Post on 27-May-2019
RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA
TERHADAP KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 97/PUU-XIV/2016 TENTANG ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN KOLOM AGAMA
BAGI PENGHAYAT KEPERCAYAAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S. H) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
Ahmad Rezi Al-Parisi
1111045200013
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
ABSTRAK
Ahmad Rezi Alparisi, NIM: 1111045200013, (Respon Tokoh Majelis Ulama Indonesia Terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 Tentang Administrasi Kependudukan Kolom Agama Bagi Penghayat Kepercayaan), Konsentrasi Siyasah Syari’ah Program Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini dilakukan pada Respon Majelis Ulama Indonesia terhadap pencantuman kolom agama bagi pengaut kepercayaan. Respon Majelis Ulama Indonesia menanggapi permasalahan ini dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Kolom agama bagi kaum Penghayat Kepercayaan bahwa dipersilahkan mengajukan permohonan untuk di akui indentitas sebagai penghayat kepercayaan, tetapi Agama dan kepercayaan tidak bisa disatukan dan disamakan, karna kepercayaan itu bukan dari sebagian agama melainkan kepercayaan yang dibuat oleh manusia itu sendiri dan agama sudah pasti rangkaian dan ciptaan yang maha kuasa, maka dari itu Majelis Ulama Indonesia tidak melarang apa yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan persyaratan bahwa di dalam E-KTP kolom agama tidak bisa disejajarkan dengan aliran kepercayaan harus ada perbedaan diantara keduanya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode pengumpulan sumber data primer dan sekunder seperti data/informasi, studi pustaka, dan dokumen.Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa aliran kepercayaan untuk pengisian kolom agama tetap dilayani publik dan dicatat didalam database. Tindak Lanjut Keputusan Mahkamah Konstitusi pada kenyataannya dalam Putusan tersebut memberikan hak bagi siapa saja yang belum mendapatkan atas haknya untuk kaum penghayat aliran kepercayaan, maka Mahkamah Kosntitusi menindaklanjuti keputusan tersebut dengan adanya rencana pemerintah mengubah UU Adminduk sesuai dengan norma dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kata kunci : Respon Tokoh MUI, Kolom Agama, Penghayat Kepercayaan
Pembimbing : Hj. Masyrofah. S. Ag.,M.Si,
iv
حیم حمن الر بسم هللا الر
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang telah melimpahkan
kemampuan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjalankan tugas-tugas
kekhalifahan di bumi dan atas semua yang telah dilimpahkan kepada umat
manusia secara umum dan penulis secara khusus. Shalawat beserta salam tak
luput kepada pembawa risalah-Nya Nabi Muhammad SAW, para keluarga,
sahabat, dan mereka semua yang telah berjuang untuk menegakkan kalimat tauhid
di muka bumi ini dan membimbing umat manusia sehingga dapat menjalani
kehidupan yang lebih baik di dunia dan kebaikan hidup di akhirat.
Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan Karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adanya bimbingan, kritikan dan masukan
yang sangat berarti diperlukan penulis untuk dapat lebih menyempurnakan dan
memperbaiki agar penyajian skripsi ini lebih sempurna.
Dalam perjalanan penulisan skripsi ini, satu hal yang menjadikan sebuah
kebanggaan bagi penulis adalah mengikuti perkuliahan di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya Fakultas Syari'ah dan Hukum. Di dalam
perjalanan ini begitu banyak pengalaman serta pengetahuan baru yang penulis
dapatkan, baik sifatnya menyenangkan maupun yang mengharukan, karena
dengan melewati itu semua maka kepribadian dan kedewasaan dalam bersikap
bisa penulis dapatkan.
Menyelesaikan skripsi ini tentu banyak rintangan dan halangan yang
penulis hadapi. Butuh extra kerja keras untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis
v
faham bahwa dalam mengerjakan skripsi bukan perkara yang mudah karena butuh
ketelitian dan kemauan yang tinggi. Tetapi bersyukur alhamdulillah, semua itu
bisa diatasi berkat motivasi dan dorongan yang diberikan oleh semua pihak yang
membantu dan memberikan dukungan tiada henti kepada penulis. Semoga Allah
SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu mengasihi dan
menyayangi kalian, dimana kalian berada. Rasa terima kasih ingin penulis
sampaikan kepada :
1. Bapak Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA,Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para wakil Dekan yang telah
membimbing penulis dalam menjalani perkuliahan.
2. Ibu Dra. Hj. Maskufa, MA,Ketua Program StudiSiyasah Syar’iahyang telah
memberikan bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis
selama penulis mengikuti perkuliahan sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag,Sekretaris Program StudiSiyasahSyar’iyah yang telah
banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan
berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaik-
baiknya.
4. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA, dosen Penasehat Akademik yang
telah memberikan arahan, bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti
perkuliahan dan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini sehingga skripsi
dapat diseminarkan dengan baik.
5. Ibu HJ. Masyrofah, S.Ag,.M.Si, dosen pembimbing yang sangat penulis
vi
hormati, dengan sangat sabar dan keikhlasan beliau membimbing penulis,
memberikan banyak ilmu dan waktunya kepada penulis sehingga banyak hal
baru yang penulis dapatkan selama bimbingan bersama beliau dan
menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
6. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah membimbing penulis dan memberikan ilmunya selama masa
kuliah.
7. Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang membuat penulis mudah untuk mencari bahan dan literatur
selama masa kuliah.
8. Keluarga penulis, teristimewa ayahanda bapak. H. Muhamad Nairin dan
ibunda tercinta HJ. Dede Sindarwati yang senantiasa tiada henti mendoakan
penulis, memberikan limpahan kasih sayang, kesabaran, dukungan serta
motivasi baik moral maupun materil kepada penulis. Tak lupa untuk kakak-
kakak penulis tercinta, Eka Mardiana Aprilia dan Ahmad Jamil, terima kasih
untuk segala doa yang kalian berikan, semoga Allah SWT selalu melimpahkan
kasih sayang-Nya dan keberkahan untuk kalian.
9. Ahmad Fajaruddin yang sama-sama sedang berjuang dalam meraih mimpi dan
juga untuk keluarganya, yang selalu memberikan doa dan dukungannya
selama penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini.
10. Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren La Tansa, Kyai H. Drs. Adrian
Mafatihullah Kariem, MA. beserta guru-guru yang berada di Pesantren tidak
lupa ta’dzim dan hormat penulis, terima kasih atas doa dan ilmu yang sangat
vii
berguna bagi penulis dalam membentuk kepribadian yang lebih baik lagi.
11. Teman-teman seperjuangan HTN angkatan 2011, Andi, Hera, Lisna, Merry,
Tiwa, Arista, Tomi, Uti, Dwi, Anwar, Fajar, Devi, Fifit, Gilang, Mun'im, Rezi
dan Buya.Dan tidak lupa juga untuk teman-teman dari jurusan Pidana Islam
angkatan 2011.
12. Teman-teman KKN (Kuliah Kerja Nyata) Slapajang Kecamatan Cisoka
Kabupaten Tangerang, kelompok SABIT 142 2014. Untuk Faisal, Fadhlan,
Ipoy, Hakim, Januar, Mas Hans, Mas Tono, Husni, Nafis, Dwi, Anet, Dinda,
Eces, Ifriyansah, Sebulan bersama kalian adalah sesuatu yang sangat
berkesan.Terima kasih semua atas perhatian dan dukungannya. Dan tak lupa
kepada warga kp. Pegadangan Ilir Kronjo khususnya Bapak Lurah Eden, Ibu
Lurah Yuli, Bapak Naya, dan Bapak Guru. Terima kasih untuk segala doa dan
dukungannya.
13. Semua pihak yang sudah membantu, penulis berdo’a semoga kebaikan dan
ketulusan yang telah diberikan oleh berbagai pihak di balas oleh Allah SWT.
Penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat untuk para pembaca umumnya
dan penulis khususnya.
Jakarta, 20 April 2018
Penulis
Ahmad Rezi Alparisi
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................
LEMBAR PERENYATAAN .................................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ............................................................................. iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v
KATA PENGFANTAR ............................................................................................ viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 4
C. Batasan dan Rumusan Masalah .......................................................... 4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 5
E. Studi Naskah Terdahulu ...................................................................... 5
F. Metode Penelitian ............................................................................... 6
G. Sistematika Penelitian .......................................................................... 8
BABIIKONSEP TEORI
A. Pengertian Administrasi Kependudukan ............................................. 10
B. Dasar Hukum Administrasi Kependudukan di Indonesia ................... 16
C. Implementasi Administrasi Kependudukan di Indonesia .................... 31
BABIIIKEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 97/PUU-XIV/2016
TENTANG PENCANTUMAN KOLOM AGAMA
A. Latar Belakang Judicial Review .......................................................... 33
B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ................................................... 34
C. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon ......................... 35
D. Pertimbanagan Hukum Mahkamah Konstitusi ................................... 42
E. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi .................................................. 57
F. Keputusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pencantuman Kolom Agama
Bagi Penganut Aliran Kepercayaan .................................................... 58
ix
BAB IV RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA TERHADAP
KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-
XIV/2016 TENTANG KOLOM AGAMA BAGI PENGHAYAT
KEPERCAYAAN ALIRAN AGAMADI INDONESIA
1. Respon Majelis Ulama Indonesia tentang Pencantuman Kolom Agama
Bagi Penghayat Kepercayaan di Indonesia .......................................... 65
2. Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi no.97/PUU-XIV/2016 70
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ......................................................................................... 74
B. Saran ................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
LAMPIRAN...................................................................................................
x
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Respon adalah suatu kegiatan (activity) dari organisme itu bukanlah
semata-mata suatu gerakan yang positif, setiap jenis kegiatan (activity) yang
ditimbulkan oleh suatu perangsang dapat juga disebut respon. Secara umum
respon atau tanggapan dapat diartikan sebagai hasil atau kesan yang didapat
(ditinggal) dari pengamatan tentang subjek, peristiwa atau hubungan-hubungan
yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan-pesan.1
Ahmad subandi mengemukakan respon dengan istilah umpan balik
(feedback) yang memiliki peranan atau pengaruh yang besar dalam menentukan
baik atau tidaknya suatu komunikasi.2 Dengan adanya respon yang disampaikan
dari komunikan kepada komunikator maka akan menetralisir kesalahan penafsiran
dalam sebuah proses komunikasi.
Respon diartikan sebagai tanggapan, reaksi dan jawaban.3 Respon akan
muncul dari penerimaan pesan setelah terjadinya serangkaian komunikasi.
Para ahli dalam menafsirkan respon antara satu dan lainnya berbeda.
Tetapi walaupun para ahli berbeda-beda dalam mendefinisikan tanggapan,
kesemuanya memiliki titik kesamaan. Istilah respon dalam komunikasi adalah
kegiatan komunikasi yang diharapkan mempunyai hasil atau dalam setelah
komunikasi dinamakan efek. Suatu kegiatan komunikasi itu memberikan efek
berupa respon dari komunikasi terhadap pesan yang dilancarkan oleh
komunikator. Menurut Steven M.Chaffe respon dibedakan menjadi tiga bagian:4
a. Kognitif: yang dimaksud dengan respon kognitif adalah respon yang
berkaitan erat dengan pengetahuan keterampilan dan informasi seseorang
1 Jalaludin Rahmat, Psikologi Komunikasi: Bandung. Remaja Rosda Karya, 1999, h. 51 2 Ahmad Subandi, Psikologi Sosial¸(Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 50 3 Poerdawarminta, Psikologi Komunikasi, (Jakarta: UT: 1999), h. 43 4 Djalaludin rakhmat, psikologi komunikasi bandung, remaja rosda karya, 1999, h. 188
1
2
mengenai sesuatu. Respon ini timbul apabila adanya perubahan terhadap
yang dipahami oleh khalayak.
b. Afektif: yang dimaksud dengan respon afektif adalah respon yang
berhubungan dengan emosi, sikap, dan menilai seseorang terhadap
sesuatu.
c. Konatif (Psikomotorik): yang dimaksud dengan psikomotorik adalah
respon yang berhubungan dengan perilaku nyata yang meliputi tindakan
atau kebiasaan.
Kemudian saat ini pandangan MUI terhadapat Mahkamah Konstitusi
mengenai mengenai bahwa ketua majelis ulama indonesia (MUI) K.H.Ma’ruf
Amin berpendapat,putusan Mahkamah Konstitusi mengenai mengenai (MK) yang
mengabulkan permohonan uji materi soal aturan pengosongan kolom agama pada
KK dan KTP akan menjadi polemik didalam masyarakat.5
Hal itu diatur dalam pasal 61 Ayat (1) UU Administrasi Kependudukan
menyebutkan, “Kartu Keluarga memuat keterangan mengenai kolom nomor
Kartu Keluarga, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis
kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan,
status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen
imigrasi, nama orangtua.”dan ayat (2) UU a quo berbunyi, “Bagi penduduk yang
agamanya belum diakui sebagai agama, berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap
dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”.6, serta pasal 64 Ayat (1)
dan (5) UU No.23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan.
Majlis hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam pasal 61 Ayat (1) dan
pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran
kepercayaan. Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum
yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam
5 Berita ini diakses pada hari minggu tanggal 15 bulan april tahun 2018, www.kompas.com
6 Lulu Anjarsari dalam artikel Mahkamah Konstitusi mengenai Indonesia, di akses pada hari minggu tanggal 15 bulan april tahun 2018
3
memperoleh hak terkait administrasi kependudukan. Oleh karna itu, Respon MUI
terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai mengenai tentang kolom
agama bagi penghayat kepercayaan sudah selayaknya mendapatkan perhatian
yang serius.
Terjadi Pelanggaran Hak, secara faktual keberadaan Pasal 61 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi Kependudukan pada
faktanya telah menimbulkan ketidakpastian, penafsiran yang berbeda, dan tidak
konsisten dengan norma lainnya dalam undang-undang yang sama seperti dengan
Pasal 58 ayat (2). Hal ini berakibat warga negara penghayat kepercayaan kesulitan
memperoleh KK maupun KTP-el. Dengan dikosongkannya elemen data
kependudukan tentang agama juga telah berdampak pada pemenuhan hak-hak
lainnya, seperti perkawinan dan layanan kependudukan.
Pada saat yang sama, hal demikian merupakan sebuah kerugian hak
konstitusional warga negara yang seharusnya tidak boleh terjadi. “Berdasarkan
uraian di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal
64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sepanjang kata “agama” dalam pasal a quo
tidak dimaknai termasuk kepercayaan adalah beralasan menurut hukum”.7
Penegak hukum dalam memproses dan memutuskan harus yakin benar
bahwa keputusan yang akan diambil akan menjadi satu dasar yang kuat untuk
mengembalikan kejelasan dan ketetapan yang berkaitan dengan kolom agama
bagi penghayat kepercayaan.
Sehubungan dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mencoba
meneliti dan menuangkan permasalahan ini dalam skripsi, dengan judul.
“RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA TERHADAP
KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XIV/2016
TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN KOLOM AGAMA BAGI
PENGHAYAT KEPERCAYAAN”.
7 Saldi Isra www.mahkamahkonstitusi.go.id dalam artikel Mahkamah Konstitusi mengenai Indonesia, di akses pada hari minggu tanggal 15 bulan april tahun 2018
4
B. INDENTIFIKASI MASALAH
Permasalahan penelitian yang penulis ajukan ini dapat diidentifikasi
permasalahannya sebagai berikut:
1. Respon MUI Terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016 Tentang Administrasi Kependudukan Kolom Agama
Bagi Penghayat Kepercayaan.
2. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 Tentang
Administrasi Kependudukan Kolom Agama Bagi Penghayat
Kepercayaan.
C. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perlu adanya
pembatasan yang terjadi fokus dalam pembahasan skripsi ini. Untuk
mengefektifkan dan memudahkan pembahasan, maka penulis membatasi
permasalahan dan penulisan skripsi ini pada Nomor 97/PUU-XIV/2016
tentang administrasi kependudukan kolom agama bagi pengahayat
kepercayaan.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penulis
merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
a. Bagimana Landasan Argumentasi Hukum Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016 Tentang Administrasi Kependudukan Kolom Agama
Bagi Penghayat Kepercayaan?
b. Bagaimana Respon Tokoh Majelis Ulama Indonesia Terhadap Keputusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 Tentang Administrasi
Kependudukan Kolom Agama Bagi Penghayat Kepercayaan?
5
D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui Alasan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016 Tentang Administrasi Kependudukan Kolom
Agama Bagi Penghayat Kepercayaan.
b. Untuk mengetahui Respon Tokoh Majelis Ulama Indonesia Terhadap
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 Tentang
Administrasi Kependudukan tentang Kolom Agama Bagi Penghayat
Kepercayaan.
2. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan
manfaat dan kegunaan bagi pembacanya. Adapun manfaat yang dimaksud
terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Dalam bidang akademik
Dari segi keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadiakan
sumbangan pemikiran untuk pengetahuan mengenai ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan Hukum tata negaraan Isam dari segi pandangan ilmu
umum dan ilmu islam.
b. Bagi masyarakat luas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menembah wawasan dan
pengetahuan mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016 tentang administrasi kependudukan kolom Agama
bagi penghayat kepercayaan.
E. STUDI NASKAH TERDAHULU
Untuk mengetahui Kajian terdahulu yang telah ditulis oleh yang
lainnya, maka penulis mencoba menganalisis beberapa skripsi terdahulu
sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan dalam proses penulisan
6
ini.dan hal ini penulis menemukan kajian terdahulu yang menjadi acuan,
antara lain:
1. Skripsi berjudul: Analisis Yuridis Dalam Pencantuman Agama
Dalam E-KTP (KTP ELEKTRONIK), yang ditulis oleh Anisah
Mundari, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanudin
Makassar tahun 2016, Dalam skripsinya membahas mengenai
Pencantuman Agama didalam E-KTP.
2. Skripsi berjudul: Konstruksi pemberitaan penghapusan kolom
Agama di KTP pada SKH Republika, yang ditulis oleh shofi
afdhila, Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas
Negeri sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2015, Dalam skripsinya
membahas mengenai Penghapusan Kolom Agama di KTP pada SKH
Republika.
3. Skripsi berjudul: Agama Sebagai Indeks Kewarganegaraan, yang
ditulis oleh Hanung Sito Rohmawati, Mahasiswa Fakultas Studi
Agama dan Resolusi Konflik Universitas UIN Sunan Kalijaga tahun
2015, Dalam skripsinya membahas mengenai Agama Sebagai Indeks
Kewarganegaraan.
F. METODE PENELITAN
1. Sumber Data
Dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode riset kepustakaan (library
research), yaitu suatu teknik dengan cara menuliskan data-data yang ada
kaitannya dengan maslah yang akan diteliti, serta menuliskan menggunakan
referensi dari buku-buku yang mempunyai relefansi dengan pembahasan dan
permasalahannya yang terdiri dari dua sumber, yaitu:
a. Sumber data primer
Kajian kepustakaan (library research), yaitu dengan cara meneliti dan
mengkaji literature-literatur seperti buku, jurnal ilmiyah, majalah. Dan penelitian
7
Lapangan (field research) dalam hal ini peneliti menggunakan metode wawancara
dan observasi yang didapat dari berbagai narasumber yang berkaitan dengan
penelitian yang akan dilakukan. Demi mendapat data yang akurat.
b. Sumber Data Skunder
Adalah sumber data yang diperoleh dari komentar/pendapat Tokoh
Majelis Ulama Indonesia terkait pencantuman kolom agama bagi penganut aliran
kepercayaan.
2. Metode Pengumpulan Data
Menurut Sumardi Suryabrata, kualitas data ditentukan oleh kualitas alat
pengukurnya.8Berpijak dari keterangan tersebut, dalam penyusunan skripsi ini
penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan murni, maka penulis
menggunakan tekhnik yang diperoleh dariperpustakaan dan dikumpulkan dari
buku-buku tersebut yaitu hasil membaca dan mencatat dari berbagai buku ilmiah
yang berkaitan dengan tema yang penulis angkat.
3. Metode Analisi Data
Analisis data adalah proses penyusunan data agar data tersebut dapat
ditafsirkan.9Dalam hal ini peneliti menggunakan data kualitatif. Sebagaimana
pendekatannya digunakan metode deskriptif, yaitu sebagai prosedur pemecah
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek atau obyek
penelitian.
Untuk membahas permasalahan yang ada, penulis menggukana
pendekatan deskriptif-analitik, yang mana data-data yang diperoleh dijabarkan
dan dihubungkan satusama lain yang kemudian dianalisis oleh penulis guna
mendapatkan gambaran mengenai permasalahan yang akan dibahas.
8 Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998), h.84
9 H. Dadang Rahmat, Metode Penelitian Agama, (Bandung:CV. Pustaka Setia ,2000), h.102
8
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan deskriptif
analisis. Pendekatan ini memberikan pemecahan masalah dengan cara
mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisa,
mengevaluasi, dan menginterpretasikan.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penelitian ini terdiri dari dua sumber yaitu:
a. Sumber Primer,
Yaitu berupa kitab fiqih, kitab KUHP, dokumen-dokumen, dan
buku-buku yang menyangkut materi kajian tetang Respon MUI
Terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-
XIV/2016 tentang administrasi kependudukan Kolom Agama
Bagi Peghayat Kepercayaan.
b. Sumber Sekunder,
Yaitu memberikan penjelasan dan menguatkan data primer
yang menyangkut karya tulis berupa koran, majalah, jurnal,
wawancara (interview), maupun data dari internet (website)
dan video.
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Isam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Skripsi ini terdiri atas tiga bagian yaitu bagian awal Skripsi, bagian isi
skripsi, dan bagian akhir skripsi yang terbagi dari dalam lima bab. Masing-masing
bab terbagi dari uraian sub-sub bab. Sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bagian awal skripsi terdiri dari halaman judul, persetujuan pembingbing,
lembaran pengesahan penguji, lembaran pernyataan, abstrak, kata pengantar,
daftar isi. Bagian isi skripsi terdiri dari:
9
BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini meliputi latar belakang
masalah, indentifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitiaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI INDONESIA.
Dalam bab ini diuraikan tentang teori-teori yang digunakan sebagai dasar
pembahasa selanjutnya yaitu identitas agama menurut pandangan islam, agama
menurut Respon MUI terhadap Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016
tentang administrasi kependudukan Kolom Agama Bagi penghayat Kepercayaan,
penghapusan kolom agama dalam KTP, republika dan islam yang meliputi
definisi dari masing-masing variabel.
BAB III KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
97/PUU-XIV/2016 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
KOLOM AGAMA BAGI PENGHAYAT KEPERCAYAAN. Dalam bab ini
diuraikan tentang Respon MUI terhadap Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-
XIV/2016 tentang administrasi kependudukan kolom agama bagi penghayat
kepercayaan, kebijakan pengosongan kolom agama, Aliran kepercayaan di
indonesia, polemik kolom agama di KTP
BAB IV HASIL PENELITIAN. Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil
penelitian dan pembahasan yang terdiri dari dua pembahasan, Analisis Keputusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang administrasi
kependudukan Kolom Agama dan Respon Tokoh Majelis Ulama Indonesia
terhadap keputusan tersebut.
BAB V PENUTUP. Dalam bab ini diuraikan tentang kesimpulan dan saran.
Disampaikan beberapa pokok-pokok temuan penelitian yang dihasilkan dan serta
diakhiri, dilengkapi dengan daftar pustaka
BAB II
ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI INDONESIA
A. Pengertian Adiministrasi Kependudukan
Administrasi Kependudukan adalah Rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui pendaftran
penduduk, pencatatan sipil, pengelola informasi administrasi kependudukan serta
pendayagunaan hasilnya untuk publik dan pembangunan sektor lain.
Menyediakan pelayanan publik yang baik adalah tugas negara melalui
pemerintah. Pemenuhan kebutuhan publik diartikan sebagai pemenuhan hak-hak
sipil warga negara. Tugas dan kewajiban ini dilakukan melalui aparat
pemerintahan dari tingkat paling atas sampai paling bawah seperti RW dan RT.
Berdasarkan data dapartemen kebudayaan dan pariwisata, saat ini terdapat
1.515 organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,245
diantaranya memiliki kepengurusan di tingkat Nasional dengan jumlah pemeluk
sekitar 10 juta orang. Akibat politik Pembatasan ‘enam agama yang diakui’
negara, penghayat kepercayaan mengalami tindakan diskriminatif dalam
pelayanan publik, khususnya pelayanan administrasi kependudukan.
UU No. 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan (Adminduk)
dan Peraturan Pemerintahan No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No.
23/2006 menjamin hak seorang/kelompok penganut Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk mendapatkan hak-hak administrasi
kependudukan seperti pencantuman Kepercayaan dalam KTP, akta kelahiran,
perkawinan dan dokumen kematian yang dijamin dalam UU No. 23/2006 tentang
Administrasi Kependudukan (Adminduk).1
1Fulthoni, Renata Arianigtyas, Siti Aminah, Uli Parulian Sihombing, Data Katalog dalam terbitan (KDT) Buku saku untuk Kebebasan Beragama Memahami Kebijakan Aministrasi Kependududkan, (Jakarta,ILRC,Oktober 2009)
10
11
Menurut para ahli definisi kependudukan terkait pengertian administrasi
kependudukan:
a. Arthur Grager Administrasi adalah fungsi tata penyelenggaraan
terhadap komunikasi dan pelayanan warkat suatu organisasi.
b. George Terry Administrasi adalah perencanaan, pengendalian, dan
pengorganisasian pekerjaan perkantoran, serta penggerakan mereka
yang melaksanakannya agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
c. Sondang P.siagian Administrasi adalah keseluruahan proses kerjasama
antara dua orang atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu
untuk mencapai tujuan yang telah di tentukan sebelumnya.
d. William Leffingwell dan Edwin Robinson Administrasi adalah cabang
ilmu manajamen yang berkenaan dengan pelakssaaan pekerjaan itu
harus dilakukan
Administrasi diartikan sebagai arahan, pemerintahan, kegiatan
implementasi, kegiatan pengarahan, penciptaan prinsip-prinsip implementasi
kebijakan publik, kegiatan melakukan analisis, menyeimbangkan dan
mempresentasikan keputusan, pertimbangan-pertimbangan kebijakan, sebagai
pekerjaan individual dan kelompok dalam menghasilkan barang dan jasa publik,
dan sebagai arena bidang kerja akademik dan teoritik3. Pengertian Publik adalah
sejumlah manusia yang memiliki kesamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap dan
tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.2
Kependudukan terkait pengertian administrasi kependudukan
Kependudukan adalah hal yang berkaitan dengan jumlah, pertumbuhan,
persebaran, mobilitas, penyebaran kualitas, kondisi kesejahteraan, yang
menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, agama serta lingkungan3
2Pasolong,Harbani.(2011).TeoriAdministrasi Publik. Cetakan ketiga.Bandung:CV. Alfabeta.
3UU No. 23 Tahun 2006, Tentang Admnistrasi Kependudukan,diakses pada tanggal 13 april 2018 dariwww.hukumnoline.com
12
1. Pengertian Kartu Keluarga Dan Kartu Tanda Penduduk
Kartu Keluarga (KK) adalah kartu identitas keluarga yang memuat data
tentang susunan, hubungan dan jumlah anggota keluarga.
Kebijakan enam agama yang diakui negara, telah menyebabkan
warganegara yang tidak menganut salah satunya, terpaksa menerima pengisian
kolom agama yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Sedangkan bagi mereka
yang menolak identitas dari enam agama yang diakui, menyebabkannya tidak
memiliki identitas.Pasal 64 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2006 tentang Adminduk
menyatakan:
“keterangan tentang agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai
agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam
database kependudukan”.
Kartu tanda penduduk (KTP) adalah nama resmi kartu indentitas
seseorang di indonesia yang diperoleh setelah seseorang berusia di atas 17 tahun.
KTP berlaku selama lima tahun dan tanggal berakhirnya disesuaikan dengan
tanggal dan bulan kelahiran yang bersangkutan. KTP berisi informasi mengenai
sang pemilik kartu, meliputi nama lengkap, Nomor Induk Kependudukan (NIK),
alamat, tampat dan tanggal lahir, agama, golongan darah, kewarganegaraan, foto,
tanda tangan atau cap jempol. Setiap penduduk yaitu warga negara indonesia
(WNI) dan Orang Asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17
(tujuh belas) tahun atau telah menikah wajib memiliki (KTP).4
2. Persyaratan Pembuatan Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk
Adapun Persyaratan Untuk membuat kartu keluarga harus melengkapi
syarat-syarat berikut:
1. Surat Pengantar dari Pengurus RT/RW
2. Kartu keluarga Lama
4Fulthoni, Renata Arianigtyas, Siti Aminah, Uli Parulian Sihombing, Data Katalog dalam terbitan (KDT) Buku saku untuk Kebebasan Beragama Memahami Kebijakan Aministrasi Kependududkan, (Jakarta,ILRC,Oktober 2009)
13
3. Surat Nikah atau Akta Cerai bagi yang membuat KK karena
perkawinan/penceraian
4. Surat keterangan Lahir/Akta kelahiran
5. Surat Pengangkatan Anak
6. Surat Keterangan Pendaftaran Penduduk Tetap bagi WNA
7. Surat Keterangan Pelaporan Pendatang Baru (SKPPB) bagi pendatang
8. Surat Keterangan pindah bagi penduduk yang pindah antar kelurahan
Adapaun Persyaratan Untuk membuat Kartu Tanda Penduduk Harus
Melengkapi Syarat-syarat berikut:
1. Surat Pengantar dari RT/RW
2. Foto Copy Kartu Keluarga
3. Pas Foto terbaru berukuran 2 x 3 cm sebanyak 3 lembar
4. SKPPB bagi pendatang baru dari luar DKI jakarta
5. Foto Copy Akta Kelahiran
6. SKPPT bagi WNA
7. Bukti Pembayaran Keterlambatan Pembuatan KTP
Kemudian Untuk memperpanjang Kartu Tanda Penduduk yang sudah
habis masa berlakunya harus melengkapi Syarat-syarat berikut:
1. KTP lama yang sudah habis masa berlakunya
2. Foto Copy Kartu Keluarga
3. Pas foto 2 x 3 cm sebanyak 3 lembar
4. Surat keterangan lapor kehilangan KTP dari Kepolisian bagi yang
Kehilangan KTP
5. Bukti Pembayaran Keterlambatan Perpanjang KTP
3. Dokumen Administrasi
Proses pendaftaran pembuatan Kartu Tanda Penduduk pada Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil memerlukan beberapa dokumen administrasi
14
sebagai persyaratan dalam pembuatan KTP baru maupun perpanjang KTP yang
lama.
Pelayanan publik meruapakan pemberian layanan keperluan orang atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Dengan demikian pelayanan
publik adalah pemenuhan kegiatan dan kebutuhan masyrakat oleh penyelnggara
negara.
Pelayanan publik sebenarnya memiliki kisaran yang sangat luas, yaitu
mencakup pelayanan untuk memenuhi kebutuhan barang publik, kebutuhan dan
hak dasar, kewajiban pemerintah, dan komitmen nasional.5
1. Faktor Pendukung
Berhasil tidaknya implentasi kebijakan tidak hanya disebabkan oleh faktor
yang berasal dari organisasi atau badan penyelenggara. Adapun fakor Pendukung
diantara lain:6
a. Kesigapan Sumber Daya Manusia
Salah satu keunggulan dalam pelayanan pembuatan administrasi
kependudukan ialah ketepatan waktu dan keakurasian data yang tepat.
b. Peralatan Pendukung yang Bagus
Pemerintah mensysupport dengan peratalatan pendukung dan hardware
yang memadai.
2. Faktor Penghambat
Setiap implementasi kebijakan tentunya mengandung resiko kegagalan,
Hogwood dan Gunn telah membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy
failure) dalam dua kategori, yaitu:
5 Dwiyanto, Agus, Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif, (yogyakarta gadja mada, 2010) h.22
6Jurnal Administrasi Public, diakses pada tanggal 13 april 2018 dari (JAV), Vol, 1, No, 5, h. 962-971
15
Non- implementation (tidak bisa terimplementasikan), artinya bahwa suatu
kebijaksanaan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-
pihak yang terlibat didalam pelaksanaanya tidak ingin bekerja sama.
Unsuccessful implementation (implementasi tidak berhasil), artinya
manakala suatu kebiijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana,
namun mengingat kondisi eksternal yang ternyata tidak menguntungkan, maka
kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang
dikehendaki.7
Adapun Faktor penghambat diantara lain yaitu:
a. Lokasi tidak Terpusat Dari Kota
Jauhnya lokasi kantor menakibatkan sidikit kenyamanan masyarakat yang ini
mengurus administrasi kependudukannya.
b. Terbatasnya Jumlah Loket Pelayanan
Kapasitas loket pelayanan sedikit mengakibatkan penumpukan antrian.
c. Kurangnya Sosialisai Pada Masyarakat
Alur pengurusan surat kependudukan Menjadi satu dengan Kantor lainnya
sehingga membuat masyarakat menjadi bingung kebanyakan belum terbiasa
dengan sistem yang baru, hal ini juga dikarnakan minimnya sosialisasi bagi
masyarakat.
4. Tujuan Administrasi Kependudukan
Pertama, Tertib Databasee Kependudukan meliputi terbangunya
database kependudukan yang akurat di tingkat Kabupaten/Kota.
Provinsi dan Pusat: database kependudukan Kabupaten/Kota tersambung
(online) dengan Provinsi dan Pusat dengan menggunakan Sistem Informasi
7Wahan, slichin abdul, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, malang (2008), H.61-62
16
Administrasi Kependudukan (SIAK): database kependudukan Depdagri dan
daerah tersambung (online) dengan instansi pengguna.
Kedua, Tertib Penerbitan NIK meliputi NIK diterbitkan setelah
penduduk mengisi biodata penduduk per keluarga dengan menggunakan SIAK:
tidak adanya NIK ganda: pemberian NIK kepada semua penduduk harus selesai
akhir tahun.
Ketiga, Tertib Dokumen Kependudukan (KK, KTP, Akta Pencatatan
Sipil) meliputi prosesnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku: tidak adanya
dokumen kependudukan ganda dan palsu.
Manfaat penerapan KTP berbasis NIK yang dilengkapi dengan sidik jari
dan chip (e-KTP) adalah indentifikasi jatidiri, data dalam e-KTP serta mencegah
terjadinya pemalsuan dokumen maupun dokumen ganda dengan pengamanan data
yang dapat diandalkan.
Menurut peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007
tentang Pelaksaan Undang-Undang No.23 Tahun 2006, NIK terdiri dari 16 (enam
belas) digit terdiri atas 6: (enam) digit pertama merupakan kode wilayah provinsi,
kabupaten/kota dan kecamatan tempat tinggal pada saat mendaftarkan 6 (enam)
digit kedua adalah tanggal, bulan, dan tahun kelahiran dan khusus untuk
perempuan tanggal lahirnya ditambah 40: dan 4 (empat) digit terakhir merupakan
nomor urut penerbitan NIK yang diproses secara otomatis dengan SIAK (Sistem
Informasi Administrasi Kependudukan).8
B. Dasar Hukum Administrasi Kependudukan Di Indonesia
Dasar Hukum Administrasi Kependudukan terdiri dari lima buah, yaitu:
1. UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
8Ditjen Dukcapil Kemendagri, Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementrian Dalam Negri Republik Indonesia.artikel diakses pada tanggal 13 april 2018 dariwww.dukcapil.kemendagri.go.id
17
2. PP No. 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan.
3. Pepres No. 25 Tahun 2008 Tentang Tata Cara dan Persyaratan
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
4. Pepres No. 26 Tahun 2009 Tentang Penerapan KTP berbasis NIK
Secara Nasional.
5. Perpres No. 35 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Perpres No. 26
Tahun 2009.
Subtansi Administrasi Kependudukan adalah berupa pencatatan sipil dan
pendaftaran kependudukan. Pencatatan Sipil berupa Pencatatan Kelahiran, lahir
mati, Perkawinan, Pembatalan Perkawinan, Perceraian, Kematian, Pengangkatan
Pengesahan dan Pengakuan Anak, Perubahan Nama dan Perubahan Status
Kewarganegaraan. Manfaat yang diperoleh pemerintahan adalah dalam hal
Perumusan Kebijakan,Perencanaan Pembangunan, Kebutuhan Sektor
Pembangunan Lain, Pemilu dan Pilkada, Penyusunan Perkembangan
Kependudukan: Peyusunan Proyeksi Pembangunan, Verifikasi jati diri penduduk
dan dokumen Kependudukan.9.
Undang-Undang Tentang Administrasi Kependudukan No. 23 Tahun 2006
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:10
1. Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui
Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi
9Ditjen Dukcapil Kemendagri, Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementrian Dalam Negri Republik Indonesia.artikel diakses pada tanggal 13 april 2018 dariwww.dukcapil.kemendagri.go.id
10Undang-Undang Republik Indonesia, No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Ketentuan Umum, Bab 1, Pasal (1),artikel diakses pada tanggal 13 april 2018 dariwww.Hukumonline.com
18
Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan
pembangunan sektor lain.
2. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat
tinggal di Indonesia.
3. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-
orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga
Negara Indonesia.
4. Orang Asing adalah orang bukan Warga Negara Indonesia.
5. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan
dalam negeri.
6. Penyelenggara adalah Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang dalam urusan
Administrasi Kependudukan.
7. Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang
bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan
Administrasi Kependudukan.
8. Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh
Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti
autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil.
9. Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang
terstruktur sebagai hasil dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan
Sipil.
10. Pendaftaran Penduduk adalah pencatatan biodata Penduduk, pencatatan atas
pelaporan Peristiwa Kependudukan dan pendataan Penduduk rentan
Administrasi Kependudukan serta penerbitan Dokumen Kependudukan
berupa kartu identitas atau surat keterangan kependudukan.
11. Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang dialami Penduduk yang harus
dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu
Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan
19
lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas
menjadi tinggal tetap.
12. Nomor Induk Kependudukan, selanjutnya disingkat NIK, adalah nomor
identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada
seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.
13. Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga
yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga,
serta identitas anggota keluarga.
14. Kartu Tanda Penduduk, selanjutnya disingkat KTP, adalah identitas resmi
Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang
berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
15. Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh
seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana.
16. Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa
Penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang
pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
17. Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi
kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak,
pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status
kewarganegaraan.
18. Izin Tinggal Terbatas adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing
untuk tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka
waktu yang terbatas sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
19. Izin Tinggal Tetap adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing
untuk tinggal menetap di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
20. Petugas Registrasi adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas dan
tanggung jawab memberikan pelayanan pelaporan Peristiwa Kependudukan
dan Peristiwa Penting serta pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan di
desa/kelurahan.
20
21. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, selanjutnya disingkat SIAK,
adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi
kependudukan di tingkat Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu
kesatuan.
22. Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan
dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.
23. Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat KUAKec, adalah
satuan kerja yang melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada
tingkat kecamatan bagi Penduduk yang beragama Islam.
24. Unit Pelaksana Teknis Dinas Instansi Pelaksana, selanjutnya disingkat UPTD
Instansi Pelaksana, adalah satuan kerja di tingkatkecamatan yang
melaksanakan pelayanan Pencatatan Sipil dengan kewenangan menerbitkan
akta.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:11
1. Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui
Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi
Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan
pembangunan sektor lain.
2. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat
tinggal di Indonesia.
11Presiden Republik Indonesia, Peraturan pemerintah (PP), Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Ketentuan Umum, Bab 1, Pasal (1)
21
3. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-
orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga
Negara Indonesia.
4. Orang Asing adalah orang bukan Warga Negara Indonesia.
5. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan
dalam negeri.
6. Penyelenggara adalah Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang dalam urusan
Administrasi Kependudukan.
7. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal yang bidang tugasnya meliputi
Administrasi Kependudukan.
8. Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang
bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan
Administrasi Kependudukan.
9. Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh
Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti
autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil.
10. Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang
terstruktur sebagai hasil dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan
Sipil.
11. Pendaftaran Penduduk adalah pencatatan biodata Penduduk, pencatatan atas
pelaporan Peristiwa Kependudukan dan pendataan Penduduk rentan
Administrasi Kependudukan serta penerbitan Dokumen Kependudukan
berupa kartu identitas atau surat keterangan kependudukan.
12. Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang dialami Penduduk yang harus
dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu
Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan
lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas
menjadi tinggal tetap.
22
13. Nomor Induk Kependudukan, selanjutnya disingkat NIK, adalah nomor
identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada
seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.
14. Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga
yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga,
serta identitas anggota keluarga.
15. Kartu Tanda Penduduk, selanjutnya disingkat KTP, adalah identitas resmi
Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang
berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
16. Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh
seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana.
17. Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa
Penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang
pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
18. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan
pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pengamalan budi luhur yang ajarannya
bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia.
19. Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut
Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini
nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
20. Surat Perkawinan Penghayat Kepercayaan adalah bukti terjadinya perkawinan
Penghayat Kepercayaan yang dibuat, ditandatangani dan disahkan oleh
Pemuka Penghayat Kepercayaan.
21. Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi
kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak,
23
pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status
kewarganegaraan.
22. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, selanjutnya disingkat SIAK,
adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan informasi Administrasi
Kependudukan di tingkat Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu
kesatuan.
23. Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan
dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.
24. Unit Pelaksana Teknis Dinas Instansi Pelaksana, selanjutnya disingkat UPTD
Instansi Pelaksana, adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang
melaksanakan pelayanan Pencatatan Sipil dengan kewenangan menerbitkan
akta.
25. Petugas Rahasia Khusus adalah Petugas Reserse dan Petugas Intelijen yang
melakukan tugas khusus di luar daerah domisilinya.
26. Dokumen Identitas Lainnya adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen atau Badan Hukum
Publik dan Badan Hukum Privat yang terkait dengan identitas penduduk,
selain Dokumen Kependudukan.
27. Penduduk Pelintas Batas adalah penduduk yang bertempat tinggal secara
turun temurun di wilayah kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan
negara tetangga yang melakukan lintas batas antar negara karena kegiatan
ekonomi, sosial dan budaya.
28. Daerah Perbatasan adalah daerah batas wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan daerah batas wilayah negara tetangga yang disepakati bersama
berdasarkan perjanjian lintas batas (crossing border agreement) antara
Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara tetangga, berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan.
24
29. Database adalah kumpulan berbagai jenis data kependudukan yang tersimpan
secara sistematik, terstruktur dan saling berhubungan dengan menggunakan
perangkat lunak, perangkat keras dan jaringan komunikasi data.
30. Data Center adalah tempat/ruang penyimpanan perangkat database pada
Penyelenggara Pusat yang menghimpun data kependudukan dari
penyelenggara provinsi, penyelenggara kabupaten/kota dan Instansi
Pelaksana
31. Hak Akses adalah hak yang diberikan oleh Menteri kepada petugas yang ada
pada Penyelenggara dan Instansi Pelaksana untuk dapat mengakses database
kependudukan sesuai dengan izin yang diberikan.
32. Pengguna Data Pribadi Penduduk adalah instansi pemerintah dan swasta yang
membutuhkan informasi data sesuai dengan bidangnya.
Peraturan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan
Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan :12
1. Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui
Pendaftaran Penduduk,Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi
Kependudukanserta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan
pembangunan sektor lain.
2. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat
tinggal di Indonesia.
12Peraturan Republik Indonesia, Nomor 25 Tahun 2008, Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Bab !, Ketentuan Umum, Pasal (1), (2), (3), artikel diakses pada tanggal 13 april 2018 dariwww.bpkp.go.id
25
3. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-
orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga
Negara Indonesia.
4. Orang Asing adalah orang bukan Warga Negara Indonesia.
5. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan
dalam negeri.
6. Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang
bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan
Administrasi Kependudukan.
7. Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi
Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang
dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
8. Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang
terstruktur sebagai hasil dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan
Sipil.
9. Pendaftaran Penduduk adalah pencatatan biodata Penduduk, pencatatan atas
pelaporan Peristiwa Kependudukan dan pendataan Penduduk rentan
Administrasi Kependudukan serta penerbitan Dokumen Kependudukan berupa
kartu identitas atau surat keterangan kependudukan.
10.Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang dialami Penduduk yang harus
dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu
Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan
lainnya meliputi pindah datang, perubaha n alamat, serta status tinggal terbatas
menjadi tinggal tetap.
11.Nomor Induk Kependudukan, selanjutnya disingkat NIK, adalah nomor
identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada
seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.
26
12.Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga yang
memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta
identitas anggota keluarga.
13.Kartu Tanda Penduduk, selanjutnya disingkat KTP, adalah identitas resmi
Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang
berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
14.Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh
seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana.
15.Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa
Penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang
pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- undangan.
16.Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi
kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak,
pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status
kewarganegaraan.
17.Izin Tinggal Terbatas adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing
untuk tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka
waktu yang terbatas sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
18.Izin Tinggal Tetap adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing
untuk tinggal menetap di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
19.Petugas Registrasi adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas dan tanggung
jawab memberikan pelayanan pelaporan Peristiwa Kependudukan dan
Peristiwa Penting serta pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan di
desa/kelurahan.
20.Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat KUAKec, adalah
satuan kerja yang melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada
tingkat kecamatan bagi Penduduk yang beragama Islam.
27
21.Unit Pelaksana Teknis Dinas Instansi Pelaksana, selanjutnya disingkat UPTD
Instansi Pelaksana, adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang
melaksanakan pelayanan Pencatatan Sipil dengan kewenangan menerbitkan
akta.
22.Pejabat Konsuler adalah Pejabat yang melakukan fungsi kekonsuleran di
Perwakilan Republik Indonesia yang ditunjuk selaku Pejabat Pencatatan
Sipil.
23.Perwakilan Republik Indonesia adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia,
Konsulat Jenderal Republik Indonesia dan Konsulat Republik Indonesia.
24.Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.
25. Kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten
dan daerah kota.
26.Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal- usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
27.Rukun Tetangga dan Rukun Warga yang selanjutnya disingkat RT dan RW
atau sebutan lain adalah lembaga masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat,
diakui dan dibina oleh pemerintah untuk memelihara dan melestarikan nilai-
nilai kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan kegotongroyongan
dan kekeluargaan serta untuk membantu meningkatkan kelancaran tugas
pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan di kelurahan.
Pasal 2
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil bertujuan untuk memberikan
keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen penduduk, perlindungan
28
status hak sipil penduduk, dan mendapatkan data yang mutakhir, benar dan
lengkap.
Pasal 3
(1) Pendaftaran penduduk dilakukan pada Instansi Pelaksana yang daerah
tugasnya meliputi domisili atau tempat tinggal penduduk.
(2) Pencatatan sipil dilakukan pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi
Pelaksana yang daerah tugasnya meliputi tempat terjadinya Peristiwa
Penting.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun2009Tentang
Penerapan Kartu Tanda Penduduk BerbasisiNomorInduk Kependudukan
Secara Nasional
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden Ini Yang Di Maksud: 13
1. Kartu Tanda Penduduk, selanjutnya disingkat KTP adalah identitas resmi
Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang
berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Nomor Induk Kependudukan, selanjutnya disingkat NIK adalah nomor
identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada
seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.
3. KTP berbasis NIK adalah KTP yang memiliki spesifikasi dan format KTP
Nasional dengan sistem pengamanan khusus yang berlaku sebagai identitas
resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana.
4. Penduduk wajib KTP adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang
memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau
telah kawin atau pernah kawin secara sah.
13 Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2009, Tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional, Bab 1, Ketentuan Hukum, Pasal (1), (6), (10)
29
5. Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang
bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan
Administrasi Kependudukan.
6. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
7. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan
dalam negeri.
8. Kode keamanan adalah alat identifikasi jati diri yang menunjukan identitas diri
penduduk secara tepat dan akurat sebagai autentikasi diri yang memastikan
dokumen kependudukan sebagai milik orang tersebut.
9. Rekaman elektronik adalah alat penyimpan data elektronik penduduk yang
dapat dibaca secara elektronik dengan alat pembaca dan sebagai pengaman
data kependudukan.
Pasal 6
(1) Blangko KTP berbasis NIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
memuat kode keamanan dan rekaman elektronik sebagai alat verifikasi jati
diri dalam pelayanan publik.
(2) Penggantian KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 10
Pada saat Peraturan Presiden ini ditetapkan, KTP yang belum berbasis NIK
tetap berlaku dan harus disesuaikan dengan Peraturan Presiden ini paling
lambat akhir tahun 2011.
30
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2010 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 Tentang
Penerapan Kartu Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara
Nasional
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 tentang
Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara
Nasional, diubah sebagai berikut:14
1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 6
(1) KTP berbasis NIK memuat kode keamanan dan rekaman elektronik sebagai
alat verifikasi dan validasi data jati diri penduduk.
(2) Rekaman elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi biodata,
tanda tangan, pas photo, dan sidik jari tangan penduduk yang bersangkutan.
(3) Rekaman seluruh sidik jari tangan penduduk disimpan dalam database
kependudukan.
(4) Pengambilan seluruh sidik jari tangan penduduk sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan pada saat pengajuan permohonan KTP berbasis
NIK, dengan ketentuan:
a. untuk Warga Negara Indonesia, dilakukan di Kecamatan; dan
b. untuk orang asing yang memiliki izin tinggal tetap, dilakukan di Instansi
Pelaksana.
14Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia, Nomor 35 Tahun 2010, Tentang Perubahan Atas Peraturan Preiden Nomor 26 Tahun 2009, Tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional, Bab 1, Ketentuan Hukum, Pasal (1), (6), (10)
31
(5) Rekaman sidik jari tangan penduduk yang dimuat dalam KTP berbasis NIK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi sidik jari telunjuk tangan kiri
dan jari telunjuk tangan kanan penduduk yang bersangkutan.
(6) Rekaman seluruh sidik jari tangan penduduk sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perekaman sidik jari diatur
dengan Peraturan Menteri
2. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
Pada saat Peraturan Presiden ini ditetapkan, KTP yang belum berbasis NIK tetap
berlaku dan harus disesuaikan dengan Peraturan Presiden ini paling lambat akhir
tahun 2012.
C. Implementasi Hukum Administrasi Kependudukan di Indonesia
Kependudukan sebenarnya adalah yang utama dan dari segala persoalan
pembangunan. Mulai dari kegiatan pembangunan baik yang bersifat sektoral
maupun lintas sektor yang terarah dan terkait dengan penduduk, atau kata lainnya
penduduk harus menjadi subyek sekaligus objek pembangunan. suatu administrasi
kependudukan karena administrasi kependudukan lahir memerlukan suatu proses
yang cukup lama. Maka inilah yang menjadi fokus penting dalam perumusan
implementasi sampai kepada proses evaluasinya.
Implementasi merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat
dipahami sebagai suatu proses, sebagai suatu keluaran (output) maupun sebagai
suatu dampak (outcame). Misalnya, implementasi dikonseptualisasikan sebagai
suatu proses, atau serangkaian keputusan dan tindakan yang ditujukan agar
keputusan -keputusan yang diterima oleh lembaga legislatif bisa dijalankan.
32
Implementasi juga bisa diartikan dalam konteks keluaran atau sejauh mana
tujuan-tujuan yang telah direncanakan mendapat dukungan seperti tingkat
pengeluaran belanja bagi suatu program. Akhirnya, pada tingkat abstaksi yang
paling tinggi, dampak implementasi mempunyai makna bahwa telah ada
perubahan yang bisa diukur dalam masalah yang luas yang dikaitkan dengan
program, undang-undang publik, dan keputusan yudisial. Singkatnya, imlementasi
sebagai suatu konsep semua kegiatan ini. Sekalipun implementasi merupakan
fenomena kompleks,konsep itu bisa dipahami sebagai suatu proses, suatu
keluaran, dan suatu dampak.Implementasi juga melibatkan sejumlah aktor,
organisasi, dan teknik-teknik pengendalian.
Hukum administrasi negara adalah seperangkat peraturan yang
memungkinkan administrasi negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga
melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara, dan melindungi
administrasi negara itu sendiri. HAN sebagai menguji hubungan hukum istimewa
yang diadakanakan memungkinkan para pejabat (ambtsdrager) administrasi
nagara melakukan tugas mereka yang khusus lebih lanjut, HAN adalah hukum
yang mengatur sebagian lapangan pekerjaan administrasi negara.Bagian lain
diatur oleh Hukum Tata Negara (hukum negara dalam arti sempit),Hukum Privat,
dan sebagainya.15
15Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik :Teori dan Proses. Yogyakarta :MedPress
( Anggota IKAPI ).
BAB III
KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XIV/2016
DAN RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONEISA
A. Latar Belakang Judicial Review
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan Permohonan Uji materi terkait
aturan pengosongan kolom agama pada kartu (KK) dan kartu tanda penduduk
(KTP) bagi penganut aliran kepercayaan. Kini, mereka memiliki kedudukan
hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang resmi dalam memperoleh
hak-hak administrasi kependudukan.
Perjuangan penghayat aliran kepercayaan untuk memperoleh pengakuan
negara mengalami pasang surut. Pada era Orde Lama, mereka terwadahi dalam
badan Koordinasi Kebatinan Indonesia (BKKI), Pergolakan politik pada 1965
merubah nasib para penganut aliran kepercayaan, Pemerintahan Orde Baru
mencurigai sebagai bagian dari komunisme, Setelah suhu politik mereda, mereka
mendapatkan angin segar setelah pemerintah menerbitkan TAP MPR tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada 1973, Namun situasi kembali
memburuk pada periode kedua Orde Baru. Melalui TAP MPR tentang GBHN
Tahun 1978 bahwa pemerintah mengharuskan adanya kolom agama dalam KTP
dan dokumen kependudukan lainya, Kemudian pengakuan negara kembali hadir
pasca reformasi dengan masuknya klausul- klausul hak asasi manusia (HAM)
dalam instrumen legal negara, Namun diskriminasi masih terjadi. Pasal 61
Undang Undang Nomor. 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang Undang Nomor. 24
Tahun 2013 tentang admnistrasi kependudukan menyebutkan, identitas
kepercayaan tidak dicatatkan dalam kolom agama, hanya saja tercatat dalam data
kependudukan.1
Kedua pasal tersebut mendorong sejumlah pemohon untuk mengajukan
penguji undang-undang (judicial review).
1KataData News and research, Tentang Jalan Panjang Pengakuan Bagi penganut aliran Kepercayaan, Jurnal ini di akses pada hari selasa tanggal 17 bulan April 2018 www.Katadata.co.id
33
34
B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”;---------------------------------------------------------------------------
2. Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945
menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang- undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”;--
------------------------------------------------------------------------------------------
3. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Mahkamah Konstitusi mempunyai
hak atau kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang (UU)
terhadap UUD yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang menyatakan: “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang- undang (UU)
terhadap UUD RI tahun 1945”;---------------------------------------------------
4. Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pelindung konstitusi (the
guardian of constitution). Apabila terdapat undang-undang yang berisi atau
terbentuk bertentangan dengan konstitusi (inconstitutional), maka
Mahkamah Konstitusi dapat menganulirnya dengan membatalkan
keberadaan UU tersebut secara menyeluruh ataupun per pasalnya;-----------
5. Bahwa sebagai pelindung konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berhak
memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal yang ada di
35
undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir
Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal dari undang-
undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of
constitution) yang memiliki kekuatan hukum. Sehingga terhadap pasal-
pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir dapat
pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi;---------------
6. Bahwa berdasarkan hal-hal di atas, maka jelas bahwa Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia berwenang untuk memeriksa dan mengadili
permohonan pengujian ini. Bahwa oleh karena objek permohonan
pengujian ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan (UU Administrasi Kependudukan)
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945).2 Maka berdasarkan itu, Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk memeriksa dan mengadili permohonan a quo;--------------------------
C. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
1. Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 merupakan
satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif yang
merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip negara
hukum;---------------------------------------------------------------------------------
2. Bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, berfungsi antara lain
sebagai “guardian” dari “constitutional rights” setiap warga negara
Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan
badan yudisial yang bertugas menjaga hak asasi manusia sebagai hak
konstitusional dan hak hukum setiap warga negara. Dengan kesadaran
inilah Para Pemohon kemudian memutuskan untuk mengajukan
2 Kepaniteraan dan Sekretariat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diakses pada hari senin bulan april tanggal 16 tahun 2018, www.mahkamahkonstitusi.go.id
36
permohonan pengujian Pasal 61 ayat (1); Pasal 61 ayat (2); Pasal 64 ayat
(1); dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan yang
bertentangan dengan semangat dan jiwa serta pasal-pasal yang dimuat
dalam UUD 1945;--------------------------------------------------------------------
3. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon adalah pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur
dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d)
lembaga negara”;---------------------------------------------------------------------
4. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan
putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang hadir berikutnya, Mahkamah
Konstitusi telah menentukan 5 syarat mengenai kerugian
konstitusionalsebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU
Mahkamah Konstitusi, yakni sebagai berikut: -----------------------------------
----------------------------
a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitutional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945; hak dan/atau kewenangan
konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat
spesifik dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
c. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang
dimohonkan pengujian; dan
d. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan,
maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
37
5. Bahwa Pemohon I, warga negara Republik Indonesia penganut
kepercayaan dari Komunitas Marapu di Sumba Timur, Pulau Sumba.
Pemohon I merupakan salah satu dari 21.000 orang penganut kepercayaan
Komunitas Marapu di Sumba Timur dan sebanyak 40 ribu orang di Pulau
Sumba yang terlanggar hak atas layanan kependudukannya; -----------------
6. Kepercayaan Komunitas Marapu meyakini adanya kekuasaan Yang Maha
Tinggi (yang dalam termin agama-agama modern disebut Tuhan atau
Allah). Wujud tertinggi ini terlalu agung, sakral dan transenden, sehingga
bagi penganut Marapu, menyebut namanya saja harus mematuhi berbagai
ritual yang sarat mantra spiritual, misalnya DAPPA NUMA NGARA,
DAPPA TEKKI TAMO – dalam bahasa daerah/suku Wewewa (Yang
tidak boleh disebut namanya, dan tidak boleh disebut nama aliasnya).
Ungkapan sakral lain untuk menyebut Wujud Tertinggi adalah: A
KANGA WOLLA LIMMA, A BOKKA WOLLA WA’I – dalam bahasa
daerah/suku Wewewa (Dia yang menciptakan dan Dia yang menjadikan);
AMA A MAGHOLO, INA A MARAWI – dalam bahasa daerah/suku
Wewewa (Bapa yang membuat/mengukir, Ibu yang menenun/menjadikan;
AMA PADEWAMA, INA PAURRAMA – dalam bahasa daerah/suku
Wewewa (Tanpa Bapa kami tak bertuan, tanpa Ibu kami tak bertuan atau
Bapa yang melindungi kami dan Ibu yang menjaga kami).Mantra-mantra
ini biasanya dinyanyikan oleh RATO (imam Marapu) pada malam-malam
tertentu, misalnya pada malam saat upacara saiso (upacara khusus
berdialog dengan Marapu dengan wujud tertentu). Aliran ini meyakini
bahwa segala aspek kehidupan saling berkaitan dan merupakan satu
kesatuan yang utuh (bukti P-3);
7. Bahwa dengan identitasnya sebagai penganut kepercayaan, perkawinan
antar pemeluk kepercayaan dari Komunitas Marapu yang dilakukan secara
adat tidak diakui negara Akibatnya, anak-anak mereka sulit mendapatkan
Akta Kelahiran. Demikian pula dengan persoalan KTP elektronik, untuk
mendapatkan KTP elektronik dengan mudah, sebagian penganutnya
38
terpaksa berbohong menuliskan agama di luar kepercayaannya pada KTP
elektronik (bukti P-4); --
8. Peristiwa yang dialami Pemohon I merupakan buah dari keberadaan pasal-
pasal UU Adminstrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa agama
yang kolom agama di KK maupun KTP elektronik bagi penganut
kepercayaan tidak diisi. Dengan tidak diisinya kolom agama bagi penganut
kepercayaan di KTP elektronik dan di KK, Pemohon I bersama komunitas
Marapu lainnya dicap kolot, kafir dan sesat, dan berimbas pada
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional, serta
pelanggaran dalam pelayanan administrasi kependudukan;--------------------
9. Pemohon II merupakan penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera
Utara. Pusat Parmalim sendiri terletak di Kabupaten Toba Samosir, namun
penganutnya menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Kota Medan dan
Deli Serdang. Berdasarkan penelusuran Tim Aliansi Sumut Bersatu pada
Maret- April 2015, penganut Parmalim di Kabupaten Deli Serdang
terdapat di kecamatan Sunggal Desa Mulia Rejo (92 Jiwa), dan di Kota
Medan mereka tersebar di kecamatan Medan Denai, Medan Amplas,
Medan Kota dan Medan Sunggal (total 373 Jiwa). Penganut kepercayaan
Parmalim mengalami berbagai permasalahan dan eksklusi dari aspek
pemenuhan hak-hak dasar dan kebijakan publik, yakni banyaknya
ketidakcocokan antara identitas agama yang dituliskan di Kartu Keluarga
dan KTP elektronik. Selain itu, pihak kepala lingkungan yang bertugas
mengurus KK dan KTP elektronik sering memaksa kelompok Parmalim
untuk memilih agama yang ‘diakui’ agar proses pembuatan KTP
elektronik dikatakan lebih “mudah”. Hal ini sebagaimana dialami
Pemohon II(bukti P-5); ----------------------------------------------------------
10. Kerugian konstitusional yang dialami para penganut Parmalim, yakni ada
yang disyaratkan berpindah agama terlebih dahulu jika mau diterima pada
pekerjaan yang dilamarnya. Temuan lain dari Aliansi Sumut Bersatu juga
yakni, seorang guru (Bharlin School) penganut Parmalim terpaksa harus
39
mengundurkan dirikarena pihak sekolah tidak mengizinkan dirinya untuk
mengikuti ibadah di hari Sabtu (bukti P-11); -----------------------------------
11. Bahwa keberadaan Pasal 64 ayat (1) juncto ayat (5) UU Administrasi
Kependudukan yang mengosongkan kolom agama bagi penghayat
kepercayaan, telah merugikan Pemohon II dan para penghayat
kepercayaan Parmalim. Karena dengan tidak diisinya kepercayaan di
kolom agama KTP elektronik, berimbas pada pelanggaran dalam
pemenuhan hak-hak kependudukan yang seharusnya bisa dinikmati
Pemohon II, Bahkan. dengan tidak dicantumkannya agama kepercayaan di
dalam KTP elektronik Pemohon II, telah terjadi diskriminasi yang dialami
oleh pemohon dalam berbagai bentuk, seperti: kesulitan mengakses
pekerjaan, tidak dapat mengakses hak atas jaminan sosial, kesulitan
mengakses dokumen kependudukan seperti KTPelektronik, KK, Akte
Nikah, dan akte lahir;
12. Pemohon III merupakan penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di
Medan, Sumatera Utara. Jumlah penganut Ugamo Bangsa Batak di Kota
Medan tersebar di Kecamatan Medan Helvetia, Medan Denai, Medan
Belawan dengan total 40 Jiwa. Dengan adanya Pasal 61 ayat (1) juncto
ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) juncto ayat (5) UU Administrasi
Kependudukan yang menyatakan bahwa kolom agama di KK dan KTP
elektronik untuk kepercayaan dikosongkan, Pemohon III secara tidak
langsung telah mengalami diskriminasi (bukti P-6);--
13. Bahwa anak dari Pemohon III yang juga merupakan penganut Ugamo
Bangso Batak di Medan Sumatera Utara, bernama Dessy Purba, telah
terlanggar haknya untuk bekerja. Hal ini berawal ketika Dessy ditolak
melamar pekerjaan, meskipun nilai dan prestasinya bagus. Penolakan
tersebut karena kolom agama di KTPelektroniknya bertanda strip. Calon
pemberi kerja menganggap bahwa strip identik dengan ateis atau kafir.
Walaupun memenuhi semua kriteria yang dibutuhkan dan memiliki nilai
bagus di ijazahnya, Dessy tidak diterima sebagai pekerja. Dessy juga
40
kesulitan ketika hendak menerima upah dari perusahaan tempat ia bekerja,
karena pihak perusahaan dan pihak bank mempersoalkan kolom agama
yang dikosongkan dan meminta klarifikasi kepada Pemerintah setempat
dan Pengurus Kepercayaan Ugamo Bangso Batak; ---------------------------
14. Bahwa selain itu, Pemohon III juga ternyata tidak bisa mengakses modal
usaha dari lembaga keuangan. Tanda strip pada KTPelektronik Pemohon
III menyebabkan mereka tidak bisa mengakses modal usaha dari lembaga
keuangan, seperti bank ataupun koperasi. Pada akhirnya, untuk
menyelamatkan kehidupan anak-anaknya di masa mendatang, Pemohon III
pun terpaksa merubah kolom agama di KTP elektronik dan Kartu
Keluarganya dengan agama Kristen (bukti P-12);------------------------------
15. Bahwa Pemohon IV merupakan penganut kepercayaan Sapto Darmo.
Salah satu kelompok penghayat atau dalam bahasa pemerintah disebut
sebagai “aliran kepercayaan” yang penganutnya pernah mencapai ratusan
ribu di Indonesia, terutama di Jawa. Namun sejak 1965, karena tekanan
politik penganut kepercayaan ini merosot cepat dan hanya dipraktikkan
secara diam- diam (bukti P-7); ---------------------------------------------------
16. Bagi Pemohon IV, keberadaan Pasal 61 ayat (1) juncto ayat (2) dan Pasal
64 ayat (1) juncto ayat (5) UU Administrasi Kependudukan telah
memberikan dampak bagi Pemohon IV. Sebagai penghayat kepercayaan,
karena di kolom elektronik kolom agamanya kosong (bukti P-8),
Pemohon IV dan penganutSapto Darmo lainnya mendapat stigma sesat
dari masyarakat umum. Akibat kolom agama yang kosong pula
pemakaman keluarga dari Pemohon IV ditolak di pemakaman umum
manapun di Kabupaten Brebes. Hal ini telah dialami keluarga Pemohon
IV, dan jelas berpotensi juga terjadi kepada Pemohon IV; --
17. Selanjutnya, dampak lanjutan dari kekosongan kolom Agama di KTP
elektronik yakni anak dari Pemohon IV juga kesulitan untuk mengakses
pendidikan dan masuk sekolah tingkat dasar, karena diketahui menganut
41
Kepercayaan Sapto Darmo dan ketika telah sekolah anak dari Pemohon IV
dipaksa harus mengikuti mata pelajaran dan ajaran pendidikan Agama
Islam yang mana hal itu bertentangan dengan keyakinan dan
kepercayaannya sebagai Penghayat Kepercayaan Sapto Darmo; -------------
18. Bahwa keberadaan Pasal 61 ayat (1) juncto ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1)
juncto ayat (5) UU Administrasi Kependudukan yang memerintahkan agar
penganut kepercayaan atau bagi penganut agama yang belum diakui untuk
mengosongkan kolom agama di Kartu Keluarga dan Kartu Tanda
Penduduk elektronik merupakan bentuk keengganan negara mengakui
keberadaan para penganut kepercayaan serta penganut agama lain yang
bukan mayoritas di Indonesia. Ketidakmauan negara untuk mengakui ini
merupakan tindakan diskriminasi secara langsung, yang dalam kasus ini
setidaknya dialami oleh Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan
Pemohon IV; -----------------------------------------------------------------------
19. Bahwa dengan demikian, keberadaan UU Administrasi Kependudukan
secara faktual atau setidak-tidaknya potensial merugikan hak-hak
konstitusional para Pemohon. Kehadiran undang-undang a quo dengan
cara langsung maupun tidak langsung telah merugikan para Pemohon dan
penganut kepercayaan lainnya di Indonesia yang selama ini mengalami
diskriminasi; -------------------------------------------------------------------------
20. Bahwa dengan demikian para Pemohon telah memenuhi kualitas maupun
kapasitas sebagai Pemohon Pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 huruf c UU UU MK,
maupun sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan
penjelasan mengenai syarat-syarat untuk menjadi Pemohon Pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945. Sehingga, jelas pula keseluruhan
para Pemohon memiliki hak dan kepentingan hukum mewakili
42
kepentingan publik untuk mengajukan permohonan pengujian UU
Administrasi Kependudukan terhadap UUD 1945;--3
D. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi
Kewenangan Mahkamah Konstitusi
[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal
29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomorn48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap UUD 1945;4
[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah
pengujian konstitusionalitas Undang-Undang in casu Pasal 61 ayat (1) dan
ayat (2)serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah
diubah dengan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
3Kepaniteraan dan Sekretariat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di akses pada hari selasa tanggal 17 bulan april tahun 2018, www.mahkamahkonstitusi.go.id
4Kepaniteraan dan Sekretariat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di akses pada hari selasa tanggal 17 bulan maret tahun 2018, www.mahkamahkonstitusi.go.id
43
Indonesia Nomor 5475, selanjutnya disebut UU Administrasi
Kependudukan) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang
mengadili permohonan para Pemohon;
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-
Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945
dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok
orang (Yang mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat;
d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat(1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan
oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan pengujian;
[3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September
2007, serta putusan- putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian
hak dan/atau kewenangankonstitusional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
44
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi;
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada
paragraf [3.3] dan paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (legal standing) para
Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa para Pemohon mendalilkan sebagai perseorangan warga negara
Indonesia penganut kepercayaan;
2. Bahwa Pemohon I merupakan salah satu dari 21.000 orang penganut
kepercayaan Komunitas Marapu di Sumba Timur dan sebanyak 40 ribu
orang di Pulau Sumba yang terlanggar hak atas layanan kependudukannya.
Dengan identitasnya sebagai penganut kepercayaan, menurut Pemohon I
perkawinan antar pemeluk kepercayaan dari Komunitas Marapu yang
dilakukan secara adat tidak diakui negara. Akibatnya, anak-anak
Komunitas Marapu sulit mendapatkan Akta Kelahiran. Demikian pula
dengan persoalan Kartu Tanda Penduduk Elektoronik (KTP-el), untuk
mendapatkan KTP-el dengan mudah, sebagian penganutnya terpaksa
berbohong menuliskan agama di luar kepercayaannya pada KTP-el;
45
3. Bahwa Pemohon II merupakan penganut kepercayaan Parmalim di
Sumatera Utara yang pernah terpaksa memilih agama yang diakui agar
dipermudah dalam proses pembuatan KTP-el;
4. Bahwa Pemohon III merupakan penganut kepercayaan Ugamo Bangsa
Batak di Medan, Sumatera Utara. Pemohon III mendalilkan anaknya yang
juga merupakan penganut Ugamo Bangso Batak telah ditolak melamar
pekerjaan, meskipun nilai dan prestasinya bagus dikarenakan kolom
agama di KTP-el bertanda strip. Demikian juga ketika sudah bekerja yang
bersangkutan kesulitan menerima upah karena pihak perusahaan dan pihak
bank mempersoalkan kolom agama yang dikosongkan. Selain itu, agar
dapat mengakses modal usaha dari bank atau koperasi Pemohon III
terpaksa merubah kolom agama di KTP-el dan Kartu Keluarga (KK)
dengan agama Kristen;
5. Bahwa Pemohon IV merupakan penganut kepercayaan Sapto Darmo yang
bersama dengan penganut Sapto Darmo lainnya mendapat stigma sesat
dari masyarakat dikarenakan dikosongkannya kolom agama pada KTP-el.
Selain itu menurut Pemohon IV akibat dikosongkannya kolom agama pada
KTP-el pemakaman keluarganya ditolak di pemakaman umum manapun di
Kabupaten Brebes. Demikian juga dengan anaknya yang kesulitan untuk
mengakses pendidikan dan masuk sekolah tingkat dasar, karena diketahui
menganut Kepercayaan Sapto Darmo dan ketika telah sekolah anak
tersebut dipaksa harus mengikuti mata pelajaran dan ajaran pendidikan
Agama Islam yang sebenarnya bertentangan dengan keyakinan dan
kepercayaannya sebagai Penghayat Kepercayaan Sapto Darmo;
6. Bahwa dengan demikian para Pemohon menilai keberadaan UU
Administrasi Kependudukan secara faktual atau setidak-tidaknya potensial
merugikan hak- hak konstitusional para Pemohon. Kehadiran UU
Administrasi Kependudukan dengan cara langsung maupun tidak langsung
telah merugikan para pemohon dan penganut kepercayaan lainnya di
Indonesia karena diperlakukan secara diskriminatif;
46
[3.6] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK,
dan putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum, serta dalil
para Pemohon yang merasa dirugikan karena berlakunya Pasal 61 ayat (1)
dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi
Kependudukan yang salah satunya menimbulkan diskriminasi, maka
menurut Mahkamah, para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Kerugian tersebut bersifat spesifik dan aktual serta terdapat hubungan
sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan
berlakunya norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, sehingga
terdapat kemungkinan apabila permohonan dikabulkan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan terjadi. Dengan demikian,
menurut Mahkamah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.7] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a
quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan
pokok permohonan.
Pokok Permohonan
[3.8] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 61 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi
Kependudukan yang masing-masing menyatakan sebagai berikut.
Pasal 61
(1) KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala
keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir,
tanggal Iahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status
hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama
orang tua.
47
(2) Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat
kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database
Kependudukan.
Pasal 64
(1) KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data
penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau
perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat,
pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal
dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el.
(5) Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat
dalam database kependudukan.
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat
(1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, dengan alasan-alasan yang pada
pokoknya sebagai berikut:
1) Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5)
UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan prinsip
negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945 karena hak asasi manusia dan/atau hak konstitusional
para Pemohon untuk mendapatkan KK dan KTP-el pontensial
dihilangkan oleh ketentuan pasal-pasal dimaksud, meskipun
dalamketentuan a quo dinyatakan tetap dilayani dan dicatatkan
dalam database kependudukan;
48
2) Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5)
UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan kepastian
hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dijamin
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena antara norma yang satu
dengan yang lain dinilai saling bertentangan dan melahirkan
penafsiran yang berbeda. Berdasarkan pasal- pasal tersebut, bagi
penganut kepercayaan/penghayat atau bagi penganut agama yang
belum diakui sebagai agama, kolom agama dikosongkan,
sementara sesuai Pasal 58 ayat (2) UU Administrasi
Kependudukan “agama/kepercayaan” adalah bagian dari data
perseorangan yang harus dicatat dalam database kependudukan.
Pada saat yang sama pasal-pasal tersebut juga menyebabkan
terdapatnya perbedaan dalam hal pengurusan KK dan KTP-el
antara penghayat kepercayaan dengan warga negara lainnya. Di
mana pengurusan KK dan KTP-el antara penghayat kepercayaan
dengan warga negara pada umumnya terdapat perlakuan yang
berbeda;
3) Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5)
UU Administrasi Kependudukan melanggar jaminan kesamaan
warga negara di hadapan hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal
27 ayat (1) UUD 1945 karena adanya perlakuan yang tidak sama di
hadapan hukum antarwarga negara, yaitu antara warga negara
penganut/penghayat kepercayaan dan warga negara penganut
agama yang diakui menurut peraturan perundang- undangan dalam
mengakses pelayanan publik. Perlakuan yang tidak sama dimaksud
telah menimbulkan pertentangan dengan asas persamaan warga
negara di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin
dalam UUD 1945;
4) Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5)
UU Administrasi Kependudukan melanggar hak warga negara
49
untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif sebagaimana dijamin
oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena pasal-pasal a quo
merupakan ketentuan yang diskriminatif terhadap para penghayat
kepercayaan atau bagi penganut agama yang belum diakui oleh
negara. Dengan tidak diisinya kolom agama bagi para penghayat
kepercayaan, maka hal demikian itu merupakan pengecualian yang
didasarkan pada pembedaan atas dasar agama atau keyakinan yang
mengakibatkan pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan Hak Asasi Manusia
(HAM) dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya dan aspek kehidupan lainnya.
5) Berdasarkan seluruh argumentasi di atas, para Pemohon
berkesimpulan bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64
ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi Kependudukan bertentangan
dengan:
a) prinsip negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945;
b) hak atas kepastian hukum dan perlakuan yang sama di
hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945;
c) hak atas jaminan kesamaan warga negara di hadapan hukum,
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; dan
d) hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat
(2) UUD 1945,
[3.10] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan dalam
persidangan pada tanggal 6 Desember 2016 (sebagaimana
selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara).
50
[3.11] Menimbang bahwa DPR menyampaikan keterangan tertulis yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 April 2017
(sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara).
[3.12] Menimbang bahwa Pihak Terkait Majelis Luhur Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) telah
memberikan keterangan dalam persidangan pada tanggal 6
Desember 2016 (sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian
Duduk Perkara).
[3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama
permohonan para Pemohon, bukti tulisan/surat, keterangan ahli
dan saksi yang diajukan para Pemohon, dan kesimpulan para
Pemohon serta keterangan Presiden, keterangan DPR, dan
keterangan Pihak Terkait Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai
pengujian konstitusionalitas Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi Kependudukan
terkait dengan pengosongan kolom agama dalam KK dan KTP-el,
Mahkamah akan menegaskan terlebih dahulu pendiriannya
mengenai keberadaan hak beragama termasuk hak untuk menganut
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan hak
mendapatkan layanan publik, sebagai berikut:
Bahwa hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional (constitutional
rights) warga negara, bukan pemberian negara. Dalam gagasan negara
demokrasi yang berdasar atashukum atau negara hukum yang demokratis,
yang juga dianut oleh UUD 1945, negara hadir atau dibentuk justru untuk
melindungi (yang di dalamnya juga berarti menghormati dan menjamin
51
pemenuhan) hak-hak tersebut. Dalam hal ini, Alinea Keempat Pembukaan
UUD 1945 antara lain menyatakan, “Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia..., maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia.”.
Pernyataan mendasar/elementer yang secara eksplisit tertuang di
dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 bukan hanya sekadar
menjelaskan bahwa Pemerintah Negara Indonesia yang dibentuk dengan
UUD 1945 adalah kelanjutan dari Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia,
yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, melainkan sekaligus
memuat amanat atau perintah bahwa Pemerintah Negara Indonesia yang
dibentuk salah satu tugasnya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia.
Tugas “melindugi segenap bangsa Indonesia” ini bukan hanya berarti
melindungi raga dan jiwa warga negara Indonesia, termasuk tatkala berada
di luar yurisdiksi Indonesia, tetapi juga melindungi hak-hak warga negara
itu, lebih-lebih hak yang merupakan hak asasinya. Amanat ini kemudian
dituangkan secara lebih tegas dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang
menyatakan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Hak dasar untuk menganut agama, yang di dalamnya mencakup hak untuk
menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, adalah bagian
dari hak asasi manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik. Artinya,
hak untuk menganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa merupakan salah satu hak dalam kelompok hak-hak sipil dan politik
yang diturunkan dari atau bersumber pada konsepsi hak-hak alamiah
(natural rights). Sebagai hak asasi yang bersumber pada hak alamiah, hak
ini melekat pada setiap orang karena ia adalah manusia, bukan pemberian
negara. Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini, bukan lagi sekadar
sesuatu yang bernilai doktriner melainkan telah menjadi norma dalam
52
hukum dasar (konstitusi) dan oleh karena itu mengikat seluruh cabang
kekuasaan negara dan warga negara, sebab hal itu dituangkan secara
normatif dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 29 ayat (2)
UUD 1945.
Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”. Selanjutnya dalam Pasal
28E ayat (2) ditegaskan pula, “Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya”. Adapun Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
menegaskan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Bahwa pemahaman demikian juga dapat dibaca ketika
Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) dirumuskan dalam perubahan UUD
1945. Beranjak dari dinamika perumusan norma Pasal 28E ayat (1)
dan ayat (2) tersebut dalam proses perubahan UUD 1945,
pembahasan dan perdebatan dalam Rapat Komisi A Sidang
Tahunan MPR Tahun 2000 berangkat dari usulan BP MPR terkait
hak beragama dimuat dalam draf Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2)
dengan dua alternatif yaitu5 :
ayat (1)
alternatif pertama, setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut kepercayaan agamanya masing-masing.
alternatif dua, setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
5(Naskah Komprehensif, Buku VIII, h.. 304),
53
[3.13.2] Bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.13.1] di atas, selanjutnya
Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon mengenai
konstitusionalitas Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1)
dan ayat (5) UU Administrasi Kependudukan, sebagai berikut.
[3.13.2.1] Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 6 ayat (1)
dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU
AdministrasiKependudukan tidak mencerminkan jaminan perlindungan
oleh negara terhadap hak atau kemerdekaan warga negara penganut
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya
bertentangan dengan prinsip atau gagasan negara hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Mahkamah berpendapat
sebagai berikut:
Bahwa keberadaan Pasal 61 dan Pasal 64 UU Administrasi
Kependudukan bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi
kependudukan dengan terbangunnya database kependudukan secara
nasional serta keabsahan dan kebenaran atas dokumen kependudukan
yang diterbitkan. KTP-el merupakan bagian dari upaya mempercepat
serta mendukung akurasi terbangunnya database kependudukan secara
nasional. Upaya untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan
melalui pembangunan database kependudukan sesuai dengan Undang-
Undang a quo merupakan langkah yang sangat tepat untuk kemajuan
hidup berbangsa dan bernegara. Sebab, perencanaan dan pelaksanaan
program- program pemerintah akan berjalan baik apabila berangkat dari
data kependudukan yang tertib dan benar. Terlebih lagi jika merujuk
pada Pasal 61 dan Pasal 64 yang berada di bawah sub-Bab “Dokumen
Kependudukan” di mana dokumen kependudukan merupakan dokumen
yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang
mencakup pengaturan atas sejumlah hak warga negara yang di dalamnya
termasuk hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Oleh karena
itu, upaya melakukan tertib administrasi kependudukan sama sekali tidak
54
boleh mengurangi hak-hak warga negara dimaksud termasuk hak atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan. Database kependudukan yang
disusun haruslah dalam kerangka menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak-hak dimaksud sehingga database kependudukan akan
tersusun secara lebih akurat, karena tidak akan ada warga negara yang
terdata dalam database kependudukan yang elemen data kependudukan
di dalamnya tidak diisi atau diisi secara tidak sesuai dengan apa
sebenarnya agama atau keyakinan yang dianutnya.
[3.13.2.2] Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 61 ayat (1)
dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi
Kependudukan bertentangan dengan kepastian hukum dan perlakuan
yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 serta melanggar jaminan kesamaan warga negara di
hadapan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD
1945, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa dengan tidak dianutnya pengertian terminologi “agama” dalam
Pasal 61 ayat (1) dan dalam Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi
Kependudukan termasuk kepercayaan, maka dengan sendirinya norma
Undang-Undang a quo tidak memberikan pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum bagi warga negara penganut kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dengan warga negara yang oleh Undang-Undang a
quo disebut menganut “agama yang diakui sebagai agama sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Dengan pendirianpembentuk
undang-undang bahwa yang dimaksud “agama” adalah agama dalam
pengertian yang diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan maka bagi penganut kepercayaan sudah pasti tidak
mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil, lebih-lebih perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pengakuan
tidak mungkin didapat karena kepercayaan tidak dimasukkan ke dalam
55
pengertian agama. Demikian pula halnya dengan kepastian hukum. Sebab
kepastian hukum itu didapat oleh penganut kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa adalah kepastian bahwa mereka bukan penganut agama
yang diakui sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Hal
ini sekaligus tidak memungkinkan bagi mereka menikmati perlakuan yang
sama di hadapan hukum secara adil sebab secara konseptual dalam
konstruksi UU Administrasi Kependudukan mereka sudah tidak
dimasukkan ke dalam pengertian agama.
[3.13.2.3] Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 61 ayat (1)
dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi
Kependudukan melanggar hak warga negara untuk tidak diperlakukan
secara diskriminatif sebagaimana dijamin oleh Pasal 28I ayat (2) UUD
1945, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa dengan mengacu pada pengertian diskriminasi dalam putusan-
putusan Mahkamah, di antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
070/PUU- II/2004, bertanggal 12 April 2005, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 024/PUU- III/2005, bertanggal 29 Maret 2006, dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007, bertanggal 22
Februari 2008, perbedaan pengaturan antar warga negara dalam hal
pencantuman elemen data penduduk, menurut Mahkamah tidak didasarkan
pada alasan yang konstitusional. Pengaturan tersebut telah memperlakukan
secara berbeda terhadap hal yang sama, yakni terhadap warga negara
penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama yang diakui
menurut peraturan perundang-undangan dalam mengakses pelayanan
publik. Lagi pula jika dikaitkan dengan pembatasan terhadap hak dan
kebebasan dengan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J
ayat (2) UUD 1945, menurut Mahkamah pembatasan demikian tidak
berhubungan dengan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
bukan pula untuk memenuhi tuntutan yang adil dalam kehidupan
masyarakat yang demokratis. Sebaliknya, pembatasan hak a quo justru
56
menyebabkan munculnya perlakuan yang tidak adil terhadap warga negara
penghayat kepercayaan sebagaimana yangdidalilkan oleh para Pemohon.
Dengan tidak dipenuhinya alasan pembatasan hak sebagaimana termaktub
dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, maka pembatasan atas dasar
keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakukan berbeda antar
warga negara merupakan tindakan diskriminatif. Oleh karena itu, dalil
para Pemohon bahwa ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU
Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD
1945 sepanjang kata “agama” dalam pasal a quo tidak dimaknai termasuk
kepercayaan adalah beralasan menurut hukum.
[3.13.3] Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum sebagaimana diuraikan di atas,
maka kata “agama” sebagaimana dimuat dalam Pasal 61 ayat (1) dan
Pasal64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan harus dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk
“kepercayaan”;
[3.13.4] Bahwa untuk menjamin hak konstitusional para Pemohon, oleh karena
keberadaan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi
Kependudukan merupakan kelanjutan dari kata “agama” dalam Pasal 61
ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan yang
menurut Mahkamah harus dimaknai termasuk “kepercayaan”, maka
dengan sendirinya Pasal 61 ayat(2) dan Pasal 64 ayat (5) UU
Administrasi Kependudukan kehilangan relevansinya dan juga turut
tunduk pada argumentasi perihal pertentangan kata “agama” dalam Pasal
61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (4) UU Administrasi Kependudukan di atas,
sehingga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian dalil para
Pemohon tentang inkonstitusionalitas Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat
(5) UU Administrasi Kependudukan beralasan menurut hukum;
[3.13.5] Bahwa agar tujuan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan
dapat terwujud serta mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam
57
masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam, maka pencantuman
elemen data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan
hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai “penghayat
kepercayaan” tanpa merinci kepercayaan yang dianut di dalam KK
maupun KTP-el, begitu juga dengan penganut agama lain;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di
atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan menurut hukum;
E. AMAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Mengadili,
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya6;
2. Menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk
“kepercayaan”;
3. Menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana
telahdiubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia
6Kepaniteraan dan Sekretariat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di akses pada hari selasa tanggal 17 april tahun 21018 www.mahkamahkonstitusi.go.id
58
Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputus dalam Rapat
Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi
yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman,
Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna,
Aswanto, Maria Farida Indrati, dan Manahan M.P Sitompul, masing-
masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal delapan belas, bulan
Oktober, tahun dua ribu tujuh belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal
tujuh, bulan November, tahun dua ribu tujuh belas, selesai diucapkan
pukul 10.27 WIB, oleh tujuh Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku
Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Saldi Isra, I Dewa Gede
Palguna, Aswanto, Maria Farida Indrati, dan Manahan M.P Sitompul,
masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Syukri Asy’ari
sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya,
Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang
mewakili dan Pihak Terkait/kuasanya.
F. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 Tentang
Pencantuman Kolom Agama Bagi Penghayat Keprcayaan
Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016
yang diucapkan dalam sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka secara
umum pada hari Selasa, 7 November 2017 memberikan legitimasi yang
demikian kuat atas eksistensi penghayat kepercayaan. Putusan Mahkamah
Konstitusi yang bersifat final dan binding itu mendorong agar warga
negara yang menganut penghayat kepercayaan itu dapat diberikan
59
kepastian dalam administrasi kependudukan, termasuk dalam Kartu
Keluarga atau Kartu Tanda Penduduk.
Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan dinyatakan bahwa penghayat
kepercayaan tidak perlu mengisi dalam kolom agama, meskipun mereka
tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan, itu telah dianulir
oleh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dengan dianulirnya kedua
ayat pada dua pasal tersebut, penghayat kepercayaan diberikan ruang yang
sama sebagaimana warga negara lainnya baik dalam administrasi
kependudukan maupun dalam layanan lainnya.
Tentu, hal ini segera memunculkan pertanyaan, di
Kementerian/Lembaga manakah yang “berkewajiban” memberikan
layanan bagi penghayat kepercayaan ini? Untuk membahas jawaban atas
pertanyaan tersebut, dapat dijelaskan beberapa pendekatan, di antaranya
aspek regulasi, kesejarahan, dan respon masyarakat.
Pada aspek regulasi, Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik
Indonesia pada Pasal 28E menempatkan kebebasan beragama dan
penghayat kepercayaan pada posisi yang berbeda. Kebebasan beragama
dijelaskan dalam Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak
kembali”. Sementara kebebasan dalam memilih penghayat kepercayaan
dinyatakan dalam Pasal 28E ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya”.
Melihat posisi ini, secara regulatif memang persoalan penghayat
kepercayaan itu berbeda dengan persoalan agama, demikian juga
60
sebaliknya persoalan agama itu berbeda dengan persoalan penghayat
kepercayaan, sehingga keduanya diatur dalam ayat yang berbeda. Jika
keduanya difahami secara uniform, maka tentu tidak perlu diatur dalam
aturan yang berbeda.
Meski demikian, menurut pengamatan penulis, sejauh ini belum
ada definisi tentang agama dan penghayat kepercayaan versi regulasi atau
aturan perundang-undangan yang berlaku. Sebenarnya, definisi ini sangat
diperlukan guna membedakan mana agama dan mana yang bukan agama.
Kita baru dapat menjelaskan definisi tentang agama dan penghayat
kepercayaan itu lebih didasarkan secara akademis, bukan regulatif. Untuk
agama, biasanya sering didefinisikan dengan sistem kepercayaan yang
meyakini adanya Tuhan, Nabi, dan kitab suci, serta memiliki sistem pola
peribadatannya masing-masing. Sementara penghayat kepercayaan lebih
simple dan sederhana yang tidak selengkap agama.
Ada beberapa unsur pokok dalam agama yang tidak sepenuhnya
dimiliki oleh penghayat kepercayaan, seperti Nabi atau Kitab Suci. Atas
dasar definisi ini, seringkali disimplikasikan bahwa orang yang beragama
sudah tentu orang yang berpenghayat kepercayaan, sementara orang yang
berpenghayat kepercayaan belum tentu orang yang beragama. Intinya,
penghayat kepercayaan itu berbeda dengan agama.
Dalam konteks itu, Kementerian Agama, misalnya, dipastikan tidak
memiliki kewajiban untuk melayani bagi penghayat kepercayaan. Sebab
Kementerian Agama hanya dapat memberikan layanan bagi umat
beragama. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 83 Tahun 2015 Tentang Kementerian Agama yang
diatur dalam Pasal 2 bahwa “Kementerian Agama mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama untuk membantu
Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.” Jika penghayat
kepercayaan dilayani oleh Kementerian Agama maka akan terjadi campur
61
aduk antara urusan agama dengan urusan di luar agama, sehingga tidak
sesuai lagi dengan khittah berdirinya instusi Kementerian Agama.
Pada aspek sejarah, ketegasan bahwa penghayat kepercayaan
bukanlah agama telah dinyatakan dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV Tahun 1978
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam Tap MPR RI tersebut
terutama Bab IV huruf D tentang Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan
Bidang Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial
Budaya, nomor 1 huruf f dinyatakan bahwa “Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Pembinaan terhadap kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dilakukan agar tidak mengarah pada
pembentukan agama baru”.
Atas dasar Tap MPR RI ini, Menteri Agama ketika itu Alamsjah
Ratuperwiranegara mengeluarkan sikap bahwa Kementerian Agama tidak
melayani penghayat kepercayaan, sebagaimana tertuang dalam Instruksi
Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978 tentang Kebijaksanaan mengenai
Aliran Kepercayaan dan Instruksi Menteri Agama Nomor 14 Tahun 1978
tentang Tindak Lanjut Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978.
Kebijakan bahwa Kementerian Agama tidak melakukan layanan
atas penghayat kepercayaan hingga kini tidak ada perubahan. Kementerian
Agama tidak memberikan layanan kepada penghayat kepercayaan,
sebagaimana dapat dilihat baik pada aspek regulasi yang dikeluarkan
maupun unsur struktural-birokrasi di lingkungan Kementerian Agama.
Pada aspek respon masyarakat atas putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 97/PUU-XIV/2016, pendapat Majelis Ulama Indonesia tampaknya
perlu dicermati dengan baik.7Menyebut bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi soal penghayat kepercayaan tak mempertimbangkan
7berita (Kompas.com - 15/11/2017, 16:00 WIB), Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, KH Ma'ruf Amin.
62
kesepakatan di masyarakat. Menurutnya, "Mahkamah Konstitusi membuat
keputusan yang hanya semata-mata berpegang kepada prinsip perundang-
undangan, tanpa dia memperhatikan kesepakatan di dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Itu yang mengandung masalah."
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Zainut Tauhid
Sa'adi, menyampaikan sikap Majelis Ulama Indonesia.
Pertama, Majelis Ulama Indonesia sangat menyesalkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 97/PPU-XIV/2016 yang dinilai
kurang cermat dan melukai perasaan umat beragama, khususnya umat
Islam Indonesia. Sebab, putusan tersebut berarti telah mensejajarkan
kedudukan agama dengan aliran kepercayaan.
Kedua, Majelis Ulama Indonesia berpandangan bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut menimbulkan konsekuensi hukum yang
berdampak pada tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan serta merusak
terhadap kesepakatan kenegaraan yang selama ini sudah berjalan dengan
baik.
Ketiga, Majelis Ulama Indonesia berpendapat seharusnya
Mahkamah Konstitusi dalam mengambil keputusan yang memiliki
dampak strategis, sensitif dan menyangkut hajat hidup orang banyak,
terlebih dahulu membangun komunikasi serta menyerap aspirasi yang
seluas-luasnya kepada masyarakat dan pemangku kepentingan, sehingga
dapat mengambil keputusan secara obyektif, arif, bijak dan lebih aspiratif.
Keempat, Majelis Ulama Indonesia menghormati perbedaan
agama, keyakinan dan kepercayaan setiap warga negara karena hal
tersebut merupakan implementasi dari hak asasi manusia yang dilindungi
oleh negara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kelima, Majelis Ulama Indonesia sepakat bahwa pelaksanaan
pelayanan hak-hak sipil warga negara di dalam hukum dan pemerintahan
63
tidak boleh ada perbedaan dan diskriminasi, sepanjang hal tersebut sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk itu, Majelis Ulama Indonesia mengusulkan langkah-langkah
solusi sebagai berikut. Pertama, pemerintah dapat melakukan pencantuman
identitas penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada
Kartu Keluarga. Kedua, pemerintah dapat mencetak KTP yang hanya
mencantuMahkamah Konstitusi an kolom aliran kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan jumlah kebutuhan warga penghayat
kepercayaan. Ketiga, adapun urusan yang terkait dengan hak-hak sipil
sebagai warga negara, warga penghayat kepercayaan tetap berada di
bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana yang
selama ini telah berjalan dengan baik.
Atas dasar tiga pertimbangan di atas, yakni regulasi, kesejarahan,
dan respon masyarakat, menurut hemat penulis, pelayanan bagi penghayat
kepercayaan itu tidak menjadi tanggung jawab Kementerian Agama, tetapi
menjadi tanggung jawab Kementerian/Lembaga yang lain.Setidaknya,
dalam hal ini ada 2 (dua) usulan Kementerian/Lembaga yang dapat
memberikan layanan kepada penghayat kepercayaan. Pertama,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Jenderal
Kebudayaan, dapat memberikan layanan kepada penghayat kepercayaan
ini. Di samping linier bahwa penghayat kepercayaan lebih dimaknai untuk
revitalisasi atas kebudayaan dan dipastikan adanya fasilitasi layanan
pendidikan, juga hal itu telah berlangsung selama ini.
Di samping itu, dengan ditanganinya oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, tidak berimplikasi pada penambahan
Kementerian/Lembaga baru yang tentu akan menambahkan beban
birokrasi yang lebih besar. Pada sisi ini, di tingkat Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, perlu diperluas makna dan layanan
kebudayaan terutama untuk memastikan layanan yang cukup bagi
penganut penghayat kepercayaan.
64
Kedua, LPNK (Lembaga Pemerintah Non-Kementerian) yang
secara khusus menangani layanan hak-hak sipil bagi warga penghayat
kepercayaan. LPNK ini merupakan lembaga pemerintah baru sama sekali
yang memang diamanahi secara khusus untuk penghayat kepercayaan,
sebagai implementasi dari amar putusan Mahkamah Konstitusi. Pada sisi
ini, kehadiran LPNK ini merupakan wujud konkret perhatian pemerintah
atas penghayat kepercayaan. Akan tetapi, pada sisi yang lain, kehadiran
LPNK ini kontraproduktif dengan kebijakan penghematan struktur
birokrasi di era pemerintah saat ini.8
8 Diakses pada tanggal 12 Mei 2018 https://kumparan.com/wendy-suwendy/menempatkan-pelayanan-bagi-penghayat-kepercayaan-1515599481436
BAB IV
RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA
TERHADAP KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 97/PUU-XIV/2016 TENTANG KOLOM AGAMA
BAGI PENGHAYAT KEPERCAYAAN ALIRAN AGAMA
DI INDONESIA
A. ResponTokoh Majelis Ulama Indonesia Tentang Pencantuman Kolom
Agama Bagi Penghayat Kepercayaan di Indonesia.
Dalam bagian agama dan kepercayaan terhadap tuhan yang maha
esa bahwa kepercayaan dan agama adalah 2 hal yang berbeda tidak dapat
disatukan dan disamakan, bahwa pembinaan agama terhadap kepercayaan
tuhan yang maha esa dilakukan oleh kementrian pendidikan dan
kebudayaan, sementara agama dibina oleh kementrian agama, jadi sudah
jelas bahwa pada awalnya, agama dan aliran kepercayaan berbeda maka
pembinaannya berbeda juga , agama dibina oleh kementrian agama dan
aliran kepercayaan dibina kementrian pendidikan kebudayaan, karna
agama adalah produk Allah atau tuhan yang maha esa, dan kemudian
aliran kepercayaan adalah produk manusia, atau bagian dari produk
kebudayaan manusia terdahulu, kesepakatan nasional ini yang tidak diikuti
oleh Mahkamah Konstitusi, terbukti dari amar putusannya menyatakan
bahwa kata agama tidak berlaku seandainya tidak dimaknai kepercayaan,
kata kata kepercayaan artinya bahwa kepercayaan itu adalah bagian dari
agama, padahal sudah jelas ada 2 hal yang berbeda, agama dan
kepercayaan tidak bisa disatukan atau disamakan, nah, inilah yang sangat
disesalkan Majelis Ulama Indonesia mengapa Mahkamah Konstitusi tidak
sensitif terhadap masalah tersebut, dulu pada masa orde baru itu sangat
sensitif sekali antara aliran kepercayaan dengan agama pada saat itu sering
65
66
kali mempunyai kesan mengutuhkan kaum kepercayaan, dan dulu sering
disebut kebatinan, dan itu berasal dari budaya jawa terdahulu dan ini
terkait keberadaan dari asisten pribadi Presiden Soeharto yang bernama
Sujono Humardhani pada saat itu beliau tokoh aliran kebatinan, dan beliau
masuk kedalam GBHN tetapi alhamdulilah dalam tujuan umat islam
kepercayaan itu tidak dipastikan bukan bagian agama dan tidak dapat
disatukan dengan agama, inilah yang dilanggar oleh Mahkamah Konstitusi
hanya dengan mangacu kepada hak asasi manusia yang terdapat di UUD
1945 tidak bisa lebih luas pemikirannya ternyata dalam menangani
masalah tersebut.
Dan kita pada saat itu memang tidak terlibat dalam proses
pengujian UU tersebut terkadang Majelis Ulama Indonesia terlibat
sebagian pihak terkait untuk membela pasal pasal yang digugat oleh
beberapa kelompok atau pemohon, tetapi memang dalam UU itu Majelis
Ulama Indonesia tidak terlibat sehingga mungkin tidak ada presfektif lain
yang masuk kepada para hakim Mahkamah Konstitusi itu akibatnya para
hakim Mahkamah Konstitusi mengacu kepada pemikiran Mahkamah
Konstitusi tersendiri dan pemikiran pemohon serta para ahli ahlinya dan
kemudian cenderung mendukung argumentasi para pemohon yang ingin
ada makna baru terhadap pasal tersebut, lalu kemudian Majelis Ulama
Indonesia sudah merespon dengan cara membuat pernyataan sikap, pada
awal-awalnya Majelis Ulama Indonesia menolak kepuutusan tersebut,
tetapi dalam perkembanganya kita hidup didalam negara hukum harus taat
dan paham dengan apa saja yang sudah diatur dalam negara dalam pasal 1
ayat 3 UUD 1945 kita harus taat terhadap keputusan Mahkamah
Konstitusi, tetapi bagaimana cara melaksanakannya agar tidak muncul
pemahaman yang keliru kalo agama da kepercayaan itu dijadikan satu,
kemudian dalam rakernas Majelis Ulama Indonesia tahun 2017 dibogor
pada bulan Nopember lalu itu sudah termasuk diputuskan masalah
tersebut.
67
Mahkamah Konstitusi itu menyatakan bahwa kepercayaan itu
adalah bagian dari agama dan kata agama tidak berlaku apabila tidak
termasuk kepercayaan, seandainya kata kata Amar itu bahwa kata agama
hanya berlaku apabila dimaknai sebagai agama dan kepercayaan. Itu bagus
mnurut Majelis Ulama Indonesia.
Untuk format KTP yang tepat terhadap aliran kepercayaan untuk
memperoleh pemahaman-pemahaman bersama gagasan Majelis Ulama
Inonesia disetujui, karna pada ssaat itu Majelis Ulama Indonesia
mengadakan pertemuan mengundang 3 kementerian
a. Kementriandalamnegri
b. Kementrian agama
c. Kementrianpendidikandankebudayaan
Dari tigakementrianini yang terlibatuntukmembantupembuatan format
dalam KTP untukalirankepercayaantersebut, untukkamendagridia yang
mencetak E-KTP tersebut, dankementrian agama dia yang membina
agama agama,
kemudiankemendikbuddiamembinaaliranalirankeperayaantersebut,
harapankitatentukepadakamendegriterutamauntukAdminduknyasetelahdir
umuskanolehMajelisUlama Indonesiaakhirnyakitasepakati agar
membedakanpersisbagiwarganegaraindonesia yang
beragamadansudahmempunyai E-KTP
makadiatidakperlulagiadaperubahanapaapa, kecualiinginmerubah status
pernikahandia, dan lain-lain.
Adapunbagikaumpenghayatkepercayaansebagaimanaimplementasikeputus
anMahkamahKonstitusidipersilahkanuntukkemendagrimembuat KTP
untukmerekahanyaalirankepercayaansajadengantulisan
“ Kepercayaan : KepercayaanTerhadapKetuhanan Yang MahaEsa “
Dan didalamKtpitutidakadalgi kata agama
digantimenjadiAliranKepercayaan.
68
ukurdengan agama diantara lain
mencerminkansikapkesopanan, sikap, moral, etika,
hukumekonomidan lain sebagainya.1
1. Respon terhadap warga negara yang tidakberagamaatas hak
memiliki alirankepercayaan
Jadi, kalo kita liat dari sila pertama didalam Pancasila
Negara Republik Indonesia, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka Indonesia adalah negara ketuhanan, dalam negara beragama
berarti penduduk dan warga negarapun harus sama sama beragama
juga dan agama apapun juga asalkan agama, dan adapun aliran
kepercayaan itu adalah bukan sebagai agama tetapi Undang
Undang Dasar kita khususnya hak asasi manusia Bagian hak masih
memposisikan mereka sebagai orang orang yang harus dilindungi
keyakinannya, walaupun kita sebagai beragama islam sedih
melihat aliran kepercayaan nantinya ketika meninggal dunia
akheratnya bagi mereka tidak ada tujuannya bisa dikatakan tidak
jelas, tetapi itulah pilihan hidup silahkan memlihi menurut baiknya
manusia itu sendiri.
2. PerkembangankebijakanPolitikHukumNegaramelindungiprak
tekalirankepercayaansertamengakuinyadalamsisteminformasi
administrasikependudukan
Jadi, pertama kita lihat pada masa orde pada saat itu
membrikan jaminan keberadaan meraka dalam GBHN (Garis
Besar Haluan Negara), dan rumusuannya sudah ada pada tahun
1973 dan 1978, mungkin pada saat tahun 1973 lebih rendah
konsepnya dibandingi 1978 lebih baik, lalu kemudia zaman
reformasi itu tenggelamnya isu sehingga tidak banyak dibicarakan
1Hasil wawancara dengan Bpk. H. Rofiqul Umam Ahmad, SH. MH., Wakil Sekretaris Jendral Bidang Hukum dan Perundang-unadngan Majelis Ulama Indonesia (Hari Jum’at 18 Mei 2018).
69
orang, dan muncul kembali setelah adanya keputusan Mahkamah
Konstitusi yang saat ini, dan kemudian Majelis Ulama Indonesia
beranggap salah satunya untuk peningkatan eksistensi keberadaan
dari kaum penghayat kepercayaan dan sesuai dengan HAM
silahkan saja melakukan keputusan itu tapi smua keputusan itu
harus didasari logika dan pikiran yang adil sehingga tidak
menimbulkan pemahaman yang rumit.2
3. Implikasihukumdanaspekadministrasinya di E-KTP
Implikasihukumnyamerakamempunyaikedudukanhukum
yang samadenganwarganegara yang lain, dalamhalkolom agama
ini, tentudiamendapatkanpelayananpublik yang
baikdanbeberapaberbagaifasilitasdarinegara, sebagaimana yang
diterimaolehwarganegarapemeluk agama, nah, dalamsistem data
base,
kependudukanberartiselamainiUndangUndangadministrsikependud
ukantahun 2006 itusudahmncantumMahkamahKonstitusian
identitaskepercayaan.
4. Respon terhadap pencatumankolom agama
bagipenganutaliran keprcayaan
Perlu saya jelaskan bahwa kolom agama bagi kaum
penghayat itu tidak ada yang ada kolom kepercayaan bagi kaum
penghayat kepecayaan didalam E-KTP kelak bagi mereka tidak ada
kolom agama, bagi Majelis Ulama Indonesia dipersilahkan kepada
pemerintah khsusnya kemendagri (kementrian dalam negri), untuk
membuatkan E-KTP dengan indentitas (Kolom Kepercayaan),
untuk penghayat aliran kepercayaan, sebagaimana salah satu wujud
2Hasil wawancara dengan Bpk. H. Rofiqul Umam Ahmad, SH. MH., Wakil Sekretaris Jendral Bidang Hukum dan Perundang-unadngan Majelis Ulama Indonesia (Hari Jum’at 18 Mei 2018).
70
pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi itu sebagai solusi
Majelis Ulama Indonesia dan pemerintah lainya, agar memberikan
nilai positif dan tidak menimbulkan kesalah pahaman terhadap
pemerintah lainya khushunya untuk warga negara yang beragama.
5. Penganut kepercayaan itu sama keduduakanya dengan
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, sehingga harus ada
pencantuman kolom agama bagi penghayat kepercaayaan
tertentu
Apabila kedudukan hukumnya sama, tapikan harus sama
warga negara indonesai setidaknya bahwa mereka pemeluk
kepercayaan bukan agama, dan harus di ingat pemeluk agama dan
kepercayaan ada 2 hal yang berbeda, tidak bisa disamakan dan
tidak bisa disatukan, sehingga harus memilih agama atau
kepercayaan tidak bisa 1 orang memilih sekaligus 2 agama dan
kepercayaan itu sendiri. 3
B. Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi No.97/PUU-XIV/2016
Pada hakikatnya, tindak lanjut terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
merupakan upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah agar masyarakat
lebih mudah memahami perubahan norma yang terjadi pasca-putusan
Mahkamah Konstitusi . Hal
initerutamadilakukanuntukmenindaklanjutiputusanMahkamahKonstitusiyang
diputussecarakonstitusionalbersyaratatauinkonstitusionalbersyarat.
Sementarauntuknormaundang- undang yang
diujidandiputuskandicabutataudinyatakantidakberlaku,
tindaklanjutpemerintahterhadapputusanMahkamahKonstitusiberfungsiuntukm
enghindarikekosonganhukum yang terjadipasca-
3Hasil wawancara dengan Bpk. H. Rofiqul Umam Ahmad, SH. MH., Wakil Sekretaris Jendral Bidang Hukum dan Perundang-unadngan Majelis Ulama Indonesia (Hari Jum’at 18 Mei 2018).
71
putusansertauntukmembenahinormahukum agar sesuaidenganapa yang
ditafsirkanolehMahkamahKonstitusi.
Selain itu, setelah suatu putusan Mahkamah Konstitusi diterbitkan,
pemerintah sebagai salah satu pemangku kepentingan yang memiliki
kewenangan melaksanakan undang-undang juga harus menyesuaikan
aturan-aturan hukum ataupun kebijakan lainnya dalam pengaplikasian norma
undang-undang tersebut agar sejalan dengan kaidah norma yang sudah
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.4
TerkaitPutusanMahkamahKonstitusiNo. 97/PUU- XIV/2016 ini,
terdapatbeberapaupaya yang
dapatdilakukanolehpemerintahsebagaitindaklanjutputusanMahkamahKonstitu
sitersebut, yaitu:
Pertama,darisegiteknispengaplikasiannorma,
pemerintahharusmelakukanpenyesuaianterhadappendataanpenganutalirankep
ercayaan, mengingatsebelumnyahanyaperlumendata agama-agama yang
diakuiolehnegara. Pasca-
putusanMahkamahKonstitusitentuharusdilakukanpendataanterhadapaliran-
alirankepercayaanterhadapTuhan Yang MahaEsa.Pendataan secara
komprehensif perlu dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan suatu aliran
penganut kepercayaan tertentu yang mungkin dapat menimbulkan gejolak
di masyarakat karena dianggap tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI
Tahun 1945.
Kedua,masihterkaitteknispengaplikasiannorma, langkah yang
perludilakukanolehpemerintahsetelahmelakukanpendataanulangyaknimemasu
kkan data tersebutkedalam data base SIAK.
Selanjutnyapemerintahmelakukansosialisasimengenaihalitu, minimal
kepadaseluruhinstansidanpetugas yang berkepentingandalampengurusan KK
4Tindak Lanjut Putusan MK Terkait penganut Kepercayaan.”Majalah Info Hukum. Vol.IX, No.23/I/Puslit/Desember 2017. , diakses 20 Mei 2018.
72
dan KTP elektronik. Hal iniperludilakukan agar petugas yang bekerja di
lapanganmemahamisecarateknisperubahandanperkembangan yang
terjaditerkaitpengisian data KK dan KTP
elektronikbagiwargapenganutkepercayaanberdasarkanKetuhanan Yang
MahaEsa.
Selain itu, sosialisasi juga berguna untuk memberikan informasi
kepada para penganut kepercayaan yang selama ini data mengenai
agamanya masih kosong, atau bagi warga penganut kepercayaan yang ingin
mengubah data kolom agamanya yang selama ini diisi dengan data agama
yang tidak sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai gambaran
jumlah penganut kepercayaan di Indonesia, berdasarkan data dari Majelis
Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), saat
ini terdapat 12 juta orang penganut kepercayaan di Indonesia.
Ketiga,melakukanperubahan UUAdminduk. Mengenailangkahini,
pemerintahmelaluiMenteriDalamNegeriTjahjoKumolotelahmenyampaikanba
hwapihaknyaberencanamengajukanusulanperubahankedua UU Adminduk.
LangkahinidianggapperludilakukanuntukmengakomodasiputusanMahkamah
Konstitusitersebut. Rencanapemerintahmengubah UU
AdminduksesuaidengannormadalamUndang-UndangNomor 12Tahun 2011
tentangPembentukanPeraturanPerundang-undangan. DalamPasal 10
ayat(1) huruf d diaturbahwasalahsatumaterimuatan
yangdiaturdenganUndang-
UndangyaknitindaklanjutatasputusanMahkamahKonstitusiyang
dapatdilakukanoleh DPR atauPresiden. DalamPasal 23 ayat (1) hurufb
jugaditentukanbahwajikadipandangurgen, usulanperubahan UU
dapatdimuatdalamdaftarkumulatifterbukaProlegnas.
Usulanperubahan UU sebenarnyamemangmerupakanpilihanhukum
yang paling ideal
untukmenindaklanjutisuatuputusanMahkamahKonstitusi.Namununtukkasusin
73
i,
yaknisoalsubstansiputusanmengenaiakomodasiterhadappenganutkepercayaan
padakolom agama di KK dan KTP elektronik,
menurutpenulistidakterlaluurgenuntukdilakukankarenasecarasubstansitidakter
lalubanyak yang perludirevisidalam UU Adminduk, khususnyaterkaitkolom
agama/ kepercayaandalam KK dan KTP elektronik.
Tanpamelakukanperubahan UU Adminduk,
pemerintahjugadapatmenindaklanjutiputusanMahkamahKonstitusiinidenganc
aramelakukanpenyesuaianterhadapaturan-
aturanterkaitadministrasikependudukan yang
adadalamberbagaiperaturanpelaksanaan yang
adaselamainidenganmemperhatikankaidahhasilpenafsiranMahkamahKonstitu
siterhadappasala quo.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis penulis, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa aliran kepercayaan
untuk pengisian kolom agama tetap dilayani publik dan dicatat didalam
database, Pada Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dinyatakan bahwa
penghayat kepercayaan tidak perlu mengisi dalam kolom agama. Karna
mereka untuk penghayat aliran kepercayaan layak mendapatkan haknya
atas apa saja yang menjadi permasalahan baginya terutama indentitas
kepercayaan dalam kolom agama tersebut.
2. Adapun Respon Tokoh Majelis Ulama Indonesia menanggapi
permasalahan ini dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang
Kolom agama bagi kaum Penghayat Kepercayaan bahwa boleh
mengajukan permohonan untuk di akui indentitas sebagai penghayat
kepercayaan, tetapi Agama dan kepercayaan tidak bisa disatukan dan
disamakan, karna kepercayaan itu bukan dari sebagian agama melainkan
kepercayaan yang dibuat oleh manusia itu sendiri dan agama sudah pasti
rangkaian dan ciptaan yang maha kuasa, maka dari itu Majelis Ulama
74
75
Indonesia tidak melarang apa yang sudah diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi dengan persyaratan bahwa di dalam E-KTP kolom agama tidak
bisa disejajarkan dengan aliran kepercayaan harus ada perbedaan diantara
keduanya, dan ini sudah menjadi kesepakatan bersama dengan kementrian
lain khususnya Kementerian dalam Negri agar tidak terjadi kesalah
pahaman untuk warga atau penduduk Indonesia yang mana sudah
mempunyai agama masing masing.
B. SARAN
Berdasarkan dari kesimpulan tersebut, maka penulis memberikan saran
sebagai berikut:
1. Bagi kepemerintahan di Indonesia dalam memutuskan segala sesuatu
haruslah berdasarkan hukum yang sudah menjadi ketetapan dan kenyaman
bagi rakyat penduduk warga negara Indonesia, bukan hanya semata mata
memutuskan segala sesuatu berdasarkan kepentingan tersendiri tetapi
dampak yang terjadi bagi masyrakat penduduk warga negara Indonesia
yang harus diperhatikan maka untuk tidak terjadinya keselahan pahaman
dalam memutuskan segala sesuatu haruslah disepakati oleh pemerintah
atau organisai lainya agar terciptanya kesejahteraan dan kenyamanan
bersama khususnya bagi seluruh warga negara indonesia.
2. Bagi penghayat kepercayaan dipergunakan dengan sebaik mungkin apa
yang sudah menjadi kebutuhan dalam kehidupan terutama indentitas
kependudukan, dan jangan sampai disalah gunakan apa saja yang sudah
75
diberi haknya dengan kepercayaanya yang saat ini sudah menjadi
indentitas untuk kalangan aliran kepercayaan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku Ahmad Subandi, Psikologi Sosial¸(Jakarta: Bulan Bintang, 1982) Cet II. Djalaludin Rakhmat.Psikologi Komunikasi,Bandung, Remaja Rosda Karya, 1999. Dwiyanto, Agus, Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif,
yogyakarta gadja mada (2010).
Fulthoni, Renata Arianigtyas, Siti Aminah, Uli Parulian Sihombing, Data Katalog dalam terbitan (KDT) Buku saku untuk Kebebasan Beragama Memahami Kebijakan Aministrasi Kependududkan, (Jakarta, ILRC,Oktober 2009)
Jurnal Administrasi Public, diakses pada tanggal 13 april 2018 dari (JAV), Vol, 1, No, 5.
Jimly Asshiddiqie, dalam Konstitusi & Konstitusionalisme Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK, 2006.
“Kompilasi Instrumen Hak Asasi Manusia” (Goran Melander.ed., alih bahasa: Madayuti Petiwi (dkk), edisi revisi, Raoul Wallenberg Institute, (Brill Academic Publishers 2004).
Presiden Republik Indonesia, Peraturan pemerintah (PP), Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Ketentuan Umum, Bab 1.
Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2009, Tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional, Bab 1.
Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia, Nomor 35 Tahun 2010, Tentang Perubahan Atas Peraturan Preiden Nomor 26 Tahun 2009, Tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional, Bab 1.
Poerdawarminta, Psikologi Komunikasi, (Jakarta: UT: 1999) Cet III. Wahan, slichin abdul, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, malang, (2008). Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik :Teori dan Proses. Yogyakarta :MedPress
(Anggota IKAPI).
B. Sumber Lain Ditjen Dukcapil Kemendagri, Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan
Sipil, Kementrian Dalam Negri Republik Indonesia.artikel diakses pada tanggal 13 april 2018 dariwww.dukcapil.kemendagri.go.id.
Kepaniteraan dan Sekretariat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diakses pada hari senin bulan april tanggal 16 tahun 2018, www.mahkamahkonstitusi.go.id
Kepaniteraan dan Sekretariat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di akses
pada hari selasa tanggal 17 bulan april tahun 2018.
KataData News and research, Tentang Jalan Panjang Pengakuan Bagi penganut aliran Kepercayaan, Jurnal ini di akses pada hari selasa tanggal 17 bulan April 2018 www.Katadata.co.id.
Lulu Anjarsari dalam artikel Mahkamah Konstitusi, mengenai Indonesia, di akses
pada hari minggu tanggal 15 bulan april tahun 2018.
Peraturan Republik Indonesia, Nomor 25 Tahun 2008, Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Bab !, Ketentuan Umum, Pasal (1), (2), (3), artikel diakses pada tanggal 13 april 2018 dariwww.bpkp.go.id
UU No. 23 Tahun 2006, Tentang Admnistrasi Kependudukan,diakses pada tanggal
13 april 2018 dari www.hukumnoline.com.
Undang-Undang Republik Indonesia, No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Ketentuan Umum, Bab 1, Pasal (1),artikel diakses pada tanggal 13 april 2018 dariwww.Hukumonline.com.
(Nasional Kompas Jakarta), jurnal ini diakses pada hari minggu tanggal 15 bulan apriltahun 2018, www.kompas.com. Tindak Lanjut Putusan MK Terkait penganut Kepercayaan.”Majalah Info Hukum.
Vol.IX, No.23/I/Puslit/Desember 2017. , diakses 20 Mei 2018.
Saldi Isra www.mahkamahkonstitusi.go.id dalam artikel Mahkamah Konstitusi mengenai Indonesia, di akses pada hari minggu tanggal 15 bulan april tahun 2018.
C. Peraturan Perundang-Undangan
PP No. 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan. Pepres No. 25 Tahun 2008 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pendaftaran Penduduk
dan Pencatatan Sipil.
Pepres No. 26 Tahun 2009 Tentang Penerapan KTP berbasis NIK Secara Nasional. Perpres No. 35 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Perpres No. 26 Tahun 2009.
UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. D. Narasumber
Bpk. H. Rofiqul Umam Ahmad, SH. MH., Wakil Sekretaris Jendral Bidang Hukum dan Perundang-unadngan Majelis Ulama Indonesia (Hari Jum’at 18 Mei 2018).
Lampiran 1
HASIL WAWANCARA MUI MAJELIS ULAMA INDONESIA
TENTANG KOLOM AGAMA BAGI PENGHAYAT KEPERCAYAAN
Nama :Bpk. H. Rofiqul Umam Ahmad, SH. MH
Umur : 35
Alamat :Jl. Proklamasi No.51 Menteng Jakarta PusatTelp.: (021) 3190 2666
Jabatan :Wakil Sekretaris Jendral Bidang Hukum dan
Perundang-unadngan Majelis Ulama Indonesia
Dalam bagian agama dan kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa bahwa kepercayaan dan agama adalah 2 hal yang berbeda tidak dapat disatukan dan disamakan, bahwa pembinaan agama terhadap kepercayaan tuhan yang maha esa dilakukan oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan, sementara agama dibina oleh kementrian agama, jadi sudah jelas bahwa pada awalnya, agama dan aliran kepercayaan berbeda maka pembinaannya berbeda juga , agama dibina oleh kementrian agama dan aliran kepercayaan dibina kementrian pendidikan kebudayaan, karna agama adalah produk Allah atau tuhan yang maha esa , dan kemudian aliran kepercayaan adalah produk manusia, atau bagian dari produk kebudayaan manusia terdahulu , kesepakatan nasional ini yang tidak diikuti oleh MK, terbukti dari amar putusannya menyatakan bahwa kata agama tidak berlaku seandainya tidak dimaknai kepercayaan, kata kata kepercayaan artinya bahwa kepercayaan itu adalah bagian dari agama, padahal sudah jelas ada 2 hal yang berbeda, agama dan kepercayaan tidak bisa disatukan atau disamakan, nah, inilah yang sangat disesalkan MUI mengapa MK tidak sensitif terhadap masalah tersebut, dulu pada masa orde baru itu sangat sensitif sekali antara aliran kepercayaan dengan agama pada saat itu sering kali mempunyai kesan mengutuhkan kaum kepercayaan, dan dulu sering disebut kebatinan, dan itu berasal dari budaya jawa terdahulu dan ini terkait keberadaan dari asisten pribadi presiden soeharto yang bernama sujono humardhani pada saat itu beliau tokoh aliran kebatinan, dan beliau masuk kedalam GBHN tetapi alhamdulilah dalam tujuan umat islam kepercayaan itu tidak dipastikan bukan bagian agama dan tidak dapat disatukan dengan agama, inilah yang dilanggar oleh MK hanya dengan mangacu kepada hak asasi manusia yang terdapat di UUD 1945 tidak bisa lebih luas pemikirannya ternyata dalam menangani masalah tersebut,
Dan kita pada saat itu memang tidak terlibat dalam proses pengujian UU tersebut terkadang MUI terlibat sebagian pihak terkait untuk membela pasal pasal yang digugat oleh beberapa kelompok atau pemohon, tetapi memang dalam UU itu MUI tidak terlibat sehingga mungkin tidak ada presfektif lain yang masuk kepada para hakim MK itu akibatnya para hakim MK mengacu kepada pemikiran MK tersendiri dan pemikiran pemohon serta para ahli ahlinya dan kemudian cenderung mendukung argumentasi para pemohon yang ingin ada makna baru terhadap pasal tersebut, lalu kemudian MUI sudah merespon dengan cara membuat pernyataan sikap, pada awal-awalnya MUI menolak kepuutusan tersebut, tetapi dalam perkembanganya kita hidup didalam negara hukum harus taat dan paham dengan apa saja yang sudah diatur dalam negara dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 kita harus taat terhadap keputusan MK, tetapi bagaimana cara melaksanakannya agar tidak muncul pemahaman yang keliru kalo agama da kepercayaan itu dijadikan satu, kemudian dalam rakernas MUI tahun 2017 dibogor pada bulan NOVEMBER lalu itu sudah termasuk diputuskan masalah tersebut.
- Dalam analisis MUI terhadap Amar putusan MK
MK itu menyatakan bahwa kepercayaan itu adalah bagian dari agama dan kata agama tidak berlaku apabila tidak termasuk kepercayaan, seandainya kata kata Amar itu bahwa kata agama hanya berlaku apabila dimaknai sebagai agama dan kepercayaan. Itu bagus mnurut MUI
- Untuk format KTP yang tepat terhadap aliran kepercayaan untuk memperoleh pemahaman-pemahaman bersama gagasan MUI disetujui, karna pada ssaat itu MUI mengadakan pertemuan mengundang 3 kementerian
- Kementrian dalam negri - Kementrian agama - Kementrian pendidikan dan kebudayaan
Nah 3 kementrian ini yang terlibat untuk membantu pembuatan format dalam KTP untuk aliran kepercayaan tersebut, untuk kamendagri dia yang mencetak E-KTP tersebut, dan kementrian agama dia yang membina agama agama , kemudian kemendikbud dia membina aliran aliran keperayaan tersebut , harapan kita tentu kepada kamendegri terutama untuk Adminduknya setelah dirumuskan oleh MUI akhirnya kita sepakati agar membedakan persis bagi warga negara indonesia yang beragama dan sudah mempunyai E-KTP maka dia tidak perlu lagi ada perubahan apa apa, kecuali ingin merubah status pernikahan dia, dan lain-lain. Adapun bagi kaum penghayat kepercayaan sebagaimana implementasi keputusan MK dipersilahkan untuk kemendagri membuat KTP untuk mereka hanya aliran kepercayaan saja dengan tulisan
“ KEPERCAYAAN : KEPERCAYAAN TERHADAP KETUHANAN YANG MAHA ESA “
Dan didalam Ktp itu tidak ada lgi kata agama diganti menjadi ALIRAN KEPERCAYAAN.
Inilah kira kira usulan MUI dan kamendagri dan pihak lainya.
1. Apabila kolom agama dihilangkan pada KTP , apa reaksi MUI tentang dampaknya ?
MUI pasti menolak kalo ada rencana , gagasan , wacana, penghilangan kolom agama diKTP atau KK karna agama menjadi salah satu identitas bagi setiap warga indonesia, nah, bebrbda dengan negara barat atau negara lain, yang mana tidak menjadikan agama sebagai identitas , kalo diindonesia bagi umat islam identitas agama itu sangat penting. Prinsipil terutama dalam hal untuk pernikahan, pembagian waris, kematian, kalo tanpa adanya kolom agama maka orang tua pasti akan ragu ragu menikahkan anak gadisnya dengan seorang laki laki ga jelas status agamaya, apa lagi namanya tidak mencerminkan agama, atau dia mengakui bahwa dia agama islam tetapi tidak ada bukti bahwa islam itu secara administratif atau formalistik dibuktikan dengan salah satunya didalam identitas agama itu sendiri, karna ijazah tidak ada , akta kelahiran tidak ada , paspor juga tidak ada, jalan satu satunya adalah KTP yang harus diketahui, perlu diketahui pada zaman dulu itu KTP kita tidak ada kolom agama sejak zaman belanda atau indonesia belum merdeka kira kira pada tahun 1997 barulah kesadaran para para tokoh agama berpendapat dan mengajukan kepada setiap penduduk warga negara indonesia bahwa pentingnya identitas agama terutama perkawinan, akta kelahiran dan lain sebagainya.
2. Apakah menurut bapak dihapuskan saja sekalian dari E-KTP, jadi bukan sekedar dikosongkan kalo sperti itu ?
Menurut saya, Tidak bisa , tetap dalam KTP elektronik bagi kolom agama harus tetap ada kolom agamanya, untuk seterunya dalam sejarah republik indonesia.
3. Sejauh mana hak beragama dijamin dan dilindungi dalam hukum dindonesia ?
Sejak indonesia merdeka tahun 1945, pasal 29 Undang Undang Dasar itu setiap warga indonesia atau penduduk indonesia itu bukan berarti warga negara indonesia dan hal itu dijamin haknya ayat 1 dan 2, dan kemudian dielaborasikan dalam bab hak asasi manusia hasil perubahan Undang Undang Dasar diawal era reformasi, dan kita menjungjung tinggi agama dan menjamin semua warga negara agar bisa menjalankan ajaran agama islam khususnya dan
umumnya agama lain, bahkan sebagian besar dibantu negara baik isalam maupun kristen.
4. Apa pertimbangan pemerintah memasukan isian kolom agama pada sistem informasi administrasi kependudukan ?
Pertimbangannya adalah bahwa mereka menyadari indentitas agama salah satunya sangatlah penting prinsipil bagi warga indonesia yang beragama , dan ini merupakan turunan elaborasi dari paham bahwa indonesia berdasarkan pada pancasila dimana terdapat pada sila pertama adalah ketuhanan yang maha esa, dan ini kemudian diperkuat lagi dengan pasal 29 ayat 1 negara berdasarkan atas nama ketuhanan yang maha esa, artinya sila pertama itu menjiwai dari sila 4 lainya dan agama menempati posisi yang sangat penting dalam akal pikiran , prilaku untuk warga indonesia, sehingga segala sesuatu kita diukur dengan agama diantara lain mencerminkan sikap kesopanan, sikap, moral , etika, hukum ekonomi dan lain sebagainya.
5. Apakah dinegara pancasila boleh ada orang yang tidak beragama? Dan apakah kepercayaan itu adalah agama ?
Jadi, kalo kita liat dari sila pertama didalam pancasila negara republik indonesia, Yaitu ketuhanan yang maha esa, maka indonesia adalah negara ketuhanan, dalam negara beragama berarti penduduk dan warga negarapun harus sama sama beragama juga dan agama apapun juga asalkan agama , nah, adapun aliran kepercayaan itu adalah bukan sebagai agama tetapi Undang Undang Dasar kita khususnya hak asasi manusia Bagian hak masih memposisikan mereka sebagai orang orang yang harus dilindungi keyakinannya, walaupun kita sebagai beragama islam sedih melihat aliran kepercayaan nantinya ketika meninggal dunia akheratnya bagi mereka tidak ada tujuannya bisa dikatakan tidak jelas, tetapi itulah pilihan hidup silahkan memlihi menurut baiknya manusia itu sendiri.
6. Sejauh mana perkembangan kebijakan politik hukum negara melindungi praktek aliran kepercayaan serta mengakuinya dalam sistem informasi administrasi kependudukan ?
Jadi, pertama kita lihat pada masa orde pada saat itu membrikan jaminan keberadaan meraka dalam GBHN ( Garis Besar Haluan Negara ), dan rumusuannya sudah ada pada tahun 1973 dan 1978, mungkin pada saat tahun 1973 lebih rendah konsepnya dibandingi 1978 lebih baik , lalu kemudia zaman reformasi itu tenggelamnya isu sehingga tidak banyak dibicarakan orang, dan muncul kembali setelah adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang saat ini, dan kemudian MUI beranggap salah satunya untuk peningkatan eksistensi keberadaan dari kaum penghayat kepercayaan dan sesuai dengan HAM silahkan saja melakukan keputusan itu tapi smua keputusan itu harus didasari
logika dan pikiran yang adil sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang rumit.
7. Bagaimana implikasi hukum dan aspek administrasinya di E-KTP ?
Implikasi hukumnya meraka mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan warga negara yang lain, dalam hal kolom agama ini, tentu dia mendapatkan pelayanan publik yang baik dan beberapa berbagai fasilitas dari negara, sebagaimana yang diterima oleh warga negara pemeluk agama, nah, dalam sistem data base, kependudukan berarti selama ini Undang Undang administrsi kependudukan tahun 2006 itu sudah mncantummkan identitas kepercayaan.
8. Apabila pencatuman kolom agama bagi penganut keprcayaan sudah terealisai apa respon MUI tentang keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut?
Perlu saya jelaskan bahwa kolom agama bagi kaum penghayat itu tidak ada yang ada kolom kepercayaan bagi kaum penghayat kepecayaan didalam E-KTP kelak bagi mereka tidak ada kolom agama, bagi MUI dipersilahkan kepada pemerintah khsusnya kemendagri (kementrian dalam negri), untuk membuatkan E-KTP dengan indentitas ( KOLOM KEPERCAYAAN ), untuk penghayat aliran kepercayaan, sebagaimana salah satu wujud pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi itu sebagai solusi MUI dan pemerintah lainya, agar memberikan nilai positif dan tidak menimbulkan kesalah pahaman terhadap pemerintah lainya khushunya untuk warga negara yang beragama.
9. Apakah penganut kepercayaan itu sama keduduakanya dengan pemeluk agama yang diakui di indonesia , sehingga harus ada pencantuman kolom agama Bagi penghayat kepercaayaan tertentu ?
Kalo kedudukan hukumnya sama , tapikan harus sama warga negara indonesai setidaknya bahwa mereka pemeluk kepercayaan bukan agama, dan harus di ingat pemeluk agama dan kepercayaan ada 2 hal yang berbeda, tidak bisa disamakan dan tidak bisa disatukan, sehingga harus memilih agama atau kepercayaan tidak bisa 1 orang memilih sekaligus 2 agama dan kepercayaan itu sendiri.