Post on 23-Jan-2016
description
REFERAT
DETEKSI DINI KARSINOMA NASOFARING
DISUSUN OLEH :
Reza Mawardy, S.Ked
NIM : 030.11.248
PEMBIMBING :
dr. Tri Kunjana, Sp. THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT – KL
RUMAH SAKIT UMUM DR. SOESELO SLAWI, KAB. TEGAL
Periode 10 Agustus 2015
i
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Reza Mawardy
NIM : 030. 11.248
Judul referat : Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring
Referat ini telah diterima dan disetujui oleh dokter pembimbing dr. Tri Kunjana, Sp. THT
Pada :
Hari : Senin
Tanggal : 7 September 2015
Sebagai salah satu syarat mengikuti dan meyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu penyakit THT – KL
pada rumah sakit umum Dr. Soeselo Slawi, Kab. Tegal
Slawi, 7 September 2015
dr. Tri Kunjana Sp. THT
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Karsinoma
nasofaring ini dengan baik dan lancar. Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
mengikuti dan meyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT – KL pada rumah sakit
umum DR. Soeselo Slawi Kab. Tegal.
Keberhasilan penyusunan referat ini adalah berkat bantuan dari semua pihak. Untuk itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang dalam penyelesaian referat,
terutama kepada:
1. dr. Tri Kunjana Sp. THT selaku dosen pembimbing atas segala ilmu, bimbingan dan
bantuannya selama penulis menjalani kepaniteraan bagian penyakit THT – KL di rumah
sakit DR. Soeselo Slawi Kab. Tegal.
2. Para staf dan karyawan di dalam maupun di luar lingkungan rumah sakit DR. Soeselo
Slawi Kab. Tegal yang telah membantu dan memberi pengarahan selama berlangsungnya
kegiatan kepaniteraan.
3. Orang Tua atas segala bentuk doa dan dukungannya.
4. Teman-teman kepaniteraan klinik Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti atas bantuan
dan kebersamaannya.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penelitian dan penyusunan referat ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima saran
dan kritik. Harapan penulis semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
khususnya dan menambah ilmu pengetahuan pada umumnya.
Slawi, 7 September 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
1. LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………………… i
2. KATA PENGANTAR ……..……………………………………………………….. ii
3. DAFTAR ISI ……………………………….……………………………………….. iii
4. BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang …………………………………………………………………….....1
b. Tujuan ……………………………………………………………………………......2
c. Metode Penulisan.........................................................................................................
d. Manfaat........................................................................................................................
5. TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi.......................………………………………………………………............3
b. Epidiemologi …………………………………………………………….................3
c. Anatomi …………………………………………………………………………….
5
d. Fisiologi …….…………………………………………………………………….....8
e. Etiologi .……………………………………………………………………….........10
f. Faktor resiko ……..……………………………………………………………........12
g. Patofisiologi…………………………………………………………………...........16
h. Manifestasi klinis …...………………………………………………………….......18
i. Diagnosis …………………………………………………………………………...21
j. Staging......................................................................................................................25
k. Penatalaksanaan........................................................................................................28
l. Komplikasi................................................................................................................34
m. Prognosis...................................................................................................................35
6. KESIMPULAN................................................................................................................36
7. DAFTAR PUSTAKA ………………….…………………………………………….....37
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring
dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.1 keganasan tersebut bersumber
pada sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. KNF merupakan salah satu bentuk
keganasan kepala dan leher yang mempunyai karakteristik yang khas baik secara histologi,
epidemiologi dan biologi. Hal ini yang menentukan gejala klinis dan pendekatan terapinya. 2
KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita di bawah
usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 – 54 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita
dengan perbandingan antara 2 – 3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum dijumpai di Amerika
Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika Syarikat adalah kurang dari 1
dalam 100.000. Disebahagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu
15-30 per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan
Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun. Insiden tetap
tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara lain. Tingginya
insiden KNF di Negara-negara Asia tertentu, menimbulkan dugaan bahwa faktor genetik ikut
berperan dalam patogenesis penyakit.4 Hal ini menunjukkan sebuah kecenderungan untuk
penyakit ini apabila dikombinasikan dengan lingkungan pemicu.3
Di Indonesia, KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di
seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga , Hidung dan Tenggorok (THT).
Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF. Dari data Departemen
Kesehatan, tahun 1980 menunjukan prevalensi 4,7 per 100.000 atau diperkirakan 7.000-8.000
kasus per tahun. Survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan secara “pathology
based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau
diperkirakan 7000-8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.
1
Penanggulangan KNF sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena
etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang
tersembunyi. Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun pada KNF sulit sekali
dilakukan karena letak anatomi nasofaring yang tersembunyi yaitu di bawah palatum dan di
bawah dasar tengkorak yang berhubungan pada daerah tengkorak dan bagian lateral maupun
posterior bagian leher. Oleh karena letak nasofaring yang tidak mudah diperiksa oleh mereka
yang tidak mengerti, sering kali tumor ditemukan terlambat dan sudah menyebabkan
metastasis ke leher ini merupakan gejala yang pertama sering dikeluhkan oleh pasien. 3
Sangat mencolok perbedaan prognosis (angka bertahan hidup rata – rata 5 tahun) dari
stadium awal dengan stadium lanjut yaitu 76,9% stadium I, 56% stadium II, 38,4% stadium
III, dan hanya 16,4% stadium IV. Sehingga penanggulangan dan deteksi dini pada KNF
sangat diharapkan agar prognosis dari karsinoma nasofaring tersebut lebih baik. Dengan
melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan, deteksi dini, terapi
maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini. Untuk dapat bereperan dalam hal tersebut
dokter perlu mengetahui terlebih dahulu segala aspek dari kanker nasofaring ini, meliputi
definisi, anatomi fisiologi nasofaring, epidemiologi dan etiologi, gejala dan tanda,
patofisiologi, diagnosis, komplikasi, terapi maupun pencegahanya.3 Penulis berusaha untuk
menuliskan semua aspek tersebut dalam tinjauan pustaka refarat ini dan diharapkan dapat
bermanfaat.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2
KARSINOMA NASOFARING
A. ANATOMI NASOFARING
Faring terdiri dari nasofaring, orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring
merupakan bagian dari faring, batas nasofaring bagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian
bawah adalah palatum molle, kedepan adalah rongga hidung dan ke belakang adalah vertebra
servikal. Nasofaring berhubungan erat dengan sinus sphenoidalis dan fossa nasalis pada dasar
tengkorak.
Pada orang dewasa, nasofaring merupakan suatu rongga berbentuk kubus dengan
ukuran 4 x 4 x 4 centimeter. Rongga ini terletak di belakang rongga hidung, dan merupakan
3
batas antara rongga hidung (Naso) dengan rongga tenggorokan (Faring). Karena itu disebut
Nasofaring karena merupakan gabungan dari kedua daerah tersebut. 2
Karsinoma nasofaring tumbuh pada suatu celah (Fossa) yang disebut Fossa Rossen-
Muller. Celah ini merupakan lipatan antara atap nasofaring dengan dinding sampingnya. Tepat
dibawah Fossa Rossen-Muller terdapat muara tuba eustachius, yaitu saluran yang
menghubungkan rongga telinga dengan rongga nasofaring. Karena letak yang berdekatan ini,
muara saluran tersebut sering tertutup dengan tumor, yang mengakibatkan terjadinya kelainan
atau keluhan ditelinga. 3
Nasofaring yang relative kecil, terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat
dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Pada dinding posterior
meluas kearah kubah adalah jaringan adenoid. Terdapat jaringan limfoid pada dinding
faringeal lateral dan pada resesus faringeus, yang dikenal sebagai Fossa Rossen-Muller.
Torus tubarius-refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilago saluran tuba eustachius yang
berbentuk bulat dan menjulang, tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral
nasofaring tepat di atas perlekatan palatum molle. Choana posterior rongga hidung. Foramina
kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari penyakit nasofaring,
termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glossofaringeus, vagus, dan
assesorius spinalis. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk
sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan
arteri faringeal asenden, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus. Tulang
temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian lateral atap
nasofaring. 2
Nasofaring dapat diperiksa pada satu dari tiga jalan yang ada. Penderita bernafas melalui
mulut kemudian dilakukan penekanan yang lembut ke arah bawah pada sepertiga tengah lidah
dengan menggunakan spatel lidah, kemudian dimasukkan cermin ke dalam orofaring.
Pemeriksaan berbeda dengan pemeriksaan laring karena digunakan cermin yang kecil karena
cermin harus digerakkan memutar dari satu sisi ke sisi yang lainnya untuk melihat seluruh
nasofaring.
4
B. HISTOLOGI NASOFARING
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan
limfosid,sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan
jaringan limfosid inisangat erat, sehigga sering disebut " Limfoepitel ".
Bloom dan Fawcett membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel; Epitel selapis
torak bersilia " Simple Columnar Cilated Epithelium ", Epitel torak berlapis " Stratified
Columnar Epithelium ", Epitel torak berlapis bersilia "Stratified Columnar Ciliated
Epithelium", Epitel torak berlapis semu bersilia " Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated
Epithelium ".6
Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para ahli. 60 %
persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng " Stratified Squamous
Epithelium ", dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan
pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang meruapkan epitel
peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia.
Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada Kripta yang dalam.
Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah
tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.
C. FISIOLOGI NASOFARING
Fungsi dari nasofaring yang terutama adalah untuk respirasi, menelan, resonansi suara
dan untuk artikulasi. Pada fungsi faring untuk menelan terbagi menjadi 3 fase dalam proses
menelan, yaitu fase oral, fase faringeal dan fase esofageal. Pada fungsi faring dalam proses
berbicara dan menelan terjadi gerakan dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara
lain berupa pendekatan palatum ke arah dinding belakang faring.2
D. ETIOLOGI
Sudah hampir dapat dipastikan penyebab KNF adalah virus Epstein-Barr, karena pada semua
penderita karsinoma nasofaring didapatkan titer anti virus Epstein-Barr yang cukup tinggi.
5
Titer ini lebih tinggi dari orang sehat, penderita tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor
organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lainnya sekalipun. EBV
mempunyai potensi onkogenik dan dapat mengubah sel terinfeksi menjadi sel ganas melalui
dua mekanisme. Pertama, genom EBV dipertahankan dalam sel pejamu dengan berintegrasi
pada genom sel pejamu. Kedua, EBV mengekspresikan protein yang mempunyai homologi
dengan protein anti-apoptosis dan akhirnya proliferasi sel terinfeksi menjadi tidak terkendali
akibat pengaktifan sinyal intraseluler yang berperan dalam pengendalian pertumbuhan sel.5
Secara umum, KNF dapat terjadi sebagai akibat pengaruh genetik dan lingkungan, seperti zat-
zat karsinogen dan infeksi virus Epstei-Barr.2
Banyak penyelidikan mengenai perangai dari virus ini dikemukakan, tetapi virus ini
bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor predisposisi lain yang mempengaruhi
kemungkinan timbulnya KNF ini, seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetik,
pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, sosial ekonomi, dan infeksi nasofaring itu sendiri.
Faktor lingkungan dan kultur yang berhubungan dengan KNF termasuk didalamnya
adalah kebiasaan orang yang memakan ikan yang diasinkan dan mengawetkan makanan
dengan bahan pengawet seperti Nitrosamin (hal ini telah dikonsumsi sejak anak-anak). Bukti
ditemukannya DNA Epstein-Barr virus pada hampir setiap kasus KNF menjadikan pegangan
bagi para ahli untuk membuat kesimpulan bahwa keganasan yang terjadi adalah akibat
ekspansi pembelahan pada sel yang diakibatkan Epstein-Barr Virus (EBV). Hal ini
memberikan indikasi bahwa EBV muncul dalam sel pada saat terjadinya transformasi sel
menjadi ganas dan menunjukkan peranan virus tersebut terhadap perkembangan awal
terjadinya proses keganasan pada nasofaring.
E. FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring antara lain virus Epstein Barr, ikan asin,
tembakau, paparan pekerjaan, paparan lain, familial clustering.
1. Virus Epstein Barr
6
EBV merupakan faktor risiko mayor KNF. Sebagian besar infeksi EBV tidak
menimbulkan gejala.7 EBV menginfeksi dan menetap secara laten pada 90% populasi dunia.
Di Hong Kong, 80% anak terinfeksi pada umur 6 tahun, hampir 100% mengalami
serokonversi pada umur 10 tahun. Infeksi EBV primer biasanya subklinis. Transmisi utama
melalui saliva, biasanya pada negara berkembang yang kehidupannya padat dan kurang
bersih. Limfosit B adalah target utama EBV, jalur masuk EBV ke sel epitel masih belum
jelas, replikasi EBV dapat terjadi di sel epitel orofaring.8 Virus Epstein-Barr dapat memasuki
sel-sel epitel orofaring, bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa
(life-long).9
2. Ikan Asin
Paparan non-viral yang paling konsisten dan berhubungan kuat dengan risiko KNF
adalah konsumsi ikan asin. Konsumsi ikan asin meningkatkan risiko 1,7 sampai 7,5 kali lebih
tinggi dibanding yang tidak mengkonsumsi. Diet konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali
sebulan meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.10 Potensi karsinogenik ikan asin didukung
dengan penelitian pada tikus disebabkan proses pengawetan dengan garam tidak efisien
sehingga terjadi akumulasi nitrosamin yang dikenal karsinogen pada hewan. 8 Enam puluh
dua persen pasien KNF mengkonsumsi secara rutin makanan fermentasi yang diawetkan.11
Tingginya konsumsi nitrosamin dan nitrit dari daging, ikan dan sayuran yang berpengawet
selama masa kecil meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.12 Delapan puluh delapan
persen penderita karsinoma nasofaring mempunyai riwayat konsumsi daging asap secara
rutin.11
3. Tembakau
Sejak tahun 1950 sudah dinyatakan bahwa merokok menyebabkan kanker. Merokok
menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta per tahunnya dan diperkirakan menjadi 10 juta
per tahunnya pada 2030.13 Rokok mempunyai lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk
nitrosamin yang meningkatkan risiko terkena KNF. Kebanyakan penelitian menunjukkan
merokok meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6 kali. Sekitar 60%
7
karsinoma nasofaring tipe I berhubungan dengan merokok sedangkan risiko karsinoma
nasofaring tipe II atau III tidak berhubungan dengan merokok. Perokok lebih dari 30 bungkus
per tahun mempunyai risiko besar terkena karsinoma nasofaring. Kebanyakan penderita
karsinoma nasofaring merokok selama minimal 15 tahun (51%) dan mengkonsumsi tembakau
dalam bentuk lain (47%). Merokok lebih dari 25 tahun meningkatkan risiko karsinoma
nasofaring. Merokok lebih dari 40 tahun meningkatkan 2 kali lipat risiko karsinoma
nasofaring.14
4. Pajanan Pekerjaan
Pajanan pekerjaan terhadap fume, asap, debu atau bahan kimia lain meningkatkan
risiko karsinoma nasofaring 2 sampai 6 kali lipat. Peningkatan risiko karsinoma nasofaring
karena pajanan kerja terhadap formaldehid sekitar 2 sampai 4 kali lipat, didukung oleh
penelitian pada tikus, terutama untuk tipe I tetapi tidak untuk tipe II dan III.Namun sebuah
meta-analisis dari 47 penelitian tidak mendukung hubungan formaldehid dengan KNF.
Stimulasi dan infl amasi jalan nafas kronik, berkurangnya pembersihan mukosiliar, dan
perubahan sel epitel mengikuti tertumpuknya debu kayu di nasofaring memicu karsinoma
nasofaring, paparan ke pelarut dan pengawet kayu, seperti klorofenol juga memicu karsinoma
nasofaring. Paparan debu katun yang hebat meningkatkan risiko KNF karena iritasi dan infl
amasi nasofaring langsung atau melalui endotokin bakteri. Paparan tempat kerja yang panas
atau produk bakaran meningkatkan dua kali lipat resiko terkena karsinoma nasofaring. 8
Paparan debu kayu di tempat kerja lebih dari 10 tahun meningkatkan risiko terkena KNF.12
5. Familial Clustering
Kerabat pertama, kedua, ketiga pasien KNF lebih berisiko terkena karsinoma
nasofaring. 10 Orang yang mempunyai keluarga tingkat pertama KNF mempunyai risiko
empat sampai sepuluh kali dibanding yang tidak. Risiko kanker kelenjar air liur dan serviks
uterus juga meningkat pada keluarga dengan kasus KNF. Faktor risiko lingkungan seperti
ikan asin, merokok dan paparan pada produk kayu meningkatkan level antibodi anti- EBV dan
8
beberapa polimorfasi genetik. Kasus familial biasanya pada tipe II dan III, sedangkan tipe I
non familial.10
F. PATOFISIOLOGI
Kalifikasi secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk:
1. Bentuk ulseratif. Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah
sekitar fosa rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral di depan tuba
eustachius dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai
dengan jaringan yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan
sekitarnya. Gambaran histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa
dengan diferensiasi baik.
2. Bentuk noduler/ lubuler/ proliferative. Bentuk noduler atau lobuler sangat sering
dijumpai pada daerah sekitar muara tuba eusthacius. Tumor jenis ini berbentuk seperti
buah anggur atau polipoid jarang dijumpai adanya ulserasi. Gambaran histopatologik
bentuk ini biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.
3. Bentuk eksofik. Bentuk eksofik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak
dijumpai adanya ulserasi, kadang – kadang bertangkai dan permukaannya licin. Tumor
jenis ini biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga
nasofaring. Tumor ini dapat mendorong palatum molle ke bawah dan tumbuh ka arah
koana masuk ke dalam rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfosarkoma.
1. Adanya Infeksi EBV
EBV bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi EBV
terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai
infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen
komplemen C3d ( CD21 atau CR2). Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai
dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan menyebabkan limfosit B menjadi
immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun ada dua reseptor yang diduga
9
berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR
(Polimeric Immunogloblin Receptor).
Sel yang terinfeksi oleh Virus Epstein Barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan
yaitu sel menjadi mati, virus mengadakan replikasi yang mengakibatkan kematian virus itu
sendiri sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi
antara sel dan virus sehingga terjadinya perubahan sifat sel menjadi ganas terbentuklah sel
kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,
EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B.
Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein
transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tirokinase yang dipercaya dapat
menghambat siklus litik virus. Diantara gen – gen tersebut gen yang paling berperan dalam
trasformasi sel adalah gen LMP1. Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk
sinyal TNF (tumor necrosis faktor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang
memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.
2. Faktor Lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah
di Asia dan America Utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang
diawetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene
(NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma
nasofaring.
3. Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan
terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan
memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human
leukocyteantigen) dan gen enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) adalah gen kerentanan
terhadap karsinoma nasofaring. Karena sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi
metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen.2
10
G. GEJALA KLINIK
1. Stadium Dini
Nasal sign : Pilek atau sumbatan pada hidung lama (kronis) yang tidak sembuh,
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang biasanya berulang-ulang,
jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga ingus
berwarna merah jambu. Sekret pada hidung atau ingus seperti nanah, encer atau
kental dan berbau.
Ear sign : Tinitus adalah pada telinga terdengar suara mendenging. Tumor
menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba oklusi, akibatnya tekanan
dalam kavum timpani menjadi menurun (negatif) akibatnya terjadi tinnitus,
Gangguan pendengaran, Rasa tidak nyaman dan rasa nyeri di telinga (otalgia)
2. Stadium Lanjut
Eye sign : Diplopia adalah pandangan double atau menjadi dua bayangan. Tumor
menjalar masuk foramen laseratum dan menimbulkan gangguan pada N. IV dan N.
VI. Nervus ini yang mempersarafin m. levator palpebra dan berfungsi untuk
menggerakan bola mata ke lateral dan medial. Bila lesi terkena pada chiasma
opticus akan menimbulkan kebutaan
Lymfadenitis : Pembesaran kelenjar limfoid leher akibat infeksi, ini merupakan
penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring
Cranial sign : Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan gejala
yang dirasakan pada penderita berupa Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit
ini merupakan metastase secara hematogen Sensibilitas daerah pipi dan hidung
berkurang paralisis nervus trigeminal (neuralgia trigeminal). Sindrom Jugular
Jackson atau sindrom reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N. XII.
11
DIAGNOSIS
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor
1 . Anamnesis : Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien
2 . Pemeriksaan fisik : Menggunakan kaca nasofaring atau dengan
nashopharyngoskop
3. Pemeriksaan penunjang:
a. Biopsi nasofaring
Biopsi nasofaring merupakan pemeriksaan penunjang yang pasti (gold standar)
pada karsinoma nasofaring. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan dari hasil
biopsi dengan cara pengambilan sampel secara cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush).
Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor
nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
1. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas letak tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
2. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem
bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga kateter yang dari hidung
disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring
dilihat daerah nasofaring. Biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca
nasofaring atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut dan massa
tumor akan terlihat dengan jelas.
b. Patologi anatomi
12
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).
Tipe ini dapat menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai
adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel.
Pada umumnya batas sel cukup jelas
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor
secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan
nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.4
c. Pemeriksaan radiologi
Pada kecurigaan KNF, pemeriksaan radiologi ini merupakan pemeriksaan penunjang
diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah : Memberikan diagnosis
yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah nasofaring, Menentukan lokasi
yang lebih tepat dari tumor tersebut, Mencari dan menentukan luasnya penyebaran tumor ke
jaringan sekitarnya.
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencarikan
kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu; Posisi Lateral dengan teknik foto
untuk jaringan lunak ( soft tissuetechnique), Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks,
Tomogram Lateral daerah nasofaring, Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiologi foto polos adalah
jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan
terdeteksi. Apalagi jika perluasan tumor adalah submukosa dan penyebaran ke jaringan
sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal
tersebut. Keunggulan C.T.Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk
membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak
maupun perubahan pada tulang, dan dengan kriteria tertentu dapat dinilai suatu tumor
13
nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai apakah sudah ada
perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada
tidaknya penyebaran intracranial.2
d. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak sehingga dapat menimbulkan
gangguan pada beberapa saraf otak yang dapat menimbulkan gejala lanjut pada KNF.
Pemeriksaan neurooftalmologi yaitu memeriksa fungsi dari saraf IX, X, XI dan XII.
e . Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan IgA anti VCA (capsid antigen)
untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring.
Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium
lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan
titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya
100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk
menetukan prognosis pengobatan. Titer yang didapatkan berkisar antara 80 sampai 1280 dan
terbanyak pada titer 160.1
14
15
STADIUM
Untuk menentukan stadium dipakai system TNM menurut UICC (2002).1,4
T : Tumor primer
T0 : Tidak tampak tumor,
T1 : Tumor terbatas di nasofaring,
T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a : Perluasan tumor ke orofaring dan / atau rongga hidung tanpa perluasan ke
parafaring
T2b : Disertai perluasan ke parafaring
T3 : Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal
T4 : Tumor meluas ke intracranial dan / atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator
N : Nodul, menggambarkan pembesaran kelenjar limfe regional,
NX : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Metastase kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau
sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N2 : Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm di atas fossa supraklavikula
16
N3 : Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau
terletak di dalam fossa supraklavikula
N3a: ukuran lebih dari 6 cm
N3b: di dalam fossa supraklavikula
M : Metastase jauh
MX : Metastase jauh tidak dapat dinilai
M0 : Tidak ada metastase jauh,
M1 : Terdapat metastase jauh
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan:
Stadium 0 : T1s N0 M0
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium IIA : T2a N0 M0
Stadium IIB : T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0
Stadium III : T1 N2 M0
T2a,T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVA: T4 N0, N1, N2 M0
Stadium IVB: semua T N3 M0
Stadium VC : semua T semua N M
17
BAB III
Kesimpulan
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas di daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Diagnosis dini menentukan prognosis penderita, namun cukup sulit
dilakukan karena letak nasofaring yang tersembunyi dibelakang tabir langit-langit dan terletak
didasar tengkorak. Oleh karena itu tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahlinya,
seringkali tumor ini ditemukan terlambat dan sudah menyebabkan metastase ke leher, dan
keadaan ini lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama.
Penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, karena pada semua
penderita karsinoma nasofaring didapatkan titer antivirus Epstein-Barr yang cukup tinggi
dibandingkan dengan orang yang sehat, gejalanya terdapat dinasofaring itu sendiri,di telinga,
dimata dan saraf, serta metastase atau gejala dileher.Untuk itu nasofaring harus diperiksa
dengan cermat, kalau perlu dengan Nasofaringoskopi.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. National Cancer Institute. Nasopharyngeal Cancer Treatment.U.S.A. National Cancer
Institute:2009
2. Adam GL, Boies LR, Higler PA, Dalam BOIES Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorok, Alih Bahasa : Wijaya C. Editor : Effendi H, Santoso K, Edisi Ke-6, EGC, Jakarta, 1997 ; 320-321
3. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Dan Tenggorok, Kepala Dan Leher, Edisi ke-5 Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2001 ; 146-152
4. Feng P, Ren EC, Liu D, Chan SH, Hu H. Expression of Epstein- Barr virus lytic gene BRLF1 in nasopharyngeal carcinoma: potential use in diagnosis. J Gen Virol. 2000; 81: 2417-23.
5. Thompson MP dan Kurzrock R. Epstein-Barr virus and cancer. Clin Cancer Res. 2004;10:803-21.
6. William Bloom and Don Fawcett,. A Textbook of Histology. 8 edition . 1965
7. Hsu W-L, Chen J-Y, Chien Y-C, et al. Independent Eff ect of EBV and Cigarette Smoking on Nasopharyngeal Carcinoma: A 20-Year Follow-Up Study on 9,622 Males without Family History in Taiwan. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2009;18:1218-26.
8. Chang ET, Adami H-O. The Enigmatic Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2006;15:1765-77.
9. Yenita, Aswiyanti Asri. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1 Virus Epstein-Barr dengan P53 pada Karsinoma Nasofaring (Penelitian Lanjutan). Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(1).
10. Ondrey FG,.Wright SK. Neoplasms of the Nasopharynx. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. 2003. p 1407-22.
11. Sharma TD, Singh Th T, Laishram RS, Chandra Sharma LD, Sunita AK, Tiameren Imchen L. Nasopharyngeal Carcinoma - a Clinico-pathological Study in a Regional Cancer Centre of Northeastern India. Asian Pacifi c J Cancer Prev. 12, 1583-7.
19
12. Yang X, Diehl S, Pfeiff er R, Chen C-J, Hsu W-L, Dosemeci M, et al. Evaluation of Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma in High-Risk Nasopharyngeal Carcinoma Families in Taiwan. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2005;14:900-5.
13. Vineis P, Alavanja M, Buffl er P, Fontham E, Franceschi S,. Gao YT et al. Tobacco and Cancer: Recent Epidemiological Evidence. J Nat Cancer Inst. 2004; 96(2):99-106.
14. Friborg JT, Yuan J-M, Wang R, Koh W-P, Lee H-P, Yu MC. A Prospective Study of Tobacco and Alcohol Use as Risk Factors for Pharyngeal Carcinomas in Singapore Chinese. Cancer 2007. 109(6): 1183-91.
20