Post on 09-Dec-2014
description
sejarah perkembangan psikolinguistik
SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLINGUISTIK
A. PENDAHULUAN
Psikolinguistik merupakan ilmu yang dikaji secara terpisah baik oleh pakar linguistik maupun pakar psikologi. Istilah
psikolinguistik sendiri pertama kali digunakan oleh Thomas A. Sebeok dan Charles E. Osgood pada tahun 1954 pada
sebuah buku yang berjudul Psycholinguistik : A Survey of Theory and Research Problems. . Dasar-dasar ilmu
psikologi menurut Osgoods dan Sebeok adalah :
a. Psikolinguistik adalah suatu teori linguistik berdasarkan bahasa yang dianggap sistem elemen yang saling
berhubungan erat.
b. Psikolinguistik adalah satu teori pembelajaran yang berdasar pada bahasa yang dianggap sebagai sistem tabiat.
c. Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap bahasa sebagai alat untuk menyampaikan suatu benda.
Psikolinguistik adalah ilmu gabungan antara dua ilmu: psikologi (kejiwaan) dan linguistik (kebahasaan). Maka
psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam rangka bahasa.
Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama:
a) Komprehensi, yakni proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga dapat menangkap apa yang dikatakan orang
dan memahami apa yang dimaksud.
b) Produksi, yakni proses-proses mental pada diri manusia yang membuatnya dapat berujar seperti yang ujarkan.
c) Landasan biologis serta neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa.
d) Pemerolehan bahasa, yakni bagaimana cara seseorang memperoleh bahasa.
B. PEMBAHASAN
Pada perkembangannya, ada beberapa pakar psikologi yang juga tertarik untuk mengkaji psikologi secara linguistis.
Mereka adalah:
1. Watson (1878-1958), menyamakan antara perilaku berbahasa dengan perilaku lainnya seperti makan, berjalan, dll.
Perilaku bahasa menurut Watson adalah hubungan stimulus-respons yang menyamakan perilaku kata dengan benda.
2. John Dewey (1859-1952), menafsirkan bahasa anak-anak berdasarkan prinsip-prinsip psikologi. Beliau
menyarankan agar penggolongan kata untuk anak-anak berdasarkan pada makna yang dipahami anak-anak.
3. Wundt (1932-1920), mengjelaskan bahasa alat untuk melahirkan pikiran. Hal ini terjadi karena terdapat perasaan-
perasaan serta gerak-gerak yang melahirkan bahasa secara tidak sadar. Menurut Wund, satu kalimat merupakan suatu
kejadian akal yang terjadi secara serempak. Wundt terkenal dengan teori performansi bahasa (language 4
performance). Teori ini menjelaskan dua aspek, yakni fenomena luar (citra bunyi) dan fenomena dalam (rekaman
pikiran).
4. Karl Buchler, menyatakan bahwa bahasa manusia memiliki tiga fungsi yang disebut Organon Modell der Saprch
yaitu, Kungabe adalah tindakan komunikatif berwujud verbal. Appell adalah permintaan yang ditujukan kepada orang
lain. Darstellung adalah penggambaran masalah pokok yang dikomunikasikan.
5. Weiss, mengakui adanya aspek mental dalam bahasa. Hanya saja, karena wujud bahasa tidak tampil secara fisik
maka sukar dikaji dan diwujudkan kecuali bahasa berada pada konteks sosialnya. Masalah yang berhasil dipecahkn
adalah:
a. Bahasa merupakan satu kumpulan respons yang jumlahnya tidak terbatas terhadap suatu stimulus.
b. Pada dasarnya, perilaku bahasa menyatukan anggota suatu masyarakat ke dalam organisasi gerak syaraf.
c. Perilaku bahasa adalah sebuah alat untuk mengubah dan meragamkan kegiatan seseorang sebagai hasil warisan dan
hasil perolehan.
d. Bahasa dapat merupakan stimulus terhadap suatu respons.
e. Respons bahasa sebagai suatu stimulus pengganti untuk benda dan keadaan yang sebenarnya memungkinkan kita
untuk memunculkan kembali suatu hal yang pernah terjadi, dan menganalisis kejadian ini dalam bagian-bagian.
Perkembangan disiplin ilmu psikolinguistik telah merangsang Mehler dan Noizet (1974), menuliskan ada tiga generasi
perkembangan psikolinguistik.
1. Psikolinguistik Generasi Pertama
Ditandai oleh penulisan artikel “Psycholinguistics : A Survey of Thery and Research Problems” yang disunting oleh
C. Osgoods dan Sebeok. Maka kedua tokoh ini dinobatkan sebagai tokoh psikolinguistik generasi pertama. Menurut
Parera (1996) dalam Abdul Chaer generasi pertama memiliki tida kelemahan :
a. Adanya sifat reaktif dari psikolinguistik tentang bahasa yang memandang bahwa bahasa bukanlah satu tindakan
atau perbuatan manusiawi melainkan dipandang sebagai satu stimulus-respons.
b. Psikolinguistik bersifat atomistik. Sifat ini nampak jelas ketika Osgoods mengungkapkan teori pemerolehan bahasa
bahwa jumlah pemerolehan bahasa adalah kemampuan untuk membedakan kata atau bentuk yang berbeda, dan
kemampuan untuk melakukan generalisasi.
c. Bersifat individualis. Teorinya menekankah pada eprilaku berbahasa individu-individu yang terisolasi dari
amsyarakat dan komunikasi nyata.
2. Psikolinguistik Generasi Kedua
Psikologi generasi ini berpendapat bahwa dalam proses berbahasa bukanlah butir-butir bahasa yang diperoleh,
melaikan kaidah dan sistem kaidahnya. Penggabungan antara Miller dan Chomsky merupakan penggabungan model
linguistik tatabahasa yang relatif berbeda dengan proses psikologi. Tokoh fase ini lebih mengarah pada manifestasi
ujaran sebagai bentuk linguistik. G.S. Miller dan Noam Chomsky menyatakan beberapa hal tentang psikolinguistik:
a. Dalam komunikasi verbal, tidak semua ciri-ciri fisiknya jelas dan terang, dan tidak semua cirinya terang dalam
ujaran.
b. Makna sebuah tuturan tidak boleh dikacaukan dengan apa yang ditunjukkan. Makna adalah sesuatu yang sangat
kompleks yang menyangkut antar hubungan simbol-simbol atau lambang-lambang
c. Struktur sintaksis sebuah kalimat terdiri atas satuan interaksi antara makna kata yang terdapat dalam kalimat
tersebut.
d. Jumlah kalimat dan jumlah makna yang dapat dinyatakan tidak terbatas jumlahnya.
e. Ada komponen biologis yang besar untuk menentukan kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa ini tidak
tergantung pada intelegensi dan besarnya otak, melainkan bergantung pada “manusia”.
3. Psikolinguistik Gegerasi Ketiga
Kekurangan analisis pada psikolinguistik generasi kedua kemudian diperbaharui oleh psikolinguistik generasi ketiga.
G. Werstch dalam bukunya Two Problems for the New Psycholinguistics memberi karakteristik baru ilmu ini sebagai
“psikolinguistik baru”. Beberapa ciri psiklonguistik generasi ketiga ini adalah :
a. Orientasinya kepada psikologi, tetapi bukan psikologi perilaku.
b. Keterlepasan mereka dari kerangka “psikolinguistik kalimat”, dan lebih mengarah pada “psikolnguistik situasi dan
konteks”.
c. Adanya pergeseran dari analisis proses ujaran yang abstrak ke satu analisis psikologis mengenai komunikasi dan
pikiran.
C. SIMPULAN
Psikolinguistik merupakan ilmu yang dikaji secara terpisah baik oleh pakar linguistik maupun pakar psikologi. Istilah
psikolinguistik sendiri pertama kali digunakan oleh Thomas A. Sebeok dan Charles E. Osgood pada tahun 1954 pada
sebuah buku yang berjudul Psycholinguistik : A Survey of Theory and Research Problems.
Dan Pada perkembangannya, ada beberapa pakar psikologi yang juga tertarik untuk mengkaji psikologi secara
linguistis. Pakar-pakar itu adalah John Dewey, Karl Buchler, Wundt, Watson, dan Weiss. Dalam Perkembangan
disiplin ilmu psikolinguistik telah merangsang Mehler dan Noizet (1974), menuliskan ada tiga generasi perkembangan
psikolinguistik.
1. Psikolinguistik Generasi Pertama ditandai penulisan artikel oleh C.Osgoods dan Sebeok.
2. Psikolinguistik Generasi Kedua yaitu penggabungan antara Miller dan Chomsky merupakan penggabungan model
linguistik tatabahasa yang relatif berbeda dengan proses psikologi.
3. Psikolinguistik Gegerasi Ketiga yaitu oleh G. Werstch dalam bukunya Two Problems for the New
Psycholinguistics.
Bagaimana manusia memahami bahasa, memproduksi bahasa dan bagaimana mereka memperoleh kedua
kemampuan tersebut. Pemahaman dapat didefinisikan dalam dua sudut pandang: dalam arti sempit dan
dalam arti luas. Dalam arti sempit pemahaman berarti proses mental untuk menangkap bunyi-bunyi yang
diujarkan seorang penutur untuk membangun sebuah interpretasi mengenai apa yang dia anggap
dimaksudkan oleh si penutur, sedangkan dalam arti luas, hasil interpretasi tersebut digunakan untuk
melakukan tindakan-tindakan yang relevan.
Produksi sering diidentikkan dengan berbicara, meskipun produksi juga mencakup menulis. Dalam
berbicara, juga menulis, seorang penutur melakukan dua jenis kegiatan, yaitu merencanakan dan
melaksanakan yang meliputi tatar wacana, tatar kalimat, tatar konstituen, program artikulasi dan
artikulasi.
b. Perbedaan antara kajian Psikolinguistik dan Sosio-linguistik
Menurut Foos (dalam Herman J. Waluyo, 2006:1) psikolinguistik adalah ilmu yang menelaah tentang
apa yang diperoleh seseorang, jika mereka melaksanakan proses perolehan bahasa (language acquisition);
bagaimana mereka memperoleh bahasa (producing language and speech); bagaimana mereka menggunakan
bahasa dalam proses mengingat dari memahami bahasa itu (comprehension and memory). Psikolinguistik
berhubungan erat dengan psikologi kognitif, yakni psikologi yang membahasa tentang pemaman dan
berfikir.
Dari pengertian yang dinyatakan Foos tersebut dapat dilihat, bahwa psikolinguistik berhubungan
dengan: (1) proses perolehan bahasa, (2) proses produksi bahasa, dan (3) proses pemahaman dan ingatan.
Dalam proses produksi bahasa dibahas juga proses kerja otak manusia. Dalam hal ini kita berhadapan
dengan neorolinguistik. Dalam proses perolehan bahasa, kita dihadapkan juga dengan perkembangan bahasa
anak. Dalam proses pemahaman bahasa, kita dihadapkan dengan proses mengingat bahasa, dan keduanya
merupakan proses bagaimana seseorang mengerti bahasa.
Psikolinguistik mempelajari faktor-faktor psikologis dan neurobiologis yang memungkinkan manusia
mendapatkan, menggunakan, dan memahami bahasa. Kajiannya semula lebih banyak bersifat filosofis,
karena masih sedikitnya pemahaman tentang bagaimana otak manusia berfungsi. Oleh karena itu
psikolinguistik sangat erat kaitannya dengan psikologi kognitif. Penelitian modern menggunakan biologi,
neurologi, ilmu kognitif, dan teori informasi untuk mempelajari cara otak memroses bahasa.
Sosiolinguistik yang mengacu pada pemahaman terhadap konteks sosial tempat terjadinya peristiwa
komunikasi. Kemampuan kewacanaan mengacu pada interpretasi terhadap unsur-unsur pesan secara
individual, hubungan antara pesan-pesan itu dalam suatu wacana, (koherensi) serta keseluruhan makna
wacana.
c. Psikolinguistik cenderung bersifat mentalistik dan bukan behavouristik
Karena berhubungan faktor-faktor penggunaan bahasa dengan factor-faktor diluar bahasa di dalam
masyarakat bahasa. Faktor-faktor itu misalnya: sopan santun, kepantasan, kejelasan (tidak ambigu),
kelayakan (cukup tidaknya ekspresi bahasa), kelucuan, dan sebagainya.
Sejumlah konsep pendapat-pendapat para teorisi mengenai bagaimana seseorang memahami dan merespons
terhadap apa-apa yang ada di alam semesta ini. Kita telah berbicara mengenai pandangan-pandangan kaum
mentalis dan kaum bahavioris, terutama dalam kaitan dengan keterhubungan antara bahasa, ujaran dan
pikiran. Menurut kaum mentalis, seorang manusia dipandang memiliki sebuah akal (mind) yang berbeda
dari badan (body) orang tersebut. Artinya bahwa badan dan akal dianggap sebagai dua hal yang berinteraksi
satu sama lain, yang salah satu di antaranya mungkin menyebabkan atau mungkin mengontrol peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada bagian lainnya. Dalam kaitan dengan perilaku secara keseluruhan, pandangan ini
berpendapat bahwa seseorang berperilaku seperti yang mereka lakukan itu bisa merupakan hasil perilaku
badan secara tersendiri, seperti bernapas atau bisa pula merupakan hasil interaksi antara badan dan pikiran.
Mentalisme dapat dibagi menjadi dua, yakni empirisme dan rasionalisme.
Fenomena mentalistik yang dimaksud ialah proses berfikir yang dilakukan secara tidak sadar seperti
pemerolehan bahasa pada anak-anak. Bahasa pada anak-anak didapat dari proses memperhatikan tata bahasa
serta pembaharuan asli bahasa orangtuanya yang kermudian dia cocokkan rangkaian hipotesis tata bahasa
tadi dengan ucapan-ucapan orangtuanya lalu ia apdukan dengan tata bahsa baru buatannya sendiri sebagai
tata bahasa tunggal. Pemerolehan bahasa oleh anak-anak dapat diketahui dengan mengadakan penelitian
mengenai bahasa anak itu sendiri. Penelitina itu penting karena bahasa anak memang manarik untuk diteliti.
Selain itu juga hasil penelitiannya pun dapat membantu mencari solusi pada aneka ragam masalah serta dari
hasil penelitian itu pula jelaslah bahwa fenomena pemerolehan bahasa relevan bagi perkembangan teori
linguistic. Walaupun demikian ditemukan pula adanya kesulitan-kesulitan dalam penelitian tersebut. Dari
penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa meski agak jelas beda dalam permukaan struktur bahasa
anak dengan orang dewasa, namun tidak begitu jelas hubungan komponen tata bahasa anak dengan tata
bahasa orang dewasa.
Selain pemerolehan bahasa anak, bahasa sebagai satuan kognitif juga menerangkan bahwa bahasa berfungsi
sebagai alat komunikasi. Hubungan tersebut jelas sebab apabila kita ingin memandang miliki bahasa sebagai
suatu ciri biologis manusia, maka haruslah kita menjelaskan bagaimana cara suatu system biologis seperti
otak manusia dapat mewujukan kreativitas.
Anggapan-anggapan kaum behavioris mengenai keterkaitan antara bahasa dengan pikiran, yang kemudian
diikuti oleh argumen-argumen yang menentang anggapan tersebut. Namun, hanya dua anggapan yang paling
penting yang disajikan. Dua anggapan lainnya hanya disarikan dan disajikan secara singkat. Anggapan-
anggapan bahwa:(1) bahasa merupakan landasan bagi pikiran, (2) bahasa merupakan landasan utama bagi
pikiran, (3) bahasa mempengaruhi pandangan, persepsi, dan pemahaman manusia mengenai dunia di
sekelilingnya serta mengenai budaya tempat ia hidup memiliki argumen argumen yang kurang kuat. Bukti-
bukti bahwa anak-anak yang belum bisa berbicara telah mampu memahami ujaran orang yang berbicara
kepadanya, kenyataan bahwa orang tuli dapat memberi respons yang memadai terhadap orang yang
berinteraksi dengannya, dan kenyataan bahwa multibahasawan hanya memiliki satu keyakinan dan
pandangan hidup, serta kenyataan bahwa orang-orang yang memiliki bahasa yang sama memiliki persepsi
yang berbeda mengukuhkan kelemahan argumen tersebut.
AWABAN PSIKOLINGUISTIK (Abdul Chaer)
BAB I PENDAHULUAN
TUGAS DAN LATIHAN
1. a. Jelaskan yang dimaksud dengan kajian bahasa secara internal dan secara eksternal!
b. Mengapa diperlukan adanya kajian ilmu antardisiplin? Jelaskan!
Jawab:
a. Kajian bahasa secara itnernal adalah kajian yang dilakukan terhadap struktur internal bahasa itu, mulai dari
struktur fonologi, morfologi, sintaksis, sampai struktur wacana. Kajian secara eksternal adalah kajian yang
berkaitan dengan hubungan bahasa itu dengan faktor-faktor atau hal-hal yang ada di luar bahasa, seperti
faktor sosial, psikologi, etnis, seni, dan sebagainya.
b. Kajian ilmu antardisiplin diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan dalam kehidupan manusia yang
semakin kompleks.
2. a. Diskusikan dengan teman Anda mengapa istilah ilmu jiwa tidak dapat dipertahankan penggunaannya,
sehingga harus diganti dengan istilah psikologi!
b. Diskusikan dengan teman Anda konsep dasar tentang psikologi yang mentalistik, yang behavioristik, dan
yang kognitifistik!
Jawab:
a. Istilah ilmu jiwa tidak dapat dipertahankan penggunaannya karena bidang ilmu ini memang tidak meneliti
jiwa atau roh atau sukma, sehingga istilah itu kurang tepat.
b. Psikologi yang mentalistik mencoba mengkaji proses-proses akal manusia dengan cara mengintrospeksi atau
mengkaji diri. Psikologi yang behavioristik mencoba mengkaji perilaku manusia yang berupa reaksi apabila
suatu rangsangan terjadi, dan selanjutnya bagaimana mengawasi dan mengontrol perilaku tersebut. Psikologi
yang kognitifistik mencoba mengkaji proses-proses kognitif manusia secara ilmiah.
3. a. Jelaskan tujuan utama seorang linguis mempelajari bahasa!
b. Diskusikan mengenai pembidangan linguistik berdasarkan beberapa kriteria pembidangan!
c. Bagaimana hubungan linguistik dengan psikolinguistik? Diskusikanlah!
Jawab:
a. Seorang linguis mempelajari bahasa dengan tujuan utama untuk mengetahui secara mendalam mengenai
kaidah-kaidah struktur bahasa, beserta dengan berbagai aspek dan segi yang menyangkut bahasa itu.
b. Secara umum pembidangan linguistik itu terbagi tiga, yaitu:
(1) Menurut objek kajiannya, yaitu linguistik mikro (struktur internal bahasa sebagai objek kajian) dan linguistik
makro (kajian bahasa dalam hubungannya dengan faktor di luar bahasa).
(2) Menurut tujuan kajiannya, yaitu linguistik teoretis (ditujukan untuk mencari atau menemukan teori-teori
linguistik dan membuat kaidah-kaidah linguistik secara deskriptif) dan linguistik terapan (ditujukan untuk
menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam kegiatan praktis).
(3) Linguistik sejarah (mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa dan sejumlah bahasa) dan sejarah
linguistik (mengkaji perkembangan ilmu linguistik baik mengenai tokoh-tokohnya, aliran-aliran teorinya,
maupun hasil kerjanya).
c. Linguistik dan psikologi sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya.
4. a. Bahasa dapat menjadi objek kajian linguistik dan dapat juga menjadi objek kajian psikologi. Coba jelaskan
di mana letak perbedaannya!
b. Mengapa dirasakan perlu adanya kajian bersama antara psikologi dan linguistik? Jelaskan!
c. Coba diskusikan dengan teman Anda apa yang menjadi tujuan utama dari kajian psikolinguistik!
d. Bantuan ilmu antardisiplin apalagi yang diperlukan untuk dapat menerangkan hakikat bahasa itu?
Jawab:
a. Dalam linguistik objek kaliannya adalah struktur bahasa, sedangkan dalam psikologi yang dikaji adalah
perilaku berbahasa atau proses berbahasa.
b. Kajian bersama antara psikologi dan linguistik dirasakan perlu untuk mengkaji bahasa dan hakikat bahasa.
Hal ini dikarenakan meskipun cara dan tujuannya berbeda, tetapi banyak jgua bagian-bagian objeknya yang
dikaji dengan cara yang sama dan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan teori yang berlainan. Hasil kajian
kedua disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan.
c. Tujuan utama dari kajian psikolinguistik secara teoretis adalah mencari satu bahasa yang secara linguistik
bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya.
d. Bantuan ilmu antardisiplin yang diperlukan untuk dapat menerangkan hakikat bahasa, antara lain
neurofisiologi, neuropsikologis, neurolinguistik, dan sebagainya.
5. a. Sebutkan dan jelaskan secara singkat mengenai subdisiplin dalam psikolinguistik!
b. Subdisiplin psikolinguistik mana yang sangat diperlukan bantuannya dalam pengajaran bahasa? Jelaskan!
Jawab:
a. (1) Psikolinguistik teoretis: membahas teori-teori bahasa yang berkaitan dengan proses-proses mental manusia
dalam berbahasa.
(2) Psikolinguistik perkembangan: berkaitan dengan proses pemerolehan bahasa, baik pemerolehan bahasa
pertama maupun bahasa kedua.
(3) Psikolinguistik sosial: berkenaan dengan aspek-aspek sosial bahasa.
(4) Psikolinguistik pendidikan: mengkaji aspek-aspek pendidikan secara umum alam pendidikan formal di
sekolah.
(5) Psikolinguistik-Neurologi (Neuropsikolinguistik): mengkaji hubungan antara bahasa, berbahasa, dan otak
manusia.
(6) Psikolinguistik Eksperimen: meliputi dan melakukan eksperimen dalam semua kegiatan bahasa dan
berbahasa pada satu pihak dan perilaku berbahasa dan akibat berbahasa pada pihak lain.
(7) Psikolinguistik terapan: berkaitan dengan penerapan dari temuan-temuan enam subdisiplin psikolinguistik
di atas ke dalam bidang-bidang tertentu yang memerlukannya.
b. Subdisiplin psikolinguistik yang sangat diperlukan bantuannya dalam pengajaran bahasa adalah
psikolinguistik pendidikan karena mengkaji aspek-aspek pendidikan secara umum dalam mengajar terutama
pada pendidikan formal di sekolah.
6. a. Psikolinguistik “katanya” terbentuk dari psikologi dan linguistik. Cobalah bicarakan dengan teman Anda
mengenai pendapat para pakar mana yang menjadi induk dari psikolinguistik itu!
b. Bagaimana tanggapan Anda mengenai masasalah tersebut?
Jawab:
a. Beberapa pakar berpendapat, psikolinguistik berinduk pada psikologi karena istilah itu merupakan nama baru
dari psikologi bahasa (psyschology of language) yang telah dikenal beberapa waktu sebelumnya.
b. Psikolinguistik memang berinduk pada psikologi karena psikologi seseorang akan mempengaruhinya dalam
berbahasa.
7. a. Bicarakanlah dengan teman Anda mengenai masalah-masalah yang menjadi pokok bahasan psikolinguistik!
b. Pokok bahasan mana yang sangat berkatian dengan pembelajaran bahasa? Jelaskan!
Jawab:
a. Masalah-masalah yang mejadi pokok bahasan linguistik, antara lain:
(1) Apakah sebenarnya bahasa itu? Apakah yang dimiliki oleh seseorang sehingga dia mampu berbahasa?
Bahasa itu terdiri dari komponen-komponen apa saja?
(2) Bagaimana bahasa itu lahir dan mengapa dia harus lahir? Di manakah bahasa itu berada atau disimpan?
(3) Bagaimana bahasa pertama (bahasa ibu) diperoleh seorang kanak-kanak? Bagaimana perkembangan
penguasaan bahasa itu? Di manakah bahasa kedua itu dipelajari? Bagaimanakah seseprang menguasai dua,
tiga, atau banyak bahasa?
(4) Bagaimana proses penyusunan kalimat atau kalimat-kalimat? Proses apakah yang terjadi di dalam otak
waktu berbahasa?
(5) Bagaimanakah bahasa itu tumbuh dan mati? Bagaimana proses terjadinya sebuah dialek? Bagaimana
proses berubahnya suatu dialek menjadi bahasa baru?
(6) Bagaimanakah hubungan bahasa dengan pemikiran? Bagaimana pengaruh kedwibahasaan atau
kemultibahasaan dengan pemikiran kecerdasan seseorang?
(7) Mengapa seseorang menderita penyakit atau mendapatkan gangguan berbicara (seperti afasia), dan
bagaimana cara menyembuhkannya?
(8) Bagaimana bahasa itu harus diajarkan supaya hasilnya baik? dan sebagainya.
Pokok bahasan yang sangat berkaitan dengan pembelajaran bahasa adalah mengenai bagaimana bahasa itu
harus diajarkan supaya hasilnya baik. Hal ini dikarenakan pembelajaran bahasa dapat dicapai dengan baik
jika cara mengajarkannya juga baik, sehingga penting untuk mengetahui cara mengajarkan suatu bahasa.
Psikolinguistik: Psikologi dan Linguistik
Secara umum, psikologi lazim diartikan sebagai bidang ilmu yang mempelajari perilaku manusia
melalui pengkajian terhadap hakikat rangsangan, hakikat reaksi terhadap rangsangan tersebut, dan hakikat
proses-proses akal yang terjadi sebelum reaksi dimaksud. Secara sederaha dapat dikatakan bahwa psikologi
mengkaji perilaku manusia yang timbul akibat adanya rangsangan tertentu. Di dalam perilaku manusia ini
termasuklah perilaku bahasa.
Tidak banyak yang diketahui ahli psikologi mengenai bahasa. Karena itulah, dalam memerikan
perilaku bahasa manusia, mereka memerlukan analisis kebahasaan dari ahli-ahli lingusitik.
Linguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari hakikat dan struktur bahasa. Hakikat bahasa yang
dimasudkan meliputi bahasa sebagai system bunyi, system yang arbitrer, system makna, dan sebagainya.
Struktur bahasa yang dimaksudkan adalah fonem, morfem, dan kalimat.
Linguistic tidak membahas perilaku bahasa manusia, dalam pengertian bagaimana bahasa dipahami
(decoding) dan diproduksi (encoding) oleh manusia. Perilaku, secara spesifik, menjadi objek kajian
psikologi. Karena itulah, dalam rangka memehami perilaku bahasa manusia, linguistic memerlukan analisis
psikologi.
Sejarah Psikolingusitik
Pada tahun 1951, sebuah seminar diselenggarakan di Cornell University yang disponsori oleh The
Social Science Research Council. Seminar ini menghadirkan 7 orang ahli psikologi dan linguistic, masing-
masing: John Caroll, James Jenkins, George Miller, Charles Osgood (ahli psikologi), Joseph Grennsberg,
Floyd Lounsbury, dan Thomas Sebeok (ahli linguistik).
Pada tahun 1953, John Caroll bersama teman-teman dan sejumlah mahasiswanya mengadakan
seminar psikolinguistik di Indiana University. Pada tahun 1954 terbit buku Psycholinguistics: A Survey of
Theory and Research Problem. Inilah buku psikolinguistik pertama yang disunting oleh Charles Osgood
(psikolog) dan Thomas Sebeok (linguis).
Akar psikolinguistik sesungguhnya sudah terlihat pada awal abad ke-19 ketika Wilhelm von
Humboldt, seorang ahli linguistic Jerman, mencoba mengkaji hubungan bahasa dengan pemikiran manusia.
Dengan melakukan studi banding terhadap tata bahasa-tata bahasa yang berbeda, Humboldt sampai pada
suatu kesimpulan bahwa tata bahasa suatu masyarakat menentukan pandangan hidup masyarakat
penutur bahasa itu.
Jejak langkah psikolinguistik menjadi lebih jelas lagi bila kita memperhatikan kategori-kategori
bahasa yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure yang tertuang dalam konsep langue dan parole.
Menurut Saussure, bahasa dalam konsep parole-lah yang menjadi objek kajian linguistic, sedangkan bahasa
dalam wujud langue menjadi objek kajian psikologi.
Edward Sapir , seorang ahli bahasa dan antropologi Amerika awal abad ke-20, juga telah mengkaji
hubungan bahasa dan pemikiran manusia. Dia berkesimpulan bahwa struktur bahasa menentukan
struktur pemikiran manusia.
Jespersen, seorang ahli linguistic Denmark, mengungkapkan bahwa bahasa bukanlah sekedar entitas
dalam pengertian satu benda, seperti seekor anjing atau tepian sebuah pantai. Bahasa adalah symbol-
simbol di dalam otak manusia yang melambangkan dan membangkitkan pikiran.
Objek Psikolinguistik
Sebagaimana telah digambarkan pada uraian terdahulu, objek atau cakupan kajian psikolinguistik pada
dasarnya merupakan gabungan dari objek kajian linguistic (bahasa) dan psikologi (gejala jiwa yang
tercermin di dalam perilaku manusia). Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa objek kajian
psikolinguistik sesungguhnya bahasa juga, yakni bahasa yang berproses di dalam jiwa manusia. Hasil
perkerjaan seorang psikolinguis bukanlah deskripsi bahasa biasa, melainkan deskripsi bahasa yang berproses
di dalam jiwa manusia . Proses ini tidak kelihatan; hanya hasil proses itu yang dapat diamati.
Bahasa yang berproses di dalam jiwa manusia memiliki subkajian yang amat luas. Seperti
diungkapkan Chaer (2002:8-9), hal itu mencakup:
(1) Apakah sebenarnya bahasa itu ? Apa yang dimiliki seseorang sehingga dia mampu berbahasa ? Bahasa itu
terdiri atas komponen-komponen apa saja ?
(2) Bagaimana bahasa itu lahir ? Di manakah bahasa itu berada atau disimpan ?
(3) bahasa kedua dipelajari ?
(4) Bagaimanakah proses penyusunan kalimat ? Proses apakah yang terjadi di dalam otak manusia ketika dia
berbahasa ?
(5) Bagaimanakah hubungan bahasa dengan pikiran ?
(6) Mengapa seseorang dapat menderita ngangguan berbicara (afasia) ?
(7) Bagaimana bahasa harus diajarkan agar hasilnya baik ?
Hasil konferensi psikolinguistik di Mons, Belgia, pada tahun 1980 menjabarkan objek kajian psikolinguistik
sebagai berikut:
(1) proses bahasa dalam komunikasi dan pikiran
(2) akuisisi bahasa
(3) pola tingkah laku berbahasa
(4) Asosiasi verbal dan persoalan makna
(5) Proses bahasa pada orang yang abnormal
(6) Persepsi ujaran dan kognisi
Betapa pun luas cakupan atau objek kajian psikolinguistik,dewasa ini psikolinguistik lebih diarahkan
kepada pendidikan atau pembelajaran bahasa. Pendidikan dan pembelajaran bahasa ynag dimaksudkan di
sini meliputi akuisisi bahasa, proses belajar bahasa pertama, kedua, dan juga belajar bahasa asing. Karena
lebih diarahkan kepada pembelajaran bahasa, maka berbagai teori belajar yang berasal dari psikologi
diarahkan untuk menguasai bahasa. Dari aktivitas inilah lahir teori belajar bahasa.
1. Psikologi dalam Linguistik
Dalam sejarahnya kajian linguistik ada sejumlah pakar linguistik yang menaruh perhatian besar pada
psikologi.Diantara mereka yang diketengahkan adalah Wilhelm Von Humboldt, Ferdinand de Saussure,
Edward Sapir, Leonard Bloomfield, dan Otto Jespersen.
Von Humboldt (1767-1835), pakar linguistik berkebangsaan Jerman, telah mencoba mengkaji
hubungan antara bahasa dengan pemikiran manusia. Caranya dengan membandingkan tata bahasa dari
bahasa-bahasa yang berlainan dengan tabiat-tabiat bangsa-bangsa penutur bahasa itu.
Ferdinand de Saussure (1858-1913), pakar linguistik berkebangsaan Swiss, telah berusaha
menerangkan apa sebenarnya bahasa itu (linguistik), dan bagaimana keadaan bahasa itu di dalam otak
(psikologi). Beliau memperkenalkan tiga istilah tentang bahasa yaitu langage (bahasa umumnya bersifat
abstrak), Langue (bahasa tertentu yang bersifat abstrak), parole (bahasa sebagai tuturan konkret).
Edward Sapir (1884-1939), pakar linguistik dan antropologi bangsa Amerika, telah mengikutsertakan
psikologi dalam pengkajian bahasa. Menurut Sapir, psikolinguistik dapat memberikan dasar ilmiah yang
kuat dalam pengkajian bahasa. Beliau juga mencoba mengkaji hubungan bahasa dengan pemikiran.Dari
kajian itu beliau berkesimpulan bahwa bahasa terutama strukturnya merupakan unsur yang menetukan
struktur pemikiran manusia.
Leonard Bloomfield (1887-1949), pakar linguistik bangsa Amerika dalam usahanya menganalisis
bahasa telah dipengaruhi oleh dua aliran psikologi yang saling bertentangan, yaitu mentalisme dan
behaviorisme. Pada mulanya beliau menganalisis bahasa menurut prinsip-prinsip mentalisme yang sejalan
dengan teori psikologi Wundt).Di sini beliau berpendapat bahwa berbahasa dimulai dari melahirkan
pengalaman yang luar biasa, terutama sebagai penjelmaan dari adanya tekanan emosi yang sangat
kuat.Kemudian, sejak tahun 1925, Bloomfield meninggalkan psikologi mentalisme Wundt, lalu menganut
paham psikologi behaviorisme Watson dan Weiss.Beliau menerapkan teori psikologi behaviorisme dalam
teori bahasanya yang kini dikenal sebagai linguistik structural atau linguistik taksonomi.
Otto Jespersen, Pakar linguistik berkebangsaan Denmark, telah menganalisis bahasa menurut
pikologi mentalistik yang juga sedikit berbau behaviorisme.Jespersen berpendapat bahwa bahasa bukanlah
satu wujud dalam pengertian satu benda seperti sebuah meja atau seekor kucing melainkan merupakan satu
fungsi manusia sebagai lambing-lambang di dalam otak yang melambangkan pikiran atau yang
membangkitkan pikiran itu.Beliau juga berpendapat bahwa berkomunikasi haris dilihat dari sudut perilaku.
2. Linguistik dalam Psikologi
Dalam sejarahnya perkembangan psikologi ada sejumlah pakar psikologi ada sejumlah pakar
psikologi yang menaruh perhatian pada linguistik.Diantara mereka yang patut diketengahkan adalh John
Dewey, Karl Buchler, Wundt, Watson, dan Weiss.
John Dewey (1859-1952), pakar psikologi berkebangsaan Amerika, seorang empirisme murni.
Beliau mengkaji behasa dan perkembangannya dengan cara menafsirkan analisis linguisti kanak-kanak
berdasarkan prinsip-prinsip psikologi. Dengan cara inilah maka, berdasarkan prinsip-prinsip psikologi akan
dapat ditentukan hubungan antara kata-kata adverbial dan preposisidistu pihak dengan kata-kata berkelas
nomina dan adjektiva dipihak lain. Jadi, dengan pengkajian kelas kata berdasarkan pemahaman kanak-kanak
kita dapat menetukan kecendrungan akal (mental) kanak-kanak yang dihubungkan dengan perbedaan-
perbedaan linguistik. Pengkajian seperti ini, menurut Dewey akan memberikan bantuan yang besar kepada
psikologi bahasa pada umumnya.
Karl Buchler, pakar linguistik berkebanngsaan Jerman, Dalam bukunya Sprach Theorie (1934),
beliau menyatakan bahwa bahasa manusia itu mempunyai tiga fungsi yang disebut Kungabe (kemudian
disebut Ausdruck) Appell (yang sebelumnya disebut Auslosung), dan Darstellung. Yang dimaksud dengan
Kungabe adalh tindakan komunikatif yang diwujudkan dalam bentuk verbal. Appell adalah permintaan yang
ditujukan kepada orang lain. Sedangkan darstellung adalah penggambaran pokok masalah yang
dikomunikasikan.
Wundt (1832-1920) ahli psikologi berkebangsaan Jerman, orang pertama yang mengembangkan
secara sistematis teori mentalistik bahasa.Beliau menyatakan bahwa bahasa adalah alat untuk melahirkan
pikiran.Di samping itu, Wundt juga dikenal sebagai pengembang teori performansi bahasa (language
performance).Teori ini didasarkan pada analisis psikologi yang dilakukannya terdiri dari dua aspek yaitu,
1.Fenomena luar yang berupa cipta bunyi, dan 2.Fenomena dalam yang berupa rentetan pikiran.Hal ini
menujukkan bahwa analisis yang dibuat Wundt terhadap hubungan system fenomena linguistik (bahasa).
Dengan kata lain, interaksi antara fenomena dalam akan dapat dipahami dengan lebih baik melalui
pengkajian struktur bahasa.
Watson (1878-1958) ahli psikologi behaviorisme berkebangsaan Amerika, Beliau menempatkan
prilaku berbahasa sama dengan prilaku atau kegiatan lainnya, seperti makan, berjalan, dan melompat. Pada
mulanya Watson hanya menghubungkan perilaku berbahasa yang implisit, yakni yang terjadi di dalam
pikiran, dengan yang eksplisit, yakni yang berupa tuturan.Namun, kemudiandia telah menyamakan
berbahasa itu dengan teori stimulus respons (S-R) yang dikembangkan oleh Pavlov.
Weiss, ahli psikologi behaviorisme Amerika, Beliau mengakui adanya aspek mental dalam
bahasa.Namun karena wujudnya tidak memiliki kekuatan bentuk fisik, maka terwujudnya itu sukar dikaji
atau ditunjukkan.Oleh karena itu, Weiss lebih cenderung mengatakan bahwa bahasa itu sebagai satu bentuk
prilaku apabila seseorang menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya.
3. Kerja sama Psikologi dan Linguistik
Kerja sama secara langsung antara disiplin psikologi dan linguistik dimulai sejak 1860. Yaitu oleh
Heyman Steinthal, seorang ahli psikologi yang yang beralih menjadi ahli linguistik, dan Moria Lazarus
seorang ahli linguistik yang beralih menjadi ahli psikologi dengan menerbitkan sebuah jurnal yang khusus
membicarakan masalah psikologi bahasa dari sudut linguistik dan psikologi.
Menurut Steinthal, sebuah ilmu psikologi tidak mungkin dapat hidup tanpa sebuah ilmu bahasa. Juga
dikatakannya bahwa satu-satunya jalan untuk masuk ke dalam akal manusia adalah melalui hukum-hukum
asal bahasa dan bukan melalui pancaindra manusia. Kerja sama ini lebih erat dilakukanpada tahun 1901 di
Jerman oleh Albert Thumb seorang ahli linguistik dengan Karl Marbe seorang ahli psikologi yang
memnerbitkan buku Experimentelle Untersuchungen iiber die Psychologishen Grundlagen der Sprachlichen
ana logiebieldung sebagai hasil kerja samanya. Secara khusus Thumb dan Marbe telah melakukan kajian
yang mendalam mengenai bahasa dengan cara melakukan kerjasama antara analisis linguistik dari analogi
dengan analisis psikologi dari hubungan pertuturan bahasa.
Dasar-dasar psikolinguistik menurut beberapa pakar di dalam buku yang disunting oleh Osgood dan
Sebeok di atas adalah sebagai berikut:
1. Psikolinguistik adalah satu teori linguistik berdasarkan bahasa yang dianggap sebagai sebuah system elemen
yang saling berhubungan.
2. Psikolinguistik adalah satu teori pembelajaran (menurut teori behaviorisme) berdasarkan bahasa yang
dianggap sebagai satu system tabiat dan kemampuan kemampuan yang menghubungkan isyarat dengan
perilaku.
3. Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap bahasa sebagai sebuah alat untuk
menyampaikan suatu benda.
Perkembangan disiplin ilmu psikolinguistik telah merangsang Mehler dan Noizet (1974), menuliskan
ada tiga generasi perkembangan psikolinguistik.
1. Psikolinguistik Generasi Pertama
Ditandai oleh penulisan artikel “Psycholinguistics : A Survey of Thery and Research Problems” yang
disunting oleh C. Osgoods dan Sebeok. Maka kedua tokoh ini dinobatkan sebagai tokoh psikolinguistik
generasi pertama. Menurut Parera (1996) dalam Abdul Chaer generasi pertama memiliki tida kelemahan :
a. Adanya sifat reaktif dari psikolinguistik tentang bahasa yang memandang bahwa bahasa bukanlah satu
tindakan atau perbuatan manusiawi melainkan dipandang sebagai satu stimulus-respons.
b. Psikolinguistik bersifat atomistik. Sifat ini nampak jelas ketika Osgoods mengungkapkan teori
pemerolehan bahasa bahwa jumlah pemerolehan bahasa adalah kemampuan untuk membedakan kata atau
bentuk yang berbeda, dan kemampuan untuk melakukan generalisasi.
c. Bersifat individualis. Teorinya menekankah pada eprilaku berbahasa individu-individu yang terisolasi dari
amsyarakat dan komunikasi nyata.
2. Psikolinguistik Generasi Kedua
Psikologi generasi ini berpendapat bahwa dalam proses berbahasa bukanlah butir-butir bahasa yang
diperoleh, melaikan kaidah dan sistem kaidahnya. Penggabungan antara Miller dan Chomsky merupakan
penggabungan model linguistik tatabahasa yang relatif berbeda dengan proses psikologi. Tokoh fase ini
lebih mengarah pada manifestasi ujaran sebagai bentuk linguistik. G.S. Miller dan Noam Chomsky
menyatakan beberapa hal tentang psikolinguistik:
a. Dalam komunikasi verbal, tidak semua ciri-ciri fisiknya jelas dan terang, dan tidak semua cirinya terang
dalam ujaran.
b. Makna sebuah tuturan tidak boleh dikacaukan dengan apa yang ditunjukkan. Makna adalah sesuatu yang
sangat kompleks yang menyangkut antar hubungan simbol-simbol atau lambang-lambang
c. Struktur sintaksis sebuah kalimat terdiri atas satuan interaksi antara makna kata yang terdapat dalam
kalimat tersebut.
d. Jumlah kalimat dan jumlah makna yang dapat dinyatakan tidak terbatas jumlahnya.
e. Ada komponen biologis yang besar untuk menentukan kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa ini
tidak tergantung pada intelegensi dan besarnya otak, melainkan bergantung pada “manusia”.
3. Psikolinguistik Generasi Ketiga
Kekurangan analisis pada psikolinguistik generasi kedua kemudian diperbaharui oleh psikolinguistik
generasi ketiga. G. Werstch dalam bukunya Two Problems for the New Psycholinguistics memberi
karakteristik baru ilmu ini sebagai “psikolinguistik baru”.
Beberapa ciri psiklonguistik generasi ketiga ini adalah :
a. Orientasinya kepada psikologi, tetapi bukan psikologi perilaku.
b. Keterlepasan mereka dari kerangka “psikolinguistik kalimat”, dan lebih mengarah pada “psikolnguistik
situasi dan konteks”.
c. Adanya pergeseran dari analisis proses ujaran yang abstrak ke satu analisis psikologis mengenai
komunikasi dan pikiran.
Proses reseptif – Proses dekode Begitu rangsang auditori masuk, formasi retikulum pada batang
otak akan menyusun tonus untuk otak dan menentukan modalitas dan rangsang mana yang akan
diterima otak. Rangsang tersebut diterima oleh talamus dan kemudian diteruskan ke area masing-
masing korteks auditori pada girus Heschel. Sebagian besar signal saraf yang diterima oleh girus ini
berasal dari telinga pada sisi berlawanan. Girus dan area asosiasi auditori memisahkan dan
membedakan informasi bermakna yang masuk. Selanjutnya masukan linguistik yang sudah dikode
akan dikirim ke lobus temporal kiri untuk diproses, sedangkan masukan paralinguistik (intonasi,
tekanan, irama dan kecepatan) masuk ke lobus temporal kanan. Analisa linguistik dilakukan pada
area Wernicke di lobus temporal kiri. Girus angular dan supramarginal akan membantu proses
integrasi informasi visual, auditori dan raba serta perwakilan linguistik. Proses dekode dimulai
dengan dekode fonologi berupa penerimaan unit suara melalui telinga. Dilanjutkan dengan dekode
gramatika. Proses berakhir pada dekode semantik dengan pemahamn konsep atau ide yang
disampaikan lewat pengkodean tersebut.
Proses ekspresif – Proses encode Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak.
Struktur untuk pesan yang masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui fasikulus
arkuatum ke area Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi pesan tersebut. Signal
kemudian melewati korteks motorik yang mengaktifkan otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan
artikulasi. Ini merupakan proses aktif pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses enkode
dimulai dengan enekode semantik yang dilanjutkan dengan enkode gramatika dan berakhir pada
enkode fonologi. Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak pembicara. Terdapat proses transmisi
antara dekode dan enkode, yaitu pemindahan atau penyampaian kode atau disebut kode bahasa.
Transmisi ini terjadi antara mulut pembicara dan telinga pendengar.
Kedua proses berbahasa ini disimpulkan sebagai proses komunikasi. Dalam proses belajar berbahasa,
kedua kemampuan menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif harus berkembang dengan baik.
Banding Beza Pandangan Ahli Teori Behavioris
Perkara J.B.Watson Ivan P.Pavlov E.L.ThorndikePengkaji/pelopor teori
Pengkaji pembelajaranemosi manusiaPelopor konseppelaziman klasikPelopor psikologi Amerika dalampelaziman operan
Pendapat
Manusia mewarisi 3emosi semulajadi iaitutakut, marah dan kasihsayangSetiap ransangan akanmenimbulkan gerak
balasPembelajara cuba jayadan hukum penting
Hasil kajian
Emosi manusia/perubahannya adalahdipelajari melalui prosespelazimanPembelajaran bolehberlaku akibat kaitanantara
ransangan dangerak balasPembelajaran bolehBerjaya secara cuba jaya dan pengulangan
Eksperimenmelibatkanproses/hukum
Proses pelaziman Proses pelazimanProses penghapusanProses pembelajaransemulaProses pemulihansemertaProses
generalisasiProses diskriminasiHukum kesedianHukum latihanHukum kesan
Kajiandijalankankeatas
Seorang bayi berumur 9bulan, seekor tikus putihyang jinak dandentuman yang kuatSeekor anjing, loceng danmakananSeekor
kucing, sangkar,selak dan makanan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HUBUNGAN BERBAHASA, BERPIKIR, DAN BERBUDAYA
Menurut Abdul Chaer, (Psikolinguistik; 2002) Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaaan dari
orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya. Jadi, kita lihat
berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam
kehidupan manusia
Berbahasa, dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantic dan encode gramatikal
didalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat encode fonologi. Kemudian di lanjutkan dengan
penyusunan decode fonologi, decode gramatikal, dan decide semantic pada pihak pendengar yang terjadi
di dalam otaknya.
Di sini tidak akan dijawab masalah itu, melainkan hanya akan dikemukakan pendapat sejumlah pakar.
Kemudian dicoba membuat konklusi atau komentar terhadap teori-teori mengenai masalah tersebut yang
telah ada sejak abad yang silam.
2.1.1 Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilman helm Von Humboldt, sarjana jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikir
manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya masyarakat ditentukan oleh bahasa
masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang
telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah
pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan
menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain.
Mengetahui bahasa itu sendiri Von Humbolt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua
bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum
terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideeform atau
innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi(lautform) dan pikiran
(ideeform).
Dari keterangan itu bias disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangkan pikiran
adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk dalam-bahasa berada
di dalam otak. Kedua bentuk inilah yang’’membelenggu’’ manusia, dan menentukan cara berpikirnya.
Dengan kata lain, Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam(
otak,pemikir) penutur bahasa itu.
2.1.2 Teori Sapir-Whorf
Edward Sapir (1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von Humboldt.
Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah ’’belas kasih’’ bahasanya yang telah menjadi
alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan
suatu masyarakat sebagian ’’didirikan’’ diatas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak
ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama.
Benjamin Lee Whorf (1897-1941), murid sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan
berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri.
Sama halnya dengan Von Humboldt dan sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran
seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, whorf yang bekas
anggota pemadam kebakaran menyatakan ’’kaleng kosong’’ bekas minyak bisa meledak. Kata kosong
digunakan dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya.
Setelah meneliti bahasa hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat, dengan mendalam,
whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf)
mengenai relatifitas bahasa. Menurut hipotesis itu, bahasa-bahasa yang berbeda’’membedah’’ alam ini
dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah satu relatifitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada
bahasa-bahasa yang beragam itu.
Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan pandangan hidup bangsa-
bangsa di Asia Tenggara( Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain) adalah sama karena bahasa-bahasa
mereka mempunyai struktur yang sama. Sedangkan hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain
seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa , Afrika, dan lain-lain adalah berlainan karena struktur bahasa mereka
berlainan. Untuk memperjelas hal ini Whorf membandingkan kebudayaan Hopi di organisasi berdasarkan
peristiwa-peristiwa(event) , sedangkan kebudayaan eropa diorganisasi berdasarkan ruang(space) dan
waktu (time).
2.1.3 Teori Jean Piaget
Berbeda dengan pendapat Sapir dan Whorf, Piaget, sarjana perancis, berpendapat justru pikiranlah yang
membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak aka nada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek
sintaksis dan leksikon bahasa: bukan sebaliknya.
Piaget yang mengembangkan teori pertumbuhan kognisi (Piaget, 1962) menyatakan jika seseorang anak-
anak dapat menggolongkan sekumpulan benda-benda tersebut dengan menggunakan kata-kata yang
serupa dengan benda-benda tersebut, maka perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi
sebelum dia dapat berbahasa.
Mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran) Piaget mengemukakan dua hal
penting berikut:
1) Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode sensomotorik, yakni satu
sistem skema, dikembangkan secara penuh, dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspek-
aspek struktur golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-benda(sebelum mendahului gambaran-
gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar penyimpanan dan opersai pemakaian kembali.
2) Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan
dengan pemerolehan bahasa. Keduanya miliki suatu proses yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi
lambing pada umumnya. Fungsi lambing ini mempunyai beberapa aspek. Awal terjadi fungsi lambing ini
ditandai oleh bermacam-macam perilaku yang terjadi serentak dalam perkembangannya. Ucapan-ucapan
bahasa pertama yang keluar sangat erat hubungannya dan terjadi serentak dengan permainan lambing,
peniruan,dan bayangan-bayangan mental.
Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) sebenarnya adalah aksi dan perilaku yang
telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan sensomotor termasuk juga perilaku bahasa. Yang perlu di
ingat adalah bahwa dalam jangka waktu sensormotor ini kekelan benda merupakan pemerolehan umum.
2.1.4 Teori L.S. Vygotsky
Vygotsky, sarjana bangsa Rusia, berpendapat adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum adanya
pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kemudian, kedua garis
perkembangan ini saling bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa berpikir.
Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling
mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikian berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang
tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan bekerja sama, serta saling
mempengaruhi. Begitulah anak-anak berpikir dengan menggunakan bahasa dan berbahasa dengan
menggunakan pikiran.
Menurut Vygotsky dalam mengkaji gerak pikiran ini kita harus mengkaji dua bagian ucapan dalam yang
mempunyai arti yang merupakan aspek semantic ucapan, dan ucapan luar yang merupakan aspek fonetik
atau aspek bunyi-ucapan. Penyatuan dua bagian atau aspek ini sangat rumit dan kompleks.
Pikiran dan kata, menurut Vygotsky (1962:116) tidak dipotong dari satu pola. Struktur ucapan tidak hanya
mencerminkan, tetapi juga mengubahnya setelah pikiran berubah menjadi ucapan.
2.1.5 Teori Noam Chomsky
Mengenai hubungan bahasa dan pikiran Noam Chomsky mengajukan kembali teori klasik yang disebut
Hipotesis nurani (Chomsky, 1957, 1965, 1968). Sebenarnya teori ini tidak secara langsung membicarakan
hubungan bahasa dengan pemikiran, tetapi kita dapat menarik kesimpulan mengenai hal itu karena
Chomsky sendiri menegaskan bahwa pengkajian bahasa membukakan perspektif yang baik dalam
pengkajian proses mental (pemikiran) manusia. Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa-
dalam adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu di bawa sejak lahir. Pada waktu seorang anak-anak mulai
mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir dengan satu peralatan konsep dengan struktur
bahasa-dalam yang bersifat unifersal.
Sebelum ini ada pandanagan dari Von Humboldt yang tampak tidak konsisten. Pada satu pihak Von
Humboldt menyatakan keragaman bahasa-bahasa di dunia ini mencerminkan adanya keragaman
pandangan hidup (weltanschauung); tetapi dipihak lain beliau berpendapat bahwa yang mendasari tiap-
tiap bahasa manusia adalah satu system- universal yang menggambarkan keunikan intelek manusia.
Karena itu, Von Humboldt juga sependapat dengan pandangan rasionalis yang mengatakan bahwa bahasa
tidaklah dipelajari oleh anak-anak dan tidak pula di ajakan oleh ibu-ibu, melainkan tumbuh sendiri dari
dalam diri anak-anak itu dengan cara yang telah ditentukan lebih dahulu (oleh alam) apabila keadaan-
keadaan lingkungan yang sesuai terdapat.
Pandangan Von Humboldt yang tidak konsisten itu dapat diperjelas oleh teori Chomsky. Menurut Chomsky
yang sejalan dengan pandangan rasionalis, bahasa-bahasa yang ada di dunia adalah sama( karena didasari
oleh satu system yang universal) hanyalah pada tingkat dalamnya saja yang di sebut struktur-dalam(deep
structure), pada tingkat luar atau struktur luar (surface structure)bahasa-bahasa itu berbeda-beda.
Hipotesis nurani berpendapat bahwa struktur-struktur dalam bahasa adalah sama. Struktur dalam setiap
bahasa bersifat otonom; dank arena itu, tidak ada hubungannya dengan system kognisi (pemikiran) pada
umunya termasuk kecerdasan.
2.1.6 Teori Eric Lenneberg
Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan berfikir, Eric mengajukan teori mengajukan teori yang
disebut Teori Kemampuan Bahasa Khusus (Lenneberg, 1964). Menurut Lenneberg banyak bukti yang
menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa yang khusus untuk manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan
dan pemikiran. Bukti bahwa manusia telah dipersiapkan secara biologis untuk berbahasa menurut
Leeneberg adalah sebagai berikut:
1) Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fonologi manusia,
seperti bagian-bagian, otak tertentu yang mendasari bahasa.
2) Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua anak-anak normal. Semua anak-anak bias
dikatakan mengikuti strategi dan waktu pemerolehan bahasa yang sama, yaitu lebih dulu menguasai
prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi.
3) Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun poda anak-anak yang mempunyai cacat tertentu
seperti buta, tuli, atau memiliki orang tua pekak sejak lahir. Namun, bahasa anak-anak ini tetap
berkembang dengan hanya sedikit kelambatan.
4) Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Hingga saat ini belum pernah ada makhluk lain yang
mampu menguasai bahasa, sekalipun telah di ajar dengan cara-cara yang luar biasa.
5) Setiap bahasa, tanpa kecuali, didasarkan pada prinsip-prinsip semantic, sintaksis, dan fonologi yang
universal.
Jadi, terdapat semacam pencabangan dalam teori Leenneberg ini. Dia seolah-olah bermaksud
membedakan perkembangan bahasa dari segi ontogenetis (pemerolehan bahasa oleh individu) dan dari
segi filogenetis (kelahiran bahasa suatu masyarakat). Dalam hal ini pemerolehan bahasa secara
ontogenetis tidak ada hubungannya dengan kognisi; sedangkan secara filogenetis kelahiran bahasa suatu
masyarakat sebagiannya ditentukan oleh kemampuan bahasa nurani, dan sebagian lagi oleh kemampuan
kognitif nurani, bukan bahasa yang lebih luas.
Lenneberg dalam Teori Kemampuan Bahasa Khusus telah menyimpulkan banyak bukti yang menyatakan
bahwa upaya manusia untuk berbahasa didasari oleh biologi yang khusus untuk manusia dan bersumber
pada genetik tersendiri secara asal. Namun, dalam bukunya yang ditulis kemudian (1967), beliau mulai
cenderung beranggapan bahwa bahasa dihasilkan oleh upaya kognitif, bukan linguistik yang lebih luas,
sehingga menyerupai pandangan Piaget.
2.1.7 Teori Bruner
Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Bruner memperkenalkan teori yang
disebutnya Teori Instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah alat pada manusia untuk
mengembangkan dan menyempurnakan pemikir itu. Dengan kata lain, bahasa dapat membantu pemikiran
manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis.
Dalam bidang pendidikan, implikasi teori Bruner ini sangat besar. Memang dalam hubungan inilah beliau
ingin mengembangkan teori ini.
Di samping adanya dua kecakapan yang melibatkan bahasa, yaitu kecakapan linguistic dan kecakapan
komunikasi, teori Bruner ini juga memperkenalkan adanya kecakapan analisis yang dimiliki oleh setiap
manusia yang berbahasa.
Kecakapan analisis ini akan dapat berkembang menjadi lebih baik dengan pendidikan melalui bahasa yang
formal karena kemampuan analisis ini hanya mungkin dikembangkan setelah seseorang mempunyai
kecakapan komunikasi yang baik.
2.1.8 Kekontroversian Hipotesis Sapir-Whorf
Teori-teori atau hipotesis-hipotesis yang dibicarakan di atas tampak cenderung saling bertentangan. Teori
pertama dari Von Humboldt mengatakan bahwa adanya pandangan hidup yang bermacam-macam adalah
karena adanya keragaman sistem bahasa dan adanya system bahasa dan adanya system unifersal yang
dimiliki oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Teori kedua dari Sapir-Whorf menyatakan bahwa
struktur bahasa nenentukan struktur pikiran. Teori ketiga dari Piaget Menyatakan bahwa struktur pikiran di
bentuk oleh perilaku, dan bukan oleh struktur bahasa. Struktur pikiran mendahului kemampuan-
kemampuan yang dipakai kemudian untuk berbahasa. Teori keempat dari Vygotsky menyatakan bahwa
pada mulanya bahasa dan pikiran berkembang sendiri-sendiri dan tidak saling mempengaruhi; tetapi pada
pertumbuhan selanjutnya keduanya saling mempengaruhi; bahasa mempengaruhi pikiran dan pikiran
mempengaruhi bahasa. Teori kelima dari Chomsky menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran adalah dua
buah system yang bersaingan yang memiliki keotonomiannya masing-masing. Pada tingkat struktur-dalam
bahasa-bahasa di dunia ini sama karena di dasari oleh system unifersal; tetpi pada tingkat struktur-luar
bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Teori ke enam dari Lennerberg mengatakan bahwa manusia telah
menerima warisan biologi ketika dilahirkan, berupa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang
khusus untuk manusia; dan tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan
berbahasa ini mempunyai korelasi yang rendah dengan IQ manusia. Teori ketujuh dari Bruner menyatakan
bahwa bahasa adalah alat bagi manusia untuk berpikir, untuk menyempurnakan dan mengembangkan
pemikirannya itu.
Diantara teori atau hipotesis di atas barangkali hipotesis Sapir-Whorf-lah yang paling controversial.
Hipotesis ini yang menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau
dipengaruhi oleh struktur bahasanya, banyak menimbulkan kritik dan reksi hebat dari para ahli filsafat,
linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi, antropologi dan lain-lain.
Untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf itu, Farb (1947) mengadakan penelitian terhadap sejumlah wanita
jepang yang menikah dengan orang Amerika yang tinggal di San Fransisko, Amerika. Dari penelitian itu Farb
menarik kesimpulan bahwa bahasa bukan menyebabkan perbedaan-perbedaan kebudayaan, tetapi hanya
mencerminkan kebudayaan tersebut. Bahasa Jepang mencerminkan kebudayaan jepang, dan bahasa
Inggris mencerminkan kebudayaan Inggris.
Satu masalah lagi dari persoalan hubungan bahasa, pemikiran, dan kebudayaan ini adalah apa bedanya
kebudayaan dengan pemikiran atau pandangan hidup (weltanschauung). Bukankah kebudayaan itu sama
dengan pandangan hidup? Masalah ini sukar di jawab; para sarjana pun berbeda pendapat mengenai hal
ini. Namun, satu hal yang tidak dapat disanggah oleh sipapun, bahwa kebudayaan adalah milik suatu
masyarakat, sedangkan pemikiran adalah milik perseorangan. Anggota-anggota masyarakat yang memiliki
pemikiran atau pandangan hidup yang berbeda.
Beberapa uraian para ahli mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain:
1. Bahasa mempengaruhi pikiran
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Pikiran dapat manusia
terkondisikan oleh kata yang manusia digunakan. Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah Benyamin
Whorf dan gurunya, Edward Saphir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai
pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam mejelaskan sebuah
realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.
2. Pikiran mempengaruhi bahasa
Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget.
Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia melihat
bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi
aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya.
3. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi.
Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli
semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa
bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak
diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif
Hipotesis Bahasa Menurut Sapir - Whorf
Sudah kita ketahui bahwa kelebihan manusia adalah berfikir. Selama dekade terakhir ini ada
perdebatan sengit antara bahasa dan pikiran. Ada yang berpendapat bahwa bahasa dan pikiran adalah suatu
etentitas yang berdiri sendiri-sendiri. Sebagian lagi ada yang berpendapat bahwa bahasa dan pikiran tidak
bisa dipisahkan satu sama lain. Banyak orang yang mendukung mengenai pendapat kedua ini. Salah satu
gagasan yang terkenal mengenai hubungan antara perbedaan bahasa (antara “peta” dan realitas) secara
antarbudaya adalah hipotesis Sapir – Whorf yang sering disebut tesis Whorfian.[1]
Edward Sapir adalah seorang antropolog linguistik yang mengajar di Universitas Yale, Sapir
berpendapat bahwa bahasa dan budaya tidak bisa dipisahkan seperti koin yang tidak bsia dipisahkan diantara
kedua gambarnya.
Bahasa <----------> Budaya
Ilustrasi di atas menunjukan kaitan timbal balik antara bahasa dengan budaya. Budaya adalah sebuah
realitas yang ditentukan dengan bahasa, dan bahasa adalah sesuatu yang diwariskan secara kultural. Namun
demikian, Sapir lebih menekankan bahwa bahasa yang menjadi penentu cara persepsi kita akan kenyataan.
Lebih lanjut, Sapir menegaskan pendapatnya dengan menyatakan, “hilangkan komunitas sosial, maka
individu tidak akan pernah dapat belajar untuk berbicara, artinya mengkomunikasikan ide sesuai dengan
tradisi dari masyarakat tertentu”.
Sapir memandang bahwa kajian-kajian dalam Linguistik yang umumnya berkisar tentang pemahaman
mengenai simbol, istilah atau terminologi Linguistik sebaiknya mulai beralih dan lebih terfokus kepada
upaya memahami elemen-elemen bahasa yang menunjang terjadinya kesepahaman antara pengujar dan
pendengar. Hal ini diperkuat oleh pendapat Sapir –yang berbeda dengan Sausurre – yang menyatakan bahwa
bahasa itu ada sejauh penggunaannya. Dikatakan dan didengar, ditulis dan dibaca.[2]
Sedangkan Benjamin L. Worf adalah seorang ahli penanggulangan ahli, yang dikenal Sapir lewat
kuliahnya yang diikuti Whorf. Karena minatnya sangat besar dalam bahasa, maka Whorf pun melakukan
penelitian, antara lain tentang bahasa Indian Hopi.
Hipotesis Sapir – Whorf menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa
dalam budaya kita. “Kramsch (2001:11, 77) juga mengemukakan bahwa orang berbicara dengan cara yang
berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda
karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia luar di sekitar mereka dengan cara
yang berbeda pula”[3]
Menurut Edward Sapir dan Benyamin Whorf, bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme
untuk berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan sosial.[4] Dengan kata
lain, bahasa tidak saja menggambarkan persepsi, pemikiran dan pengalaman, tetapi juga dapat menentukan
dan membentuknya. Dengan arti lain orang-orang yang berbeda bahasa : Indonesia, Inggris, Jepang, China,
Korea, dan lain sebagainya cenderung melihat realitas yang sama dengan cara yang berbeda pula.
Implikasinya bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau
tindakan, misalnya penekanan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan dan lain
sebagainya[5].
Prinsip demikian tidak jauh berbeda dari pokok bahasan bidang studi sosiolinguistik (sosiologi bahasa)
yang mempelajari hubungan antara struktur bahasa atau tindakan berujar (speech performance) dengan
struktur sosial (dalam bentuk interaksi). Hubungan itu dapat dilihat sebagai berikut[6] :
1. Bahasa dan cara berujar (speech) merupakan indikator atau petunjuk atau pencerminan ciri-ciri struktur
sosial. Misalnya status sosial atau posisi kelas sosial dapat ditunjukkan dari penggunaan kata-kata dalam
bahasa. Dengan cara analisis demikian kita dapat menentukan kedudukan individu dalam struktur sosial.
2. Struktur sosial yang menentukan cara berujar atau perilaku bahasa. Dalam hal ini terjadi perubahan-
perubahan pada standar bahasa baku dan dialek dengan berubahnya konteks dan topik pembicaraan.
Para peneliti membagi hipotesis Whorf menjadi dua bagian, yaitu :
1. Determinisme Linguistik
Bahasa memandang bahwa struktur bahasa mengendalikan pikiran dan norma – norma budaya. Dengan arti
lain manusia hanyalah sekedar hidup disuatu bagian kecil dunia yang dimungkinkan bahasa yang
digunakannya. Jadi dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa yang diajarkan oleh budaya
kita. Maka perbedaan bahasa mempresentasiakn juga perbedaan dasar dalam pandangan dunia berbagai
budaya.
2. Relativitas Linguistik
Bahasa mengasumsikan bahwa karakteristik bahasa dan norma budaya saling mempengaruhi. Dengan arti
lain, budaya dikontrol dan sekaligus mengontrol bahasa. Berdasarkan interpretasi ini bahasa menyediakan
kategori-kategori konseptual yang mempengaruhi bagaimana persepsi penggunaannya dikode dan disimpan.
Beberapa uraian para ahli dalam hipotesis ini adalah sebagai berikut :
1. Bahasa Mempengaruhi Pikiran
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangan terhadap realitas. Pikiran dapat terkondisikan oleh
bahasa yang digunakan manusia.
2. Pikiran Mempengaruhi Bahasa
Pendukung pendapat ini adalah Jean Peaget, yang meneliti kognitif anak. Ia melihat bahwa aspek koginit
anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh anak
3. Bahasa dan Pikiran Saling Mempengaruhi
Hubungan timbal balik antara pikiran dan bahasa ditemukan oleh Benyamin Vigotski. Seorang ahli semantik
yang memperbaharui penelitian Jean Piageat yang mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling
mempengaruhi. Hal ini diterima oleh ahli kognitif.[7]
b. Implikasi Hipotesis Bahasa Sapir – Whorf
Bahasa memberikan pandangan perseptual dan sekaligus memaksakan pandangan konseptual tertentu.
Bahasa pula merupakan kacamata untuk melihat realitas budaya. Maka hipotesis bahasa Sapir – Whorf
mempunyai implikasi dari pada kebudayaan saat ini, diantaranya :
1. Jika suatu komunitas budaya menggunakan banyak kosakata untuk suatu hal atau suatu aktivitas, maka hal
atau aktivitas tersebut adalah penting dalam komunikasi budaya tersebut.
Misalnya : kata salju dalam budaya Eskimo diantaranya, Qana (salju yang sedang turun, serpihan salju),
Akilukak (salju lunak), Aput (salju diatas tanah), Kaguklaich (salju yang tertiup angin membentuk jajaran
dam Qinuqsuq (timbunan salju)
2. Lebih dari cara mempengaruhi mempersepsi objek dan lingkungan kita, bahasa dan pikiran juga
mempengaruhi tindakan kita.
Misalnya : salah satu temuan menunjukkan bahwa orang Inggris menekankan waktu dan jumlah sedangkan
pembicara orang Navaho menekankan ciri-ciri bentuk.
3. Adanya hubungan yang erat antara bahasa dan pikiran adalah sebenarnya bahasa (lewat penciptaan kata-
kata, istilah-istilah, dan julukan-julukan baru) dapat digunakan oleh suatu rezim atau sekelompok orang
untuk merendahkan, mendiskriminasi dan menguasai kelompok orang lainnya.
Misalnya : Orang Amerika menggunakan kata Negro untu kelompok yang berkulit hitam.