Post on 24-May-2015
description
Danang Girindrawardana
Ketua Ombudsman Republik Indonesia 1
Arsitektur Kabinet Jokowi JK :
Reformasi Birokrasi Tidak Perlu Lagi? Danang Girindrawardana
Ketua Ombudsman Republik Indonesia
Latar Belakang Pemikiran
Hiruk pikuk arsitektur kabinet 2014-2019 Presiden dan Wakil Presiden terpilih
Jokowi dan Jusuf Kalla, oleh berbagai pihak yang memiliki perhatian terhadap
pemerintahan yang mengusulkan perombakan arsitektur kabinet. Beberapa opsi
yang disodorkan tampak begitu meyakinkan diatas kertas akan mewujudkan
pemerintahan yang mumpuni mencapai salah satu tujuan negara, yaitu
meningkatkan kesejahteraan bangsa. Benarkah akan tercapai tujuan itu dengan
berbagai usulan opsi arsitektur kabinet yang disodorkan itu?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu melihat bahwa setelah 69 tahun
republik ini merdeka tujuan peningkatan kesejahteraan bangsa belum bisa tercapai.
Tren penurunan angka kemiskinan tidak banyak berubah dan setengah jumlah
penduduk berada di bawah garis kemiskinan, hampir miskin atau rentan miskin. IPM
(Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia juga belum menunjukkan perbaikan
berarti selama 10 tahun, di urutan 108, Indonesia belum beranjak dari satu kelompok
dengan Filipina, Vietnam, Timor Leste, Kamboja, dan Laos. Akselerasi IPM Indonesia
2000–2013 rata-rata 0,9 %/th, dibawah rata-rata pertumbuhan IPM negera-negara
kelompok menengah (1,17%) serta Asia Timur dan Pasifik (1,29%).
Reduksi angka kemiskinan dan capaian IPM itu menunjukkan hasil (outcome)
dari kinerja pelayanan publik yang jauh dari kualitas. Padahal kualitas pelayanan
publik dasar dan pelayanan publik perijinan investasi adalah dua hal penting dalam
agenda pengentasan kemiskinan dan peningkatan IPM. Sementara ini, ranking
kualitas pelayanan publik kita berada di 129 dari 183 negara, prestasi negatif dalam
indeks kemudahan berusaha (starting a business) di urutan 161 dari 183 negara.
Mencermati keadaan tersebut diusulkanlah opsi-opsi desain arsitektur kabinet
dalam rangka membumikan visi misi Presiden terpilih dan menjanjikan kualitas
kinerja pemerintahan. Namun yang sangat perlu diperhatikan dalam apapun
keputusan Presiden terpilih mengenai desain arsitektur, tidak akan bisa terhindar
dari manajemen eksekusi kebijakan yaitu leadership (Presiden dengan kebijakan
makro), managing execution team (Kabinet atau para Menteri, Kepala Lembaga dan
Danang Girindrawardana
Ketua Ombudsman Republik Indonesia 2
Dearah sebagai pelaksana kebijakan) dan feedback. Komponen feedback (umpan
balik atau pengawasan atau pengumpan celah kebijakan dan implementasinya) ini
menjadi penentu apakah seluruh sistem manajemen itu bisa berjalan dengan baik
atau tidak.
Feedback menjadi unsur penting dalam sistem operasi jenis apapun. Sama
halnya dengan manajemen pemerintahan, untuk berjalan dengan baik memerlukan
feedback, dari internal dan eksternal. Feedback diperlukan untuk preferensi, koreksi,
umpan penyesuaian kebijakan atau implementasinya. Meskipun dalam
pelaksanaannya belum memuaskan, namun Indonesia telah memiliki sistem
feedback itu baik internal atau eksternal. Secara internal, peran feedback itu
dilakukan oleh Kementerian PAN RB, BPKP, Inspektorat, ditambah UKP4. Secara
eksternal oleh BPK, KPK, Ombudsman Republik Indonesia, KIP dan masyarakat.
Sayangnya, desain arsitektur kabinet yang disodorkan saat ini nampak
menurunkan pentingnya sistem feedback. Tulisan ini mengedepankan opsi lain yang
mengedepankan reformasi birokrasi dan sistem pengawasan untuk merealisasikan
pemerintahan bersih berwibawa dan pelayanan publik yang berkualitas.
Optimalisasi Sistem Pengawasan : Metamorfosa Kementerian PAN
dan RB menjadi Kementerian Pengawasan dan RB
Saya terkejut ketika mempelajari opsi arsitektur kabinet 2014 - 2019 yang
disodorkan kepada Presiden terpilih yaitu dengan menghilangkan Kementerian PAN
RB dan menempatkan fungsi penataan birokrasi hanya sebagai salah satu urusan
kantor kepresidenan. Karena saya yakin tidak akan muncul kewenangan sepadan
yang bisa dilakukan oleh 'Kantor Kepresidenan Urusan Birokrasi' ketika berhadapan
dengan KL dan Pemda yang memiliki hierarki kewenangan yang lebih tinggi. Padahal,
kewenangan menata ranting kewenangan yang tumpang tindih dan perilaku aparatur
diperlukan kewenangan yang setara untuk mereduksi egosektoral KL dan Pemda.
Saya kira, desain arsitektur kabinet untuk mengoperasionalisasikan pemikiran
Jokowi JK terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan publik dan sistem
pengawasan, tidak perlu memaksakan desain baru yang merepresentasikan bentuk
pemerintahan negara lain yang berpotensi berbenturan dengan berbagai peraturan
perundang-undangan yang bakalan mengakibatkan kerepotan besar di tahap awal
pemerintahan Jokowi JK.
Danang Girindrawardana
Ketua Ombudsman Republik Indonesia 3
Bahwa saat ini terdapat 3 (tiga) buah UU yang terkait erat dengan Reformasi
Birokrasi dan Tugas Fungsi Kementerian PAN RB, yaitu UU 17 Th 2007 Tentang
RPJPN, UU 25 Th 2009 Tentang Pelayanan Publik, UU 5 Th 2009 Tentang Aparatur
Sipil Negara; maka niatan untuk menurunkan derajat kelembagaan yang mengurus
reformasi birokrasi menjadi salah satu urusan kantor kepresidenan adalah kurang
tepat untuk merespon kegentingan kinerja birokrasi saat ini.
RPJPN 2005-2025 tertuang dalam UU No 17 Tahun 2007, mengamanatkan
pemerintah mereformasi bidang hukum dan aparatur negara. UU RPJPN
mendesakkan perubahan mendasar terhadap kinerja aparatur dan birokrasi yang
saat ini menghadapi kompleksitas desentralisasi, demokratisasi, globalisasi, dan
revolusi teknologi informasi, termasuk tuntutan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan negara yang perlu terus dibangun dalam rangka mewujudkan tata
pemerintahan yang baik. Tingkat partisipasi masyarakat yang rendah akan membuat
aparatur negara merasa jumawa dan tidak peduli dengan masyarakat yang
dilayaninya sehingga tidak mampu mencapai target pembangunan dengan tepat.
UU 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik mengamatkan Menteri yang
membidangi Aparatur Negara untuk melaksanakan tugas-tugas dan fungsi terkait
demi peningkatan kualitas pelayanan publik. UU 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil
Negara fokus pada eskalasi profesionalitas aparatur negara dengan pendekatan
manajemen SDM yang modern untuk menjawab tantangan profesionalitas aparatur.
Latar belakang opsi yang menurunkan derajat urusan birokrasi menjadi urusan
kantor kepresidenan adalah karena jumlah kelembagaan. Terdapat 34 Kementerian
dan sekitar 90-an LPNK dan LNS, dinilai mengakibatkan tidak efisiennya APBN karena
mendorong besarnya belanja pegawai aparatur pusat dan daerah yang pada APBN
2015 diprediksi menelan total 263 trilyun atau 13 persen dari asumsi APBN 2000
trilyun. Angka ini jauh dibawah belanja subsidi energi 363.5 trilyun (termasuk BBM).
Saat ini jumlah PNS sekitar 4,7 juta orang, dan dalam 5 tahun diproyeksi tumbuh
kebutuhan sekitar 500 ribu orang yang juga bukan angka yang terlalu besar
mengingat perbandingan jumlah aparatur dengan penduduk yang dilayani stagnan
sekitar 1,7%; lagipula menjadi kewajiban negara untuk meningkatkan kesejahteraan
aparatur termasuk TNI dan Polri. Angka ini jauh di bawah negara lain, contoh
Singapura sekitar 2% dan memiliki kualitas pelayanan publik terbaik di Asean.
Artinya, yang menjadi kendala saat ini adalah bukan jumlah aparaturnya tetapi
ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan realokasi jabatan struktural
menjadi fungsional, redistribusi penugasan dan reedukasi intensif aparaturnya,
sampai ke tingkat pemerintah daerah.
Danang Girindrawardana
Ketua Ombudsman Republik Indonesia 4
Bahwa kelembagaan yang besar mengakibatkan berbagai regulasi tumpang
tindih antar KL dan Pemda, itu benar. Porsi penting yang perlu dipikirkan dalam
arsitektur kelembagaan saat ini adalah memangkas ranting-ranting kewenangan KL
di pusat dan mendelegasikan sebanyak mungkin ke daerah otonom. Seandainya
ranting kewenangan yang dipangkas sebagai akibat dari penataan kewenangan yang
tumpang tindih itu ternyata adalah pokok kewenangan, maka baru dilakukan merger
atau penggabungannya.
Tetapi sayangnya, opsi yang disodorkan kepada Jokowi JK kurang memiliki
sensitifitas tinggi terhadap agenda reformasi birokrasi dan tata kelola sebagaimana
amanat 3 buah UU terbaru tersebut. Tantangan terbesar bagi Presiden nanti bukan
hanya perubahan orientasi pembangunan namun juga adalah membumikan
perubahan itu melalui peningkatan kinerja aparatur pemerintah pusat dan daerah.
Mengejar pertumbuhan ekonomi diatas 7% hanya bisa dilakukan bila
pembangunan infrastruktur masif dan terdapat kualitas pelayanan publik bidang
perijinan investasi; maka untuk itu diperlukan reformasi pada titik utamanya
(leverage factor) yaitu kinerja aparatur sebagai fasilitator pembangunan dan pelayan
investasi. Sedangkan dalam hal peningkatan kinerja aparatur diperlukan agenda
reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang berkelanjutan. Jadi, jangan
dipahami reformasi sebagai renovasi total rumahnya tetapi adalah revolusi mental
(menggunakan bahasa Jokowi) perilaku penghuninya.
Jokowi dalam berbagai kesempatan mengemukakan pentingnya peningkatan
kualitas pelayanan publik dan sistem pengawasan yang efektif. Bagaimana
mengoperasionalisasikan pemikiran Jokowi ini? Beliau mengatakan bahwa saat ini
diperlukan sistem pemerintahan berbasis IT sehingga lebih transparan, partisipatif
dan akuntabel, yang mampu mendorong kinerja organisasi publik. Pendekatan ini
bisa mencegah korupsi. Namun dalam konteks pelayanan publik, rendahnya
kualitas bukan hanya disebabkan oleh korupsi, karena selain korupsi ada
maladministrasi. Maladministrasi adalah awal korupsi. Tidak ada korupsi jika tidak
ada maladministrasi sebelumnya. Tetapi, maladministrasi tidak selalu berujung
korupsi, maka tidak bisa diancam hukuman pidana. Maladministrasi adalah tindakan
pengabaian kewajiban hukum dengan berbagai jenisnya, termasuk yang paling
menonjol adalah ketidakpastian pelayanan dan rendahnya mutu pelayanan publik.
Perilaku ini adalah kanker dalam patologi birokrasi yang masih mewabah di republik
ini.
Salah satu unsur pemerintah yang diharapkan mampu mencegah
maladministrasi dan korupsi adalah pengawas internal atau inspektorat. Namun,
Danang Girindrawardana
Ketua Ombudsman Republik Indonesia 5
benar bahwa sampai saat ini kinerja inspektorat terkungkung dalam ketidak-
independenan-nya, sebabnya adalah karena ia dipilih, ditunjuk dan atau ditugaskan
oleh pimpinan tertinggi dalam lembaga publik tersebut. Akibatnya, misi pencegahan
maladministrasi, korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik sulit tercapai
karena masalah independensi inspektorat.
Strategi memperbaiki kelemahan ini bisa dilakukan dalam waktu relatif
cepat yaitu menarik para inspektorat itu ke arah dipilih dan bertanggung jawab
kepada Kementerian PAN RB. Dengan independensi ini, inspektorat menjadi titik
hubung sinergis dengan lembaga negara pengawas lainnya (misalnya KPK dan
Ombudsman), ini akan jauh lebih efektif untuk memastikan kinerja pemerintahan
bersih, berwibawa dan kualitas pelayanan publik. Sistem rotasi dan edukasi bisa
dilakukan agar inspektorat tidak terjebak dalam ritme emosional instansi setempat.
Memposisikan inspektorat ditempatkan oleh dan bertanggung jawab kepada
Kementerian PAN RB bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan lebih berdaya guna,
meskipun memerlukan penyesuaian tusi Kementerian PAN RB. Sementara disisi lain,
BPKP telah memiliki kesiapan infrastruktur SDM dan fisik yang jauh lebih baik,
namun secara kelembagaan BPKP berada dibawah kementerian sehingga sekaligus
memiliki kelemahan mendasar sebagai LPNK. Karena itu, untuk mengatasi
kelemahan dan memanfaatkan kesiapan BPKP, menggabungkan BPKP kedalam
Kementerian PAN RB bisa dilakukan sehingga misi pengawasan secara optimal bisa
berdampingan sinergis dengan misi program reformasi birokrasi. Kementerian PAN
RB perlu bermetamorfosa menjadi Kementerian Pengawasan dan RB, yang
memiliki fungsi pengawasan dan fungsi reformasi birokrasi dengan kewenangan
setingkat Kementerian, bukan setingkat LPNK. Dalam rangka optimalisasi sistem
pengawasan ini UKP4 bisa digabungkan kedalam Kementerian Pengawasan dan RB
dan “Sistem Lapor” oleh UKP4 bisa dipindahkan ke Ombudsman RI.
UU 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik mengamanatkan Kementerian
yang membidangi aparatur untuk melakukan penyelesaian masalah-masalah yang
terjadi antar penyelenggara pelayanan publik (Pasal 7 UU PP). Artinya, overlapping
berbagai ranting kewenangan KL dan Pemda terutama dalam bidang pelayanan
perijinan investasi menjadi tanggungjawab Kementerian Pengawasan dan RB untuk
memangkasnya, sekaligus tanggung jawab monitoring dan evaluasi kinerja
penyelenggara pelayanan publik pemerintahan dalam tingkat apapun.
Sebagai kementerian pengawas dan pengawal reformasi birokrasi,
Kementerian Pengawas dan RB sebaiknya dipimpin oleh orang yang memahami
urgensi dan seluk beluk pelayanan publik dan penuh keberanian melakukan
Danang Girindrawardana
Ketua Ombudsman Republik Indonesia 6
reformasi frontal. Karena reformasi tidak akan menyenangkan semua orang,
bahkan bisa menyakiti sebagian orang. Terutama dalam hal memangkas ranting-
ranting kewenangan lembaga lain. Kewenangan seperti itu tidak akan dihasilkan dari
kelembagaan yang rendah atau tidak sejajar.
Terhadap harapan Jokowi atas lemahnya sistem pengawasan, perlu
memperhatikan UU Pelayanan Publik yang didalamnya telah memuat sistem
pengawasan dan sanksi dalam hal pelayanan publik. Negara ini telah melahirkan UU
yang bagus dalam hal pelayanan publik, namun yang menjadi hambatan adalah
ketidakpatuhan implementatifnya. Hambatan implementatif itu perlu diatasi secara
sinergis oleh Kementerian Pengawas dan RB (sebagai induk pengawas internal)
dengan Ombudsman Republik Indonesia (sebagai pengawas eksternal) untuk
'memaksa kepatuhan kebijakan standar pelayanan publik.'
Sistem pengawasan eksternal juga perlu diperhatikan. Jokowi sangat
akomodatif terhadap keluhan publik dan sangat menghormati eksistensi lembaga-
lembaga eksternal. Hal ini harus diikuti oleh jajaran kabinet Presiden nanti dan
sekaligus menjadi keteladanan bagi para pimpinan daerah.
Mengapa hal ini perlu ditekankan, karena praktek selama ini lembaga-
lembaga pengawas eksternal meskipun ada yang dilahirkan oleh Undang-undang
sebagai amanat negara namun pemerintah pusat maupun daerah masih
melakukan pengabaian baik melalui politik anggaran ataupun kebijakan protokoler
yang secara langsung ataupun tidak langsung telah mengerdilkan eksistensi
kembaga-lembaga pengawas eksternal tersebut. Lembaga negara pengawas
eksternal seperti KPK, Ombudsman, PPATK, KIP, memiliki peran dan fungsi penting
dalam sistem feedback manajemen pemerintahan dalam bentuk sanksi atau
rekomendasi, pengelolaan harapan publik, penyelesaian sengketa pelayanan publik,
koreksi atas implementasi kebijakan publik, dan lain sebagainya. Dengan
mengedepankan perhatian terhadap lembaga-lembaga negara ini, Pemerintah akan
semakin berwibawa karena melindungi partisipasi publik yang disalurkan melalui
lembaga-lembaga pengawas.
Demikian, terima kasih Danang Girindrawardana Ketua Ombudsman Republik Indonesia
Danang Girindrawardana
Ketua Ombudsman Republik Indonesia 7
Intisari Tulisan
1. Saat ini Negara masih dilanda masalah kegentingan kinerja birokrasi yang
mengakibatkan kualitas pelayanan publik jauh dari kualitas, sehingga
diperlukan agenda reformasi birokrasi dan tata kelola yang berkelanjutan.
2. Reduksi angka kemiskinan dan capaian IPM Indonesia sepuluh tahun terakhir
menunjukkan hasil (outcome) kinerja pelayanan publik yang jauh dari kualitas;
padahal kualitas pelayanan publik dasar dan pelayanan perijinan investasi
adalah dua hal utama dalam upaya pengentasan kemiskinan dan IPM.
3. Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik tidak perlu memaksakan
desain baru yang merepresentasikan kelembagaan pemerintahan lain yang
bakal berbenturan dengan UU yang merepotkan diawal pemerintahan, jauh
lebih penting adalah memodernisasi sistem pengawasannya.
4. Opsi-opsi arsitektur kabinet yang disodorkan kepada Presiden terpilih
berusaha mengesampingkan agenda Reformasi Birokrasi, padahal terdapat 3
buah UU terkait erat dengan Reformasi Birokrasi dan Tugas Fungsi Kementerian
PAN RB yaitu UU 17 Th 2007 Tentang RPJPN; UU 25 Th 2009 Tentang Pelayanan
Publik; dan UU 5 Th 2009 Tentang Aparatur Sipil Negara, maka menurunkan
derajat kelembagaan Kementerian PAN RB menjadi salah satu urusan kantor
kepresidenan akan menghilangkan daya paksa implementatif UU tersebut
sehingga kurang tepat untuk merespon kegentingan kinerja birokrasi saat ini.
5. Agenda reformasi birokrasi bukan berarti melakukan perombakan total
kelembagaannya (rumahnya) tetapi adalah revolusi mental (menggunakan
bahasa Jokowi) perilaku aparatur (penghuninya) sehingga sinergis saling
berkemauan memangkas ranting-ranting kewenangan yang tumpang tindih.
6. Kami usulkan kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dalam rangka
percepatan peningkatan pelayanan public dan optimalisasi pengawasan,
supaya:
a) Kabinet 2014-2019 perlu menempatkan prioritas program reformasi
birokrasi, tata kelola pemerintahan, peningkatan kualitas pelayanan publik
secara berkelanjutan.
b) Kementerian PAN RB bermetamorfosa menjadi Kementerian Pengawasan
dan RB, yang melaksanakan kebijakan Presiden dalam misi pengawasan dan
reformasi birokrasi.
Danang Girindrawardana
Ketua Ombudsman Republik Indonesia 8
c) Untuk memanfaatkan kesiapan BPKP terutama dalam hal infrastruktur SDM
dan mengatasi kelemahannya terutama dalam hal kelembagaannya, bisa
dilakukan dengan menggabungkan BPKP ke dalam rumpun Kementerian
PAN RB sehingga misi pengawasan bisa dilakukan secara optimal dan
berdampingan sinergis dengan misi reformasi birokrasi.
d) Untuk meningkatkan independensi pengawas internal, maka Inspektorat
Jenderal atau Kepala Inspektorat ditempatkan ke dalam institusi
pemerintahan pusat dan daerah oleh Menteri Pengawasan dan RB;
sementara edukasi inspektoratnya tetap dilakukan oleh BPKP.
e) Dalam meningkatkan optimalisasi sistem pengawasan, tugas fungsi UKP4
perlu digabungkan kedalam Kementerian Pengawasan dan RB; system
Lapor yang selama ini dikelola oleh UKP4 bisa dipindahkan ke Ombudsman.
f) Meningkatkan perhatian Pemerintah untuk memperkuat Lembaga-lembaga
Negara eksternal yang berperan dalam pembangunan kualitas pelayanan
publik, pemerintahan yang bersih dari KKN dan perlu menghapus Lembaga-
lembaga yang tidak kontributif merealisasikan visi pembangunan nasional.
Terima kasih atas perhatiannya Danang Girindrawardana Ketua Ombudsman Republik Indonesia