Post on 21-Oct-2015
description
Resusitasi Luka Bakar
Frederick W. Endorf dan David J. Dries
Abstrak
Resusitasi cairan pada luka bakar adalah untuk menjaga perfusi organ dengan memenuhi
kebutuhan cairan paling sedikit dan biaya fisiologis paling rendah. Saat dilakukan resusitasi
bisa saja berlanjut ke keadaan yang dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.
Dengan menggunakan rumus berdasarkan berat badan dan ukuran luka maka disfungsi organ
multipel dan resusitasi yang tidak adekuat akan jarang terjadi. Sebaliknya, pemberian volume
cairan yang melebihi petunjuk telah dilaporkan. Terdapat strategi berupa penggunaan koloid
dan obat-obatan vasoaktif yang sekarang sedang diteliti untuk mengoptimalkan fungsi end
organ disamping menghindari komplikasi yang dapat mencakup kegagalan pernapasan dan
sindrom kompartemen. Selain resusitasi, penggunaan antioksidan juga sedang diteliti
bersama parameter produksi urin dan tanda-tanda vital untuk mengidentifikasi hasil terapi. Di
sini kami meninjau secara singkat state-of-the-art dan memberikan contoh protokol yang
sekarang diteliti di pusat-pusat luka bakar di Amerika Utara.
Kata kunci: Resusitasi luka bakar, kristaloid, koloid
Pendahuluan
Salah satu aspek yang paling menantang dalam perawatan pasien luka bakar adalah
pemberian resusitasi pada keadaan akut. Respon inflamasi yang luas akibat luka bakar
melebihi respon inflamasi akibat trauma atau sepsis, dan kebutuhan cairan dapat menjadi
sangat ekstrim. Meningkatnya penelitian yang dilakukan dengan skala besar dilakukan untuk
menemukan strategi penanganan resusitasi pada luka bakar keadaan akut, dan dalam artikel
ini akan kami rangkumkan beberapa temuan terbaru yang paling penting di lapangan.
Setelah mengobati korban-korban kebakaran Coconut Grove pada tahun 1942, Cope
dan Moore pertama kali menyatakan bahwa kebutuhan resusitasi pada luka bakar dapat
diketahui berdasarkan berat badan dan ukuran luka bakar pasien. Dengan pemahaman ini,
Baxter dan Shires menggunakan data anjing dan manusia untuk mengukur kebutuhan cairan
secara spesifik berdasarkan berat badan dan total luas permukaan tubuh (% TBSA). Rumus
3,5-4,5 ml Ringer laktat per % TBSA per kilogram dikenal sebagai rumus Parkland sesuai
dengan tempat percobaan ini dilakukan di kompleks medis Dallas. Meskipun rumus
1
Parkland masih merupakan rumus resusitasi yang paling sering digunakan di seluruh dunia,
namun masih jauh dari kesempurnaan.
Penelitian yang sedang berlanjut difokuskan untuk memperbaiki rumus yang ada
untuk mencegah komplikasi resusitasi yang berlebihan. Seperti perancangan cara baru untuk
menghitung rata-rata tetesan cairan resusitasi, seperti protokol berbasis perawat atau protokol
berbasis komputer. Komposisi cairan yang digunakan dalam resusitasi difokuskan pada
koloid dan larutan hipertonik. Terapi farmasi ditujukan untuk mengurangi regulasi respon
inflamasi, seperti menggunakan vitamin C yang menunjukan adanya manfaat pada resusitasi
akut. Demikian juga peneliti mengusulkan penggunaan plasmafaresis untuk menghambat
mediator inflamasi dari aliran darah saat resusitasi. Topik akhir yang membawa pengawasan
signifikan adalah hasil dari resusitasi, yaitu memilih hasil yang paling tepat untuk digunakan
dan bagaimana mengukur hasil ini dengan cara terbaik dalam penggunaan klinis.
Volume resusitasi
Rumus Parkland mudah digunakan untuk menghitung volume resusitasi yang
dibutuhkan dan telah digunakan di seluruh dunia. Para peneliti tidak berhenti di rumus
Parkland saja, para praktisi ini mencoba apakah rumus tersebut telah tepat atau tidak dalam
penggunaannya.
Hal yang masih tetap dikritisi dari rumus Parkland yaitu pasien menerima cairan
lebih banyak dari yang diperkirakan berdasarkan berat badan dan % TBSA. Terlepas dari
rumusnya ataupun dari kesalahan dokternya, hal ini masih diperdebatkan, namun yang jelas
bahwa volume cairan yang digunakan dalam resusitasi lebih tinggi dari yang seharusnya
dibutuhkan. Fenomena ini dijelaskan oleh Pruitt sebagai “fluid creep”. Engrav dkk dalam
penelitian yang tergabung dari berbagai pusat penelitian di tahun 2000 menilai resusitasi pada
50 pasien dan mendapatkan hasil bahwa 58% pasien membutuhkan cairan lebih banyak dari
yang diperkirakan dari jumlah yang didapat dengan menggunakan rumus Parkland,
dibandingkan dengan yang diprediksi oleh Baxter yaitu 12%. Friedrich dkk melanjutkan
penelitian ini pada tahun 2004, dengan membandingkan pasien dari institusinya sejak 1970,
dan menemukan bahwa kebutuhan cairan selama dilakukannya resusitasi yaitu dua kali
lipatnya. Pada penelitian berikutnya mereka menghubungkan perubahan yang terjadi dengan
peningkatan kebutuhan cairan pada pasien yang mendapat pengobatan narkotika anti nyeri
selama periode resusitasi. Teori yang mereka kemukanan bahwa bahwa efek vasodilatasi
dari pemberian terapi opioid dapat menyebabkan hipotensi relatif sehingga akan diikuti
dengan kebutuhan cairan yang meningkat. Temuan ini kemudian diulang oleh Wibbenmeyer
2
dkk yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara penggunaan opioid dalam
24 jam pertama setelah mengalami luka bakar dengan volume cairan yang dibutuhkan pada
waktu yang sama. Bahkan di pusat penelitian Parkland, Blumetti dkk menemukan bahwa
48% dari pasien menerima cairan lebih banyak dari yang diperkirakan. Meskipun muncul
kekhawatiran mengenai“fluid creep” , Cartotto dkk pada pasien terkininya menemukan
bahwa di pusat penelitiannya yang menggunakan rumus kebutuhan cairan 6,3 ml/kg/%TBSA
selama resusitasi, dimana didapatkan 76% membutuhkan cairan lebih dari 4,3 ml/kg/%
TBSA penelitian yang pernah Baxter lakukan.
Protokol resusitasi
Terdapat satu hal yang cenderung menyebabkan kebutuhan cairan saat resusitasi yang
lebih tinggi yaitu kemungkinan inadekuatnya tetesan cairan yang diberikan oleh dokternya.
Cancio dkk meninjau kembali berdasarkan pengalaman yang telah ia dapat ketika melakukan
resusitasi menggunakan rumus Brooke yang telah dimodifikasi, yang diprediksikan
kebutuhan cairannya sebanyak 2 ml/kg/% TBSA. Sebuah temuan penting dari tinjauan yang
dilakukan oleh Cancio yaitu jarang klinisi mengarahkan pengurangan pemberian cairan
ketika urin output rendah. Demi mengurangi ketergantungan terhadap penilaian subjektif dari
para klinisi dalam pembuatan keputusan mengenai resusitasi, beberapa pusat penelitian
melakukan percobaan menggunakan algoritma yang terstandarisasi yang berasal dari urin
output per jam. telah melakukan eksperimen dengan algoritma standar dari output urin per
jam. Dengan pengarahan perawat yang didasarkan pengalamannya diharapkan mampu
mempengaruhi kebutuhan cairan saat resusitasi. Pengembangan algoritma ini diharapkan
memberikan perkembangan ke arah yang lebih baik demi menurunkan tetesan pemberian
cairan ketika urin output tinggi, dan bahkan jika memungkinkan dapat dilakukan penurunan
tetesan meskipun urin output adekuat. Jenabzadeh dkk menggunakan protokol yang
diarahkan oleh para perawat dan menunjukan penurunan secara signifikan pemberian cairan
selama resusitasi dan penurunan volume cairan yang signifikan pada kasus sindrom
kompartemen abdomen.
Untuk menyingkirkan faktor human error, beberapa pusat kesehatan telah
mengkombinasikan algoritma resusitasi dengan sistem komputerisasi. Salinas dkk
menjelaskan dengan sebuah komputer percontohan pada resusitasi luka bakar yang digunakan
pada 32 pasien luka bakar yang dibandingkan dengan variabel kontrol. Mereka menemukan
protokol kebutuhan cairan kristaloid dalam waktu kurang dari 24 dan 48 jam, dan kebutuhan
total kristaloid selama di unit perawatan intensif. Jumlah cairan yang dibutuhkan
3
berdasarkan derajat dan luasnya luka bakar secara signifikan berkurang pada kelompok
resusitasi yang berbasis komputer tersebut. Protokol terkomputerisasi tersebut juga
membantu pasien dalam mencapai target urin output per jamnya dengan lebih efektif. Pada
penelitian selanjutnya, Salinas dkk menganalisa cara para praktisi tersebut dalam
menggunakan program komputerisasi yang direkomendasikan tersebut dan menemukan
bahwa penerapan system tersebut diterapkan oleh 83,2% praktisi kesehatan. Para praktisi
tersebut ada yang menolak menerapkan system komputer yang direkomendasikan tersebut
dengan alasanbahwa klinisi merasa jumlah cairan yang direkomendasikan kadang berlebihan
dari yang dibutuhkan atau kadang inadekuat, atau jika pasien mengalami hipotensi.
Koloid
Berdasarkan penelitian terdahulu, opini yang beredar adalah bahwa penggunaan
koloid untuk resusitasi pada 24 jam pertama merupakan sebuah kontraindikasi. Hal ini
berdasarkan pemikiran bahwa koloid akan merembes melewati “kebocoran” kapiler pada
kasus syok luka bakar dan terjadi penarikan osmotik sehingga menyebabkan lebih banyak
cairan tertarik ke ruang interstitial dan semakin memperburuk edema pada luka bakar.
Namun, penelitian terbaru menganjurkan penggunaan koloid dalam resusitasi luka bakar,
bahkan dalam 24 jam pertama.
Lawrence dkk melakukan sebuah peninjauan retrospektif pada 52 pasien luka bakar
dengan luka bakar lebih dari 20% TBSA. Dua puluh enam pasien ini mendapat albumin
selama resusitasi, dan 26 lainnya hanya dengan kristaloid. Sebagai bagian dari institusi yang
menggunakan algoritma resusitasi, yang dimana pasien membutuhkan cairan yang lebih
banyak dari yang diperkirakan oleh rumus Parkland dengan mendapat cairan sepertiga dari
kebutuhannya berupa albumin 5% disertai dua pertiganya diberikan cairan ringer laktat (RL).
Setelah pemberian infuse koloid dimulai, volume cairan yang diberikan segera ke jumlah
cairan sesuai prediksi , dan konstan dengan jumlah tersebut. Tidak didapatkan satu pun baik
kelompok koloid maupun kristaloid yang menderita sindrom kompartemen abdomen,
meskipun pada kelompok koloid memiliki eskarotomi yang lebih ektrim, diduga akibat luas
luka bakar rata-rata yang lebih luas. Pada penelitian sebelumnya dari pusat yang sama,
Cochran dkk melakukan analisa dengan case-control luas luka bakar (> 20% TBSA) dimana
ada yang mendapat albumin dan ada yang tidak diberikan albumin saat resusitasi. Albumin
bukan hanya tidak berbahaya, namun memberikan keuntungan dalam menurunkan mortalitas.
Fenomena ini juga berlaku pada pasien anak. Pada kelompok pasien yang sama dilakukan
pemeriksaan pada 53 pasien anak dengan luka bakar lebih dari 15% TBSA ditemukan bahwa
4
pasien dengan kebutuhan cairan lebih tinggi dari diprediksi telah “dinormalisasi” dengan
pemberian albumin. Dan juga tidak ada kasus sindrom kompartemen abdomen yang terjadi,
serta pada kelompok anak tidak didapatkan perbedaan insiden eskarotomi di ekstremitas atau
di tubuh pasien. Kelompok yang mendapat terapi albumin memiliki masa rawat inap di
rumah sakit yang lebih lama, mungkin berhubungan dengan ukuran luka bakar yang lebih
besar dan tingkat trauma inhalasi yang lebih tinggi. Penggunaan koloid buatan pada resusitasi
luka bakar juga menarik bagi beberapa kalangan. Vlachou dkk melakukan penelitian acak
pada 26 pasien dewasa, ada yang mendapat resusitasi kristaloid murni dan yang diganti
dengan hydroksietilstarch (HES) 6% pada sepertiga perkiraan volume kristaloid yang
dibutuhkan. Mereka menemukan bahwa pasien pada kelompok yang mendapatkan HES lebih
sedikit membutuhkan cairan di 24 jam pertamanya dan lebih sedikit terjadi peningkatan berat
badan. Mereka juga melakukan pemeriksaan terhadap C-reaktif protein sebagai penanda
inflamasi dan menemukan nilai yang lebih rendah pada kelompok yang diberikan HES.
Namun, perlu diperhatikan ketika penggunaan HES dengan konsentrasi yang lebih tinggi.
Bechir dkk meneliti cairan HES 10% yang dibandingkan dengan kristaloid yang diberikan
pada 30 pasien luka bakar dan menemukan kecenderungan terjadinya gagal ginjal dan
kematian yang lebih tinggi meskipun tidak membeikan angka statistik yang terlalu mencolok.
Larutan hipertonik
Sebagai usaha untuk mencegah terjadinya resusitasi yang berlebihan, beberapa
peneliti mencoba untuk memulai menggunakan larutan hipertonik, yang digunakan tunggal
maupun yang dikombinasikan dengan koloid. Belba dkk melakukan penelitian metode
prospektif secara acak terhadap 110 pasien luka bakar, 55 pasien di antaranya diresusitasi
dengan RL sesuai dengan rumus Parkland untuk orang dewasa dan rumus Shriner untuk
anak-anak. Pada 55 pasien lainnya menerima larutan hipertonik laktat yang mengandung
sodium (250 mEq/L) dan laktat (120 mEq/L). Kelompok hipertonik awalnya membutuhkan
cairan yang lebih tinggi, namun kedua kelompok tersebut menunjukan penurunan kebutuhan
berdasarkan rumus Parkland dalam 24 jam pertama. Pasien kelompok hipertonik
membutuhkan cairan yang lebih sedikit dibandingkan kelompok isotonic, namun secara
statistik tidak terlalu signifikan. Penggunaan cairan hipertonik saat resusitasi juga dapat
mengurangi resiko sindrom kompartemen abdomen. Oda dkk menilai pada 36 pasien dengan
luka bakar lebih dari 40% TBSA, pada 14 pasien di antaranya diresusitasi menggunakan
larutan laktat hipertonik dan 22 pasien lainnya mendapat larutan RL. Larutan hipertonik
diberikan secara bertahap, dimulai dengan larutan natrium (300 mEq/L), klorida (88 mEq/L)
5
dan laktat (212 mEq/L). Kemudian diturunkan secara perlahan, setelah 48 jam luka bakar
diberikan sodium (150 mEq/L), klorida (102 mEq/L), dan laktat (48 mEq/L). Mereka
menemukan bahwa 2 dari 14 pasien pada kelompok hipertonik mengalami sindrom
kompartemen abdomen berbanding 11 dari 22 pada kelompok yang mendapat RL.
Antioksidan
Perluasan peradangan tampak pada cidera luka bakar disebabkan karena pelepasan
radikal oksigen bebas, sehingga memperburuk permeabilitas pembuluh darah dan
menyebabkan edema perifer yang signifikan. Kehilangan cairan yang berpindah ke interstitial
terjadi pada pasien resusitasi yang mendapat cairan lebih banyak. menyebabkan kebutuhan
cairan yang lebih tinggi selama resusitasi. Oleh karena itu penggunaan antioksidan selama
resusitasi dapat membantu membuang radikal bebas dan memperbaiki permeabilitas
pembuluh darah.
Tanaka dkk membandingkan dua kelompok pasien, 18 pasien yang diresusitasi hanya
dengan RL dan 19 pasien lainnya diberikan RL yang ditambah asam askorbat dosis tinggi
(vitamin C 6 mg/kg/jam). Mereka menemukan rata-rata kebutuhan cairan sekitar 3
ml/kg/%TSBA pada kelompok yang mendapat vitamin C dibandingkan dengan kelompok
yang mendapat RL saja sekitar 5,5 ml/kg/% TBSA. Selain itu, pada kelompok vitamin C
memiliki waktu pemberian ventilator yang lebih singkat. Kahn dkk melakukan penelitian
retrospektif pada 33 pasien, 17 pasien mendapat terapi vitamin C dosis tinggi (66 mg/kg/jam)
disertai pemberian RL, dan 16 pasien hanya diberikan RL. Mereka juga menemukan hal yang
sama dimana kebutuhan rata-rata cairan pada kelompok vitamin C yang ditambah RL (5,3
ml/kg/% TBSA) berbanding dengan kelompok RL (7,1 ml/kg/% TBSA). Tidak didapatkan
perbedaan hasil akhir pada penelitian yang mereka lakukan, dan juga tidak didapatkan
komplikasi yang berbeda. Mereka menyimpulkan bahwa penggunaan vitamin C adalah
tambahan yang aman untuk mengurangi kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama resusitasi
luka bakar.
Pada percobaan yang dilakukan terhadap hewan golongan murine, Constantini dkk
melakukan eksperimen dengan menggunakan pentoksifilin (PTX) setelah mengalami trauma
luka bakar, setelah terpanggang sekitar 30%, PTX dalam salin diinjeksikan secara
intraperitoneal pada satu kelompok tikus dan larutan fisiologis tunggal diinjeksi pada
kelompok lainnya. Kelompok yang mendapat PTX mengalami penurunan permeabilitas dan
inflamasi pada intestinum. Temuan lainnya , mereka juga mencatat adanya penurunan insiden
cedera paru akut pada kelompok PTX. Meskipun belum pernah dilakukan percobaan
6
pemberian resusitasi luka bakar menggunakan PTX pada manusia, hal ini menjajikan untuk
kemudian harinya sebagai pemacu antioksidan sistem imun ketika mendapat resusitasi akut.
Plasmafaresis
Disamping penggunaan antioksidan, beberapa pusat penelitian mencoba
menggunakan pembersih mekanik mediator inflamasi dari aliran darah. Klein dkk
melakukan pemantauan terhadap penerapan penggantian plasma di institusinya selama 5
tahun, yang dimana 37 pasien luka bakar mendapat resusitasi akut menggunakan
penggantian plasma mengulas penggunaan pertukaran plasma, dan tujuh di antaranya
menerima terapi ganda sehingga keseluruhannya berjumlah 44 pasien penggantian plasma.
Pasien-pasien ini mengalami luka bakar berat dengan rata-rata %TBSA 48,6 dan 73% pasien
tersebut mengalami trauma inhalasi. Tidak ada protokol yang digunakan pada permulaan
penggantian plasma, namun diberikan apabila kebutuhan cairan mencapai dua kali lebih
banyak dari jumlah cairan yang diprediksikan menggunakan rumus Parkland. Waktu rata-rata
untuk memulai penggantian cairan sekitar 2,4 jam. Albumin (5%) digunakan sebagai
pengganti utama cairan, kecuali jika pasien memiliki kadar fibrinogen rendah atau faktor
pembekuan yang abnormal, maka pada kasus demikian digunakan fresh frozen plasma (FFP).
Mereka menemukan bahwa dengan penggantian plasma terjadi penurunan kebutuhan akan
cairan kristaloid sekitar 28,3%. Bila disesuaikan dengan berat badan dan % TBSA pasien,
rata-rata volume cairan resusitasi setelah penggantian plasma menurun sebesar 40 %. Setelah
penggantian plasma, jumlah cairan perjam yang diberikan tidak pernah kembali lagi ke
tingkat sebelum pasien dilakukan penggantian.
Neff dkk melakukan penelitian restropektif dengan case-control 40 pasien selama
dua tahun, seluruhnya dengan luka bakar lebih dari 20 %TBSA. Dua puluh satu pasiennya
menerima penggantian plasma sebagai bagian dari pemberian resusitasi, dan mereka sesuai
dengan 19 kontrol lainya. Pertukaran plasma dipicu oleh 1,2 kali lebih banyak dari
perhitungan rumus Parkland, atau disebabkan oleh berlanjutnya output urin yang rendah
ataupun oleh hipotensi yang terjadi akibat peningkatan jumlah cairan. Mereka menemukan
beberapa manfaat fisiologis dengan penggantian plasma, yaitu peningkatan tekanan arteri
rata-rata (MAP) sebesar 24%, peningkatan output urin sebanyak 400%, dan penurunan
kebutuhan cairan resusitasi intravena yang dibutuhkan untuk mempertahankan tanda vital dan
target output urin sebesar 25% untuk mempertahankan tanda-tanda vital dan target urin.
Tingkat laktat juga menurun dan mereka mencatat bahwa peningkatan laktat secara
independen memprediksi kebutuhan untuk penggantian plasma.
7
Hasil resusitasi dan pemantauan
Tantangan kedua dalam penanganan resusitasi luka bakar adalah penentuan status
klinis pasien yang dikatakan optimal. Biasanya, output urin digunakan dalam mengukur
perfusi jaringan selama resusitasi akut. Greenhalgh mempublikasikan temuan dari survey
anggota-anggota American Burn Association (ABA) dan International Society for Burn
Injuries (ISBI) mengenai berbagai topik tentang resusitasi. Sekitar 94,9% responden
menggunakan urin output sebagai indikator utama keberhasilan resusitasi, dan 22,7% di
antaranya menggunakan indikator lain. Meskipun telah digunakan secara luas, output urin
tidak memberikan gambaran secara umum sebagai patokan pengukuran sempurna untuk
perfusi seluruh jaringan. Difokuskan juga pada beberapa indikator konvesional yaitu berupa
tekanan darah, denyut jantung, dan tekanan vena sentral. dilihat sebagai ukuran sempurna
perfusi jaringan secara keseluruhan. Terdapat beberapa teknik yang digunakan untuk
memeriksa agar didapatkan pengukuran perfusi perifer yang lebih akurat, dan dapat
diberikannya tetesan yang lebih akurat terhadap kebutuhan cairan dengan berbasis waktu/
keadaan tubuh yang sebenarnya.
Parameter yang digunakan berdasarkan termodilusi transkardiopulmoner dengan
menggunakan system PiCCO menunjukkan korelasi yang baik dengan hasil yang diperoleh
dari kateter arteri pulmonal pada pasien luka bakar. Penggunaan sistem ini juga
mengkonfirmasi adanya respon fisiologi hiperdinamik pada pasien anak-anak dengan luka
bakar yang besar. Namun, belum ada penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh sistem
ini terhadap hasil yang didapat selama resusitasi akut pasien luka bakar.
Jeng dkk melakukan penelitian pada empat pasien dengan luka bakar berat (rata-rata
58% TBSA) dan syok, menggunakan probe multisensory dengan tiga transducer. Satu
transducer ditempatkan dalam jaringan subkutan yang menggambarkan luka bakar derajat
dua, transducer lain diletakkan dalam abdomen melalui tabung gaster tonometri, dan
transducer yang ketiga di aliran darah sepanjang garis femoralis lumen tunggal. Kemudian
mereka menggunakan ketiga transducer ini untuk mengukur pH, CO2, dan PaO2 jaringan.
Mereka juga secara bersamaan mencatat jumlah output urin, tekanan arteri rata-rata (MAP),
dan laktat serum. Ketiga, peneliti ini mengukur perfusi pada luka bakar dengan menggunakan
pencitraan laser Doppler dan menghubungkan dengan variabel sebelumnya yang didapatkan
mengalami perubahan terhadap perfusi luka bakar. Meskipun perubahan dari semua yang
didapat dari keseluruhan variabel serupa dengan temuan pada penggunaan Doppler, mereka
menemukan pH jaringan dan CO2, sama baiknya dengan CO2 pada gaster,yang lebih
menggambarkan keadaan perfusi jaringan perifer. Output urin, MAP dan kandungan laktat
8
mengalami perubahan sepanjang waktu namun cenderung terlambat dalam menggambarkan
keadaan perfusi jaringan perifer dibandingkan pengukuran menggunakan pencitraan laser
Doppler.
Meskipun laktat tidak memberikan informasi “keadaan yang sebenarnya” mengenai
keberhasilan resusitasi, namun laktat mampu memberikan gambaran mengenai morbiditas
dan mortalitas pasien luka bakar. Cochran dkk meneliti 128 pasien dengan rata-rata TBSA
41,7% dan mengukur defisit basa dan level laktat dalam interval 6 jam. Mereka menemukan
bahwa pasien yang tidak mampu bertahan hidup memiliki laktat yang lebih tinggi pada 12,
18, 24,48 jam perawatan di rumah sakit dibandingkan dengan pasien yang mampu bertahan
hidup. Peningkatan laktat dalam 48 jam pertama dapat dijadikan indikator independen dalam
memprediksi mortalitas, namun tidak dapat memiliki ambang batas yang spesifik untuk
penggunaan secara klinis. Autor menyarankan dalam memberikan pengobatan tidak hanya
berdasarkan hasil laboratorium saja.
Kesimpulan
Resusitasi yang dilakukan pada pasien luka bakar dapat berlanjut ke keadaan yang
lebih kompleks dan fase yang lebih menantang dalam perawatan pasien luka bakar. Tren
perjalanan panjang dari peningkatan cairan kristaloid kini disadari para praktisi, dan berbagai
usaha dilakukan demi mengurangi pemberian cairan yang berlebihan disaat yang
memungkinkan. Perbaikan dalam protokol resusitasi serta beberapa terapi pendukung dapat
membantu mengurangi pemberian cairan yang berlebihan. Dengan menemukan standar
pengukuran yang lebih akurat dalam menilai keberhasilan resusitasi memberikan respon
yang lebih baik dan lebih cepat terhadap pebaikan fisiologis.
Kesepakatan terbaik didapatkan dari American Burn Association pada tahun 2008. Yaitu
consensus terkini yang tetap mempergunakan resusitasi dengan kristaloid menggunakan
standar 2-4 mL/kg/berat badan/% TBSA dalam 24 jam pertama. Cairan harus isotonis dan
tetesan untuk mempertahankan output urin sebesar 0,5-1,0 mL/kg/jam pada orang dewasa
dan 1,0-1,5 mL/kg/jam pada anak-anak. Anak-anak membutuhkan cairan tambahan untuk
mempertahankan kebutuhannya. Pemberian volume tambaha diperlukan pada pasien dengan
cedera full-thickness yang signifikan, resusitasi yang tertunda atau inhalasi asap.
Panduan konsensus yang dikeluarkan tidak berlandaskan pada hasil penelitian terkini
yang telah dilakukan, namun berdasarkan keselamatan pasien. Jika didapatkan kasus luka
bakar pada institusi kesehatan yang tidak terbiasa menangani luka bakar, sebaiknya harus
segera dirujuk ke sentral medis penanganan luka bakar.
9
Bersama pusat kesehatan penanganan luka bakar lainnya di Amerika Serikat, kami
sedang mempelajari pendekatan untuk membatasi pemberian kristaloid dengan berlandaskan
protokol penggunaan obat-obatan vasoaktif dan koloid pada pasien yang tidak berespon
dengan resusitasi awal yamg diberikan. Pemberian kristaloid dibatasi pada 100 mL cairan/kg
dengan luka derajat dua dan tiga dalam praktek kami. Ketika mencapai batas fisik ini, maka
diganti dengan penggunaan koloid tanpa memperkirakan waktu sejak trauma terjadi.
Meskipun pendekatan ini awalnya dirancang untuk pasien dewasa, kami sekarang
menggunakannya pada semua kelompok umur.
Pada praktik di lapangan dalam resusitasi pasien bedah, secara otomatis akan
ditingkatkan pemberian cairan ketika terjadi hipotensi dengan pembatasan ketat pemberian
obat obatan vasoaktif, seperti norepinefrin, dan pemberian diuretik. Pada pasien hipotensi
dengan tekanan vena sentral yang masih bisa ditoleransi dapat diberikan obat vasopressin
atau norepinefrin. Pada pasien dengan tekanan darah dan tekanan vena sentral yang
meningkat dapat diberikan furosemide dan dobutamin sebagai tambahan untuk mengurangi
cairan resusitasi. Metode ini menggabungkan pilihan resusitasi yang harus dikonsultasikan
dengan pusat-pusat yang memiliki keahlian dalam penanganan luka bakar.
10