Post on 12-Jul-2015
description
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 1/17
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Diagnosis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit multisistem
dimana terjadi inflamasi, produksi antibodi, dan ikatan deposisi komplek imun
yang mengakibatkan kerusakan jaringan. SLE terjadi bila faktor predisposisi
genetik diaktivasi oleh faktor lingkungan, obat-obatan, atau agen infeksius
sehingga menyebabkan respon imun yang abnormal. Pada penyakit SLE ini
terdapat gangguan autoimun multisistem dengan spektrum abnormalitas pada
klinis dan laboratoris, termasuk perkembangan autoantibodi melawan DNA dan
antigen inti serta molekul membran seperti fosfolipid. Banyaknya antibodi
berbeda yang dapat diproduksi pada pasien dengan SLE, menyebabkan
manifestasi klinis dengan spektrum yang luas, baik yang tidak mengancam organ
maupun mengancam organ (Wallace, 2008).
Manifestasi klinik SLE sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal
tidak dikenali sebagai SLE. Namun kecurigaan akan penyakit ini bila dijumpai 2
(dua) atau lebih keterlibatan organ sebagaimana terantum di bawah ini, yaitu
(Sudoyo dkk., 2007):
1. Jender wanita dengan rentang usia reproduksi
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi), dan
penurunan berat badan
3. Muskuleskeletal: arthritis, artralgia, miositis
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 2/17
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLE
membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, dan
vaskulitis
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan, sindrom nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, dan nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy , hipertensi pulmonal, SLE parenkim paru
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, trombositopenia
11.Neuropskiatri: psikosis, kejang, sindrom otak organik, mielitis transversa,
neuropati kranial dan perifer
Pada pasien ini dicurigai SLE karena didapatkan hal-hal berikut:
1. Perempuan berusia 15 tahun
2. Keluhan lemas seluruh badan dan demam
3. Malar rash, fotosensitivitas, vaskulitis
4. Proteinuria 2+
5. Mual, muntah, nyeri abdomen
6. Anemia
Penegakan diagnosis SLE berdasarkan karakteristik gambaran klinis dan
autoantibodi. Kriteria yang saat ini digunakan berdasarkan American College of
Rheumatology (ACR). Adanya kombinasi dari 11 kriteria yang diketahui
kapanpun selama perjalanan penyakit menunjukkan adanya SLE pada pasien
tersebut. Kriteria diagnosa tersebut yaitu (Fauci et al , 2008):
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema menetap, datar, atau menonjol pada malar
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 3/17
eminence
Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran
keratotik scaling yang melekat dan sumbatan
folikular, parut atrofi dapat ditemukan
Fotosensitivitas Paparan sinar ultraviolet menyebabkan timbulnya
ruam kulit
Ulkus mulut Meliputi ulkus oral dan nasofaringeal
Arthritis Arthritis non erosif pada dua atau lebih persendian
perifer dengan rasa nyeri, bengkak, dan efusi
Serositis Pleuritis atau perikarditis yang dibuktikan dengan
rekaman EKG atau rub atau bukti efusi
Gangguan ginjal Proteinuria > 5 gram/hari atau ≥ 3+ atau cetakan
seluler
Gangguan neurologi Kejang atau psikosis tanpa penyebab yang lain
Gangguan hematologi Anemia hemolitik atau leukopenia (<4000/ L) atauɥ
limfopenia (<1500/ L) atau trombositopeniaɥ
(<100.000/ L) tanpa disebabkan oleh obat-obatanɥ
Gangguan imunologi Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipidAntibodi antinuclear
(ANA) positif
Titer abnormal dari ANA melalui imunofluoresensi
atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat
Sedangkan pada pasien ini yang didapatkan ialah:
Kriteria Temuan pada Pasien
Ruam malar +
Ruam diskoid -Fotosensitivitas +
Ulkus mulut +
Arthritis Tidak didapatkan arthritis, namun didapatkan
artralgia pada kedua sendi siku, lutut,
pergelangan tangan
Serositis -
Gangguan ginjal Hanya didapatkan proteinuria 2+
Gangguan neurologi -
Gangguan hematologi + (Limfopenia, Limfosit : 0,7x103
), didapatkan
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 4/17
anemia defisiensi Fe yang bukan merupakan
kriteria SLE
Gangguan imunologi Anti-dsDNA (+)
Antibodi antinuclear (ANA)
positif
Belum diperiksa
Dengan demikian pada pasien ini ditemukan 5 dari 11 kriteria ACR
sehingga diagnosa SLE bisa ditegakkan pada pasien ini.
Kelainan ginjal ditemukan pada 50-60% dari semua pasien SLE, dan
tidak jarang merupakan gambaran klinis pertama dan satu-satunya yang akan
mengikuti periode reisi dan eksaserbasi sesuai dengan SLEnya. Manifestasi
klinis lupus nefritis bervariasi mulai dari kelainan urinalisis tanpa keluhan dan
ditemukan pada pemeriksaan rutin maupun dalam keadaan sindrom nefrotik atau
keadaan darurat medis (sindroma nefritik akut dan syndrome rapidly progressive
glomerulonephritis). Gejala lupus nefritis biasanya berkolerasi baik dengan
tingkat keterlibatan glomerulusnya (Sudoyo dkk., 2007).
Diagnosis klinis lupus nefritis ditegakkan bila pasien SLE terdapat
proteinuri ≥ 1gr/24jam dengan/atau hematuri (>8 eritrosit/lpb) dengan/atau
penurunan fungsi ginjal sampai 30%. Sedangkan diagnosis pasti lupus nefrtis
ditegakkan dengan biopsi ginjal berdasarkan klasifikasi morfologi dari WHO
(Sudoyo dkk., 2007).
Klasifikasi lupus nefritis terutama berdasarkan histologi. Biopsi ginjal
sangat berguna dalam merencanakan terapi saat ini dan jangka panjang. Biopsi
ginjal dibutuhkan untuk mengklasifikasikan pasien secara tepat. Meskipun pasien
lupus dengan proteinuria atau hematuria, tidak dapat langsung disimpulkan
bahwa penyakit yang melatarbelakangi adalah lupus nefritis. Biopsi ginjal dapat
mengidentifikasi lesi lainnya, termasuk komorbiditas dari diabetes mellitus dan
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 5/17
hipertensi, nefritis interstitiel akibat obat-obatan, renal vasculitis akibat hepatitis C
(cryoglobulinemia), atau perubahan mikroangipathy (seringkali akibat antibodi
antifosfolipid) (Imboden, et al , 2007).
Berdasarkan manifestasi klinisnya, lupus nefritis dapat diklasifikasikan
menjadi 5 kelas dengan uraian sebagai berikut (Wallace, 2007):
Ke-
las
Pola Deposisi
imun
kompleks
Sedi-
men
Proteinuria
(24jam)
Cr
serum
Tekanan
darah
Anti
ds-
DNA
C3/
C4
I Nor-
mal
(-) Bland <200 mg N N (-) N
II Mesa-
ngial
Mesangial RBC
atau
Bland
200-500 mg N N (-) N
III Prolife-
ratif
fokal
dan
seg-
mental
Mesangial,
subendote-
lial±subepi-
telial
RBC,
WBC
200-3500
mg
N – ↑
ringan
N-↑ (+) ↓
IV Prolife-
ratif
difus
Mesangial,
subendote-
lial±subepi-
telial
RBC,
WBC,
RBC
cast
1000->3500
mg
N -
dialisis
Tinggi (+) –
titer
tinggi
↓
V Mem-
bra-
nous
Mesangial,
subepitelial
Bland >3000 mg N – ↑
ringan
N (-) –
titer
mene-
ngah
N
Pada pasien ini didapatkan eritrosit 5-7/lpb, leukosit 11-15 /lpb, protein
Esbach 200 mg/24 jam, kreatinin serum normal (0,85 mg/dl), tekanan darah
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 6/17
meningkat (150/120 mmHg), dan anti-dsDNA (+). Meskipun berdasarkan
diagnosis klinis lupus nefritis masih belum terpenuhi, namun berdasarkan gejala
klinisnya termasuk lupus nefritis kelas III atau pola proliferatif fokal dan segmental.
3.2 Penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan pasien SLE, terutama pasien yang baru terdiagnosis. Butir-butir
edukasi yang diperlukan terhadap pasien SLE antara lain (Sudoyo dkk., 2007):
1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya
2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait
dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat
bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya, maupun pemakaian
kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri
pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah
terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri,
mengatasi rasa nyeri
5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian, dan
sebagainya. Perlu suplementasi vitamin dan mineral. Obat-obatan yang
dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis
lainnya termasuk antibiotik
6. Di mana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE ini, adakah
kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE
dan sebagainya
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 7/17
Sebelum pasien SLE diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
pasien tergolong yang memerluka terapi konservatif atau imunosupresif yang
agresif. Pada umumnya pasien SLE yang tidak mengancam nyawa dan tidak
berhubungan dengan kerusakan organ dapat diterapi secara konservatif. Bila
penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis
tinggi dan imuosupresan lainnya (Sudoyo dkk., 2007).
NSAID merupakan terapi yang efektif untuk gangguan muskuloskeletal
dan keluhan pada pasien SLE. Dari sudut pandang toksisitas gastrointestinal
bersama dengan risiko kardiovaskuler dari NSAID, perlu penggunaan yang
bijaksana dalam selang waktu yang terbatas pada pasien dengan risiko
gangguan gastrointestinal, ginjal, dan kardiovaskuler (Firestein et al., 2008).
Pada pasien ini tidak diberikan NSAID karena terdapat gangguan
gastrointestinal berupa mual, muntah, dan nyeri perut, juga karena sudah
terdapat gangguan pada ginjal berupa proteinuria 2+ dan tekanan darah 150/120
mm Hg.
Antimalaria, terutama hidroksiklorokuin, sering digunakan pada
manifestasi lupus muskuloskeletal dan kutaneus. Obat ini mempunya efek jangka
panjang dalam mencegah flare pada SLE. Beberapa studi juga menunjukkan
efek hidroksiklorokuin pada aktivitas penyakit dan serum kolesterol (Firestein et
al., 2008). Obat-obatan antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus,
baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek
sunblocking , antiinflamasi, dan imunosupresan. Pemberian klorokuin lebih dari 3
bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik
karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina (Sudoyo dkk., 2007).
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 8/17
Pasien yang mengonsumsi klorokuin dengan dosis yang sesuai memiliki resiko
terjadinya retinopati kira-kira 10% (Wallace, 2007). Pada pasien ini diberikan
klorokuin 250 mg per hari untuk mengatasi gejala lupus kutaneus dan arthalgia
yang muncul.
Dosis glukortikoid sangat penting diperhatikan bila dibandingkan jenis
glukortikoid yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian glukortikoid
berefek panjang seperti deksametason sebaiknya dihindari. Pada manifestasi
minor SLE seperti arthritis, serositis, dan gejala konstitusional dapat diberikan
prednisone 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi mayor dan serius
seperti vaskulitis, luus kutaneus yang berat, poliartritis, poliserositis, miokarditis,
pneumotitis lupus, glumerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemoltik,
trombositopenia sindrom otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati,
neuropati perifer, dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi). dapat diberikan
prednisone 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprenisolon intravena 1
gram atau 15mg/kgBB/hari selam 3-5 hari dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti glukortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednisone
oral 1-1,5 mg/kgBB/hari. Respon terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi
dapat juga dalam waktu yang cukup lama, seperti 6-10 minggu. Toksisitas SLE
merupakan prolem tersendiri alam penatalaksanaan SLE. Setelah pemberian
glukortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus dilakukan penurunan
dosis secara bertahap, dimulai dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul
eksaserbasi akut. Setelah dosis prednisone mencapai 30 mg/hari maka
penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis
prednisone dinaikkan ke dosis efektif sebelumnya sampai beberapa minggu,
kemudian dicoba diturunkan kembali (Sudoyo dkk., 2007).
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 9/17
Berikut ini adalah regimen terapi glukokortikoid (Wallace, 2007):
Regimen Indikasi Efeks Samping TerseringPulse GC (PGC):
250 mg
PDNeq/hari 1-5
hari. 0,5-1 g
MP/hari IV 1-3
hari, setiap bulan
sesuai indikasi
Biasanya dengan
GC oral (30-60
mg PDNeq/hari).
Komplikasi yang
mengancam jiwa/organ
(contoh RPGN,
myelopathy, severe
acute confusional state,
pendarahan alveolar,
vasculitis, optic neuritis)
HDGC-refractory
Disease
DPGN atau severe
FPGN
Sama dengan HDGC (lihat
bawah),tetapi secara keseluruhan efek
samping mungkin rendah, sebagian
karena dosis oral GC bisa ditapering
lebih cepat.
perlu perhatian khusus karena dosis
yang besar : kelebihan cairan,
hipertensi, gejalaneuropsikiatrik.
Jarang: aritmia-kematian mendadak,
myalgias/arthralgia, kejang, cegukan
yang keras, GC-anafilaksis
Very High Dose
GC (VHDGC):
>100 mg
PDNeq/hari,
IV/PO (dimulai
dengan dosis
terbagi)
Komplikasi yang
mengancam organ/jiwa
Sama tetapi lebih parah dari psikosis
HDGC
resiko terjadinya infeksi yang parah
meningkat (hindari penggunaan lebih
dari 1-2 minggu)
High Dose GC
(HDGC): >30 mg
dan>100 mg
PDNeq/hari,
IV/PO
DPGN atau FPGN yang
parah (kurang dari 6-8
minggu)
Thrombocytopenia/hem
olytic anemia
Acute lupus
pneumonitis, lupus crisis
Efek samping yang sama pada HDGC
dan MDGC tetapi insiden dan
keparahannya lebih rendah
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 10/17
Moderate Dose
GC (MDGC):
>7.5 mg dan30
mg PDNeq/hari,
IV atau PO
SLE kambuhan sedang
(contoh miositis, severe
pleurisy,
ophthalmoplegia [kecuali
optic neuritis],
trombositopenia)
dengan PGC, atau
CY/AZA untuk penyakit
yang parah
Supresi HPA-axis, Cushing sindrom,
hipertensi, hipokalemia, hiperglikemia,
hiperlipidemia, aterosklerosis
osteoporosis, osteonekrosis ,
resikoinfeksi, retardasi pertumbuhan
tulang, glaucoma, katarak, kulit yang
mudah rapuh, jerawat, insomnia,
steroid psikosis, perubahan suasana
hati yang cepat berubah, dll.
Low Dose GC
(LDGC): 7.5 mg
PDNeq/hari, PO
Arthritis, gejala
konstitusional yang
sedang (tidak berespon
dengan
analgesik/NSAID/Antima
laria).
general
lymphadenopathy
dosis pemeliharaan
Toksis harian kecil. Katarak, gejala
putus Glucocortikoid (tapering sampai
ke /di bawah LDGC), retardasi
pertumbuhan tulang bisa terjadi.
Kemungkinan minimal osteoporosis,
osteonekrosis, supresi HPA-axis.
Alternate Day
GC (ADGC)
Membranous nephritis
dengan sindroma
nefrotik (120 mg
PDNeq)
selama tapering dosis
GC.
Dosis pemeliharaan
(misal 15 mg dosis
Penurunan efek samping (contoh
supresi HPA-axis, skeletal
retardasi pertumbuhan, infeksi,
Cushing syndrome) bila
dibandingkan regimen harian
osteoporosis dapat terjadi.
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 11/17
ekuivalen prednisone
untuk GN)• AZA, azatioprin; CY, Siklofosfamid, LN, lymphadenopathy; MP,
methylprednisolone; ON, osteonekrosis, OP, osteoporosis; PDNeq,
prednisone equivalent; RPGN, rapidly progressive glomerulonephritis: FPGN,
Focal proliferative glomerulonephritis; AM, Antimalaria.
• Dosis diasumsikan pasien dengan berat badan 60 kg, penyesuaian
diperlukan pada pasien dengan berat badan berbeda
Pada pasien ini diberikan terapi agresif glokortikoid high dose berupa
metilprednisolon 2 x 16 mg yang setara dengan prednison 40mg/hari..
Metilprednisolon dipilih sebagai terapi glukortikoid untuk meminimalisir efek
samping karena pada pasien ini memiliki tekanan darah 150/120 mmHg.
Diberikan glukortikoid high dose karena pada pasien ini didapatkan manifestasi
vaskulitis dan sudah mulai ada kelainan ginjal (proteiuria 2+) meskipun masih
belum memenuhi kriteria lupus nefritis. Setelah 6 minggu dan kondisi pasien
mulai stabil (flare sudak membaik), dosis ini bisa ditapering 2 mg/minggu bila
tidak timbul eksaserbasi akut.
Sedangkan terapi sitotoksik pada SLE diberikan dengan indikasi khusus,
yaitu (Firestein et al., 2008):
UMUM
Keterlibatan organ mayor atau organ non mayor yang ekstensif (misal kulit) yang
refrakter terhadap terapi lini pertama
Kegagalan respon atau ketidakmampuan untuk menurunkan kortikosteroid ke
dosis yang bisa diteria untuk penggunaan jangka panjang
Keterlibatan organ spesifik
Ginjal:
Proliferative or membranous nephritis
Hematologik:
Trombositopenia berat (trombosit <20 × 103/μL)
Thrombotic thrombocytopenic purpura–like syndrome
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 12/17
Anemia hemolitik atau aplastik berat atau neutropenia imun yang tidak berespon
terhadap kortikosteroid
Pulmonary:
Lupus pneumonitis atau perdarahan alveolar
Jantung:
Miokarditis dengan penurunan fungsi ventrikel kanan, perikarditis dengan
impending tamponade
Gastrointestinal:
Vaskulitis abdominal
Sistem saraf:
Myelitis transversa, cerebritis, psikosis refrakter terhadap kortikosteroid,
mononeuritis multiplex, neuropati perifer berat
Berikut ini adalah obat-obatan sitotoksik yang digunakan pada terapi SLE
(Firestein et al., 2008):
Obat Dosis
Jenis
Toksisitas Evaluasi
Pemantauan
Laboratorium
Azatioprin 50-100
mg/hari
dalam 1-3
dosis
dengan
makanan
Mielosupresi,
hepatotoksik,
gangguan
limfoproliferatif
Darah tepi
lengkap,
kreatinin,
AST/ALT
Darah tepi
lengkap setiap 2
minggu dengan
perubahan
dosis; baseline
tests setiap 1-3
bulan
Mikofenolat
Mofetil
1-3 g/hari
dibagi dalam
Mielosupresi,
hepatotoksik,
Darah tepi
lengkap,
Darah tepi
lengkap setiap
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 13/17
Obat Dosis
Jenis
Toksisitas Evaluasi
Pemantauan
Laboratorium2 dosis
dengan
makanan
infeksi kreatinin,
AST/ALT
1-2 minggu
dengan
perubahan
dosis; baseline
tests setiap 1-3
bulanSiklofosfamid 50-150
mg/hari
dosis
tunggal saat
sarapan;
Mielosupresi,
sistitis hemorgik,
gangguan
limfoproliferatif,
keganasan
Darah tepi
lengkap,
kreatinin,
AST/ALT,
urinalisis
Darah tepi
lengkap dengan
hitung jenis
setiap 1-2
minggu dengan
perubahan dosis
dan kemudian
setiap 1-3 bulan;
jaga leukosit
>4000/mm3
dengan
penyesuaian
dosis; urinalisis
dan AST atau
ALT setiap 3
bulan; urinalisis
setiap 6-12
bulan setelah
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 14/17
Obat Dosis
Jenis
Toksisitas Evaluasi
Pemantauan
Laboratoriumberhenti
Metrotreksat 7.5-15
mg/minggu
dalam 1-3
dosis
dengan
makanan
atau air/susu
Mielosupresi,,
hepatik fibrosis,
pneumonitis
Foto thorax,
serologi
hepatitis B dan
C pada pasien
dengan risiko
tinggi, AST
atau ALT,
albumin,
alkaline
phosphatase
dan kreatinin
Darah tepi
lengkap, AST,
albumin,
kreatinin setiap
1-3 bulan
Siklolsporin 100-400
mg/hari
dalam 2
dosis pada
saat yang
bersamaan
setiap hari
saat makan
atau antara
makan
Gangguan
fungsi ginjal,
anemia,
hipertensi
Darah tepi
lengkap,
kreatinin,
asam urat, tes
fungsi hati,
tekanan darah
Kreatinin setiap
2 minggu
sampai dosis
stabil, kemudian
setiap bulan;
darah tepi
lengkap, kalium,
dan tes fungsi
hati setiap 1-3
bulan; level
siklosporin bila
digunakan dosis
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 15/17
Obat Dosis
Jenis
Toksisitas Evaluasi
Pemantauan
Laboratoriumtinggi
Siklofosfamid (alkylating agent ) maupun mikofenolat mofetil (inhibitor
relatif limfosit-spesifik inosine monophosphatase dan sintesa purin) merupakan
pilihan yang dapat diterima sebagai induksi perbaikan pada pasien yang sakit
berat. Azatioprin ( purine analogue dan cycle-specific antimetabolite) dapat efektif
namun lebih lambat dalam menimbulkan respon (Fauci, 2008).
Pada pasien dengan biopsi ginjal yang menunjukkan kelas III atau IV,
terapi awal dengan kombinasi glukokortikoid dan siklofosfamid mengurangi
perburukan ke ESRD (End Stage Renal Disease) dan memperbaiki survival.
Suatu studi jangka pendek dengan dengan menggunakan glukortikoid dan
mikofenolat mofetil menunjukkan regimen tersebut lebih aman dan tidak lebih
inferior daripada siklofosfamid dalam menunjukkan perbaikan, dan mikofenolat
mofetil atau azatioprin lebih aman daripada siklofosfamid dalam menjaga
perbaikan setelah 6 bulan fase induksi (Fauci, 2008). Siklofosfamid dapat
menyebabkan prolong amenorrhea karena premature ovarian failure yang dapat
menyebabkan infertilitas (Saoji, 2008).
Siklofosfamid tidak digunakan pasien ini karena pasien masih berusia 15
tahun, belum menikah dan belum memiliki anak sehingga disarankan
penggunaan obat lain yang tidak menimbulkan resiko infertilitas. Mofetil
mikofenolat tidak menjadi pilihan karena harganya mahal dan tidak ditanggung
oleh Jamkesmas. Oleh karena itu pada pasien ini diberikan azatriopin 2 x 50 mg.
Azatioprin yang ditambahkan pada glukokortikoid dapat menurunkan jumlah flare
SLE dan memelihara kebutuhan glukokortikoid (Fauci, 2008).
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 16/17
DAFTAR PUSTAKA
Imboeden J, et al. 2007. Current Diagnosis and Treatment Rheumatology. 2nd
Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc
Fauci AS, et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine: 17th Edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc
Firestein GS, et al. 2008. Kelley's Textbook of Rheumatology . 8th Edition.
Elsevier, Inc
Madhok R. and Wu O. Systemic Lupus Erythematosus. British Medical Journal,
Clinical Evidence 2009, 07: 1123
5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 17/17
Saoji VA. Prmature Ovarian Failure due to Cyclophosphamide: A Report of Four
Cases in Dermatology Practice. Indian Journal of Dermatology,
Venereology and Leprology. 2008; 74: 128-132
Wallace DJ, Hahn BH. 2007. Dubois’ Lupus Erythematosus. 7th Edition.
Lippincott: Williams & Wilkins.
Wallace, DJ. 2008. Lupus The Essential Clinician’s Guide. Oxford University
Press