halus-kasar di zona intertidal dan subtidal. Lamun
ini dapat membentuk padang rumput padat bercampur dengan spesies lamun lain.
Kiswara (1994) menyatakan untuk spesies lamun yang bersifat pionir (seperti
Cymodoceae, Halodule dan Syringodium) cenderung tumbuh di bagian perairan
dangkal.
Kemunculan jenis lamun yang paling jarang yakni jenis C. Serrulata yang
hanya ditemukan pada Stasiun 4 dengan total tegakan 8-15 ind/m2. Jenis ini jarang
ditemukan di lokasi penelitian karena jenis ini cenderung tumbuh pada jenis
substrat pasir berlumpur atau pasir dari pecahan karang pada daerah pasang surut.
Bengen (2004) mengatakan bahwa C. Serrulata cenderung tumbuh di daerah
intertidal yang berbatasan dengan mangrove. Berdasarkan pengamatan lapang
bahwa lokasi ekosistem mangrove relatif jauh dari lokasi penelitian ini, sehingga
diduga jenis C. Serrulata jarang ditemukan. Jenis ini hanya ditemukan di Stasiun
4 dengan jumlah tegakan sangat sedikit dengan tipe substrat yakni tekstur pasir.
Jenis H. uninervis merupakan kehadiran jenis pembuka (pionir) dengan
jumlah tegakan/ individu yang lebih banyak dibandingkan jenis E. acroides dan
jenis lainnya. Namun berdasarkan nilai biomassa terhadap jenis lamun yang
92
mendominasi, dimana jenis E. acroides mempunyai nilai biomassa yang lebih
tinggi dibandingkan dengan H. uninervis. Hal ini diakibatkan oleh faktor
morfologi yakni jenis E. acroides lebih besar diantara jenis lamun yang ada di
Pantai Sanur. Semakin besar ukuran lamun, jumlah individu yang dapat mendiami
suatu luasan tertentu akan berkurang (Fauziyah, 2004). Hal ini berkorelasi (sesuai)
dengan penelitian ini yakni antara jenis yang paling sering ditemukan antara H.
uninervis dengan E. acroides.
Penelitian yang dilakukan oleh Supriadi (2012) di Pulau Baranglompo
menyebutkan bahwa rata-rata biomassa di bawah substrat lebih dari tiga kali lipat
dibanding biomassa di atas substrat. Dalam penelitian ini rata-rata besaran nilai
biomassa lamun bagian bawah substrat hanya mencapai dua kali lipat
dibandingkan biomassa bagian atas substrat. Hal ini dapat dikaitkan dengan
morfologi tumbuhan lamun dimana ukuran lamun yang tumbuh di Pantai Sanur
berdasarkan hasil pengamatan yakni berukuran sedang dan kerapatan lamun per
meter persegi pun lebih jarang sehingga mempengaruhi nilai biomassa lamun
tersebut. Dalam penelitian ini juga ditemukan nilai biomassa diatas substrat lebih
tinggi daripada biomassa dibawah substrat yang ditemukan pada 7 transek.
Walaupun produksi lamun terbagi menjadi jaringan di bawah permukaan dan di
atas permukaan sedimen, namun biomassa di bagian bawah (rhizoma dan akar)
sering kali mendominasi biomassa total dari komunitas lamun (Lefaan, 2008).
Salah satu fungsi tingginya penyimpanan biomassa dibawah substrat adalah
memperkuat penancapan lamun. Menurut Kuriandewa (2009), lamun E.
93
acoroides bisa mempunyai biomassa dalam rimpang yang mencapai 6-10 kali
dibanding di atas substrat.
Semua jenis lamun umumnya dapat hidup pada semua jenis substrat, tetapi
setiap jenis lamun mempunyai karakter tersendiri terhadap lingkungan hidupnya.
Secara keseluruhan Pantai Sanur mempunyai arus perairan yang tenang dengan
tipe pantai landai dan padang lamun yang tumbuh terletak ditengah laguna yang
berbatasan dengan karang ke arah lautnya sehingga faktor lingkungan ini sangat
mendukung kehidupan padang lamun. Jumlah jenis lamun yang telah ditemukan
di Indonesia sebanyak 12 jenis lamun (Larkum et al, 1989), sedangkan jenis
lamun yang telah terinventarisasi di wilayah pesisir Provinsi Bali berjumlah 10
jenis (Sudiarta dan Sudiarta, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa di kawasan
Pantai Sanur ditemukan 66 % dari total jenis lamun yang ada di Indonesia dan 80
% dari total jenis lamun yang ada di Provinsi Bali. Sehingga tingkat
keanekaragaman jenis lamun di kawasan pantai Sanur termasuk dalam kriteria
tinggi. Tingkat keanekaragaman yang tinggi ini berdasarkan persentase jumlah
jenis terhadap seluruh jenis yang ada di Indonesia ≥ 60% (Sudiarta & Restu,
2011).
6.1.2 Parameter Lingkungan Kawasan Pantai Sanur
Berdasarkan Tabel 5.4 pada Bab V sebelumnya, hasil pengukuran
parameter lingkungan perairan di Kawasan Pantai Sanur menunjukkan bahwa di
semua stasiun penelitian yang diamati memiliki kondisi parameter kualitas air
yang baik atau sesuai untuk kehidupan lamun. Secara umum nilai-nilai hasil
pengukuran tersebut menunjukkan sebaran spasial yang cenderung homogen dan
94
hampir sama serta nilai yang diperoleh berada dalam kisaran optimum bagi
pertumbuhan lamun sesuai dengan baku mutu air laut untuk biota laut (lamun)
yang dikeluarkan oleh Kep Men Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004.
Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan lamun di perairan. Berdasarkan hasil pengukuran suhu perairan pada
stasiun penelitian diperoleh hasil pengukuran suhu berkisar 28,97 – 30,13 °C
dapat dikatakan bahwa perbedaan suhu antar stasiun kecil sehingga sebaran
spasial suhu dilokasi penelitian cenderung homogen. Dari nilai tersebut terlihat
bahwa suhu di lokasi penelitian berada pada kisaran optimal untuk kehidupan
lamun yaitu antara 28 hingga 30 °C (Dahuri et al, 1996).
Kisaran salinitas perairan hasil pengukuran di lokasi penelitian berkisar
33,4 – 34,9 o/oo dengan nilai rata-rata sebesar 33,9
o/oo. Menurut Argadi (2003),
besarnya salinitas yang dibutuhkan setiap makhluk hidup bervariasi tergantung
pada tekanan osmotik dalam tubuhnya. Dilihat dari nilai kisaran tersebut, maka
salinitas di lokasi penelitian cukup mendukung kehidupan komunitas lamun,
karena berada pada kisaran salinitas yang cocok untuk pertumbuhan lamun yaitu
sebesar 24 – 35 o/oo (Hilman et al, 1989).
Nilai derajat keasaman (pH) di stasiun penelitian berkisar 7,00 – 7,60
dengan nilai rata-rata sebesar 7,17. Derajat keasaman disuatu perairan sangat
dipengaruhi oleh dekomposisi tanah dan dasar perairan serta keadaan lingkungan
sekitarnya (Argadi, 2003). Suatu perairan dengan pH 5,5-6,5 termasuk perairan
yang tidak produktif, perairan dengan pH 6,5-7,5 termasuk perairan yang
produktif, perairan dengan pH 7,5-8,5 adalah perairan yang memiliki
95
produktivitas yang sangat tinggi, dan perairan dengan pH yang lebih besar dari 8,5
dikategorikan sebagai perairan yang tidak produktif lagi (Nybakken, 1992). Nilai
pH di lokasi penelitian masuk dalam kategori cukup optimal untuk pertumbuhan
lamun karena tidak terlalu jauh dengan batas kisaran optimum lamun yaitu 7,5,
dimana nilai pH yang baik untuk lamun adalah pada saat pH air laut berkisar 7,5 –
8,5 (Nybakken, 1992).
Kandungan oksigen terlarut (DO) di pantai Sanur berdasarkan hasil
pengukuran yaitu berkisar 6,40 – 7,70 mg/l dengan nilai rata-rata sebesar 6,96
mg/l. Perairan yang hangat memiliki kandungan oksigen terlarut yang rendah
dibandingkan dengan perairan yang lebih dingin, dimana konsentrasi kejenuhan
oksigen terlarut menurun antara 0,2 dan 0,3 mg/l untuk setiap kenaikan
temperatur derajat celcius (Arnell, 2002). Nilai DO dalam perairan sangat terkait
dengan produksi oksigen seperti dalam fotosintesis dan pemakaian oksigen oleh
lamun seperti dalam respirasi akar dan rimpang maupun dalam proses siklus
nitrogen oleh bakteri di padang lamun (Argadi, 2003). Nilai DO hasil pengukuran
di Pantai Sanur memperlihatkan bahwa kisaran nilai tersebut berada diatas baku
mutu air laut untuk biota laut (kepmen Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004),
yaitu > 5 mg/l.
Kecepatan arus perairan di Pantai Sanur dalam kategori sangat lambat
sampai sedang yaitu berkisar 0.086 - 0.320 m/detik. Kisaran kecepatan arus
tersebut termasuk dalam kategori baik untuk pertumbuhan lamun. Koch (2001)
mengemukakan bahwa untuk mendukung pertumbuhan dan distribusi padang
lamun yang sehat diperlukan kecepatan arus yang sedang diantara 0,05 – 1,00 m/
96
detik. Arus perairan yang kecil menyebabkan daun lamun dipadati oleh alga epifit
berikut sedimen yang terperangkap diantara alga tersebut. Sebaliknya, apabila
daun lamun bersih dari alga epifit menunjukkan arus setempat relatif kuat
(Berwick 1983 dalam Dewi, 2012). Kondisi daun lamun yang dipadati oleh epifit
ditemukan pada stasiun 2 (Pantai Semawang II) dan stasiun 4 (Pantai Indah) yakni
pada jenis E. acroides yang memiliki nilai kecepatan arus cukup lambat yakni
0.106 - 0.117 m/det dibandingkan kecepatan arus pada stasiun 3,5,6,7 dan 8 yang
lebih cepat.
Nilai kecerahan perairan di pantai Sanur yakni 100 % dengan kedalaman
perairan 40 – 200 meter, menunjukkan bahwa dasar perairan serta tumbuhan
lamun dapat terlihat dari permukaan. Kecerahan yang tinggi ini dikarenakan
kondisi perairan yang tenang akibat adanya terumbu karang dibagian depan
komunitas padang lamun. Selain itu kecerahan yang tinggi ini juga disebabkan
oleh sifat lamun yang mampu menangkap sedimen dan didukung oleh kecepatan
arus yang relatif tenang.
6.2 Stok Karbon Lamun
Berdasarkan hasil perhitungan kandungan karbon pada Bab V
sebelumnya, dapat dijelaskan secara keseluruhan stok karbon lamun di pantai
Sanur pada bagian bawah substrat lebih besar dibandingkan stok karbon lamun
bagian atas substrat. Dari total 24 titik pengamatan hanya 8 titik transek atau 33%
yang ditemukan mempunyai nilai stok karbon bagian atas substrat yang lebih
tinggi dibandingkan bagian bawah substrat.
97
Adanya variasi nilai stok karbon lamun disebabkan oleh perbedaan
biomassa, konsentrasi kandungan karbon yang berbeda antar jenis maupun antar
jaringan pada jenis yang sama. Sesuai dengan pernyataan Wardah (2009) yang
menyebutkan bahwa semakin tinggi nilai biomassa maka nilai kandungan karbon
yang terkandung didalam biomassa pun semakin tinggi maka dalam penelitian ini
jenis lamun yang mempunyai nilai kandungan karbon tertinggi adalah E. acroides
dilihat dari setiap transek yang ditemukan jenis E. acroides ini maka nilai
biomassa dan kandungan karbonnya cenderung lebih besar dibandingkan transek
lain yang ditemukan jenis lamun selain E. acroides. Sehingga jenis lamun E.
acroides mempunyai konstribusi terbesar sebagai penyimpan karbon di kawasan
Pantai Sanur.
Walau kekayaan jenis lamun di daerah tropis tinggi, namun biasanya
terdapat satu jenis yang dominan dalam hubungannya dengan biomassa
(Hemminga dan Duarte, 2000) karena hal ini berkaitan dengan morfologi dan laju
pertumbuhan yang berbeda di antara jenis lamun (Vermaat et al, 1995). Beberapa
hal yang menjadikan E. acroides berperan nyata antara lain:
1) Secara morfologi jenis lamun Enhalus acroides berukuran lebih besar
dibandingkan jenis lamun yang lain sehingga dapat mengakumulasi karbon
lebih banyak pada jaringan tubuhnya. Panjang daun Enhalus acroides di
pantai Sanur sekitar 20 - 80 cm dengan lebar daun sekitar 1 – 1,5 cm dan
diameter rhizoma sekitar 1 – 2 cm. Ukuran jenis lamun E. acroides ini jauh
sangat besar dibandingkan jenis lamun lain di Pantai Sanur.
98
2) Nilai biomassa per transek yang ditemukan jenis lamun E. acroides berkisar
antara 93 – 235 gC/ m2 sedangkan transek yang ditemukan jenis lamun
selain E. acroides hanya berkisar antara 26 – 153 gC/ m2.
3) Distribusi jenis lamun E. acroides cukup luas yakni dengan nilai total
frekuensi kemunculan sebesar 46 % setelah jenis lamun H. uninervis yang
sebesar 50 %.
Fungsi penting peran lamun sebagai carbon sink adalah stok karbon yang
tersimpan pada jaringan lamun yakni sebagai biomassa dan karbon yang dialirkan
atau tersimpan (terkubur) ke sedimen. Penyimpanan karbon yang lebih besar di
bagian bawah substrat sangat penting karena merupakan karbon yang terkunci di
sedimen. Karbon di bawah substrat tidak terlalu terpengaruh oleh pengaruh fisik
lingkungan sebagaimana stok karbon yang ada di bagian atas substrat (Supriadi,
2012). Stok karbon pada jaringan hidup ini akan selalu terpelihara selama tunas
lamun masih hidup, walaupun selama masa hidupnya akan selalu terjadi
regenerasi jaringan yang mati. Setelah tumbuhan lamun mati maka stok karbon
dibawah substrat akan tersimpan dan terkunci disedimen. Walaupun proses
dekomposisi terjadi pada jaringan mati dibawah substrat, namun berjalan sangat
lambat. Konsentrasi nutrien yang rendah pada rhizoma dan akar lamun menjadi
penyebab lambatnya proses dekomposisi (Kennedy dan Bjork, 2009 dalam
Supriadi, 2012).
Stok karbon diatas substrat relatif berfluktuasi dibanding stok karbon di
bawah substrat. Walaupun stok karbon di atas substrat relatif kecil dibanding stok
karbon di bawah substrat, namun stok karbon di atas substrat akan tetap
99
terpelihara selama tunas lamun masih hidup. Selain itu peran stok karbon lamun
diatas substrat bisa dikaitkan dengan dinamika aliran karbon dari hasil akumulasi
produktivitas (Supriadi, 2012).
Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata stok
karbon lamun sebesar 20,68 gC/m2 dengan total stok penyimpanan karbon
keseluruhan luas area sebesar 66,60 ton dengan luas area padang lamun di Pantai
Sanur sebesar 322 Ha, dimana sekitar 60 % disimpan sebagai stok karbon bagian
bawah substrat dan 40 % disimpan sebagai stok karbon bagian atas substrat.
Menurut penelitian Supriadi (2012) yang dilakukan di Pulau Baranglompo
Makassar menyebutkan bahwa total stok karbon lamun sebesar 73,86 ton dengan
luas area sebesar 64,3 ha. Dari hasil tersebut terlihat bahwa stok karbon lamun di
Pantai Sanur lebih kecil dan dengan luasan lima kali jauh lebih besar daripada
stok karbon lamun di Pantai Baranglompo. Tingginya nilai stok karbon di
Baranglompo dibandingkan dengan di Pantai Sanur dikarenakan pada penelitian
di Baranglompo stok karbon lamun diperoleh tidak hanya dari tumbuhan lamun
saja namun diperoleh dari produktivitas serasah dan herbivora (grazing bulu babi)
sedangkan penelitian di Pantai Sanur stok karbon lamun hanya diperoleh dari
tumbuhan lamun saja.
Sudiarta dan Restu (2011) menyebutkan bahwa kondisi tutupan lamun di
Pantai Sanur termasuk kategori tutupan rendah (miskin) sampai moderat; menurut
Kepmen LH No. 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Penentuan
Status Padang Lamun. Sehingga kategori tutupan lamun yang rendah sampai
100
moderat di pantai Sanur ini berkorelasi dengan biomassa dan kandungan karbon
yang terkandung pada tumbuhan lamun tersebut juga rendah.
Padang lamun di kawasan Pantai Sanur mengalami tekanan lingkungan
seperti faktor alam dan terutama oleh aktivitas manusia yang mempengaruhi
keberadaan padang lamun tersebut. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian,
terlihat bahwa di sepanjang kawasan Pantai Sanur banyak terdapat pipa-pipa
pembuangan limbah dari hotel yang mengarah ke laut dan banyak ditemukan
tambatan perahu/ boat di sebagian kawasan Pantai Sanur yang pada saat surut
langsung menutupi lamun dan dapat mematikan lamun. Selain itu, menurut
laporan Paket Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Prov. Bali (2013)
menyebutkan adanya pembangunan groin-groin (krib) di sekitar kawasan Pantai
Sanur yang menutupi areal padang lamun juga menimbulkan kerusakan di sekitar
groin tersebut karena terjadinya pengendapan pasir. Dari faktor alam yaitu pada
saat perairan dalam keadaan surut, sebagian padang lamun ada yang langsung
terbuka dan terlihat ke udara. Tubuh atau daun lamun yang terbuka akan terpapar
dan terjemur langsung oleh sinar matahari, sehingga daun-daunnya akan layu dan
terbakar. Jika pada suhu diatas 45°C lamun akan mengalami stress dan dapat
mengalami kematian (McKenzie, 2008). Segala faktor tekanan lingkungan
tersebut secara langsung akan mempengaruhi proses fisiologi yaitu fotosintesis
yang berdampak terhadap penyerapan karbon pada lamun, laju respirasi dan
pertumbuhan lamun yang ada di Pantai Sanur.
101
6.3 Peran Lamun Sebagai Carbon Sink Sebagai Upaya Mitigasi Pemanasan
Global
Climate change (perubahan iklim) yang berdampak terhadap pemanasan
global merupakan salah satu isu publik yang menjadi sorotan dunia, terutama pada
periode dua puluh tahun terakhir. Ekosistem pesisir pantai yang berupa hutan
bakau, rawa pasang surut, dan padang lamun dapat melakukan mitigasi perubahan
iklim dengan cara menyerap gas karbon dioksida dari atmosfer dan samudra.
Kaitan lamun dengan isu pemanasan global yakni lamun sebagai reservoir atau
penyimpan karbon melalui proses fotosintesis dan berperan penting dalam
mitigasi pemanasan global.
Untuk luas Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Indonesia (sebesar
2.914.878 km2) terdapat potensi penyerapan karbon oleh terumbu karang
sebesar 65,7 juta ton/tahun dengan luas terumbu karang sebesar 61.000
km2. Untuk hutan bakau (93.000 km
2) potensi penyerapan karbon hingga
67,7 juta ton/tahun, padang lamun (30.000 km2) potensi penyerapan karbon
hingga 50,3 juta ton/tahun dan Fitoplankton potensial penyerapan
karbonnya 36,1 juta ton/tahun (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007).
Secara umum, dengan menggabungkan informasi potensi laut
Indonesia dalam penyerapan karbon dan iklim beserta kajian proses karbon
sekuestrasinya yang terjadi dapat memberikan gambaran potensi laut benua
maritim Indonesia dalam menyerap karbon dari gas-gas rumah kaca,
terutama terhadap ekosistem lamun. Jumlah karbon yang dapat diserap di
perairan Indonesia dapat diperdagangkan melalui mekanisme Clean
Development Mechanism (CDM) di dalamnya menyebutkan bahwa negara
102
berkembang dapat menjual kredit penurunan emisi kepada negara maju
yang berkewajiban menurunkan emisi. Hasil penelitian carbon sekuestrasi
oleh ekosistem lautan merupakan masukan penting dan modal utama bagi
Indonesia dalam perdagangan karbon dunia. Untuk menindaklanjuti
Protokol Kyoto, sudah saatnya negara kepulauan seperti Indonesia
memberikan inisiatif kepada dunia bahwa perlu diketahui dan dapat
memasukkan unsur penyerapan laut dalam perdagangan emisi dalam
menyerap karbon.
Kemampuan ekosistem lamun sebagai penyimpan dan penyerap karbon
pada bagian tubuh lamun maupun yang tersimpan di dalam sedimen membuat
ekosistem lamun berperan penting di wilayah pesisir. Selain itu, kemampuan
lamun mengendapkan bahan organik tersuspensi dengan kerapatan tunasnya
menambah peran lamun sebagai penimbun kabon (Kennedy et al, 2004). Duarte et
al. (2010, 2011) dan Fourqurean et al. (2012) dalam Supriadi (2012) merangkum
beberapa hal yang menjadikan lamun memiliki laju penimbunan karbon yang
tinggi pada sedimen, diantaranya adalah :
1) Kapasitas metabolik tinggi sehingga merupakan vegetasi yang mempunyai
produktivitas primer yang tinggi.
2) Jaringan lamun mempunyai konsentrasi nitrogen dan fosfor yang rendah,
sehingga serasah yang menjadi substrat bagi mikroba tidak terlalu
mendukung pertumbuhannya. Hal ini berdampak pada rendahnya laju
dekomposisi lamun.
103
3) Konsentrasi oksigen pada sedimen lamun sering ditemukan relatif rendah,
bahkan sering ditemukan kondisi anaerobik. Kondisi ini membuat
metabolisme mikroba tidak efisien sehingga menambah jumlah karbon
yang terkubur
4) Distribusi biomassa yang lebih tinggi pada akar dan rhizoma sehingga
berkontribusi terhadap tingginya penyimpanan karbon pada jaringan ini.
Akar dan rhizoma berada beberapa sentimeter di bawah substrat sehingga
merupakan karbon yang terkunci di sedimen.
5) Kenyataan yang tidak memungkinkan adanya emisi karbon sebagai hasil
dari kebakaran sebagaimana yang terjadi pada vegetasi darat.
6) Tegakan-tegakan lamun berperan meredam aksi gelombang dan turbulensi
sehingga mencegah terjadinya resuspensi sedimen dan karbon yang ada
didasar ekosistem lamun.
Luas lamun di dunia diestimasi sekitar 300-600 ribu km2 (Duarte et al.
2005; Kennedy & Bjork 2009), dan di Indonesia diestimasi sekitar 30 ribu km2
(Kuriandewa 2009). Sementara luas lamun yang telah terinventarisasi di wilayah
pesisir Bali yaitu sekitar 1.316 ha (Sudiarta dan Sudiarta, 2011). Jika diperkirakan
rata-rata kondisi lamun di Bali relatif sama dengan kondisi lamun di Pantai Sanur,
maka total stok karbon lamun di Bali diestimasi mencapai 272,15 ton. Selanjutnya
Duarte et al. (2011) mengemukakan bahwa dengan luas yang kurang dari 0.1%
dari permukaan laut, padang lamun dapat menimbun sekitar 20% dari total karbon
yang tertimbun di laut.
104
Bersama-sama dengan ekosistem terumbu karang, mangrove, rawa payau
dan plankton berperan sangat penting sebagai carbon sink dalam kaitan untuk
mengurangi dampak pemanasan global dan juga karena siklus karbon sebagian
besar terjadi di laut sebesar 90% dibandingkan dengan daratan. Terganggunya
siklus karbon di laut menyebabkan terjadinya peningkatan suhu permukaan laut
sehingga semakin rendah proses penyerapan karbon di udara oleh laut. Hal
tersebut menyebabkan peningkatan pemanasan global dan salah satu akibatnya
adalah fenomena iklim El Nino dan La Nina (As Syakur, 2007).
Namun saat ini kerusakan vegetasi pesisir khususnya ekosistem lamun
relatif cepat. Kondisi ekosistem padang lamun di perairan pesisir Indonesia sangat
rentan mengalami kerusakan sekitar 30-40% (Kiswara, 1994). Menurut
Sumadhiharga (2009), kondisi padang lamun di seluruh lautan Indonesia sekitar
75-90% rusak. Kerusakan ekosistem lamun terutama terjadi di daerah pelabuhan,
di Bintan (Kepulauan Riau) pembangunan resort pariwisata di pantai banyak yang
tidak mengindahkan garis sempadan pantai, pembangunan resort banyak
mengorbankan padang lamun (Kawaroe, 2008), padahal lamun mempunyai
tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya
yang ada di laut dangkal seperti ekosistem terumbu karang (Thayer et al. 1975).
Padang lamun di kawasan Pantai Sanur termasuk dalam kawasan
pariwisata dan sebagian arealnya dijadikan lokasi penambatan boat/ perahu.
Dimana kerusakan lamun terjadi karena pada saat surut dasar kapal/ perahu
langsung menutupi lamun dan mematikan lamun yang cukup luas karena posisi
kapal berpindah-pindah setiap air surut.
105
Menurut Sudiarta dan Sudiarta (2011), kerusakan padang lamun di Pantai
Sanur rata-rata sebesar 15 %, tergolong pada tingkat kerusakan rendah. Dengan
demikian diperlukan upaya pengelolaan ekosistem pesisir dan laut secara terpadu
khususnya ekosistem lamun. Dimana padang lamun di Pantai Sanur harus dapat
mengimbangi antara fungsi ekologis dan biologisnya dengan lokasi Pantai Sanur
sebagai peruntukkan kawasan wisata. Selain itu, pengelolaan ekosistem pesisir
dan laut secara terpadu tersebut untuk mempertahankan keberadaan lamun agar
konstribusi terhadap ekosistem di sekitarnya semakin besar serta
mengoptimalkan peran lamun sebagai carbon sink sebagai upaya mitigasi
pemanasan global untuk perbaikan lingkungan.
106
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan sebelumnya, maka dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Ditemukan delapan jenis spesies lamun di kawasan Pantai Sanur yang
tergolong dalam dua famili yaitu H. uninervis, S. isoetifolium, H. ovalis,
H. pinifolia, E. acroides, C. rotundata, T. hemprichii dan C. serrulata
dengan frekuensi kemunculan tertinggi oleh H. Uninervis (50 %) dan E.
Acroides (46 %).
2. Rata-rata nilai kandungan karbon pada jaringan lamun yakni pada akar
sebesar 21,92 % dari total berat kering (biomassa), daun sebesar 18,69 dan
rizhoma sebesar 15,99 %.
3. Peran penting padang lamun sebagai penyimpan karbon terdiri dari
konstribusi stok karbon di bawah substrat (akar dan rizhoma) sebesar 60 %
atau 39,85 ton dan konstribusi stok karbon di atas substrat (daun) sebesar
40 % atau 26,75 ton.
4. Total stok karbon padang lamun di kawasan Pantai Sanur sebesar 66,60
ton dengan rata-rata 0,21 ton/ ha. Dari delapan jenis lamun yang
ditemukan, jenis yang berperan sangat penting sebagai penyimpan karbon
yakni E. acroides. Lamun jenis E. acroides ini mempunyai nilai biomassa
yang tinggi dan juga mempunyai ukuran morfologi yang lebih besar serta
terdistribusi dengan luas di kawasan Pantai Sanur.
106
107
7.8 Saran
1. Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan penambahan titik transek lebih
ke arah tengah laut agar penyebaran, keakuratan dan keterwakilan data
lebih baik sehingga pada saat pendistribusian spasial (interpolasi data)
hasilnya dapat berimbang.
2. Penelitian ini baru menghitung potensi penyimpanan karbon lamun
berdasarkan satu periode pengambilan (pengukuran) sampel, sehingga
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengukur produktivitas tumbuhan
lamun dalam penyerapan karbon dan mengetahui fluktuasi yang terjadi
antar periode yang berkaitan dengan musim.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyimpanan stok karbon
melalui serasah lamun dan herbivora yang hidup di padang lamun beserta
faktor-faktor tekanan lingkungan yang berpengaruh terhadap penyimpanan
karbon pada lamun sehingga dapat melengkapi peran lamun sebagai
carbon sink.
108
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin. 2008. Kajian Potensi Cadangan Karbon Pada Pengusahaan Hutan
Rakyat (Studi kasus: hutan rakyat Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten
Gunung Kidul) (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Anderson, S. 2001. An Evaluation of Spatial Interpolation Methods on Air
Temperature in Phoenix. Department of Geography, Arizona State University
Tempe. Argandi, G. 2003. Struktur Komunitas lamun di perairan Pangerungan, Jawa
Timur (skripsi). Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arnell. 2002. Hydrology and Global Environtmental Change. Pearson Education
Limited. U.K.
Arthana, I. W. 2005. Jenis Dan Kerapatan Padang Lamun Di Pantai Sanur Bali,
Denpasar: Universitas Udayana. Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari 2
(5): 68-76.
Arthana, I. W. 2007. Kondisi Pencemaran Perairan Pantai Tanjung Benoa dan
Sanur, Bali. Lingkungan Tropis, Edisi Khusus, Agustus 2007. Ikatan Ahli
Teknik Penyehatan dan Lingkungan Indonesia. Buku 1: 17-25
As-Syakur, A. 2007. Identifikasi Hubungan Fluktuasi Nilai SOI Terhadap Curah
Hujan Bulanan Di Kawasan Batukaru-Bedugul, Bali.. Jurnal Lingkungan
Hidup Bumi Lestari 7 (2): 123-129.
Astuti, S. 2002. Pengaruh Kenaikan Air Laut Pada Wisata Alam Kawasan Pantai,
Kasus Denpasar. Makalah disajikan dalam Seminar Dampak Kenaikan
Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia, Bandung tanggal 12-
13 Maret 2002.
Astuti, N.N.S. 2008. Persepsi Wisatawan Mancanegara terhadap Produk
Pariwisata Bali (tesis). Denpasar: Universitas Udayana
Azkab, M.H. 1999. Kecepatan Tumbuh dan Produksi Lamun dari Teluk Kuta
Lombok. Di dalam: Soemodihardjo S, Arinardi OH, Aswandy I, Editor.
Dinamika Komunitas Biologis pada Ekosistem Lamun di Pulau Lombok,
109
Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hlm 26-33.
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Denpasar. 2012. Rencana
Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Denpasar. Laporan
Akhir. Denpasar
Bengen, D.G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Benyamin, L. 2004. Dasar - Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Berwick, N.L. 1983. Guideline for the Analysis of Biophysical Impact to Tropical
Coastal Marine Resources. Bombay: The Bombay Natural History Society
Centenary Seminar Consevation in Developing Countries Problems and
Prospect.
Bonham-Carter, G.F. 1994. Geographic Inforation Systems For Geoscientists.
Pergamon, Kidlington, UK. 398p.
Carruthers, T.J.B. 2007. Halodule uninervis. In: IUCN 2011. IUCN Red List of
Threatened Species. (Available from :URL http://www.iucnredlist.org/
apps/redlist/details/173328/0, diakses tanggal 3 Maret 2014).
Christanto, M., I. Prasasti., dan H. Wijayanto. 2005. Analisis Penerapan Metode
Krigging dan Invers Distance pada Interpolasi Data Dugaan Suhu, Air
Mampu Curah (AMC) dan Indeks Stabilitas Atmosfer (ISA) dari Data
NOAA-TOVS. PIT MAPIN XIV, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya. pp. 316-322.
Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber
Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.
Darussalam, D. 2011. Pendugaan Potensi Serapan Karbon Pada Tegakan Pinus
Di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit Iii Jawa Barat Dan Banten
(skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008. Pedoman Umum Identifikasi dan
Monitoring Lamun. Jakarta: Direktorat Konservasi dan Taman Nasional
Laut.
110
Dewi, R.K. 2012. Pengelolaan Ekosistem Lamun Kawasan Wisata Pantai Sanur
Kota Denpasar Provinsi Bali (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar. 2014. Survei Potensi
Perikanan Budidaya dan Perikanan Tangkap Kota Denpasar. Denpasar.
Duarte, C.M., and J.P. Gattuso. 2008. Seagrass meadows. In: C. J. Clevand
(ed.) Encyclopedia of Earth. Washington, D.C. Environmental Information
Coalition, National Council for Science and the Environment. (Available
from :URL :http://www. eoearth.org/article/Seagrass_meadows, diakses
tanggal 3 Maret 2014).
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Fauziyah, I. M. 2004. Struktur Komunitas Padang Lamun di Pantai Batu Jimbar
Sanur (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Fourqurean, J.W., C.M. Duarte., H. Kennedy., N. Marba, M. Holmer., M.A.
Mateo., E. Apostolaki., G.A. Kendrick., D. Krause-Jensen., K.J.
McGlathery., and O. Serrano. 2012. Seagrass Ecosystems As a Globally
Significant Carbon Stock. (article) Nature Geoscience. DOI:
10.1038/NGEO1477. www.nature.com/ngeo/journal/v5/n7/abs/ ngeo1477.
html. diakses tanggal 3 Maret 2014.
Gardner, W.R. 1991. Soil Science as A Basic Science. Soil Sci 151: 2-6.
Gautama, I.G.A.G.O. 2011. “Evaluasi Perkembangan Wisata Bahari Di Pantai
Sanur” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. (Available from :URL
:http://www.pps.unud.ac.id, diakses tanggal 3 Maret 2014).
Hartog, C. D. 1970. Seagrass of The World. North-Holland Publ. Co. Amsterdam.
Hartog, C. D. 1977. Structur, Function, and Classification in Seagrass Ecosystem:
A Scientific Perspective (eds. Mc.Roy and Helfferich). Marcel Dekker Inc.
p.53-87.
Helrich, K. 1990. Method of Analysis of The Association of Official Analytical
Chemists. Fifteenth Edition. Virginia.
Hemminga, M.A., and C.M. Duarte. 2000. Seagrass Ecology. Australia:
Cambridge University Press.
111
Hillman, K., D.J. Walker., A.W.D. Larkum., and A.J. Mc Comb. (1989).
Productivity and Nutrients Limitation on Seagrasses. Biology of
Seagrasses. Netherland: Elsevier Science Publishers.
Imiliyana, A., M. Muryono., dan H. Purnobasuki. 2012. Estimasi Stok Karbon
Pada Tegakan Pohon Rhizophora stylosa di Pantai Camplong, Sampang-
Madura (jurnal). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November.
http://www.researchgate.net. diakses tanggal 3 Maret 2014.
Khouw, A.S. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut.
Jakarta: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut.
Koch, E.W. 2001. Beyond light: Physical, Geological and Geochemical
Parameters as Possible Submersed Aquatic Vegetation Habitat
Requirements. Estuaries 24: 1-17.
Kawaroe, M. 2009. Perspektif Lamun Sebagai Blue Carbon Sink di Laut.
(Lokakarya Lamun). Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Bogor:
Institut Pertanian Bogor. http://www.xa.yimg.com/kq/groups/mujizat
_lamun.doc /. diakses tanggal 3 Maret 2014.
Kennedy, H., E. Gacia., D.P. Kennedy., S. Papadimitriou., and C.M. Duarte.
2004. Organic carbon source to SE Asian coastal sediments. Est Coast
Shelf Sci 60: 59-68.
Kennedy, H., and M. Bjork. 2009. Seagrass meadows. Di dalam: Laffoley D,
Grimsditch G, editor. The Management of Natural Coastal Carbon Sinks.
Gland Switzerland: IUCN: 23-29.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang
Kriteria Baru Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun.
Kimball, J.W. 2002. Fisiologi Tumbuhan. Erlangga. Jakarta.
Kiswara, W. 1994. Dampak Perluasan Kawasan Industri Terhadap Luas
Penutupan Padang Lamun di Teluk Banten, Jawa Barat. Seminar Nasional
Dampak Pembangunan Terhadap Wilayah Pesisir. 2-3 Februari 1994.
Jakarta, Indonesia.
Kiswara, W., A.H.L. Huiskes., and P.M.J. Herman. 2005. Uptake and Allocation
of 13C by Enhalus acoroides at Sites Differing in Light Availability.
Aquatic Botany 81: 353-366.
112
Kiswara, W., dan Y.I. Ulumuddin. 2009. Peran Vegetasi Pantai Dalam Siklus
Karbon Global: Mangrove dan Lamun Sebagai Rosot Karbon. Workshop
Ocean and climate change. Laut sebagai pengendali perubahan iklim:
peran laut Indonesia dalam mereduksi percepatan proses pemanasan
global. Bogor 4 Agustus 2009.
Kiswara, W. 2010. Studi Pendahuluan: Potensi Padang Lamun Sebagai Karbon
Rosot dan Penyerap Karbon di Pulau Pari Teluk Jakarta (jurnal).
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. http://www.oseanografi.lipi.go.id.
diakses tanggal 1 Maret 2014.
Kuriandewa, T.E. 2009. Peran Ekosistem Lamun dalam Produktivitas Hayati dan
Meregulasi Perubahan Iklim. Tinjauan tentang lamun di Indonesia.
Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun:. Jakarta, 18
November 2009.
Kusmana, C., S, Sabiham., K. Abe., and H. Watanabe. 1992. An Estimation of
Above Ground Tree Biomass of A Mangrove Forest in East Sumatera.
Tropics 1 (4): 143-257.
Lakitan, 1995. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Grafindo, Jakarta.
Larkum, A.W.D., A.J.Mc. Comb and S. A. Shepherd. 1989. Biology of Seagrass:
A Treatise On The Biology Of Seagrases With Special Reference To The
Australian Religion in: Aquatic Plant Studies 2. Elsevier. Amsterdam.
Lee K.S., S.R. Park., Y.K. Kim. 2007. Effect of Irradiance, Temperature, and
Nutrients on Growth Dynamics of Seagrass: A Review. J Exp Mar Bio
Ecol 350: 144-175.
Madjid, A.R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online Untuk Mata
Kuliah: (1) Dasar-Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, dan (3)
Pengelolaan Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri dan
Program Pascasarjana Unsri. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.
Diakses tanggal 25 Februari 2015.
McKenzie, L.J. 2008. Seagrass Educators Handbook. Seagrass-Watch HQ.
http://www.seagrasswatch.org. Diakses tanggal 25 Februari 2015.
Nasution, S. 2001. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Penerbit Bumi Aksara,
Jakarta.
113
NCGIA. 2007. Interpolation: Inverse Distance Weighting. National Center for
Geographic Information and Analysis. http://www.ncgia.ucsb.edu/pubs/
spherekit/inverse.html. Diakses tanggal 25 Juni 2014.
Nellemann, C., E. Corconan., C.M. Duarte., L.Valdes., C. De Young., L.
Fonseca., and G. Grimsditch. 2009. Blue Carbon: The Role of Healthy
Oceans in Binding Carbon. A Rapid Response Assessment. United Nations
Environment Programme. Norway.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia.
Jakarta.
Patriquin, D.G. 1972. The Origin of Nitrogen and Phosphorus for Growth of the
Marine Angiospermae Thalassia testudinum. Marine Biology 15: 35-46.
Pemerintah Provinsi Bali, Dinas Kelautan dan Perikanan. 2013. Penyusunan
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Bali.
Draft Dokumen Awal. Denpasar.
Philips, C.R., and E.G. Menez. 1988. Seagrass. Smith Sonian Institutions. Press.
Washington.
Pramono, G. H. (2004). Analisis Data Tematik Digital – Perbandingan Metode
Interpolasi Pada Sebaran Total Suspended Sediment di Kabupatan Maros,
Sulawesi Selatan. Cibinong: PSSDAL, Bakosurtanal.
Prasetyo. 2008. Tanaman Budidaya dan Macamnya. Universitas Gadjah Mada
Press. Yogyakarta.
Puspita, D., dan I. Rohima. 2009. Alam Sekitar, IPA Terpadu Untuk SMP/ MTS
Kelas VIII. Pusat Perbukuan. http://www.docstoc.com/docs/113553227/
Buku-Cetak-IPA-Kelas-8-(BSE). Diakses tanggal 25 Juni 2014.
Salisburry, F. B. 1998. Photosynthesis 6 Th Edition. Cambridge University. London.
Sarmiento, J.L., and N. Gruber. 2002. Sinks for Anthropogenic Carbon, Physics
Today (article). http:// www.atmos.ucla.edu/~gruber/publication/
abstracts/Sarmiento_Gruber_pt_02_fig.htm. diakses tanggal 3 Maret 2014.
Shepherd, S.A., and J.G.G, Aviles. 1996. Growth and Survival of The Blue
Abalone Haliotis Fulgens in Barrels at Cedros Island, Baja California.
Aquaculture 140: 76-169.
114
Sitania, G. 1998. Mengenal Lebih Dekat Jenis Lamun (E. Acoroides. Linneaus F)
Royle. Warta Konservasi Lahan Basah. Volume 7 No. 2 halaman 7.
Sitompul, S.M. 1995. Fisiologi Tanaman Tropis. Universitas Mataram. Lombok
Sudiarta, I.K. dan I.G. Sudiarta. 2011. Status Kondisi dan Identifikasi
Permasalahan Kerusakan Padang Lamun di Bali. Jurnal Mitra Bahari 5
(2): 103-126.
Sudiarta, I.K., dan I.W. Restu. 2011. Kondisi dan Strategis Pengelolaan
Komunitas Lamun di Wilayah Pesisir Kota Denpasar, Provinsi Bali.
Denpasar: Universitas Udayana dan Universitas Warmadewa. Jurnal Bumi
Lestari Vol.2 No.2 Agustus 2011.
Sumadhiharga, O.K., K. Matsuura., and K. Tsukamoto. 2000. Field Guide to
Lombok Island. Identification Guide to Marine Organism in Seagrass Bed
of Lombok Island Indonesia. Tokyo: Ocean Research Institute, University
of Tokyo.
Suryantara, I.W.A. 2005. Studi Komunitas Padang lamun di Perairan Pantai
Sanur dan Nusa Dua Bali (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Sulaeman, Suparto dan Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Tanah, Tanaman,
Air dan Pupuk. Bogor: Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Supriadi. 2012. Stok dan Neraca Karbon Komunitas Lamun di Pulau
Barranglompo Makassar (disertasi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Supriadi dan Arifin. 2005a. Dekomposisi Serasah Daun Lamun E. acoroides dan
T. hemprichii di Pulau Barranglompo Makassar. Torani 1 (15): 59-64.
Sverdrup, K.A., and E.V. Armbrust. 2008. Text Book of: An Introduction to the
World’s Oceans. Ninth Edition. McGraw-Hill Companies, Inc. New York.
Thayer, G.W., S.M. Adams., and M.W.P. La Croix. 1975. Structural and
Functional aspects of a recently established Zostera marina community.
In Estuarine Research. l. Academic Press. New York. p. 518-540.
Trisasongko B.H., D.R. Panuju., Harimurti., A.F. Ramly., dan H. Subroto. 2008.
Kajian Spasial Kesetimbangan Air pada Skala DAS (Studi Kasus DAS
Bengawan Solo Hulu) Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik
115
Indonesia. Jakarta. http:// geospasial.menlh.go.id/assets/Analisis/Water
Balanced Solo ulu.pdf . diakses tanggal 19 April 2014.
Trumper, K., M. Bertzky., B. Dickson., G. Van der Heijden., M. Jenkins., and P.
Manning. 2009. The Natural Fix? The role of ecosystems in climate
mitigation. A UNEP Response assessment.
Ulumuddin Y.I., E. Sulistyawati., D.M Hakim., dan A.B. Harto. 2005. Korelasi
Stok Karbon Dengan Karakteristik Spektral Citra Landsat: Studi Kasus
Gunung Papandayan. Pertemuan Ilmiah MAPIN XIV: Pemanfaatan
penginderaan jauh untuk kesejahteraan bangsa. Surabaya, 14 – 15
September 2005. http://www.repository. unhas.ac.id/. diakses tanggal 3
Maret 2014.
UNEP (2009). Blue carbon: A Rapid Response Assessment. Environment
(p. 71 pp). United Nations Environment Programme, GRID-Arendal.
Vermaat, J. E., N.S.R. Agawin., C.M. Duarte., M.D. Fortes., N. Marba., and J.S.
Uri. 1995. Meadow Maintenance, Growth and Productivity of a Mixed
Philippine Seagrass Bed. Marine Ecology Progress Series 124: 215-225.
Wardah., B. Toknok., dan Zulkaidhah. 2009. Persediaan Karbon Tegakan
Agroforestri di Zona Penyangga Hutan Konservasi Taman Nasional Lore
Lindu, Sulawesi Tengah. Penelitian Strategi Nasional. Universitas
Tadulako, Palu. Sulawesi Tengah.
Watson, D.F., and G.M. Philip. 1985. A Refinement Of Inverse Distance Weighted
Interpolation. Geo-process 2: 315–327.
Waycott., M.K. McMahon., J. Mellors., A. Calladine., and D. Kleine. 2004. A
Guide To Tropical Seagrass of the Indo-West Pasific. James Cook
University, Townsville. 72p.
Whitmore, T.C. 1985. Tropical Rain Forests of the Far East. Oxford: Clarendon.
116
Lampiran 1. Pengukuran Berat Kering (Biomassa) Sampel Lamun
Stasiun
Transek
Kuadrat
Transek Kuadrat
Biomassa
(20x20cm)
Biomassa (g/0,04m2)
(1x1m) Akar Daun Rizoma
1 A 1 0.1 1 1.16
2 0.16 0.88 1.12
3 0.76 1.49 1.21
Rata-Rata = 0.34 1.12 1.16
B 1 0.50 0.86 1.68
2 0.97 1.97 1.98
3 0.59 0.95 1.86
Rata-Rata = 0.69 1.26 1.84
C 1 0.34 0.86 1.23
2 0.8 0.94 1.29
3 1.3 0.91 1.23
Rata-Rata = 0.81 0.90 1.25
2 A 1 1.56 1.82 3.23
2 2.38 3.27 2.45
3 0.57 2.17 4.67
Rata-Rata = 1.50 2.42 3.45
B 1 0.58 1.58 3.43
2 0.7 1.2 3.11
3 1.37 1.63 4.87
Rata-Rata = 0.88 1.47 3.80
C 1 4.5 2.3 3.41
2 0.92 1.11 3.38
3 0.87 4.28 3.84
Rata-Rata = 2.10 2.56 3.54
3 A 1 2.19 2.71 5.7
2 3.04 2.24 1.94
3 1.89 1.83 2.72
Rata-Rata = 2.37 2.26 3.45
B 1 2.98 1.76 1.18
2 2.34 3.3 1.21
3 1.2 1.8 1.65
Rata-Rata = 2.17 2.29 1.35
C 1 3.51 1.72 0.66
2 1.77 2.43 1.68
3 3.73 2.4 1.12
Rata-Rata = 3.00 2.18 1.15
117
Stasiun Transek
Kuadrat
Transek Kuadrat
Biomassa Biomassa (g/0,04m2)
(1x1m) (20x20cm) Akar Daun Rizoma
4 A 1 0.81 0.86 1.62
2 0.82 1.45 1.98
3 0.58 0.71 1.88
Rata-Rata = 0.74 1.01 1.83
B 1 1.75 2.14 0.73
2 0.98 2.35 0.52
3 1.63 3.81 0.56
Rata-Rata = 1.45333 2.76667 0.60
C 1 1.88 5.03 1.3
2 4.54 3.88 1.18
3 4.35 2.75 3.29
Rata-Rata = 3.59 3.89 1.92
5 A 1 1.06 1.28 0.7
2 0.29 0.83 0.28
3 0.36 2.57 0.99
Rata-Rata = 0.57 1.56 0.66
B 1 0.88 3.44 0.29
2 0.73 2.6 0.45
3 0.27 2.32 0.27
Rata-Rata = 0.63 2.79 0.34
C 1 0.97 0.64 0.88
2 0.32 2.14 0.78
3 0.15 1.07 0.38
Rata-Rata = 0.48 1.28 0.68
6 A 1 0.15 0.69 0.3
2 0.11 0.66 0.25
3 0.15 0.62 0.23
Rata-Rata = 0.14 0.66 0.26
B 1 0.4 1.49 0.82
2 0.38 1.81 0.78
3 0.39 1.02 1.21
Rata-Rata = 0.39 1.44 0.94
C 1 0.34 2.43 1.3
2 0.28 1.49 1.05
3 0.63 0.72 1.58
Rata-Rata = 0.42 1.55 1.31
118
Stasiun
Transek
Kuadrat
Transek Kuadrat
Biomassa
Biomassa (g/0,04m2)
(1x1 m) (20x20cm) Akar Daun Rizoma
7 A 1 1.4 1.97 1.42
2 1.32 2.25 1.06
3 1.57 1.95 1.09
Rata-Rata = 1.43 2.06 1.19
B 1 0.38 1.8 1.79
2 0.31 1.09 1.81
3 0.35 1.41 1.19
Rata-Rata = 0.35 1.43 1.60
C 1 0.74 2.37 0.33
2 0.16 1.26 0.52
3 0.27 1.5 0.54
Rata-Rata = 0.39 1.71 0.46
A 1 0.2 1.22 3.49
8 2 0.32 1 1.2
3 0.35 1.43 2.8
Rata-Rata = 0.29 1.22 2.50
B 1 0.47 0.9 0.74
2 0.56 0.97 0.9
3 0.89 1.85 1.67
Rata-Rata = 0.64 1.24 1.10
C 1 0.58 1.47 1.7
2 0.86 1.34 2.2
3 0.4 1.72 1.82
Rata-Rata = 0.61333 1.51 1.91
119
Lampiran 2. Hasil Analisis Mann-Whitney Antara Nilai Karbon Bagian Atas
Substrat Dan Bawah Substrat Dengan Metode Pengabuan Dan
Walkley & Black
a. Uji Normalitas
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Walkley Black Bawah Substrat 24 100.0% 0 .0% 24 100.0%
Walkley Black Atas Substrat 24 100.0% 0 .0% 24 100.0%
Pengabuan Atas Substrat 24 100.0% 0 .0% 24 100.0%
Pengabuan Bawah Substrat 24 100.0% 0 .0% 24 100.0%
Descriptives
Statistic Std. Error
Walkley & Black Bawah Subtrat
Mean 13.3994 1.81573
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 9.6433
Upper Bound 17.1555
5% Trimmed Mean 13.0298
Median 11.1642
Variance 79.125
Std. Deviation 8.89523
Minimum 1.82
Maximum 31.45
Range 29.63
Interquartile Range 13.29
Skewness .878 .472
Kurtosis
-.463 .918
120
Walkley &Black Atas Substrat
Mean 8.7201 .83132
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound
7.0004
Upper Bound 10.4398
5% Trimmed Mean 8.4405
Median 7.6696
Variance 16.586
Std. Deviation 4.07260
Minimum 3.39
Maximum 19.98
Range 16.58
Interquartile Range 5.95
Skewness 1.029 .472
Kurtosis
.879 .918
Pengabuan Atas Substrat Mean 11.3515 1.50782
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 8.2323
Upper Bound 14.4706
5% Trimmed Mean 10.9830
Median 9.8946
Variance 54.564
Std. Deviation 7.38676
Minimum 1.42
Maximum 27.64
Range 26.22
Interquartile Range 10.19
Skewness .965 .472
Kurtosis
.049 .918
Pengabuan Bawah Substrat
Mean 7.8924 .67625
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 6.4935
Upper Bound 9.2914
5% Trimmed Mean 7.7143
Median 7.0919
Variance 10.976
Std. Deviation 3.31294
Minimum 3.02
Maximum 16.22
121
Range 13.20
Interquartile Range 3.65
Skewness .871 .472
Kurtosis .472 .918
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Walkley Black Bawah Substrat .219 24 .004 .880 24 .008
Walkley Black Atas Substart .196 24 .018 .909 24 .033
Pengabuan Atas Substrat .173 24 .060 .897 24 .019
Pengabuan Bawah Substrat .165 24 .088 .942 24 .178
a. Lilliefors Significance Correction
b. Uji Mann Whitney (α = 0.05)
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Hasil Bawah Substrat
Wilkley Black 24 26.29 631.00
Pengabuan 24 22.71 545.00
Total 48
Test Statistics
a
Hasil_Bawah
Mann-Whitney U 245.000
Wilcoxon W 545.000
Z -.887
Asymp. Sig. (2-tailed) .375
a. Grouping Variable: Kelompok
122
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Hasil Atas Substrat
Wilkley Black 24 25.67 616.00
Pengabuan 24 23.33 560.00
Total 48
Test Statisticsa
Hasil_Atas
Mann-Whitney U 260.000
Wilcoxon W 560.000
Z -.577
Asymp. Sig. (2-tailed) .564
a. Grouping Variable: Kelompok
123
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Persiapan Sebelum Melakukan Pengamatan Lamun
Gambar 2. Pengamatan Lamun Dengan Transek 1m x 1m dan 20 cm x 20 cm
Untuk Mengidentifikasi Jenis, Kerapatan Lamun dan Pencuplikan Sampel Lamun
Gambar 3. Sampel Lamun Dibersihkan dan Dikeringkan Kemudian Dipisahkan
Antara Daun, Akar dan Rhizoma
124
Gambar 4. Sampel Lamun Yang Telah Dipisah Kemudian Dibungkus Dengan
Aluminium Foil dan Dilakukan Pengovenan
Gambar 5. Sampel Lamun Yang Telah Dioven Kemudian Ditimbang Untuk
Mengetahui Berat Kering (Biomassa)
Gambar 6. Alat Dan Bahan Untuk Analisis Kandungan Karbon Lamun