Post on 23-Dec-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Ringworm dikenal juga sebagai kadas, tinea, ataupun dermatomycosis adalah infeksi
oleh jamur pada bagian superficial atau bagian dari jaringan lain yang mengandung keratin
(bulu, kuku, rambut dan tanduk). Jamur tidak bersifat invasive, tidak mampu bertumbuh
dalam jaringan tubuh yang hidup maupun jaringan yang sedang mengalami peradangan dan
jamur ini memiliki sifat meluruhkan keratin (keratolitik). Penyakit kulit ini pada ternak tidak
berakibat fatal namun dapat menurunkan nilai ekonomis ternak. Ringworm juga dapat
menular antara sesama hewan, antara manusia dengan hewan dan hewan dengan manusia.
Penyakit ini sering dijumpai pada hewan yang dipelihara secara bersama-sama dan
merupakan penyakit mikotik yang tertua di dunia.
Penyakit kulit ini dinamakan ringworm karena pada awalnya diduga penyebabnya
adalah cacing dan karena gejalanya dimulai dengan adanya peradangan pada permukaan kulit
yang bila dibiarkan akan meluas secara melingkar seperti cincin maka dinamai ringworm.
Meskipun sekarang telah diketahui bahwa penyebab penyakit adalah jamur tetapi akhirnya
pemakaian istilah ringworm tetap dipakai sampai sekarangPenularan dari hewan kemanusia
(zoonosis) dilaporkan pada tahun 1820 dari sapi ke manusia. Hewan yang terserang
umumnya hewan piaraan seperti anjing, babi, domba, kucing, kuda, kambing, sapi dan
lainnya. Namun yang paling utama adalah anjng, kucing dan sapi. Ketiga hewan ini
merupakan masalah penting untuk manusia karena sifat zoonosisnya. Trichopyton spp dan
Microsporum spp, merupakan 2 jenis jamur yang menjadi penyebab utama ringworm pada
hewan. Di Indonesia sendiri hewan yang paling banyak terserang adalah anjing, kucing dan
sapi.
Penyebab dari dermatomycosis pada tiap hewan berbeda-beda tergantung pada hewan
yang terserang. Jenis jamur yang banyak dikenal menyebabkan dermatomycosis pada ternak
adalah sebagai berikut :
Kuda : Microsporum canis, M. gypseum, Trichophyton mentagrophyte, T. equinum,
dan T. ajelloi
Sapi : Trichophyton mentagrophyte, T. verrucosum, T. rubrum dan T. violaceum
Domba : T. verrucosum
FARMAKOTERAPI | 1
Kambing : Trichophyton spp.
1.2 Tujuan
1. Menentukan diagnosa dari penyakit
2. Menentukan tujuan terapi
3. Menentukan terapi yang dapat diberikan
1.3 Rumusan masalah
1. Bagaimana cara menentukan diagnosa dermatomycosis pada sapi ?
2. Apakah tujuan dari terapi yang dilakukan ?
3. Bagaimana cara menentukan terapi yang dapat diberikan ?
FARMAKOTERAPI | 2
BAB II
PEMBAHASAN
Diagnosis
Jamur-jamur M. canis, M. distortum, dan M. audouinii akan memberikan fluoresensi
hijau kekuningan apabila disinari dengan sinar ultraviolet (wood’s light). Microsporum akan
menghasilkan bentk mosaik yang tersusun dari spora jamur pada permukaan rambut yang
terserang. Spora Trichophyton tersusun sejajar dengan permukaan rambut.
Penyakit ini dapat dikelirukan dengan lesi yang diperlihatkan seperti infeksi bakteri
dan dermatitis lainnya. Jika dilihat dari lesi yang muncul harus diperhatikan adanya diagnosa
banding yaitu lesi akibat gigitan serangga, urtikaria, infeksi oleh kuman dan seborrhea.
Namun dengan adanya bentuk cincin pada derah yang terinfeksi dan tidak adanya tanda-tanda
kegatalan dapat memastikan bahwa hewan tersebut menderita penyakit ringworm. Untuk
mendiagnosa melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan sampel kerokan kulit, serpihan
kuku, rambut. Kemudian dapat diperiksa dengan pemeriksaan langsung dengan mikroskop
atau dengan membuat biakan pada media. Pemeriksaan langsung mikroskop dengan cara
membuat preparat native yang diberikan potasium hydroxide (KOH) 10% kemudian diamati
dengan mikroskop cahaya dengan pembesaran 100x dan 400x. Pada biakan/kultur media,
sampel yang diambil dari hewan suspect ringworm diberikan KOH 20% dan ditumbuhkan
pada media Sabouraud Glucose Agar (SGA) yang ditambah chloramphenicol dan
cycloheximide untuk menghambat kontaminasi bakteri dan jamur saprofic. Media di inkubasi
selama 4 minggu dengan temperatur 28 sampai 30ºC
Untuk pemeriksaan histologik pada bagian kulit yang mengalami radang minimal
akan menunjukan hiperkeratosis yang bersifat moderat dari epidermis dan folikel, adanya
akantosis, serta reaksi radang polifolikuler yang bersifat minimal disertai infiltrasi sel-sel
mononuklear. Bagian-bagian dari jamur akan ditemukan bila sediaan dilakukan pewarnaan
asam peryodat schiff atau perak methenamin. Dapat pula ditemukan ulserasi epidermis yang
diisi oleh keropeng-keropeng hasil peradangan. Dinding folikel rambut yang terserang akan
berisikan sel-sel poiimorfonukleardan mononuklear, limfosit, plasma sel, dan histiosit. Pada
bagian yang mengalami peradangan intensif. Fragmen jamur tidak akan dapat dijumpai.
FARMAKOTERAPI | 3
Tujuan terapi
Mengeliminasi penyebab penyakit yaitu jamur dermatofit yang menginfeksi.
Mengurangi dan atau menghilangkan peradangan kulit. Mengurangi dan atau menghilangkan
rasa gatal dan sakit yang ditimbulkan.
Penentuan terapi
a. Advice
Tindakan yang dianjurkan adalah memisahkan hewan yang terinfeksi dari hewan lain
selama masa pengobatan, memperhatikan sanitasi dan kebersihan lingkungan hewan.
Untuk menghindari kontaminasi lingkungan dan penyebaran spora serta peningkatan
program pengobatan semua peralatan yang mengalami kontak langsung dengan
hewan terinfeksi di lakukan desinfeksi atau dibakar.
b. Nondrugs
Ringworm umumnya bersifat sembuh sendiri (self limiting disease), tetapi hal ini
akan berjalan lama yaitu sekitar 9 bulan, bila tidak diobati. Mekanisme secara alami
berupa pencegahan yang dapat menggagalkan infeksi sebaiknya dipertimbangkan
sebelum pengobatan, terutama pada tahap transformasi spontan atau induksi dari
pertumbuhan rambut aktif (anagen) ke pertumbuhan rambut tahap tidak aktif
(telogen), dan tahap penghentian produksi keratin
c. Drugs
Secara farmakologik Obat obatan yang digunakan dalam pengobatan ringworm
dibedakan kedalam 5 golongan yaitu 1). Iritansia, Yaitu obat-obatan yang
meningkatkan reaksi peradangan 2). Keratolitikum, Yaitu obat yang meluruhkan dan
menghilangkan keratin pada kulit 3).Fungistatikum, Yaitu obat yang mengurangi dan
mencegah pertumbuhan dan perkembangan jamur 4). Fungisid, Yaitu obat yang
membunuh jamur secara langsung dan 5) Obat yang menghentikan pertumbuhan
rambut hingga keratin juga tidak terbentuk
Obat yang diberikan merupakan kombinasi obat anti jamur sistemik dan topikal
FARMAKOTERAPI | 4
Pemilihan obat anti jamur :
No Obat Efficacy Safety Suitability Cost
1 Griseofulvin
Farmakokinetik : Ketika diabsorbsi, griseofulvin pertama kali akan berikatan dengan serum albumin dan distribusi di jaringan yang ditentukan dengan plasma free consentration. Selanjutnya menyebar melalui cairan transepidermal dan keringat dan akan dideposit di sel prekusor keratin kulit (stratum korneum) dan terjadi ikatan yang kuat dan menetap. Lapisan keratin yang terinfeksi, akan digantikan dengan lapisan keratin baru yang lebih resisten terhadap serangan jamur.
Farmakodinamik :
Griseofulvin adalah an yang bersifat fungistatik. Secara invitro griseofulvin dapat menghambat pertumbuhan berbagai spesies dari Microsporum, Epidermophyton dan Trichophyton. Pada
Efek samping /toksisitas :
- Infections
- Serum sickness
- Leukopenia
Efek samping bersifat ringan dan sementara, misalnya: sakit kepala, rasa kering pada mulut, iritasi lambung dan rash kulit. - Reaksi hipersensitivitas: urtikaria, edema angioneurotik. - Proteinuria, hepatotoksisitas.
Interaksi Obat :
Griseofulvin menurunkan aktivitas warfarin sebagai antikoagulan, kontrasepsi oral dan dapat meningkatkan efek alkohol. Barbiturat menurunkan aktivitas griseofulvin.
Indikasi : Infeksi dermatofitosis berat pada kulit, rambut, kuku yang disebabkan oleh Trycophyton sp.
Saat obat topikal tidak berhasil atau tidak sesuai. (tidak efektif terhadap candida albikans atau pityriasis versikolor)
Kontraindikasi : Kebuntingan
Sediaan :
Griseofulvin tersedia dalam bentuk tablet 125, 250, dan 500 mg, dan suspensi 125 mg/ml.
Rp. 2600,-
Per keping (10 tablet)
Sediaan 125 mg
FARMAKOTERAPI | 5
penggunaan per oral griseofulvin diabsorpsi secara lambat, dengan memperkecil ukuran partikel, absorpsi dapat ditingkatkan. Griseofulvin ditimbun di sel-sel terbawah dari sel epidermis, sehingga keratin yang baru terbentuk akan tetap dilindungi terhadap infeksi jamur.
Distribusi : menembus plasenta
Metabolisme : sebagian besar di hati
T½ eliminasi : 9-22 jam
Ekskresi : urine (< 1% dalam bentuk obat tidak berubah); feses dan keringat
2 ketokonazole
Farmakodinamik :Menghambat biosintesis ergosterol. Bekerja dengan cara menginhibisi enzim sitrokrom P-450, C-14-α-demethylase yang bertanggung jawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini akan mengakibatkan
Efek samping /toksisitas
Efek samping :
Anoreksia, mual dan muntah. Ketokonazol juga menimbulkan efek hepatotoksik yang ringan. Untuk pengobatan jangka panjang dianjurkan pemeriksaan fungsi
Indikasi : Ketokonazol mempunyai spekrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes immitis,
Rp. 4500,-
Per strip (10 tablet)
Sediaan 400 mg
Rp. 18.472,-
Per 10 gram sediaan
FARMAKOTERAPI | 6
dinding sel jamur menjadi permeable dan terjadi penghancuran jamur.
Farmakokinetik :Ketokonazol yang diberikan secara oral, mempunyai bioavailabilitas yang luas antara 37%-57% di dalam darah. Puncak waktu paruh yaitu 2 jam dan berlanjut 7-10 jam. Ketokonazole mempunyai daya larut yang optimal pada pH di bawah 3 dan akan lebih mudah diabsorbsi.Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mampu mencapai keratin dalam waktu 2 jam. Distribusi ketokonazol melalui urin, saliva, sebum, kelenjar keringat eccrine, serebrum, cairan pada sendi dan serebrospinal fluid (CSF).Metabolisme obat ini berada di hati dan diubah menjadi metabolit yang tidak aktif serta diekskresikan bersama empedu ke dalam saluran pencernaan.
hati. Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofitosisKontra indikasi :Ketokonazol dapat memperpanjang waktu paruh seperti terfenadin, astemizol dan cisaprid selain itu juga menimbulkan efeksamping kardiovaskula, menyebabkan aritmia ventrikel jantung dan perpanjang interval QT.
Pemberian bersama antara ketokonazol dengan rifampicin dapat menurunkan efektifitas kedua obat.
Interaksi :Konsentrasi serum
krim
Tiap gram krim mengandung 20 mg ketokonazole
FARMAKOTERAPI | 7
ketokonazol dapat menurun apabila diikuti dengan mengkonsumsi obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antacid,kolinergik dan H2-antagonis sehingga sebaiknya obat ini diberikan setelah 2 jam pemberian ketokonazol.
Sediaan : tablet 400 mg dan bentuk krim 10 g
3. Mikonazole
Farmakodinamik : Miconazole memiliki aktivitas antifungi terhadap dermatofita dan ragi, serta memiliki aktivitas antibakteri terhadap basil dan kokus gram positif. Aktivitas ini menghambat biosintesa ergosterol di dalam jamur dan mengubah komposisi komponen-komponen lemak di dalam membran,
Efek samping / toksisitas : Biasanya krim Mikonazol Nitrat dapat ditoleransi dengan baik. Namun pada penderita hipersensitifitasdapat timbul iritasi dan hipersensitifitas kulit. Dermatitis dan rasa terbakar
Interaksi Obat :Interaksi obat sangat jarang terjadi pada pemakaian topical namun adanya
Indikasi :
Untuk aplikasi topikal dalam pengobatan dermatofit , dalam pengobatan kandidiasis kulit (moniliasis), dan dalam pengobatan tinea versikolor.
Kontraindika
Rp. 4500,-
Per 10 gram sedian krim
Tiap gram krim mengandung 20 mg mikonazole nitrat
FARMAKOTERAPI | 8
yang menyebabkan nekrosis sel jamur
Farmakokinetik :
Mikonazol di absorpsi secara topikal oleh kulit dan diikat oleh protein plasma, selanjutnya serum albumin dan sel darah merah. Di aplikasikan ke dalam kulit utuh
penyerapan oleh kulit memungkinkan terjadinya interaksi obat-obat seperti:Amphotericin B: kemungkinan menghambat efek amfoterisin B.Karbamazepin: meningkatkan kadar carbamazepin dalam darahWarfarin: meningkatkan efek antikoagulan warfarin
si :
Pasien dengan hipersensitivitas terhadap mikonazol, gangguan liver kronis
Sediaan : mikonazol cream 2%
No.
Nama Obat Efficacy Safety Suitability Cost
1. Griseosulvin (sistemik)
+++ ++ +++ ++
2. Ketokonazole krim (topikal)
+++ ++ ++ ++
3. Ketokonazole oral (sistemik)
++ ++ ++ ++
4. Mikonazole (topikal)
+++ +++ +++ +++
Kesimpulan : digunakan Griseosulvin untuk pengobatan secara sistemik dengan dosis 7,5 -
10 mg/kg secara PO satu kali sehari. Secara topikal menggunakan mikonazol 2 %
FARMAKOTERAPI | 9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ringworm atau dermatomycosis adalah infeksi oleh jamur Microsporum spp. atau .
Trichopyton spp pada bagian superficial atau bagian dari jaringan lain yang mengandung
keratin (bulu, kuku, rambut dan tanduk). Diagnosa bisa dilakukan dengan penyinaran
ultraviolet yang menunjukkan warna hijau kekuningan, sedangkan sebagai diagnosa banding
terhadap lesi bisa dilakukan dengan membandingkan jenis lesi yang terjadi dengan lesi akibat
gigitan serangga, urtikaria, infeksi oleh kuman dan seborrhea. Namun dengan adanya bentuk
cincin pada daerah yang terinfeksi dan tidak adanya tanda-tanda kegatalan dapat memastikan
bahwa hewan tersebut menderita penyakit ringworm. Tujuan terapi yang kami berikan adalah
mengeliminasi penyebab penyakit, mengurangi dan atau menghilangkan peradangan kulit.,
mengurangi dan atau menghilangkan rasa gatal dan sakit yang ditimbulkan. Sehingga
tindakan terapi yang bisa dilakukan, untuk tindakan advice dilakukan dengan memisahkan
hewan yang terinfeksi dari hewan lain selama masa pengobatan, memperhatikan sanitasi dan
kebersihan lingkungan hewan. Sedangkan untuk non drug nya bisa berupa pencegahan yang
dapat menggagalkan infeksi sebelum pengobatan, terutama pada tahap transformasi spontan
atau induksi dari pertumbuhan rambut aktif (anagen) ke pertumbuhan rambut tahap tidak
aktif (telogen), dan tahap penghentian produksi keratin. Untuk terapi P-Drug kami
mempunyai beberapa alternative obat yang bekerja secara sistemik maupun topical, yakni:
Griseosulvin (sistemik), Ketokonazole krim (topikal), Ketokonazole oral (sistemik), dan
Mikonazole (topikal). Dengan mempertimbangkan efficacy, safety, suitability dan cost, kami
memilih Griseosulvin untuk pengobatan secara sistemik dengan dosis 7,5 - 10 mg/kg secara
PO satu kali sehari. Secara topikal menggunakan mikonazol 2 %.
FARMAKOTERAPI | 10
Daftar Pustaka
Ahmad., R.Z. 2009. Permasalahan & Penanggulangan Ring Worm Pada Hewan. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
Kurniati dan Rosita. 2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Vol. 20 No. 3 Dept./SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya
Manery, Johan Josias. 2010. Suspect Ringworm Pada Sapi Bali. Laporan Koasistensi Kasus Hewan Besar Ilmu Penyakit Dalam Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana. Denpasar
Subronto, 2008. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
FARMAKOTERAPI | 11