Post on 17-Oct-2015
description
1
RESPON MASYARAKAT TERHADAP PENATAAN KAWASAN MALIOBORO
( Sebuah Kajian Umpan Balik Kebijakan Publik ) Oleh : Topohudoyo
Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, tingkat kebutuhan masyarakat
juga semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan manusia disatu sisi menyebabkan
semakin tingginya mobilitas manusia sebagai konsekuensi logis dari adanya
peningkatan kebutuhan. Mobilitas penduduk yang tinggi menjadikan semakin komplek
persoalan yang dihadapi masyarakat, baik dari sisi personal maupun social. Bahkan
tingkat mobilitas yang begitu tinggi berpengaruh pula pada kualitas lingkungan hidup
terutama pada pusat-pusat aktivitas.
Malioboro merupakan salah satu kawasan yang mempunyai beban berat dalam
menghadapi perkembangan ilmu dan teknologi saat ini. Selain sebagai pusat aktivitas
perekonomian masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, Malioboro juga merupakan
kawasan yang syarat dengan berbagai atribut social budaya maupun sejarah
perjuangan beserta dengan berbagai bangunan sejarah. Atribut-atribut tersebut oleh
masyarakat diharapkan untuk dilestarikan agar masyarakat tidak kehilangan jejak
sejarah Yogyakarta.
Malioboro telah menjadi Ikon bagi Yogyakarta, sehingga segala bentuk kebijakan
dalam melakukan penataan terhadap kawasan ini perlu tetap memperhatikan tetap
lestarinya berbagai atribut yang menjadi ikon bagi Yogyakarta tersebut. Persoalan yang
muncul kemudian ketika dilakukan penataan adalah lebih disebabkan oleh adanya
benturan kepentingan yang berkaitan dengan berbagai atribut tersebut. Namun mau
tidak mau kalau kita ingin Malioboro tetap menjadi ikon Yogyakarta yang mempunyai
daya tarik dan pesona dari segala aspeknya tersebut, maka perlu dilakukan penataan
yang komprehensip dan mampu mengakomodir semua kepentingan tersebut.
Mengingat beban Malioboro sudah demikian berat dan kondisinya sudah tidak
nyaman lagi bagi aktivitas masyarakat, maka pemerintah Propinsi bersama dengan
pemerintah Kota merencanakan untuk menata kawasan Malioboro. Penataan tersebut
dilakukan dengan tujuan untuk tetap menjaga kelestarian Malioboro, namun dalam
kondisi lingkungan yang nyaman serta aman bagi semua aktivitas masyarakat
pengguna/ pengunjung Malioboro.
2
Pemerintah provinsi dan kota Yogyakarta yang mempunyai tanggung jawab baik
fisik maupun moral terhadap penyediaan fasilitas umum (publik) demi terbukanya
peluang masyarakat untuk mengembangkan diri dan usahanya dalam upaya
meningkatkan kualitas hidup (kesejahteraan) dan sekaligus memberikan rasa aman dan
nyaman masyarakat secara keseluruhan pada akhirnya harus melakukan penataan dan
penertiban suatu kawasan termasuk Malioboro.
Namun demikian dalam upaya melakukan penataan suatu kawasan padat
aktivitas hampir pasti terjadi benturan benturan kepentingan yang bermuara pada aksi-
aksi protes mulai dari yang lunak (polemik) di media massa sampai aksi demontrasi
(unjuk rasa). Demikian halnya dengan rencana pemerintah Provinsi dan pemerintah
Kota Yogyakarta yang berencana melakukan penataan kawasan Malioboro ternyata
menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat baik yang pro maupun kontra.
Mengingat begitu pentingnya arti Malioboro (kawasan) bagi masyarakat
Yogyakarta, baik sebagai symbol social maupun pusat kreativitas dan aktivitas seni
budaya dan ekonomi, telah menumbuhkan sensitifitas yang amat tinggi pada
masyarakat, sehingga begitu mendengar akan dilakukan penataan kawasan ini,
masyarakat cepat bereaksi memberikan tanggapan dengan segala argumentasi dan
kepentingan masing-masing. Polemik tentang Malioboropun pada akhirnya muncul dan
banyak dimuat di suratkabar (media massa), khususnya terbitan Yogyakarta.
Untuk ikut memberikan kontribusi terhadap upaya pemerintah dalam melakukan
penataan Kawasan Malioboro demi terwujudnya kawasan yang indah, nyaman, aman
dan tertib serta tetap terjaga kelestarian budaya dan utuhnya peninggalan sejarah
kawasan ini, maka kami (BPPI Wil. IV Yogyakarta) mencoba untuk melakukan kajian
terhadap Polemik yang muncul akibat adanya rencana atau keinginan pemerintah
(Provinsi, Kota) untuk melakukan penataan (revitalisasi) kawasan Mlioboro.
Permasalahan Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap rencana penataan Malioboro? Tujuan dan Manfaat
1. Mengetahui aspirasi dan sikap masyarakat terhadap rencana penataan
Malioboro
2. Sebagai masukan pada pengambil kebijakan penataan malioboro, dalam hal ini
adalah Pemerintah Propinsi dan Kota Yogyakarta.
3
Metode Penelitian
- Penelitian ini bersifat deskriptip dengan metode Conten Analisys, dimana konten
analisis merupakan metode penelitian yang menekankan pada elemen-elemen
pesan (Krippendorff, 1991). Metode ini termasuk metode dalam penelitian
komunikasi untuk menarik kesimpulan dari suatu proses komunikasi dengan
mengkarakterisasikan isi pesan secara obyektif dan sistematik. Dalam kaitan itu,
Rakhmat (1986) juga mengemukakan, analisis isi merupakan teknik penelitian
untuk memperoleh gambaran isi pesan komunikasi massa yang obyektif,
sistematik dan relevan secara sosiologis. Uraian dalam analisis boleh saja
menggunakan prosedur-prosedur kuantitatif maupun kualitatif. Sementara
Barelson menyebutkan bahwa analisis isi sebagai teknik penulisan untuk
memaparkan isi yang dinyatakan (manifest) secara obyektif, sistematik dan
kuantitatif (dalam Siregar, 1986).
- Data diambil dari SKH Kedaulatan Rakyat Periode Bulan April dan Mei
- Pengkodingan dilakukan terhadap semua berita yang berkaitan dengan
penataan Malioboro.
- Pengolahan data dilakukan dengan program SPSS dan penyajiannya dalam
bentuk tabular/grafik.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini semua berita yang berkaitan dengan penataan
Kawasan Malioboro Yogyakarta yang dimuat dalam suratkabar harian Kedaulatan
Rakyat. Seluruh data yang terkumpul dalam penelitian ini selanjutnya disebut item.
Sampel dalam penelitian ini adalah sampel populasi, artinya semua berita yang
yang masuk sebagai populasi yaitu pemberitaan yang menyangkut masalah penataan
kawasan Malioboro Yogyakarta yang telah dipublikasikan oleh harian Kedaulatan
Rakyat.
Katagorisasi : Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian dimana dilakukan dengan
metode Analisis Isi, maka katagorisasi merupakan hal pokok yang harus dilakukan.
4
Untuk itu penulis menggunakan beberapa katagori sebagai bahan untuk melakukan
analisis terhadap respon masyarakat terhadap rencana Penataan Kawasan Malioboro
ini. Katagori Sumber berita/informasi dalam penelitian ini kami tempatkan sebagai
katagori/unsur utama untuk melakukan analisis dengan pertimbangan sumber
merupakan ujud atau representasi masyarakat yang sekaligus merupakan wakil
komunitasnya. Meski dalam penempatan susunan katagorisasi katagori ini tidak
ditempatkan pada urutan pertama, hal tersebut hanya masalah teknis semata. Adapun
katagorisasi yang kami gunakan selengkapnya adalah :
I. Bentuk Tulisan :
1. Headline : Adalah berita-berita yang judulnya ditulis dengan huruf lebih besar
dibanding dengan judul-judul yang lain.
2. Berita Biasa : Adalah semua tulisan dalam media yang tidak diberi penekanan
tertentu (misalnya huruf lebih besar dari yang lain) atau dalam bentuk kolom
tertentu.
3. Tajuk Rencana : Adalah tulisan yang diberi judul Tajuk Rencana (Kedaulatan
Rakyat), berupa ulasan dari redaksi terhadap sesuatu persoalan yang dianggap
penting.
4. Artikel : Tulisan yang mencantumkan nama penulisnya dibawah judul,
biasanya menyoroti suatu permasalahan tertentu, atau berupa ide.
4. Pojok : Adalah tulisan yang ditempatkan pada kolom/rubrik pojok dan
biasanya ada tulisan pojok KR dll.
5. Pikiran Pembaca : Tulisan yang diletakkan dalam rubrik pikiran pembaca atau
surat pembaca atau nama lain, biasanya memuat pendapat atau usulan atau
saran atau informasi terhadap suatu persoalan tertentu.
6. Kolom/Features : Berita dalam kolom tertentu yang ditulis dengan runtut
terhadap suatu persoalan atau masalah tertentu (yang tidak masuk dalam 6
katagori di atas).
7. Karikatur : Suatu informasi berbentuk gambar kartun (biasanya), yang berupa
sindiran terhadap suatu masalah, kondisi, peristiwa atau kebijakan.
II. Jenis Informasi :
1. Informasi Peristiwa/Isu
2. Informasi Kebijakan
5
3. Respon Kebijakan
4. Respon Peristiwa/Isu
III. Sikap/ Respon :
1. Mendukung : Suatu sikap memihak menyetujui/menerima dengan
menyangatkan atau mempertegas terhadap peristiwa atau kebijakan yang ada.
2. Menolak : Suatu sikap memihak, menolak atau menentang peristiwa atau
keadaan atau kebijakan yang ada.
3. Netral : Suatu sikap yang tidak memihak terhadap salah satu pendapat
IV. Sumber Informasi/Berita
1. Pemerintah/Eksekutip : Yang termasuk dalam katagori ini Pejabat-pejabat
pemerintah baik daerah maupun pusat termasuk dalam katagori ini adalah
pegawai pemerintah yang bicara atas nama instansinya atau lembaganya.
2. DPR/Legislatip : Yang termasuk dalam katagori ini adalah anggota legislatip
(DPR/MPR) baik pusat maupun daerah.
3. Pakar/Ilmuwan : Orang-orang yang oleh masyarakat luas sudah dikenal
kepakarannya atau keahliannya dalam suatu bidang tertentu masuk dalam
katagori ini.
4. LSM/ORMAS : Orang yang bicara mengatasnamakan partai yang diikuti masuk
dalam katagori ini.
5. ORPOL / Parpol : Orang yang bicara mengatasnamakan partai yang diikuti
masuk dalam katagori ini.
6. PERS : Pojok dan Tajuk masuk dalam katagori ini, juga berita hasil reportase
wartawan masuk katagori ini.
7. Mahasiswa : Intitusi kemahasiswaan, wadah-wadah perjuangan mahasiswa
dsb contoh : FKI, BEM, HMI, GMNI, FMPR dsb
8. Masyarakat Awam : Berita-berita yang tidak masuk dalam 7 (tujuh) katagori di
atas masuk dalam katagori ini.
9. Pengguna Malioboro : Yang termasuk dalam katagori ini adalah Pemilik Toko,
Tukang parkir, Pedagang, PKL, Tukang becak, Buruh Gendong, Kusir dokar
yang sehari-harinya bekerja atau beroperasi di kawasan Malioboro.
V. Sasaran Sikap /Berita/Tulisan
6
1. Pemerintah/Eksekutip : Yang termasuk dalam katagori ini Pejabat-pejabat
pemerintah baik daerah maupun pusat termasuk dalam katagori ini adalah
badan-badan usaha milik negara, Dinas-dinas pemerintahan dan Departemen,
2. DPR/Legislatip : Yang termasuk dalam katagori ini adalah anggota legislatip
(DPR/MPR) baik pusat maupun daerah.
3. Pakar/Ilmuwan : Orang-orang yang oleh masyarakat luas sudah dikenal
kepakarannya atau keahliannya dalam suatu bidang tertentu
4. LSM/ORMAS : Organisasi kemasyarakatan, misalnya YLKI, PMI, LBH, MKGR,
BKOW dsb
5. ORPOL/Parpol : PDI, Golkar, PAN, PBB, PPP, dsb, termasuk didalamnya
adalah satuan-satuan tugasnya misalnya Bemper, GPK dsb
6. PERS : Lembaga Penerbitan/Penyiaran, Wartawan/asosiasi wartawan dan
redaktur media masuk dalam katagori ini.
7. Mahasiswa : Intitusi kemahasiswaan, wadah-wadah perjuangan mahasiswa
dsb contoh : FKI, BEM, HMI, GMNI, FMPR dsb
8. Masyarakat Umum : Yang tidak masuk dalam 7 katagori/kelompok di atas
masuk dalam katagori ini.
Latarbelakang Teoritik
Pembangunan dapat didefinisikan sebagai serangkaian upaya yang
direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah, badan-badan atau lembaga-lembaga
internasional, nasional, atau lokal, yang terwujud dalam bentuk-bentuk kebijaksanaan,
program, atau proyek, yang secara tersurat atau tersirat dimaksudkan untuk terciptanya
kehidupan warga masyarakat ke arah yang lebih baik atau lebih sejahtera daripada
sebelum adanya pembangunan tersebut. Dalam perspektif seperti ini, sebuah program
pembangunan dapat dilihat sebagai sebuah program untuk mengubah secara
terencana kebudayaan dari masyarakat yang dibangun (lihat Suparlan, 1997).
Karena pembangunan pada dasarnya dimaksudkan untuk melakukan perubahan
kebudayaan masyarakat, maka pendekatan yang perlu diperhatikan dan digunakan
7
untuk melihat bagaimana respons masyarakat terhadap proyek pembangunan dimaksud
di antaranya yang penting adalah pendekatan kebudayaan.
Untuk melihat lebih jauh bagaimana pendekatan kebudayaan itu diterapkan guna
dapat terealisasikannya pembangunan, dalam hal ini pembangunan penataan kawasan
Malioboro perlu lebih dahulu dipahami makna dari kebudayaan dimaksud. Kebudayaan
adalah keseluruhan pengetahuan dan keyakinan masyarakat (pemilik kebudayaan) yang
digunakan sebagai landasan pedoman untuk mempersepsi, memperlakukan, dan
mengambil keputusan sesuai dengan lingkungan atau tantangan yang dihadapi
(Suparlan, 1996). Pengetahuan dan keyakinan inti yang menjadi dan dijadikan pedoman
itu disebutnya sebagai nilai-nilai budaya. Inti dari nilai-nilai budaya itu, adalah
pandangan hidup (worldview) dan etos. Pada gilirannya, worldview dan etos tersebut
mendasari terhadap orientasi nilai yang dianutnya.
Kalau realitas sosial11 dipersepsi berdasarkan atas kerangka orientasi nilai yang
diikuti adalah negatif, maka cara merespons terhadap realitas itu juga akan cenderung
negatif. Dalam konteks penataan Malioboro, realitas itu menyangkut pada dua hal
sekaligus yaitu penataan (revitalisasi) dalam satu segi, dan Malioboro dalam segi yang
lain.
Jika pembangunan disepakati sebagai suatu rencana perbaikan kualitas
terhadap sesuatu (kawasan Maioboro) dan untuk tujuan peningkatan kesejahteraan
rakyat (berdampak kepada kemajuan dan perbaikan ekonomi rakyat) tetapi andaikan di
dalam praktiknya rencana seperti itu diragukan bahkan ditolak, maka meragukan atau
menolak di sini, bisa jadi bukan karena Penataan-nya itu sendiri (segi ontologis)
melainkan segi epistemologis (kebijakan, motivasi) atau metodologis (prosedur, proses)
dari bentuk-bentuk revitalisasi tersebut. Ini artinya, pembangunan dalam konteks
masyarakat tidak bisa dilepaskan dari pandangan atau kesan masyarakat terhadap
model-model pembangunan yang selama ini dijalankan pemerintah, yaitu bercorak top
down dan pengabaian terhadap potensi dan kepentingan rakyat untuk bisa terlibat ke
dalamnya. Adanya kepentingan sejumlah pihak termasuk adanya free-riders seperti
oknum pejabat, pengusaha, dan elite politik untuk mengambil keuntungan di balik
proyek pembangunan, semakin menjauhkan dan sekaligus melahirkan perasaan masa
bodoh rakyat, termasuk kecurigaan-kecurigaan terhadap motivasi di balik pembangunan
itu sendiri. Dengan kata lain, jika kemudian lahir penguatan rakyat untuk melakukan
penolakan terhadap pembangunan, bisa jadi bukan karena mereka tidak menganggap
penting terhadap jenis pembangunan atau proyek pembangunan dimaksud, tetapi
8
karena pandangan dan persepsi yang cenderung negatif terhadap motif dan solah-
tingkah oknum-oknum yang mencari untung di balik proyek.
Penataan kawasan Malioboro merupakan kegiatan pembangunan yang sangat
strategis bagi perkembangan DIY secara keseluruhan. Malioboro merupakan Ikon bagi
Yogyakarta, pengunjung yang datang ke Yogyakarta yang terbersit dalam pikirannya
pertama kali pasti Malioboro. Sejak lama Malioboro memang telah dikenal sebagai pusat
aktivitas masyarakat dari berbagai kalangan, baik ekonomi, seni budaya maupun
kegiatan/aktivitas wisata
Nilai trategis dari dari penataan Kawasan Malioboro, kegunaannya terkait
dengan kebutuhan-kebutuhan dasar pengguna Malioboro (masyarakat yang terkena
imbas penataan) dalam satu segi, dan kebutuhan masyarakat Yogyakarta secara
keseluruhan dalam percaturan nasional dan dunia pada segi yang lain. Namun karena
kawasan Malioboro syarat dengan nilai sejarah dan budaya serta pusat perekonomian
Yogyakarta, mempunyai keterkaitan erat tidak saja dengan persoalan teknis penataan
dan keekonomiannya, tetapi juga mempunyai kaitan erat dengan masalah lingkungan,
sosial-budaya dan politik, maka dibutuhkan persiapan yang lebih matang, bahkan perlu
secara khusus mengkaji dari sisi tanggapan masyarakat.
Ketika kita sepakat melihat perlunya perubahan paradigmatic dalam
perencanaan pembangunan, maka kajian terutama kajian sosial budaya, bukan saja
relevan tetapi juga mendasar. Masalahnya, dalam konteks masyarakat, rencana
penataan Malioboro akan menghadirkan makna-makna menurut tingkat-tingkat
pengetahuan, persepsi, dan ekspektasi termasuk kekhawatiran masyarakat.
Pemaknaan atau penafsiran yang berbeda-beda itu, dalam hal-hal tertentu menjelaskan
bahwa sebetulnya pengetahuan rakyat terhadap penataan Malioboro, bisa jadi -- lebih
tertuju pada penataannya itu sendiri yaitu bahwa antara kebutuhan, manfaat, dan resiko
yang terjadi, dianggap tidak seimbang. Rersiko yang disebabkan adanya penataan
Malioboro menyangkut aspek-aspek sosial ekonomi dan budaya dinilai cukup besar,
sehimngga kebijakan penataan kawasan ini perlu diambil langkah-langkah
komprehensip dan antisipatif terhadap berbagai persoalan yang kemungkinan timbul.
Langkah Pemerintah provinsi dan pemerintah kota yang membuka kran aspirasi
dan partisipasi masyarakat untuk ikut memikirkan baagaimana baiknya bentuk dan
prosedur penataan kawasan malioboro nantinya merupakan langkah maju yang
pemerintah dan bukti adanya perubahan mindset pemerintah. Perubahan dari model
pembangunan yang top-down ke model pembangunan yang buttom up. Perubahan
9
mindset demikian ini tentu saja patut disambut baik. Langkah tersebut yakni dengan
melemparg\kan berbagai alternatif bentuk penataan Malioboro ke depan, dan hasilnya
cukup menggembirakan, terbukti berbagai tanggapan (respon) masyarakat bermunculan
di media massa.
10
HASIL KAJIAN / PENELITIAN A. Contoh Beberapa Berita ( ringkasan )
Berbicara soal Malioboro, tampaknya tidak akan pernah usai, berbagai aktivitas
masyarakat banyak tertumpu di kawasan ini, mulai dari aktivitas ekonomi (belanja),
wisata, seni dan budaya sampai aktivitas politik banyak tertumpu di kawasan ini.
Akibatnya berbagai persoalan sosial juga sering muncul, entah soal pedagang kaki lima
(PKL) yang dinilai sering bikin ulah maupun masalah parkir kendaraan yang
mengganggu lalulintas dan keindahan kota hingga warung angkringan yang memarkir
gerobaknya di sembarang tempat. Untuk mengatasi berbagai persoalan yang sering
muncul tersebut, serta sebagai antisipasi perkembangan ke depan, Pemkot Yogyakarta
dan Pemprov DIY berniat untuk menata kawasan ini agar lebih nyaman, di antaranya
menjadikan Malioboro sebagai kawasan pedestrian (kawasan untuk pejalan kaki).
Guna mendukung wacana penataan tersebut telah diadakan kerjabakti massal
bertajuk Nikmatnya Malioboro Bersih, yang dipimpin Wakil Walikota Yogyakarta Syukri
Fadholi (27/3) dimana hal itu telah mendapat sambutan antusias dari berbagai
masyarakat, baik dari musisi dan seniman seperti grup musik Shaggy Dog, Esnanas
serta Kornchong Chase. Adapun tujuan dari kerjabakti massal ini adalah salah satu cara
untuk menanamkan kecintaan pada Malioboro. Untuk melakukan penataan kawasan ini,
diperlukan 2 hal yakni menumbuhkan kesadaran masyarakat dan dengan menegakan
aturan hukum. Karena dari kebersihan saja sebenarnya tidak cukup, mengingat
penataan kawasan Malioboro sebagai ikon wisata juga perlu keindahan. Hal tersebut
juga didukung oleh Ketua Panitia, Oddi Dipta Manggala , agar event yang diadakan
selama 4 minggu berturut-turut (20/3-10/4) dapat menanamkan budaya dan merubah
perilaku masyarakat agar menjaga kebersihan kawasan Malioboro dan menggugah
serta meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap Malioboro. Lain lagi dengan
Bedjes Santosa, Project Leader, dia mengajak semua komunitas yang terlibat dalam
kegiatan menciptakan budaya bersih di Yogyakarta pada umumnya dan Malioboro pada
khususnya untuk bergabung.
Sementara berkait dengan pengembangan kawasan Malioboro yang juga akan
dilengkapi basement tempat parkir dan diharapkan mampu menampung sekitar 2000
kendaraan, Gubernur DIY Sri Sultan HB X (30/3) mengungkapkan, karena masalah
yang selama ini muncul di Malioboro adalah soal parkir, kemungkinan akan
11
dikembangkan kawasan Malioro dengan membuat basement atau tempat parkir
sepanjang Malioboro, yaitu dari ujung stasiun Tugu hingga Alun-alun Utara, atau
alternatif pilihan lain. Alternatif itu adalah Malioboro akan dicoba sebagai kawasan
Pedestian, setiap orang yang masuk Malioboro agar berjalan kaki, tidak boleh naik
kendaraan. Dengan alternative diatas berarti harus ada tempat parkir yang memadai.
Hal senada juga dibenarkan Walikota Yogya Herry Zudianto, hanya saja untuk
menjadikan pendestrian, masih diperlukan teknik tatakota dan anggaran, yang nantinya
diharapkan Malioboro bisa ditata sebagai gabungan tempat wisata dan belanja.
Pada sisi lain Ketua Paguyuban Juru Parkir (Jukir) Sigit Karsonoputro dan Wakil
Ketua Paguyuban Pedagang Kali Lima (PKL) Tridharma Suparjo bersama beberapa
PKL mengatakan, penolakan terhadap rencana Pemerintah Kota Yogyakarta dan
Pemerintah Provinsi DIY untuk menata Malioboro menjadi kawasan pedestrian atau
khusus untuk pejalan kaki dan bebas dari lalulalang kendaraan bermotor. Alasan
penolakannya adalah mereka khawatir bakal kehilangan pendapatan jika rencana itu di
implementasikan.
Harusnya PKL dan Jukir tidak perlu merasa takut/khawatir kehilangan
pendapatan. Karena hal itu sudah diperhitungkan Pemprov dan Pemkot Yogyakarta,
ujar Asisten Fasilitasi dan Investasi Pemprov DIY, Dr Ir Sunyoto Dipl HE DEA
menanggapi adanya kekhawatiran tersebut. Kepala Bapedalda DIY, Prof Dr Sudarmadji
menyatakan, sudah saatnya Malioboro dibenahai, sebab selama ini penelitian tentang
penataan kawasan Malioboro yang menelan banyak biaya sudah sering dilakukan. Jika
hal itu dibiarkan terus, dikhawatirkan kondisi lingkungan Malioboro bakal semakin parah.
Diterapkannya pedestrian, paling tidak mampu menekan beban pencemaran udara
secara umum dan secara fisik nantinya lingkungan bertambah nyaman. Dan dilihat dari
kacamata lingkungan dan konservasi, kebijakan menjadikan Malioboro kawasan bebas
kendaraan bermotor, bakal menyelematkan jantung Kota Yogyakarta dari polusi
lingkungan, sosial maupun budaya.
Bahkan Pakar transportasi dan kawasan perkotaan UGM, Ir Danang Parikesit
mengemukakan, pembangunan kawasan pedestrian atau kawasan khusus untuk
pejalan kaki di suatu kota, tidak akan berpengaruh negatif terhadap kegiatan/aktivitas
perekonomian setempat. Bahkan berdasarkan pengalaman negara-negara maju seperti
Cina, Jerman, Singapura dan sebagainya dengan dijadikannya kawasan pedestrian.
Perkembangan dan kegiatan perekonomian suatu wilayah justru mengalami
peningkatan cukup pesat. Sebab orang yang datang ke kawasan tersebut menjadi lebih
12
banyak, peluang dan daya serap berbagai produk yang ditawarkan pedagang pun
menjadi lebih besar.
Lain halnya dengan Pengusaha pemilik Mirota Batik dan Kerajinan di jalan A
Yani, Hamzah Hendro, menyatakan rencana menjadikan Malioboro sebagai kawasan
pedestrian atau pejalan kaki, harus dipikirkan masak-masak. Jangan hanya sesaat saja,
demi menjaga tidak terjadinya kemacetan. Bahkan Hamzah khawatir, jika Malioboro
hanya untuk pejalan kaki, nantinya justru akan memunculkan kesemrawutan baru, sama
halnya memindahkan pasar Sri Wedani ke Malioboro. Berbeda dengan pendapat Kepala
Bapedda Kota Yogya, Tri Djoko Susanto, yang mengatakan dalam program revitalisasi
kawasan Malioboro, untuk pedestrian dibuat secara kontinuitas, misalnya Jalan
Malioboro dan Jalan Suryatmajan. Memang keleluasan bagi pejalan kaki di Malioboro
sudah harus diperhatikan, di antaranya pada jam puncak, sejak pukul 15.00 sampai
21.00 di mana jumlah pejalan kaki mencapai 26 ribu. (Kedaulatan Rakyat, 2/4/05, hal.3).
Kepala Badan Pariwisata Daerah, Ir Condroyono MSP (3/4), mengungkapkan
dijadikannya kawasan Malioboro sebagai kawasan pedestrian, jika dilihat dari sisi
kualitas lingkungan jelas hal ini bakal lebih baik. Sebab polusi dan pencemaran udara
menjadi minim, karena tidak lagi dilewati lalu lalang kendaraan bermotor yang
mengeluarkan banyak emisi gas buang. Sedang dari pejalan kaki pun tampak lebih
nyaman, karena tidak berdesak-desakan, sehingga dapat menikmati suasana kota
secara lebih santai (Kedaulatan Rakyat, 4/4/05, hal. 2).
Setelah berbagai upaya dilakukan, rencana revitalisasi Kawasan Malioboro yang
meliputi Jalan Malioboro, Jalan A Yani, Jalan Trikora, dan Alun-alun Utara, akhirnya
akan segera terwujud. Hal itu ditandai dengan penandatangan MoU antara Walikota
Yogyakarta Herry Zudianto dengan investor PT Duta Anggada Jakarta yang diwakili
oleh Direktur Utama Hartadi Angko Subroto. Acara tersebut disaksikan oleh Gubernur
DIY Sri Sultan HB X beserta jajarannya, dan KGPH H Hadiwinoto yang mewakili
Keraton Yogyakarta.
Dalam kesepakatan tersebut Wakilota mengatakan konsep yang ingin
dikembangkan adalah menjadikan Malioboro sebagai kawasan pedestrian atau pejalan
kaki. Demi terwujudnya gagasan tersebut perlu adanya sarana atau tempat parkir yang
memadai, dan mampu menampung kendaraan dalam jumlah banyak. Mengingat
terbatasnya lahan parkir di sekitar Malioboro maka penyediaan lahan parkir baru hanya
bisa dilakukan dengan pembangunan lahan bawah tanah. Adapun salah satu lokasi
yang menjadi alternative untuk pembangunan lahan parkir bawah tanah adalah alun-
13
alun utara Yogyakarta. Sehubungan dengan itu pihak investor diberi kesempatan untuk
melakukan kajian, studi kelayakan, diseminasi, diskusi, presentasi, konsep desain,
penelitian serta berbagai langkah awal sebelum revitalisasi kawasan Malioboro
dilaksanakan selama enam bulan. (Kedaulatan Rakyat, 11/5/05, hal.2).
Meskipun masih sebatas wacana, Sri Sultan Hamengku Buwono X, selaku Raja
Keraton Yogyakarta maupun Gubernur Propinsi DIY telah memberikan lampu hijau
apabila di bawah Alun-alun Utara akan dibangun lahan parkir serta pertokoan, sebagai
alternative dalam upaya revitalisasi Kawasan Malioboro menjadi wilayah pedestrian.
Menurut Sultan izin itu diberikan mengingat kondisi Alun-alun Utara selama ini terlihat
kumuh akibat parkir sembarangan dan banyaknya PKL yang tidak teratur
keberadaannya. Kondisi tersebut menjadikan Alun-alun Utara tidak indah untuk
dipandang. Mengenai nilai sejarah dan filosofi Alun-alun Utara yang kemungkinan rusak
akibat pembangunan lahan parkir bawah tanah, Sultan berharap agar masyarakat tidak
perlu khawatir, karena yang bernilai sejarah adalah bagian atas dari Alun-alun Utara
bukan yang berada di bawah tanah (Kedaulatan Rakyat, 12/5/05, hal.2).
Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto mengatakan pembuatan lahan parkir di
bawah Alun-alun Utara Yogyakarta, sama sekali tidak mengubah kondisi di atas alun-
alun. Karenanya masalah ini tidak perlu dibesar-besarkan dan dikaitkan denga
pelanggaran UU Perlindungan Cagar Budaya, sebab substansi keberadaan Alun-alun
tidak berubah sama sekali. Bahkan perlu dicatat, kalau Sri Sultan HB X juga menyetujui
pembangunan ini, karena memang parkir bawah tanah merupakan salah satu alternative
dan lahan yang paling memungkinkan untuk pengembangan Malioboro sebagai
kawasan pedestrian.
Ketua DPRD Kota, Arif Noor Hartanto juga mendukung rencana tersebut.
Menurutnya bila melihat perilaku wisatawan domestic yang selalu ingin parkir dekat
pusat kota, maka parkir di bawah Alun-alun merupakan salah satu solusi terbaik.
Alasannya kondisi lahan di sekitar Malioboro saat ini sangat terbatas. Dengan parkir
yang tertata akan memudahkan akses ke pusat kota dan mendukung potensi wisata.
Rencana Pemkot Yogyakarta dan Pemprov DIY menjadikan Alun-alun Utara
sebagai lahan parkir bawah tanah disambut positif oleh Ketua BPD PHRI (Perhimpunan
Hotel dan Restoran Indonesia) DIY, Drs Stef B Indarto MBA. Indarto mengakui, bahwa
setiap kegiatan pasti akan menimbulkan pendapat pro kontra, namun yang terpenting
dari semua ini adalah aspek kemanfaatannya. Hanya saja gebrakan dan gagasan yang
14
cukup brilian ini dapat terwujud dengan baik, alangkah baiknya sejak awal perlunya
dilakukan sosialisasi yang intensif dan efektif.
Pendapat senada juga diungkapkan Ketua LPMK Prawiradirdjan, Oedy Cahyono
yang menyambut baik akan rencana pembangunan tempat parkir di Alun-alun Utara
Yogyakarta. Langkah itu dapat mengurangi kesemrawutan parkir, meningkatkan sektor
ekonomi, serta menciptakan lapangan kerja baru bagi warga sekitar. Bahkan parkir
bawah tanah ini juga bisa menjadi aset wisata yang tidak dimiliki oleh daerah lain.
Sedangkan bagi para PKL yang selama ini sudah berada di Alun-alun dan sekitarnya,
nantinya akan lebih diuntungkan karena pendapatannya akan lebih meningkat.
Asisten Bidang Fasilitas dan Investasi Pemprov DIY, Dr Ir Sunyoto Dipl DEA,
mengatakan pengembangan kawasan-kawasan di Yogyakarta dilakukan guna mengikuti
perkembangan zaman. Pengembangan Malioboro sebagai kawasan pedestrian, justru
untuk mengembalikan Yogyakarta nyaman seperti tempo dulu sekitar 1960-an. Dengan
catatan pengembangan tidak merugikan para PKL, termasuk stake holder yang berada
di kawasan Malioboro. Jika memungkinkan, dalam penataan para PKL dipindahkan
menjadi satu tempat di kawasan Malioboro (Kedaulatan Rakyat, 14/5/05, hal.2).
Sementara Wakil Ketua Ikatan Keluarga Gunungkidul (IKG) di Jakarta Subani
SH MH berharap Sultan, baik sebagai gubernur maupun raja untuk mempertimbangkan
kembali gagasan ini. Karena pembangunan parkir di bawah alun-alun akan membuat
keraton kehilangan roh. Lebih dari itu dikhawatirkan orang di luar Yogya akan kurang
berminat untuk melakukan perjalanan wisata, sebab beberapa nilai sejarah sudah
terdistorsi. Untuk itu alangkah baiknya upaya penyediaan lahan parkir dilakukan
dengan memindahkan stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta kearah barat, sehingga
lokasi itu dapat digunakan untuk areal parkir (Kedaulatan Rakyat, 13/5/05, hal.2).
B. Sumber Berita/Informasi Sumber berita merupakan sesuatu yang amat penting dalam pemberitaan media
massa, dimana berita yang baik persyaratannya salah satu diantaranya adalah sumber
berita yang jelas, selain apa yang disampaikan, kepada siapa ditujuan dan dimana serta
kapan hal itu disampaikan (5 W + 1 H). Dikaitkan dengan kajian ini, maka sumber berita
mempunyai makna yang amat penting, melalui katagori sumber ini kita bisa melakukan
prediksi dan analisis apa yang sebenarnya mendasari dibalik masalah yang
disampaikan. Persoalan yang disampaikan mengarah pada satu kepentingan
15
masyarakat luas atau sekedar kepentingan kelompok atau golongan atau bahkan
pribadi.
Untuk persoalan penataan Malioboro, bila dilihat dari siapa yang bicara atau
sumber beritanya, diketahui bahwa sumber berita yang digunakan cukup bervariatif. Ini
menunjukkan bahwa ternyata persoalan Malioboro memang menarik dan menimbulkan
keinginan orang untuk ikut memikirkannya. Dari sisi lain bervariasinya sumber berita
yang ada menunjukkan bahwa Malioboro menjadi milik semua segmen dan elemen
masyarakat, sehingga bila pemerintah mau melakukan penataan (revitalisasi) memang
semestinya melibatkan banyak elemen masyarakat dan keputusan yang diambil
seyogyanya (sebisa-bisanya) harus mampu mengakomodir semua kepentingan yang
ada.
Gambar 1
Sumber Berita
Sumber : Data primer
Pelaku di Malioboro
Masyarakat umum
PERS
LSM/ORMAS
Pakar/ilmuw an
DPR/legislatif
Pemerintah/eksekutif
Perc
ent
40
30
20
10
0
15
55
15
21
5
33
Gambar di atas menunjukkan adanya adanya perhatian masyarakat yang cukup
besar terlihat dari adanya bermacam latar belakang atau kapasitas sumber berita yang
berbeda-beda. Kapasitas seseorang dan latar belakang kepentingan akan memberikan
sinyal kearah mana arah pendapat atau pandangan diarahkan, khususnya dalam
masalah revitalisasi malioboro. Sementara bila dilihat dari frekuensi kemunculannya
terlihat bahwa pemerintah atau kalangan eksekutif lebih banyak mendominasi,
kemudian pakar/ilmuwan, kemudian dengan prosentase yang sama kalangan
LSM/ORMAS dan Pelaku Malioboro (lihat gambar 1).
Besarnya prosentase kalangan pemerintah membicarakan masalah penataan
Malioboro, menunjukkan bahwa pemerintah daerah benar-benar menunjukkan adanya
16
keseriusan di dalam masalah ini, yakni pemerintah secara sungguh-sungguh ingin
menyampaikan berbagai persoalan (sosialisasi) yang mendasari kenapa penataan
kawasan Malioboro perlu dilakukan. Sejalan dengan paradigma pembangunan yang
lebih memperhatikan aspirasi rakyat, maka kiat pemerintah daerah ini merupakan
perwujudan keseriusannya untuk memberikan kesempatan seluruh elemen masyarakat
berpartisipasi di dalam rencana penetaan kawasan Malioboro. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Gubernur DIY (Sultan HB X) yang juga di sampaikan oleh walikota
Yogyakarta, bahwa kajian dan penelitian terhadap upaya melakukan revitalisasi
Malioboro telah sejak lama dilakukan, dan kesimpulannya memang demi untuk tetap
menjaga kelestarian kawasan Malioboro, baik kelestarian sosial budaya, ekonomi dan
pariwisata, maka penataan perlu segera dilakukan. Dalam upaya melibatkan
masyarakat luas, pemerintah daerah masih terus melakukan kajian terhadap alternatif
pengembangannya sambil menunggu respon masyarakat.
Berbagai alternatif kebijakan untuk membentuk sosok Malioboro kedepan yang
disampaikan pemerintah nampaknya memang merupakan upaya untuk mencari
masukan masyarakat luas agar nantinya revitalisasi yang dilakukan sesuai dengan
aspirasi yang ada, dengan tetap mempertahankan fungsi-fungsi yang selama ini melekat
pada Malioboro. Upaya pemerintah daerah nampaknya cukup berhasil, terbukti
beberapa respon berupa tulisan di media massa, baik berupa dukungan, kritikan dan
harapan terhadap penataan Malioboro muncul. Bahkan kalau kita amati dari tabel di
atas (Gambar 1) respon yang ada dilihat dari kapasitas sumber cukup memadai dan
bisa mewakili sebagaian besar masyarakat.
C. Jenis Berita Jenis berita merupakan salah satu katagori yang penulis gunakan sebagai
sarana pemecahan masalah penelitian ini. Hal ini kami maksudkan untuk memberikan
gambaran secara jelas maksud dari tulisan atau sumber berita menyampaikan
informasinya. Karena kapasitas sumber berita akan memberikan makna atau arti yang
berbeda dari sebuah pernyataan atau pesan. Dalam kaitan ini hasil penelitian
menunjukkan bahwa ternyata sebagian besar tulisan atau pemberitaan mengenai
masalah penataan kawasan Malioboro adalah berjenis respon kebijakan. Artinya
masyarakat ternyata mempunyai perhatian yang cukup tinggi yang cukup tinggi
terhadap kawasan ini.
17
Gambar 2
Jenis Berita
Sumber : Data primer
Respon KebijakanInformasi kebijakan
Pe
rce
nt
80
60
40
20
0
69
31
Gambar di atas (hasil penelitian), menunjukkan bahwa berita yang masuk
katagori respon kebijakan terhadap rencana penataan Malioboro mencapai jumlah
prosentase yang cukup tinggi, yakni 69 persen, sementara sisanya merupakan jenis
berita yang berupa informasi. Kenyataan tersebut merupakan indikasi tingginya
perhatian masyarakat terhadap Malioboro yang notabene merupakan ikon Yogyakarta
yang cukup menarik minat masyarakat luas untuk datang di Yogyakarta. Perhatian
masyarakat yang demikian tinggi tak lepas dari nilai nilai baik histories maupun budaya
dan social ekonomi yang melekat pada kawasan Malioboro. Seperti kita ketahui
sekarang ini sejalan dengan perkembangan kawasan Malioboro juga berkembang
menjadi kawasan perekonomian, sehingga sedikit mengaburkan nilai social budaya
yang sejak dahulu telah pula melekat pada kawasan ini.
Disisi lain tingginya respon masyarakat juga dikarenakan kawasan Malioboro
merupakan kawasan yang menjadi lahan atau daerah pencari nafkah sebagian
masyarakat dari berbagai profesi, sehingga ada kekhawatiran akan menghilangkan
sumber penghidupan mereka, yang berarti kesejahteraan mereka akan terusik. Faktor
kepentingan merupakan dorongan yang kuat bagi masyarakat untuk menerima atau
menolak suatu kebijakan, atau paling tidak memberikan respon atau tanggapan
18
terhadap kebijakan yang diambil pemerintah. Kondisi inilah yang dihadapi DIY dalam
usahanya menciptakan suasana kondusif di kawasan Malioboro. Memang kalau dicerna
lebih dalam dari fakta lapangan, revitalisasi Malioboro merupakan sesuatu yang mau
tidak mau harus dilakukan demi tetap menjaga image dan citra Yogyakarta di mata
dunia. Namun karena disana sudah ada kehidupan yang demikian kompleks maka di
dalam melakukan revitalisasi juga perlu tetap menjaga dan mengakomodir semua
kepentingan yang ada, agar tidak menumbuhkan persoalan baru.
Gambar 3
Konteks Pembicaraan
Sumber : Data primer
BudayaKeamananKesraPolitikEkonomi
Pe
rce
nt
50
40
30
20
10
0
15
3
33
41
8
Masalah ekonomi dan kesejahteraan merupakan alasan yang cukup banyak
dikemukakan oleh masyarakat dalam memberikan respon terhadap rencara penataan
Malioboro. Dimana ini sangat berkait dengan masalah lapangan dan lokasi kerja/usaha
bagi masyarakat yang selama ini memanfaatkan kawasan ini sebagai tempat usahanya.
Kekhawatiran tersebut sebenarnya merupakan bentuk traumatic dari pengalaman
diberbagai tempat dimana sering terjadi adanya penataan suatu kawasan menimbulkan
suatu penggusuran, sehingga orang yang sudah lama menggantungkan hidupnya
(rakyat kecil) dilokasi tersebut tidak lagi dapat melakukan aktivitasnya lagi karena tak
ada tempat, atau karena beaya untuk tetap bertahan disitu tidak ada. Disinilah
sebenarnya persoalan yang sering terjadi karena traumatic terhadap pengalaman-
19
pengalaman menjadikan sering terjadi penolakan atas penataan suatu kawasan
terutama oleh penghuni. Hal tersebut juga terjadi pada rencana penataan Malioboro,
dimana ada beberapa sumber yang menyatakan menolak atau kurang setuju terhadap
rencana pemerintah untuk melakukan penataan Malioboro, lebih-lebih dengan akan
diberlakukannya sebagai kawasan Pedestrian. Penolakan atau kurang setujunya
tersebut lebih dikarenakan adanya kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan
kehilangan mata pencaharian atau menurunnya pendapatan mereka.
Gambar 4 menunjukkan adanya beberapa penolakan atau kekurang setujuan
sebagian masyarakat terhadap rencana Pemerintah Daerah untuk melakukan
revitalisasi kawasan Malioboro. Meski dilihat dari prosentasenya tergolong kecil, namun
hal tersebut tetap saja mempunyai makna yang perlu mendapatkan perhatian.
Penolakan memang bisa diartikan sebagai hal yang negatif namun juga dapat diartikan
sebagai hal yang positif tergantung bagaimana kita melakukan penilaian dan
argumentasi apa yang digunakan di dalam melakukan penolakan. Bahkan bila dicerna
lebih dalam untuk masalah Penataan kawasan Malioboro ini penolakan masyarakat
tergolong sesuatu yang memberikan makna positif bagi rencana revitalisasi Malioboro.
Ini merupakan suatu sinyal dari bawah agar di dalam melakukan penataan pemerintah
juga tetap memperhatiakan elemen bawah masyarakat, lebih-lebih pada kelompok
masyarakat yang selama ini telah menggantungkan nasib dan hidupnya di kawasan
Malioboro.
Gambar 4
Sikap/Respon (sumber)
Sumber : Data primer
NetralMenolakMendukung
Perc
ent
100
80
60
40
20
01010
79
20
Sepuluh persen merupakan prosentase yang tergolong kecil, itu bila kita lihat
nilai prosentase, namun bila kita kaitkan dengan jumlah penduduk Yogyakarta, maka
angka itu mempunyai arti yang sangat besar, shingga pengambil kebijakan perlu juga
memperhatikan apa yang menjadi kehendak atau keinginan mereka terhadap penataan
Malioboro ini.
Karena kalau dilihat dari sumber atau orang yang menyatakan kurang setuju
atau menolak penataan, khususnya bila Malioboro dijadikan kawasan pedestrian maka
kebanyakan adalah pelaku/pengguna atau orang-orang yang menggantungkan nasib
dan hidupnya di kawasan Malioboro, baik sebagai tukang parkir, PKL, dan mereka yang
bergerak dalam jasa transportasi. Argumentasi yang dijadikan sebagai dasar penolakan
adalah kekhawatiran mereka nantinya akan kehilangan pekerjaan yang berarti
perekonomian keluarga akan terganggu kesejahteraan menjadi tidak terjamin.
Tabel di bawah menunjukkan adanya faktor kepentingan yang memberikan
pengaruh terhadap pandangan dan sikap masyarakat atas rencana revitalisasi
Malioboro, dimana bila ada kepentingan masyarakat atau kelompok masyarakat merasa
akan terusik kepentingannnya cenderung malakukan penolakan atau perlawanan.
Sebaliknya bila kepentingan mereka dirasa tidak akan terusik maka sikapnya juga akan
lebih kooperatif.
21
Sumber Berita * Sikap/Respon (sumber) Crosstabulation
Sumber Berita Sikap/Respon
Total Mendukung Menolak Netral
Pemerintah/eksekutif 13 13
100.0% 100.0%
41.9% 33.3%
33.3% 33.3%
DPR/legislatif 2 2
100.0% 100.0%
6.5% 5.1%
5.1% 5.1%
Pakar/ilmuwan 8 8
100.0% 100.0%
25.8% 20.5%
20.5% 20.5%
LSM/ORMAS 5 1 6
83.3% 16.7% 100.0%
16.1% 25.0% 15.4%
12.8% 2.6% 15.4%
PERS 1 1 2
50.0% 50.0% 100.0%
3.2% 25.0% 5.1%
2.6% 2.6% 5.1%
Masyarakat umum 1 1 2
50.0% 50.0% 100.0%
3.2% 25.0% 5.1%
2.6% 2.6% 5.1%
Pelaku di Malioboro 1 2 3 6
16.7% 33.3% 50.0% 100.0%
3.2% 50.0% 75.0% 15.4%
2.6% 5.1% 7.7% 15.4%
31 4 4 39
79.5% 10.3% 10.3% 100.0%
100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
79.5% 10.3% 10.3% 100.0%
Sumber : Data primer D. Sasaran Sikap
Sasaran sikap merupakan salah satu hal yang cukup penting dari suatu
respon masyarakat, setiap sikap baik itu suatu perbuatan maupun tulisan tentu
22
memiliki sasaran atau arah kepada siapa sikap tersebut ditujukan. Dalam
menanggapi persoalan rencana revitalisasi Malioboro oleh Pemerintah daerah
Propinsi DIY dan Kota Yogyakarta hasil kajian ini ternyata menunjukkan adanya
keseimbangan sasaran sikap, yakni yang ditujukan pada pemerintah maupun
yang ditujuakan pada masyarakat umum.
Gambar 5
Sasaran Sikap
Sumber : Data primer
Masyarakat umumPemerintah/eksekutif
Pe
rce
nt
60
50
40
30
20
10
0
5149
Sasaran sikap yang berimbang ini menunjukkan adanya komunikasi timbal balik
yang cukup signifikan antara pemerintah dengan masyarakat. Disini juga bisa dimaknai
adanya suatu proses penyatuan atau kesepahaman untuk mengakomodir berbagai
kepentingan yang ada dan berkait dengan kawasan Malioboro. Makna lain yang
terkandung dibalik berimbangnya sasaran respon masyarakat ini adalah adanya potensi
kemitraan yang cukup baik antara pemerintah dan masyarakat yang bila kondisi ini
dikelola dengan baik akan merupakan kekuatan besar yang dapat menjadi pendorong
percepatan pembangunan daerah.
Dari tulisan-tulisan yang ada diketahui, bahwa sasaran sikap yang ditujukan
pada masyarakat umum merupakan suatu bentuk penyampaian informasi yang
memberikan dasar pikiran dan argumentasi atas rencana revitalisasi malioboro.
23
Sementara tulisan atau berita yang ditujuan pada pemerintah (pemerintah daerah prov.
DIY dan pemerintah Kota) pada umumnya berisi keinginan masyarakat agar dalam
melakukan revitalisasi Malioboro, pemerintah lebih mengedepankan kepentingan
bersama dan menghindarkan langkah-langkah yang dapat menimbulkan kerugian
masyarakat, terutama mereka yang selama ini telah menggantungkan hidupnya di
kawasan Malioboro.
P E N U T U P A. Kesimpulan :
- Langkah pemerintah daerah Propinsi DIY dan Kota Yogyakarta untuk melakukan
penataan kawasan Malioboro (revitalisasi) dengan tujuan menciptakan rasa
nyaman, aman, tertib dan indah dilihat dari sisi kewenangan dan otoritas
memang sudah sesuai dan seharusnya dilaksanakan demi untuk memberikan
ruang gerak yang lebih leluasa bagi seluruh masyarakat untuk beraktivitas.
Dimana pemerintah selaku penyelenggara negara mempunyai kewajiban untuk
mengamankan amanat rakyat sebagaimana termaktub dalam UUD45 yakni
mewujudkan kesejahteraan rakyat.
- Banyaknya tanggapan yang disampaikan masyarakat terlepas itu suatu
penolakan ataupun dukungan yang disalurkan melalui suratkabar Kedaulatan
Rakyat (sample kajian), menunjukkan bahwa Malioboro memang merupakan
area atau tempat atau kawasan yang mempunyai daya tarik bagi masyarakat
karena merupakan kawasan yang syarat dengan berbagai aktivitas seperti
budaya, ekonomi, bahkan menurut sejarahnya kawasan ini juga merupakan
basis perjuangan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
- Secara umum tanggapan masyarakat terhadap rencana penataan kawasan
Malioboro cukup positip dan dinilai akan membawa perubahan cukup significan
terhadap peningkatan/perkembangan peradaban pada kawasan ini. Namun
demikian juga ada kekawatiran sebagian orang terutama pedagang kecil, PKL,
dan tukang parkir yang selama ini telah menggantungkan hidupnya di kawasan
Malioboro. Mereka khawatir tidak akan dapat tempat atau lahan usaha
(kehilangan tempat usaha) bila revitalisasi kawasan Malioboro benar-benar
dilakukan lebih-lebih bila diperuntukan sebagai kawasan Pedestrian. Sehingga
24
golongan ini cenderung menolak pedestrian (pejalan kaki) diberlakukan di
Malioboro.
- Penolakan sebagian pengguna atau orang yang selama ini hidup dari kawasan
Malioboro sebenarnya lebih disebabkan oleh kurang mengertinya (belum
fahamnya) mereka terhadap rencana menyeluruh dari pemerintah daerah dalam
melakukan revitalisasi (penataan) kawasan Malioboro, dan trauma terhadap
seringnya terjadi penggusuran tanpa solusi memadai bila suatu kawasan
dilakukan pembenahan.
B. Rekomendasi :
Dari berbagai pendapat atau respon masyarakat yang beragam terhadap
rencana revitalisasi Malioboro (kawasan), pemerintah (pemprov dan pemkot) perlu
mengambil langkah-langkah antisipatif dan responsif terhadap berbagai aspirasi dan
harapan mereka, terutama masyarakat kecil yang selama ini telah menghuni
kawasan Malioboro baik sebagai pelaku ekonomi, seni budaya maupun wisata.
Penjelasan secara detil yang disertai berbagai penjelasan tentang
kemungkinan yang dapat memberikan keuntungan atau paling tidak kepentingan
mereka tetap terjaga bila revitalisasi dilaksanakan.
Pemerintah Daerah provinsi DIY dan Kota segera membuat Rencana Induk
(master plan) secara detil tentang revitalisasi kawasan Malioboro dan segera pula di
sosialisasikan pada masyarakat.
Daftar Pustaka
Depari, Eduard dan Colin MacAndrews; Peraan Komunikasi Massa dalam
Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1978. Flournoy, Don Michael; Analisa Isi Suratkabar-Suratkabar Indonesia, Gadjah Mada
University Press, 1989.
Krippendorff, Klaus, Analisis Isi, Pengantar dan Metodologi, Rajawali Pers, Jakarta,
1991
Rakhmat, Jalaluddin, Sosiologi Komunikasi Massa, Remadja Karya, Bandung,
1986
25
Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi, Remaja Rosda Karya,
Bandung, 1999
Setiawan, Bambang, Content Analysis, Penerbit FISIPOL UGM, Yogyakarta, 1985.
Simbolon, Parakitri T; Vademekum Wartawan, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 1997.