Penilaian Awal Dan Resusitasi Cairan Pada Pasien Luka Bakar-jurnal Indonesia

28

Click here to load reader

description

resusitasi

Transcript of Penilaian Awal Dan Resusitasi Cairan Pada Pasien Luka Bakar-jurnal Indonesia

Penilaian Awal dan Resusitasi Cairan pada Pasien Luka Bakar

Leopoldo C. Cancio, MD

KEYWORDS Luka bakar Cedera Inhalasi ResusitasiKEY POINTS

Prioritas manajemen (ABCs) pada pasien luka bakar adalah sama seperti pasien lainnya, tetapi terdapat beberapa metode yang berbeda terhadap pasien dengan thermal

Tujuan resusitasi cairan adalah untuk mempertahankan perfusi ke jaringan dengan kemungkinan biaya yang rendah, hal ini membutuhkan perhatian cermat yang detail, sering dan harus memiliki strategi untuk me-manage baik resusitasi cairan dan resultan edem

Penilaian awal dan resustasi cairan pada pasien luka bakar dengan >20% dari total luas permukaan badan merupakan langkah pertama dari prosedur yang panjang, yang terdiri dari perawatan masa kritis, penyembuhan luka dan rehabilitasiPENDAHULUANDokter atau dokter bedah yang praktek jauh dari burn center, penilaian awal dan resusitasi cairan akan mencakup sebagian besar eksposur nya untuk pasien dengan luka bakar yang parah. Pentingnya perawatan pada fase ini tidak boleh dianggap remeh. Manajement dapat berhasil apabila selama 24 jam pertama setelah luka bakar terjadi dikarenakan kesuksesan penutupan luka dan bertahan hidup, sedangkan kesalahan dalam manajemen awal tidak dapat terselamatkan.

Tujuan dari artikel ini adalah untuk menggaris bawahi apa yang harus dilakukan pada pasien dengan termal injury yang mengancam jiwa yang datang di departemen kegawat daruratan atau trauma center dan selama 24 jam pertama setelah cedera di intensive care unit, ketika menunggu rujukan ke burn center regional. PENANGANAN AWALKriteria rujukan

Artikel ini berfokus pada cedera yang mengancam jiwa. Langkah pertama pada manajemen pada pasien dengan luka bakar adalah menentukan apakah kondisi pasien merupakan masalah besar atau masalah kecil. Pada dasarnya, bahkan luka bakar kecil dapat menyebabkan kelumpuhan, diantaranya sebagai contoh luka bakar pada tangan. Meskipun demikian indikator dari cedera mayor (mengancam jiwa secara potensial) termasuk diantaranya kondisi dibawah ini. Pasien berikut harus cepat dirujuk ke burn center :

Luka bakar luas : >10% dari total luas permukaan tubuh (TBSA). Syok dapat terjadi pada luka bakar lebih kurang 20% TBSA dan bisa juga terjadi pada 10%-20% TBSA pada pasien yang rapuh

Cedera Inhalasi

Trauma mekanikal : stabilisasi awal pada pasien di trauma center yang diikuti dengan merujuk ke burn center, mungkin tepat apabila cedera mekanikal yang lebih mengancam jiwa.

Meskipun pasien dengan derajat cedera lebih rendah dapat menjadi kandidat untuk rawat jalan, beberapa katagori pasien berikut yang memiliki komplikasi cedera baik secara fungsional atau kosmetik yang harus dirujuk ke burn center :

Luka bakar pada area spesifik : wajah, telapak tangan, kaki, perineum, genetalia, sendi besar

Luka bakar derajat 3 dengan berbagai ukuran

Pasien dengan cedera khusus yang segera di rujuk ke burn center diantaanya :

Elektrik

Kimia

Petir

Yang terakhir, pasien dengan kondisi khusus yang harus dirujuk diantaranya :

Anak-anak (yang harus dirujuk ke fasilitas lengkap dan tenaga medis yang tepat)

Riwayat sakit sebelumnya

Kebutuhan sosial, emosional atau rehabilitasi khusus

Pedoman rujukan ke burn center menurut American Burn Association yang disebutkan di atas bertujuan untuk membangun komunikasi sejak awal, sering, dan detail antara rumah sakit yang merujuk dan burn center di daerah.1 System trauma regional harus menetapkan sarana untuk memfasilitasi komunikasi tersebut.

AnamnesisAnamnesis yang akurat harus di gali dari pasien, keluarga terdekat, saksi, dan atau pelayanan tindakan gawat darurat. Anamnesis dari cedera dan akibatnya akan membantu mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perawatan (dan mungkin memainkan peran penting dalam kasus-kasus yang menjadi perhatian hukum). Pertanyaan-pertanyaan berikut harus ditangani :

Penyebab dan mekanisme cedera

Tanggal dan waktu cedera

Untuk cedera listrik : tegangan

Untuk bahan kimia : mengidentifikasi, memperoleh lembar data keselamatan (sebelumnya, material keselamatan lembar data), dekontaminasi pra-rumah sakit

Trauma mekanik: jatuh ; kecelakaan kendaraan bermotor (MVAs), ledakan

Hilangnya kesadaran

Gas asap atau beracun

Potensi anak atau pasien-pasien tua

Tanda-tanda vital pra-rumah sakit dan prosedurPrimary SurveyPrinsip-prinsip dalam perawatan luka bakar darurat (ABCs) adalah sama, tetapi ada karakteristik unik yang harus membutuhkan perhatian khusus.2 kebutuhan untuk cervical spine control tergantung pada mekanisme. MVAs, cedera listrik tegangan tinggi, jatuh, dan melompat dari sebuah bangunan adalah contoh skenario berisiko tinggi.

Manajemen jalan nafas berfokus pada intubasi awal pasien dengan indikasi sebagai berikut: besar ukuran luka bakar (40% TBSA), gejala cedera inhalasi, atau luka bakar pada wajah, rongga mulut, atau orofaring, yang muncul untuk mengancam jalan napas. Ada 3 jenis cedera inhalasi: cedera pada saluran napas atas, luka dari saluran nafas bawah dan parenkim paru, dan efek sistemik gas beracun. Mereka sering tumpang tindih. Bahkan pasien tanpa cedera inhalasi dapat mengembangkan edema wajah massive selama proses resusitasi (48 jam pertama pasca-luka bakar), demikian kriteria TBSA 40%. Gejala cedera saluran napas mungkin termasuk suara serak, stridor, batuk, dahak karbon, atau peningkatan kerja pernapasan. Periksa mulut : melihat ke dalam, mengevaluasi dan mengevaluasi kembali, dan intubasi pasien sebagai profilaksis bukannya menunggu sampai gejala yang parah atau jalan napas hilang. Bersiaplah untuk ketidakstabilan hemodinamik selama induksi pasien luka bakar hipovolemik. Ketamine (bersama dengan benzodiazepin dosis rendah) sering ditoleransi dalam pengaturan ini. Endotrakeal tube harus baik-difiksasi setelah intubasi, dengan menggunakan kapas pita pusar (ikatan) yang ditempatkan melingkar di sekitar kepala dan leher atau alat serupa. Pasien dengan cedera inhalasi beresiko tinggi kehilangan napas akibat obstruksi oleh gips dan material mukosa. Paru sering diperlukan untuk mencegah hal ini. Ekstubasi harus ditunda (pada kebanyakan pasien) sampai edema dimulai mereda dan pasien dapat bernapas di sekitar tabung.3Manajemen pernafasan termasuk memperoleh hasil radiologi dari dada dan menilai adekuat dari ventilasi. Radiologi dada normal tidak mengesampingkan cedera inhalasi. Intervensi bedah segera mungkin diperlukan untuk pasien dengan luka bakar penuh yang mengelilingi dari tubuh anterolateral. Dalam "toraks sindrom eschar", edem terangun di bawah eschar inelastis selama periode resusitasi, secara bertahap konstriksi excursion dada dan menyebabkan peningkatan tekanan puncak saluran napas, diikuti dengan pernapasan. Pengobatan ini adalah cepat escharotomy dada, yang harus menghasilkan restorasi langsung dari kepatuhan dada. Teknik escharotomy (baik di dada atau ekstremitas) meliputi insisi semua jalan melalui ketebalan penuh kulit, sehingga 2 sisi kulit cukup terpisah Sayatan sampai ke fasia investasi, atau ke otot, jarang diperlukan.

Selain masalah jalan napas yang disebutkan sebelumnya, cedera inhalasi memiliki beberapa efek merusak pada fisiologi paru. Onset cepat dari sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) tidak biasa. Sebaliknya, hipoksemia setelah menghirup asap paling sering mencerminkan ventilasi-perfusi (V/Q) mismatch.4 Saluran udara kecil yang rusak, menyebabkan penurunan kedua ventilasi alveolar dan peningkatan aliran darah ke daerah yang terkena. Kerusakan saluran napas kecil juga menyebabkan bronkospasme dan bronchorrhea, yang hanya berfungsi untuk memperburuk V/Q mismatch. Inflamasi, pengelupasan mukosa, pelepasan eksudat ke dalam saluran udara, dan formasi menghalangi gips menyebabkan kolaps alveolar. Kegagalan kekebalan tubuh ini, dan kerusakan pada mucociliary apparatus, predisposisi kolonisasi bakteri dan pneumonia.

Gambar 1. Jalur insisi escharotomy. Escharotomy dilakukan pada full-thickness burns (eschar) yang berjalur melingkar dan terdapat penyempitan pada sirkulasi (pada bagian ekstremitas) maupun respirasi (pada bagian dada). Garis tebal menunjukkan pentingnya bagian sendi pada saat insisi. Pada sisi tersebut, terdapat sedikit jaringan lunak yang berada di atas sendi, sehingga resiko terjadinya iskemia lebih besar karena pembengkakan dan pentingnya escharotomy. (Dikutip dari Cancio L, Becker H. Burns, blast, lightning, & electrical injuries. In: United States Special Operations Command and Center for Total Access. Special operations forces medical handbook. Jackson (WY): Teton NewMedia; 2001. p. 7.177.22.)Ventilasi mekanik dengan tekanan end respiratory positif dibutuhkan untuk membantu oksigenasi dan ventilasi pada pasien ini. Meskipun ventilasi low-tidal-volume (berdasarkan guideline dari ARDSnet) memiliki peranan dalam menurunkan risiko dari ventilator-induced lung injury, itu tidak mengindikasikan patofisiologi small-airway yang dijelaskan diatas. Dengan alasan ini, penulis lebih memilih high-frequency percussive ventilation (Volumetric Diffusive Respiration, VDR-4, Percussionaire, Sandpoint, ID) untuk pasien dengan trauma inhalasi. Baru-baru ini, penelitian dengan randomized controlled dari VDR-4 dan ventilasi low-tidal-volume pada pasien dengan luka bakar, Chung dan kolega,5 menunjukkan bahwa ventilasi VDR-4 memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, dihitung dari jumlah pasien yang memerlukan penyelamatan dengan cara ventilasi yang lain karena kegagalan respirasi hipoksemi atau hiperkarbi.

Bronkospasme biasanya berespon terhadap bronkodilator seperti albuterol. Bagaimanapun, Enkhbattar dan kolega,6 telah menunjukkan efek menguntungkan dari nebulasi epinephrine, dimana tidak hanya bertindak membalikkan bronkokontriksi tetapi dengan mengurangi aliran darah ke bronchial juga. Jadi, dapat meningkatkan oksigenasi dengan menangani kesalaan pada ketidakcocokan V/Q. Tanda-tanca kecurigaan terjadinya pneumonia harus segera di perbaiki, terutama pada pasien yang terintubasi lebih dari 72 jam. Pneumonia yang didapatkan pada kasus ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.7Gas toksik yang dapat menimbulkan komplikasi saat manajemen pasien dengan trauma inhalasi yaitu karbon monoksida (CO) dan sianida. CO gas yang tidak berwarna, tidak berbau yang dilepaskan oleh pembakaran yang tidak sempurna dari zat yang memiliki kandungan karbon seperti kayu dan bahan bakar minyak. CO dapat senang berikatan dengan hemoglobin menyebabkan gangguan pengiriman oksigen ke jaringan. Efek tersebut sangat menonjol, terutama pada jaringan yang sensitif terjadinya hipoksia: jantung dan sistem saraf pusat (SSP). Untuk mendiagnosis hal tersebut diperlukan pengukuran dari kadar carboxyhemoglobin (COHb) dengan CO-oximeter, karena tekanan parsial dari oksigen di arteri (PaO2) tidak berubah dengan adanya keracunan CO. Penanganan yang utama dari kasus ini yaitu memberikan 100% oksigen hingga kadar COHb lebih sedikit dari 10%. Ada pernyataan yang menyebutkan CO tetap berikatan dengan sitokrom di otak meskipun telah dilakukan penanganan hyperbaric oxygen hingga 24 jam setelah kejadian, bahkan setelah dibersihkan dari darah.8Sianida (HCN) dilepaskan oleh pembakaran yang tidak sempurna dari zat yang memiliki kandungan nitrogen seperti sutra, nilon, dan plastik (contohnya polyurethane). Seperti CO, HCN mempengaruhi SSP dan sistem kardiovaskular, menyebabkan kehilangan kesadaran yang cepat. HCN berikatan di terminal cytochrome oxidase of the electron transport chain, mengganggu fungsi dari oksigen di dalam tubuh. Jadi, pasien dengan keracunan HCN dapat memiliki kelainan asidosis laktat jika didapatkan kenaikan saturasi oksigen di dalam vena, meskipun telah menerima resusitasi volume yang adekuat. Sayangnya, asidosis laktat ini sulit dibedakan dengan asidosis laktat oleh karena shock terbakar, yang berasal dari keracunan HCN, pada pasien dengan leka bakar dan trauma inhalasi. Tidak ada test untuk mendiagnosis secara cepat. Sehingga pengobatan berdasarkan kemungkinan diagnosis. Pilihan untuk penawarnya yaitu vitamin B12 dosis tinggi (hydroxocobalamin, Cyanokit).9 Mekanisme kerja dari hydroxocobalamin yaitu chelation. Penawar lain yang jarang digunakan termasuk sodium thiosulfate, dimana mengkatalisis metabolisme dari HCN dengan hepatic rhodanase ke sodium thiocyanate, dan amyl dan sodium nitrite, dimana mengoksidasi hemoglobin ke methemoglobin, chelator yang lain.

Manajemen sirkulasi ketika primary survey temasuk memasang akses intravenous (IV) dan resusitasi awal dengan ketentuan tertentu. Jalur perifer, sentral, dan intraosseous dapat digunakan sebagai akses. Jalur tersebut harus terpasang pada bagian yang tidak mengalami luka bakar, namun dapat ditempatkan di kulit yang terkena luka bakar jika memang diperlukan dan dapat diterima. Plester sendiri tidak dapat menempel pada tempat yang mengalami luka bakar. Untuk keperluan transport, kemudian kami rekomendasikan IV lines dapat dijahit atau dijepit pada tempat tertentu. Bolus inisial 2-L direkomendasikan pada Advanced Trauma Life Support memungkinkan dibutuhkan pada pasien dengan luka bakar. Disamping itu, kami merekomendasikan pasien dengan luka bakar (TBSA >20%) diawali dengan 500 mL/jam untuk dewasa, 250 mL/jam untuk anak-anak, dan 100 mL/jam untuk bayi. Dosis ini kemudian akan di hitung kembali berdasarkan luas luka dan berat badan (lihat diskusi selanjutnya). Bolus biasanya tidak diperlukan dan harus dihindari kecuali pasien dalam keadaan ipotensi atau didapatkan tanda-tanda hipovolemia yang berat. Seperti pemasukan melalui jarum meningkatkan terbentuknya edema tanpa membuat perbaikan jangka panjang di volume plasma. Pengecekan yang cepat dengan palpasi denyut nadi di 4 extrimitas, dan elektrokardiogram untuk dewasa, dapat dikerjakan.

Manajemen disabilitas termasuk menilai derajat respon pasien (AVPU), skor Glasgow Coma Scale, dan kemampuan untuk menggerakkan 4 ekstrimitas. Meskipun pasien dengan luka bakar yang luas, pasien harus memiliki status mental yang normal ketika datang. Kelainan neurologis mengindikasikan terjadinya hipoksia atau riwayat kontak dengan gas beracun pada saat terjadi kebakaran, cidera kepala atau tulang belakang, atau penggunaan obat-obatan atau alkohol dan harus dinilai ulang.

Kontrol exposure dan environmental sangatlah penting terutama pada pasien dengan luka bakar yang luas, dimana kehilangan kemampuan untuk termoregulasi, dan akirnya pasien memiliki resiko yang tinggi untuk terjadinya hipotermia. Penggunaan kain basah untuk mendinginkan luka bakar sangatlah berbahaya dan harus dihukum. (kami menyadari bahwa mendinginkan sebagian kecil dari area luka adalah pertolongan pertama yang wajar, tetapi hal tersebut terbatas sesuai dengan luas dan durasi dari luka bakar.) Pemeriksaan harus dilakukan pada seluruh tubuh (depan dan belakang). Semua pakaian dan perhiasan harus dilepas; pembentukan edema pada jari dapat menyebabkkan iskemia apabila cincin masih terpasang di jari.

Secondary SurveySelama secondary survey, pasien harus diperiksa secara perlahan pada selain luka bakar. Cidera selain luka bakar, dapat menjadi mengancam jiwa, biasanya dapat dengan mudah terlewati jika hanya terfokus pada luka bakar. Foley catheter harus terpasang untuk monitoring resusitasi cairan, dan nasogastric tube harus terpasang untuk dekompresi gaster. Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan foto dilakukan sepantasnya.

RESUSITASI CAIRANResusitasi cairan dan penanganan edema merupakan tugas yang sangat penting dalam waktu 24 sampai 48 jam pertama setelah terpapar dengan api, setelah penilaian awal dilakukan. Menurut catatan, 13% pasien biasanya meninggal dalam waktu 48 jam karena kegagalan resusitasi.10 Baru-baru ini, abdominal compartment syndrome (ACS) didapatkan dari kompensasi cairan yang berlebih di identifikasi sebagai komplikasi utama dari percobaan resusitasi cairan yang berlebihan.11 Monitoring setiap jam perlu dilakukan untuk mengevaluasi resusitasi cairan yang diberikan dan menghindari kejadian resuscitation morbidities.

Langkah pertama dalam resusitasi cairan adalah menghitung luas luka bakar. Luas luka bakar dapat diperkirakan dengan cepat menggunakan Rule of Nines. Bagaimanapun, menentukan luas luka bakar tetap sulit dan seringkali overestimasi. Untuk memperbaiki estimasi awal, penulis menggunakan Lund-Browder chart (Gambar 2) dan Rule of Hands (tangan pasien mewakili 1% dari total luas tubuh pasien tersebut).

Langkah kedua adalah menginisiasi resusitasi cairan sesuai dengan rumus. Cairan yang paling banyak digunakan untuk resusitasi shock luka bakar adalah cairan Ringer Laktat (RL). Terdapat dua rumus yang sudah banyak digunakan untuk resusitasi luka bakar pada dewasa.12 Modified Brooke Formula (MBF) mengestimasikan kebutuhan cairan sebanyak 2 mL/kg/TBSA luka bakar, dengan sebagian dari hasil tersebut diberikan dalan waktu 8 jam dan setengahnya diberikan dalam waktu jam berikutnya. Contohnya, pasien dengan berat 70 kg dengan luas luka bakar 40% menerima 2 x 70 x 40 = 5600 mL dalam waktu 24 jam pertama. Sebagian dari total cairan tersebut diberikan 8 jam pertama: 5600 mL/2 = 2800 mL. Pemberian awal yaitu 2800 mL/8 jam = 530 mL/jam. Formula Parkland (PF) mengestimasikan kebutuhan cairan sebanyak 4 mL/kg/TBSA luka bakar. Dengan perhitungan yang sama seperti MBF pemberian awal diberikan sebanyak 700 mL/jam.Belum ada penelitian randomized controlled yang membandingkan 2 rumus tersebut. American Burn Association sepakat rumus yang digunakan untuk resusitasi luka bakar harus mulai dari 2 hingga 4 mL/kg/TBSA. Rekomendasi yang sama dibuat dan disebarluaskan selama konflik baru-baru ini yang berada di Iraq dan Afganistan. Pada pembelajaran dari pengalaman sebelumnya memperlihatkan bahwa beberapa pasien diberikan resusitasi dengan rumus 2 mL/kg/TBSA dan yang lainnya menggunakan 4 mL/kg/TBSA. Volume yang mencukupi didapatkan pada kedua kelompok tersebut, jadi kesimpulannya fluid begets more fluid dan ketentuannya dipatuhi demi keberhasilan MBF.13Untuk mempermudah penghitungan, Chung dan kolega,14 mengembangkan ISR Rule of Tens untuk orang dewasa. Dosis awal diberikan dengan cara TBSA x 10. Pada contoh yang diperikan sebelumnya, rumus ini berupa 40 x 10 = 400 mL/jam. Dari hasil tersebut dapat terlihat estimasi Rule of Tens tidak jauh berbeda dengan estimasi MBF dan PF.

Rule of Tens hanya berlaku untuk dewasa; untuk pasien kurang dari 40 kg, berat badan harus diperhitungkan kembali. Ada banyak rumus yang digunakan untuk resusitasi luka bakar pada anak-anak. Rumus MBF pada anak-anak 3 mL/kg/TBSA luka bakar.15 Anak-anak dapat memerlukan 5 % dekstrosa dalam satu setengah normal saline ( D5, NS ) untuk cairan pemeliharaan dan disesuaikan berdasarkan berat badan. Persyaratan ini sangat penting bagi anak-anak yang lebih kecil dengan luka bakar kecil. Cairan pemeliharaan ini diberikan selain cairan resusitasi. Tidak seperti cairan resusitasi, cairan pemeliharaan tidak dititrasi per jam (lihat pembahasan selanjutnya).

Jika dekstrosa tidak diberikan dalam cairan maintenance, maka kadar glukosa darah harus dipantau karena pasien ini memiliki persediaan glikogen terbatas dan dapat menjadi hipoglikemik.

Pasien dengan cedera listrik tegangan tinggi ( > 1000 V ) dengan gross mioglobinuria merupakan kasus khusus untuk resusitasi cairan.16 Di sini target untuk urin output urine (UO) meningkat menjadi 70 sampai 100 mL/jam untuk orang dewasa, untuk mencegah pengendapan mioglobin dalam tubulus ginjal. Bahan tambahan seperti manitol dan/atau natrium bikarbonat juga mungkin diperlukan. Pasien cedera listrik dengan gross mioglobinuria persisten atau dengan bukti sindrom kompartemen ekstremitas pada pemeriksaan fisik adalah kandidat untuk fasiotomi mendesak dan debridement otot .

Langkah ketiga adalah untuk memantau dan mentitrasi resusitasi cairan. Rumus resusitasi hanya memberikan dosis awal. Kecepatan infus harus disesuaikan per jammya berdasarkan respon fisiologis. Satu indikator yang paling penting dari kecukupan resusitasi adalah UO. Tingkat LR harus dititrasi per jam (lebih kurang 20 % setiap kali) untuk mencapai target UO 30 sampai 50 mL/jam pada orang dewasa, 0,5-1 mL/jam pada anak-anak, dan 1 sampai 2 mL/jam pada bayi . Lembar observasi cairan per jam harus diisi.17 Petugas harus mengobservasi total volume infus per jam ( dalam mL/kg ) selama 24 jam pertama setelah trauma, karena pasien yang menerima lebih dari 250 mL/kg selama periode ini berada di risiko terkena ACS yang lebih tinggi.18 Setelah ACS terjadi pada pasien luka bakar, dan laparotomi dekompresi dilakukan, angka kematian mendekati 90 %. Karena pentingnya menghindari komplikasi seperti ACS, penulis mengembangkan suatu sistem pendukung resusitasi luka bakar untuk membantu tenaga kesehatan mentitrasi cairan infus selama resusitasi (Burn Navigator, Arcos Medical, Galveston, TX). Penggunaan program komputer ini dikaitkan dengan penurunan volume infus dan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dalam mencapai targert UO.19

Indeks lain yang harus dimonitor (misalnya, setiap 6 jam) selama resusitasi termasuk indikator status volume dan perfusi seperti defisit basa, laktat, tekanan vena sentral, tekanan kandung kemih ( terutama jika infus mL pendekatan/kg 250 mL / kg ), dan ScvO2.

Gambar 2. Diagram luka bakar berdasarkan grafik Lund-Browder. Pemeriksa menggambar tingkat luka bakar menggunakan pensil merah untuk full-thickness burns dan pensil biru untuk partial-thickness burns. Kemudian pemeriksa memperkirakan proporsi setiap bagian tubuh yang terbakar dan mengisi tabel. Sebagai contoh, terjadi luka bakar yang mengenai setengah dari bagian kepala pada orang dewasa akan dihitung setengah dari 7%, yaitu 3,5% dari TBSA tersebut. Hal ini akan manghasilkan tabulasi yang lebih akurat untuk ukuran luka bakar dari pada menggunakan Rule of Nines. (Courtesy of US Army Burn Center, Fort Sam Houston, TX.)

RESUSITASI YANG SUSAH

Adalah penting untuk mengenali ketika cairan resusitasi tidak berjalan dengan baik. Hal ini dapat diwujudkan oleh salah satu dari berikut:

Episode UO rendah yang berulang meskipun dosis infus cairan sudah ditingkatkan Episode berulang hipotensi dan/atau membutuhkan vasoaktif pressor Memburuknya defisit basa, misalnya kurang dari 6.0 Jumlah cairan infus lebih dari 200 mL/kg, yaitu mendekati 250 mL / kgPada pasien ini, manuver berikut harus cepat dipertimbangkan:

Menilai kembali ABC Carilah trauma mekanik yang mungkin terlewat, yaitu perdarahan Mengukur tekanan kandung kemih, mengevaluasi ACS Menilai kembali fungsi jantung dan status volume, misalnya, melalui echocardiography Hindari resusitasi yang berlebihan; tidak memberikan lebih dari 2000 mL/jam atau 1.500 mL / jam secara terus-menerus Pertimbangkan memulai infus kontinu albumin 5 % atau plasma Pertimbangkan penggunaan vasopressor (vasopresin, norepinefrin) untuk mendukung tekanan darah, dan / atau inotropik untuk mendukung fungsi jantung Pertimbangkan tambahan berarti: dosis tinggi vitamin C ; terapi penggantian ginjal terus menerus (CRRT); plasmapheresis

Dalam beberapa regimen resusitasi seperti MBF, infus kontinu dari 5 % albumin diberikan pada post-trauma luka bakar hari ke 2 (24-48 jam pasca -trauma). Dosis untuk ini diberikan dalam Tabel 1.20Albumin 5% sering digunakan sebelum 24 jam pertama pasca trauma pada perawatan pasien yang tidak merespon dengan cara yang biasa untuk resusitasi LR. Ketika ini dilakukan, infus dilanjutkan sampai 48 jam pasca - trauma dan kemudian diturunkan bertahap. Sffle dan kawan-kawan,21 menggambarkan sebuah algoritma untuk penggunaan resusitasi albumin, yang menggunakan konsep ini.Echocardiography, terutama jika segera tersedia, dapat membantu menggambarkan fungsi jantung dan status volume. Kebanyakan pasien luka bakar yang syok menunjukkan penurunan curah jantung, peningkatan kontraktilitas miokard, peningkatan resistensi vaskuler sistemik, dan hipovolemia ketika dilakukan ekokardiografi dan / atau kateterisasi arteri paru (Swan - Ganz).22 Namun demikian, masih banyak yang merespon obat vasoaktif pressor dengan peningkatan tekanan darah dan perfusi organ vital; hal ini mungkin mencerminkan, sebagian, adanya apa yang disebut "faktor depresan miokardial" selama syok luka bakar.23 Jadi, jika seorang pasien hipotensi selama resusitasi meskipun volume loading telah diberikan dengan agresif, penulis umumnya menilai responnya terhadap vasopressin ( 0,4 u/h pada orang dewasa ) diikuti oleh norepinefrin ( mulai dari 1 mg/menit di orang dewasa ). Pemantauan samping tempat tidur dekat pasien ini sangat penting, untuk menghindari resusitasi yang kurang atau berlebihan.

Dosis tinggi vitamin C ( asam askorbat ) telah dipelajari di satu center pada uji coba acak terkontrol di Jepang.24 Dosisnya adalah 66 mg/kg/jam; koordinasi terlebih dahulu dengan

farmasi sering diperlukan untuk memungkinkan dosis sebesar ini akan tersedia. seharusnya

dicatat bahwa dalam percobaan ini, asam askorbat mulai diberikan segera setelah masuk, bukan sebagai terapi penyelamatan setelah resusitasi standar gagal.Chung dan colleagues,25 melaporkan bahwa kelangsungan hidup pasien dewasa dengan luka bakar yang mengalami gagal ginjal akut ( paling sering disebabkan oleh sepsis ) meningkat dengan penggunaan awal CRRT dengan hemofiltration venovenous, dibandingkan dengan mereka yang menjalani konservatif manajemen dengan konsultan nefrologi. Mekanisme mendalilkan untuk efek ini adalah penghapusan sitokin pro inflamasi. Apakah CRRT memberikan keuntungan dalam terapi syok luka bakar masih belum dapat dipastikan. Plasmapheresis ( pertukaran plasma ) telah digunakan di beberapa pusat untuk kasus resusitasi cairan sulit.

Juga ditetapkan untuk penghapusan sitokin proinflamasi dan mediator lainnya. dalam Retrospektif review, Klein dan dan kawan-kawan,26 menemukan bahwa pertukaran plasma, yang dimulai rata-rata 17 jam setelah cedera, dikaitkan dengan penurunan kecepatan cairan infus dan peningkatan UO.Table 1Dosing calculations for 5% albumin infusion

TBSA (%) 3049 5069 70100

Dosea 0.3 0.4 0.5

Contoh: pasien 70kg dengan 40% TBSA akan menerima volume= 0.3x40x70 = 840mL. Kecepatan infus adalah 840mL/24 jam = 35mL/jam, dan kecepatan ini dipertahankan sampai 48 jam post trauma a Volume albumin diberikan dalam 24 jam = (Dose)*(TBSA)*(berat dalam kg).Baru-baru ini, beberapa peneliti mempertanyakan penerapan regimen resusitasi berdasarkan kristaloid intravena. Suatu penerapannya adalah resusitasi enteral yang menggunakan solusi seperti solusi resusitasi oral dari World Health Organization. Dengan melakukan penerapan ini dapat menyimpan sumber-sumber austere yang besar dan dapat meniadakan kebutuhan untuk kristaloid intravena pada banyak pasien dengan luka bakar kurang dari sekitar 30% TBSA.27Penerapan lainnya adalah dengan menggunakan albumin 5% atau fresh frozen plasma sebagai lini pertama resusitasi yang diberikan saat pasien masuk rumah sakit, bukan diberikan setalah 24 jam atau sebagai terapi penyelamatan. Penerapan ini berbalik lagi kepada rumus-rumus terdahulu seperti rumus Brooke yang diperkirakan kebutuhan koloid 0,5 ml/kg/TBSA untuk 24 jam pertama dan kebutuhan kristaloid 1,5 ml/kg/TBSA.28 Pada tahun 1971, Pruitt dan kawan-kawan, 29 di burn center Angkatan Darat AS melaporkan bahwa variasi dosis koloid diberikan selama 24 jam pertama pasca-luka bakar tidak memiliki efek pada volume darah intravaskular, yang berarti bahwa microvasculature ini sangat permeabel terhadap protein plasma selama periode ini. Selanjutnya, pada tahun 1983, Goodwin dan kawan-kawan,30 dari unit yang sama melaporkan dari sebuah penelian randomized controlled yaitu perbandingan resusitasi menggunakan crystalloid-based dan colloid-based, di mana penggunaan koloid berhubungan dengan peningkatan cairan paru ekstravaskuler dan bisa menyebabkan mortalitas (meskipun penelitian ini tidak dirancang untuk mendeteksi hubungan sebab-akibat, jika memungkinkan, hubungan penggunaan koloid dan mortalitas). Namun, penelitian Goodwin dan kawan-kawan juga menunjukkan bahwa resusitasi colloid-based dapat mencapai curah jantung normal lebih awal pada total volume yang lebih rendah (kurang dari 4 ml/kg/TBSA). Jika pasien berisiko tinggi terkena ACS atau resusitasi dengan volume yang besar dapat diprediksi, hal ini menunjukkan bahwa resusitasi menggunakan colloid-based dapat menyelamatkan nyawa pada pasien pada kasus ini. Konsep ini dapat bermanfaat pada penelitian selanjutnya.

Penerapan yang agresif terhadap penggunaan koloid digunakan dalam rumus Pennsylvania Western, yang menggunakan fresh frozen plasma sebagai cairan resusitasi utama selama 24 jam pertama.30 Pendukung penerapan ini setuju bahwa plasma dan albumin tidak digantikan; plasma mengandung prokoagulan, antikoagulan, dan faktor anti-inflamasi yang semuanya terdapat dalam albumin (SF Miller, MD, komunikasi pribadi, 2013). Perlu dicatat bahwa plasma, bukan albumin, merupakan cairan pilihan yang digunakan untuk resusitasi luka bakar seperti rumus awal yaitu rumus Brooke.28 Hepatitis, tidak efektif, adalah alasan mengapa plasma ditinggalkan pada tahun 1950-an. Saat ini, masalah ini sebagian besar telah diatasi, dan konsep plasma tersebut dapat bermanfaat pada penelitian selanjutnya.Jika penghilangan sitokin proinflamasi atau pengendalian stres oksidatif merupakan sebuah mekanisme kerja terapi seperti CRRT atau dosis tinggi vitamin C, maka kemungkinan intervensi tersebut harus dimulai pada pasien berisiko tinggi sesegera mungkin setelah pasien masuk rumah sakit, bukan menunggu 8 sampai 12 jam hingga terjadi kesulitan resusitasi ketika terlihat jelas bahwa pasien mengalami kegagalan resusitasi. Mengetahui pasien yang berisiko tinggi kegagalan resusitasi atau resusitasi menginduksi morbiditas seperti ACS sedini mungkin akan memungkinkan kita untuk melakukan intervensi sedini mungkin.TERAPI TAMBAHANResuscitation morbidity (RM) adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan efek samping dari pemberian cairan yang berlebihan selama resusitasi.31 RM dapat mengenai saluran gastrointestinal (GI), ekstremitas, mata, saluran napas dan paru-paru, dan luka pada luka bakar. Untuk mencegah terjadinya RM, strategi resusitasi cairan harus disertai dengan strategi manajemen edema. Manajemen edema meliputi prosedur rutin yang dilakukan selama resusitasi, dengan tujuan untuk (1) mencegah, (2) mendeteksi, dan (3) mengobati efek dari RM.Ischemia ekstremitas adalah masalah yang sering muncul pada RM. Sering kali terjadi penurunan aliran darah ke ekstremitas yang terbakar merupakan konsekuensi dari sindroma ekstremitas eschar. Pada sindroma ini, pembentukan edema terjadi dibawah paha, tidak elastis, bentuk mengelilingi, luka bakar ekstremitas tebal padat yang menyebabkan penurunan aliran vena dan kemudian terjadi penurunan aliran arteri. Sindroma ekstremitas eschar didiagnosis dengan Doppler flowmetry. Penurunan aliran arteri Doppler pada luka bakar ekstremitas yang berbentuk melingkar merupakan indikasi untuk dilakukan escharotomy. Prosedur ini dilakukan pemeriksaan di tempat pasien (lihat Gambar. 1). Insisi aksial dilakukan pada kulit yang terbakar di jalur midmedial dan midlateral anggota gerak. Perawatan dilakukan dengan menginsisi pada semua bagian kulit yang terbakar. Pemulihan aliran Doppler menandakan bahwa prosedur tersebut berhasil.Pada kasus tertentu, luka bakar pada pasien dapat terjadi sindroma ekstremitas kompartemen yang terlihat jelas. Cedera listrik tegangan tinggi, keterlambatan escharotomy, resusitasi cairan yang berlebihan, atau trauma lainnya dapat menyebabkan edema pada kompartemen otot. Peningkatan tekanan intrakompartmental merupakan diagnostik dari sindroma kompartemen, seperti kategori pasien lainnya. Escharotomy saja tidak bisa memecahkan masalah ini; maka fasiotomi juga diperlukan.Kedua resiko sindroma ekstremitas eskar dan sindroma ekstremitas kompartemen dapat dikurangi dengan meninggikan ekstremitas yang terbakar dengan posisi ekstremitas lebih tinggi dari posisi jantung selama masa resusitasi. Pengecekan nadi dan pemeriksaan ekstremitas bagian paha dilakukan per jam, dengan pencatatan pada lembar observasi, sangat penting untuk mengetahui diagnosis dini. Tidak seperti escharotomy dada (lihat sebelumnya), escharotomy ataupun fasiotomi pada ektremitas bukan merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan pembedahan segera. Dengan demikian, pembedahan dilakukan setelah pasien dirujuk ke burn center, kecuali rujukan tertunda. Pertimbangan yang paling penting dalam menentukan kapan harus melakukan prosedur secepatnya dan seberapa sering komunikasi dengan burn center.Masalah mata yang paling umum terjadi setelah cedera termal adalah cedera kornea pada saat terjadinya luka bakar. Cedera ini lebih sering terjadi pada pasien dengan luka bakar wajah dan/atau cedera inhalasi. Pemeriksaan fluorescein dan konsultasi oftalmologi secara rutin dilakukan pada pasien ini. Yang lebih dikhawatirkan lagi, pasien dengan resusitasi cairan dengan volume yang besar dan edema pada wajah dapat terjadi sindroma kompartemen mata. Sindroma ini didiagnosa dengan pengukuran tekanan intraokular yang dapat dilakukan ditempat pasien dengan tonometer dan diterapi dengan canthotomy lateral dan cantholysis.32Saluran GI juga rentan terhadap RM. Prinsip dasar perawatan adalah dekompresi nasogastrik dan profilaksis ulkus. Pemberian nutrisi secara enteral merupakan kontraindikasi dalam perawatan luka bakar. Tujuannya adalah untuk memulai pemberian makanan enteral melalui selang nasogastrik atau tabung Dobhoff dalam 24 jam pertama pasca-luka bakar pada semua pasien dengan TBSA lebih dari 20%.33 Perhatian lebih diberikan pada pasien hemodinamik yang tidak stabil. Residu lambung dipantau sebagai indikator fungsi saluran pencernaan. ACS merupakan manifestasi paling ekstrim dari RM. Titrasi cairan dengan hati-hati diperlukan untuk mencegah ACS. Pemantauan kandung kemih setidaknya dilakukan setiap 6 jam untuk mendeteksi pasien pada tahap awal ACS dan disarankan untuk memonitor disaat volume infus total melebihi sekitar 200 ml/kg.18 Pasien yang mengalami ACS selama resusitasi luka bakar harus dipertimbangkan untuk paracentesis sebelum laparotomi dekompresi, jika memungkinkan.Pada akhirnya, luka bakar yang rentan terhadap terjadinya RM. Sayangnya, pasien yang mengalami parsial thickness burn (yang dalam) pada hari luka bakar ditemukan setelah 2 hari kemudian luka bakar tersebut akan menjadi full-thickness burn. Proses ini, disebut "konversi" dari luka bakar, kemungkinan adanya iskemia, peradangan, dan/atau edema selama fase penyembuhan dari resusitasi.34 Selanjutnya, pasien yang diresusitasi berlebihan, karena adanya edema masif pada luka, akan mengalami penyembuhan luka bakar yang sulit dan terbentuknya skin graft. Tetapi perawatan luka pada luka bakar, per se, bukan merupakan prioritas utama selama jam pertama setelah cedera. Pasien harus dinilai status tetanus dan diobati dengan tepat. Penulis telah menemukan bahwa tidak adanya manfaat terhadap antibiotik profilaksis pada saat pemberian obat pada pasien-pasien dengan luka bakar.Jika pasien tidak dapat dirujuk ke burn center dalam waktu 24 jam dari cedera, luka-lukanya harus dilakukan debridement dan pemberian antimikroba topikal harus diberikan;35 ini harus diulang setiap 24 jam. Tempat terbaik untuk melakukan debridement di ruang operasi di banyak rumah sakit, karena personil yang memadai, persediaan, dan obat analgesik yang tersedia. Pendekatan ini berlaku untuk debridement non-bedah pada semua jaringan nonviable (lecet, kulit mati) dan benda asing. Chlorhexidine glukonat adalah antiseptik bedah merupakan pilihan untuk prosedur ini. Setelah pembersihan menyeluruh dan debridement, suatu antimikroba topikal seperti Silver Sulfadiazin atau Mafenide Asetat cream diberikan, selanjutnya dibalut dengan kasa.36 Alternatif lainnya adalah dengan menggunakan krim silver-impregnated yang dibalut dengan kassa. Pembalutan kasa ini dapat dibiarkan selama 3 sampai 5 hari dan dengan demikian hal ini ideal untuk pasien melakukan rawat jalan. Alternatif lain adalah Biobrane. Pengganti kulit sintetis ini sangat ideal untuk partial thickness burn, seperti yang disebabkan oleh luka bakar. Kulit sintesis ini tidak boleh digunakan untuk full-thickness burn. Selain itu, tindak lanjut langsung diperlukan untuk mendeteksi adanya ketidak kepatuhan pasien terhadap perawatan dan / atau infeksi.TRIAGE DAN RUJUKANSecepat mungkin setelah pasien tiba, pasien yang harus dirujuk ke burn center harus diidentifikasi dan lakukan komunikasi dengan burn center. Jika perubahan kondisi pasien atau rujukan tertunda, komunikasi yang sedang berlangsung berdasarkan topik yang dibahas dalam artikel ini akan meningkatkan hasil. Indikasi merujuk pasien , antara lain: Kehilangan nafas Kegagalan untuk mengontrol, titrasi, dan mendokumentasikan resusitasi cairan, yang menyebabkan kelebihan atau kekurangan resusitasi

Hipotermia disebabkan karena kurangnya menjaga kehangatan tubuhWaktu merujuk harus dipertimbangkan dengan cermat. Di Amerika Utara, sebagian besar pusat luka bakar ditempuh dalam beberapa jam melalui jalur udara ataupun darat, dan kecepatan merujuk pasien merupakan pilihan terbaik. Dalam skenario transportasi berkepanjangan, seperti di medan perang selama konflik baru-baru ini di Irak dan Afghanistan, transfer ke rumah sakit umum bisa memakan waktu hingga 12 jam melalui udara. Manajemen yang optimal untuk resusitasi luka bakar merupakan sebuah kendala di burn center tapi tidak memungkinkan melalui udara. Dalam hal ini, waktu yang paling ideal untuk melakukan transportasi yaitu 24 jam setelah terjadinya luka bakar, setelah hemodinamik stabil telah dicapai, tapi sebelum risiko infeksi mulai meningkat. Komunikasi dengan burn center adalah kunci keberhasilan.RINGKASANPenilaian awal dan resusitasi pasien dengan luka bakar lebih dari 20% TBSA adalah hal pertama yang dilakukan dari rangkaian panjang langkah-langkah yang ada, yang meliputi perawatan kritis, penyembuhan luka, dan rehabilitasi. Perhatian terhadap proses yang dijelaskan dalam artikel ini akan menentukan tahapan untuk langkah selanjutnya. Konsep yang paling penting adalah bahwa strategi resusitasi cairan harus disertai dengan strategi manajemen edema untuk mengurangi risiko RM pada pasien ini.REFERENSI

1. Anonymous. Burn center referral criteria. Available at: http://www.ameriburn.org/. Accessed December 15, 2013.

2. Cancio LC. Airway management and smoke inhalation injury in the burn patient. Clin Plast Surg 2009;36(4):55567.

3. Cancio LC, Thomas SJ. Burns (thermal, scald or chemical). In: Farr WD, editor. Special operations forces medical handbook. 2nd edition. Washington, DC: U.S. Government Printing Office; 2008. p. 7.177.27.

4. Shimazu T, Yukioka T, Ikeuchi H, et al. Ventilation-perfusion alterations after smoke inhalation injury in an ovine model. J Appl Physiol (1985) 1996;81(5):22509.

5. Chung KK, Wolf SE, Renz EM, et al. High-frequency percussive ventilation and low tidal volume ventilation in burns: a randomized controlled trial. Crit Care Med 2010;38(10):19707.

6. Lange M, Hamahata A, Traber DL, et al. Preclinical evaluation of epinephrine nebulization to reduce airway hyperemia and improve oxygenation after smoke inhalation injury. Crit Care Med 2011;39(4):71824.

7. Shirani KZ, Pruitt BA Jr, Mason AD Jr. The influence of inhalation injury and pneumonia on burn mortality. Ann Surg 1987;205(1):827.

8. Weaver LK, Hopkins RO, Chan KJ, et al. Hyperbaric oxygen for acute carbon monoxide poisoning. N Engl J Med 2002;347(14):105767.

9. Fortin JL, Giocanti JP, Ruttimann M, et al. Prehospital administration of hydroxocobalamin for smoke inhalation-associated cyanide poisoning: 8 years of experience in the Paris Fire Brigade. Clin Toxicol 2006;44(Suppl 1):3744.

10. Cancio LC, Reifenberg L, Barillo DJ, et al. Standard variables fail to identify patients who will not respond to fluid resuscitation following thermal injury: brief report. Burns 2005;31(3):35865.

11. Markell KW, Renz EM, White CE, et al. Abdominal complications after severe burns. J Am Coll Surg 2009;208(5):9407.12. Pham TN, Cancio LC, Gibran NS. American Burn Association practice guidelines: burn shock resuscitation. J Burn Care Res 2008;29(1):25766.13. Chung KK, Wolf SE, Cancio LC, et al. Resuscitation of severely burned military casualties: fluid begets more fluid. J Trauma 2009;67(2):2317.14. Chung KK, Salinas J, Renz EM, et al. Simple derivation of the initial fluid rate for the resuscitation of severely burned adult combat casualties: in silico validation of the rule of 10. J Trauma 2010;69(Suppl 1):S4954.15. Graves TA, Cioffi WG, McManus WF, et al. Fluid resuscitation of infants and children with massive thermal injury. J Trauma 1988;28(12):16569.16. Cancio LC, Jimenez-Reyna JF, Barillo DJ, et al. One hundred ninety-five cases of high-voltage electric injury. J Burn Care Rehabil 2005;26(4):33140.17. Ennis JL, Chung KK, Renz EM, et al. Joint Theater Trauma System implementation of burn resuscitation guidelines improves outcomes in severely burned military casualties. J Trauma 2008;64(Suppl 2):S14651.18. Ivy ME, Atweh NA, Palmer J, et al. Intra-abdominal hypertension and abdominal compartment syndrome in burn patients. J Trauma 2000;49(3):38791.19. Salinas J, Chung KK, Mann EA, et al. Computerized decision support system improves fluid resuscitation following severe burns: an original study. Crit Care Med 2011;39(9):20318.20. Anonymous. Emergency war surgery: third United States revision. Washington, DC: The Borden Institute; 2004.21. Cochran A, Morris SE, Edelman LS, et al. Burn patient characteristics and outcomes following resuscitation with albumin. Burns 2007;33(1):2530.22. Goodwin CW, Dorethy J, Lam V, et al. Randomized trial of efficacy of crystalloid and colloid resuscitation on hemodynamic response and lung water following thermal injury. Ann Surg 1983;197(5):52031.23. Horton JW. Left ventricular contractile dysfunction as a complication of thermal injury. Shock 2004;22(6):495507.24. Tanaka H, Matsuda T, Miyagantani Y, et al. Reduction of resuscitation fluid volumes in severely burned patients using ascorbic acid administration: a randomized, prospective study. Arch Surg 2000;135(3):32631.25. Chung KK, Juncos LA, Wolf SE, et al. Continuous renal replacement therapy improves survival in severely burned military casualties with acute kidney injury. J Trauma 2008;64(Suppl 2):S17985 [discussion: S1857].26. Klein MB, Edwards JA, Kramer CB, et al. The beneficial effects of plasma exchange after severe burn injury. J Burn Care Res 2009;30(2):2438.27. Cancio LC, Kramer GC, Hoskins SL. Gastrointestinal fluid resuscitation of thermally injured patients. J Burn Care Res 2006;27(5):5619.28. Reiss E, Stirman JA, Artz CP, et al. Fluid and electrolyte balance in burns. JAMA 1953;152:130913.29. Pruitt BA Jr, Mason AD Jr, Moncrief JA. Hemodynamic changes in the early postburn patient: the influence of fluid administration and of a vasodilator (hydralazine). J Trauma 1971;11(1):3646.30. Du GB, Slater H, Goldfarb IW. Influences of different resuscitation regimens on acute early weight gain in extensively burned patients. Burns 1991;17(2):14750.31. Orgill DP, Piccolo N. Escharotomy and decompressive therapies in burns. J Burn Care Res 2009;30:75968.32. Sullivan SR, Ahmadi AJ, Singh CN, et al. Elevated orbital pressure: another untoward effect of massive resuscitation after burn injury. J Trauma 2006;60(1):726.33. Mosier MJ, Pham TN, Klein MB, et al. Early enteral nutrition in burns: compliance with guidelines and associated outcomes in a multicenter study. J Burn Care Res 2011;32(1):1049.34. Jaskille AD, Jeng JC, Sokolich JC, et al. Repetitive ischemia-reperfusion injury: a plausible mechanism for documented clinical burn-depth progression after thermal injury. J Burn Care Res 2007;28(1):1320.35. Cancio LC. Surgical care of thermally injured patients on the battlefield. Perioperative Nursing Clinics 2012;7(1):5370.36. DAvignon LC, Chung KK, Saffle JR, et al. Prevention of infections associated with combat-related burn injuries. J Trauma 2011;71(2 Suppl 2):S2829.