Post on 02-Jan-2016
description
Retensio Plasenta
Pengertian Plasenta
o Retensio Plasenta adalah plasenta yang belum lepas setelah bayi lahir, melebihi waktu setengah jam (Manuaba, 2001: 432).
o Retensio Plasenta ialah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga 30 menit atau lebih setelah bayi (Syaifudin AB, 2001).
o Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir daam waktu 1 jam setelah bayi lahir (Rsustam Mochtar, 1998 : 299).
Etiologi
Menurut Wiknjosastro (2007) sebab retensio plasenta dibagi menjadi 2 golongan ialah sebab fungsional dan sebab patologi anatomik.
1. Sebab fungsional
a) His yang kurang kuat (sebab utama)
b) Tempat melekatnya yang kurang menguntungkan (contoh : di sudut tuba)
c) Ukuran plasenta terlalu kecil
d) Lingkaran kontriksi pada bagian bawah perut
2. Sebab patologi anatomik (perlekatan plasenta yang abnormal)
Plasenta akreta : vili korialis menanamkan diri lebih dalam ke dalam dinding rahim daripada biasa ialah sampai ke batas antara endometrium dan miometrium
Plasenta inkreta : vili korialis masuk ke dalam lapisan otot rahim
Plasenta perkreta : vili korialis menembus lapisan otot dan mencapai serosa atau menembusnya
Pencegahan
Untuk mencagah retensio plasenta dapat disuntikkan 10 iu pitosin i.m segera setelah bayi
lahir.
Akibat
Dapat menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati, dapat terjadi
placenta inkarserata, dapat terjadi polip placenta dan terjadi degenarasi ganas korio
karsinoma.
Penanganan
a. Sikap umum Bidan
1) Memperhatikan k/u penderita
* Apakah anemis
* Bagaimana jumlah perdarahannya
* TTV : TD, nadi dan suhu
* Keadaan fundus uteri : kontraksi dan fundus uteri
2) Mengetahui keadaan placenta
* Apakah placenta ikarserata
* Melakukan tes pelepasan placenta : metode kusnert, metode klein, metode
strassman, metode manuaba
* Memasang infus dan memberikan cairan pengganti
b. Sikap khusus bidan
1) Retensio placenta dengan perdarahan
Langsung melakukan placenta manual
2) Retensio placenta tanpa perdarahan
* Setelah dapat memastikan k/u penderita segera memasang infus dan
memberikan cairan.
* Merujuk penderita ke pusat dengan fasilitas cukup untuk mendapatkan
penanganan lebih baik.
* Memberikan tranfusi.
* Proteksi dengan antibiotika.
* Mempersiapkan placenta manual dengan legeartis dalam keadaan pengaruh
narkosa.
3) Upaya preventif retensio placenta oleh bidan
* Meningkatkan penerimaan keluarga berencana sehingga, memperkecil terjadi
retensio placenta.
* Meningkatkan penerimaan pertolongan persalinan oleh nakes yang terlatih.
* Pada waktu melakukan pertolongan persalinan kala III tidak diperkenankan untuk
melakukan massase dengan tujuan mempercepat proses persalinan placenta.
Massase yang tidak tepat waktu dapat mengacaukan kontraksi otot rahim dan
mengganggu pelepasan placenta.
PLACENTA MANUAL
Placenta manual merupakan tindakan operasi kebidanan untuk melahirkan retensio placenta. Kejadian retensio placenta berkaitan dengan :
· Grandemulti para dengan implantasi dalam bentuk placenta adhesiva, placenta akreta, placenta perkreta.
· Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.
1. Retensio placenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan :
§ darah penderita terlalu banyak hilang
§ keseimbangan baru terbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak terjadi.
§ Kemungkinan implantasi placenta terlalu dalam.
2. Placenta manual dengan segera dilakukan :
§ terdapat riwayat perdarahan post partum berulang
§ terjadi perdarahan post partum melebihi 500 cc.
§ pada pertolongan persalinan dengan narkosa.
§ Placenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.
PERSIAPAN PLACENTA MANUAL
o Handscoon steril panjang
o Desinfektan untuk genitalia eksterna
TEKHNIK
1. Sebaiknya dengan narkosa, untuk mengurangi sakit dan menghindari syok.
2. Tangan kiri melebarkan genetalia eksterna, tangan kanan dimasukkan secara obstetri
sampai mencapai tepi placenta dengan menelusuri tali pusat.
3. Tepi placenta dilepaskan dengan ulnar tangan kanan sedangkan tangan kiri menahan
fundus uteri sehingga tidak terdorong ke atas.
4. Setelah seluruh placenta dapat dilepaskan, maka tangan dikeluarkan bersama dengan
placenta.
5. Dilakukan eksplorasi untuk mencari sisa placenta atau membrannya.
6. Kontraksi uterus ditimbulkan dengan memberikan uterotonika.
7. Perdarahan di observasi.
KOMPLIKASI TINDAKAN PLACENTA MANUAL
Tindakan placenta manual dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
· Terjadi perforasi uterus
· Terjadi infeksi akibat terdapat sisa placenta atau membran dan bakteria terdorong ke dalam rongga rahim
· Terjadi perdarahan karena atonia uteri.
Untuk memperkecil komplikasi dapat dilakukan tindakan profilaksis dengan :
o Memberikan uterotonika intravena atau intramuskular
o Memasang tamponade utero vaginal
o Memberikan antibiotika
o Memasang infus dan persiapan tranfusi darah.
ASUHAN KEBIDANAN PADA POST PLACENTA MANUAL
Observasi kontraksi uterus setiap 15 menit pada 1 jam pertama. Pada jam kedua setiap 30 menit.
Observasi TD dan nadi setiap 15 menit pada 1 jam pertama. Pada jam kedua setiap 30 menit.
Observasi suhu setiap 1 jam.
Observasi TFU, UC dan kandung kemih setiap 15 menit pada 1 jam pertama. Pada jam kedua setiap 30 menit.
Observasi perdarahan.
Pemenuhan kebutuhan cairan dengan RL
Pemenuhan kebutuhan nutrisi
Pemberian terapi obat terutama antibiotik , analgesik
Pemberian tablet Fe
Pemberian vit A
PERDARAHAN POST PARTUM
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Semua wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum dan sekuelenya. Walaupun angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara berkembang, perdarahan post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbanyak dimana-mana.
Perdarahan post partum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 500 mL setelah persalinan vaginal atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal. Perdarahan dalam jumlah ini dalam waktu kurang dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum primer, dan apabila perdarahan ini terjadi lebih dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum sekunder.
Frekuensi perdarahan post partum yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (50 – 60 %), sisa plasenta (23 – 24 %), retensio plasenta (16 – 17 %), laserasi jalan lahir (4 – 5 %), kelainan darah (0,5 – 0,8 %).
Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.
A. PERDARAHAN POST PARTUM
I. Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal1,2,3. Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik <> 100 x/menit, kadar Hb <>2.
Perdarahan post partum dibagi menjadi
1. Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early postpartum hemorrhage)
Perdarahan post partum dini adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala III.
2. Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late postpartum hemorrhage)
Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan yang terjadi pada masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah kala III.
II. Etiologi
Penyebab terjadinya perdarahan post partum antara lain
- Atonia uteri
- Luka jalan lahir
- Retensio plasenta
- Gangguan pembekuan darah
III. Insidensi
Insidensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%5.
Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut
- Atonia uteri 50 – 60 %
- Sisa plasenta 23 – 24 %
- Retensio plasenta 16 – 17 %
- Laserasi jalan lahir 4 – 5 %
- Kelainan darah 0,5 – 0,8 %
I. Penilaian Klinik
Tabel II.1. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok
Volume Kehilangan Darah
Tekanan Darah (sistolik)
Gejala dan Tanda
Derajat Syok
500-1.000 mL
(10-15%)
Normal
Palpitasi, takikardia, pusing
Terkompensasi
1000-1500 mL (15-25%)
Penurunan ringan (80-100 mm Hg)
Lemah, takikardia, berkeringat
Ringan
1500-2000 mL (25-35%)
Penurunan sedang (70-80 mm Hg)
Gelisah, pucat, oliguria
Sedang
2000-3000 mL (35-50%)
Penurunan tajam (50-70 mm Hg)
Pingsan, hipoksia, anuria
Berat
Tabel II.2. Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab Perdarahan Post Partum
Gejala dan Tanda
Penyulit
Diagnosis Kerja
Uterus tidak berkontraksi dan lembek.
Perdarahan segera setelah anak lahir
Syok
Bekuan darah pada serviks atau posisi telentang akan menghambat aliran darah keluar
Atonia uteri
Darah segar mengalir segera setelah bayi lahir
Uterus berkontraksi dan keras
Plasenta lengkap
Pucat
Lemah
Menggigil
Robekan jalan lahir
Plasenta belum lahir setelah 30 menit
Perdarahan segera
Uterus berkontraksi dan keras
Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
Inversio uteri akibat tarikan
Perdarahan lanjutan
Retensio plasenta
Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap
Perdarahan segera
Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang
Retensi sisa plasenta
Uterus tidak teraba
Lumen vagina terisi massa
Tampak tali pusat (bila plasenta belum lahir)
Neurogenik syok
Pucat dan limbung
Inversio uteri
Sub-involusi uterus
Nyeri tekan perut bawah dan pada uterus
Perdarahan sekunder
Anemia
Demam
Endometritis atau sisa fragmen plasenta (terinfeksi atau tidak)
I. Kriteria Diagnosis
- Pemeriksaan fisik:
Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat, kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus menerus
- Pemeriksaan obstetri:
Mungkin kontraksi usus lembek, uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, perdarahan mungkin karena luka jalan lahir
- Pemeriksaan ginekologi:
Dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, dapat diketahui kontraksi uterus, luka jalan lahir dan retensi sisa plasenta
II. Faktor Resiko
· Penggunaan obat-obatan (anestesi umum, magnesium sulfat)
· Partus presipitatus
· Solutio plasenta
· Persalinan traumatis
· Uterus yang terlalu teregang (gemelli, hidramnion)
· Adanya cacat parut, tumor, anomali uterus
· Partus lama
· Grandemultipara
· Plasenta previa
· Persalinan dengan pacuan
· Riwayat perdarahan pasca persalinan
III. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk
- Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode antenatal
- Perlu dilakukan pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan
b. Pemeriksaan radiologi
- Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium atau radiologis dapat dilakukan. Berdasarkan pengalaman, pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya jendalan darah dan retensi sisa plasenta
- USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya
IV. Penatalaksanaan
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.
Resusitasi cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang peling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.
Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap direkomendasikan.
Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Para klinisi harus memperhatikan darah transfusi, berkaitan dengan waktu, tipe dan jumlah produk darah yang tersedia dalam keadaan gawat.
Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit. Jangan menggunakan cairan Ringer Laktat untuk tujuan ini karena kalsium yang dikandungnya dapat menyebabkan penjendalan.
Tabel II.3. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya
Jenis dan Cara
Oksitosin
Ergometrin
Misoprostol
Dosis dan cara pemberian awal
IV: 20 U dalam 1
L larutan garam
fisiologis dengan
tetesan cepat
IM: 10 U
IM atau IV (lambat): 0,2 mg
Oral atau rektal 400 mg
Dosis lanjutan
IV: 20 U dalam 1
L larutan garam
fisiologis dengan
40 tetes/menit
Ulangi 0,2 mg IM setelah 15 menit
Bila masih diperlukan, beri IM/IV setiap 2-4 jam
400 mg 2-4 jam setelah dosis awal
Dosis maksimal per hari
Tidak lebih dari 3 L larutan fisiologis
Total 1 mg (5 dosis)
Total 1200 mg atau 3 dosis
Kontraindikasi atau hati-hati
Pemberian IV secara cepat atau bolus
Preeklampsia, vitium kordis, hipertensi
Nyeri kontraksi
Asma
I. Penyulit
- Syok ireversibel
- DIC
- Amenorea sekunder
II. Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum. Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut:
- Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.
- Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
- Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus berkontraksi dengan baik
Bagan II.1. Penanganan Perdarahan Post Partum Berdasarkan Penyabab
image
A. ATONIA UTERI
I. Definisi
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post partum yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syok hipovolemik.
II. Etiologi
Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir.
Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus couvelaire pada abruptio plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif. Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan post partum
III. Penatalaksanaan
- Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri
- Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada perbaikan dan perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.
- Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian dipasang tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil, dipertahankan selama 24 jam.
- Kompresi bimanual eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi bimanual internal
- Kompresi bimanual internal
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi , coba kompresi aorta abdominalis
- Kompresi aorta abdominalis
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut,genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi
- Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin / ergometrin, bisa dicoba prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskuler atau langsung pada miometrium (transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat diulang dalam 5 menit dan tiap 2 atau 3 jam sesudahnya.
- Laparotomi dilakukan bila uterus tetap lembek dan perdarahan yang terjadi tetap > 200 mL/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik (khusus untuk penderita yang belum punya anak atau muda sekali)
- Bila tak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.
Bagan II.2. Penilaian Klinik Atonia Uteri
image
A. RETENSIO PLASENTA
I. Definisi
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus
II. Klasifikasi
Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara lain:
- Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
- Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai sebagian lapisan miometrium
- Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/melewati lapisan miometrium
- Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan miometrium hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus
- Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium uteri
Tabel II.4. Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta
Gejala
Separasi / akreta parsial
Plasenta inkarserata
Plasenta akreta
Konsistensi uterus
Kenyal
Keras
Cukup
Tinggi fundus
Sepusat
2 jari bawah pusat
Sepusat
Bentuk uterus
Diskoid
Agak globuler
Diskoid
Perdarahan
Sedang-banyak
Sedang
Sedikit/tidak ada
Tali pusat
Terjulur sebagian
Terjulur
Tidak terjulur
Ostium uteri
Terbuka
Konstriksi
Terbuka
Separasi plasenta
Lepas sebagian
Sudah lepas
Melekat seluruhnya
Syok
Sering
Jarang
Jarang sekali
I. Penatalaksanaan
Retensio plasenta dengan separasi parsial
- Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil
- Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
- Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal (sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri)
- Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan
- Lakukan transfusi darah apabila diperlukan
- Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol 1 g supositoria / oral)
- Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik
Plasenta inkarserata
- Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan
- Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan konstriksi serviks dan melahirkan plasenta
- Pilih fluethane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat, siapkan infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit untuk mengantisipasi gangguan kontraksi yang diakibatkan bahan anestesi tersebut
- Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilalui cunam ovum, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur ini berikan analgesik (Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg IV) dan sedatif (Diazepam 5 mg IV) pada tabung suntik yang terpisah
Manuver sekrup:
o Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak dengan jelas
o Jepit porsio dengan klem ovarium pada jam 12, 4 dan 8 kemudian lepaskan spekulum
o Tarik ketiga klem ovarium agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak lebih jelas
o Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta di sisi berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin. Minta asisten untuk memegang klem tersebut
o Lakukan hal yang sama untuk plasenta pada sisi yang berlawanan
o Satukan kedua klem tersebut kemudian sambil diputar searah jarum jam, tarik plasenta keluar perlahan-lahan melalui pembukaan ostium
- Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan pasca tindakan. Tambahan pemantauan yang diperlukan adalah pemantauan efek samping atau komplikasi dari bahan-bahan sedatif, analgetika atau anestesi umum misal: mual, muntah, hipo/atonia uteri, pusing/vertigo, halusinasi, mengantuk
Plasenta akreta
- Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus atau korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi plasenta karena implantasi yang dalam
- Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan karena kasus ini memerlukan tindakan operatif
Bagan II.3. Penilaian Klinik Plasenta Akreta
image
Sisa Plasenta
- Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah beberapa hari pulang ke rumah dan subinvolusi uterus
- Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan 3 x 1 g oral dikombinasi dengan metronidazol 1 g supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral
- Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuretase
- Bila kadar Hb <>> 8 g/dL, berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari
A. LASERASI JALAN LAHIR
I. Klasifikasi
- Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
Tingkat perlukaan perineum dapat dibagi dalam:
o Tingkat I: bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit perineum
o Tingkat II : adanya perlukaan yang lebih dalam dan luas ke vagina dan perineum dengan melukai fasia serta otot-otot diafragma urogenital
o Tingkat III : perlukaan yang lebih luas dan lebih dalam yang menyebabkan muskulus sfingter ani eksternus terputus di depan
- Robekan serviks
II. Faktor Resiko
- Makrosomia
- Malpresentasi
- Partus presipitatus
- Distosia bahu
III. Penatalaksanaan
Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
- Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan
- Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
- Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap
- Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator
- Khusus pada ruptura perineum komplit (hingga anus dan sebagian rektum) dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sbb:
o Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi pada rektum hingga ujung robekan
o Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul submukosa, menggunakan benang poliglikolik no.2/0 (Dexon/Vicryl) hingga ke sfingter ani. Jepit kedua sfingter ani dengan klem dan jahit dengan benang no. 2/0
o Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa dengan benang yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur
o Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan subkutikuler
o Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidazol 1 g per oral). Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas
Robekan serviks
- Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan oleh kepala bayi
- Bila kontraksi uterus baik, plasanta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyakmaka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio
- Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga perdarahan dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian ke arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
- Setelah tindakan, periksa tanda vital psien, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan pasca tindakan
- Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
- Bila terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb <>
Bagan II.4. Penilaian Klinik Perdarahan Oleh Karena Persalinan Trumatika
image
A. KELAINAN DARAH
I. Etiologi
Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet biasanya tidak menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada kontraksi uterus untuk mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan penjendalan darah memiliki peran penting beberapa jam hingga beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada daerah ini dapat menyebabkan perdarahan post partun sekunder atau perdarahan eksaserbasi dari sebab lain, terutama trauma.
Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat persalinan. Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya, seperti ITP atau sindroma HELLP sekunder, solusio plasenta, DIC atau sepsis. Abnormalitas platelet dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar merupakan penyakit sebelumnya, walaupun sering tak terdiagnosis.
Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang berupa hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang didapat biasanya yang menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang berhubungan dengan solusio plasenta, sindroma HELLP, IUFD, emboli air ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen meningkat pada saat hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran normal seperti pada wanita yang tidak hamil harus mendapat perhatian. Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah perdarahan post partum masif yang mendapat resusiatsi cairan kristaloid dan transfusi PRC.
DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam, serta pemanjangan waktu trombin (thrombin time).
II. Penatalaksanaan
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya perdarahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari terjadinya perdarahan post partum, seperti solutio plasenta, sindroma HELLP, fatty liver pada kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia. Ambil langkah spesifik untuk menangani penyebab yang mendasari dan kelainan hemostatik.
Penanganan DIC identik dengan pasien yang mengalami koagulopati dilusional. Restorasi dan penanganan volume sirkulasi dan penggantian produk darah bersifat sangat esensial. Perlu saran dari ahli hematologi pada kasus transfusi masif dan koagulopati.
Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada pasien dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit dengan cepat. Satu unit trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar 5.000 – 10.000/mm3. Dosis biasa sebesar kemasan 10 unit diberikan bila gejala-gejala perdarahan telah jelas atau bila hitung trombosit di bawah 20.000/mm3. transfusi trombosit diindakasikan bila hitung trombosit 10.000 – 50.000/mm3, jika direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau diperkirakan diperlukan suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan karena masa paruh trombosit hanya 3 – 4 hari.
Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V, VII, IX, X dan fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak diperlukan adanya kesesuaian donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat bereaksi dengan sel-sel penerima. Bila ditemukan koagulopati, dan belum terdapat pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus dipakai secara empiris.
Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan fibrinogen, dipakai dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan penyakit von Willebrand. Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi untuk terjadinya suatu pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis.
Diposkan oleh atoni uteri di 23.47 Tidak ada komentar:
RETENSIO PLASENTA
1. Defenisi Retensio plasenta
Istilah retensio plasenta dipergunakan jika plasenta belum lahir ½ jam sesudah anak lahir. (Sastrawinata, 2008:174)
Pengertian tersebut juga dikuatkan oleh Winkjosastro (2006:656) yang menyebutkan retensio plasenta adalah apabila plasenta belum lahir setangah jam setelah janin lahir.
Retensio plasenta adalah belum lepasnya plasenta dengan melebihi waktu setengah jam. Keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera. Bila retensio plasenta tidak diikuti perdarahan maka perlu diperhatikan ada kemungkinan terjadi plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta. (Manuaba (2006:176).
Plasenta inkarserata artinya plasenta telah lepas tetapi tertinggal dalam uterus karena terjadi kontraksi di bagian bawah uterus atau uteri sehingga plasenta tertahan di dalam uterus. (Manuaba (2006:176).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa retensio plasenta ialah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin lahir, keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera.
Jenis-jenis retensio plasenta:
a) Plasenta Adhesive : Implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis
b) Plasenta Akreta : Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
c) Plasenta Inkreta : Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
d) Plasenta Prekreta : Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan serosa dinding uterus hingga ke peritonium
e) Plasenta Inkarserata : Tertahannya plasenta di dalam kavum uteri disebabkan oleh konstriksi ostium uteri. (Sarwono, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002:178).
Perdarahan hanya terjadi pada plasenta yang sebagian atau seluruhnya telah lepas dari dinding rahim. Banyak atau sedikitnya perdarahan tergantung luasnya bagian plasenta yang telah lepas dan dapat timbul perdarahan. Melalui periksa dalam atau tarikan pada tali pusat dapat diketahui apakah plasenta sudah lepas atau belum dan bila lebih dari 30 menit maka kita dapat melakukan plasenta manual.
Retensio plasenta (Placental Retention) merupakan plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta (rest placenta) merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (Early Postpartum Hemorrhage) atau perdarahan post partum lambat (Late Postpartum Hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan.
2. Etiologi Retensio Plasenta
Penyebab Retentio Plasenta menurut Sastrawinata (2006:174) adalah:
Fungsional:
1) His kurang kuat (penyebab terpenting)
2) Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba); bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di atas disebut plasenta adhesive.
Patologi – anatomi:
1) Plasenta akreta
2) Plasenta inkreta
3) Plasenta perkreta
Sebab-sebabnya plasenta belum lahir bisa oleh karena:
a) Plasenta belum lepas dari dinding uterus
b) Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan; jika lepas sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva), plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua sampai miometrium- sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta).
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).
Menurut Manuaba (2006:301) kejadian retensio plasenta berkaitan dengan:
a) Grandemultipara dengan implantasi plasenta dalam bentuk plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta, dan plasenta perkreta
b) Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan
Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan:
Darah penderita terlalu banyak hilang
Keseimbangan baru berbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak terjadi
Kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam
Plasenta manual dengan segera dilakukan :
Terdapat riwayat perdarahan postpartum berulang
Terjadi perdarahan postpartum berulang
Pada pertolongan persalinan dengan narkosa
Plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam
3. Anatomi
Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15 sampai 20 cm dan tebal lebih kurang 2.5 cm. Beratnya rata-rata 500 gram. Tali-pusat berhubungan dengan plasenta biasanya di tengah (insertio sentralis).
Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih kurang 16 minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh kavum uteri. Bila diteliti benar, maka plasenta sebenarnya berasal dari sebagian besar dari bagian janin, yaitu vili koriales yang berasal dari korion, dan sebagian kecil dari bagian ibu yang berasal dari desidua basalis.
Darah ibu yang berada di ruang interviller berasal dari spiral arteries yang berada di desidua basalis. Pada sistole darah disemprotkan dengan tekanan 70-80 mmHg seperti air mancur ke dalam ruang interviller sampai mencapai chorionic plate, pangkal dari kotiledon-kotiledon janin. Darah tersebut membasahi semua vili koriales dan kembali perlahan-lahan dengan tekanan 8 mmHg ke vena-vena di desidua.
Plasenta berfungsi: sebagai alat yang memberi makanan pada janin, mengeluarkan sisa metabolisme janin, memberi zat asam dan mengeluarkan CO2, membentuk hormon, serta penyalur berbagai antibodi ke janin.
4. Jenis Dari Retensio Plasenta
Jenis dari retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2002)
Jenis retensio plasenta :
a) Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miomentrium.
c) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/memasuki miomentrium.
d) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e) Plasenta inkaserata adalah tertahannya plasenta didalam kavum uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.
5. Patogenesis
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat otot miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1) Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2) Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3) Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
4) Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya. Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada semburan darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang. Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala IV. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan secara bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta:
Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus, kontraksi yang kuat dari uterus, serta pembentukan constriction ring. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa dan adanya plasenta akreta. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.
6. Gejala Klinis
a. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
b. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
Tanda Dan Gejala Retensio Plasenta
A. Plasenta Akreta Parsial / Separasi
Konsistensi uterus kenyal
TFU setinggi pusat\
Bentuk uterus discoid
Perdarahan sedang – banyak
Tali pusat terjulur sebagian
Ostium uteri terbuka
Separasi plasenta lepas sebagian
Syok sering
B. Plasenta Inkarserata
Konsistensi uterus keras
TFU 2 jari bawah pusat
Bentuk uterus globular
Perdarahan sedang
Tali pusat terjulur
Ostium uteri terbuka
Separasi plasenta sudah lepas
Syok jarang
Konsistensi uterus cukup
TFU setinggi pusat
Bentuk uterus discoid
Perdarahan sedikit / tidak ada
Tali pusat tidak terjulur
Ostium uteri terbuka
Separasi plasenta melekat seluruhnya
Syok jarang sekali, kecuali akibat inversio oleh tarikan kuat pada tali pusat.(Prawirohardjo, S. 2002 : 178)
Plasenta Akreta
7. Pemeriksaan Penunjang
a) Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
b) Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung Protrombin Time (PT) dan Activated Partial Tromboplastin Time (APTT) atau yang sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain.
8. Diagnosa Banding
Meliputi plasenta akreta, suatu plasenta abnormal yang melekat pada miometrium tanpa garis pembelahan fisiologis melalui garis spons desidua.
9. Penatalaksanaan
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:
Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuretage sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi sekunder. (Sulisetiya.blogspot.com/2010/03).
10. Komplikasi
Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya:
Perdarahan
Terjadi terlebih lagi bila retensio plasenta yang terdapat sedikit perlepasan hingga kontraksi memompa darah tetapi bagian yang melekat membuat luka tidak menutup.
Infeksi
Karena sebagai benda mati yang tertinggal di dalam rahim meningkatkan pertumbuhan bakteri dibantu dengan port d’entre dari tempat perlekatan plasenta.
Dapat terjadi plasenta inkarserata dimana plasenta melekat terus sedangkan kontraksi pada ostium baik hingga yang terjadi.
Terjadi polip plasenta sebagai massa proliferative yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis
Dengan masuknya mutagen, perlukaan yang semula fisiologik dapat berubah menjadi patologik (displastik-diskariotik) dan akhirnya menjadi karsinoma invasif. Sekali menjadi mikro invasive atau invasive, proses keganasan akan berjalan terus.
Sel ini tampak abnormal tetapi tidak ganas. Para ilmuwan yakin bahwa beberapa perubahan abnormal pada sel-sel ini merupakan langkah awal dari serangkaian perubahan yang berjalan lambat, yang beberapa tahun kemudian bisa menyebabkan kanker. Karena itu beberapa perubahan abnormal merupakan keadaan prekanker, yang bisa berubah menjadi kanker.
Syok haemoragik (Manuaba, IGB. 1998 : 300)
11. Terapi
Bila tidak terjadi perdarahan : perbaiki keadaan umum penderita bila perlu misal: infus atau transfusi, pemberian antibiotika, pemberian antipiretika, pemberian ATS. Kemudian dibantu dengan mengosongkan kandung kemih. Lanjutkan memeriksa apakah telah terjadi pemisahan plasenta dengan cara Klein, Kustner atau Strassman.
Bila terjadi perdarahan: lepaskan plasenta secara manual, jika plasenta dengan pengeluaran manual tidak lengkap dapat disusul dengan upaya kuretase.
Bila plasenta tidak dapat dilepaskan dari rahim, misal plasenta increta/percreta, lakukan hysterectomia.
Cara untuk melahirkan plasenta:
Dicoba mengeluarkan plasenta dengan cara normal : Tangan kanan penolong meregangkan tali pusat sedang tangan yang lain mendorong ringan.
Pengeluaran plasenta secara manual (dengan narkose)
Melahirkan plasenta dengan cara memasukkan tangan penolong kedalam cavum uteri, melepaskan plasenta dari insertio dan mengeluarkanya.
Bila ostium uteri sudah demikian sempitnya, sehingga dengan narkose yang dalam pun tangan tak dapat masuk, maka dapat dilakukan hysterectomia untuk melahirkan plasentanya.
MANUAL PLASENTA
Manual Plasenta merupakan tindakan operasi kebidanan untuk melahirkan retensio plasenta. Teknik operasi manual plasenta tidaklah sukar, tetapi harus diperkirakan bagaimana persiapkan agar tindakan tersebut dapat menyelamatkan jiwa penderita.
Kejadian retensio plasenta berkaitan dengan :
Grandemultipara dengan implantasi plasenta dalam bentuk plasenta adhesive dan plasenta akreta serta Plasenta inkreta dan plasenta perkreta.
Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.
Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan:
- Darah penderita terlalu banyak hilang.
- Keseimbangan baru berbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak terjadi.
- Kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam.
Manual Plasenta dengan segera dilakukan:
- Terdapat riwayat perdarahan postpartum berulang.
- Terjadi perdarahan postpartum melebihi 400 cc
- Pada pertolongan persalinan dengan narkosa.
- Plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.
Manual Plasenta dalam keadaan darurat dengan indikasi perdarahan di atas 400 cc dan terjadi retensio plasenta (setelah menunggu ½ jam). Seandainya masih terdapat kesempatan penderita retensio plasenta kdapat dikirim ke puskesmas atau rumah sakit sehingga mendapat pertolongan yang adekuat.
Dalam melakukan rujukan penderita dilakukan persiapan dengan memasang infuse dan memberikan cairan dan dalam persalinan diikuti oleh tenaga yang dapat memberikan pertolongan darurat.
Prosedur Plasenta Manual
Keadaan umum penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus NaCl atau Ringer Laktat.
Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan memberikan suntikan diazepam 10 mg intramuskular. Anestesi ini berguna untuk mengatasi rasa nyeri.
Langkah klinik
A. Persetujuan Tindakan Manual Plasenta
Persetujuan diberikan setelah pasien diberikan penjelasan yang lengkap dan objektif tentang diagnosis penyakit, upaya penyembuhan, tujuan dan pilihan tindakan yang akan dilakukan.
B. Persiapan Sebelum Tindakan
1. Pasien,
1) Cairan dan selang infuse sudah terpasang. Perut bawah dan lipat paha sudah dibersihkan.
2) Uji fungsi dan kelengkapan peralatan resusitasi
3) Siapkan kain alas bokong, sarung kaki dan penutup perut bawah
4) Medikamentosa
a) Analgetika (Phetidin 1-2 mg/kg BB, Ketamin Hcl 0,5 mg/kg BBT, Tramadol 1-2 mg/kg BB)
b) Analgesik suppositoria Tramadol hidroklorida 100 mg untuk perawatan nyeri akut berat setelah tindakan.
c) Sedative (Diazepam 10 mg)
d) Atropine Sulfas 0,25-0,55 mg/ml
e) Uteretonika (Oksitosin,Ergometrin, Prostaglandin)
f) Cairan NaCl 0,9% dan RL
g) Infuse Set
h) Larutan Antiseptik (Povidon Iodin 10%)
i) Oksigen dengan regulator
2. Penolong
1) Baju kamar tindakan, pelapis plastic, masker dan kaca mata : 3 set
2) Sarung tangan DTT/steril : sebaiknya sarung tangan panjang
3) Alas kaki (sepatu boot karet) : 3 pasang
3. Instrument
1) Kocher: 2, Spuit 5 ml dan jarum suntik no 23G
2) Mangkok tempat plasenta : 1
3) Kateter karet dan urine bag : 1
4) Benang kromk 2/0 : 1 rol
5) Partus set
C. Pencegahan Infeksi Sebelum Tindakan
Sebelum melakukan tindakan sebaiknya mencuci tangan terlebih dahulu dengan sabun dan air yang mengalir untuk mencegah infeksi. Mengeringkan tangan dengan handuk bersih lalu pasang sarung tangan DTT/steril.
D. Tindakan Manual Plasenta
Penetrasi Ke Kavum Uteri
Intruksikan asisten untuk memberikan sedatif dan analgetik melalui karet infuse.
Sebelum mengerjakan manual plasenta, penderita disiapkan pada posisi litotomi.
Operator berdiri atau duduk dihadapan vulva dengan salah satu tangannya (tangan kiri) meregang tali pusat, tangan yang lain (tangan kanan) dengan jari-jari dikuncupkan membentuk kerucut
Lakukan kateterisasi kandung kemih.
Pastikan kateter masuk kedalam kandung kemih dengan benar
Cabut kateter setelah kandung kemih dikosongkan.
Jepit tali pusat dengan kocher kemudian tegakan tali pusat sejajar lantai.
Secara obstetrik masukkan satu tangan (punggung tangan ke bawah) kedalam vagina dengan menelusuri tali pusat bagian bawah.
Setelah tangan mencapai pembukaan serviks, minta asisten untuk memegang kocher kemudian tangan lain penolong menahan fundus uteri.
Sambil menahan fundus uteri, masukan tangan ke dalam kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.
Buka tangan obstetric menjadi seperti memberi salam (ibu jari merapat ke pangkal jari telunjuk).
Meregang tali pusat dengan jari-jari membentuk kerucut dengan ujung jari menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika pada waktu melewati serviks dijumpai tahanan dari lingkaran kekejangan (constrition ring), ini dapat diatasi dengan mengembangkan secara perlahan-lahan jari tangan yang membentuk kerucut tadi. Sementara itu, tangan kiri diletakkan di atas fundus uteri dari luar dinding perut ibu sambil menahan atau mendorong fundus itu ke bawah. Setelah tangan yang di dalam
sampai ke plasenta, telusurilah permukaan fetalnya ke arah pinggir plasenta. Pada perdarahan kala tiga, biasanya telah ada bagian pinggir plasenta yang terlepas.
E. Melepas Plasenta dari Dinding Uterus
1. Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah
Bila berada di belakang, tali pusat tetap di sebelah atas. Bila dibagian depan, pindahkan tangan ke bagian depan tal pusat dengan punggung tangan menghadap ke atas.
Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari tempat implantasinya dengan jalan menyelipkan ujung jari di antara plasenta dan dinding uterus, dengan punggung tangan mengahadap ke dinding dalam uterus.
Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang sama (dinding tangan pada dinding kavun uteri) tetapi tali pusat berada di bawah telapak tangan kanan.
2. Kemudian gerakan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke cranial sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan.
Ujung jari menelusuri tali pusat, tangan kiri diletakkan di atas fundus
Melalui celah tersebut, selipkan bagian ulnar dari tangan yang berada di dalam antara dinding uterus dengan bagian plasenta yang telah terlepas itu. Dengan gerakan tangan seperti mengikis air, plasenta dapat dilepaskan seluruhnya (kalau mungkin), sementara tangan yang di luar tetap menahan fundus uteri supaya jangan ikut terdorong ke atas. Dengan demikian, kejadian robekan uterus (perforasi) dapat dihindarkan
i. Catatan : Sambil melakukan tindakan, perhatikan keadaan ibu lakukan penanganan yanng sesuai bila terjadi penyuliit.
Mengeluarkan
ii. Plasenta
a. Sementara satu tangan masih berada di kavum uteri, lakukan eksplorasi ulangan untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada dinding uterus.
b. Pindahkan tangan luar ke supra simfisis untuk menahan uterus c. Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk menarik tali pusat sambil tangan dalam
Menarik plasenta ke luar (hindari percikan darah).
diletakkan plasenta ke dalam tempat yang telah disediakan.
Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan tangan luar) ke dorsokranial setelah plasentalahir.Mengeluarkan plasenta
Setelah plasenta berhasil dikeluarkan, lakukan eksplorasi untuk mengetahui kalau ada bagian dinding uterus yang sobek atau bagian plasenta yang tersisa. Pada waktu ekplorasi sebaiknya sarung tangan diganti yang baru. Setelah plasenta keluar, gunakan kedua tangan untuk memeriksanya, segera berikan uterotonik (oksitosin) satu ampul intramuskular, dan lakukan masase uterus. Lakukan inspeksi dengan spekulum untuk mengetahui ada tidaknya laserasi pada vagina atau serviks dan apabila ditemukan segera di jahit. Jika setelah plasenta dikeluarkan masih terjadi perdarahan karena atonia uteri maka dilakukan kompresi bimanual sambil mengambil tindakan lain untuk menghetikan perdarahan dan memperbaiki keadaan ibu bila perlu.
Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi sekunder.
Dekontaminasi Pasca Tindakan Alat-alat yang digunakan untuk menolong di dekontaminasi, termasuk sarung tangan yang telah di gunakan penolong ke dalam larutan antiseptic
Cuci Tangan Pascatindakan Mencuci kedua tangan setelah tindakan untuk mencegah infeksi.
Perawatan Pascatindakan
Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan instruksi apabila masih diperlukan.
Catat kondisi pasien dan buat laporan tindakan di dalam kolom yang tersedia.
Buat instruksi pengobatan lanjutan dan hal-hal penting untuk dipantau.
Beritahukan pada pasien dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai tetapi pasien masih memerlukan perawatan. Jelaskan pada petugas tentang perawatan apa yang masih diperlukan, lama perawatan dan apa yang perlu dilaporkan (Di Rumah Sakit)
DAFTAR PUSTAKA
Manuaba, G. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Prawirohardjo, S. 2000. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
RETENSIO PLASENTA
BAB I
PENDAHULUAN
Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu prioritas utama dalam pembangunan sektor kesehatan sebagaimana tercantum dalam Propenas serta strategi Making Pregnancy Safer (MPS) atau kehamilan yang aman sebagai kelanjutan dari program Safe Motherhood dengan tujuan untuk mempercepat penurunan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir (MDG’s, 2010), dalam pernyataan yang diterbitkan di situs resmi WHO dijelaskan bahwa untuk mencapai target Millennium Development Goal’s, penurunan angka kematian ibu dari tahun 1990 sampai dengan 2015 haruslah mencapai 5,5 persen pertahun (antaranews, 2007).
Perdarahan bertanggung jawab atas 28 persen kematian ibu, salah satu penyebab kematian ibu sebagian besar kasus perdarahan dalam masa nifas yang terjadi karena retensio plasenta, sehingga perlu dilakukan upaya penanganan yang baik dan benar yang dapat diwujudkan dengan upaya peningkatan ketrampilan tenaga kesehatan khususnya dalam pertolongan persalinan, peningkatan manajemen Pelayanan Obstetric Neonatal Emergensi Dasar dan Pelayanan Obstetric Neonatal Emergensi Komprehensif, ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas kesehatan yang merupakan prioritas dalam pembangunan sektor kesehatan guna pencapaian target MDG’s tersebut.
Rentensio plasenta dapat menyebabkan perdarahan, perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%-60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia. Berdasarkan data kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan pasca persalinan di Indonesia adalah sebesar 43%. Menurut WHO
dilaporkan bahwa 15-20% kematian ibu karena retensio plasenta dan insidennya adalah 0,8-1,2% untuk setiap kelahiran. Dibandingkan dengan resiko-resiko lain dari ibu bersalin, perdarahan post partum dimana retensio plasenta salah satu penyebabnya dapat mengancam jiwa dimana ibu dengan perdarahan yang hebat akan cepat meninggal jika tidak mendapat perawatan medis yang tepat (PATH, 2002).
Data WHO menunjukkan sebanyak 99 persen kematian ibu akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negara-negara berkembang. Rasio kematian ibu di negara-negara berkembang merupakan yang tertinggi dengan 450 kematian ibu per 100 ribu kelahiran bayi hidup jika dibandingkan dengan rasio kematian ibu di sembilan negara maju dan 51 negara persemakmuran (WHO, 2010).
Angka Kematian Ibu di Indonesia masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN. Berdasarkan data WHO untuk tahun 2010 Rasio kematian ibu (MMR) selama kehamilan dan melahirkan atau dalam 42 hari setelah melahirkan, per 100.000 kelahiran hidup untuk negara Indonesia sebesar berkisar antara 140-380/100.000 kelahiran hidup sedangkan untuk sesama negara ASEAN seperti Thailand berkisar antara 32-36/100.000 Kelahiran Hidup dan Malaysia 14-68/100.000 kelahiran hidup. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2007 menyebutkan bahwa AKI di Indonesia untuk periode lima tahun sebelum survei (2003-2007) sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2009).
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. KONSEP TEORITIS RETENSIO PLASENTA
1. Defenisi Retensio plasenta
Istilah retensio plasenta dipergunakan jika plasenta belum lahir ½ jam sesudah anak lahir. (Sastrawinata, 2008:174)
Pengertian tersebut juga dikuatkan oleh Winkjosastro (2006:656) yang menyebutkan retensio plasenta adalah apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir.
Retensio plasenta adalah belum lepasnya plasenta dengan melebihi waktu setengah jam. Keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera. Bila retensio plasenta tidak diikuti perdarahan maka perlu diperhatikan ada kemungkinan terjadi plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta. (Manuaba (2006:176).
Plasenta inkarserata artinya plasenta telah lepas tetapi tertinggal dalam uterus karena terjadi kontraksi di bagian bawah uterus atau uteri sehingga plasenta tertahan di dalam uterus. (Manuaba (2006:176).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa retensio plasenta ialah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin lahir, keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera.
Jenis-jenis retensio plasenta:
a) Plasenta Adhesive : Implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis
b) Plasenta Akreta : Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
c) Plasenta Inkreta : Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
d) Plasenta Prekreta : Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan serosa dinding uterus hingga ke peritonium
e) Plasenta Inkarserata : Tertahannya plasenta di dalam kavum uteri disebabkan oleh konstriksi ostium uteri. (Sarwono, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002:178).
Perdarahan hanya terjadi pada plasenta yang sebagian atau seluruhnya telah lepas dari dinding rahim. Banyak atau sedikitnya perdarahan tergantung luasnya bagian plasenta yang telah lepas dan dapat timbul perdarahan. Melalui periksa dalam atau tarikan pada tali pusat dapat diketahui apakah plasenta sudah lepas atau belum dan bila lebih dari 30 menit maka kita dapat melakukan plasenta manual.
Retensio plasenta merupakan plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta (rest placenta) merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (Early Postpartum Hemorrhage) atau perdarahan post partum lambat (Late Postpartum Hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan.
2. Etiologi Retensio Plasenta
Penyebab Retentio Plasenta menurut Sastrawinata (2006:174) adalah:
a. Fungsional:
1) His kurang kuat (penyebab terpenting)
2) Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba); bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di atas disebut plasenta adhesive.
b. Patologi – anatomi:
1) Plasenta akreta
2) Plasenta inkreta
3) Plasenta perkreta
Sebab-sebabnya plasenta belum lahir bisa oleh karena:
a) Plasenta belum lepas dari dinding uterus
b) Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan; jika lepas sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva), plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua sampai miometrium- sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta).
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).
Menurut Manuaba (2006:301) kejadian retensio plasenta berkaitan dengan:
a) Grandemultipara dengan implantasi plasenta dalam bentuk plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta, dan plasenta perkreta
b) Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan
Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan:
a. Darah penderita terlalu banyak hilang
b. Keseimbangan baru berbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak terjadi
c. Kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam
Plasenta manual dengan segera dilakukan :
a. Terdapat riwayat perdarahan postpartum berulang
b. Terjadi perdarahan postpartum berulang
c. Pada pertolongan persalinan dengan narkosa
d. Plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam
3. Anatomi
Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15 sampai 20 cm dan tebal lebih kurang 2.5 cm. Beratnya rata-rata 500 gram. Tali pusat berhubungan dengan plasenta biasanya di tengah (insertio sentralis).
Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih kurang 16 minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh kavum uteri. Bila diteliti benar, maka plasenta sebenarnya berasal dari sebagian besar dari bagian janin, yaitu vili koriales yang berasal dari korion, dan sebagian kecil dari bagian ibu yang berasal dari desidua basalis.
Darah ibu yang berada di ruang interviller berasal dari spiral arteries yang berada di desidua basalis. Pada sistole darah disemprotkan dengan tekanan 70-80 mmHg seperti air mancur ke dalam ruang interviller sampai mencapai chorionic plate, pangkal dari kotiledon-kotiledon janin. Darah tersebut membasahi semua vili koriales dan kembali perlahan-lahan dengan tekanan 8 mmHg ke vena-vena di desidua.
Plasenta berfungsi sebagai alat yang memberi makanan pada janin, mengeluarkan sisa metabolisme janin, memberi zat asam dan mengeluarkan CO2, membentuk hormon, serta penyalur berbagai antibodi ke janin.
4. Jenis Dari Retensio Plasenta
Jenis dari retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2002)
Jenis retensio plasenta :
a) Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miomentrium.
c) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/memasuki miomentrium.
d) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e) Plasenta inkaserata adalah tertahannya plasenta didalam kavum uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.
5. Patogenesis
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat otot miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1) Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2) Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3) Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
4) Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya. Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada semburan darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang. Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina.
Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala IV. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan secara bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta:
Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus, kontraksi yang kuat dari uterus, serta pembentukan constriction ring. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa dan adanya plasenta akreta. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.
6. Gejala Klinis
a. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
b. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
Tanda Dan Gejala Retensio Plasenta
1. Plasenta Akreta Parsial / Separasi
a. Konsistensi uterus kenyal
b. TFU setinggi pusat
c. Bentuk uterus discoid
d. Perdarahan sedang – banyak
e. Tali pusat terjulur sebagian
f. Ostium uteri terbuka
g. Separasi plasenta lepas sebagian
h. Syok sering
2. Plasenta Inkarserata
a. Konsistensi uterus keras
b. TFU 2 jari bawah pusat
c. Bentuk uterus globular
d. Perdarahan sedang
e. Tali pusat terjulur
f. Ostium uteri terbuka
g. Separasi plasenta sudah lepas
h. Syok jarang
3. Plasenta Akreta
a. Konsistensi uterus cukup
b. TFU setinggi pusat
c. Bentuk uterus discoid
d. Perdarahan sedikit / tidak ada
e. Tali pusat tidak terjulur
f. Ostium uteri terbuka
g. Separasi plasenta melekat seluruhnya
h. Syok jarang sekali, kecuali akibat inversio oleh tarikan kuat pada tali pusat.
(Prawirohardjo, S. 2002 : 178)
7. Pemeriksaan Penunjang
a) Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
b) Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung Protrombin Time (PT) dan Activated Partial Tromboplastin Time (APTT) atau yang sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain.
8. Diagnosa Banding
Meliputi plasenta akreta, suatu plasenta abnormal yang melekat pada miometrium tanpa garis pembelahan fisiologis melalui garis spons desidua.
9. Penatalaksanaan
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:
a. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
b. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
c. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
d. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
e. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuretage sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
f. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
g. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi sekunder. (Sulisetiya.blogspot.com/2010/03).
10. Komplikasi
Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya:
1. Perdarahan
Terjadi terlebih lagi bila retensio plasenta yang terdapat sedikit perlepasan hingga kontraksi memompa darah tetapi bagian yang melekat membuat luka tidak menutup.
2. Infeksi
Karena sebagai benda mati yang tertinggal di dalam rahim meningkatkan pertumbuhan bakteri dibantu dengan port d’entre dari tempat perlekatan plasenta.
3. Dapat terjadi plasenta inkarserata dimana plasenta melekat terus sedangkan kontraksi pada ostium baik hingga yang terjadi.
4. Terjadi polip plasenta sebagai massa proliferative yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis Dengan masuknya mutagen, perlukaan yang semula fisiologik dapat berubah menjadi patologik (displastik-diskariotik) dan akhirnya menjadi karsinoma invasif. Sekali menjadi mikro invasive atau invasive, proses keganasan akan berjalan terus.
Sel ini tampak abnormal tetapi tidak ganas. Para ilmuwan yakin bahwa beberapa perubahan abnormal pada sel-sel ini merupakan langkah awal dari serangkaian perubahan yang berjalan lambat, yang beberapa tahun kemudian bisa menyebabkan kanker. Karena itu beberapa perubahan abnormal merupakan keadaan prekanker, yang bisa berubah menjadi kanker.
5. Syok haemoragik
11. Terapi
Bila tidak terjadi perdarahan : perbaiki keadaan umum penderita bila perlu misal: infus atau transfusi, pemberian antibiotika, pemberian antipiretika, pemberian ATS. Kemudian dibantu dengan mengosongkan kandung kemih. Lanjutkan memeriksa apakah telah terjadi pemisahan plasenta dengan cara Klein, Kustner atau Strassman.
Bila terjadi perdarahan: lepaskan plasenta secara manual, jika plasenta dengan pengeluaran manual tidak lengkap dapat disusul dengan upaya kuretase. Bila plasenta tidak dapat dilepaskan dari rahim, misal plasenta increta/percreta, lakukan hysterectomia.
Cara untuk melahirkan plasenta:
a. Dicoba mengeluarkan plasenta dengan cara normal : Tangan kanan penolong meregangkan tali pusat sedang tangan yang lain mendorong ringan.
b. Pengeluaran plasenta secara manual (dengan narkose)
Melahirkan plasenta dengan cara memasukkan tangan penolong kedalam cavum uteri, melepaskan plasenta dari insertio dan mengeluarkanya.
c. Bila ostium uteri sudah demikian sempitnya, sehingga dengan narkose yang dalam pun tangan tak dapat masuk, maka dapat dilakukan hysterectomia untuk melahirkan plasentanya.
MANUAL PLASENTA
Manual Plasenta merupakan tindakan operasi kebidanan untuk melahirkan retensio plasenta. Teknik operasi manual plasenta tidaklah sukar, tetapi harus diperkirakan bagaimana persiapkan agar tindakan tersebut dapat menyelamatkan jiwa penderita.
Manual Plasenta dalam keadaan darurat dengan indikasi perdarahan di atas 400 cc dan terjadi retensio plasenta (setelah menunggu ½ jam). Seandainya masih terdapat kesempatan penderita retensio plasenta kdapat dikirim ke puskesmas atau rumah sakit sehingga mendapat pertolongan yang adekuat.
Dalam melakukan rujukan penderita dilakukan persiapan dengan memasang infuse dan memberikan cairan dan dalam persalinan diikuti oleh tenaga yang dapat memberikan pertolongan darurat.
Prosedur Plasenta Manual
Keadaan umum penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus NaCl atau Ringer Laktat.
Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan memberikan suntikan diazepam 10 mg intramuskular. Anestesi ini berguna untuk mengatasi rasa nyeri.
Langkah klinik
1. Persetujuan Tindakan Manual Plasenta
Persetujuan diberikan setelah pasien diberikan penjelasan yang lengkap dan objektif tentang diagnosis penyakit, upaya penyembuhan, tujuan dan pilihan tindakan yang akan dilakukan.
2. Persiapan Sebelum Tindakan
a. Pasien
1). Cairan dan selang infuse sudah terpasang. Perut bawah dan lipat paha sudah dibersihkan.
2) Uji fungsi dan kelengkapan peralatan resusitasi
3) Siapkan kain alas bokong, sarung kaki dan penutup perut bawah
4) Medikamentosa
a) Analgetika (Phetidin 1-2 mg/kg BB, Ketamin Hcl 0,5 mg/kg BBT, Tramadol 1-2 mg/kg BB)
b) Analgesik suppositoria Tramadol hidroklorida 100 mg untuk perawatan nyeri akut berat setelah tindakan.
c) Sedative (Diazepam 10 mg)
d) Atropine Sulfas 0,25-0,55 mg/ml
e) Uteretonika (Oksitosin,Ergometrin, Prostaglandin)
f) Cairan NaCl 0,9% dan RL
g) Infuse Set
h) Larutan Antiseptik (Povidon Iodin 10%)
i) Oksigen dengan regulator
b. Penolong
1) Baju kamar tindakan, pelapis plastic, masker dan kaca mata : 3 set
2) Sarung tangan DTT/steril : sebaiknya sarung tangan panjang
3) Alas kaki (sepatu boot karet) : 3 pasang
d. Instrument
1) Kocher: 2, Spuit 5 ml dan jarum suntik no 23G
2) Mangkok tempat plasenta : 1
3) Kateter karet dan urine bag : 1
4) Benang kromk 2/0 : 1 rol
5) Partus set
3. Pencegahan Infeksi Sebelum Tindakan
Sebelum melakukan tindakan sebaiknya mencuci tangan terlebih dahulu dengan sabun dan air yang mengalir untuk mencegah infeksi. Mengeringkan tangan dengan handuk bersih lalu pasang sarung tangan DTT/steril.
4. Tindakan Manual Plasenta
Penetrasi Ke Kavum Uteri
a. Intruksikan asisten untuk memberikan sedatif dan analgetik melalui karet infuse.
b. Sebelum mengerjakan manual plasenta, penderita disiapkan pada posisi litotomi.
c. Operator berdiri atau duduk dihadapan vulva dengan salah satu tangannya (tangan kiri) meregang tali pusat, tangan yang lain (tangan kanan) dengan jari-jari dikuncupkan membentuk kerucut
d. Lakukan kateterisasi kandung kemih.
· Pastikan kateter masuk kedalam kandung kemih dengan benar
· Cabut kateter setelah kandung kemih dikosongkan.
e. Jepit tali pusat dengan kocher kemudian tegakan tali pusat sejajar lantai.
f. Secara obstetrik masukkan satu tangan (punggung tangan ke bawah) kedalam vagina dengan menelusuri tali pusat bagian bawah.
g. Setelah tangan mencapai pembukaan serviks, minta asisten untuk memegang kocher kemudian tangan lain penolong menahan fundus uteri.
h. Sambil menahan fundus uteri, masukan tangan ke dalam kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.
i. Buka tangan obstetric menjadi seperti memberi salam (ibu jari merapat ke pangkal jari telunjuk).
Meregang tali pusat dengan jari-jari membentuk kerucut dengan ujung jari menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika pada waktu melewati serviks dijumpai tahanan dari lingkaran kekejangan (constrition ring), ini dapat diatasi dengan mengembangkan secara perlahan-lahan jari tangan yang membentuk kerucut tadi. Sementara itu, tangan kiri diletakkan di atas fundus uteri dari luar dinding perut ibu sambil menahan atau mendorong fundus itu ke bawah. Setelah tangan yang di dalam sampai ke plasenta, telusurilah permukaan fetalnya ke arah pinggir plasenta. Pada perdarahan kala tiga, biasanya telah ada bagian pinggir plasenta yang terlepas.
Melepas Plasenta dari Dinding Uterus
a. Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah
· Bila berada di belakang, tali pusat tetap di sebelah atas. Bila dibagian depan, pindahkan tangan ke bagian depan tal pusat dengan punggung tangan menghadap ke atas.
· Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari tempat implantasinya dengan jalan menyelipkan ujung jari di antara plasenta dan dinding uterus, dengan punggung tangan mengahadap ke dinding dalam uterus.
· Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang sama (dinding tangan pada dinding kavun uteri) tetapi tali pusat berada di bawah telapak tangan kanan.
b. Kemudian gerakan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke cranial sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan.
Ujung jari menelusuri tali pusat, tangan kiri diletakkan di atas fundus
Melalui celah tersebut, selipkan bagian ulnar dari tangan yang berada di dalam antara dinding uterus dengan bagian plasenta yang telah terlepas itu. Dengan gerakan tangan seperti mengikis air, plasenta dapat dilepaskan seluruhnya (kalau mungkin), sementara tangan yang di luar tetap menahan fundus uteri supaya jangan ikut terdorong ke atas. Dengan demikian, kejadian robekan uterus (perforasi) dapat dihindarkan
Catatan : Sambil melakukan tindakan, perhatikan keadaan ibu lakukan penanganan yanng sesuai bila terjadi penyulit.
Mengeluarkan Plasenta :
a. Sementara satu tangan masih berada di kavum uteri, lakukan eksplorasi ulangan untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada dinding uterus.
b. Pindahkan tangan luar ke supra simfisis untuk menahan uterus
c. Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk menarik tali pusat sambil tangan di dalam Menarik plasenta ke luar (hindari percikan darah), letakkan plasenta ke dalam tempat yang telah disediakan. Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan tangan luar) ke dorsokranial setelah plasenta lahir.
Setelah plasenta berhasil dikeluarkan, lakukan eksplorasi untuk mengetahui kalau ada bagian dinding uterus yang sobek atau bagian plasenta yang tersisa. Pada waktu ekplorasi sebaiknya sarung tangan diganti yang baru. Setelah plasenta keluar, gunakan kedua tangan untuk memeriksanya, segera berikan uterotonik (oksitosin) satu ampul intramuskular, dan lakukan masase uterus. Lakukan inspeksi dengan spekulum untuk mengetahui ada tidaknya laserasi pada vagina atau serviks dan apabila ditemukan segera di jahit. Jika setelah plasenta dikeluarkan masih terjadi perdarahan karena atonia uteri maka dilakukan kompresi bimanual sambil mengambil tindakan lain untuk menghetikan perdarahan dan memperbaiki keadaan ibu bila perlu.
Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi sekunder.
5. Dekontaminasi Pasca Tindakan Alat-alat yang digunakan untuk menolong di dekontaminasi, termasuk sarung tangan yang telah di gunakan penolong ke dalam larutan antiseptic
6. Cuci Tangan Pascatindakan Mencuci kedua tangan setelah tindakan untuk mencegah infeksi.
7. Perawatan Pascatindakan
a. Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan instruksi apabila masih diperlukan.
b. Catat kondisi pasien dan buat laporan tindakan di dalam kolom yang tersedia.
c. Buat instruksi pengobatan lanjutan dan hal-hal penting untuk dipantau.
d. Beritahukan pada pasien dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai tetapi pasien masih memerlukan perawatan. Jelaskan pada petugas tentang perawatan apa yang masih diperlukan, lama perawatan dan apa yang perlu dilaporkan (Di Rumah Sakit).
B. KONSEP DASAR MANAJEMEN KEBIDANAN
Manajemen kebidanan adalah suatu metode proses berfikir logis sistematis. Oleh karena itu manajemen kebidanan merupakan alur fikir bagi seorang bidan dan memberikan arah/kerangka dalam mengenai kasus yang menjadi tanggung jawabnya.
Pengertian manajemen menurut beberapa sumber:
a. Menurut buku 50 tahun IBI, 2007
Manajemen kebidanan adalah pendekatan yang dilakukan oleh bidan dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis mulai dari pengkajian, analisa data, diagnosa kebidanan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
b. Menurut Depkes RI, 2005
Manajemen kebidanan adalah metode dan pendekatan pemecahan masalah ibu dan anak yang khusus dilakuakan oleh bidan dalam memberikan asuhan kebidanan kepada individu, keluarga dan masyarakat.
c. Menurut Helen Varney (1997)
Manajemen kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai metode untuk mengorganisasiakan pikiran dan tindakan berdasarkan teori ilmiah, penemuan-penemuan, keterampilan dalam rangkaian/ tahapan yang logis dalam pengambilan keputusan berfokus kepada klien.
Menurut Hellen Varney, ia mengembangkan proses manajemen kebidanan ini dari 5 loangakah menjadi 7 langkah yaitu mulai dari pengumpulan data sampai dengan evaluasi.
Bidan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam asuhan yang mandiri, kolaborasi dan melakukan rujukan yang tepat. Oleh karena itu bidan dituntut untuk mampu mendeteksi dini tanda dan gejala komplikasi kehamilan, memberikan pertolongan kegawatdaruratan kebidanan perinatal dan merujuk kasus.
Praktek kebidanan telah mengalami perluasan peran dan fungsi dari fokus terhadap ibu hamil, bersalin, nifas, bayi baru lahir serta anak balita bergeser kepada upaya mengantisipasi tuntutan kebutuhan masyarakat yang dinamis yaitu menuju kepada pelayanan kesehatan reproduksi sejak konsepsi hingga usia lanjut, meliputi konseling prekonsepsi, persalinan, pelayanan ginekologis, kontrasepsi, asuhan pre dan post menopouse, sehingga hal ini merupakan suatu tantangan bagi bidan.
Langkah-langkah:
I. Mengumpulkan semua data yang dibutuhkan untuk menilai keadaan klien secara keseluruhan.
II. Menginterpretasikan data untuk mengidentifikasi diagnosa atau masalah.
III. Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial dan mengantisipasi penanganannya.
IV. Menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera, konsultasi, kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain serta rujukan berdasarkan kondisi klien.
V. Menyusun rencana asuhan secara menyeluruh dengan tepat dan rasional berdasarkan keputusan yang dibuat pada langkah-langkah sebelumnya.
VI. Pelaksanaan langsung asuhan secara efisien dan aman.
VII. Mengevaluasi keefektifan asuhan yang diberikan dengan mengulang kembali manajemen proses untuk aspek-aspek asuhan yang tidak efektif.
Langkah-langkah dalam penatalaksnaan pada dasarnya jelas, akan tetapi dalam pembahasan singkat mengenai langkah-langkah tersebut mungkin akan lebih memperjelas proses pemikiran dalam proses klinis yang berorientasi pada langkah ini. Penulis membatasi hanya pada kasus “RETENSIO PLASENTA”.
Ketujuh langkah tersebut adalah:
Langkah I : Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data, mengelompokkan data dan mengenalisa data sehingga dapat diketahui masalah dan keadaan klien. Pada langkah ini dikumpulkan semua informasi yang akurat dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien. Data – data yang dikumpulkan meliputi :
A. Data Subyektif
1. Biodata atau identitas klien dan suami.
Yang perlu dikaji : nama, umur, pendidikan, pekerjaan, agama, suku bangsa, status perkawinan, penghasilan, alamat. Hal ini dikaji untuk mempermudah menghubungi keluarga terdekat bila dibutuhkan, mencegah kekeliruan antar sesama klien dan untuk mengetahui sosial ekonomi klien.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan oleh klien sehingga menyebabkan timbulnya gangguan pada dirinya. Pada pasien dengan retensio plasenta ada 2 keluhan yaitu :
a. pasien dengan retensio plasenta tanpa perdarahan
Klien mengatakan telah melahirkan anak ke ….. pada tanggal ….., jam….., jenis kelamin….. lahir normal. BB….. gram. Ari – ari belum keluar dari kemaluan setelah…… menit. Perut tidak merasa mules dan keluar darah merembes sedikit – sedikit.
b. pasien retensio plasenta dengan perdarahan
Ibu mengatakan telah melahirkan 30 menit yang lalu dan plasenta belum lahir, keluar darah banyak sesudah melahirkan.
3. Riwayat Menstruasi
Dikaji untuk mendapatkan data reproduksi klien meliputi : menarche, HPHT, siklus haid, lama haid dan disminorhoe. Dari data tersebut didapatkan status reproduksinya baik/ada kelainan.
4. Riwayat Kehamilan, Persalinan dan Nifas Yang Lalu
Dikaji untuk mengetahui jumlah paritas, cara persalinan, penolong persalinan, penyulit yang menyertai persalinan dan nifas yang lalu, jumlah anak yang hidup, jumlah anak yang mati/keguguran, jenis kelamin, BB, PB dan lama menyusui.
5. Riwayat Kehamilan Sekarang
Dikaji untuk mengetahui berapa kali ibu melakukan ANC dan telah mendapatkan berapa kali suntikan TT.
6. Riwayat Persalinan Sekarang
Dikaji untuk mengetahui cara persalinan, penolong persalinan, lama persalinan, penyulit yang menyertai persalinan, serta lamanya persalinan pada kala III plasenta belum lahir sampai dengan 30 menit setelah bayi lahir dan teraba kontraksi uterus yang lembek dan pada masalah plasenta yang belum keluar biasanya disertai :
· perdarahan yang lebih dari 500 cc
· ada juga yang tidak disertai perdarahan
7. Riwayat kesehatan.
- Riwayat kesehatan yang lalu ; kemungkinan klien pernah mengalami penyakit jantung, hipertensi, DM dan mengalami operasi dinding rahim.
- Riwayat kesehatan sekarang; kemungkinan klien sedang menderita penyakit jantung , hipertensi, DM, dan penyakit lainnya.
8. Riwayat KB
Dikaji untuk mengetahui kontrasepsi yang sudah dipakai dan rencana kontrasepsi yang digunakan selanjutnya.
9. Riwayat seksualitas
Kemungkinan klien mengalami dispareunia, friogid, apakah aktivitasnya normal atau ada gangguan .
10. Riwayat sosial ekonomi dan budaya.
Kemungkinan hubungan klien dengan suami, keluarga dan masyarakat baik, kemungkinan ekonomi yang mencukupi, adanya kebudayaan klien yang mempengaruhi kesehatan kehamilan dan persalinannya.
11. Riwayat spiritual
Kemungkinan klien melakukan ibadah agama dan kepercayaanya dengan baik.
12. Riwayat Psikologi
Dikaji untuk mengetahui status emosional ibu :
· Kecemasan
· ketakutan
· kekhawatiran dengan masalah yang dihadapinya.
13. Pola Kehidupan sehari-hari.
1) Pola nutrisi
Dikaji untuk mengetahui jenis dan macam makanan yang di konsumsi, jumlahnya dan frekuensinya.
2) Pola aktivitas
Dikaji untuk mengetahui jenis aktivitas yang dilakukan sehari-hari.
3) Pola istirahat
Dikaji untuk mengetahui apakah ibu cukup istirahat. Normalnya ibu waktu hamil istirahat 6-8 jam dalam sehari.
4) Pola eliminasi
Dikaji untuk mengetahui apakah proses eliminasi biu sehari-hari lancar, dan bagaimana frekuensi konsistensi dan warnanya.
B. Data Objektif
1. Pemeriksaan tanda vital
Pemeriksaan tanda vital dilakukan setiap kali dibutuhkan berdasarkan keadaan klien.
Pemeriksaan tanda vital berfungsi sebagai pemantau keadaan klien yang mudah berubah bila terjadi gangguan pada fungsi organ.
Pemeriksaan tanda vital pada pasien dengan Retensio Plasenta :
a. Pemeriksaan tanda vital pada pasien Retensio Plasenta yang disertai perdarahan :
· Nadi cepat →110 x/menit atau lebih
· Pernapasan cepat → 30 x/menit atau lebih
· Muka tampak pucat, kulit basah
· Tekanan darah turun → sistole < 90 mmHg
· Hb 8 gr % atau lebih
· produksi urin < 30 cc/jam
b. Pemeriksaan tanda vital pada pasien Retensio Plasenta tidak ada perdarahan :
· Nadi cepat → 110 x/menit atau lebih
· Pernapasan cepat → 30 x/menit atau lebih
· Muka tidak pucat
· Tekanan darah naik → sistole > 90 mmHg
· Hb 10 gr % atau lebih
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan sebagai data penunjang terhadap data yang digunakan untuk mencari masalah pemeriksaan fisik yang didapat akibat retensio plasenta
a. Muka : keluar keringat dingin tampak pucat
b. Mata : konjungtiva pucat
c. Mulut : bibir pucat, lidah pucat
d. Perut :
- TFU setinggi pusat atau lebih
- kontraksi uterus lembek
e. Genetalia :
- tampak tali pusat menjulur
- disertai perdarahan lebih dari 500 cc
- tidak disertai perdarahan
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang digunakan untuk memastikan diagnosa yang telah ditegakkan dan digunakan untuk mencari penyebab timbulnya masalah,
- Pemeriksaan Hb, didapatkan Hb kurang dari 11 gr %
- Pemeriksaaan darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
Langkah II : Interpretasi Data Dasar
Pada langkah ini dikukan idntifikasi yang benar terhadap masalh atau diagnosa dann kebutuhann klien berdasarkan interpretasi yang benar atas data – data yang te;ah dikumpulkan. Data dasar yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan sehingga ditemukan maslah atu diagnosa yang spesifik. Kata masalah dan diagnosa keduanya digunakan karena beberapa masalah tidak dapat diselesaikan seprti diagnosa tapi membutuhkan penangann yang dituangkan dalam sebuah rencana asuhana terhadpa klien. Masalh ini sering menyertaidiagnosa. Diagnosa yang ditegakkan dalam klingkup praktek kebidanan harus memenuhi standar nomenklatur diagnosa kebidanan, yaitu :
1. Diakui dan telah disahkan oleh profesi.
2. Berhubungn langsung dengan praktek kebidanan
3. Memilki ciri khas kebidanan
4. Dapat diselesaikan dengan pendekatan manajemen kebidanan
5. Didukung oleh Clinical Judgement dalam lingkup prktek kebidanan.
Berdasarkan kasus ini, maka kemungkinan interpretasi data yang timbul dikhususkan pada kala III adalah :
1. Diagnosa Kebidanan
Ibu Parturient kala III dengan retensio plasenta
Dasar :
a. Data Subjektif :
- pasien dengan retensio plasenta tanpa perdarahan
· Klien mengatakan telah melahirkan anak ke… pada tanggal…, jam..., jenis kelamin…, lahir normal. BB….. gram.
· Ari – ari belum keluar dari kemaluan setelah… menit.
· Perut tidak merasa mules dan keluar darah merembes sedikit – sedikit.
- pasien retensio plasenta dengan perdarahan
Ibu mengatakan telah melahirkan 30 menit yang lalu dan plasenta belum lahir, keluar darah banyak sesudah melahirkan.
b. Data Obyektif : Genetalia tampak tali pusat menjulur dan tidak disertai perdarahan atau perdarahan lebih dari 500 cc.
2. Masalah
Kemungkinan masalah yang timbul adalah kcemasan
Dasar : plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan
3. Kebutuhan
1) Dukungan psikologi
Dasar : plasenta belum lahir setengah jam setelah anak lahir
2) Rasa nyaman
Dasar : Ibu dalam Proses Persalinan
Langkah III : Mengidentifikasi Diagnosa dan Masalah potensial
Pada langkah ini kita mengidentifikasi masalah atau diagnosa potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa yang sudah diidentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan pencegahan sambil mengamati klien, bidan diharapkan dapat bersiap – siap bila diagnosa atau masalah potensial ini benar – benar terjadi. Kemungkinan diagnosa atau masalh potensial yang timbul:
4. Potensial Syok Hipovolemik
Data Pendukung
- Data subyektif : klien mengatakan keluar darah banyak setelah bayi lahir, kepala pusing, mata berkurang-kunang, badan keringatan.
- Data Obyektif : tensi sistole kurang dari 100 mmHg, nadi lebih dari 100x/menit, muka keringatan, kontraksi uterus lembek dan genetalia keluar darah lebih dari 500 cc, akral teraba dingin
2. Potensial Anemia
Data Pendukung
- Data subyektif : klien mengatakan pusing, mata berkunang-kunang.
- Data Obyektif : muka pucat, conjungtiva pucat, bibir pucat, keluar darah lebih dari 500 cc, Hb kurang dari 11 gr %.
Langkah IV : Identifikasi Kebutuhan Yang Memerlukan Penanganan Segera
Pada langkah ini bidan menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera, melakukan kontribusi, kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain berdasarkan kondisi klien. Pada langkah ini, mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter dan untuk dikonsultasikan atau
ditangani bersama dengan anggota tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien. (Varney, 2008). Kemungkinan tindakan segera pada kasus retensio plasenta antara lain :
- Pemasangan infus RL 20 tts/menit
- Kosongkan kandung kemih
- Kolaborasi dengan dokter ahli kebidanan (SPOG) dan segera rujuk ke rumah sakit
Langkah V: Merencanakan Asuhan Yang menyeluruh
Penyusunan perencanaan asuhan kebidanan pada ibu bersalin dengan retensio plasenta telah sesuai dengan langkah Varney yang mengungkapkan, langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh yang ditentukan berdasarkan langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan manajeman terhadap masalah atau diagnosis yang telah diidentifikasi dan diantisipasi. Pada langkah ini informasi data yang tidak lengkap dapat dilengkapi. Perencanaan tindakan yang mungkin dilakukan adalah :
1. Informasikan keadaan ibu dan hasil pemeriksaan
Rasional : ibu mengetahui keadaan dan tindakan yang dilakukan bidan untuk mengatasi retensio plasenta
2. Berikan support atau dukungan pada ibu
Rasional : dengan diberikan dukungan dapat memberikan semangat dan senantiasa berdoa demi kelancaran proses persalinan
3. Berikan infus dari cairan isotonik / elektronik dengan kateter 18g
Rasional : dengan diberikan cairan isotonik / elektronik dapat meningkatkan volume sirkulasi secara cepat dan dapat menyelamatkan kehidupan pasien.
4. Bantu dengan prosedur sesuai indikasi yaitu separasi manual dan penglepasan plasenta
Rasional : dengan melakukan separasi plasenta, uterus dapat berkontraksi dengan baik dan perdarahan dapat dihentikan.
5. Berikan obat-obatan sesuai indikasi : oksitosin, metilergonovin malet
Rasional : dengan pemberian obat-obatan dapat membantu meningkatkan kontraksi uterus, sehingga memudahkan plasenta lepas.
6. Observasi TTV : hipotensi, takikardi, perlambatan pengisisan kapiler, sianosis dasar kaku, membran mukosa dan bibir
Rasional : Dengan melakukan observasi TTV kita dapat mengetahui keadaan syok / tidak.
7. Observasi intake dan output
Rasional : dengan melakukan observasi intake dan output, kita dapat mengetahui seberapa besar pasien kehilangan dan membutuhkan cairan
8. Plasenta keluar dalam waktu 15 menit dari mulai tindakan dilakukan.
Rasional : dengan plasenta keluar perdarahan dapat segera berhenti dan kontraksi uterus membaik.
9. Pemeriksaan laboratorium Hb ulang
Rasional : dengan pemeriksaan lab Hb ulang, kita dapat mengetahui kadar Hb pasien normal atau tidak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Retensio plasenta adalah belum lepasnya plasenta dengan melebihi waktu setengah jam. Keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera. Rentensio plasenta dapat menyebabkan perdarahan, perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%-60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia.
B. Saran
Dalam penulisan dan penyusunan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat diperlukan demi kesempurnaan makalah yang penulis susunan ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://ilmu-pasti-pengungkap-kebenaran.blogspot.com/2011/11/asuhan-kebidanan-patologis-pada.html#ixzz1qba0lbgh
2. Prawirohardjo, S. 2000. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
3. Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
4. Sulisetiya.blogspot.com/2010/03
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perdarahan pascapersalinan adalah kehilangan darah lebih dari 500 ml melalui jalan lahir yang terjadi selama atau setelah persalinan kala III. Perkiraan kehilangan darah biasanya tidak sebanyak yang sebenarnya, kadang-kadang hanya setengah dari yang sebenarnya. Darah tersebut tercampur dengan cairan amnion atau dengan urin. Darah juga tersebar pada spons, handuk, dan kain, di dalam ember dan di lantai. Volume darah yang hilang juga bervariasi akibatnya sesuai dengan kadar hemoglobin ibu. Seseorang ibu dengan kadar hemoglobin normal akan dapat menyesuaikan diri terhadap kehilangan darah yang akan berakibat fatal pada yang anemia.
Perdarahan pascapersalinan adalah sebab penting kematian ibu; ¼ kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan (perdarahan pascapersalinan, placenta previa, solutio plasenta, kehamilan ektopik, abortus, dan ruptura uteri) disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan. Selain itu, pada keadaan dimana perdarahan pascapersalinan tidak mengakibatkan kematian, kejadian ini sangat mempengaruhi morbiditas nifas karena anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh. Perdarahan pascapersalinan lebih sering terjadi pada ibu-ibu di Indonesia dibandingkan dengan ibu-ibu di luar negeri.
Perdarahan setelah melahirkan atau post partum hemorrhagic (PPH) adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di traktus genitalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya.—Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan. Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit, sehingga sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post partum terlambat sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya mortalitas tinggi. Menurut Depkes RI, kematian ibu di Indonesia (2002) adalah 650 ibu tiap 100.000 kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh perdarahan post partum.
Perdarahan yang disebabkan karena retensio plasenta dapat terjadi karena plasenta lepas sebagian, yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena:
a). Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva);
b).Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua sampai miometrium- sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta).
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta). Sehingga dilakukan tindakan manual plasenta.
Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Mampu memahami secara menyeluruh tentang Manual Plasenta dan cara pengeluaran manual pasenta.
Tujuan khusus
Mampu memahami yang dimaksud dengan manual plasenta.
Mengetahui indikasi manual plasenta
Mengetahui langkah-langkah manual plasenta
TINJAUAN TEORI
Pengertian
Manual plasenta adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat implantasinya pada dinding uterus dan mengeluarkannya dari kavum uteri secara manual yaitu dengan melakukan tindakan invasi dan manipulasi tangan penolong persalinan yang dimasukkan langsung kedalam kavum uteri. Pada umumnya ditunggu sampai 30 menit dalam lahirnya plasenta secara spontan atau dgn tekanan ringan pada fundus uteri yang berkontraksi. Bila setelah 30 mnenit plasenta belum lepas sehingga belum dapat dilahirkan atau jika dalam waktu menunggu terjadi perdarahan yang banyak, pasenta sebaiknya dikeluarkan dengan segera.
Manual plasenta merupakan tindakan operasi kebidanan untuk melahirkan retensio plasenta. Teknik operasi plasenta manual tidaklah sukar, tetapi harus diperkirakan bagaimana persiapkan agar tindakan tersebut dapat menyelamatkan jiwa penderita.
Etiologi
Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak dapat dihentikan dengan uterotonika dan masase, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir dan tali pusat putus.
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oeh gangguan kontraksi uterus.
Manual plasenta dilakukan karena indikasi retensio plasenta yang berkaitan dengan :
Plasenta belum lepas dari dinding uterus dikarenakan:
a) Plasenta adhesive yaitu kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta
b) Plasenta akreta yaitu implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium
c) Plasenta inkreta, yaitu implantasi jonjot korion placenta hingga mencapai/memasuki miometrium
d) Plasenta perkreta, yaitu implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e) Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta didalam kavum uteri yang disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.
Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan dan dapat terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya
Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.
Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan
Darah penderita terlalu banyak hilang,
Keseimbangan baru berbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak terjadi,
Kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam.
Patofisiologi
Manual plasenta dapat segera dilakukan apabila :
Terdapat riwayat perdarahan postpartum berulang.
Terjadi perdarahan postpartum melebihi 400 cc
Pada pertolongan persalinan dengan narkosa.
Plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.
Manual plasenta dalam keadaan darurat dengan indikasi perdarahan di atas 400 cc dan teriadi retensio plasenta (setelah menunggu ½ jam). Seandainya masih terdapat kesempatan penderita retensio plasenta dapat dikirim ke puskesmas atau rumah sakit sehingga mendapat pertolongan yang adekuat.
Dalam melakukan rujukan penderita dilakukan persiapan dengan memasang infuse dan memberikan cairan dan dalam persalinan diikuti oleh tenaga yang dapat memberikan pertolongan darurat.
Tanda dan Gejala Manual Plasenta
Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
Perdarahan yang lama > 400 cc setelah bayi lahir.
Placenta tidak segera lahir > 30 menit.
E. Teknik Manual Plasenta
Untuk mengeluarkan plasenta yang belum lepas jika masih ada waktu dapat mencoba teknik menurut Crede yaitu uterus dimasase perlahan sehingga berkontraksi baik, dan dengan meletakkan 4 jari dibelakang uterus dan ibu jari didepannya, uterus dipencet di antara jari-jari tersebut dengan maksud untuk melepaskan plasenta dari dinding uterus dan menekannya keluar. Tindakan ini tidaklah selalu berhasil dan tidak boleh dilakukan secara kasar.
Sebelum mengerjakan manual plasenta, penderita disiapkan pada posisi litotomi. Keadaan umum penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus NaCl atau Ringer Laktat. Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan memberikan suntikan diazepam 10 mg intramuskular. Anestesi ini berguna untuk mengatasi rasa nyeri. Operator berdiri atau duduk dihadapan vulva dengan salah satu
tangannya (tangan kiri) meregang tali pusat, tangan yang lain (tangan kanan) dengan jari-jari dikuncupkan membentuk kerucut.
Gambar 1. Meregang tali pusat dengan jari-jari membentuk kerucut
Dengan ujung jari menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika pada waktu melewati serviks dijumpai tahanan dari lingkaran kekejangan (constrition ring), ini dapat diatasi dengan mengembangkan secara perlahan-lahan jari tangan yang membentuk kerucut tadi. Sementara itu, tangan kiri diletakkan di atas fundus uteri dari luar dinding perut ibu sambil menahan atau mendorong fundus itu ke bawah. Setelah tangan yang di dalam sampai ke plasenta, telusurilah permukaan fetalnya ke arah pinggir plasenta. Pada perdarahan kala tiga, biasanya telah ada bagian pinggir plasenta yang terlepas.
Gambar 2. Ujung jari menelusuri tali pusat, tangan kiri diletakkan di atas fundus
—Melalui celah tersebut, selipkan bagian ulnar dari tangan yang berada di dalam antara dinding uterus dengan bagian plasenta yang telah terlepas itu. Dengan gerakan tangan seperti mengikis air, plasenta dapat dilepaskan seluruhnya (kalau mungkin), sementara tangan yang di luar tetap menahan fundus uteri supaya jangan ikut terdorong ke atas. Dengan demikian, kejadian robekan uterus (perforasi) dapat dihindarkan.
Gambar 3. Mengeluarkan plasenta
Setelah plasenta berhasil dikeluarkan, lakukan eksplorasi untuk mengetahui kalau ada bagian dinding uterus yang sobek atau bagian plasenta yang tersisa. Pada waktu ekplorasi sebaiknya sarung tangan diganti yang baru. Setelah plasenta keluar, gunakan kedua tangan untuk memeriksanya, segera berikan uterotonik (oksitosin) satu ampul intramuskular, dan lakukan masase uterus. Lakukan inspeksi dengan spekulum untuk mengetahui ada tidaknya laserasi pada vagina atau serviks dan apabila ditemukan segera di jahit.
Jika setelah plasenta dikeluarkan masih terjadi perdarahan karena atonia uteri maka dilakukan kompresi bimanual sambil mengambil tindakan lain untuk menghetikan perdarahan dan memperbaiki keadaan ibu bila perlu.
Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi sekunder.
Komplikasi
Kompikasi dalam pengeluaran plasenta secara manual selain infeksi / komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan, multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi organ dan sepsis, ialah apabila ditemukan plasenta akreta. Dalam hal ini villi korialis menembus desidua dan memasuki miometrium dan tergantung dari dalamnya tembusan itu dibedakan antara plasenta inakreta dan plasenta perkreta. Plasenta dalam hal ini tidak mudah untuk dilepaskan melainkan sepotong demi sepotong dan disertai dengan perdarahan. Jika disadari adanya plasenta akreta sebaiknya usaha untuk mengeluarkan plasenta dengan tangan dihentikan dan segera dilakukan histerektomi dan mengangkat pula sisa-sisa dalam uterus.
PROSEDUR KLINIK MANUAL PLASENTA
Persetujuan Tindakan Medik
Informed consent merupakan perstujuan dari pasien dan keluarga terhadap tindakan medic yang akan dilakukan terhadap dirinya oleh dokter/bidan. Persetujuan diberikan setelah pasien diberikan penjelasan yang lengkap dan objektif tentang diagnosis penyakit, upaya penyembuhan, tujuan dan pilihan tindakan yang akan dilakukan.
Persiapan Sebelum Tindakan
Pasien
Cairan dan selang infuse sudah terpasang. Perut bawah dan lipat paha sudah dibersihkan.
Uji fungsi dan kelengkapan peralatan resusitasi
Siapkan kain alas bokong, sarrung kaki dan penutup perut bawah
Medikamentosa
Analgetika (Phetidin 1-2 mg/kg BB, Ketamin Hcl 0,5 mg/kg BBT, Tramadol 1-2 mg/kg BB)
Sedative (Diazepam 10 mg)
Atropine Sulfas 0,25-0,55 mg/ml
Uteretonika (Oksitosin,Ergometrin, Prostaglandin)
Cairan NaCl 0,9% dan RL
Infuse Set
Larutan Antiseptik (Povidon Iodin 10%)
Oksigen dengan regulator
Penolong
Baju kamar tindakan, pelapis plastic, masker dan kaca mata : 3 set
Sarung tangan DTT/steril : sebaiknya sarung tangan panjang
Alas kaki (sepatu boot karet) : 3 pasang
Instrument
1) Kocher: 2, Spuit 5 ml dan jarum suntik no 23G
2) Mangkok tempat plasenta : 1
3) Kateter karet dan urine bag : 1
4) Benang kromk 2/0 : 1 rol
5) Partus set
Pencegahan Infeksi Sebelum Tindakan
Sebelum melakukan tindakan sebaiknya mencuci tangan terlebih dahulu dengan sabun dan air yang mengalir untuk mencegah infeksi. Mengeringkan tangan dengan handuk bersih lalu pasang sarung tangan DTT/steril.
Tindakan Penetrasi Ke Kavum Uteri
Intruksikan asisten untuk memberikan sedatif dan analgetik melalui karet infuse.
Lakukan kateterisasi kandung kemih.
Pastikan kateter masuk kedalam kandung kemih dengan benar.
Cabut kateter setelah kandung kemih dikosongkan.
Jepit tali pusat dengan kocher kemudian tegakan tali pusat sejajar lantai.
Secara obstetric maukkan satu tangan (punggung tangan ke bawah) kedalam vagina dengan menelusuri tali pusat bagian bawah.
Setelah tangan mencapai pembukaan serviks, minta asisten untuk memegang kocher kemudian tangan lain penolong menahan fundus uteri.
Sambil menahan fundus uteri, masukan tangan ke dalam kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.
Buka tangan obstetric menjadi seperti memberi salam (ibu jari merapat ke pangkal jari telunjuk).
Melepas Plasenta dari Dindig Uterus
Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah
Bila berada di belakang, tali pusat tetap di sebelah atas. Bila dibagian depan, pindahkan tangan ke bagian depan tal pusat dengan punggung tangan menghadap ke atas.
Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari tempat implantasinya dengan jalan menyelipkan ujung jari di antara plasenta dan dinding uterus, dengan punggung tangan mengahadap ke dinding dalam uterus.
Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang sama (dinding tangan pada dinding kavun uteri) tetapi tali pusat berada di bawah telapak tangan kanan.
Kemudian gerakan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke cranial sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan.
Catatan : Sambil melakukan tindakan, perhatikan keadaan ibu (pasien), lakukan penanganan yang sesuai bila terjadi penyuliit.
Mengeluarkan Plasenta
Sementara satu tangan masih berada di kavum uteri, lakukan eksplorasi ulangan untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada dinding uterus.
Pindahkan tangan luar ke supra simfisis untuk menahan uterus pada saat plasenta dikeluarkan.
Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk menarik tali pusat sambil tangan dalam menarik plasenta ke luar (hindari percikan darah).
Letakan plasenta ke dalam tempat yang telah disediakan.
Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan tangan luar) ke dorsokranial setelah plasenta lahir.
v Perhatikan kontraksi uterus dan jumlah perdarahan yang keluar
Dekontaminasi Pasca Tindakan
Alat-alat yang digunakan untuk menolong di dekontaminasi, termasuk sarung tangan yang telah di guanakan penolong ke dalam larutan antiseptic
Cuci Tangan Pascatindakan
Mencuci kedua tangan setelah tindakan untuk mencegah infeksi.
Perawatan Pascatindakan
Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan instruksi apabila masih diperlukan.
Catat kondisi pasien dan buat laporan tindakan d dalam kolom yang tersedia.
Buat instruksi pengobatan lanjutan dan hal-hal penting untuk dipantau.
Beritahukan pada pasien dan keluarganya bahwa tindakan telah seesai tetapi pasien masih memerlukan perawatan.
Jelaskan pada petugas tentang perawatan apa yang masih diperlukan, lama perawatan dan apa yang perlu dilaporkan.(Di Rumah Sakit)
PENUTUP
Kesimpulan
Manual plasenta adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat implantasinya pada dinding uterus dan mengeluarkannya dari kavum uteri secara manual yaitu dengan melakukan tindakan invasi dan manipulasi tangan penolong persalinan yang dimasukkan langsung kedalam kavum uteri.
Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak dapat dihentikan dengan uterotonika dan masase, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir dan tali pusat putus. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan dan dapat terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oeh gangguan kontraksi uterus.
Saran
Masyarakat Luas
Masyarakat maupun ibu-ibu dalam masa kehamilannya, dapat menjaga kesehatan selama hamil dengan maksimal, makan-makanan yang bergizi, konsumsi Fe dan istirahat yang cukup agar selama proses persalinan tidak terjadi kegawatan. Serta mampu memahami alasan dilakukannya manual plasenta apabila plasenta belum lahir > 30 menit setelah bayi lahir dan terjadi perdarahan agar dapat menyelamatkan pasien sesegera mungkin.
Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan harus mengetahui sedini mungkin penyebab plasenta tidak lahir segera setelah bayi lahir, serta melakukan tindakan segera apabila pasien mengalami perdarahan kala III, dan merupakan indikasi untuk dilakukanya manual plasenta dan untuk menurunkan angka kematian ibu.
Sumber : koleksi Mediague.wordpress.com
dikumpulkan oleh RW.Hapsari
PLASENTA MANUAL
PLASENTA MANUAL
Plasenta manual adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat implantasinya pada
dinding uterus dan mengeluarjannya dari cavum uteri secara manual.
Plasenta manual dilaksanakan stelah dilaksanakan manajemen aktif kala III, dimana
setelah 30 menit terlampaui dan telah diberikan oksitosin 10 unit untuk kedua kalinya
plasenta tidak lahir, dengn catatan ada tanda – tanda perdarahan.
Karena jika tidak ada tanda – tanda perdarahan, jangan mencoba untuk melepaskan
plasenta dengan cara lain, dan segera lakukan rujukan.
Langkah – langkah manual plasenta adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Menyususn alat dan bahan secara
berurutan sesuai dengan penggunaan (lternati), dan memeriksa kelengkapan serta meletakkan
pada tempat yang mudah dijangkau.
2. Memberikan penjelasan pada ibu akan tindakan yang akan dilakukan. Dan mengatur posisi
pasien dengan posisi litotomi. Memperhatikan privacy dan kenyamanan ibu.
3. Memberikan sedative (valium / diazepam IV) 10 mg.
4. Mencuci tangan hingga siku, dengan air mengalir, dan sbun, kemudian keringkan.
5. Memakai sarung tangan pada kedua tangan dan mengenakan sarung tangan panjang sampai
siku pada tangan kanan.
6. Membersihkan daerah perineum dan vulva dengan kapas aseptic dan antiseptic, dan
melakukan kateterisasi bila perlu.
7. Menegangkan tali pusat dengan menggunakan klem, tegangkan secara perlahan, sejajar
lantai.
8. Memasukkan tangan kanan ke dalam vagina secara obstetric dengan menyatukan jari tangan
ketika masuk ke dalam vagina, sementara tangan kiri memegang tali pusat, tangan kanan
mneyusur tali pusat hingga lokasi plasenta berada.
9. Melepaskan pegangan tali pusat, dan memindahkan tangan kiri untuk memegang fundus
uteri dari luar untuk membantu uterus berkontraksi.
10. Dengan bagian lateral jari – jari tangan kanan, mencari insersi pinggir plasenta, membuka
tangan obstetric menjadi seperti memberi salam, jari – jari dirapatkan secara perlahan,
gerakan tangan menyisir dengan gerakan ke kanan dan kekiri yang sangat lembut sampai
seluruh plasenta terpisah dari dinding rahim, curigai adanya plasenta akreta. Jika plasenta
sulit dilepaskan, siapkan tindakan bedah, kemudian lakukan masase dari luar dengan tangan
kiri bila plasenta telah lepas seluruhnya.
11. Menarik plasenta secara hati – hati dengan tangan kanan pada waktu uterus berkontraksi.
Dan harus diingat, sebelum mengeluarkan tangan kanan dari jalan lahir, yakinkan tidak ada
sisa plasenta yang tersisa pada cavum uteri / melakukan eksplorasi ulangan untuk
memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih tertinggal.
12. Memindahkan tangan kiri ke supra simfisis untuk menahan uterus pada saat plasenta
dikeluarkan.
13. Memeriksa plasenta setelah dilahirkan, lengkap / tidak. Kontraksi uterus.
14. Memberikan 0,2 mg ergometrin IM untuk membantu kontraksi uterus.
15. Memeriksa ibu dan mmelakukan penjahitan bila ada robekan cerviks atau vagina juga
episiotomi.
16. Melepaskan semua peralatan dan bahan yang terkontaminasi pada kom yang berisi klorin
0,5%
17. melepaskan sarung tangan secara terbalik dan rendam dalam wadah larutan klorin 0,5%.
18. Mencuci tangan kembali sampai bersih dibawah air mengalir.
19. Memberikan antibiotic profilaksis dosis tunggal
Ampisillin 2 gr IV + Metronidazole 500 mg
Cefatazole 1 gr IV + Metronidazole 500 mg
20. Mengobservasi perdarahan pervaginam dan memeriksa vital sign
Setiap 15 menit pada jam pertama.
setiap 30 menit pada jam kedua.
21. Meyakinkan uterus berkontraksi dengan baik.
ASKEB II MANUAL PLASENTA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdarahan pascapersalinan adalah kehilangan darah lebih dari 500 ml melalui jalan
lahir yang terjadi selama atau setelah persalinan kala III. Perkiraan kehilangan darah biasanya
tidak sebanyak yang sebenarnya, kadang-kadang hanya setengah dari yang sebenarnya. Darah
tersebut tercampur dengan cairan amnion atau dengan urin. Darah juga tersebar pada spons,
handuk, dan kain, di dalam ember dan di lantai. Volume darah yang hilang juga bervariasi
akibatnya sesuai dengan kadar hemoglobin ibu. Seseorang ibu dengan kadar hemoglobin
normal akan dapat menyesuaikan diri terhadap kehilangan darah yang akan berakibat fatal
pada yang anemia.
Perdarahan pascapersalinan adalah sebab penting kematian ibu; ¼ kematian ibu yang
disebabkan oleh perdarahan (perdarahan pascapersalinan, placenta previa, solutio plasenta,
kehamilan ektopik, abortus, dan ruptura uteri) disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan.
Selain itu, pada keadaan dimana perdarahan pascapersalinan tidak mengakibatkan kematian,
kejadian ini sangat mempengaruhi morbiditas nifas karena anemia dapat menurunkan daya
tahan tubuh. Perdarahan pascapersalinan lebih sering terjadi pada ibu-ibu di Indonesia
dibandingkan dengan ibu-ibu di luar negeri.
Perdarahan setelah melahirkan atau post partum hemorrhagic (PPH) adalah
konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di traktus
genitalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya.—Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan
dalam kehamilan setiap tahunnya paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan
sampai meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah
melahirkan. Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit, sehingga
sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post partum terlambat sampai
ke rumah sakit, saat datang keadaan umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya
mortalitas tinggi. Menurut Depkes RI, kematian ibu di Indonesia (2002) adalah 650 ibu tiap
100.000 kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh perdarahan post
partum.
Perdarahan yang disebabkan karena retensio plasenta dapat terjadi karena plasenta
lepas sebagian, yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari
dinding uterus karena:
a). Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva);
b). Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua sampai
miometrium- sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta).
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan
oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga
terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta
(inkarserasio plasenta). Sehingga dilakukan tindakan manual plasenta.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini membahas tentang Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin dengan Manual
Plasenta.
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu memahami secara menyeluruh tentang Manual Plasenta dan cara pengeluaran
manual pasenta.
2. Tujuan khusus
a. Mampu memahami yang dimaksud dengan manual plasenta.
b. Mengetahui indikasi manual plasenta
c. Mengetahui langkah-langkah manual plasenta
BAB II
ISI
2.1 Definisi
Manual plasenta adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat implantasinya pada
dinding uterus dan mengeluarkannya dari kavum uteri secara manual yaitu dengan
melakukan tindakan invasi dan manipulasi tangan penolong persalinan yang dimasukkan
langsung kedalam kavum uteri. Pada umumnya ditunggu sampai 30 menit dalam lahirnya
plasenta secara spontan atau dgn tekanan ringan pada fundus uteri yang berkontraksi. Bila
setelah 30 menit plasenta belum lepas sehingga belum dapat dilahirkan atau jika dalam waktu
menunggu terjadi perdarahan yang banyak, plasenta sebaiknya dikeluarkan dengan segera.
2.2 Etiologi
Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan perdarahan pada kala
tiga persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak dapat dihentikan dengan uterotonika dan
masase, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit
seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir
dan tali pusat putus.
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau
melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan
plasenta disebabkan oeh gangguan kontraksi uterus.
Manual plasenta dilakukan karena indikasi retensio plasenta yang berkaitan dengan :
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus dikarenakan:
a. Plasenta adhesive yaitu kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta.
b. Plasenta akreta yaitu implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan
miometrium.
c. Plasenta inkreta, yaitu implantasi jonjot korion placenta hingga mencapai/memasuki
miometrium.
d. Plasenta perkreta, yaitu implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga
mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e. Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta didalam kavum uteri yang disebabkan oleh
konstriksi ostium uteri.
2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan dan dapat terjadi perdarahan yang
merupakan indikasi untuk mengeluarkannya
3. Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.
4. Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan
Darah penderita terlalu banyak hilang,
Keseimbangan baru berbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak terjadi,
Kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam.
2.3 Patologis
Manual plasenta dapat segera dilakukan apabila :
a. Terdapat riwayat perdarahan postpartum berulang.
b. Terjadi perdarahan postpartum melebihi 400 cc
c. Pada pertolongan persalinan dengan narkosa.
d. Plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.
Manual plasenta dalam keadaan darurat dengan indikasi perdarahan di atas 400 cc dan
teriadi retensio plasenta (setelah menunggu ½ jam). Seandainya masih terdapat kesempatan
penderita retensio plasenta dapat dikirim ke puskesmas atau rumah sakit sehingga mendapat
pertolongan yang adekuat.
Dalam melakukan rujukan penderita dilakukan persiapan dengan memasang infuse
RL/ NaCl dan memberikan cairan dan dalam persalinan diikuti oleh tenaga yang dapat
memberikan pertolongan darurat.
Komplikasi dalam pengeluaran plasenta secara manual selain infeksi / komplikasi
yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan, multiple organ failure yang
berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi organ dan sepsis, ialah apabila
ditemukan plasenta akreta. Dalam hal ini villi korialis menembus desidua dan memasuki
miometrium dan tergantung dari dalamnya tembusan itu dibedakan antara plasenta inakreta
dan plasenta perkreta. Plasenta dalam hal ini tidak mudah untuk dilepaskan melainkan
sepotong demi sepotong dan disertai dengan perdarahan. Jika disadari adanya plasenta akreta
sebaiknya usaha untuk mengeluarkan plasenta dengan tangan dihentikan dan segera
dilakukan histerektomi dan mengangkat pula sisa-sisa dalam uterus.
2.4 Tanda dan Gejala Klinis
1. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai
episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan
polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara
spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
2. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi
secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
3. Perdarahan yang lama > 400 cc setelah bayi lahir.
4. Placenta tidak segera lahir > 30 menit.
2.5 Penatalaksanaan
Prosedur Plasenta Manual
Persiapan
a. Pasang set dan cairan infus RL/NaCl
b. Jelaskan pada ibu prosedur dan tujuan tindakan
c. Lakukan anestesia verbal atau analgesia per rektal
d. Siapkan dan jalankan prosedur pencegahan infeksi
e. Pastikan kandung kemih kosong karena kandung kemih yang penuh dapat menggeser letak
uterus.
Tindakan penetrasi ke dalam kavum uteri
1. Pastikan kandung kemih dalam keadaan kosong.
2. Jepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan dengan satu tangan
sejajar lantai.
3. Secara obstetrik, masukkan tangan lainnya (punggung tangan menghadap ke bawah) ke
dalam vagina dengan menelusuri sisi bawah tali pusat.
4. Setelah mencapai bukaan serviks, minta seorang asisten/penolong lain untuk memegangkan
klem tali pusat kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan fundus uteri.
5. Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam hingga ke kavum uteri sehingga
mencapai tempat implantasi plasenta.
6. Bentangkan tangan obstetrik menjadi datar seperti memberi salam (ibu jari merapat ke jari
telunjuk dan jari-jari lain saling merapat).
Melepas plasenta dari dinding uterus
7. Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta paling bawah.
a. Bila plasenta berimplantasi di korpus belakang, tali pusat tetap di sebelah atas dan sisipkan
ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung tangan
menghadap ke bawah (posterior ibu)
b. Bila di korpus depan maka pindahkan tangan ke sebelah atas tali pusat dan sisipkan ujung
jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung tangan menghadap ke
atas (anterior ibu)
8. Setelah ujung-ujung jari masuk diantara plasenta dan dinding uterus maka perluas pelepasan
plasenta dengan jalan menggeser tangan ke kanan dan kiri sambil digeserkan ke atas (kranial
ibu) hingga semua perlekatan plasenta terlepas dari dinding uterus.
Catatan:
Bila tepi plasenta tidak teraba atau plasenta berada pada dataran yang sama tinggi dengan
dinding uterus maka hentikan upaya plasenta manual karena hal itu menunjukkan plasenta
inkreta (tertanam dalam miometrium).
Bila hanya sebagian dari implantasi plasenta dapat dilepaskan dan bagian lainnya melekat
erat maka hentikan pula plasenta manual karena hal tersebut adalah plasenta akreta. Untuk
keadaan ini sebaiknya ibu diberi uterotonika tambahan (misoprostol 600 mcg per rektal)
sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan.
Mengeluarkan plasenta
9. Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi untuk menilai tidak
ada sisa plasenta yang tertinggal.
10. Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simfisis (tahan segmen bawah uterus) kemudian
instruksikan asisten/penolong untuk menarik tali pusat sambil tangan dalam membawa
plasenta keluar (hindari terjadinya percikan darah).
11. Lakukan penekanan (dengan tangan yang menahan suprasimfisis) uterus kearah dorso-
kranial setelah plasenta dilahirkan dan tempatkan plasenta di dalam wadah yang telah
disediakan.
Pencegahan infeksi pascatindakan
12. Dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan peralatan lain yang digunakan.
13. Lepaskan dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya di dalam larutan klorin 0,5%
selama 10 menit.
14. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir.
15. Keringkan tangan dengan handuk bersih dan kering.
Pemantauan pasca tindakan
16. Periksa kembali tanda vital ibu.
17. Catat kondisi ibu dan buat laporan tindakan.
18. Tuliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih diperlukan dan asuhan lanjutan.
19. Beritahukan pada ibu dan keluarganya bahwwa tindakan telah selesai tetapi ibu masih
memerlukan pemantauan dan asuhan lanjutan.
20. Lanjutan pemantauan ibu hingga 2 jam pascatindakan sebelum dipindah ke ruang rawat
gabung.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manual plasenta adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat implantasinya pada
dinding uterus dan mengeluarkannya dari kavum uteri secara manual yaitu dengan
melakukan tindakan invasi dan manipulasi tangan penolong persalinan yang dimasukkan
langsung kedalam kavum uteri.
Adapun prosedur plasenta manual yaitu persiapan alat dan bahan, penjelasan prosedur
dan tujuan tindakan, tindakan penetrasi ke dalam kavum uteri, melepas plasenta dari dinding
uterus, mengeluarkan plasenta, pencegahan infeksi pasca tindakan, pemantauan pasca
tindakan.
Tidak boleh dilakukan plasenta manual yang perlu diperhatikan adalah bila tepi
plasenta tidak teraba atau plasenta berada pada dataran yang sama tinggi dengan dinding
uterus maka hentikan upaya plasenta manual karena hal itu menunjukkan plasenta inkreta
(tertanam dalam miometrium). Dan bila hanya sebagian dari implantasi plasenta dapat
dilepaskan dan bagian lainnya melekat erat maka hentikan pula plasenta manual karena hal
tersebut adalah plasenta akreta. Untuk keadaan ini sebaiknya ibu diberi uterotonika tambahan
(misoprostol 600 mcg per rektal) sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan.
3.2 Saran
1. Masyarakat Luas
Masyarakat maupun ibu-ibu dalam masa kehamilannya, dapat menjaga kesehatan
selama hamil dengan maksimal, makan-makanan yang bergizi, konsumsi Fe dan istirahat
yang cukup agar selama proses persalinan tidak terjadi kegawatan. Serta mampu memahami
alasan dilakukannya manual plasenta apabila plasenta belum lahir > 30 menit setelah bayi
lahir dan terjadi perdarahan agar dapat menyelamatkan pasien sesegera mungkin.
2. Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan harus mengetahui sedini mungkin penyebab plasenta tidak lahir
segera setelah bayi lahir, serta melakukan tindakan segera apabila pasien mengalami
perdarahan kala III, dan merupakan indikasi untuk dilakukanya manual plasenta dan untuk
menurunkan angka kematian ibu.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Azrul, dkk. 2008. Asuhan Persalinan Normal dan Inisiasi Menyusui Dini. Jakarta:
JNPK-KR
Chapman,Vicky.2006.Asuhan Kebidanan Persalinan dan Kelahiran.Jakarta:EGC
Mediague.wordpress.com