Post on 17-Sep-2015
description
13
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberculosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia.
Beban TB semakin meningkat seiring semakin bertambahnya kasus co-infeksi
TB-HIV. Tidak pelak lagi, masalah TB masih menjadi ancaman bagi
kesehatan masyarakat hingga saat ini. Selain masalah HIV/AIDS,
meningkatnya kasus TB disebabkan oleh kemiskinan yang meningkat akibat
resesi ekonomi global, resistensi obat terhadap bakteri penyebab tuberculosis,
hingga masalah perumahan, kepadatan penduduk yang di picu oleh
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat.
Secara global, Beban TB masih sangat besar. Pada tahun 2011,
terdapat perkirakan 8,7 juta kasus baru TB (13% nya merupakan co-infeksi
HIV) dan 1,4 juta orang meninggal karena TB, termasuk hampir satu juta
kematian di antara orang dengan HIV-negatif dan 430.000 diantara orang
yang HIV-positif. TB merupakan salah satu pembunuh atas wanita, dengan
300.000 kematian di antara perempuan HIV-negatif dan 200.000 kematian di
antara perempuan HIV-positif di tahun 2011. Masalah regional seperti daerah
Afrika dan Eropa belum dapat mengurangi separuh tingkat kematian seperti
pada tahun 1990, hingga tahun 2015 (WHO, 2012)
Gambar 1 Estimasi Angka Ins idensi T B Tahun 2011 (WHO, 2012)
Estimasi Angka Insidensi TB Tahun 2011 (WHO, 2012)
14
Pada tahun 2011, diperkirakan terdapat 8,7 juta kasus insiden TB
(kisaran, 8,3 juta-9,0 juta) secara global, setara dengan 125 kasus per 100.000
penduduk. Sebagian besar dari perkiraan jumlah kasus pada tahun 2011 terjadi
di Asia (59%) dan Afrika (26%); proporsi kecil dari kasus terjadi di wilayah
Mediterania Timur (7,7%), wilayah Eropa (4,3%) dan Daerah Amerika (3%)
(WHO, 2012).
Meskipun jumlah kasus baru TB meningkat sebagai akibat
pertumbuhan penduduk dunia, namun jumlah kasus per kapita mengalami
penurunan. Tingkat penurunan terjadi secara lambat, kurang dari 1% per
tahun. Secara global, TB memuncak dengan142 kasus per 100.000 penduduk
pada tahun 2004. Tingkat Insiden TB turun dalam lima dari enam wilayah.
Pengecualian terhadap daerah Eropa di mana persentasenya kurang stabil
(WHO, 2009).
Prevalensi TB telah menurun sejak tahun 1990. Berdasarkan wilayah,
tren prevalensi TB semenjak 1990-2008 menunjukkan penurunan di wilayah
Timur Mediterania, daerah Amerika, wilayah Asia Tenggara dan Pasifik
Barat. Di daerah Afrika dan Eropa, tingkat prevalensi meningkat secara
substansial selama era 1990-an, dan hanya pada tahun 2007 prevalensi di
daerah Eropa kembali ke level tahun 1990. Sebaliknya di wilayah Afrika,
prevalensi pada tahun 2008 masih di atas tahun 1990 (WHO, 2009).
Dalam laporan Global Tuberculosis Report, 2012, WHO merilis data
kasus TB di Indonesia pada tahun 2011 berdasarkan angka insidensi,
prevalensi dan mortalitas kasus TB. Berikut dapat dilihat pada gambar
dibawah ini:
15
Gambar 2 Estimasi Beban Tuberculosis Per 100.000 Penduduk pada Tahun 2011 d i Indonesia (WHO, 2012)
Estimasi Beban Tuberculosis Per 100.000 Penduduk pada Tahun 2011 di
Indonesia (WHO, 2012)
Insidensi tertinggi kasus TB di Indonesia adalah 222 per 100.000
penduduk, sedangkan angka insidensi terendah sebesar 155 per 100.000
penduduk. Selain itu, ditampilkan pula angka prevalensi tertinggi kasus TB di
Indonesia yaitu 489 per 100.000 penduduk, sedangkan angka prevalensi
terendahnya adalah 130 per 100.000 penduduk. Adapun angka kematian
tertinggi yaitu 48 per 100.000 penduduk, sedangkan angka kematian terendah
berada di angka 12 per 100.000 penduduk. Angka-angka diatas
menggambarkan kasus TB Paru di Indonesia masih cukup tinggi (WHO,
2012).
Selain deskripsi kasus TB yang mencakup keseluruhan wilayah di
Indonesia, gambaran kasus TB juga ditampilkan berdasarkan regional
Provinsi Jawa Tengah. Kasus TB di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada
pencapaian cakupan Case Detection Rate (CDR) dan cakupan Cure Rate (CR)
selama periode tahun 2010 sampai tahun 2012, seperti yang terlihat dalam
gambar berikut ini:
0 100 200 300 400 500 600
Tahun 2011
Tahun 2011
Insidensi Tertinggi 222
Insidensi Terendah 155
Prevalensi Tertinggi 489
Prevalensi Terendah 130
Kematian Tertinggi 48
Kematian Terendah 12
16
Gambar 3 Ca kupan CD R dan CR Kasus TB di Provin si Jawa Tengah Tahun 2010-2012 (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2013)
Cakupan CDR dan CR Kasus TB di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2012
(Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2013)
Case Detection Rate (CDR) kasus TB di Provinsi Jawa Tengah selama
3 Tahun berturut-turut (2010-2012) berada dibawah target nasional (
17
Gambar 4 Kasus TB Paru Kategori BTA -Postif Baru, di 39 Puskesmas Banyumas Tahun 2011
Kasus TB Paru Kategori BTA-Postif Baru, di 39 Puskesmas Banyumas Tahun
2012
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Puskesmas Lumbir
Puskesmas I Wangon
Puskesmas II Wangon
Puskesmas Jatilawang
Puskesmas Rawalo
Puskesmas Kebasen
Puskesmas I Kemranjen
Puskesmas II Kemranjen
Puskesmas I Sumpiuh
Puskesmas II Sumpiuh
Puskesmas I Tambak
Puskesmas II Tambak
Puskesmas Somagede
Puskesmas Kalibagor
Puskesmas Banyumas
Puskesmas Patikraja
Puskesmas Purwojati
Puskesmas I Ajibarang
Puskesmas II Ajibarang
Puskesmas Gumelar
Puskesmas Pekuncen
Puskesmas I Cilongok
Puskesmas II Cilongok
Puskesmas Karanglewas
Puskesmas Pwt Barat
Puskesmas Pwt I TimurI
Puskesmas Pwt II Timur
Puskesmas Pwt Selatan
Puskesmas I Pwt Utara
Puskesmas II Pwt Utara
Puskesmas I Sokaraja
Puskesmas II Sokaraja
Puskesmas I Kembaran
Puskesmas II Kembaran
Puskesmas I Sumbang
Puskesmas II Sumbang
Puskesmas I Baturaden
Puskesmas II Baturaden
Puskesmas Kedungbanteng
Total Perempuan Laki-Laki
18
Kasus TB tertinggi terjadi di Puskesmas II Kembaran dengan jumlah
kasus sebesar 72 kasus (proporsi 10,06%) yang terdiri dari 34 (4,75%) kasus
laki-laki dan 38 (5,31%) kasus perempuan. Selanjutnya kasus tertinggi kedua
terjadi di Puskesmas Kedungbanteng dengan jumlah kasus sebanyak 32 kasus
(proporsi 4,47%) dengan jumlah kasus laki-laki sebanyak 21 (2,93%) kasus
dan perempuan sebanyak 11 (1,54%) kasus. Kasus TB kategori baru yang
tertinggi ketiga terjadi di Puskesmas II Cilongok dengan jumlah kasus sebesar
30 kasus (proporsi 4,19%) yang terdiri dari 20 (2,79%) kasus laki-laki dan 10
(1,40%) kasus perempuan. Kasus terbanyak keempat terjadi di Puskesmas I
Kembaran dengan jumlah kasus sebesar 28 kasus (proporsi 3,91%) yang
terdiri dari 15 (2,10%) kasus laki-laki dan 13 (1,82%) kasus perempuan.
Adapun kasus terbesar kelima terdapat di dua puskesmas yaitu Puskesmas
Rawalo dan Puskesmas Kalibagor dengan besaran kasus masing-masing
sebanyak 27 kasus (proporsi 3,77%). Adapun jumlah kasus laki-laki di
Puskesmas Rawalo sebanyak 19 (2,65%) kasus dan untuk Puskesmas
Kalibagor sebanyak 16 (2,24%) kasus. Sedangkan jumlah kasus perempuan di
Puskesmas Rawalo sebanyak 8 (1,12%) kasus dan Puskesmas Kalibagor
sebanyak 11 (1,54%) kasus. Adapun kasus TB kategori baru dengan jumlah
terkecil terdapat pada Puskesmas II Tambak dengan kasus hanya sebesar 5
kasus (proporsi 0,70%) dengan jumlah kasus laki-laki sebanyak 2 (0,28%)
kasus dan perempuan sebanyak 3 (0,42%) kasus.
Berdasarkan fakta sejumlah kasus TB diatas yang masih menunjukkan
tingginya prevalensi kasus baru penyakit TB yang terlaporkan di Kabupaten
Banyumas Tahun 2012, terutama dibeberapa wilayah kerja Puskesmas yang
menunjukkan angka prevalensi kasus TB yang sangat signifikan, maka perlu
dilakukan penelitian terkait hubungan faktor risiko penyebab tingginya kasus
TB di Puskesmas Kabupaten Banyumas beserta analisis epidemiologi spasial.
Penelitian ini akan berfokus pada penyelidikan faktor risiko kontak positif
dengan penderita TB, hubungan kepadatan hunian dengan kasus TB, masalah
kemiskinan yang memperburuk kondisi penyakit TB, faktor perilaku merokok
19
terhadap kasus TB dan hubungan kondisi immunosupresan seperti diabetes
mellitus terhadap kasus TB. Selain faktor risiko tersebut, penelitian ini juga
berusaha menyelidiki distribusi epidemiologi spasial kasus TB berdasarkan
buffer pelayanan kesehatan, klaster kasus dan difusi kasus.
B. Perumusan Masalah
Mengingat masih begitu besarnya kasus TB di wilayah kerja
Puskesmas Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah maka rumusan
masalah dapat dilihat sebagai berikut:
1. Apakah faktor kontak dengan penderita, kepadatan hunian, kemiskinan,
status merokok, dan diabetes mellitus berhubungan dengan kejadian TB
paru di Puskesmas Kabupaten Banyumas Tahun 2013
2. Apakah buffer pelayanan kesehatan dapat menunjukkan gambaran
kejadian TB paru di Puskesmas Kabupaten Banyumas Tahun 2013
3. Apakah klaster kasus dapat menunjukkan gambaran kejadian TB paru di
Puskesmas Kabupaten Banyumas Tahun 2013
4. Apakah difusi kasus dapat menunjukkan gambaran kejadian TB paru di
Puskesmas Kabupaten Banyumas Tahun 2013
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan faktor risiko yang mempengaruhi
terjadinya kasus TB BTA-Positif di Puskesmas Kabupaten Banyumas
Tahun 2013 dan bagaimana persebaran kasusnya.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui hubungan kontak dengan penderita TB sebelumnya
terhadap kejadian TB di Puskesmas Kabupaten Banyumas Tahun
2013.
20
b. Untuk mengetahui hubungan kepadatan hunian terhadap kejadian TB
di Puskesmas Kabupaten Banyumas Tahun 2013.
c. Untuk mengetahui hubungan kemiskinan terhadap kejadian TB di
Puskesmas Kabupaten Banyumas Tahun 2013.
d. Untuk mengetahui hubungan status merokok terhadap kejadian TB di
Puskesmas Kabupaten Banyumas Tahun 2013.
e. Untuk mengetahui hubungan diabetes mellitus terhadap kejadian TB di
Puskesmas Kabupaten Banyumas Tahun 2013.
f. Untuk mengetahui buffer pelayanan kesehatan dengan kasus TB di
Puskesmas Kabupaten Banyumas Tahun 2013.
g. Untuk mengetahui klaster kasus TB di Puskesmas Kabupaten
Banyumas Tahun 2013.
h. Untuk mengetahui difusi kasus TB di Puskesmas Kabupaten
Banyumas Tahun 2013.
D. Manfaat Penelitian
1. Untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, penelitian ini dapat
memberikan referensi bagi penatalaksanaan program pencegahan dan
pemberantasan penyakit tuberculosis di level Dinas Kesehatan.
2. Untuk Universitas, penelitian ini dapat menyediakan referensi dan
kepustakaan ilmiah bagi para civitas akademik, terkait upaya pencegahan
dan pemberantasan penyakit tuberculosis beserta analisis spasial penyakit
tuberculosis.
3. Untuk kepentingan penelitian selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat
dikembangkan lagi kedalam bentuk penelitian eksperimental, sehingga
dapat lebih membuktikan hubungan kausalitas antara faktor risiko dengan
kejadian penyakit tuberculosis. Selain itu, analisis spasial dalam penelitian
ini diharapkan dapat dikembangkan lagi ke dalam bentuk analisis statistik
(analisis hubungan) spasial.
21
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan terhadap jurnal-jurnal ilmiah
terkait penelitian penyakit tuberculosis melalui pencarian dengan kata kunci
spatial tuberculosis, cluster spatial tuberculosis dan diffusion spatial
tuberculosis, menunjukkan bahwa jenis penelitian spatial dan tuberculosis
telah banyak di implementasikan. Dibandingkan dengan penelitian faktor
risiko penyakit tuberculosis penelitian dengan pendekatan analisis spasial
berupa buffer kasus, klaster kasus, dan difusi kasus, masih cukup jarang
dilakukan. Berikut ini daftar penelitian yang serupa:
1. Satria, Eka Budi, et al. (2011) dengan judul Faktor Risiko Dan Distribusi
Spasial Tuberkulosis Paru Basil Tahan Asam (bta) Positif Di Kabupaten
Tapin Propinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011. Adapun persamaan
dengan penelitian ini yaitu sama-sama meneliti penyakit TB. Perbedaan
dengan penelitian ini yaitu lokasi penelitian, Analisis yang digunakan serta
faktor risiko yang diteliti.
2. Santoso, B. et al. (2011) dengan judul Analisis Spasial Kejadian Penyakit
Tuberkulosis Paru Berhubungan Dengan Faktor Risiko Kondisi Rumah
Dan Lingkungan Di Kota Palembang. Adapun persamaan dengan
penelitian ini yaitu sama-sama meneliti penyakit TB. Perbedaan dengan
penelitian ini yaitu lokasi penelitian, Analisis yang digunakan serta faktor
risiko yang diteliti (penelitian ni meneliti kondisi rumah dan lingkungan,
sedangkan penelitian peneliti meneliti kontak penderita TB sebelumnya,
kepadatan hunian, kemiskinan, merokok dan diabetes mellitus).
3. Nugroho, A. et al. (2009) dengan judul Faktor Risiko dan Sebaran
Tuberkulosis BTA Positif di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara
Tahun 2009: Gambaran Epidemiologi Spasial. Persamaan dengan
penelitian ini yaitu meneliti penyakit tuberculsosis, klaster kasus dan
difusi kasus, dan faktor risiko yang sama (kepadatan hunian, status sosial
ekonomi, dan merokok). Adapun perbedaan dengan penelitian ini yaitu
lokasi penelitian, perangkat analisis yang digunakan (penelitian ini
22
menggunakan SatScan sedangkan penelitian peneliti menggunakan Arcgis
versi 9.3), faktor risiko yang berbeda (kontak dengan penderita TB
sebelumnya, jarak tempat pelayanan dan diabetes mellitus).
4. Kristina, N., et al. (2007) dengan judul Aplikasi Sistem Informasi
Geografis Untuk Pemodelan Spasial Kejadian Tuberkulosis (TB) Di Kota
Denpasar Tahun 2007. Persamaan dalam penelitian ini yaitu sama-sama
meneliti penyakit TB dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis.
Perbedaan pada penelitian ini yaitu metode penelitan yang digunakan
(cross sectional study) dan faktor risiko lainnya yang berhubungan dengan
kejadian TB.
(Kristina, 2007) (Nugroho, 2009) (Santoso, 2011) (Satria, 2011)