Resusitasi Luka Bakar

17
Resusitasi Luka Bakar Frederick W. Endorf dan David J. Dries Abstrak Resusitasi cairan pada luka bakar adalah untuk menjaga perfusi organ dengan memenuhi kebutuhan cairan paling sedikit dan biaya fisiologis paling rendah. Saat dilakukan resusitasi bisa saja berlanjut ke keadaan yang dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian. Dengan menggunakan rumus berdasarkan berat badan dan ukuran luka maka disfungsi organ multipel dan resusitasi yang tidak adekuat akan jarang terjadi. Sebaliknya, pemberian volume cairan yang melebihi petunjuk telah dilaporkan. Terdapat strategi berupa penggunaan koloid dan obat-obatan vasoaktif yang sekarang sedang diteliti untuk mengoptimalkan fungsi end organ disamping menghindari komplikasi yang dapat mencakup kegagalan pernapasan dan sindrom kompartemen. Selain resusitasi, penggunaan antioksidan juga sedang diteliti bersama parameter produksi urin dan tanda- tanda vital untuk mengidentifikasi hasil terapi. Di sini kami meninjau secara singkat state-of-the-art dan memberikan contoh protokol yang sekarang diteliti di pusat-pusat luka bakar di Amerika Utara. Kata kunci: Resusitasi luka bakar, kristaloid, koloid Pendahuluan Salah satu aspek yang paling menantang dalam perawatan pasien luka bakar adalah pemberian resusitasi pada keadaan 1

description

feff

Transcript of Resusitasi Luka Bakar

Page 1: Resusitasi Luka Bakar

Resusitasi Luka Bakar

Frederick W. Endorf dan David J. Dries

Abstrak

Resusitasi cairan pada luka bakar adalah untuk menjaga perfusi organ dengan memenuhi

kebutuhan cairan paling sedikit dan biaya fisiologis paling rendah. Saat dilakukan resusitasi

bisa saja berlanjut ke keadaan yang dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.

Dengan menggunakan rumus berdasarkan berat badan dan ukuran luka maka disfungsi organ

multipel dan resusitasi yang tidak adekuat akan jarang terjadi. Sebaliknya, pemberian volume

cairan yang melebihi petunjuk telah dilaporkan. Terdapat strategi berupa penggunaan koloid

dan obat-obatan vasoaktif yang sekarang sedang diteliti untuk mengoptimalkan fungsi end

organ disamping menghindari komplikasi yang dapat mencakup kegagalan pernapasan dan

sindrom kompartemen. Selain resusitasi, penggunaan antioksidan juga sedang diteliti

bersama parameter produksi urin dan tanda-tanda vital untuk mengidentifikasi hasil terapi. Di

sini kami meninjau secara singkat state-of-the-art dan memberikan contoh protokol yang

sekarang diteliti di pusat-pusat luka bakar di Amerika Utara.

Kata kunci: Resusitasi luka bakar, kristaloid, koloid

Pendahuluan

Salah satu aspek yang paling menantang dalam perawatan pasien luka bakar adalah

pemberian resusitasi pada keadaan akut. Respon inflamasi yang luas akibat luka bakar

melebihi respon inflamasi akibat trauma atau sepsis, dan kebutuhan cairan dapat menjadi

sangat ekstrim. Meningkatnya penelitian yang dilakukan dengan skala besar dilakukan untuk

menemukan strategi penanganan resusitasi pada luka bakar keadaan akut, dan dalam artikel

ini akan kami rangkumkan beberapa temuan terbaru yang paling penting di lapangan.

Setelah mengobati korban-korban kebakaran Coconut Grove pada tahun 1942, Cope

dan Moore pertama kali menyatakan bahwa kebutuhan resusitasi pada luka bakar dapat

diketahui berdasarkan berat badan dan ukuran luka bakar pasien. Dengan pemahaman ini,

Baxter dan Shires menggunakan data anjing dan manusia untuk mengukur kebutuhan cairan

secara spesifik berdasarkan berat badan dan total luas permukaan tubuh (% TBSA). Rumus

3,5-4,5 ml Ringer laktat per % TBSA per kilogram dikenal sebagai rumus Parkland sesuai

dengan tempat percobaan ini dilakukan di kompleks medis Dallas. Meskipun rumus

1

Page 2: Resusitasi Luka Bakar

Parkland masih merupakan rumus resusitasi yang paling sering digunakan di seluruh dunia,

namun masih jauh dari kesempurnaan.

Penelitian yang sedang berlanjut difokuskan untuk memperbaiki rumus yang ada

untuk mencegah komplikasi resusitasi yang berlebihan. Seperti perancangan cara baru untuk

menghitung rata-rata tetesan cairan resusitasi, seperti protokol berbasis perawat atau protokol

berbasis komputer. Komposisi cairan yang digunakan dalam resusitasi difokuskan pada

koloid dan larutan hipertonik. Terapi farmasi ditujukan untuk mengurangi regulasi respon

inflamasi, seperti menggunakan vitamin C yang menunjukan adanya manfaat pada resusitasi

akut. Demikian juga peneliti mengusulkan penggunaan plasmafaresis untuk menghambat

mediator inflamasi dari aliran darah saat resusitasi. Topik akhir yang membawa pengawasan

signifikan adalah hasil dari resusitasi, yaitu memilih hasil yang paling tepat untuk digunakan

dan bagaimana mengukur hasil ini dengan cara terbaik dalam penggunaan klinis.

Volume resusitasi

Rumus Parkland mudah digunakan untuk menghitung volume resusitasi yang

dibutuhkan dan telah digunakan di seluruh dunia. Para peneliti tidak berhenti di rumus

Parkland saja, para praktisi ini mencoba apakah rumus tersebut telah tepat atau tidak dalam

penggunaannya.

Hal yang masih tetap dikritisi dari rumus Parkland yaitu pasien menerima cairan

lebih banyak dari yang diperkirakan berdasarkan berat badan dan % TBSA. Terlepas dari

rumusnya ataupun dari kesalahan dokternya, hal ini masih diperdebatkan, namun yang jelas

bahwa volume cairan yang digunakan dalam resusitasi lebih tinggi dari yang seharusnya

dibutuhkan. Fenomena ini dijelaskan oleh Pruitt sebagai “fluid creep”. Engrav dkk dalam

penelitian yang tergabung dari berbagai pusat penelitian di tahun 2000 menilai resusitasi pada

50 pasien dan mendapatkan hasil bahwa 58% pasien membutuhkan cairan lebih banyak dari

yang diperkirakan dari jumlah yang didapat dengan menggunakan rumus Parkland,

dibandingkan dengan yang diprediksi oleh Baxter yaitu 12%. Friedrich dkk melanjutkan

penelitian ini pada tahun 2004, dengan membandingkan pasien dari institusinya sejak 1970,

dan menemukan bahwa kebutuhan cairan selama dilakukannya resusitasi yaitu dua kali

lipatnya. Pada penelitian berikutnya mereka menghubungkan perubahan yang terjadi dengan

peningkatan kebutuhan cairan pada pasien yang mendapat pengobatan narkotika anti nyeri

selama periode resusitasi. Teori yang mereka kemukanan bahwa bahwa efek vasodilatasi

dari pemberian terapi opioid dapat menyebabkan hipotensi relatif sehingga akan diikuti

dengan kebutuhan cairan yang meningkat. Temuan ini kemudian diulang oleh Wibbenmeyer

2

Page 3: Resusitasi Luka Bakar

dkk yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara penggunaan opioid dalam

24 jam pertama setelah mengalami luka bakar dengan volume cairan yang dibutuhkan pada

waktu yang sama. Bahkan di pusat penelitian Parkland, Blumetti dkk menemukan bahwa

48% dari pasien menerima cairan lebih banyak dari yang diperkirakan. Meskipun muncul

kekhawatiran mengenai“fluid creep” , Cartotto dkk pada pasien terkininya menemukan

bahwa di pusat penelitiannya yang menggunakan rumus kebutuhan cairan 6,3 ml/kg/%TBSA

selama resusitasi, dimana didapatkan 76% membutuhkan cairan lebih dari 4,3 ml/kg/%

TBSA penelitian yang pernah Baxter lakukan.

Protokol resusitasi

Terdapat satu hal yang cenderung menyebabkan kebutuhan cairan saat resusitasi yang

lebih tinggi yaitu kemungkinan inadekuatnya tetesan cairan yang diberikan oleh dokternya.

Cancio dkk meninjau kembali berdasarkan pengalaman yang telah ia dapat ketika melakukan

resusitasi menggunakan rumus Brooke yang telah dimodifikasi, yang diprediksikan

kebutuhan cairannya sebanyak 2 ml/kg/% TBSA. Sebuah temuan penting dari tinjauan yang

dilakukan oleh Cancio yaitu jarang klinisi mengarahkan pengurangan pemberian cairan

ketika urin output rendah. Demi mengurangi ketergantungan terhadap penilaian subjektif dari

para klinisi dalam pembuatan keputusan mengenai resusitasi, beberapa pusat penelitian

melakukan percobaan menggunakan algoritma yang terstandarisasi yang berasal dari urin

output per jam. telah melakukan eksperimen dengan algoritma standar dari output urin per

jam. Dengan pengarahan perawat yang didasarkan pengalamannya diharapkan mampu

mempengaruhi kebutuhan cairan saat resusitasi. Pengembangan algoritma ini diharapkan

memberikan perkembangan ke arah yang lebih baik demi menurunkan tetesan pemberian

cairan ketika urin output tinggi, dan bahkan jika memungkinkan dapat dilakukan penurunan

tetesan meskipun urin output adekuat. Jenabzadeh dkk menggunakan protokol yang

diarahkan oleh para perawat dan menunjukan penurunan secara signifikan pemberian cairan

selama resusitasi dan penurunan volume cairan yang signifikan pada kasus sindrom

kompartemen abdomen.

Untuk menyingkirkan faktor human error, beberapa pusat kesehatan telah

mengkombinasikan algoritma resusitasi dengan sistem komputerisasi. Salinas dkk

menjelaskan dengan sebuah komputer percontohan pada resusitasi luka bakar yang digunakan

pada 32 pasien luka bakar yang dibandingkan dengan variabel kontrol. Mereka menemukan

protokol kebutuhan cairan kristaloid dalam waktu kurang dari 24 dan 48 jam, dan kebutuhan

total kristaloid selama di unit perawatan intensif. Jumlah cairan yang dibutuhkan

3

Page 4: Resusitasi Luka Bakar

berdasarkan derajat dan luasnya luka bakar secara signifikan berkurang pada kelompok

resusitasi yang berbasis komputer tersebut. Protokol terkomputerisasi tersebut juga

membantu pasien dalam mencapai target urin output per jamnya dengan lebih efektif. Pada

penelitian selanjutnya, Salinas dkk menganalisa cara para praktisi tersebut dalam

menggunakan program komputerisasi yang direkomendasikan tersebut dan menemukan

bahwa penerapan system tersebut diterapkan oleh 83,2% praktisi kesehatan. Para praktisi

tersebut ada yang menolak menerapkan system komputer yang direkomendasikan tersebut

dengan alasanbahwa klinisi merasa jumlah cairan yang direkomendasikan kadang berlebihan

dari yang dibutuhkan atau kadang inadekuat, atau jika pasien mengalami hipotensi.

Koloid

Berdasarkan penelitian terdahulu, opini yang beredar adalah bahwa penggunaan

koloid untuk resusitasi pada 24 jam pertama merupakan sebuah kontraindikasi. Hal ini

berdasarkan pemikiran bahwa koloid akan merembes melewati “kebocoran” kapiler pada

kasus syok luka bakar dan terjadi penarikan osmotik sehingga menyebabkan lebih banyak

cairan tertarik ke ruang interstitial dan semakin memperburuk edema pada luka bakar.

Namun, penelitian terbaru menganjurkan penggunaan koloid dalam resusitasi luka bakar,

bahkan dalam 24 jam pertama.

Lawrence dkk melakukan sebuah peninjauan retrospektif pada 52 pasien luka bakar

dengan luka bakar lebih dari 20% TBSA. Dua puluh enam pasien ini mendapat albumin

selama resusitasi, dan 26 lainnya hanya dengan kristaloid. Sebagai bagian dari institusi yang

menggunakan algoritma resusitasi, yang dimana pasien membutuhkan cairan yang lebih

banyak dari yang diperkirakan oleh rumus Parkland dengan mendapat cairan sepertiga dari

kebutuhannya berupa albumin 5% disertai dua pertiganya diberikan cairan ringer laktat (RL).

Setelah pemberian infuse koloid dimulai, volume cairan yang diberikan segera ke jumlah

cairan sesuai prediksi , dan konstan dengan jumlah tersebut. Tidak didapatkan satu pun baik

kelompok koloid maupun kristaloid yang menderita sindrom kompartemen abdomen,

meskipun pada kelompok koloid memiliki eskarotomi yang lebih ektrim, diduga akibat luas

luka bakar rata-rata yang lebih luas. Pada penelitian sebelumnya dari pusat yang sama,

Cochran dkk melakukan analisa dengan case-control luas luka bakar (> 20% TBSA) dimana

ada yang mendapat albumin dan ada yang tidak diberikan albumin saat resusitasi. Albumin

bukan hanya tidak berbahaya, namun memberikan keuntungan dalam menurunkan mortalitas.

Fenomena ini juga berlaku pada pasien anak. Pada kelompok pasien yang sama dilakukan

pemeriksaan pada 53 pasien anak dengan luka bakar lebih dari 15% TBSA ditemukan bahwa

4

Page 5: Resusitasi Luka Bakar

pasien dengan kebutuhan cairan lebih tinggi dari diprediksi telah “dinormalisasi” dengan

pemberian albumin. Dan juga tidak ada kasus sindrom kompartemen abdomen yang terjadi,

serta pada kelompok anak tidak didapatkan perbedaan insiden eskarotomi di ekstremitas atau

di tubuh pasien. Kelompok yang mendapat terapi albumin memiliki masa rawat inap di

rumah sakit yang lebih lama, mungkin berhubungan dengan ukuran luka bakar yang lebih

besar dan tingkat trauma inhalasi yang lebih tinggi. Penggunaan koloid buatan pada resusitasi

luka bakar juga menarik bagi beberapa kalangan. Vlachou dkk melakukan penelitian acak

pada 26 pasien dewasa, ada yang mendapat resusitasi kristaloid murni dan yang diganti

dengan hydroksietilstarch (HES) 6% pada sepertiga perkiraan volume kristaloid yang

dibutuhkan. Mereka menemukan bahwa pasien pada kelompok yang mendapatkan HES lebih

sedikit membutuhkan cairan di 24 jam pertamanya dan lebih sedikit terjadi peningkatan berat

badan. Mereka juga melakukan pemeriksaan terhadap C-reaktif protein sebagai penanda

inflamasi dan menemukan nilai yang lebih rendah pada kelompok yang diberikan HES.

Namun, perlu diperhatikan ketika penggunaan HES dengan konsentrasi yang lebih tinggi.

Bechir dkk meneliti cairan HES 10% yang dibandingkan dengan kristaloid yang diberikan

pada 30 pasien luka bakar dan menemukan kecenderungan terjadinya gagal ginjal dan

kematian yang lebih tinggi meskipun tidak membeikan angka statistik yang terlalu mencolok.

Larutan hipertonik

Sebagai usaha untuk mencegah terjadinya resusitasi yang berlebihan, beberapa

peneliti mencoba untuk memulai menggunakan larutan hipertonik, yang digunakan tunggal

maupun yang dikombinasikan dengan koloid. Belba dkk melakukan penelitian metode

prospektif secara acak terhadap 110 pasien luka bakar, 55 pasien di antaranya diresusitasi

dengan RL sesuai dengan rumus Parkland untuk orang dewasa dan rumus Shriner untuk

anak-anak. Pada 55 pasien lainnya menerima larutan hipertonik laktat yang mengandung

sodium (250 mEq/L) dan laktat (120 mEq/L). Kelompok hipertonik awalnya membutuhkan

cairan yang lebih tinggi, namun kedua kelompok tersebut menunjukan penurunan kebutuhan

berdasarkan rumus Parkland dalam 24 jam pertama. Pasien kelompok hipertonik

membutuhkan cairan yang lebih sedikit dibandingkan kelompok isotonic, namun secara

statistik tidak terlalu signifikan. Penggunaan cairan hipertonik saat resusitasi juga dapat

mengurangi resiko sindrom kompartemen abdomen. Oda dkk menilai pada 36 pasien dengan

luka bakar lebih dari 40% TBSA, pada 14 pasien di antaranya diresusitasi menggunakan

larutan laktat hipertonik dan 22 pasien lainnya mendapat larutan RL. Larutan hipertonik

diberikan secara bertahap, dimulai dengan larutan natrium (300 mEq/L), klorida (88 mEq/L)

5

Page 6: Resusitasi Luka Bakar

dan laktat (212 mEq/L). Kemudian diturunkan secara perlahan, setelah 48 jam luka bakar

diberikan sodium (150 mEq/L), klorida (102 mEq/L), dan laktat (48 mEq/L). Mereka

menemukan bahwa 2 dari 14 pasien pada kelompok hipertonik mengalami sindrom

kompartemen abdomen berbanding 11 dari 22 pada kelompok yang mendapat RL.

Antioksidan

Perluasan peradangan tampak pada cidera luka bakar disebabkan karena pelepasan

radikal oksigen bebas, sehingga memperburuk permeabilitas pembuluh darah dan

menyebabkan edema perifer yang signifikan. Kehilangan cairan yang berpindah ke interstitial

terjadi pada pasien resusitasi yang mendapat cairan lebih banyak. menyebabkan kebutuhan

cairan yang lebih tinggi selama resusitasi. Oleh karena itu penggunaan antioksidan selama

resusitasi dapat membantu membuang radikal bebas dan memperbaiki permeabilitas

pembuluh darah.

Tanaka dkk membandingkan dua kelompok pasien, 18 pasien yang diresusitasi hanya

dengan RL dan 19 pasien lainnya diberikan RL yang ditambah asam askorbat dosis tinggi

(vitamin C 6 mg/kg/jam). Mereka menemukan rata-rata kebutuhan cairan sekitar 3

ml/kg/%TSBA pada kelompok yang mendapat vitamin C dibandingkan dengan kelompok

yang mendapat RL saja sekitar 5,5 ml/kg/% TBSA. Selain itu, pada kelompok vitamin C

memiliki waktu pemberian ventilator yang lebih singkat. Kahn dkk melakukan penelitian

retrospektif pada 33 pasien, 17 pasien mendapat terapi vitamin C dosis tinggi (66 mg/kg/jam)

disertai pemberian RL, dan 16 pasien hanya diberikan RL. Mereka juga menemukan hal yang

sama dimana kebutuhan rata-rata cairan pada kelompok vitamin C yang ditambah RL (5,3

ml/kg/% TBSA) berbanding dengan kelompok RL (7,1 ml/kg/% TBSA). Tidak didapatkan

perbedaan hasil akhir pada penelitian yang mereka lakukan, dan juga tidak didapatkan

komplikasi yang berbeda. Mereka menyimpulkan bahwa penggunaan vitamin C adalah

tambahan yang aman untuk mengurangi kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama resusitasi

luka bakar.

Pada percobaan yang dilakukan terhadap hewan golongan murine, Constantini dkk

melakukan eksperimen dengan menggunakan pentoksifilin (PTX) setelah mengalami trauma

luka bakar, setelah terpanggang sekitar 30%, PTX dalam salin diinjeksikan secara

intraperitoneal pada satu kelompok tikus dan larutan fisiologis tunggal diinjeksi pada

kelompok lainnya. Kelompok yang mendapat PTX mengalami penurunan permeabilitas dan

inflamasi pada intestinum. Temuan lainnya , mereka juga mencatat adanya penurunan insiden

cedera paru akut pada kelompok PTX. Meskipun belum pernah dilakukan percobaan

6

Page 7: Resusitasi Luka Bakar

pemberian resusitasi luka bakar menggunakan PTX pada manusia, hal ini menjajikan untuk

kemudian harinya sebagai pemacu antioksidan sistem imun ketika mendapat resusitasi akut.

Plasmafaresis

Disamping penggunaan antioksidan, beberapa pusat penelitian mencoba

menggunakan pembersih mekanik mediator inflamasi dari aliran darah. Klein dkk

melakukan pemantauan terhadap penerapan penggantian plasma di institusinya selama 5

tahun, yang dimana 37 pasien luka bakar mendapat resusitasi akut menggunakan

penggantian plasma mengulas penggunaan pertukaran plasma, dan tujuh di antaranya

menerima terapi ganda sehingga keseluruhannya berjumlah 44 pasien penggantian plasma.

Pasien-pasien ini mengalami luka bakar berat dengan rata-rata %TBSA 48,6 dan 73% pasien

tersebut mengalami trauma inhalasi. Tidak ada protokol yang digunakan pada permulaan

penggantian plasma, namun diberikan apabila kebutuhan cairan mencapai dua kali lebih

banyak dari jumlah cairan yang diprediksikan menggunakan rumus Parkland. Waktu rata-rata

untuk memulai penggantian cairan sekitar 2,4 jam. Albumin (5%) digunakan sebagai

pengganti utama cairan, kecuali jika pasien memiliki kadar fibrinogen rendah atau faktor

pembekuan yang abnormal, maka pada kasus demikian digunakan fresh frozen plasma (FFP).

Mereka menemukan bahwa dengan penggantian plasma terjadi penurunan kebutuhan akan

cairan kristaloid sekitar 28,3%. Bila disesuaikan dengan berat badan dan % TBSA pasien,

rata-rata volume cairan resusitasi setelah penggantian plasma menurun sebesar 40 %. Setelah

penggantian plasma, jumlah cairan perjam yang diberikan tidak pernah kembali lagi ke

tingkat sebelum pasien dilakukan penggantian.

Neff dkk melakukan penelitian restropektif dengan case-control 40 pasien selama

dua tahun, seluruhnya dengan luka bakar lebih dari 20 %TBSA. Dua puluh satu pasiennya

menerima penggantian plasma sebagai bagian dari pemberian resusitasi, dan mereka sesuai

dengan 19 kontrol lainya. Pertukaran plasma dipicu oleh 1,2 kali lebih banyak dari

perhitungan rumus Parkland, atau disebabkan oleh berlanjutnya output urin yang rendah

ataupun oleh hipotensi yang terjadi akibat peningkatan jumlah cairan. Mereka menemukan

beberapa manfaat fisiologis dengan penggantian plasma, yaitu peningkatan tekanan arteri

rata-rata (MAP) sebesar 24%, peningkatan output urin sebanyak 400%, dan penurunan

kebutuhan cairan resusitasi intravena yang dibutuhkan untuk mempertahankan tanda vital dan

target output urin sebesar 25% untuk mempertahankan tanda-tanda vital dan target urin.

Tingkat laktat juga menurun dan mereka mencatat bahwa peningkatan laktat secara

independen memprediksi kebutuhan untuk penggantian plasma.

7

Page 8: Resusitasi Luka Bakar

Hasil resusitasi dan pemantauan

Tantangan kedua dalam penanganan resusitasi luka bakar adalah penentuan status

klinis pasien yang dikatakan optimal. Biasanya, output urin digunakan dalam mengukur

perfusi jaringan selama resusitasi akut. Greenhalgh mempublikasikan temuan dari survey

anggota-anggota American Burn Association (ABA) dan International Society for Burn

Injuries (ISBI) mengenai berbagai topik tentang resusitasi. Sekitar 94,9% responden

menggunakan urin output sebagai indikator utama keberhasilan resusitasi, dan 22,7% di

antaranya menggunakan indikator lain. Meskipun telah digunakan secara luas, output urin

tidak memberikan gambaran secara umum sebagai patokan pengukuran sempurna untuk

perfusi seluruh jaringan. Difokuskan juga pada beberapa indikator konvesional yaitu berupa

tekanan darah, denyut jantung, dan tekanan vena sentral. dilihat sebagai ukuran sempurna

perfusi jaringan secara keseluruhan. Terdapat beberapa teknik yang digunakan untuk

memeriksa agar didapatkan pengukuran perfusi perifer yang lebih akurat, dan dapat

diberikannya tetesan yang lebih akurat terhadap kebutuhan cairan dengan berbasis waktu/

keadaan tubuh yang sebenarnya.

Parameter yang digunakan berdasarkan termodilusi transkardiopulmoner dengan

menggunakan system PiCCO menunjukkan korelasi yang baik dengan hasil yang diperoleh

dari kateter arteri pulmonal pada pasien luka bakar. Penggunaan sistem ini juga

mengkonfirmasi adanya respon fisiologi hiperdinamik pada pasien anak-anak dengan luka

bakar yang besar. Namun, belum ada penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh sistem

ini terhadap hasil yang didapat selama resusitasi akut pasien luka bakar.

Jeng dkk melakukan penelitian pada empat pasien dengan luka bakar berat (rata-rata

58% TBSA) dan syok, menggunakan probe multisensory dengan tiga transducer. Satu

transducer ditempatkan dalam jaringan subkutan yang menggambarkan luka bakar derajat

dua, transducer lain diletakkan dalam abdomen melalui tabung gaster tonometri, dan

transducer yang ketiga di aliran darah sepanjang garis femoralis lumen tunggal. Kemudian

mereka menggunakan ketiga transducer ini untuk mengukur pH, CO2, dan PaO2 jaringan.

Mereka juga secara bersamaan mencatat jumlah output urin, tekanan arteri rata-rata (MAP),

dan laktat serum. Ketiga, peneliti ini mengukur perfusi pada luka bakar dengan menggunakan

pencitraan laser Doppler dan menghubungkan dengan variabel sebelumnya yang didapatkan

mengalami perubahan terhadap perfusi luka bakar. Meskipun perubahan dari semua yang

didapat dari keseluruhan variabel serupa dengan temuan pada penggunaan Doppler, mereka

menemukan pH jaringan dan CO2, sama baiknya dengan CO2 pada gaster,yang lebih

menggambarkan keadaan perfusi jaringan perifer. Output urin, MAP dan kandungan laktat

8

Page 9: Resusitasi Luka Bakar

mengalami perubahan sepanjang waktu namun cenderung terlambat dalam menggambarkan

keadaan perfusi jaringan perifer dibandingkan pengukuran menggunakan pencitraan laser

Doppler.

Meskipun laktat tidak memberikan informasi “keadaan yang sebenarnya” mengenai

keberhasilan resusitasi, namun laktat mampu memberikan gambaran mengenai morbiditas

dan mortalitas pasien luka bakar. Cochran dkk meneliti 128 pasien dengan rata-rata TBSA

41,7% dan mengukur defisit basa dan level laktat dalam interval 6 jam. Mereka menemukan

bahwa pasien yang tidak mampu bertahan hidup memiliki laktat yang lebih tinggi pada 12,

18, 24,48 jam perawatan di rumah sakit dibandingkan dengan pasien yang mampu bertahan

hidup. Peningkatan laktat dalam 48 jam pertama dapat dijadikan indikator independen dalam

memprediksi mortalitas, namun tidak dapat memiliki ambang batas yang spesifik untuk

penggunaan secara klinis. Autor menyarankan dalam memberikan pengobatan tidak hanya

berdasarkan hasil laboratorium saja.

Kesimpulan

Resusitasi yang dilakukan pada pasien luka bakar dapat berlanjut ke keadaan yang

lebih kompleks dan fase yang lebih menantang dalam perawatan pasien luka bakar. Tren

perjalanan panjang dari peningkatan cairan kristaloid kini disadari para praktisi, dan berbagai

usaha dilakukan demi mengurangi pemberian cairan yang berlebihan disaat yang

memungkinkan. Perbaikan dalam protokol resusitasi serta beberapa terapi pendukung dapat

membantu mengurangi pemberian cairan yang berlebihan. Dengan menemukan standar

pengukuran yang lebih akurat dalam menilai keberhasilan resusitasi memberikan respon

yang lebih baik dan lebih cepat terhadap pebaikan fisiologis.

Kesepakatan terbaik didapatkan dari American Burn Association pada tahun 2008. Yaitu

consensus terkini yang tetap mempergunakan resusitasi dengan kristaloid menggunakan

standar 2-4 mL/kg/berat badan/% TBSA dalam 24 jam pertama. Cairan harus isotonis dan

tetesan untuk mempertahankan output urin sebesar 0,5-1,0 mL/kg/jam pada orang dewasa

dan 1,0-1,5 mL/kg/jam pada anak-anak. Anak-anak membutuhkan cairan tambahan untuk

mempertahankan kebutuhannya. Pemberian volume tambaha diperlukan pada pasien dengan

cedera full-thickness yang signifikan, resusitasi yang tertunda atau inhalasi asap.

Panduan konsensus yang dikeluarkan tidak berlandaskan pada hasil penelitian terkini

yang telah dilakukan, namun berdasarkan keselamatan pasien. Jika didapatkan kasus luka

bakar pada institusi kesehatan yang tidak terbiasa menangani luka bakar, sebaiknya harus

segera dirujuk ke sentral medis penanganan luka bakar.

9

Page 10: Resusitasi Luka Bakar

Bersama pusat kesehatan penanganan luka bakar lainnya di Amerika Serikat, kami

sedang mempelajari pendekatan untuk membatasi pemberian kristaloid dengan berlandaskan

protokol penggunaan obat-obatan vasoaktif dan koloid pada pasien yang tidak berespon

dengan resusitasi awal yamg diberikan. Pemberian kristaloid dibatasi pada 100 mL cairan/kg

dengan luka derajat dua dan tiga dalam praktek kami. Ketika mencapai batas fisik ini, maka

diganti dengan penggunaan koloid tanpa memperkirakan waktu sejak trauma terjadi.

Meskipun pendekatan ini awalnya dirancang untuk pasien dewasa, kami sekarang

menggunakannya pada semua kelompok umur.

Pada praktik di lapangan dalam resusitasi pasien bedah, secara otomatis akan

ditingkatkan pemberian cairan ketika terjadi hipotensi dengan pembatasan ketat pemberian

obat obatan vasoaktif, seperti norepinefrin, dan pemberian diuretik. Pada pasien hipotensi

dengan tekanan vena sentral yang masih bisa ditoleransi dapat diberikan obat vasopressin

atau norepinefrin. Pada pasien dengan tekanan darah dan tekanan vena sentral yang

meningkat dapat diberikan furosemide dan dobutamin sebagai tambahan untuk mengurangi

cairan resusitasi. Metode ini menggabungkan pilihan resusitasi yang harus dikonsultasikan

dengan pusat-pusat yang memiliki keahlian dalam penanganan luka bakar.

10