Post on 07-Apr-2018
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
1/24
BAB 4
Rapid Tranquillisation
A. Pendahuluan
Mengamuk merupakan masalah berkelanjutan yang dialami oleh pasien
psikiatri baik yang dirawat di rumah sakit maupun pasien rawat jalan. Para
penulis sebelumnya berpendapat bahwa mengamuk tidak lagi lebih banyak terjadi
pada populasi dengan gangguan jiwa dibandingkan dengan populasi umum, akan
tetapi telah disepakati bahwa orang dengan kelainan psikotik lebihmemungkinkan untuk menunjukkan kekerasan dalam komunitas (Mullen, 1998;
Monahan, 1992; Mulyey, 1994; Swanson et al ., 1996).
Mengamuk pada pasien dengan gangguan psikiatri dapat terjadi saat
serangan akut, seperti terlihat pada pasien skizofrenia paranoid atau manik dengan
gejala berat, atau dapat juga terjadi terus menerus, seperti pada pasien dengan
psikotik kronis atau pasien dengan gangguan kepribadian. Di Inggris, pasien yang
sedang mengamuk seharusnya dirawat di Psychiatric Intensive Care Unit (PICU)
sampai keadaannya membaik. Dalam keadaan mengamuk akut di bangsal, yang
menjadi perhatian utama adalah memastikan keselamatan pasien dan pegawai,
kemudian intervensi yang diberikan sebaiknya intervensi minimal yang dapat
menenangkan pasien. Akan tetapi, dalam beberapa kasus perlu dilakukan
pemberian obat.
Rapid tranquillisation (RT) didefinisikan sebagai pemberian obat
psikotropika untuk mengendalikan kecemasan dan perilaku psikotik yang
mengancam atau merusak (Ellison et al ., 1989). Berdasarkan pedoman NICE,
RT didefinisikan sebagai pemberian obat untuk mencapai penurunan tingkat
kecemasan atau serangan tanpa sedasi ( National Institute for Clinical Excellence ;
NICE, 2005).
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
2/24
Hal ini sebaiknya dibedakan dengan rapid neuroleptisation (RN), yang
memerlukan pemberian obat-obatan neuroleptik dosis tinggi untuk mencapai
pemulihan segera. Tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa RN memberikan
manfaat terapetik yang lebih dengan penggunaan dosis yang lebih tinggi daripada
dosis standar, malah efek sampingnya akan meningkat secara signifikan. Dalam
kebimbangan antara RN dan RT, terutama mengenai dosis yang tinggi dan efek
samping dari obat anti-psikotik, mendorong munculnya penggunaan obat dari
golongan lain untuk RT yaitu benzodiazepine (Dubin, 1988).
Beberapa tinjauan mengenai RT telah dipublikasikan (Dubin, 1988; Sheard,
1988; Ellison et al ., 1989; Goldberg et al ., 1989; Kerrand Taylor, 1997). Goldneyet al. (1986) meneliti tentang penggunaan obat neuroleptik dosis tinggi di PICU
tetapi tidak meneliti secara spesifik mengenai RT. Setelah itu tidak ada penelitian
lain mengenai RT sampai penelitian yang dilakukan oleh Pilowsky mengenai
orang yang memperoleh RT di praktek klinis yang diperiksa secara sistematis
(Pilowsky et al ., 1992). Disebutkan bahwa pasien yang memerlukan RT
cenderung terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok orang yang memerlukan
suntikan berulang karena menolak pemberian pengobatan oral dengan keras
sehingga bersifat agresif dan kelompok orang yang hanya membutuhkan sekali
atau dua kali suntikan diawal pengobatannya (Pilowsky et al ., 1992). Penelitian
ini dan penelitian lanjutan lainnya membantu memberikan informasi untuk
pembuatan kesepakatan dalam kebijakan mengenai RT di rumah sakit.
Kebijakan Rumah Sakit mengenai RT sebaiknya membahas mengenai
indikasi penggunaannya, yaitu pada pasien dengan gangguan akut dan pasien
yang berisiko tinggi melukai diri sendiri atau orang lain dalam waktu dekat, dan
juga sebagai pertimbangan terapi non-farmakologi. Berdasarkan jurnal dari Royal
College of Psychiatrists dalam Management of Imminent Violence ( Royal College
of Psychiatrists , 1998), latihan untuk RT sebaiknya mencakup penilaian dan
pengawasan risiko yang berhubungan dengan prosedur. Hal ini termasuk efek
kardiorespiratorik, pengetahuan mengenai dosis dalam meresepkan obat tidak
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
3/24
melebihi batas terapetik dan penetapan dosis yang dapat menimbulkan efek.
Latihan ini sebaiknya juga mencakup bekerja dan berlatih dalam satu tim dalam
menggunakan teknik resusitasi jantung-paru dan akrab dalam penggunaan
flumazenil (NICE, 2005). Idealnya, amukan pasien seharusnya dapat diantisipasi
dan penggunaan strategi manajemen alternatif dioptimalkan. Dengan begitu, hal
ini akan mengurangi penggunaan RT.
B. Kegunaan RT
Para pegawai kesehatan sebaiknya telah mengetahui prosedur RT sebelum
timbul berbagai masalah ( Royal College of Psychiatrists , 1998). NICEmenerbitkan pedoman untuk RT pada tahun 2005 yang merekomendasikan bahwa
tenaga medis yang memberikan RT harus diberi pelatihan penilaian dan
manajemen dalam melayani pasien terutama dalam memberikan RT.
Pertama-tama kita akan fokus mengenai langkah-langkah prosedur dan
hambatan dalam mengendalikan dan memberikan terapi RT terhadap pasien,
kemudian secara detail menjelaskan mengenai pilihan pengobatan yang tersedia.
Prosedur RT
Langkah pertama yaitu menilai situasi dengan multidisiplin tim.
Keselamatan merupakan hal yang paling penting. Pastikan pasien, tenaga
kesehatan, dan pasien lain dalam bangsal dalam keadaan aman agar penilaian
lebih lanjut dapat dilakukan dan bila perlu dapat dilakukan pengekangan fisik.
Paramedis lain dapat dipanggil untuk membantu bila diperlukan. Sebaiknya
jumlah paramedis yang tersedia mencukupi sehingga ada satu paramedis yang
bebas melakukan tinjauan dengan dokter sedangkan yang lain mengekang pasien
dan menyiapkan pengobatannya. Dokter berfungsi mengatur situasi dan
mendiagnosis kondisi yang mendasari gangguan perilaku pasien, bukan malah
ikut terlibat dalam mengekang pasien. Jika jumlah paramedis tidak mencukupi,
pasien dapat dibiarkan lepas kemudian memanggil polisi, atau segera meminta
bantuan polisi.
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
4/24
Pengekangan Pasien
Pengekangan pasien secara sukarela dapat dilakukan, misalnya dengan
menjelaskan kepada pasien bahwa hal tersebut diperlukan demi perlindungan
terhadap diri pasien dan mencegah orang lain terluka. Idealnya, dibutuhkan lima
perawat untuk mengekang pasien: masing-masing satu orang untuk memegang
kaki dan tangan pasien serta satu orang lagi untuk memberikan perintah dan
memegang kepala pasien (Jacobs, 1983). Pasien harus dipegang dengan halus tapi
kuat, satu tangan di atas kepala dan satunya lagi di samping pasien. Pasien harus
ditenangkan hatinya, semua prosedur dijelaskan selama pengekangan dan
sebaiknya dapat merespon pesan selama periode sedasi ( Royal College of Psychiatrists , 1998). Jika pasien tertidur maka diperlukan pengawasan lebih
intensif (NICE, 2005). Untuk mudahnya, dalam pedoman Maudsley
direkomendasikan menggunakan pulse oxymeter (Gambar 4.1; Taylor et al .,
2005; lihat di bawah). Pengekangan harus dicek untuk memastikan sirkulasi ke
anggota gerak masih lancar (Jacobs, 1983). Paramedis sebaiknya tetap mengawasi
pasien apakah pasien masih memberontak melawan pengekangan dan perawat
harus dapat menenangkan pasien tanpa mengunakan obat penenang. Pengekangan
di lantai sebaiknya dihindari (NIMHE, 2004), sama halnya dengan pengekangan
dalam posisi pronasi ( Norfolk, Suffolk and Cambrigeshire Strategic Health
Autority , 2003).
Tinjauan mengenai rekam medis diperlukan untuk mengecek adakah
kontraindikasi pengobatan atau adakah komplikasi organ yang berkontribusi
terhadap munculnya gangguan saat ini (NICE, 2005). Akan tetapi, walaupun
menemukan diagnosis banding merupakan hal yang penting, hal ini sebaiknya
tidak menghambat intervensi saat kondisi berbahaya. Jika pasien memiliki
kelainan organik, amukan lebih lanjut akan memperburuk keadaan fisik pasien:
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
5/24
Perawatan tenang di area yang tenang.Makanan dan minuman diberikan kepadapasien. Menggunakan teknik verbal de-
escalalation
Apakah pilihan pertama pengobatan oralnya?Sebaiknya yang bekerja cepat dengan efek samping
ringan
Bagian awal dari pedoman sebaiknya mencakup definisi, misal Apa itu RT? dan deskripsi mengenai tingkat perilaku pasien yangdapat dipertimbangkan untuk dilakukan RT, misal:
Derajat 2:Gangguan jiwa tetapi tidak mau pengobatan oral. Memerlukan pengekangan fisik
atau penenang untuk mencegah amukan pada diri sendiri dan orang lain
Derajat 1:Gangguan jiwa dan mau pengobatan
oral
RT sebaiknya digunakan sebagai pilihan terakhir, metode lain untuk mengatasi gangguan perilaku dilakukan terlebih dahulu, misal :time out
Pasien mau diberipengobatan oral
Pasien menolak en obatan oral
Pemilihan pengobatan intramuskuler tergantung besarnyatoleransi, efikasi dan keamanan. Petunjuk yang terbaik
sebaiknya dilakukan bila memungkinkan (Pedoman NICE)
Haloperidol 5 mg im(Maksimal 18 m /hari
Dengan/ atau
Lorazepam 1-2 mg(Maksimal 4 mg/hari)
Olanzapine Velotab 10 mg(Maksimal 20 mg/hari)
atau
Risperidone Quicklet 1-2 mg(Maksimal 16 mg/hari)
atau
Haloperidol 5 mg(Maksimal 30 mg/hari)
atau
Lorazepam 1-2 mg im(Maksimal 4 mg/hari)
Tidak direkomendasikan penggunaanOlanzapine
atau
Olanzapine 5-10 mg (2,5-5 mg **) im dosis awal, kemudian 5-10mg (2,5-5 mg**) im tiap 2 jam jika dibutuhkan
(maksimal 3 x/ 24 jam)(**orang tua dan gangguan hati/ ginjal)
atau
Promethazine 50 mg im digunakan sebagai terapi
tambahan pada pasien yang toleransi terhadapbenzodiazepine
Lorazepam dapat digunakan sebagai obat tambahan ataupundigunakan sendiri pada pasien berisiko kejang, misal pada pasien
berhenti menggunakan alkohol.
NB: Sebaiknya tidak digunakan bersama dengan olanzepinekarena dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi pernapasan.
Gambar 4.1 . Pedoman untuk manajemen gangguan perilaku akut dan RT yang aman. Disadur dari MaudsleyGuidelines (Taylor et al ., 2005).
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
6/24
Situasi menahan diri, sinyal non-verbal mungkin diperlukan, misalnya untuk
menunjukkan kapan harus diikat, dan ini harus diputuskan terlebih dahulu sebisa
mungkin. Jika pasien masih terangsang meskipun sudah diikat, dan paramedis
tidak dapat mengantar mereka ke lingkungan yang aman tanpa risiko cedera pada
diri mereka sendiri atau pasien lain, maka RT jelas diperlukan. Pilihan obat akan
tergantung pada apakah pasien memiliki obat antipsikotik sebelumnya dan apakah
ada riwayat efek samping extrapiramydal yang parah. Faktor keadaan fisik dan
mental pasien saat ini juga akan penting. Akan tetapi jelas akan mustahil untuk
memeriksa pasien dalam keadaan diikat, maka setelah pasien tersebut tenang,
kondisi fisik mereka harus tetap dinilai.
C. Pemantauan
Selama dan sesaat sebelum tindakan medis, tanda-tanda vital harus diukur
termasuk tekanan darah, nadi dan laju pernafasan. Idealnya, sebuah pulse
oksimeter harus digunakan untuk mengukur saturasi oksigen. Ini adalah metode
non-invasif untuk mengukur saturasi oksigen dalam darah arteri dengan
transmiter dan detektor yang ditempatkan di kedua sisi dari jaringan perifer
seperti jari-jari atau daun telinga. Jaringan di sini harus cukup tipis untuk
memungkinkan cahaya merah dan inframerah menembusnya dan dengan rasio
antara dua sinyal terdeteksi yang digunakan untuk menghitung saturasi oksigen;
darah beroksigen menyerap jumlah cahaya yang berbeda dengan darah yang
terdeoksigenasi (Jones 1995). Pembacaan dapat dipengaruhi oleh pakaian yang
ketat atau pengekangan ketat, yang dapat mempengaruhi aliran darah. Cat kuku
dapat mengganggu pengukuran di jari dan merokok dapat menyebabkan naiknya
tingkat mobil-boxyhaemoglobin sampai 4 jam setelah merokok, sehingga terjadi
pembacaan palsu (Sims 1996). Pada awal RT, oksimeter terpasang saat mesin
dinyalakan. Saturasi dasar oksigen dicatat. Sementara pengobatan diberikan,
pemantauan terus menerus yang menunjukkan saturasi oksigen dalam darah dan
harus diperhatikan dengan seksama. Tekanan darah, denyut nadi dan pernafasan
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
7/24
harus dicatat setiap 5-10 menit untuk satu jam pertama, lalu per setengah jam
(Taylor et al 2005.). Jika oksimeter pulsa tidak tersedia, jumlah pernapasan harus
dipantau lebih ketat (Taylor et al 2005.).
Fasilitas untuk ventilasi mekanik dan resusitasi jantung harus siap tersedia
begitu juga dengan antagonis benzodiazepine yaitu flumazenil. Jika saturasi
oksigen pasien mulai drop maka oksimeter harus diperiksa dan pasien diamati
secara ketat apakah respiratory rate nya jatuh, ada atau tidaknya pulsasi dan
sianosis. Penurunan saturasi mendadak merupakan indikasi langsung untuk
menghentikan transquilisasi, seperti penurunan tekanan darah sistolik kurang dari
80 mmHg, atau diastolik kurang dari 60 mmHg. Jika respiratory rate turun dibawah 10 kali per menit maka flumazenil 2000g harus cepat diberikan secara
intravena (Taylor et al 2005.). Harus ditekankan bahwa rekomendasi di atas
adalah didasarkan pada praktek klinis dan hanya merupakan saran.
D. Pilihan Pengobatan
Menurut Dubin, di dalam reviewnya tentang RT, menyarankan bahwa
pilihan obat untuk RT sebagian harus ditentukan oleh penyebab yang mendasari
perilaku yang terganggu (Dubin 1988). Dia menyarankan bahwa yang harus
diberikan pada pasien skizofrenia terutama neuroleptik mungkin dengan
penambahan benzodiazepine untuk menurunkan dosis neuroleptik yang
diperlukan, tetapi pada pasien manik harus diberikan terutama benzodiazepin, dan
neuroleptik hanya boleh digunakan jika benzodiazepin gagal untuk
mengendalikan situasi. Pasien dengan riwayat penyalahgunaan obat-obatan harus
menerima benzodiazepin jika tingkat agitasi dan kekerasan ringan sampai sedang,
tetapi neuroleptik harus digunakan dalam kekerasan yang parah.
Namun, pendapat yang lebih baru menyatakan bahwa RT secara primer
dapat mengontrol perilaku (Ellison et al, 1989;.. Swanson et al, 1996) dan
karenanya tidak ada alasan mengapa benzodiazepin tidak boleh digunakan untuk
mengontrol perilaku, bahkan jika pasien telah skizofrenia. Beberapa penelitian
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
8/24
telah mendukung penggunaan benzodiazepin saja untuk RT (Bick dan
Hannah1986; Modell 1986; Salzman 1988; Salzman et al. 1991), akhir-akhir ini
juga digunakan untuk alasan keamanan (McAllister-Williams dan Ferrier 2001).
Menurut pedoman NICE disebutkan bahwa obat pilihan untuk RT harus
memiliki onset yang cepat dan memiliki sedikit efek samping dan karenanya
menyarankan menggunakan IM olanzapine, haloperidol atau lorazepam (NICE
2005). Di situ di sebutkan bahwa obat tersebut harus digunakan dengan hati-hati
karena risiko kehilangan kesadaran, oversedasi dengan 'hilangnya kewaspadaan',
kerusakan mungkin berhubungan dengan efek terapeutik. Risiko kehilangan
kesadaran tidak bisa dianggap enteng dan merupakan alasan mengapa RT harusselalu menjadi pengobatan terakhir dan juga harus dipantau secara hati-
hati. Pemantauan dan tinjauan berkala juga akan memungkinkan untuk
melakukan revisi diagnosis, misalnya karena faktor organik. Namun, tentunya
jika pasien telah menjadi cukup mengganggu dan membutuhkan RT seperti
menyebabkan risiko langsung kepada diri mereka atau orang lain, beberapa
derajat sedasi ringan sesegera mungkin secara tidak terduga dan tidak masuk akal
mungkin akan membantu dalam pengelolaan yang aman dari pasien dalam jam-
jam berikutnya. Tentu ini tidak berarti bahwa pasien harus sadar segera setelah
RT. Pilowsky merekomendasikan penggunaan dosis bolus kecil obat yang
dititrasi untuk memberikan efek pada gejala-gejala target, misalnya agresi yang
berlebihan, dalam rangka meminimalkan risiko dari prosedur (Pilowsky et al.
1992).
Pemikiran bahwa salah satu hal yang mengkhawatirkan tentang hubungan
antara pasien dan dokter dalam suatu situasi di mana RT adalah hal yang
dibutuhkan juga tidak mungkin, mengingat bahwa RT hanya boleh diberikan
dalam situasi gawat darurat di mana semua pilihan pengobatan lain telah dicoba.
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
9/24
Benzodiazepin
Benzodiazepin diperkenalkan sebagai sebuah alternatif untuk neuroleptik
dalam mengontrol gangguan perilaku akut, karena telah jelas bahwa penggunaan
neuroleptik dalam dosis yang diperlukan untuk sedasi dapat menyebabkan efek
samping ekstrapiramidal yang berat dan hipotensi postural.
Benzodiazepin klasik seperti lorazepam IM atau diazepam IV, merupakan
obat pilihan dalam kasus di mana faktor-faktor organik telah menyebabkan
gangguan perilaku, misalnya kelainan akut sekunder akibat putus alkohol atau
obat, infeksi, gangguan pada SSP dan epilepsi. benzodiazepin banyak digunakan
dalam hubungannya dengan neuroleptik di RT untuk mengurangi kebutuhanneuroleptik.
Benzodiazepin harus diberikan sangat lambat, oleh karenanya lebih baik
diberikan IV untuk memungkinkan untuk titrasi dosis. Umumnya, yang
digunakan adalah diazepam 10 mg IV atau lorazepam 2 mg IM. Diazepam tidak
boleh diberikan secara IM karena penyerapan sering meleset dan tidak
menentu. Rute IV lah yang aman dan efektif (Lerner et al 1979.), Dan harus
dicapai melalui vena besar untuk meminimalkan risiko ekstravasasi yang
menyakitkan ke dalam jaringan dan thrombo-flebitis. Beberapa kekhawatiran
telah di kemukakan tentang penggunaan rute IV di unit yang terpisah (Silva
1999).
Lorazepam memiliki waktu paruh yang pendek tanpa metabolit aktif dan
lebih aman pada gangguan hati daripada diazepam, yang memiliki waktu paruh
panjang dan memiliki metabolit aktif, maka cenderung sering terakumulasi.
Clonazepam digunakan sebagai pengobatan utama pada pemeliharaan epilepsi,
tetapi juga telah ditemukan untuk membantu dalam pengobatan agitasi dan yang
tidak berespons terhadap pengobatan lainnya. Clonazepam juga memiliki paruh
panjang (19-60 jam dibandingkan dengan 8-24 jam untuk lorazepam dan 14-70
jam untuk diazepam). Dari penelitian terakhir tampak bahwa benzodiazepin,
terutama clonazepam, lebih berguna daripada yang diperkirakan sebelumnya
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
10/24
untuk pengelolaan obat-diinduksi agitasi, bagi mania yang di kombinasikan
dengan lithium dan bila digunakan sendirian pada mania tanpa gejala psikotik
(Freinhar dan Alvarez 1985).
Lorazepam intramuskular telah digunakan sendiri dalam pengelolaan pasien
dengan kecenderungan melakukan kekerasan, bahkan ketika terdapat psikosis dan
ditemukan setidaknya sama efektifnya di banding neuroleptik dalam
mengendalikan perilaku kekerasan (Pilowsky et al, 1992.). Arana et al. (1986)
memandang empat belas pasien psikotik yang diobati hanya dengan lorazepam
menunjukkan kemajuan dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan
lorazepam dan haloperidol. Mereka menyimpulkan bahwa pemberian lorazepamberguna dalam penatalksanaan 48 jam pertama, tetapi perbaikan awal gejala
psikotik bersifat sementara dan tidak membaik dengan peningkatan dosis. Modell
(1986) juga menemukan bahwa lorazepam penggunaan terbatas dalam perbaikan
kondisi. Namun, menurut Salzman dkk. (1991) dibandingkan dengan IM
lorazepam dan IM haloperidol menyimpulkan bahwa 2 mg lorazepam mungkin
lebih baik dari 5mg haloperidol pada RT. Midazolam, yang merupakan rapid
acting benzodiazepine, telah digunakan dalam dosis 1-3 mg IM dalam RT. Dan
ternyata memiliki insiden efek samping yang rendah dan penyerapan
intramuskular yang bisa diprediksi (Mendoza et al. 1987).
Neuroleptik
Secara tradisional, obat penenang seperti klorpromazin telah digunakan
untuk pasien gelisah tetapi peninjauan Kane tentang pengobatan skizofrenia
bahwa tidak ada bukti untuk menunjukkan mereka lebih efektif dalam mengontrol
perilaku agresif dibandingkan obat non penenang (Kane 1977). Ada juga banyak
kesulitan pada penggunaan parenteral secara IV tidak selalu mungkin, karena
masalah titrasi dosis dan karena berbagai efek samping neuroleptik penenang
seperti phenothiazines dan beberapa berpotensi fatal.
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
11/24
Haloperidol telah digunakan paling umum di RT karena penggunaannya
telah dievaluasi sebagai yang terbaik dalam RT. Droperidol sebelumnya
direkomendasikan untuk RT, sampai studi oleh Reilly et al. (2000)
mengidentifikasi hubungan antara droperidol, thioridazine dan pemanjangan QT,
yang tampaknya berhubungan dengan dosis terjadi dalam rentang therapeutic
dosis normal. Akibatnya droperidol telah ditarik. Hal ini baru saja terjadi
sehingga hanya tersisa haloperidol yang digunakan untuk RT. Pada tahun 2006
The Medicines and Health Regulatory Authority (MHRA) Ulasan keamanan
kardiovaskular dari semua obat antipsikotik. Mereka menyimpulkan bahwa ada
bukti yang baik bahwa haloperidol tidak terlalu berpengaruh pada pemanjanganinterval QTc, ini merupakan faktor risiko yang diketahui untuk aritmia dan tiba-
den kematian jantung. Akibatnya, persyaratan untuk melakukan EKG dasar
ditambahkan ke Rangkuman dari Karakteristik Produk (SPC; lisensi produk)
untuk haloperidol.
Benzodiazepine digunakan sendirian jika hal ini secara klinis dapat
memberikan perbaikan. Promethazine merupakan alternatif pada pasien yang
toleran terhadap benzodiazepin. Jika manfaat potensial diperkirakan lebih besar
daripada risiko, haloperidol dapat diberikan IV atau IM, pemberian IV lebih
cepat dan antara 5 dan 10 mg diberikan pada awalnya, dan dapat diulang setelah
10 menit (IV) atau 30 menit (IM) jika tidak berpengaruh. Pedoman NICE
merekomendasikan rute IM lebih aman bila dibandingkan atas rute IV Pedoman
menyatakan bahwa rute IV seharusnya hanya digunakan dalam 'kondisi
perkecualian' (NICE 2005). Dosis minimal neuroleptics harus digunakan dan ini
difasilitasi dengan menggunakan benzodiazepin. Kombinasi haloperidol dan
diazepam telah dianjurkan karena efek sinergis nya (Dubin 1988), meskipun
haloperidol dan lorazepam juga sangat efektif. Dosis bolus kecil harus diberikan
dan harus menunggu setidaknya 10-menit antara bolus IV atau menunggu 30-
menit jika rute IM telah digunakan. Jika ada kekhawatiran tentang kemungkinan
gejala piramidal tambahan (EPS), baik karena pasien memiliki riwayat EPS atau
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
12/24
pasien tidak tahan dengan neuroleptik, maka IM procyclidine (5-10 mg) juga
harus diberikan.
Terapi kombinasi dengan kedua neuroleptik dan benzodiazepin telah
berhasil. Tidak ada bukti insiden efek samping yang lebih tinggi dengan
pendekatan ini, dan mungkin memiliki keuntungan therapeu-tic. Kerr dan Taylor
(1997) telah menyarankan dua poin yang mendukung kombinasi benzodi-
azepines dan neuroleptik. Pertama, penggunaan benzodiazepines memungkinkan
dosis yang lebih rendah dari neuroleptik yang digunakan dan kedua, melalui efek
antikonvulsan mereka, benzodiazepin dapat mengimbangi penurunan ambang
kejang yang disebabkan oleh neuroleptik.Telah ditunjukkan dalam satu survei itu,ketika kombinasi digunakan, administrasi kedua obat mungkin kurang dan efek
samping yang serius adalah jarang (Pilowsky et al. 1992). Baru-baru lorazepam
IM telah dibandingkan dengan haloperidol IM dan promethazine dalam uji coba
secara acak pada 200 pasien yang datang ke layanan darurat, Promethazine yang
digunakan karena penenang yang benar-hubungan dan perannya dalam mencegah
reaksi distonik dengan
Penggunaan lorazepam bermanfaat untuk mengontrol agitasi dan
agresivitas, seperti penggunaan 10mg haloperidol yang ditambah dengan
promethazine 25 / 50 mg. Bagaimanapun, terapi kombinasi menghasilkan
ketenangan dan keadaan yang lebih baik pada pasien, dan banyak pasien yang
mengalami perbaikan secara klinis.
Bagaimanapun juga, menurut pedoman NICE (2005), penggunaan obat
tunggal dalam mencapai RT sangat disarankan. Tetapi dalam keadaan gawat
darurat yang membutuhkan pertolongan segera, maka penggunaan haloperidol
dan lorazepan secara IM masih dapat ditoleransi. Kadang muncul suatu
kebingungan antara penerapan RT kombinasi sebagai terapi gawat darurat
psikiatri dan efek yang ditimbulkan dari RT kombinasi, sehingga muncul
pendapat bahwa penggunaan RT kombinasi tidak diperlukan. Namun jika ditinjau
dari keuntungannya, penggunaan RT kombinasi masih dapat diperhitungkan.
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
13/24
Dengan adanya peningkatan interval QTc, focus pengobatan mengarah pada
obat antipsikotik yang baru. Penggunaan olanzapine dapat menggantikan
droperidol dan sebagai obat alternatif dari haloperidol, yang tidak memiliki efek
samping berupa gangguan ekstrapiramidal. Namun bagaimana efek dari
olanzapine jika digunakan dalam proses RT?. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Wright et al , Meehan et al , Breier et al , menunjukan adanya onset yang cepat
dalam menimbulkan efek, dan adanya perubahan sikap dari pasien tanpa efek
sedasi, serta beberapa efek samping obat. Bagaimanapun juga, perlu digaris
bawahi bahwa subjek penelitian merupakan pasien yang dengan gejala psikotik
akut dan agitasi, tanpa menunjukan derajat gangguan yang biasanyamembutuhkan RT. Hubungan antara dosis dan respon yang ditimbulkan
penggunaan olanzapine secara IM hingga mencapai konsentrasi plasma yang tetap
(steady state) mirip dengan penggunaan secara oral. Maka dari itu, dosis
maksimal penggunaan olanzepine per hari adalah 30 mg, baik secara oral,
maupun IM (Breier et al , 2002). Sebuah penelitian yang menitikberatkan pada
peningkatan dosis awal secara cepat, menunjukan bahwa beberapa pasien
memiliki toleransi hingga 40mg secara oral per hari, dapat mencapai keadaan
tenang tanpa adanya efek sedasi (Baker et al , 2003). Dalam penelitian ini, sebuah
kelompok diberikan 20 mg olanzapine oral selama 4 hari, dan untuk 2 hari
berikutnya, diberikan tambahan 10 mg, sehingga jumlah total dapat mencapai
30mg. Pada akhirnya, untuk 2 hari berikutnya diberikan tambahan 10 mg lagi,
sehingga didapatkan dosis 40mg. Adapun penelitian dilakukan lagi dengan
melibatkan subjek kelompok yang telah dirawat dirumah sakit selama 5 hari, dan
tidak ada riwayat penyalahgunaan zat dan obat. Beberapa penulis menekankan
pembatasan pemberian olanzapine oral untuk mencapai RT, walaupun pasien
tetap terjaga. Dipostulasikan bahwa olanzapine dapat mencapai keadaan
neuroleptisasi secara cepat, bukan sebagai RT. Bagaimanapun juga, pemberian
olanzapine oral yang tidak menimbulkan efek secara nyata, dapat disebabkan oleh
karena formulasi intramuscular dan kegagalan dosis (Karagianis et al , 2001).
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
14/24
Penggunaan olanzapine 40 mg, merupakan cara baru, dimana British National
Formulary (BNF) menyarankan dosis maksimal penggunaan olanzapne oral
adalah 20mg. Sedangkan penggunaan secara IM dapat diberikan 10 mg sebagai
dosis awal, dan penambahan 5-10mg dapat diberikan dalam 2 jam, untuk
mempertahankan dosis dalam darah. Tetapi penggunaan olanzapine dengan dosis
maksimal 20mg secara oral bagi pasien yang membutuhkan RT, tidak dapat
ditunjukan. Secara keseluruhan, sangat jelas bahwa penggunaan olanzapine aman,
kerja cepat, dan dapat ditoleransi dengan baik.
Jika dibandingkan dengan haloperidol, penggunaan ziprasidone IM
menunjukan hasil yang baik untuk menggobati agitasi akut dan psikosis (Brook et al , 2000 ; Lesem et al , 2001). Sekali lagi, kelompok subjek yang dilibatkan dalam
penelitian harus memenuhi kriteria eksklusi berupa penggunaan zat kimia dan
obat, atau pasien yang dekat dengan kasus pembunuhan atau bunuh diri.
Keseluruhan anggota kelompok yang terlibat merupakan kelompok yang
membutuhkan RT.
Clopixol acuphase (zuclopenthixol acetate) memiliki kegunaan untuk
mencapai RT dan memiliki keuntungan bahwa efek dari obat tersebut dapat
bertahan hingga 2-3 hari, sehingga dapat menghindari injeksi berulang dan
konfrontasi dengan pasien yang mengalami gangguan. Obat tersebut merupakan
neuroleptik dengan kerja intermediate (sedang), yang bertahan hingga 72 jam
(dengan puncak 24-36 jam). Dosis yang biasa digunakan adalah 50 dan 150mg.
Tetapi obat tersebut membutuhkan waktu 3 jam untuk dapat menunjukan efek
(dari beberapa penelitian menunjukan hasil yang sama), dan juga memiliki efek
sedasi yang lebih cepat dan lebih hebat (Coutinho et al , 2000). Penelitian yang
dilakukan oleh Bourdouxhe et al (1987), membandingkan 20 pasien yang
diberikan acuphase dan 13 pasien yang diberikan haloperidol secara IM,
menunjukan bahwa tidak ada perbedaan kemajuan dan efek samping yang
ditimbulkan pada kedua kelompok tersebut. Sedangkan Baastrup et al (1993)
membandingkan pasien yang diberi acuphase dengan pasien yang diberi
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
15/24
haloperidol secara oral dan IM, serta pemberian zuclopenthixol konvensional.
Hasil yang didapatkan adalah adanya peningkatan rigiditas (kekakuan) dan
hipokinesia selama 24 jam pertama pada pasien yang diberi haloperidol.
Sebaliknya, tidak didapatkan adanya perbedaan dalam kemajuan pengobatan.
Tetapi pada kelompok pasien yang diberi acuphase, memiliki kemajuan
pengobatan dibandingkan dengan kelompok pasien yang diberi obat lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Chouinard et al (1994), menunjukan bahwa
kelompok pasien yang diberi acuphase memberikan hasil yang efektif, seperti
pemberian haloperidol secara IM, tetapi didapatkan peningkatan diskinesia pada
kelompok yang diberi acuphase.Hasil penelitian tersebut memperkuat bukti bahwa acuphase merupakan
alternatif yang efektif dibandingkan dengan obat konvensional yang diberikan
secara IM. Bagaimanapun juga, hanya sedikit bukti yang menunjukan bahwa obat
tersebut memiliki beberapa efek samping, walaupun Fitzgerald (1999)
menjelaskan bahwa terdapat beberapa keuntungan menggunakan acuphase,
dimana penggunaan obat tersebut berarti mengurangi banyaknya injeksi yang
dilakukan, sehingga mengurangi kerusakan jaringan dan otot akibat suntikan,
lebih sedikit trauma psikologis, lebih sedikit pengekangan pada pasien, lebih
sedikit luka fisik dan mengurangi beberapa gejala yang ada. Acuphase telah
dievaluasi pada pasien psikotik akut yang relaps, tetapi tidak pada pasien kontrol
dengan gangguan kepribadian akut. Hal yang menjadi masalah adalah area
penelitian yang tercakup, menunjukan bahwa banyak pasien yang terlibat
merupakan pasien dengan gangguan kepribadian akut dan kepribadian yang
kacau, tanpa adanya definisi yang jelas untuk membedakannya.
Secara keseluruhan, acuphase tidak direkomendasikan untuk mencapai RT,
karena onset dan lama kerja tidak dapat diprediksi secara tepat. Karena alasan
tersebut, obat ini tidak boleh diberikan untuk pasien yang meronta-ronta, karena
efek yang tidak baik pada miokardium. Sebagai tambahan, obat tersebut memiliki
onset 20 menit hingga 3 jam setelah pemberian, sehingga membatasi keamanan
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
16/24
penggunaan obat selanjutnya. Selain itu, obat ini juga tidak boleh diberikan pada
pasien dengan gejala neuroleptik yang dibuat buat.
Baik loxapine dan thiothixene telah dievaluasi penggunaannya dalam RT.
Tuason (1986) menjelaskan bahwa 25 mg loxapine IM memiliki efek yang sama
dengan haloperidol 5mg IM, yang diberikan untuk mengatasi pasien agresif
dengan skizofrenia, dan tidak ada perbedaan antara keduanya, berkenaan dengan
efek samping. Dubin dan Weiss (1986) membandingkan penggunaan loxapine
25mg IM dengan haloperidol 5mg IM, dan juga dengan thiothixene 10mg IM.
Keduanya menunjukan manfaat dan juga efek samping, tetapi loxapine IM
memberikan respon terapi yang lebih cepat.Chlorpromazine telah digunakan secara luas pada masa lampau untuk
mengatasi pasien yang agresif dan mengalami agitasi, oleh karena adanya efek
sedasi. Cunnanne (1994) melakukan survey bahwa banyak psikiater yang
memberikan terapi pada pasien skizofrenia, dengan chlorpromazine 100mg IM,
yang diulangi dalam 1- 6 jam. Penggunaan dengan dosis tersebut sudah tidak
direkomendasikan lagi. Man dan Chen (1973) membandingkan chlorpromazine
IM dengan haloperidol IM, dan menyimpulkan bahwa penggunaan
chlorpromazine dapat menyebabkan risiko terjadinya hipotensi lebih besar, walau
dengan penggunaan dosis 10mg. Maka dari itu, lebih disarankan penggunaan
haloperidol untuk RT.
E. Mengikuti Perjalanan RT
Jika pasien sudah tidak dalam keadaan ter-sedasi, obat oral harus
dilanjutkan. Tetapi bila obat oral ditolak oleh pasien, dan obat tetap harus
diberikan kepada pasien, maka dapat diberikan secara IM, berdasarkan regimen
dosis yang sesuai dengan pemberian secara IM. Sebagai contoh pada pasien yang
harus mengkonsumsi haloperidol 10mg secara oral, dapat diganti dengan
pemberian haloperidol 5mg secara IM. Olanzapine menunjukan efek toleransi
yang baik, ketika diubah dari 10mg IM menjadi 5-20mg oral per hari. Namun
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
17/24
adanya pengetahuan klinis yang kurang, dapat menyebabkan terjadinya
pemberian dosis berlebih ketika proses pengkonversian (Mullet et al , 1994).
Clopixol acuphase dapat digunakan dalam RT, walau obat tersebut
sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gejala neuroleptik yang palsu.
Menjadi penting untuk membedakan pasien dengan diagnosis dan status legal
sebelum diberikan obat anti psikotik. Kegunaan lithium dan obat mood-stabilizer
sebagai obat anti manik tidak boleh dilupakan setelah selesai pelaksanaan RT.
Penggunaan anxiolitik jangka pendek juga dapat membantu.
Gambar 4.2. Pedoman managemen gangguan perilaku akut yang sulit ditanggulangi
dengan RT. Diadaptasi dari The Maudsley Guidelines and Intended as Guidance Only
(Taylor et al , 2005).
Tingkat 3:Kegagalan respon terhadap pengobatan RT konvensional
Pertolongan/penguatan pengendalian staff perawat dan wawancara situasi saat itu
Keterlibatan RMO
Nasehat yang diharapkan obat, staf medis lainnya
Tinjauan kembali alasan yang memungkinkan terjadinya kegagalan, contoh : gangguan metabolik
Diazepan 10mg IV lambat dalam 5 menit. Ulangi setelah 10 menit jika dibutuhkan. Dapat dilakukan 3kali. Sediakan flumazenil untuk berjaga - jaga
Membutuhkan
Paraldehyde 5 10ml IM (jarang sekali) dan amylobarbitone 250mg IM dapat dipertimbangkan jikatidak ada obat lagi yang mampu mengatasi keadaan, tetapi obat tersebut diatas tidak disarankan
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
18/24
F. Bahaya yang Ditimbulkan dari RT
Sebagai bentuk dari intervensi farmakologi, RT juga memiliki tingkat
bahaya, sehingga dokter harus memperhitungkan rasio risiko yang ditimbulkan
dengan keuntungan yang didapatkan dari pengobatan. Penting bagi dokter untuk
menaksir terlalu rendah risiko inadekuat dari RT, yang dapat mencelakakan dan
merugikan pasien, dan orang lain. Faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan
adalah regimen obat yang saat ini digunakan untuk mengobati pasien, dan juga
intieraksi obat yang mungkin terjadi. Selain itu juga harus diperhatikan umur
pasien, keadaan fisik, dan usulan arah dari aturan penerapan RT. Apabila RT
dilakukan dengan penuh perhatian dan cermat, maka dapat memberikan hasilyang aman dan baik bagi pasien.
Untuk mengurangi risiko yang ada pada prosedur, pasien harus dikendalikan
secara aman. Injeksi yang dilakukan pada pasien yang meronta ronta atau tidak
tenang dapat mengakibatkan kesalahan penyuntikan, seperti penyuntikan yang
masuk ke arteri, kerusakan saraf, serta peningkatan dari bioavabilitas obat yang
masuk melalui peredaran darah (Thompson, 1994).
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
19/24
Pengendalian mungkin dapat diaplikasikan secara mekanik (misalnya : pengikat
kulit) seperti yang dijelaskan oleh Jacobs (1983). Di Inggris, pengendalian fisik
lebih sering terlihat sebagai bentuk dari control and restraint (C&R), sebuah
istilah yang menunjukkan sebuah kemampuan intervensi meliputi penguncian
pergelangan tangan yang dilakukan oleh tim yang terlatih untuk mengkontrol
pasien yang menyerang. Teknik-teknik ini direkomendasikan oleh perawat-
perawat professional sesuai dengan Kode Etik Praktek Kesehatan Mental, yang
menyarankan penggunaan pengendalian yang minimal untuk mengatasi bahaya,
(Departemen Kesehatan dan Kantor Wales, 1993). Oleh karena itu, C&R bukan
merupakan prosedur terapetik, walaupun pengalaman klinik menyarankan bahwaterkadang C&R dapat menjadi salah satu prosedur terapetik. Kriteria terpenting
untuk penggunaan C&R adalah C&R harus dilakukan oleh staf yang benar-benar
terlatih untuk melakukan C&R dengan aman, cepat dan secara efektif.
Alternatif RT yang paling terbatas adalah penggunaan pengasingan, sebuah
topik yang dibahas secara penuh di buku ini. Hal tersebut tidak membingungkan
jika pasien menyetujui dan mengetahui bahwa hal tersebut merupakan bagian dari
rencana perawatan mereka. Bahkan, pengasingan sering merupakan ukuran
kedaruratan yang digunakan untuk menghadapi situasi jangka pendek. Hal
tersebut berbeda dari pengendalian dalam seluruh kontak sosial yang menghapus
interaksi. Kode Etik Praktek Kesehatan Mental mendefinisikan pengasingan
sebagai pengawasan kurungan seo rang pasien di dalam sebuah ruangan yang
dapat dikunci untuk melindungi orang lain dari hal yang berbahaya, Departemen
Kesehatan dan Kantor Wales, 1993). Kode etik juga memberikan panduan
penggunaannya dan menyarankan bahwa hal ini seharusnya dilakukan sejarang
mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin dan hanya dilakukan ketika metode
alternatif yang lain telah gagal dilakukan. Pengasingan tidak disarankan untuk
dilakukan kepada mereka yang beresiko melukai dirinya sendiri dan bunuh diri.
Survei menunjukkan bahwa pengasingan digunakan untuk kondisi dan perilaku
yang sangat bervariasi. (Mattson dan Sacks 1978; Plutchik et al 1978; Russel et
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
20/24
al, 1986). Hal tersebut dapat mengatasi kecemasan staf dan gangguan pasien
(Russell et al , 1986). Bagaimanapun, terdapat sedikit bukti yang menyarankan
bahwa pengasingan menghasilkan perubahan perilaku jangka panjang,dan Kode
etik memperingatkan bahwa hal tersebut membahayakan hubungan antara staff
dan pasien (Soliday, 1985) serta status mental pasien (Plutchik et al, 1978; Binder
dan McCoy 1985; Wadeson dan Carpenter, 1976).
Terapi Electroconvulsive (ECT) dapat menjadi alternatif lain RT dalam
manajemen pasien yang agresif secara akurat, terutama ketika respon pasien
terhadap metode farmakologi lambat. ECT telah dijelaskan sebagai penanganan
yang efektif bagi gejala positif skizofrenia (Taylor dan Fleminger, 1980),walaupun manfaat utama ECT tampaknya adalah mempercepat respon pasien
pada pengobatan antipsikotik (Taylor, 1993). ECT juga efektif untuk pengobatan
mania; walaupun, saat ini ECT hanya direkomendasikan untuk penatalaksanaan
depresi berat., episode manik yang berat atau memanjang atau katatonia (
katatonia stupor atau eksitasi membuat peningkatan atau penurunan tonus otot
dan aktivitas yang dikaitkan oleh skizofren atau gangguan afektif) (NICE, 2003).
ECT tidak dapat ditempatkan sebagai pengganti RT dalam situasi darurat.
I. Pertimbangan Legal dan Pedoman Baku
Penggunaan RT secara jelas merupakan pelanggaran terhadap hak
kebebasan individu dan oleh karena itu, pemberian obat kepada seseorang tanpa
persetujuannya merupakan keputusan yang berat. Mempertimbangkan
perlindungan pada hak-hak pasien berlawanan dengan menyelamatkan orang lain.
Sebuah isu penting adalah hak pasien untuk menolak penanganan, diperdebatkan
dalam Rogers vs Commisioner di Amerika Serikat (Gutheil, 1985). Pengadilan
berpendapat bahwa mental pasien benar-benar dipertimbangkan kemampuannya
dan memiliki hak untuk menolak penatalaksanaan hingga divonis tidak mampu
oleh hakim. Jika pasien tidak mampu mempertimbangkan, kemudian hakim
memutuskan memilih penatalaksanaan yang paling mungkin dipilih oleh pasien
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
21/24
jika ia dalam keadaan dapat mempertimbangkan. Pengadilan menetapkan bahwa
hanya obat-obatan antipsikotik tertentu yang dapat diberikan tanpa persetujuan,
yakni dalam situasi darurat untuk mencegah substansial dan irreversible
deteriorasi penyakit mental yang berat. Sedangkan dalam situasi lainnya, psikiater
harus membawa pasien ke pengadilan sebelum penatalaksanaan diberikan.
Gutheil (1985) mengkritisi pandangan pengadilan mengenai pengobatan
antipsikotik sebagai penatalaksanaan luar biasa dan juga pandangan bahwa
pengadilan sedang mengatur asumsi dan dapat permusuhan antara dokter dan
pasien. Pengaturan tersebut akan menghasilkan penundaan penanganan pasien
dan memanjangnya waktu perawatan di rumah sakit. Pihak lain memperhatikanbahwa restriksi pemberian obat pada perilaku parah yang darurat sebenarnya
dapat membahayakan orang lain karena hal tersebut tidak memperbolehkan staf
medis memberikan penanganan untuk mencegah hal tersebut terjadi (Gutheil
1985; Moldin 1985). Pengadilan juga menyarankan bahwa pada kasus yang
dapat diprediksi izin dari pasien untuk mendapatkan perawatan dengan obat
antipsikotik seharusnya diperoleh ketika pasien dalam keadaan tenang dan
mampu memutuskan.
Selanjutnya pembahasan mengenai pedoman baku. Persiapan mengenai
pedoman baku untuk RT secara khusus dapat menjadi masalah pada pasien yang
tenang dan mampu memutuskan dapat menemui kesulitan untuk menerima
bahwa mereka membutuhkan RT (kemungkinan kekerasan tampaknya jauh) dan
diskusi nya sendiri dapat membahayakan hubungan terapetik. Begitu juga ketika
pedoman baku telah disiapkan dan tiba-tiba kekerasan terjadi di kemudian hari,
kapankah seharusnya persetujuan dari pasien tersebut diberikan beberapa minggu
atau bulan sebelumnya ? Pada beberapa yurisdiksi, persetujuan dapat diberikan
oleh pengganti yang telah diatur sebelumnya, namun hal ini dapat menyebabkan
penundaan yang tak semestinya (Fitzgerald, 1999). Panduan NICE,
bagaimanapun, merekomendasikan penggunaan pedoman baku dalam
penatalaksanaan skizofrenia (NICE 2002) dan beberapa usaha telah dibuat untuk
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
22/24
mengevaluasi efeknya (Papageorgiou et al . 2002; Henderson et al . 2004).
Papageorgiou et al . (2002) menemukan bahwa penggunaan pedoman baku tidak
berefek pada hak lima belas orang pasien ketika dibandingkan dengan enam belas
orang pada kelompok kontrol. Hal ini meletakkan ketrebatasan pada kepahaman
atau kemampuan berkonsentrasi di atas recruitment pedoman baku , keterbatasan
tilikan dan pengabaian penyakitnya atau kegagalan mengingat detail dari
pedoman baku selama satu tahun follow up, (Papageorgiou et al . 2002). Studi
selanjutnya membandingkan 14 pasien pedoman baku dengan 31 pasien
kelompok kontrol, ditemukan bahwa penggunaan pedoman baku mengurangi
angka perizinan kembali dalam waktu 15 bulan follow up dan juga angka hak wajib (Henderson et al . 2004). Walaupun jumlahnya kecil, namun kedua studi
mendukung penggunaan pedoman baku. Bagaimanapun, studi Papageorgiou et al .
menjelaskan bahwa pedoman baku saja tidak cukup. Dibutuhkan tingkat
kesesuaian staf yang dapat menyediakan dialog yang berkelanjutan mengenai
keinginan, kebutuhan pasien, serta kepahaman tentang penyakitnya.
Secara menguntungkan, di Inggris, sebagian kecil pengendalian RT telah
diperkenalkan dan alasan penilaian klinisnya pun telah diterima. Beberapa
ketidakleluasaan harus disimpan di dalam hati. Terkadang, RT dapat diberikan
kepada pasien secara informal, oleh karena itu penatalaksanaan diberikan
dibawah hukum yang berlaku. Dalam hal ini, tidaklah bijaksana untuk
memberikan long-acting neuroleptik seperti Clopixol Acuphase. Fitzgerald
mendiskusikan masalah etik penggunaan intermediate acting neuroleptik untuk
RT seperti Clopixol Acuphase dan menunjukkan bahwa walaupun Acuphase
bekerja di atas waktu kebutuhan untuk pengendalian, namun hal tersebut
memaksimalkan hak otonomi pasien dengan mengurangi kebutuhan injeksi
multiple (Fitzgerald, 1999). Bagaimanapun, poin pentingnya adalah diskusi
mengenai diskriminasi antara pengendalian dan penatalaksanaan. Pengobatan IM
short- acting dapat dipertimbangkan sebagai bentuk pengendalian kimiawi,
namun Acuphase pasti tidak termasuk dalam kategori ini.
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
23/24
Secara umum, bagian Etik Kesehatan Mental seharusnya dilembagakan
sesegera mungkin. Persamaan bagi pasien pada Section 5(2) dimana bagian ini
hanya membantu. Kedekatan relative harus diinformasikan mengenai pemberian
obat-obatan pada waktu yang sesuai dan mengapa hal tersebut penting dilakukan.
Lord Donaldson mengklarifikasikan indikasi bagi penatalaksanaan medis
menurut hukum yang berlaku. Pertama, dokter perlu menilai kapasitas pasien
sebelum informed consent padanya, jika pasien dapat memberikan
persetujuannya, maka kewajiban dokter adalah merawat pasien tersebut sebaik
mungkin sesuai keinginan mereka (misalnya : menyelamatkan nyawa). Dokter
dianggap melakukan hal terbaik bagi pasien jika dirinya bertindak berdasarkanpraktik terkini oleh pendapat medis yang bertanggung jawab.
Pernyataan-pernyataan yang mencakup RT menurut hukum :
- Diizinkan memberikan penatalaksanaan kepada pasien yang sedang menderita
gangguan mental yang dapat membahayakan dirinya atau orang lain walaupun
pasien tersebut tidak dapat memberikan persetujuannya.
- Pasien yang menderita gangguan mental tidak memiliki kapasitas mental pada
level yang dibutuhkan (Jones, 1996).
Kemampuan untuk memberikan informed consent menimbulkan masalah
tersendiri bagi dokter. Pasien yang agresif tidak akan dapat bekerja sama dalam
penilaian kompetensi tetapi dapat dianggap tidak kompeten seperti yang telah
dijelaskan di atas. Tetapi masih diperdebatkan, bahkan pada keadaan psikotik
aktif. Pasien dapat memiliki kemampuan untuk memberi persetujuan.
Secara jelas, dala RT, penilaian kemapuan memberkan persetujuan
merupakan permasalahan tersendiri, walaupun pasien dapat memberikan
persetujuannya, pengobatan dapat diberikan jika dia menderita gangguan mental
yang dapat membahayakan orang lain.
RT adalah prosedur yang tidak seharusnya dilakukan tanpa
mempertimbangkan alternatif lain terlebih dahulu. Namun, hal yang harus
diperhatikan meliputi, penghormatan terhadap hak-hak pasien, pilihan pengobatan
8/3/2019 Refrat Psikiatri kita
24/24
dan monitoring fisik, kemudian prosedur yang aman, dapat diterima untuk
mengkontrol gangguan, secara potensial menimbulkan perilaku gangguan mental
yang berbahaya.
J. Dedikasi
Bab ini didedikasikan kepada (Alm) Professor Lyn Pilowsky. Lyn
memberikan kontribusi yang luar biasai dalam studi psikofarmakologi skizofren
dan dengan sempurna menggunakan pengetahuannya dalam klinik. Pendekatan
klinis dalam bab ini hasil dari pengetahuan yang dikembangkan dalam PICU
dibawah supervise Lyn Pilowsky.