Post on 10-Mar-2019
SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING SAPI DAN DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN
KARAGENAN DAN KHITOSAN
SKRIPSI
GALIH SUDRAJAT
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
GALIH SUDRAJAT. D14201066. 2007. Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Sapi dan Daging Kerbau dengan Penambahan Karagenan dan Khitosan. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Irma Isnafia A, SPt., MSi Pembimbing Anggota : Bramada Winiar Putra, SPt.
Daging merupakan salah satu bahan pangan hewani yang bergizi tinggi. Salah satu produk olahan daging yang sudah lama dikenal dan sangat digemari masyarakat Indonesia adalah bakso. Pada proses pembuatan bakso ditambahkan bahan-bahan yang menentukan kualitas bakso yang dihasilkan. Salah satu bahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan bakso adalah STPP (Sodium Tripolyposphat). Penggunaan STPP memiliki pembatas (self limiting) karena pada konsentrasi tertentu menimbulkan rasa pahit dan merupakan bahan kimia an-organik. Karagenan dan khitosan sebagai bahan alami mempunyai beberapa sifat yang sama dengan STPP yaitu meningkatkan daya mengikat air. Oleh karenanya, karagenan dan khitosan diharapkan dapat menggantikan STPP dalam pembuatan bakso. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari sifat fisik dan organoleptik bakso daging sapi dan daging kerbau dengan penambahan khitosan dan karagenan. Bahan utama berupa daging sapi pre-rigor bagian pendasar gandik (top side) yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan Kotamadya Bogor dan daging kerbau pre-rigor bagian pendasar gandik (top side) yang diperoleh dari pasar tradisional Leuwi liang. Rancangan percobaan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh jenis daging (sapi dan kerbau) dan bahan tambahan pangan (0,3% STPP; 0,3% karagenan dan 0,3% khitosan) adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial pola 2x3 dengan tiga kali ulangan. Data diolah dengan analisis ragam (Analysis of Variance = ANOVA). Jika pada analisis ragam didapatkan hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Polinomial Ortogonal. Hasil penilaian organoleptik dianalisis dengan metode non parametrik Kruskal Wallis. Apabila hasilnya berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji yang dikembangkan oleh Gibbons. Penggunaan karagenan dan khitosan sebagai bahan tambahan pangan menghasilkan pengaruh yang sama dengan STPP terhadap nilai pH, daya mengikat air dan kekenyalan bakso. Penggunaan jenis daging yang berbeda memberikan hasil berbeda nyata (P<0,05) terhadap nilai pH dan daya mengikat air bakso. Bakso daging sapi memiliki nilai pH lebih rendah dari bakso daging kerbau. Bakso daging kerbau memiliki daya mengikat air lebih tinggi dari bakso daging sapi. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada interaksi antara penggunaan jenis daging dan bahan tambahan pangan yang berbeda. Hasil uji organoleptik bahwa panelis menyukai kekenyalan bakso daging sapi yang menggunakan bahan tambahan STPP dan bakso yang memiliki kekenyalan kurang baik adalah bakso daging kerbau yang menggunakan bahan tambahan karagenan.
Kata-kata kunci: bakso, daging sapi, daging kerbau, karagenan, khitosan.
ABSTRACT
Physical and Sensory Characteristis of Beef and Buffalo Meatball using Caragenan or Chitosan
Sudrajat, G., I. I. Arief, and B. W. Putra
Meat ball is one of Indonesian people favourite meat product. STPP (Sodium Try Polyphosphat) is the food ingredients that usually used in meatball processing. This research was aimed to study used of caragenan or chitosan as a substitute STPP as ingredients in meatball processing. This research used factorial randomized complete design (2x3) with three replications. This research was done in of Ruminant Laboratory, Animal Science and Production Department, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University, Bogor. The used of caragenan or chitosan gave same effect as STPP to the pH value, water holding capacity and the meatball viscosity.
Keywords: meat ball, beef, buffalo meat, caragenan, chitosan
SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING SAPI DAN DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN
KARAGENAN DAN KHITOSAN
GALIH SUDRAJAT D14201066
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING SAPI DAN DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN
KARAGENAN DAN KHITOSAN
Oleh:
GALIH SUDRAJAT
D14201066
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 31 Agustus 2007
Pembimbing Utama Irma Isnafia A, S.Pt., M.Si NIP. 132 243 330
Pembimbing Anggota Bramada Winiar P, S.Pt. NIP. 132 312 035
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. NIP. 131 624 188
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Juli 1983 di kota Bekasi Jawa Barat.
Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dan merupakan anak dari pasangan
Bapak Mardjuki dan Ibu Respatiningsih.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1995 di SDN Tri Rawa Bakti I
Bekasi, setelah itu penulis melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 13 Bekasi
yang diselesaikan pada tahun 1998 dan pendidikan lanjutan menengah atas
diselesaikan pada tahun 2001 di SMU Negeri 2 Bekasi. Penulis diterima sebagai
mahasiswa Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada
tahun 2001.
Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan IPB periode 2003-2004
sebagai Ketua Departemen Hubungan Luar. Penulis juga aktif di Ikatan Senat
Mahasiswa Peternakan Indonesia (ISMAPETI) periode 2004-2006 sebagai Sekretaris
Nasional. Penulis juga merupakan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Komisariat Fakultas Peternakan IPB cabang Bogor. Selain itu penulis adalah salah
satu deklarator lahirnya Forum Kajian Peternakan dan Kesehatan Hewan Nasional
(FKPKHN).
Penulis adalah salah satu penerima beasiswa student ecuity Direktorat
Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI) Depdiknas RI. Penulis juga merupakan salah
satu penerima dana Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diadakan oleh
DIKTI Depdiknas RI pada tahun ajaran 2004 dengan judul “Fortifikasi Tulang
Rawan Ayam Pedaging untuk Meningkatkan Kadar Kalsium Susu Kedelai”. Selain
itu penulis juga aktif menulis di berbagai media peternakan (TROBOS dan
POULTRY Indonesia). Beberapa tulisan penulis yang dipublikasikan di media
tersebut adalah “Wajah Perguruan Tinggi Peternakan Indonesia”, “Aspek Penting
Peraturan Pakan Ternak” dan “Membangun Peternakan di Negara Kepulauan”.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, segala puji bagi Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan inayah-NYa. Shalawat serta salam selalu tercurah atas diri
Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia hingga
akhir massa.
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT atas
terselesaikannya tugas akhir ini dengan judul, “Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso
Daging Sapi dan Daging Kerbau dengan Penambahan Karagenan dan
Khitosan”. Skripsi mempelajari pengaruh penambahan karagenan dan khitosan
terhadap nilai pH, daya mengikat air, kekenyalan dan sifat organoleptik bakso daging
sapi dan daging kerbau. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi
tambahan tentang penggunaan karagenan dan khitosan sebagai pengganti STPP
dalam pembuatan bakso.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis pada
khususnya dan para pembaca pada umumnya. Akhir kata semoga Allah SWT selalu
memberi berkah dan rahmat-NYa kepada kita semua.
Bogor, Agustus 2007
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN……………………………………………………………... i
ABSTRACT……………………………………………………………….. ii
RIWAYAT HIDUP...................................................................................... v
KATA PENGANTAR……………………………………………………... vi
DAFTAR ISI………………………………………………………………. vii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………. ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. x
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. xi
PENDAHULUAN…………………………………………………………. 1
Latar Belakang……………………………………………………… 1 Tujuan ................…………………………………………………… 2
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………. 3
Daging………………………………………………………………. 3 Daging Sapi…………………………………………………. 3 Daging Kerbau……………………………………………... . 4
Bakso………………………………………………………………... 5 Bahan Baku Pembuatan Bakso……………………………………… 5 Daging………………………………………………………. 5 Bahan Pengisi……………………………………………….. 6 Garam Dapur atau NaCl…………………………………….. 6 Es atau Air Es……………………………………………….. 7 Bumbu………………………………………………………. 8 STPP (Sodium Tripolyposphat)…………………………………….. 8 Karagenan…………………………………………………………... 9 Klasifikasi…………………………………………………... 9 Karakteristik dan Komposisi……………………………….. 9 Fungsi………………………………………………………. 11 Khitosan.............................................................................................. 12 Definisi……………………………………………………... 12 Sumber…………………………………………………….... 13 Proses Pembuatan…………………………………………... 13 Karakterisasi dan fungsi……………………………………. 14 Pembuatan Bakso…………………………………………………… 16 Sifat Fisik…………………………………………………………… 17 Nilai pH……………………………………………………... 17 Daya Mengikat Air…………………………………………. 17 Kekenyalan…………………………………………………. 18 Sifat Organoleptik…………………………………………………... 18 Warna……………………………………………………….. 18
Rasa…………………………………………………………. 19 Aroma………………………………………………………. 19 Kekenyalan…………………………………………………. 19
METODE .......................…………………………………………………… 20
Lokasi dan Waktu…………………………………………………… 20 Materi……………………………………………………………….. 20 Rancangan…………………………………………………………… 20 Prosedur…………………………………………………………….. 21 Pembuatan Bakso……………………………………............ 21
Peubah yang Diamati……………………………………….. 22 Nilai pH……………………………………………... 22 Daya Mengikat Air………………………………….. 24 Kekenyalan………………………………………….. 24 Organoleptik………………………………………… 24
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………….. 25
Sifat Fisik…………………………………………………………... 25 Nilai pH…………………………………………………….. 25
Daya Mengikat Air…………………………………………. 26 Kekenyalan…………………………………………………. 28 Sifat Organoleptik…………………………………………………... 29 Warna………………………………………………………. 29 Rasa………………………………………………………… 30 Aroma……………………………………………………… 30 Kekenyalan………………………………………………… 31
KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………….. 32
Kesimpulan…………………………………………………………. 32 Saran………………………………………………………………... 32
UCAPAN TERIMAKASIH………………………………………………... 33
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 34
LAMPIRAN………………………………………………………………… 38
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Komposisi Kimia Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii ……… 10
2. Daya Kelarutan Karagenan pada Berbagai Media Pelarut………. 11
3. Daya Kestabilan Ketiga Jenis Karagenan terhadap Perubahan pH. 11
4. Aplikasi Beberapa Polimer dan Oligomer Khitosan…………….. 16
5. Rancangan Formula Pembuatan Bakso………………………….. 22
6. Rataan Nilai pH bakso berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan………………………………………… 25
7. Rataan Nilai mg H2O bakso berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan……………………………………. 26
8. Rataan Kekenyalan bakso berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan……………………………………. 28
9. Rataan Nilai Kesukaan Bakso Daging Kerbau dan Daging Sapi dengan Bahan Tambahan Pangan yang Berbeda………………… 29
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Struktur Molekul Karagenan.............................................................. 10
2. Struktur Molekul Selulosa, Khitin dan Khitosan............................... 12
3. Skema Pembuatan Bakso ………………………………………….. 23
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Sidik Ragam Nilai mg H2O Bakso Berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan.……………………. 38
2. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Bakso Berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan ……………………. 38
3. Hasil Sidik Ragam Kekenyalan Bakso Berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan…………………….. 38
4. Nilai Uji Non Parametrik Kruskal Wallis Kekenyalan Bakso Berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan
Pangan.…………………………………………………………... 38
5. Nilai Uji Non Parametrik Kruskal Wallis Rasa Bakso Berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan …………………………………………………………… 39
6. Nilai Uji Non Parametrik Kruskal Wallis Aroma Bakso Berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan …………………………………………………………… 39
7. Nilai Uji Non Parametrik Kruskal Wallis Warna Bakso Berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan …………………………………………………………… 39
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging merupakan salah satu bahan pangan hewani yang bergizi tinggi. Nilai
gizi daging, selain ditunjukkan oleh tingginya kandungan protein dalam daging, juga
ditunjukkan oleh kelengkapan asam amino dengan perbandingan hampir sama
dengan pola yang dibutuhkan untuk pertumbuhan manusia. Daging yang banyak
dikonsumsi di Indonesia biasanya diperoleh dari berbagai ternak yang dipelihara
seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi dan unggas. Sapi dan kerbau adalah jenis
ternak ruminansia besar yang dagingnya dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Salah satu produk olahan daging yang sudah lama dikenal dan sangat
digemari masyarakat Indonesia adalah bakso. Pendistribusian bakso di wilayah
Indonesia sudah sangat luas sehingga produk ini memegang peranan penting dalam
penyebarluasan protein hewani bagi konsumsi zat gizi masyarakat Indonesia. Di
tinjau dari aspek gizi, bakso merupakan makanan yang mempunyai kandungan
protein hewani, mineral dan vitamin yang tinggi. Bakso yang ada di pasaran
umumnya merupakan bakso yang berasal dari daging sapi, walaupun demikian tidak
menutup kemungkinan bakso dapat dibuat dari daging ternak lainnya seperti daging
kerbau.
Pembuatan bakso pada umumnya menggunakan daging pre-rigor agar
dihasilkan bakso yang kenyal dan kompak. Bakso merupakan produk emulsi yang
memerlukan bahan tambahan dalam proses pembuatannya. Pada proses pembuatan
bakso ditambahkan bahan-bahan yang menentukan kualitas bakso yang dihasilkan.
Salah satu bahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan bakso adalah STPP
(Sodium Tripolyposphat). STPP mempunyai fungsi meningkatkan pH dan daya
mengikat air, menurunkan penyusutan makanan karena dapat mengurangi air yang
hilang selama pemasakan, meningkatkan keempukan dan memudahkan pengirisan,
menstabilkan warna dan keseragaman, sebagai antioksidan serta meningkatkan mutu
produk.
Penggunaan STPP memiliki pembatas (self limiting) karena pada konsentrasi
lebih besar dari 0,5% menimbulkan rasa pahit dan merupakan bahan kimia an-
organik. Oleh karenanya, diperlukan bahan alternatif pengganti STPP dalam
pembuatan bakso yang merupakan bahan alami dan tersedia di alam. Bahan-bahan
2
alami (organik) yang memiliki kesamaan sifat dan fungsi dengan STPP pada bahan
pangan diantaranya adalah khitosan dan karagenan. Karagenan dan khitosan
mempunyai beberapa sifat yang sama dengan STPP yaitu meningkatkan daya
mengikat air, sehingga diharapkan penggunaan karagenan dan khitosan dapat
menggantikan STPP.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sifat fisik dan organoleptik
bakso daging sapi dan daging kerbau dengan penambahan khitosan dan karagenan.
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah informasi tentang
pemanfaatan khitosan dan karagenan sebagai bahan alami pengganti STPP dalam
proses pembuatan bakso daging sapi dan daging kerbau.
TINJAUAN PUSTAKA
Daging
Daging, menurut Soeparno (1998), didefinisikan sebagai semua jaringan
hewan dan hasil produk pengolahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan
serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Menurut
Muchtadi dan Sugiyono (1992), daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang
melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga yang
berasal dari hewan sehat sewaktu dipotong. Daging terbagi atas tipe daging merah
dan daging putih, tergantung dari perbedaan histologi dan biokimianya.
Hammes et al. (2003) menyatakan, bahwa daging merupakan komponen
esensial dalam makanan manusia untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan
tubuh yang optimal karena kandungan zat gizi daging yang lengkap meliputi protein,
lemak, air, karbohidrat, mineral dan vitamin. Daging menjadi sangat rentan terhadap
kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Daging merah yaitu daging yang memiliki proporsi besar serat yang sempit,
kaya mioglobin, mitokondria, enzim respirasi yang berhubungan dengan aktivitas
otot yang tinggi dan kandungan glikogen yang rendah. Daging putih yaitu daging
yang memiliki serat lebih besar dan lebar, mengandung sedikit mioglobin,
mitokondria, enzim respirasi yang berhubungan dengan aktivitas otot yang singkat
dan cepat dengan frekuensi istirahat yang lebih sering serta kandungan glikogen yang
tinggi (Lawrie, 2003). Beberapa faktor yang mempengaruhi warna daging termasuk
pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot),
pH dan oksigen. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi penentu utama warna daging
yaitu konsentrasi pigmen daging (mioglobin) (Soeparno, 1998).
Daging Sapi
Bull (1951) dan Forrest et al. (1975) menyatakan bahwa sapi yang lebih
dewasa mempunyai daging yang berwarna cherry-red terang dan daging yang
warnanya merah gelap atau hitam biasanya menunjukkan mutu yang rendah.
Sebagian besar daging sapi yang berwarna gelap berasal dari sapi tua dan
menyebabkan daging menjadi lebih liat.
Daging dari sapi yang dipotong pada umur antara 3 – 14 minggu disebut veal.
Veal berwarna sangat terang. Karkas yang berasal dari sapi muda umur antara 14 -15
4
minggu disebut calf (pedet). Tipe daging ini masih disebut veal, kualitasnya tidak
sebaik veal, tetapi belum mencapai karakteristik beef (daging dari sapi yang berumur
lebih dari 1 tahun). Berdasarkan umur, jenis kelamin dan kondisi seksual, daging sapi
atau beef dapat berasal dari: (1) steer, sapi jantan yang dikastrasi sebelum mencapai
dewasa kelamin; (2) heifer, sapi betina yang belum dewasa (belum pernah
melahirkan pedet); (3) cow, sapi betina dewasa (telah pernah melahirkan pedet); (4)
bull, sapi jantan dewasa, biasa digunakan sebagai pejantan, dan (5) stag, sapi jantan
yang dikastrasi setelah mencapai kedewasaan. Variasi kualitas beef dapat terjadi
karena variasi umur dan kedewasaan. Beef dari steer dan heifer mempunyai
karakteristik palatabilitas yang serupa (Soeparno, 1998).
Daging Kerbau
Kerbau umumnya digunakan sebagai ternak kerja dan disembelih bila sudah
tua. Umumnya daging kerbau lebih keras dibandingkan daging sapi dan
keempukannya (tenderness) jauh berbeda dengan daging sapi. Daging kerbau
warnanya lebih tua daripada daging sapi, serabutnya lebih kasar, lemaknya berwarna
putih dan bila diraba akan melekat pada jari. Tekstur daging kerbau lebih liat dari
ternak lainnya karena disembelih pada umur tua (Arintawati, 2005). Daging kerbau
berwarna lebih gelap dibandingkan daging sapi karena mioglobin daging kerbau
lebih tinggi (Comission on International Relations National Research Council, 1981).
Daging kerbau mempunyai kandungan nutrisi yang hampir sama dengan
ternak ruminansia besar lainnya sehingga daging kerbau dapat dikonsumsi.
Kandungan protein daging kerbau menurut Cockrill (1974) adalah 20,25%
sedangkan kandungan protein daging sapi adalah 18% (Desroirer, 1988). Menurut
NRC (1981), komposisi kimia daging kerbau adalah protein 19%, lemak
intramuskuler 2 – 3%, kadar abu 1%, bahan ekstrak tanpa nitrogen 3,20%, kadar air
76% dan mioglobin 4,10%.
Menurut Cockrill (1974) daging kerbau hampir sama dengan daging sapi
dalam beberapa hal seperti, struktur, komposisi kimia, nilai nutrisi dan palatabilitas.
Struktur dari bagian karkas yang dapat dimakan hampir identik dengan daging sapi.
Perbedaan terletak pada penyebaran lemak dan jaringan ikatnya. Lemak daging
kerbau lebih terpusat di bawah kulit dan pada rongga tubuh dan lebih sedikit diantara
5
daging, dengan kata lain derajat marbling daging kerbau lebih sedikit dari daging
sapi
Bakso
Bakso daging menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan
berbentuk bulatan atau bentuk lain yang diperoleh dari campuran daging ternak
(kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serelia dengan atau tanpa BTP
(Bahan Tambahan Pangan) yang diizinkan (Dewan Standardisasi Indonesia, 1995).
Menurut Tarwotjo et al. (1971), bakso merupakan daging yang dihaluskan, dicampur
tepung pati, dibentuk bulat-bulat sebesar kelereng atau lebih besar lagi dan dimasak
dengan air panas untuk dikonsumsi. Ockerman (1978) mendefinisikan bakso
(meatball) sebagai daging giling yang dicampur dengan sebanyak-banyaknya 12%
campuran kedelai, konsentrat protein, susu bubuk tanpa lemak dan bahan-bahan
sejenis lainnya. Bakso merupakan emulsi minyak dalam air, lemak sebagai fase
terdispersi dan air sebagai fase pendispersi dengan protein sebagai emulsifier.
Molekul pengemulsi mempunyai afinitas, baik terhadap air yaitu porsi molekul
hidrofilik maupun terhadap lemak yaitu porsi molekul hidrofobik.
Bakso umumnya dibuat dengan menggunakan daging pre-rigor agar
dihasilkan bakso yang kenyal dan kompak. Berdasarkan daging yang digunakan,
bakso dibedakan menjadi beberapa macam yaitu bakso ikan, bakso sapi dan bakso
babi (Tarwotjo, et al., 1971), bakso kerbau (Pandisurya, 1983), bakso kambing dan
bakso domba (Mujiono, 1995).
Bahan Baku Pembuatan Bakso
Bahan baku pembuatan bakso terdiri dari bahan utama yaitu daging dan
bahan tambahan yang terdiri dari bahan pengisi (tepung-tepungan), garam, es atau air
es, bumbu-bumbu seperti lada serta bahan penyedap lainnya (Sunarlim, 1992).
Daging
Daging yang digunakan untuk membuat bakso adalah daging sesegar
mungkin yaitu segera setelah pemotongan tanpa mengalami proses penyimpanan
sehingga dapat menghasilkan mutu bakso yang baik (Sunarlim, 1992). Daging yang
banyak digunakan untuk membuat bakso adalah daging penutup (top side), pendasar
gandik (silver side), lemusir (cube roll), paha depan (chuck) dan daging iga (rib
6
meat). Sebenarnya hampir semua jenis daging dari bahan karkas dapat digunakan
untuk membuat bakso, namun karena perbedaan kandungan lemak dan jaringan ikat
tiap bagian daging, maka penggunaannya disesuaikan dengan mutu bakso yang
dihasilkan (Elviera, 1988).
Bahan Pengisi
Menurut Kramlich (1971), bahan pengisi dan pengikat merupakan bagian
bukan daging yang ditambahkan dalam pembuatan produk emulsi daging seperti
bakso dan sosis. Perbedaan antara bahan pengikat dan bahan pengisi terletak pada
fraksi utama dan kemampuannya mengemulsikan lemak. Bahan pengikat mempunyai
kandungan protein yang lebih tinggi, sedangkan bahan pengisi mempunyai
kandungan karbohidrat lebih banyak. Bahan pengikat merupakan bahan bukan
daging yang mempunyai kemampuan mengikat air dan sekaligus mengemulsikan
lemak. Bahan pengikat yang digunakan adalah susu bubuk skim, sedangkan bahan
pengisi memiliki kemampuan untuk mengikat air tetapi tidak mengemulsikan lemak
(Sunarlim, 1992).
Menurut Forrest et al. (1975), tujuan penambahan bahan pengikat dan bahan
pengisi dalam suatu adonan adalah untuk meningkatkan daya mengikat air,
mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan dan mengurangi
biaya produksi. Bahan pengisi juga dapat memperbaiki stabilitas emulsi produk
daging (Kramlich, 1971). Bahan pengisi yang umum digunakan dalam pembuatan
bakso adalah tepung tapioka dan sagu aren (Pandisurya, 1983). Tapioka harganya
murah dan dapat memberikan dekstrin dengan kelarutan yang lebih baik, cita rasa
netral serta warna terang pada produk. Tapioka mengandung 17% amilosa dengan
suhu gelatinisasi 520C (Redley, 1976).
Penggunaan bahan pengisi dalam pembuatan bakso berdasarkan SNI 01-
3818-1995 maksimum 50% dari berat daging. Peningkatan penggunaan bahan
pengisi menyebabkan peningkatan kekerasan bakso (Purnomo, 1990).
Garam Dapur atau NaCl
Menurut Pearson dan Tauber (1984), garam dapur atau NaCl mempunyai
fungsi untuk meningkatkan cita rasa produk bakso, sebagai pelarut protein yaitu
miosin sehingga menstabilkan emulsi daging, sebagai pengawet karena dapat
mencegah pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan dan untuk
7
meningkatkan daya mengikat air yang biasanya dipadukan dengan STPP. Hasil
penelitian Trout dan Schmidt (1986) bahwa garam dapat memperbaiki sifat
fungsional produk daging dengan mengekstrak protein miofibril dari sel-sel otot
selama perlakuan mekanis dan berinteraksi dengan protein otot selama pemanasan
sehingga terbentuk matriks yang kuat dan mampu menahan air bebas serta
membentuk tekstur produk.
Pengaruh NaCl atau garam dapur pada daya mengikat air berhubungan
dengan kemampuan ion Na+ menggantikan Ca2+ dalam menghambat terjadinya
ikatan silang. Peran ion Cl- lebih dominan pada fungsi peningkatan daya mengikat air
selanjutnya. Ion Cl- mampu berikatan kuat dengan filamen protein bermuatan positif,
sehingga menyebabkan filamen protein tersebut bermuatan negatif. Hal ini
menyebabkan penolakan antar filamen, akibatnya ruang antar filamen menjadi lebih
luas, sehingga daya mengikat air meningkat (Devidek et al., 1990). Peningkatan daya
mengikat air terjadi pada penambahan garam di atas 1% atau sebanding dengan 0,17
M NaCl. Penambahan garam di atas 5% menyebabkan protein miofibril terpisah dari
cairan dan mengendap, sehingga daya mengikat air menjadi rendah (Honikel, 1989).
Pemberian garam sebaiknya dilakukan secepat mungkin ketika daging masih
segar dan belum mengalami proses rigor. Pada keadaan tersebut pH masih di atas 5,5
(belum terjadi proses rigor mortis) sehingga ikatan aktomiosin belum terbentuk dan
aktin maupun miosin mudah terekstraksi. Penambahan garam sebaiknya tidak kurang
dari 2% atau lebih dari 4% karena konsentrasi garam kurang dari 1,8% menyebabkan
rendahnya protein terlarut (Sunarlim, 1992).
Es atau Air Es
Penambahan air dalam bentuk es bertujuan untuk melarutkan garam dan
mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian masa daging, memudahkan
ekstraksi protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi dan mempertahankan
suhu adonan akibat pemanasan mekanis (Kramlich et al., 1973). Menurut Forrest et
al. (1975), penambahan es berfungsi untuk mempertahankan suhu daging agar tetap
rendah selama penggilingan daging dan pembuatan adonan (emulsifikasi), menjaga
kelembaban produk akhir agar tidak kering, meningkatkan keempukan dan sari
minyak (juiceness) daging.
8
Suhu daging yang lebih dari 15 – 200C dapat menyebabkan kerusakan emulsi.
Peningkatan suhu umumnya disebabkan oleh jenis alat yang dipakai. Emulsi menjadi
lebih stabil meskipun suhu luar emulsi mencapai 20 – 250C, bila alat pelumat yang
digunakan dengan kecepatan tinggi seperti Sillent Cutter (Wilson et al., 1981). Cara
mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah dengan menambahkan es atau air es.
Penambahan es lebih baik dari air, karena setiap penambahan satu gram es pada suhu
00C untuk menjadi air dengan suhu 00C membutuhkan 80 kalori. Sejumlah 80 kalori
yang sama dapat digunakan untuk meningkatkan suhu sebanyak 10C pada suhu air
800C. Peningkatan suhu selama proses pelumatan daging akibat panas yang timbul
akan digunakan untuk mencairkan es, sehingga suhu daging atau adonan dapat
dipertahankan (Forrest et al., 1975).
Jumlah es yang ditambahkan dalam adonan mempengaruhi kadar air, daya
mengikat air, kekenyalan dan kekompakan bakso. Indrarmono (1987) menganjurkan
penambahan es sebanyak 20% dari berat daging agar dihasilkan bakso dengan sifat
fisik dan organoleptik yang disukai konsumen.
Bumbu
Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bumbu pada pembuatan produk
daging dimaksudkan untuk mengembangkan rasa dan aroma atau memperpanjang
umur simpan. Lada dan bawang putih digunakan pada beberapa resep produk daging
seperti bakso dan sosis.
STPP (Sodium Tripolyposphat = Na5P3O10)
Alkali fosfat berguna untuk meningkatkan pH daging dan daya mengikat air
protein otot, menurunkan penyusutan selama pemasakan, meningkatkan keempukan
dan memudahkan pengirisan, menstabilkan warna dan keseragaman, meningkatkan
reaksi oksidasi serta meningkatkan mutu produk daging (Ockerman, 1983). STPP
dapat membantu mengekstrak dan melarutkan protein daging terutama miosin.
Fungsi fosfat dalam memperbaiki mutu produk daging tergantung pada beberapa
faktor yaitu tipe fosfat, pH produk dan konsentrasi NaCl (Trout dan Schmidt, 1986).
Menurut Trout dan Schmidt (1986), efektifitas fosfat menurun secara linier
dengan semakin panjangnya rantai molekul dengan kata lain berubahnya tipe fosfat
yang digunakan. Penggunaan STPP memiliki pembatas (self limiting) karena
menimbulkan rasa pahit pada konsentrasi tertentu, sehingga penggunaan pada
9
umumnya berkisar antara 0,3 – 0,5% (Ranken, 1976). Menurut Pandisurya (1983),
penambahan STPP sebanyak 0,75% dari berat daging dengan penambahan garam
sebanyak 2% pada adonan bakso akan memberikan nilai penerimaan produk terbaik.
Konsentrasi polifosfat yang dapat ditolerir tubuh tanpa gangguan fisiologis adalah
0,5% dari produk akhir. Penambahan STPP dapat mencegah terjadinya rekahan serta
terbentuknya permukaan yang kasar pada produk daging layu. STPP juga dapat
meningkatkan rendemen, kekenyalan dan kekompakan bakso (Elviera, 1988).
Karagenan (Carragenan)
Klasifikasi
Nama latin dari karagenan adalah Kappaphycus alvarezii menurut Chapman
dan Chapman (1980) klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Filum: Rodophyta
Sub kelas: Floridae
Kelas: Rhodopyceae
Ordo: Gigartinales
Famili: Soliriaceae
Genus: Kappaphycus
Spesies: Kappaphycus alvarezii (Doty)
= Eucheuma cottonii (nama dagang)
Karakteristik dan Komposisi
Berdasarkan pada segi morfologinya, Eucheuma cottonii memiliki thalus
dengan permukaan licin, waktu hidup berwarna hijau hingga kuning kemerahan dan
jika kering akan berwarna kuning kecoklatan. Thalli memiliki bentuk yang bervariasi
dengan cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumput yang rimbun dengan
ciri khusus menghadap ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja et al., 1996). E.
cottoni adalah rumput laut yang memiliki kandungan gizi yang cukup baik, dengan
kalori yang rendah. Rumput laut ini juga mengandung berbagai mineral yang cukup
tinggi dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk bahan
pembuatan agar-agar. Rumput laut spesies Eucheuma cottonii menghasilkan kappa
karagenan, spesies Eucheuma spinosum menghasilkan iota karagenan dan spesies
Chondrus crispus atau Gigartina menghasilkan lamda karagenan. Adapun komposisi
kimia dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Tabel 1.
10
Tabel 1. Komposisi Kimia Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii
Komposisi Jumlah
Air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Serat Kasar (%) Abu (%) Mineral Ca (ppm) Mineral Fe (ppm) Riboflavin (mg/100 g) Vitamin C (mg/100 g) Karagenan (%)
12,90 5,12 0,13 13,38 1,39 14,21 52,82 0,11 2,26 4,00 65,75
Sumber: Istini et al, 1986
Karagenan mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan polisakarida
linier yang tersusun dari unit-unit galaktosa. Struktur dasar karagenan adalah
polisakarida linier yang mempunyai bagian disakarida berulang dari β - (1,3) – D –
galaktopiranosa dan α – (1,4) – D – galaktopiranosa. Beberapa grup piruvat dan
methoksi juga terkandung dalam karagenan. Karagenan diberi nama berdasarkan
persentase kandungan ester sulfatnya, yaitu: Kappa (25 – 30%), Iota (28 – 35%) dan
Lamda (32 – 39%) (Keeton, 2001). Struktur molekul Kappa, Iota dan Lambda
karagenan terdapat pada Gambar 1.
(a) (b)
(c)
Gambar 1. Struktur Molekul Karagenan: (a) Kappa, (b) Iota dan (c) Lambda Sumber: Keeton, 2001
Menurut Winarno (1996), standar mutu karagenan dalam bentuk tepung
adalah 99% lolos dari saringan 60 mesh, tepung yang terendap alkohol 0,7 dan kadar
11
air 15% pada RH 50 dan 25% pada RH 70. Penggunaan ini biasanya dilakukan pada
konsentrasi serendah 0,005% sampai setinggi 3% tergantung produk yang ingin
diproduksi. Daya kelarutan dan kestabilan ketiga jenis karagenan dapat dilihat pada
Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Daya Kelarutan Karagenan pada Berbagai Media Pelarut
Medium Kappa Iota Lamda
Air panas Larut di atas 600C Larut di atas 600C Larut Air dingin Garam Na larut,
garam K dan Ca tidak larut
Garam Na larut, garam Ca memberi disperse thixotropic larut
Larut
Susu panas Larut Larut Larut Susu dingin Garam Na, Ca dan
K tidak larut tapi akan mengembang
Tidak larut Larut
Larutan gula pekat Panas, larut Larut, sukar Larut, panas Larutan garam pekat
Tidak larut Larut, panas Larut, panas
Sumber: Moirano, 1977 dalam Angka dan Suhartono, 2000
Tabel 3. Daya Kestabilan Ketiga Jenis Karagenan terhadap Perubahan pH
Stabilitas Kappa Iota Lamda
Keadaan pH netral dan alkali
Stabil Stabil Stabil
Terhidrolisa bila dipanaskan Stabil dalam keadaan gel
Terhidrolisa Stabil dalam keadaan gel
Terhidrolisa
Sumber: Moirano, 1977 dalam Angka dan Suhartono, 2000
Fungsi
Karagenan digunakan untuk mengontrol kadar air, tekstur dan sebagai
penstabil, selain itu digunakan pada industri makanan untuk membentuk gel dan
menambah ketebalan (thickening). Karagenan dapat diaplikasikan pada berbagai
produk sebagai pembentuk gel atau penstabil, pensuspensi, pembentuk tekstur
emulsi, terutama pada produk-produk jelly, permen, sirup, dodol, nugget, produk
susu, bahkan untuk industri kosmetik, tekstil, cat, obat-obatan dan pakan ternak
(Suptijah, 2002).
12
Karagenan dapat menyerap air sehingga menghasilkan tekstur yang kompak.
Karagenan juga meningkatkan rendemen, meningkatkan daya mengikat air,
menambah kesan juiciness, meningkatkan kemampuan potong produk dan
melindungi produk dari efek pembekuan dan thawing (Keeton, 2001). Karagenan
dapat digunakan sebagai bahan penstabil karena mengandung gugus sulfat yang
bermuatan negatif disepanjang rantai polimernya dan bersifat hidrofilik yang dapat
mengikat air atau gugus hidroksil lainnya (Moirano, 1977). Berdasarkan sifatnya
yang hidrofilik tersebut, maka penambahan karagenan dalam produk emulsi akan
meningkatkan viskositas fase kontinu sehingga emulsi menjadi stabil (Frashier dan
Parker, 1985).
Khitosan
Definisi
Khitosan adalah polimer dengan berat molekul tinggi yang merupakan
turunan dari bahan alami yaitu khitin. Khitosan (2-amino-2-deoksi-D-glukan) adalah
polisakarida linier dengan susunan acak β - (1-4) - yang menghubungkan D -
glukosamin (unit tanpa asetil) dan N-asetil-D-glukosamin (unit asetil). Susunan
kimia tersebut adalah bentuk komersial dari khitosan yang dapat dimanfaatkan dalam
biomedis (Irawan, 2006). Struktur molekul selulosa, khitin dan khitosan terdapat
pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Molekul Selulosa, Khitin dan Khitosan. Sumber: Rukayadi, 2002
13
Sumber
Limbah udang windu, limbah udang barong, udang putih, udang galah dan
dan kulit kerang, kepiting, lobster serta beberapa jenis crustacea lainnya
mengandung khitin dalam jumlah besar, yaitu antara 42-57%. Khitin adalah senyawa
polimer organik yang selanjutnya dapat diproses menjadi khitosan, suatu senyawa
poliglukosamin, melalui proses deasetilisasi berpengaruh terhadap rendemen, berat
molekul, viskositas dan kemampuan mekanik dari produk khitosan yang dihasilkan
(Sormin et al., 2001).
Proses Pembuatan
Khitosan komersial diproduksi melalui proses penghilangan grup asetil (CH3-
CO) dari rantai polimer khitin dengan menggunakan dilusi asam atau disebut juga
dengan proses deasetilisasi (Mc Cue, 2006). Derajat deasetilisasi dapat ditentukan
menggunakan spektroskopi NMR. Persentase derajat deasetilisasi pada khitosan
komersial berkisar antara 60 – 100%. Proses pembuatan khitosan dilakukan melalui
beberapa tahapan. Dimulai dari pengeringan bahan baku mentah khitosan (rajungan),
lalu melalui proses penggilingan, penyaringan, deproteinisasi, pencucian dan
penyaringan, demineralisasi (penghilangan mineral Ca), pencucian, desalinisasi dan
pengeringan. Setelah itu barulah terbentuk produk akhir khitosan (Anonim, 2006).
Saat ini khitosan dan turunannya diproduksi secara termokimia dengan suhu
tinggi menggunakan bahan dasar cakang kepiting atau cakang udang-udangan.
Cakang tersebut dihilangkan proteinnya (deproteinisasi) dengan basa. Deproteinisasi
dilakukan menggunakan NaOH 40 N, kemudian penghilangan mineral dengan
CaCO3 pada kondisi pH sangat asam, proses ini menghasilkan kitin murni. Proses
selanjutnya ialah penghilangan gugus asetil (deasetilisasi). Proses deasetilisasi bisa
dilakukan dengan dua cara. Pertama, khitin dilarutkan ke dalam NaOH konsentrasi
tinggi kemudian dipanaskan. Khitosan yang terbentuk umumnya merupakan khitosan
yang tidak larut air, dengan cara ini 85 sampai 93% gugus asetil telah dihilangkan.
Cara kedua, sama dengan cara pertama akan tetapi perlakuan suhunya lebih rendah,
dengan proses ini gugus asetil yang dapat dihilangkan kurang dari 80%. Kedua
proses tersebut memiliki efek samping yang tidak baik, diantaranya memerlukan
energi banyak, menghasilkan sampah dengan konsentrasi basa yang tinggi dan
khitosan yang dihasilkan sangat beragam (Rukayadi, 2002).
14
Khitosan juga dapat dihasilkan melalui proses deasetilisasi menggunakan
enzim. Enzim khitin deasetilase sekarang mulai diperkenalkan untuk menghasilkan
polimer khitosan atau oligomer khitosan dari khitin. Martinou et al. (1995)
melaporkan proses deasetilisasi khitin menjadi khitosan menggunakan enzim khitin
deasetilase (KDA) dari Mucour rouxii. Hasil penelitian menunjukkan, jika substrat
yang digunakan ialah khitin yang telah sedikit dideasetilasi atau menggunakan
oligomer khitosan yang larut dalam air, ternyata lebih dari 97% gugus asetil dapat
dihilangkan oleh KDA dari M. rouxii. Khitosan yang dihasilkan sangat seragam baik
derajat deasetilasinya ataupun posisi deasetilasinya. Hal ini disebabkan enzim
bekerja sangat spesifik sehingga untuk mendapatkan khitosan yang seragam dan
spesifik akan lebih baik menggunakan enzim (Rukayadi, 2002).
Karakterisasi dan Fungsi
Grup amino pada khitosan mempunyai nilai pKa sekitar 6,5. Khitosan
bermuatan positif dapat larut dalam asam dan larutan netral dengan berat jenis
tergantung pada nilai pH dan nilai persentase derajat deasetilisasi. Khitosan juga
bersifat bioadhesive yang siap berikatan dengan muatan negatif pada permukaan
seperti mukosa membran (Anonim, 2006).
Menurut Sormin et al. (2001), semakin tinggi derajat deasetilisasi khitosan,
semakin rendah berat molekul dan viskositasnya. Hal ini disebabkan karena
perlakuan alkali berpengaruh terhadap penurunan panjang rantai polisakarida, dalam
hal jumlah rata-rata unit gula per molekul polimer. Sifat fungsional khitosan tidak
hanya ditentukan oleh derajat deasetilisasi, tetapi juga oleh berat molekulnya.
Semakin tinggi derajat deasetilisasi khitosan, semakin rendah kadar protein
konsentrat limbah yang diperoleh. Semakin tinggi derajat deasetilisasi khitosan
semakin banyak logam berat yang dapat diikat. Hal ini disebabkan logam berat dapat
terikat pada gugus NH2 dari khitosan membentuk suatu senyawa kompleks, sehingga
semakin tinggi derajat deasetilisasi semakin banyak gugus asetil yang digantikan
oleh gugus NH2.
Keunggulan khitosan secara garis besar ialah struktur kimianya sederhana
sehingga mudah ditentukan dengan spektroskopi, dapat dimodifikasi baik secara
kimiawi ataupun menggunakan enzim, mempunyai fungsi biologis dan fisik,
merupakan senyawa yang dapat didegradasi secara biologi, dapat serasi secara
15
biologi (biocompatible) dengan berbagai organ, jaringan dan sel, dapat diubah
menjadi bentuk produk lain termasuk bentuk serpihan, bubuk halus, membran,
butiran besar atau manik-manik, spong, kain, serat dan gel (Rukayadi, 2002).
Aplikasi beberapa polimer dan oligomer khitosan pada berbagai bidang dapat dilihat
pada Tabel 4.
Kegunaan pokok dari khitosan adalah meningkatkan pertumbuhan dan
mencegah serangan fungi pada tanaman. Khitosan juga digunakan dalam teknik
pemrosesan air terutama pada bagian proses penyaringan air. Pada proses
penyaringan air khitosan dapat menghilangkan phosphor, logam berat dan minyak.
Sormin et al. (2001), melaporkan bahwa khitosan dapat mengikat logam berat (Fe),
dan merkuri (Hg) dari limbah cair dengan efektivitas pengikatan sebesar 100 mg
logam berat per gram khitosan bubuk yang digunakan. Kombinasi penyaringan air
menggunakan khitosan dan pasir memiliki keakuratan 99%. Penggunaan khitosan
sebagai penyaring (filtrasi) tidak hanya pada air, tetapi dapat digunakan juga pada
bahan-bahan berbentuk cair yang lain. Kombinasi penggunaan khitosan dengan
gelatin, bentonite, silika gel dapat menjernihkan anggur dan bir. Khitosan juga
berfungsi dalam bio medis yaitu untuk menghambat LDL kholesterol dalam darah,
mengontrol tekanan darah, mengurangi jumlah asam uric dalam darah, mencegah
pendarahan, berfungsi sebagai antasida, membantu penyerapan kalsium pada tulang,
mempunyai sifat anti tumor dan antimikrobial.
Penggunaan khitosan pada bahan pangan adalah sebagai bahan pengawet
alami, penstabil warna, mengurangi reduksi lemak, memperpanjang umur bau yang
alami, anti oksidan dan agen pengontrol tekstur (Anonim, 2006). Khitosan dapat
bertindak sebagai emulsifier pada bahan pangan karena kemampuannya mengikat air
dan lemak. Gugus polar (H+) pada khitosan dapat mengikat air dan gugus non polar
(NH2) pada khitosan dapat berikatan dengan lemak. Khitosan dan protein daging
akan membentuk suatu ikatan protein-khitosan terikat yang dapat meningkatkan
kemampuan protein untuk menyelimuti lemak (terdispersi). Khitosan dapat mengikat
partikel-partikel lemak sehingga tidak terjadi pembentukan globula lemak yang besar
karena dapat mengakibatkan ketidakstabilan emulsi pada produk sosis yang
dihasilkan (Sitindaon, 2007).
16
Tabel 4. Aplikasi Beberapa Polimer dan Oligomer Khitosan
Penerapan Contoh
Pengolahan air Membersihkan air dari: ion, logam dan pestisida, fenol, protein, radioisotop, PCBs dan bahan pencelup, dan bahan sampah dari pengolahan makanan.
Pertanian Bahan penyubur, antibakteri dan fungisida, pelapisan biji-bijian dan buah-buahan, elisitor tanaman.
Makanan dan pakan tambahan Pengurai dan penghilang asam dari buah-buahan dan minuman, penstabil warna, mengurangi reduksi lemak, memperpanjang umur bau yang alami, untuk agen pengontrol tekstur, pengawetan makanan dan antioksidan, pengemulsi, agen pelapis dan penstabil, pakan tambahan ikan, dan preparasi untuk diet.
Biomedikal dan farmaseutical Pengobatan luka bakar, preparasi kulit buatan, benang penjahit operasi, lensa kontak, membran dialisis darah, pembuluh darah buatan, anti tumor, antikoagulasi darah, antigastritis, haemostatik, hipokolesterolamik dan agen antothrombonik, sistem penyaluran obat dan gen, dan pemeliharaan gigi.
Kosmetik Perawatan kulit dan rambut Bioteknologi dan kromatografi Imobilisasi enzim, matrik gel dalam
kromatografi afinitas, substrat untuk enzim.
Lain-lain Pelapis kertas, film dan spong, serat buatan.
Sumber: Rukayadi, 2002
Pembuatan Bakso
Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri dari empat tahap yaitu
penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan bakso dan pemasakan
(Pandisurya, 1983). Menurut Iswanto (1989), tahap pembuatan bakso meliputi
penggilingan daging giling kasar (ground meat), pencampuran emulsi daging dengan
tepung pati, penyimpanan adonan yang terbentuk dan pencetakan adonan menjadi
bakso dalam air panas.
17
Menurut Pisula (1984), penghancuran daging dimaksudkan untuk memecah
dinding sel serabut otot daging sehingga memudahkan protein larut garam seperti
aktin dan miosin dapat diekstrak keluar dengan menggunakan larutan garam.
Penghancuran daging dapat dilakukan dengan cara mencacah (mincing), menggiling
(grinding) atau mencincang sampai halus (chopping) (Wilson et al., 1981). Proses
pembentukan adonan dapat dilakukan dengan mencampur seluruh bahan kemudian
menghancurkannya (mixing dan chopping) sehingga membentuk suatu adonan, atau
dapat juga menghancurkan daging, kemudian mencampurkannya dengan seluruh
bahan (mincing, grinding dan mixing). Pada proses penggilingan daging perlu
diperhatikan kenaikan suhu akibat panas yang dihasilkan. Suhu yang diperlukan
untuk mempertahankan stabilitas emulsi di bawah 200C. Apabila dalam proses
penggilingan daging, kenaikan suhu lebih dari 200C, dapat menyebabkan denaturasi
protein dan sebagian emulsi akan pecah (Pearson dan Tauber, 1984). Penyimpanan
adonan sebelum dicetak menjadi bakso bertujuan untuk meningkatkan jumlah protein
larut garam dalam emulsi atau adonan bakso sehingga dapat memperbaiki sifit fisik
bakso yang dihasilkan (Indrarmono, 1987).
Sifat Fisik
Nilai pH
Nilai pH adalah sebuah indikator penting kualitas daging dengan
memperhatikan kualitas teknologi dan pengaruh kualitas daging segar. Pengamatan
terhadap pH penting dilakukan karena perubahan pH berpengaruh terhadap kualitas
bakso yang dihasilkan. Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui tingkat
keasaman bakso yang disebabkan oleh ion hidrogen (H+). Produk akhir yang
mengalami pemasakan dan penggaraman bergantung pada pH daging. Temperatur
tinggi meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat
laju penurunan pH (Soeparno, 1998).
Daya Mengikat Air
Daya mengikat air didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk
mempertahankan kandungan airnya selama mengalami perlakuan dari luar seperti
pemotongan, pemanasan, penggilingan dan pengolahan. Hampir semua prosedur
penyimpanan dan pengolahan daging dipengaruhi oleh daya mengikat air. Beberapa
18
sifat fisik daging, seperti warna, tekstur, kekerasan dan keempukan daging
dipengaruhi oleh daya mengikat air (Forrest et al., 1975). Faktor setelah pemotongan
yang mempengaruhi daya mengikat air daging adalah pH daging, metode
pemasakan, lemak intra muskuler atau marbling, macam otot daging dan lokasi suatu
otot daging.
Kekenyalan
Kekenyalan bahan pangan didefinisikan sebagai gaya yang diperlukan untuk
memberikan perubahan bentuk (Larmond, 1970). Wirakartakusumah et al. (1992)
menyatakan, kekenyalan adalah kemampuan bahan untuk berlaku elastis atau
kemampuan memulihkan titik-titik dalam suatu bahan (deformasi). Kekenyalan
daging dipengaruhi oleh genetik, sifat fisiologis, pemeliharaan dan umur ternak.
Sifat Organoleptik
Penilaian organoleptik adalah penilaian mutu suatu produk dengan
menggunakan indera manusia melalui syaraf sensorik. Penilaian dengan indera
banyak digunakan untuk menilai hasil pertanian dan makanan. Penilaian dengan cara
ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Analisis
organoleptik dapat membantu pendugaan parameter untuk formula baru, sedangkan
pengukuran menggunakan alat (instrument) dibutuhkan untuk menyakinkan
konsistensi kualitas suatu produk (Kerry et al., 2001).
Warna
Warna adalah refleksi cahaya pada permukaan bahan yang ditangkap oleh
indera penglihatan dan ditransmisi oleh sistem syaraf. Menurut Fellows (1992),
perubahan warna dapat ditentukan oleh penambahan bahan kimia dan perombakan
enzim menjadi pigmen. Warna mempengaruhi penerimaan suatu bahan pangan,
karena umumnya penerimaan bahan yang pertama kali dilihat adalah warna. Warna
yang menarik akan meningkatkan penerimaan produk. Warna dapat mengalami
perubahan saat pemasakan. Hal ini dapat disebabkan oleh hilangnya sebagian pigmen
akibat pelepasan cairan sel pada saat pemasakan atau pengolahan, intensitas warna
semakin menurun (Elviera, 1988). Penerimaan warna suatu bahan berbeda-beda
tergantung dari faktor alam, geografis, dan aspek sosial masyarakat penerima
(Winarno, 2002)
19
Rasa
Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup cecapan
yang terletak pada papila yaitu noda merah jingga pada lidah. Faktor yang
mempengaruhi rasa yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi pangan
dengan komponen rasa yang lain. Atribut rasa banyak ditentukan oleh formulasi
yang digunakan dan kebanyakan tidak dipengaruhi oleh pengolahan suatu produk
pangan (Winarno, 2002).
Aroma
Aroma suatu produk ditentukan saat zat-zat volatil masuk ke dalam saluran
hidung dan ditanggapi oleh sistem penciuman (Meilgaard et al., 1999). Pembauan
disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan
yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya dari jarak jauh (Soekarto, 1985).
Aroma bakso dipengaruhi oleh spesies ternak, umur, jenis kelamin, makanan dan
lemak intramuskular dan bahan-bahan yang ditambahkan selama pemasakan.
Kekenyalan
Kekenyalan mempengaruhi palatabilitas seseorang terhadap suatu produk.
Kekenyalan didasarkan pada kemudahan waktu mengunyah tanpa kehilangan sifat-
sifat jaringan yang layak. Kekenyalan melibatkan kemudahan awal penetrasi gigi ke
dalam bakso, kemudahan mengunyah menjadi potongan yang lebih kecil dan jumlah
residu yang tertinggal selama pengunyahan (Lawrie, 2003).
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan dari Februari sampai April
2007. Pelaksanaannya dilakukan di Bagian Ruminansia Besar dan Bagian Teknologi
Hasil Ternak Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Materi
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini dibedakan menjadi dua
macam yaitu bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama berupa daging sapi
pre-rigor bagian pendasar gandik (top side) yang diperoleh dari pasar tradisional
Bogor Kotamadya Bogor dan daging kerbau pre-rigor bagian pendasar gandik (top
side) yang diperoleh dari pasar tradisional Leuwi Liang Kabupaten Bogor. Bahan
tambahan yang digunakan adalah tepung tapioka, air es, garam dapur, bawang putih,
lada, STPP, khitosan dan karagenan yang diperoleh dari Departemen Teknologi
Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Peralatan yang digunakan untuk membuat bakso terdiri dari alat untuk
membuat adonan bakso yaitu alat penggiling daging sekaligus pencampur adonan
(food processor), sedangkan peralatan masak lain yang digunakan adalah talenan,
pisau, sendok, baskom, panci dan kompor. Peralatan yang digunakan untuk
melakukan analisa sifat fisik bakso adalah pH-meter, planimeter, timbangan, blender,
gelas ukur, carverpress, kertas saring Whatman 41, Instron model 1140 dan
stopwatch. Peralatan yang digunakan untuk uji organoleptik bakso adalah piring,
garpu, gelas, kertas tisu, pisau, kertas kuisioner dan alat tulis.
Rancangan
Rancangan percobaan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh jenis
daging (daging kerbau dan daging sapi) dan bahan tambahan pangan (0,3% STPP;
0,3% karagenan dan 0,3% khitosan) adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial pola
2x3 dengan tiga ulangan. Model Matematika yang digunakan dalam rancangan
penelitian ini adalah:
Yijk = μ + ijkijji εαββα +++
21
Keterangan:
Yijk = hasil pengamatan sifat fisik bakso dengan menggunakan jenis daging
ke-i, bahan tambahan pangan ke-j dan ulangan ke-k.
μ = rataan umum
iα = pengaruh jenis daging ke-i
jβ = pengaruh BTP (Bahan Tambahan Pangan) ke-j
ijαβ = interaksi penggunaan jenis daging ke-i pada BTP ke-j
i = Jenis daging (sapi dan kerbau)
j = BTP (0,3% STPP; 0,3% Karagenan dan 0,3% Khitosan)
ijkε = galat percobaan
Data diolah dengan analisis ragam (Analysis of Variance = ANOVA). Jika
pada analisis ragam didapatkan hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan
uji Polinomial Ortogonal (Steel dan Torrie, 1995).
Hasil penilaian organoleptik dianalisis dengan metode non parametrik sesuai
petunjuk Kruskal Wallis (Gapersz, 1989). Apabila hasilnya berbeda nyata maka
dilanjutkan dengan uji yang dikembangkan oleh Gibbons (1975).
Rumus Gibbons: |Ri - Rj| ≤ Z [ K (N + 1) / 6]0.01
Jika |Ri - Rj| lebih besar dari Z [ K (N + 1) / 6]0.01, maka perbedaan Ri dan Rj
adalah nyata pada taraf α.
Keterangan: K = jumlah level dalam perlakuan (1, 2, 3, …, 6)
N = jumlah total data (jumlah panelis x jumlah sampel)
Ri = jumlah peringkat dalam contoh ke-i
Rj = jumlah peringkat dalam contoh ke-j
Z = nilai Z yang kemudian dicari pada tabel Z
Prosedur
Pembuatan Bakso
Pembuatan bakso pada penelitian ini menggunakan enam formula yaitu
dengan mengkombinasi antara jenis daging (kerbau dan sapi) dengan bahan
tambahan pangan (0,3% STPP; 0,3% karagenan dan 0,3% khitosan). Formula yang
digunakan adalah formula A (daging kerbau dan 0,3% STPP), formula B (daging
kerbau dan 0,3% karagenan), formula C (daging kerbau dan 0,3% khitosan), formula
22
D (daging sapi dan 0,3% STPP), formula E (daging sapi dan 0,3% karagenan) dan
formula F (daging sapi dan 0,3% khitosan). Setiap kombinasi tersebut masing-
masing menggunakan 250 gram daging kerbau dan sapi yang akan dibuat bakso dan
ditambahkan 5% garam dapur, 20% air es, 0,5% lada, 2,5% bawang putih serta 20%
tepung tapioka dari berat daging. Rancangan formula pembuatan bakso dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5. Rancangan Formula Pembuatan Bakso
Jenis Daging 0,3 % STPP 0,3% Karagenan 0,3% Khitosan
Daging Kerbau A B C Daging Sapi D E F
Potongan daging yang telah siap tersebut dimasukkan ke dalam alat food
processor bersama dengan air es, garam, STPP/karagenan/khitosan lalu digiling
halus kira-kira selama satu menit. Setelah itu tambahkan lada, bawang putih, dan
tepung tapioka, lalu digiling kembali selama satu menit.
Setelah terbentuk adonan, selanjutnya adonan didiamkan selama 10 menit.
Adonan kemudian dibentuk menjadi bulatan-bulatan untuk dimasukkan ke dalam air
panas (1000C) selama 15 menit, lalu bakso diangkat dan dimasak kembali dalam air
mendidih (800C) selama kurang lebih 10 menit dan selanjutnya bakso siap dianalisa
secara fisik dan diuji organoleptik. Proses pembuatan bakso dapat dilihat pada
Gambar 1.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati untuk mengetahui sifat fisik bakso adalah pH, DMA
(Daya Mengikat Air) dan kekenyalan. Penilaian organoleptik dilakukan untuk
mengetahui palatabilitas bakso.
Nilai pH (Soeparno, 1998). Adonan bakso diukur dengan menggunakan pH-meter
merek Corning dikalibrasi dengan larutan buffer dengan nilai pH 4 dan 7. Sampel
ditimbang 10 gram, kemudian ditambah aquades 100 ml, setelah itu sampel diblender
selama satu menit, sampel dipindahkan ke dalam gelas ukur, pH-meter dicelupkan ke
dalam sampel kira-kira 2 – 4 cm. Nilai pH diperoleh dengan membaca skala
tersebut.
23
Gambar 3. Skema Pembuatan Bakso
Digiling halus selama 1 menit
Digiling kembali selama 1 menit
Adonan yang terbentuk didiamkan selama 10 menit, disimpan dalam refrigerator dengan suhu 100C
Ditambahkan lada, tapioka dan bawang
putih
Daging dibersihkan lemak permukaannya, dipotong kecil-kecil, dimasukkan ke dalam food processor
Adonan dicetak berbentuk bulatan-bulatan bakso
Bulatan-bulatan yang berbentuk bakso dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (800C) selama 10 menit
Analisa fisik dan uji organoleptik Bakso
Ditambahkan es, NaCl dan STPP/Karagenan/Khitosan
Bakso
24
Daya Mengikat Air (Water Holding Capacity). Pengukuran dilakukan dengan
metode Hamm, yaitu dengan cara mengambil sampel dari adonan bakso sebanyak
0.3 gram, kemudian sampel disimpan diantara dua kertas saring tipe Whatman 41.
Setelah itu, sampel daging tersebut dipress dengan carverpress selama lima menit
dengan tekanan 35 kg/cm2. Batas antara daging dengan air ditandai, lalu diukur
dengan Planimeter merek Hruden dengan cara, batas luar (wet area) diberi tanda
dengan titik, lalu kita putar searah jarum jam, angka yang dihasilkan sebelum diputar
dan sesudah diputar dibaca, dan ini juga berlaku untuk mengukur batas dalam
(lingkaran dalam).
Daerah basah (cm2) = luas lingkaran luar – luas lingkaran dalam x 6,45 cm2
Angka yang diperoleh dalam satuan inchi dikonversikan ke dalam sentimeter,
(1 inchi = 2,54 cm). Setelah didapatkan hasilnya, baru dicari hasilnya dengan rumus:
mg H2O = daerah basah (cm2) – 8,0 0,0948
Persentase = mg H2O x 100% 300
Semakin tinggi mg H2O yang keluar, maka daya mengikat airnya semakin rendah.
Kekenyalan (Wirakartakusuma, 1988). Uji fisik kekenyalan bakso dilakukan
dengan menggunakan Instron Model 1140. Sampel bakso ditekan menggunakan
beban 50 kg. Penekanan pertama hanya dilakukan sampai bakso tepat akan pecah,
sensor pada Instron akan bekerja dan menarik kembali Anvil secara otomatis,
kemudian dilakukan penekanan kedua sampai bakso pecah. Kekenyalan bakso
menunjukkan sejauhmana bakso memberi gaya pada penekanan. Perbandingan nilai
puncak grafik kedua dan grafik pertama menunjukkan kekenyalan bakso.
Kekenyalan (kg/mm) = Nilai puncak grafik kedua pada sumbu vertikal Nilai puncak grafik pertama pada sumbu vertikal
Organoleptik (Soekarto, 1985). Uji organoleptik dilakukan menggunakan metode
hedonik dengan skala 1 (sangat tidak suka) sampai 5 (sangat suka). Pengujian
dilaksanakan terhadap 35 – 40 panelis. Panelis diminta menyatakan penilaiannya
terhadap penampakan warna, aroma, kekenyalan dan rasa bakso tanpa
membandingkan satu sama lain pada format yang telah disediakan.
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisik
Nilai pH
Pengukuran pH bertujuan untuk menentukan sifat asam, netral dan basa
suatu produk pangan. Rataan nilai pH adonan bakso dengan jenis daging dan bahan
tambahan pangan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rataan Nilai pH Bakso Berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan
Jenis Bahan Tambahan Pangan Jenis Daging
0,3% STPP 0,3% Karagenan 0,3% Khitosan
Rataan
Kerbau 5,99 ± 0,07 5,79 ± 0,02 5,79 ± 0,03 5,85 ± 0,04a
Sapi 5,75 ± 0,07 5,8 ± 0,03 5,67 ± 0,04 5,74 ± 0,04b
Rataan 5,87 ± 0,07 5,80 ± 0,02 5,73 ± 0,03 Keterangan: superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Nilai pH bakso berdasarkan penggunaan jenis daging dan bahan tambahan
pangan yang berbeda berkisar antara 5,67 ± 0,04 – 5,99 ± 0,07. Interaksi antara jenis
daging dan jenis bahan tambahan pangan tidak berpengaruh nyata terhadap pH
bakso. Penggunaan bahan tambahan pangan yang berbeda juga tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap pH bakso.
Perbedaan nilai pH nyata (P<0,05) terjadi pada penggunaan jenis daging,
nilai pH bakso daging kerbau nyata lebih tinggi dari nakso daging sapi. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian (Prasetyo, 2002), yaitu bakso daging kerbau mempunyai pH
6,79 dan bakso daging sapi mempunyai pH 6,59. Penggunaan jenis daging yang
berbeda memberikan pengaruh yang berbeda pula pada nilai pH bakso. Otot dari
spesies yang mempunyai sifat biokimiawi berbeda ternyata memberikan hasil yang
berbeda terhadap pH bakso. Penurunan pH terjadi setelah hewan di potong (post
mortem) hingga tercapai pH ultimat yang besar dan lamanya ditentukan oleh sisa
glikogen. Perubahan pH berhubungan erat dengan warna serta tekstur daging dan
produknya. Sifat fungsional protein daging dapat berkurang pada pH rendah akibat
terjadinya denaturasi. Sifat tersebut berfungsi sebagai emulsifier yang sangat
dibutuhkan dalam pembuatan bakso. Protein dapat mengikat air pada sisi luar
(hidrofil) dan mengikat lemak pada sisi dalam (hidrofob) (Soeparno, 1998).
26
Penambahan khitosan dan karagenan memberikan nilai pH bakso yang sama
dengan STPP. Menurut Trout dan Schmidt (1986), nilai pH STPP pada umumnya
bersifat basa antara 9 – 9,7, karagenan pada penelitian ini mempunyai nilai pH yang
relatif normal antara 6 – 7 dan khitosan memiliki nilai pH cenderung asam antara 5,7
– 5,9. Nilai pH ketiga bahan tambahan pangan tersebut tidak mempengaruhi Nilai pH
akhir bakso. STPP dapat menahan air dalam produk sehingga pH bakso menjadi
lebih rendah. Khitosan dapat mempengaruhi nilai pH dengan mengikat air oleh
gugus polar (H+) sehingga nilai pH bakso sedikit lebih tinggi dari nilai pH
isoelektrik. Karagenan dengan pH relatif normal cenderung tidak mempengaruhi
nilai pH bakso.
Daya Mengikat Air
Menurut Natasasmita et al. (1987), air dalam otot dibagi menjadi tiga bagian
yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot, air tidak bergerak dan air
bebas. Perubahan molekul protein otot tidak mempengaruhi air terikat dan air tidak
bergerak, sehingga bagian air bebaslah yang bertanggungjawab pada tinggi
rendahnya daya mengikat air protein otot (Schnepf, 1989). Rataan nilai mg H2O (air
yang keluar) pada bakso dengan jenis daging dan bahan tambahan pangan yang
berbeda dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan Nilai mg H20 Bakso Berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan (%)
Jenis Bahan Tambahan Pangan Jenis Daging 0,3% STPP 0,3% Karagenan 0,3% Khitosan Rataan
Kerbau 22,83±5,74 25,99±3,28 23,06±1,91 23,96±3,64b
Sapi 30,11±2,68 29,45±1,44 32,14±3,51 30,57±2,54a
Rataan 26,47±4,21 27,71±2,36 27,60±2,71 Keterangan: superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Rataan persentase mg H2O (air yang keluar) pada bakso berkisar antara
22,83±5,74% sampai dengan 32,14±3,51%. Semakin tinggi jumlah air yang keluar,
maka daya mengikat air semakin rendah. Interaksi antara jenis daging dan bahan
tambahan pangan tidak berpengaruh nyata terhadap mg H2O (air yang keluar) pada
bakso. Penggunaan bahan tambahan pangan yang berbeda juga tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap mg H2O (air yang keluar) pada bakso.
27
Bakso daging sapi memiliki persentase mg H2O (30,57±2,54%) nyata lebih
tinggi dari bakso daging kerbau (23,96±3,64%). Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Prasetyo (2002), yaitu bakso daging sapi mempunyai persentase mg H20
(22,55%) nyata lebih tinggi dari bakso daging kerbau (11,39%). Daging kerbau
mempunyai daya mengikat air lebih tinggi daripada daging sapi. Hal ini disebabkan
karena nilai pH bakso daging kerbau juga lebih tinggi dari nilai pH bakso daging
sapi. Menurut Soeparno (1998), daya mengikat air protein daging dipengaruhi oleh
pH. Daya mengikat air protein daging menurun dari pH tinggi sekitar 7 -10 sampai
pada titik iso elektrik protein daging antara 5 – 5,1. Protein daging pada pH
isoelektrik tidak bermuatan dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih tinggi
dari titik isoelektrik protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat
surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi
lebih banyak ruang untuk molekul air. Pada pH yang lebih rendah dari titik
isoelektrik protein daging terdapat surplus muatan positif yang mengakibatkan
penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Daya
mengikat air protein daging akan meningkat pada pH yang lebih tinggi atau lebih
rendah dari titik isoelektrik protein daging.
Kemampuan daya mengikat air daging 97% ditentukan oleh fraksi protein
miofibrillar yaitu miosin, aktin dan tropomiosin. Kemampuan tersebut dapat
menurun dengan adanya perlakuan pemanasan yang menyebabkan denaturasi protein
(Sikorski, 2001). Fraksi protein miofibrillar pada daging kerbau hanya sedikit
mengalami terdenaturasi, sehingga kemampuan daya mengikat air pada bakso kerbau
lebih tinggi daripada bakso sapi.
Penggunaan karagenan dan khitosan pada konsentrasi 0,3% memberikan hasil
mg H2O (air yang keluar) pada bakso yang sama dengan STPP pada konsentrasi
0,3%. Penggunaan STPP yang dikombinasikan dengan garam akan mempengaruhi
kelarutan protein dan daya mengikat air daging. Karagenan lebih bersifat sebagai
pengikat (binding agent) air, sehingga kemampuannya dalam mempertahankan air
dalam bakso rendah. Khitosan juga memiliki sifat pengikat (binding agent) air,
khitosan memiliki muatan positif yang disebabkan oleh kedua ligannya (OH- dan
NH2) sehingga dapat berinteraksi dengan protein yang bermuatan negatif. Khitosan
dapat memperbaiki protein untuk mengikat air dan lemak.
28
Kekenyalan
Kekenyalan adalah kemampuan bahan pangan yang dimampatkan atau
ditekan kembali ke kondisi awal setelah beban tekanan dihilangkan. Rataan
kekenyalan bakso berdasarkan perbedaan jenis daging dan bahan tambahan pangan
yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan Kekenyalan Bakso Berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan (kg/mm)
Jenis Bahan Tambahan Pangan Jenis Daging 0,3% STPP 0,3% Karagenan 0,3% Khitosan Rataan
Kerbau 0,95 ± 0,01 0,96 ± 0,06 0,96 ± 0,04 0,96 ± 0,03
Sapi 0,96 ± 0,05 0,96 ± 0,01 0,96 ± 0,05 0,96 ± 0,03
Rataan 0,96 ± 0,03 0,96 ± 0,04 0,96 ± 0,04 0,96 ± 0,03
Penggunaan jenis daging dan bahan tambahan pangan yang berbeda tidak
berpengaruh nyata terhadap nilai kekenyalan bakso. Interaksi antara jenis daging dan
bahan tambahan pangan juga tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kekenyalan
bakso. Rataan umum nilai kekenyalan bakso adalah 0,95 ± 0,03 kg/mm.
Penggunaan daging kerbau dan daging sapi memberikan nilai kekenyalan
bakso yang tidak berbeda. Hal ini kemungkinan disebabkan kesamaan kondisi dan
bagian daging yang digunakan. Daging kerbau dan daging sapi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah daging pre-rigor bagian top side. Daging pre-rigor dapat
membantu peningkatan daya mengikat air daging. Lukman (1995) menyatakan,
bahwa adanya sejumlah air pada bakso berpengaruh terhadap kekenyalan yang
diperoleh. Hal ini disebabkan air, lemak dan tersedianya hasil ekstraksi protein akan
menyebabkan terjadinya emulsi. Emulsi ini menyebabkan bakso yang diperoleh
menjadi lebih kompak dan tidak akan mudah pecah.
Kekenyalan bakso berhubungan dengan kekuatan gel yang terbentuk akibat
pemanasan. Menurut Indrarmono (1987), gelatinisasi pada bakso terdiri dari
gelatinisasi pati dan gelatinisasi protein, tetapi gelatinisasi pati lebih dominan
mempengaruhi kekenyalan bakso. Proses gelatinisasi melibatkan pengikatan air oleh
jaringan yang dibentuk rantai molekul pati atau protein.
Penambahan karagenan dan khitosan memberikan nilai kekenyalan bakso
yang sama dengan STPP. Kemampuan STPP mengekstrak protein daging dapat
meningkatkan daya mengikat air yang akan mempengaruhi kekenyalan. Penggunaan
29
karagenan dapat membantu pembentukan gel yang dapat memperbaiki sifat
kekenyalan. Konsistensi pembentukan gel karagenan dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain tipe dan konsentrasi karagenan serta adanya ion-ion. Karagenan
dapat berikatan baik dengan protein dan air, sehingga bakso memiliki kekuatan
menahan tekanan dari luar dan kembali ke bentuk semula setelah tekanan
dihilangkan. Sifat tersebut disebut sifat kenyal. Proses pemanasan selama perebusan
bakso mengakibatkan rantai polimer khitosan menjadi pendek sehingga
reaktivitasnya dalam mengikat air dan lemak meningkat. Hal tersebut dapat
mempengaruhi kekenyalan.
Sifat Organoleptik
Tingkat kesukaan konsumen terhadap bakso diuji secara organoleptik
menggunakan metode hedonik yang terdiri dari penilaian sensorik terhadap warna,
rasa, aroma dan kekenyalan bakso. Penilaian organoleptik pada penelitian ini
menggunakan lima skala hedonik yaitu (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3)
netral, (4) suka dan (5) sangat suka.
Tabel 9. Rataan Nilai Kesukaan Bakso Daging Kerbau dan Bakso Daging Sapi dengan Bahan Tambahan Pangan yang Berbeda
Kerbau Sapi Peubah STPP Karagenan Khitosan STPP Karagenan Khitosan Warna 3,29 3,02 3,07 3,63 3,24 3,46 Rasa 2,88 2,85 2,95 3,20 3,07 3,15
Aroma 2,68 2,85 2,71 3,07 3,00 3,10 Kekenyalan 3,12a 2,85b 2,90b 3,68a 2,95b 3,24a
Rataan 2,99 2,89 2,90 3,39 3,07 3,24 Keterangan: superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata
(P<0,01)
Warna
Warna bakso sangat dipengaruhi oleh warna daging yang berhubungan
dengan kandungan mioglobin pada daging. Bakso daging sapi memiliki warna yang
lebih cerah daripada bakso daging kerbau. Daging kerbau memiliki kandungan
mioglobin yang lebih banyak daripada daging sapi, sehingga warna merah pada
daging kerbau lebih gelap jika dibandingkan dengan warna merah pada daging sapi.
Warna bakso juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pengaruh lingkungan dan
penambahan bahan tambahan pangan seperti bumbu.
30
Rataan nilai hedonik warna bakso berkisar antara 3,02 – 3,63 artinya panelis
menilai cenderung netral hingga cenderung suka. Penggunaan khitosan dan
karagenan ternyata berpengaruh terhadap tingkat kesukaan pada warna yang sama
seperti STPP baik pada bakso daging sapi maupun bakso daging kerbau. Menurut
Rukayadi (2002), khitosan berfungsi sebagai bahan penstabil warna pada makanan.
Rasa
Rasa adalah faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan.
Rasa bakso dibentuk oleh berbagai rangsangan bahkan terkadang juga dipengaruhi
oleh aroma dan warna. Ada tiga macam rasa bakso yang sangat menentukan
penerimaan konsumen yaitu kegurihan, keasinan dan rasa daging.
Rataan nilai hedonik rasa bakso berkisar antara 2,85 – 3,20 artinya panelis
menilai cenderung netral. Panelis memberikan tingkat kesukaan rasa yang sama
terhadap bakso daging sapi dan bakso daging kerbau. Penggunaan khitosan dan
karagenan memberikan hasil yang sama dengan STPP terhadap tingkat kesukaan rasa
bakso. STPP memiliki rasa pahit, tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap rasa bakso. Hal ini kemungkinan disebabkan konsentrasi STPP yang
digunakan sangat kecil. Khitosan dapat berikatan dengan lemak, sehingga dapat
mempengaruhi rasa suatu produk pangan.
Aroma
Aroma bakso dipengaruhi oleh aroma daging, aroma tepung bahan pengisi,
bumbu-bumbu dan bahan lain yang ditambahkan. Pemasakan dapat mempengaruhi
warna, bau, rasa dan produk daging. Selama pemasakan akan terjadi berbagai reaksi
antara bahan pengisi dan daging, sehingga aroma yang khas pada daging sapi
maupun daging kerbau akan berkurang selama pengolahan produk. Bakso daging
kerbau memiliki tingkat aroma yang rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan
kandungan lemak intramuskular daging kerbau sangat rendah.
Rataan nilai hedonik aroma bakso berkisar antara 2,68 – 3,10 artinya panelis
menilai cenderung netral. Penggunaan daging kerbau dan daging sapi memberikan
tingkat kesukaan yang sama terhadap bakso. Penambahan STPP, karagenan dan
khitosan juga memberikan nilai hedonik yang sama terhadap bakso daging sapi
maupun bakso daging kerbau.
31
Kekenyalan
Kekenyalan merupakan bagian pembentuk tekstur yang diperhitungkan
konsumen dalam menilai kesukaan dan penerimaan daging serta produknya.
Kekenyalan adalah kemampuan produk pangan untuk kembali ke bentuk asal
sebelum produk pecah. Bakso yang kenyal akan terasa elastis jika dikunyah.
Hasil uji non parametrik Kruskal Wallis menunjukkan hasil sangat berbeda
nyata (P<0,01). Bakso yang memiliki kekenyalan disukai panelis adalah bakso
daging sapi yang menggunakan bahan tambahan STPP dan bakso yang memiliki
kekenyalan kurang baik adalah bakso daging kerbau yang menggunakan bahan
tambahan karagenan. Kekenyalan bakso yang dihasilkan dipengaruhi oleh daya
mengikat air dan spesies ternak. Tingginya daya mengikat air menghasilkan bakso
yang keras dan tidak akan cepat pecah bila ditekan atau dikunyah, konsumen pun
lebih menyukai bakso yang kenyal dan tidak cepat pecah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan karagenan dan khitosan (0,3%) sebagai bahan tambahan pangan
menghasilkan pengaruh yang sama dengan STPP (0,3%) terhadap nilai pH, daya
mengikat air dan kekenyalan bakso. Hal ini membuktikan bahwa karagenan dan
khitosan dapat menjadi bahan pengganti STPP dalam pembuatan bakso baik bakso
daging sapi maupun bakso daging kerbau. Penggunaan jenis daging yang berbeda
memberikan hasil berbeda nyata terhadap nilai pH dan daya mengikat air bakso.
Bakso daging sapi memiliki nilai pH nyata lebih rendah dari bakso daging kerbau.
Bakso daging kerbau memiliki daya mengikat air nyata lebih tinggi dari bakso
daging sapi. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada interaksi antara penggunaan
jenis daging dan bahan tambahan pangan yang berbeda.
Panelis menyukai kekenyalan bakso daging sapi yang menggunakan bahan
tambahan STPP dan bakso yang memiliki kekenyalan kurang baik adalah bakso
daging kerbau yang menggunakan bahan tambahan karagenan.
Saran
Bedasarkan hasil penelitian perlakuan penggunaan karagenan dan khitosan
menghasilkan pengaruh yang sama dengan STPP terhadap nilai pH, kekenyalan dan
daya mengikat air bakso. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai penggunaan
karagenan dan khitosan pada bakso dengan karakteristik mikrobiologi bakso.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT dengan karunia dan rahmat-Nya yang
telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya skripsi
ini dapat diselesaikan. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada kedua orang tua (Bapak Mardjuki dan Ibu Respatiningsih) yang
selalu memberi motivasi serta kasih sayang yang tiada henti. Untuk Bapak Djaelani
dan Ibu Ami Nurrachmi sebagai orangtua penulis di Bogor, terimakasih atas segala
bentuk dukungannya yang sangat berkontribusi besar atas keberhasilan penulis
menyelesaikan perkuliahan. Ucapan terima kasih kepada Irma Isnafia A, S.Pt., M.Si
dan Bramada Winiar Putra, S.Pt yang telah membimbing, mengarahkan dan
membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi. Untuk
Ir. Hj. Komariah M.Si dan Dr. Ir. Komang G. Wiryawan, terimakasih atas saran dan
kesediaannya menjadi dosen penguji penulis. Tak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada Dr. Ir. H. Moh. Yamin M.Agr.Sc selaku pembimbing akademik atas
nasehat dan arahan yang telah diberikan. Hanya Allah SWT yang dapat membalas
semua kebaikan yang telah diberikan dengan tulus ikhlas.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada pimpinan dan staff
Bagian Rumaninsia Besar Fakultas Peternakan IPB yang telah membantu penulis
selama penelitian dilakukan. Ucapan terima kasih kepada Sandra Pratama atas
kerjasamanya yang baik dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Untuk Intani Dewi
S.Pt. terimakasih atas motivasi, kesetiaan, kesabaran dan kebersamaannya dalam
mendampingi penulis di berbagai aktivitas. Tak lupa ucapan terima kasih pada
sahabat-sahabat penulis (Zulfikar, Erfan Agus Tribowo S.Pt. , Suharsoyo S.Pt. dan
Neni Hidayati S.Pt.) yang selalu memberikan dorongan dan semangat kepada
penulis, kepada Aryo, Dian dan Duta teman seperjuangan yang tak pernah bosan
berdiskusi dan beraksi untuk berkontribusi terhadap kejayaan peternakan Indonesia.
Juga kepada teman-teman Fapet IPB angkatan 38 yang namanya tidak dapat
disebutkan satu persatu. Kepada seluruh staff AJMP Fakultas Peternakan IPB terima
kasih banyak atas bantuannya.
Bogor, Agustus 2007
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Pengkajian Sumberdaya dan Pesisir Lautan IPB, Yogyakarta.
Anonim. 2006. Chitosan. en.wikipedia.org/wiki/chitosan-25k. [4 Desember 2006].
Atmadja, W. S., A. Kadi, Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. Jakarta.
Arintawati, M. 2005. Memilih Daging Sehat dan Halal. LP Pengawasan Obat dan Makanan MUI. http://www.republika.co.id. [11 oktober 2006].
Bull, S. M. S. 1951. Meat for The Table. Mc Graw Hill Book Company Inc., USA.
Chapman, V. J dan D. J. Chapman. 1980. Seaweeds and Their Uses. Chapman Hall in Association with Metheun, Inc., New York.
Cockrill, R. W. 1974. The Husbandry and Health of The Domestic Buffall. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Roma
Commission on International Relations National Research Council. 1981. The Water Buffalo New Prosfects for an Underutilized Animal. National Academy Press. Washington DC.
Desroirer, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan: Muljohardjo, N. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Devidek, J., J. Velisek dan J. Pokorny. 1990. Chemical Changes during Food Processing. Elsevier, New York.
Elviera, G. 1988. Pengaruh pelayuan daging sapi terhadap mutu bakso. Skripsi Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fashier, L. R. dan Parker, N. S. 1985. How do Food Emulsion Stabilizers Work?. CRISCO Food Research Quaterley. 45 (2): 33-39.
Fellows, P. J. 1992. Food Processing Technology; Principles and Practice. Ellis Horwood Limited, England.
Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hendrick, M. D. Judge dan Merkel. 1975. Principle of Meat Science. W. H. Freemen and Co., San Francisco.
Gaspersz, V. 1989. Metode Perancangan Percobaan. CV. Armico, Bandung.
Gibbons, J. D. 1975. Non Parametric Methods for Quantitive Analysis. Alabama.
Hammes, W. P., D. Haller, dan G. Ganzle. 2003. Fermented Meat Dalam: E. R. Farriworth (Ed). Handbook of Fermented Functional Foods. CPC Press, Boca Raton.
Honikel. 1989. The Meat Aspects of Water and Food Quality. Dalam: Hardman (Ed). Water Food Quality. Elsevier Science Publishing Co. Inc., New York.
35
Indrarmono, T. P. 1987. Pengaruh lama pelayuan dan jenis daging karkas serta jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan terhadap sifat fisiko-kimia bakso sapi. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Irawan, B. 2006. Chitosan dan aplikasi klinisnya sebagai biomaterial. www.fkg.ui.ac.id/prg/fkg_maha.php. [4 desember 2006].
Istini, S., A. Zatnika, Suhaimi dan J. Anggadiredja. 1986. Manfaat pengolahan rumput laut. Jurnal Penelitian. Balai Pusat Pengembangan Teknologi, Jakarta.
Iswanto, R. 1989. Mempelajari pengaruh tepung tempe, tepung kedelai dan putih telur terhadap mutu bakso sapi. Karya Ilmiah. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Keeton, J. T. 2001. Formed and emulsion product. Dalam: A. R. Shams (Ed). Poultry Meat Processing. CRC Press. Boca Raton.
Kerry, J., J. Kerry dan D. Ledward. 2001. Meat Processing. Crc press, New York.
Kramlich, W. E. 1971. Sausage Product. Dalam: J. F. Price dan B. S. Schweigert (Eds). The Science of Meat Product. W. H. Freeman Co. San Francisco.
Kramlich, W. E., A. M. Pearson dan F. W. Tauber. 1973. Processed Meat. Avi Publishing. Co. Inc. Westport. Connecticut.
Larmond, E. 1970. Method for sensory evaluation of food. Food Research Institute. Central Experiment Form. Canada Department of Agriculture, Uttawa.
Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Edisi Kelima. Terjemahan: Prakassi, A. dan Y. Amulia. UI Press, Jakarta.
Lukman, H. 1995. Perbedaan gizi dan palatabilitas bakso daging sapi dan domba bagian paha lemusir. Skripsi. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Martinou, A., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. 1995. Chitin deacetylation by enzymatic means: monitoring of deacetylation processes. Carbo Res 273: 235–242.
Mc Cue, K. 2006. New Bandage Uses Biopolymer. http://www.chemistry.org/portal/a/c/s/1/feature_ent.html. [4 desember 2006].
Meilgaard, M., G. V. Civille dan B. T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques. Third Edition. CRC Press, London.
Moirano, T. W. 1977. Sulphated seaweed polysaccharides. Dalam: Food Colloids. The Avi Publishing. Westport. Connecticut. P: 347-381.
Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Depdikbud. Dirjen DIKTI. PAU IPB, Bogor.
Mujiono, R. 1995. Kandungan gizi dan palatabilitas bakso daging sapi dan domba bagian paha lemusir. Skripsi. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Natasamita, S., R. Priyanto dan D. M. Tauchid. 1987. Pengantar Evaluasi Daging. Diktat Kuliah. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
36
Ockerman, H. W. 1978. Source Book of Food Scienctist. The Avi Publ. Co. Inc. Westport. Connecticut.
Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th Ed. Dept. of Animal Science. The Ohio State University and The Agricultural Research and Development Center, New York.
Pandisurya, C. 1983. Pengaruh jenis daging dan penambahan tepung terhadap mutu bakso. Skripsi. Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Panjaitan, R. 2006. Sifat fisik, kimia dan palatabilitas bakso daging kerbau dengan menggunakan bagian daging dan taraf tepung tapioka yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. IPB, Bogor.
Pearson, A. M. dan F. W. Tauber. 1984. Processed Meats. The Avi Publishing Co. Inc. Westport. Connecticut.
Pisula, A. 1984. Meat Processing. FAO, Roma. Italy.
Prasetyo, D. 2002. Sifat fisik dan palatabilitas bakso daging sapi dan daging kerbau pada lama postmortem yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. IPB, Bogor.
Purnomo, H. 1990. Kajian mutu bakso daging, bakso urat dan bakso aci di daerah Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Ranken, M. D. 1976. Water Holding Capacity of Meat and Its Control Them. And Inc 24: 1502.
Redley, J. A. 1976. Strach Production Technology. Applied Science Publ. Co. Ltd., London.
Rukayadi, Y. 2002. Kitin deasetilase dan pemanfaatannya. Hayati. 9 (4): 130-134.
Schnepf, M. 1989. Protein Water Interactions. Dalam: Hardman (Ed). Water and food quality. Elsevier Science Publishing Co. Inc., New York.
Sikorski, Z. E. 2001. Chemical and functional properties of food protein. Technomic Publishing Co.Inc, Pennysilvania.
Soekarto, S. T. 1985. Penilaian Organoleptik. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan. IPB, Bogor.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sormin, R. B. D., F. G. Winarno., E. S. Heruwati dan A. N. Assik. 2001. Rendemen, sifat fisikokimia dan aplikasi khitosan dari limah beberapa jenis udang. Perikanan UGM. 3 (1). 09-16.
Standard Nasional Indonesia. 1995. Bakso Daging. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
37
Sitindaon, J. 2007. Sifat fisik dan organoleptik sosis frankfurters daging kerbau (Bubalus bubalis) dengan penambahan khitosan sebagai pengganti sodium trypolyphospate. Fakultas Peternakan. IPB, Bogor.
Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapid an pengaruh penambahan NaCl dan natrium tripolyfosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi Program Pasca Sarjana. IPB, Bogor.
Suptijah, P. 2002. Rumput laut: prospek dan tantangannya. http://rudyct.tripod.com/sem2-012/.html. [5 juni 2002].
Tarwotjo, I. S., S. Hartini, S. Soekirman dan Sumartono. 1971. Komposisi Tiga Jenis Bakso di Jakarta. Akademi Gizi, Jakarta.
Trout, G. R. dan G. R. Schmidt. 1986. Effect phosphates on functional properties of restructured beef rolls: the rolls of pH, ionic strength ang phosphate type. Food Science. 51: 1416.
Wilson, N. R. P., E. J. Dyett, R. W. Hughes dan C. R. V. Jones. 1981. Meat and Products. Applied Science Publisher. London.
Winarno, F. G. 1996. Teknologi pengolahan rumput laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wirakartakusuma, M. A. 1988. Aplikasi Instron UTM-1140. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan. IPB, Bogor.
Wirakartakusuma, M. A., A. Kamaruddin dan A. M. Syarief. 1992. Sifat Fisik Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, DIKTI, PAU IPB. Bogor.
38
Lampiran 1. Hasil Sidik Ragam Nilai mg H2O Bakso Berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan
SK DB JK KT F hitung P
Daging 1 196,59 196,59 8,45 0,013* BTP 2 5,71 2,86 0,12 0,886 Daging*BTP 2 24,77 12,39 0,53 0,600 Galat 12 279,06 23,25 Total 17 506,13
Keterangan: * = menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Lampiran 2. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Bakso Berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan
SK DB JK KT F hitung P
Daging 1 0,05611 0,05611 5,35 0,039* BTP 2 0,05611 0,02978 2,84 0,098 Daging*BTP 2 0,04381 0,02190 2,09 0,166 Galat 12 0,12578 0,01048 Total 17 0,28526 Keterangan: * = menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Lampiran 3. Hasil Sidik Ragam Kekenyalan Bakso Berdasarkan Perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan
SK DB JK KT F hitung P
Daging 1 0,0000443 0,0000443 0,43 0,526 BTP 2 0,0000787 0,0000393 0,38 0,692 Daging*BTP 2 0,0002525 0,0001262 1,22 0,330 Galat 12 0,0012451 0,0001038 Total 17 0,0016206
Lampiran 4. Nilai Uji Non Parametrik Kruskal Wallis Kekenyalan Bakso Berdasarkan perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan
Perlakuan Jumlah
Panelis Median Peringkat
Rata-Rata Z
Kerbau*STPP 41 4,000 162,9 3,88 Kerbau*Karagenan 41 3,000 105,9 -1,74 Kerbau*Khitosan 41 3,000 113,7 -0,97 Sapi*STPP 41 3,000 124,1 0,06 Sapi*Karagenan 41 3,000 131,3 0,77 Sapi*Khitosan 41 3,000 103,2 -2,00 Total 246 123,5 H = 19,70 DB = 5 P = 0,001
39
Lampiran 5. Nilai Uji Non Parametrik Kruskal Wallis Rasa Bakso Berdasarkan perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan
Perlakuan Jumlah
Panelis Median Peringkat
Rata-Rata Z
Kerbau*STPP 41 4,000 137,1 1,34 Kerbau*Karagenan 41 3,000 118,5 -0,49 Kerbau*Khitosan 41 3,000 128,4 0,48 Sapi*STPP 41 3,000 112,4 -1,10 Sapi*Karagenan 41 3,000 133,3 0,97 Sapi*Khitosan 41 3,000 111,4 -1,20 Total 246 123,5 H = 4,86 DB = 5 P = 0,434 H = 5,39 DB = 5 P = 0,370 (adjusted for ties)
Lampiran 6. Nilai Uji Non Parametrik Kruskal Wallis Aroma Bakso Berdasarkan perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan
Perlakuan Jumlah
Panelis Median Peringkat
Rata-Rata Z
Kerbau*STPP 41 3,000 136,2 1,25 Kerbau*Karagenan 41 2,000 108,3 -1,49 Kerbau*Khitosan 41 3,000 131,9 0,83 Sapi*STPP 41 3,000 108,4 -1,49 Sapi*Karagenan 41 3,000 138,2 1,45 Sapi*Khitosan 41 3,000 118,0 -0,54 Total 246 123,5 H = 7,58 DB = 5 P = 0,181 H = 8,35 DB = 5 P = 0,138 (adjusted for ties) Lampiran 7. Nilai Uji Non Parametrik Kruskal Wallis Warna Bakso Berdasarkan
perbedaan Jenis Daging dan Bahan Tambahan Pangan
Perlakuan Jumlah Panelis
Median Peringkat Rata-Rata
Z
Kerbau*STPP 41 4,000 147,5 2,37 Kerbau*Karagenan 41 3,000 108,9 -1,44 Kerbau*Khitosan 41 3,000 118,2 -0,52 Sapi*STPP 41 4,000 123,7 0,02 Sapi*Karagenan 41 4,000 137,5 1,38 Sapi*Khitosan 41 3,000 105,3 -1,80 Total 246 123,5 H = 10,90 DB = 5 P = 0,053 H = 12,66 DB = 5 P = 0,027 (adjusted for ties)