Post on 05-Mar-2018
PROSESI PERNIKAHAN SUKU ADAT ATONI
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
“(Studi Kasus Pada Masyarakat Atoni, Kec. Amanuban Timur Propinsi
Nusa Tenggara Timur)”
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjanah Syariah (S. Sy)
DI SUSUN OLEH :
ABIYATI ATNAN NITIONO
NIM : 1110044100085
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
i
KATA PENGANTAR
من ا لر حيمح ا لر اهلل مسب
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
Hidayah-Nya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil „alamiin tiada
henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Salawat serta salam semoga
selalu tercurah kepada suri tauladan dan penunjuk jalan kebenaran ialah Rasulullah
SAW.
Salah satu syarat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Strata Satu
(S1) di Perguruan Tinggi termasuk Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam
rangka itulah penulis membuat skripsi ini dengan judul PROSESI PERNIKAHAN
SUKU ADAT ATONI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, “(Studi Kasus
Pada Masyarakat Atoni, Kec. Amanuban Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur)”.
Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya dari
penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui dalam
menyelesaikan skripsi ini. Namun tanpa bantuan, dukungan dan motivasi yang tak
terkira ksususnya orang tua tercinta, Ayahanda Atnan Nitiono dan ibunda Rosmiwati
Umar Isu dan para keluarga khususnya paman-pamanku tersayang (Yusuf Umar
Isu, S. Ag, dan Suherman Umar Isu, SH) yang selalu mencurahkan kasih sayangnya,
membiayai, serta doa, dukungan dan motivasinya tehadap penulis agar penulis sukses
dalam menimba ilmu.
ii
Selain itu juga penulis ingin mengucapkan Jazakumullah khairon katsiron
kepada berbagai pihak yang sudah patutnya penulis ucapkan terima kasih karena telah
membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, utamanya kepada:
1. Dr. Phil. JM. Muslimin, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Selaku Ketua Program Studi Akhwal
Syaksiyah dan ibu Hj. Rosdiana, MA selaku sekertaris program studi Akhwal
Syaksiyah, yang telah banyak membantu penulis selama masih kuliah.
3. Dr. H. Umar Alhadad, MA. Selaku Dosen Pembimbing karena berkait
bimbingan, perhatian dan kesabaran, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
4. Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali
penulis dengan ilmu yang berharga yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu namun tidak mengurangi rasa hormat dan terimakasih penulis ucapkan,
semoga dapat balasan setimpal dari-Nya.
5. Kepada Dra. Hj. Maskufah. MA, selaku dosen pembimbing Akademik yang
selalu mensuport, membimbing dan memotivasi penulis selama kuliah
6. Kepada UKM Resimen Mahasiswa Jayakarta (MENWA JAKARTA)
khususnya Senior-senior Menwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Komandan
Amin, Komandan Syawal, Wadan Helmi, bu Kuntum, bu Qudsy) yang telah
membina, mendidik, memotivasi dan mengenalkan organisasi kepada penulis.
iii
7. Kepada kakekku yang tersayang (kakek Umar Isu, Nenek Robiah Sone, Gafur
Nitiono. Alm, Rodia Taneo) yang selalu memotivasi penulis dalam menuntut
ilmu.
8. Kepada Om Sultan Umar Isu, tante Linda, Om Tohir Umar Isu, yang selalu
memberikan nasehat kasih sayangnya kepada penulis.
9. Kepada om Sudirman Kadir Isu, S. Ag., M. H dan bibi Wiwin yang selalu
memberikan nasehat, motivasi dan dukunganya kepada penulis.
10. Kepada kakek Drs. Ali Tatan Sone, beserta keluarga yang telah membina dan
mengenalkan penulis untuk menuntut ilmu kepulau Jawa.
11. Kepada chy Aminah Kadir Isu, S. Sos, chy Rosmiwati Isu, S. Pd. I, chy Anisa
Kadir Isu, S. Pd. I,chy Fatmawati Umar Isu (alm), chy Anggriani Umar Isu
(alm ) yang selalu membantu danmendo‟akan penulis dalam hal menuntut
ilmu.
12. Kepada kakak, adik-adik dan ponakan-ponakanku (Kakak Junaidin Atnan
Nitiono, Ben Marwah, Alfat, Iskandar, Anggi, Rodiah, Faizah, Indah,Arif Liu,
Andri Liu, Fahmi Liu, Adhe Liu, Fira, Zaki, Nci).
13. Kepada sahabat karibku Nur Anisah Usman, S. KM, yang selalu mensuport
dan membantu penulis dalam melakukan penelitian. Mudah-mudahan Allah
SWT memberikan segala kemudahan kepadamu kawan.
14. Kepada sahabat-sahabatku seperjuangan angkatan 2010 Peradilan Agama,
khususnya (Ema, Erliyanti, Futi, Syoraya, Ratih, Mila, Fitmau, Sahro, Aulia,
Nurdin, Irfan, Anas, Fahmi) teman-teman lainnya yang penulis tidak bisa
iv
sebutkan satu persatu. Banyak moment indah yang telah kita sama-sama lewati
dari awal perkuliahan yang dalam keseharian selalu bertemu, bahkan ke luar
kotapun kita selalu bersama, sampai pada di akhir perkuliahan yang hanya bisa
tegur atau sapa di dunia maya saja. Namun yang jelas nama-nama kalian akan
selalu menjadi sebuah lembaran sejarah dalam hidup penulis dan akan
tertumpuk rapih dalam silsilah kehidupan. Yang kapan saja penulis bisa buka
lembaran tersebut untuk sedikit mengobati rasa rindu yang membelenggu hati.
15. Kepada bapak kepala desa Billa, kakanda Ishak Nitiono, S. Sos, beserta tokoh
masyarakat yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan wawancara dan
penelitian.
16. Kepada kakak-kakak terutama abang Par, abang Dhanil, kakak Ryanto, dan
temankuYanti Demaris Asbanu, Owen, Yusron, aa Andrew, kk Munir, Hek
Amir, Hek Zul, Nub Ali, yang selalu setia mendengarkan keluh kesah penulis
dalam menuntut ilmu.
Akhirul kalam, penulis ucapkan banyak terimakasih kepada seluruh komponen
yang telah berjasa memberikan kontribusinya dan tidak ada yang dapat diberikan
sebagai tanda balas jasa penulis, kecuali hanya dengan do‟a semoga Allah SWT
membalas segala amal dan buat baik mereka dengan sebaik-baik balasan. Amin
YaRobbal alamiin.
Jakarta, 15 April 2014
AbiyatiAtnanNitiono
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 7
C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian .......................... 7
D. Metode Penelitian ................................................................ 8
E. Review Studi Terdahulu ...................................................... 11
F. Sistem Penulisan .................................................................. 12
BAB II : LANDASAN TEORI PERKAWINAN
A. Pra Nikah ............................................................................. 15
1. Pengertian Khitbah ....................................................... 15
2. Prosedur Khitbah .......................................................... 16
3. Asas-asas yang Benar Memilih Istri ............................. 19
4. Cara Pembatalan Khitbah ............................................. 21
B. Perkawinan Menurut Syari’at Islam .................................... 24
1. Pengertian Nikah dan Dasar Hukum ............................ 24
2. Prosedur atau Cara Perkawinan .................................... 19
3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan .................................. 31
vi
C. Walimatul ‘Urs .................................................................... 35
1. PengertianWalimatul ‘Urs ............................................ 35
2. Hukum dan Hikmah Walimatul ‘Urs ............................ 37
3. Hukum Memenuhi Undangan Walimatul Urs .............. 37
BAB III : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUKU ATONI
DESA BILLA
A. Letak Geografis ................................................................... 40
B. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya .................................. 44
C. Kondisi Pendidikan .............................................................. 48
D. Kondisi Keagamaan ............................................................. 52
BAB IV : PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PROSESI
PERNIKAHAN SUKU ADAT ATONI (NTT)
A. Prosesi Pelaksanaan Pra Nikah Menurut Suku Adat
Atoni .................................................................................... 59
B. Prosesi Pelaksanaan Nikah Menurut Suku Adat Atoni ....... 57
1. Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi Oleh Calon
Penganten Laki-Laki ..................................................... 58
2. Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi Oleh Calon
Pengantin Perempuan ................................................... 58
3. Prosesi Kabin Alat menurut Suku Adat Atoni.............. 59
C. Prosesi Walimatul Urs ......................................................... 61
vii
D. Perspektif Hukum Islam Terhadap Prosesi Pernikahan
Suku Adat Atoni .................................................................. 63
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 71
B. Saran .................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan makhluk hidup berpasang-pasangan, Allah
memerintahkan agar umatnya melakukan perkawinan dengan syarat dan
ketentuan yang telah ditetapkan. Perkawinan adalah sunatullah artinya perintah
Allah dan rasul-Nya tidak hanya semata-mata keinginan manusia, atau hawa
nafsunya saja, karena sesorang yang telah berumah tangga berarti ia telah
mengerjakan sebagian dari syari‟at (aturan) Agama Islam.1
Pernikahan yaitu suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami-istri
berdasarkan hukum yang terdapat di dalam Undang-undang(UU) hukum agama
dan adat istiadat yang berlaku.2
Sedangkan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal
(1) adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam kehidupan dunia fana ini, semua makhluk hidup baik manusia,
binatang maupun tumbuh-tumbuhan tidak bisa lepas dariperkawinan. Ini
1 Sidi Nazar Baqry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet.
Ke-I, h. 3 2 Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Urusan
Agama Islam, Korps Penasehat Perkawinan dan Keluarga Sakinah, (Jakarta: 2001 ), h. 59
2
merupakan sunatullah (hukum alam) untuk kelangsungan hidup umat manusia,
berkembang biaknya binatang-binatang dan untuk melestarikan lingkungan alam
semesta.
Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur‟an surat Yasin: 36
Artinya:
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu berjodoh-
jodohan, baik tumbuh-tumbuhan maupun diri mereka sendiri dan lain-lain yang
tidak mereka ketahui.”(QS. Yasin: 36).3
Sedangkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam BAB II, Pasal (2
dan 4), (2), yaitu akad yang sangat kuat atau nitsaqanghalidhun untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakan merupakan ibadah, (4) Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU NO. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan.
Dengan demikian pernikahanpun merupakan suatu ikatan lahir bathin
antara dua orang, laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu
rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan
syari‟at Islam.
Perkawinan juga merupakan hal yang sangat sakral untuk setiap jiwa
manusia, kerena itu kebanyakan orang yang akan melaksanakan suatu pernikahan
diiringi oleh upacara pernikahan secara adat budaya setempat, karena perkawinan
3 Mohammad Asnawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam
Perum Griya Suryo Asrif, 2004), cet. Ke-I, h. 19
3
merupakan salah satu budaya yang mengikuti perkembangan manusia, dalam
kehiduapan bermasyarakat.
Pokok perkawinan baik secara tradisional maupun secara modern yaitu
perkawinan sakral sehingga hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya
sangat terasa kehadirannya dalam upacara perkawinan.
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau
pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan
masyarakat itu berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta
kebiasaan setempat. Seperti halnya kebiasaan yang dianut dalam masyarakat
Atoni khususnya di desa Billa Kecamatan Amanuban Timur, Provinsi Nusa
Tenggara Timur, upacara pesta perkawinan tidak hanya dipengaruhi oleh ajaran
agama Islam, yang minoritas dipeluk oleh masyarakat.
Bila di tinjau secara kulturalistik, masyarakat pribumi Atoni mempunyai
berbagai macam bentuk kebudayaan daerah. Budaya lokal ini dicerminkan dari
kebiasaan yang berkembang di lingkungan warganya. Satu tuntutan pola hidup
turun temurun yang kuat. Keanekaragaman itu nampak jelas terlihat pada saat
penyelenggaraan perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat suku Atoni ini.
Sebuah khasanah daerah berkelanjutan dari akar budaya setempat.
Sehubungan dengan walimah, adat kebiasaan masing-masing daerah dapat
dipertahankan bahkan dilestarikan sepanjang tidak menyalahi prinsip ajaran
4
agama Islam. Dan apabila adat kebiasaan yang berhubungan walimah tersebut
bertentangan dengan syariat Islam, setuju atau tidak, harus ditinggalkan.4
Berbagai macam tata cara upacara pesta perkawinan (walimah „urs) yang
berlaku diberbagai daerah adalah tatanan nilai luhur yang telah dibentuk oleh para
orang tua dan diturunkan kepada generasi ke generasi seterusnya, karena itu
upacara pesta perkawinan dalam adat merupakan kegiatan tradisional turun-
temurunyang mencirikan keanekaragaman budaya bangsa dan juga dimaksudkan
agar dapat diketahui oleh masyarakat sekitar untuk menghindari fitnah, yang
bertujuan agar perkawinan selamat sejahtera serta mendatangkan kebahagiaan
bagi keduannya di kemudian hari.
Tahapan pertama dalam perkawinan adalah pinangan atau khitbah, yang
mana hal ini merupakan pola yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat,
artinya dapat ditemui pada tiap hukum adat yang ada di Indonesia, dan pada
dasarnya melakukan peminangan itu terdapat kesamaan, namun perbedaan-
perbedaannya hanyalah terdapat pada alat atau sarana pendukung prosesi
pinangan itu.5
Di suku adat Atoni proses pelamaran itu dilakukan dengan cara kedua
orang tua dan laki-laki yang akan jadi calon suami si perempuan tersebut
mendatangi rumah si perempuan dengan membawa bermacam-macam perhiasan,
pakaian, sopi (minuman dari pohon lontar atau tuak), uang lima ribu rupiah(Rp.
4 http:/bekal pernikahan.blogdrive.com
5 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1986), Cet. Ke-III, h. 246
5
5.000). Sebelum berlangsungnya proses peminangan uang lima ribu (Rp. 5. 000)
tersebut, dimasukan ke dalam kotak sirih atau yang sering dikenal dengan sebutan
oktuke, kemudian uang dan sopi tersebut dihidangkan di depan ayah si wanita
tersebut.
Tujuannya agar setelah mereka selesai mengutarakan maksud dan
kedatangan mereka, akan adanya jawaban dari pihak calon isrti berupa isyarat.
Penerimaan atas tamunya itu dengan mengambil uang yang telah diletakan di
hadapan ayahnya, sedangkan sopinya akan ayahnya si wanita minum bersama-
sama dengan tamunya tersebut. Selanjutnya baru terjadinya pengesahan barang-
barang yang dibawa oleh pihak calon suami, dan dari pihak perempuanpun
memberikan sebuah sarung adat Atoni (mau naek) kepada pihak laki-laki. Hal
tersebut dianggap sebagai satu tanda telah bersatunya dua keluarga besar.6
Setelah proses lamaran diterima, jarak satu bulan kemudian maka keluarga
dari pihak calon suami kembali mendatangi rumah keluarga wanita, dan biasanya
para orang tua yang akan menikahkan anaknya menanyakan tanggal akad
pernikahan kepada orang tua sigadis. Kemudian setelah itu satu bulan kemudian
barulah melaksanakan upacara pernikahan.
Dengan dilakukannya upacara pesta perkawinan (walimah „urs), kedua
mempelai mengumumkan permulaan kehidupan mereka dan untuk meminta doa
restu kepada keluarga dan sahabat. Rasulullah menganjurkan dalam mengadakan
upacara pesta perkawinan hendaklah dilakukan dengan sederhana, dan diniati
6 Umar Keke Isu. Anak dari Keturunan Raja Suku Adat Suku Atoni
6
untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw dan menghindari dari perbuatan yang
bertentangan dengan syariat pada saat perayaan upacara pesta perkawinan. Dan
yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan upacara pesta perkawinan tidak
memaksakan diri untuk bermewah-mewahan, melainkan sesuai kemampuannya,
undangan hendaknya tidak dibedakan antara yang kaya dan yang miskin,
semuanya harus diperlakukan sama.7
Masyarakat suku Atoni mempunyai keunikan dan kebiasaan yang berbeda
yang mana setelah adanya akad nikah, keluarga pengantin laki-laki menyuruh
seorang utusan laki-laki untuk melanjutkan acara walimah yang langsung
dilaksanakan pada saat setelah akad nikah, dengan proses natoni Adat Atoni
(utusan tersebut berbicara terlebih dahulu kemudian beberapa pengikut yang
mewakili pengantin laki-laki mengutip pembicaraan tersebut), kemudian barulah
diadakan walimahtul urs.
Hal tersebut menarik untuk dibahas, di samping mininoritas penduduknya
yang menganut agama Islam, masyarakat desa Billa juga sangat menjunjung
tinggi warisan nenek moyang. Penulis akan membahas adat istiadat masyarakat
Atoni mengenai prosesi prnikahan.
Hal yang menarik adalah sejauh mana masyarakat Atoni memahami nilai-
nilai Islami dalam upacara pesta perkawinan, apakah masyarakat Atoni berpegang
teguh pada nilai Islami atau tidak, kemudian apakah pergeseran nilai-nilai Islami
terhadap upacara pesta perkawinan masyarakat Atoni?
7 Ahmad Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: Al-Bayan, 1994), h. 65
7
Dengan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan ini menjadi penelitian dengan judul: PROSESI PERNIKAHAN
SUKU ADAT ATONI DALAM PERSPEKTIIF HUKUM ISLAM “(Studi Kasus
Pada Masyarakat Atoni, Kec. Amanuban Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi pada proses bagaimana
prosesi pernikahan (peminangan, akad, dan walimah) menurut pandangan hukum
adat Atoni dan tinjauan hukum Islam. Objek penelitian di desa Billa kecamatan
Amanuban Timur kabupaten Timor Tengah Selatan, mengingat lokasi tersebut
masih kental dengan tradisi adat istiadat, khususnya pada praktek pernikahan.
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini
adalah:
1. Bagaimana prosesi pernikahan secara umum pada suku adat Atoni?
2. Apakah prosesi pernikahan baik tahap peminangan, akad dan walimah pada
suku adat Atoni sudah sesuai dengan hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui prosesi pernikahan secara umum pada masyarakat
Atoni.
8
b. Untuk mengetahui ada atau tidaknya kesesuaiaan proses pernikahan pada
masyarakat Atoni menurut hukum Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
a. Agar masyarakat Atoni mengetahui prosesi pernikahan yang benar dan
sesuai dengan ajaran hukum Islam.
b. Agar menambah wawasan bagi para peneliti dan pemikir hukum keluarga
Islam dalam menggemas nilai-nilai ajaran Islam menjadi kajian yang
menarik. Selanjutnya memberikan motivasi bagi para pelaksana peneliti
(terutama jurusan peradilan Agama atau hukum keluarga Islam).
c. Bagi dunia pustaka hasil ini dapat dijadikan sebagai tambahan koleksi
dalam ruang lingkup karya ilmiah khusunya di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan proposal ini, penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
a. Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang sumber datanya
terutama diambil dari objek penelitian (masyarakat atau komunitas sosial)
dengan melihat secara langsung di daerah penelitian, yaitu daerah suku
adat Atoni.
9
b. Studi kasus, yaitu penelitian yang dituntut untuk melakukan penelitian
secara mendalam, yakni mampu melacak dan menemukan berbagai faktor
yang terkait dengan kasus pernikahan tersebut.8
2. Sumber data
a. Data primer, yaitu data lapangan yang didapat dari sumber pertama,
seperti hasil wawancara telephon terhadap tokoh adat (panutan suku)
masyarakat Atoni yang merupakan tokoh panutan gerakan moral bagi
masyarakat sekitar.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari artikel yang berkaitan
dengan tema penelitian yang berasal dari media cetak dan media
elektronik.
3. Pengumpulan data, yaitu dilakukan melalui pengamatan secara terlibat di
lokasi penelitian dengan cara:
a. Observasi, yaitu kegiatan dalam penelitian yang memperhatikan suatu
keadaan secara jelas dan merumuskan nilai-nilai yang dianggap berlaku
dalam masyarakat tertentu agar hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan
yang menjadi sasaran pengamatan dengan cara mengikuti dan
menyaksikan langsung prosesi pernikahan menurut suku adat Atoni.
b. Wawancara, yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang akan
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan
yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dalam hal
8 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat: UIN Jakarta, 2010), h. 27
10
ini penulis mengadakan wawancara dengan informan yaitu, para pelaku
pernikahan, orang tua, masyarakat setempat dan tokoh adat suku Atoni.
Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara terhadap salah satu dari anak
keturunan raja suku adat Atoni Umar Keke Isu.
c. Studi dokumentasi, yaitu meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri
dari bahan hukum primer dan hukum sekunder. Dan juga data-data yang
diperoleh dari literatur dan referensi yang berkenaan dengan judul skripsi
ini.
4. Pengolahan data, menjelaskan cara mengolah data mentah hasil penelitian
agar dapat terbaca dengan baik. Pengolahan data harus didasarkan pada
kebutuhan data yang akan disajikan dalam skripsi.
5. Analisa data, yaitu data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisi
komparasi, yaitu dalam pendekatan teori ini, peneliti mengkonsentrasikan diri
untuk melakukan penelitian secara mendalam dengan pendekatan kepada
tokoh adat, dan masyarakat suku Atoni, yang bertujuan untuk menemukan
persamaan atau perbedaan tentang objek peneletian yang berkaitan dengan
prosesi penikahan suku adat Atoni dan hukum Islam.
Adapun teknis penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta cetakan I
Penerbit Fakultas Syariah dah Hukum UIN Syarif Hidaytullah Jakarta 2007.
11
E. Review Studi Terdahulu
Dari katalog yang penulis cari, karya mengenai proses pelaksanaan
khitbah menurut hukum Islam dan suku adat Atoni, belum dibahas karena penulis
belum menemukan judul seprti yang diangkat oleh penulis, dan penulis berasumsi
bahwa judul yang diangkat adalah baru. Penulis meringkas skripsi yang ada
kaitannya dengan peminangan. Diantaranya yaitu:
Sari Ngabalin (1060442014773). Tabarok (Taruh Harta) sebagai
Persyaratan Pernikahan Adat Papua dalam Perspektif Hukum Islam. Skripsi yang
penulis buat itu membahas tentang prosesi pernikahan adat Fak-fak yang dikenal
dengan istilah adat ”taruh harta”, yaitu pemberian dari seorang calon mempelai
laki-laki kepada calon mempelai perempuan sebagai alat pengabsahan terhadap
suatu perkawinan. Di dalam sikripsi itu penulis mencantumkan prosesi
pembayaran taruh harta, yaitu memakai simbol terdepan burung kuning sebagai
simbol kekayaan alam tanah Papua. Burung cendrawasih yang dipasang di tiang
utama harus diserahkan kepada pihak perempuan sebagai tanda pintu rumah
keluarga menerima. Saudara perempuan dari pengantin yang akan menerima
simbol burung kuning dan meneyarahkan kepada pihak laki-laki piring (Ben
Pepon) dan uang sebagai tanda awal pembayaran taruh harta. Berbeda dengan
yang dibahas oleh penulis, yaitu penulis membahas lebih dalam mengenai mahar
pernikahan menurut suku adat Atoni dan perspektif hukum Islam.
Anugrah Sejati (101044222178). Prosesi Ritual Perkawinan Adat Jawa
dilihat dari sudut pandang Islam. Skripsi yang penulis buat itu membahas tentang
12
proses peminangan adat Jawa itu dinamakan dengan istilah ngebunebun esuk,
anjejawah sonten. Lamaran dapat dilakukan sendiri oleh orang tua laki-laki secara
lisan namun dianggap kurang tepat yang kemudian laki-laki tersebut menulis dan
mengirim surat lamaran kepada pihak perempuan yang dibawa oleh seorang
petugas yang dijadikan duta dan biasanya berasal dari kalangan keluarga sendiri
(paman). Beberapa hari kemudian surat berdasarkan hasil perundingan dari
keluarga si gadis yang dihadiri oleh nenek atau kakek si gadis maka orang tua si
gadis tersebut pun menulis surat jawaban. Berbeda dengan yang dibahas oleh
penulis, yaitu penulis membahas lebih dalam mengenai prosesi pernikahan
menurut suku adat Atoni Nusa Tenggara Timur dan bagaimana menurut
perspektif hukum Islam.
F. Sistem Penulisan
Agar penulisan skripsi ini terarah dan mudah dibahas, maka penulis
mensistematika pembahasan skripsi ini ke dalam lima bab :
BAB I: Membahas Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode
Penelitian,dan Sistematika Penulisan.
BAB II: Membahas Landasan Teori Perkawinan yang terdiri dari: Pra
Nikah (Pengertian Khitbah, Prosedur Khitbah, Asas-asas yang
Benar Memilih Istri, Cara Pembatalan Khitbah), Perkawinan
menurut Syariat Islam (Pengertian, dan Dasar Hukum Perkawinan,
13
Prosedur atau Cara Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan),
Walimatul Urs (Pengertian Walimatul „Urs, Hukum dan Hikmah
Walimatul Urs dan Hukum Memenuhi Undangan Walimatul Urs).
BAB III: Membahas Gambaran Umum Profil Masyarakat desa Billa dengan
Membahas tentang: Letak Geografis, Kondisi Sosial, Ekonomi dan
Budaya, Kondisi Pendidikan dan Kondisi Keagamaan.
BAB IV: Dalam Bab ini Membahas tentang Perspektif Hukum Islam
terhadap Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni (NTT) yang terdiri
dari: Prosesi Pelaksanaan Pra Nikah Menurut Suku Adat Atoni,
Prosesi Pelaksanan Perkawinan Menurut Suku Adat Atoni, dan
Walimatul Urs atau Pengumuman Perkawinan Menurut Pandangan
Suku Adat Atoni.
BAB V: Merupakan Penutup yang Berisi Kesimpulan dan Saran-saran.
14
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Konsep Pelaksanaan Pra Nikah atau Khitbah Sebagai Syariat Islam.
1. Pengertian Khitbah
Kata “Peminangan” berasal dari kata “pinang, meminang” (kata kerja).
Menurut etimologi meminang atau melamar artinya antara lain, yaitu meminta
wanita untuk dijadikan istri oleh seorang laki-laki baik (bagi diri sendiri atau
untuk orang lain).9
Menurut Terminologi, Khitbah (lamaran) adalah” Usulan untuk
membangun satu konstruksi yang landasannya yaitu keluarga,
menyempurnakan dua komponen, yaitu pria dan wanita.10
Sedangkan dalam
buku Fiqh Munakahat Kajian Fikih Lengkap Karangan H. M. A. M. dan
Sahrani, mengatakan bahwa khitbah menurut terminologi adalah kegiatan atau
upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan
seorang wanita. Atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan
untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-
tengah masyarakat.11
9 Kotja Ningrat, Pedoman Penelitian, (Jakarta: Raja wali Press, 1989), h.9
10 Mahmud Ash-Shabbagh. Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Jakarta: CV. Pustaka Mantiq.
1993). h.61 11
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009), h. 24
15
15
Adapun syari‟at khitbah (peminangan) antara lain, yaitu menurut
pandangan jumhur tentang khitbah berdasarkan Al-Qur‟an dan demikian pula
pengikut madzhab al-Syafi‟i berdasarkan al-hadits, dapat diltelusuri melalui
kutipan sunnah fi‟liyah Nabi Saw yang berbunyi:
“Dari Urwah, Bahwasanya Nabi Saw meminang (khitbah) Aisyah ra
kepada Abu Bakar ra (ayah Aisyah), maka Abu Bakarpun menjawab: “ya,
baiklah aku adalah saudaramu”. Kemudian Nabi SAW menimpali seraya
berkata: “benar, engkau adalah saudaraku seagama dan saudara yang
seperti yang difirmankan Allah dalam kitab-Nya (al-Qur‟an) sehingga “dia”
(Aisyah) juga halal bagiku (untuk dinikahi).
Artinya:“Hamba Allah yang shaleh (Syuaib) berkata kepada Musa
AS: “ Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang
dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan
tahun...........”(QS. al-Qasas: 27).
Hadist dan ayat tersebut di atas, dari sudut subtansinya mengarah
kepada bentuk-bentuk khitbah (lamaran) dengan corak beragam. Pada hadist
tersebut menjelaskan bagaimana khitbah dilakukan oleh pihak calon suami
kepada pihak calon istri melalui walinya secara langsung tanpa perantara.
Sedangkan pada ayat al-Qur‟an menunjukan bahwa seorang wali secara syara‟
diharuskan memilih calon suami anak perempuan yang di bawah
perwaliannya dengan lelaki saleh. Untuk itu, lamaran tidak saja datang dari
pihak calon suami, tetapi dimungkinkan berasal dari pihak calon istri. Adapun
16
perempuan-perempuan yang tidak boleh dikhitbah sebagaimana isyarat al-
Qur‟an tentang larangan menikahinya. Sebagaimana Allah berfirman:
Artinya: “Diharamkan bagimu menikahi ibu-ibumu, anak-anak
perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan
ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari
saudara-saudara laki-lakimu, anak-anak perempan dari saudara-saudara
perempuanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan
sesusuanmu,ibu-ibu istrimu (martua), anak-anak perempuan dari istrimu
(anak tiri peremmpuan), yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah
kamu campuri. Tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan
sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu (menikahinya, (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan)
mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun, lagi Maha penyayang (QS. An-Nisa: 23).12
2. Prosedur Khitbah
Sebelum memulai langkah-langkah melamar, seseorang yang ingin
menikah harus tahu secara pasti bahwa tidak ada larangan-larangan syariah
12
Al-barudi Imad Zaki, Tafsir Al-Qur‟an al-Anzhim Lin Nisa, (Jakarta Pusat: Pena Pundi
Aksara), h. 3
17
yang menghalangi menikah. Oleh karena itu dianjurkan adanya prosedur
khitbah (lamaran), yaitu:13
a. Cara Memandang.
Hukum syara‟ mensunahkan seseorang untuk memandang kepada
wanita yang hendak dilamarnya. Demikian pula, si wanita yang dilamar
disunahkan memandang kepada pria yang melamarnya, sebelum
menyatakan menerima lamaran itu. Sebagaimana Al-Mughirah bin
Syu‟ban pernah melamar seorang wanita. Masalah ini disampaikannya
kepada Rasul Saw, kemudian bersabda kepadanya:
ك إ د و ث ئذش ا ب, فب ظش ان ت فب با ر Artinya: “Pergi dan pandanglah wanita itu. Sebab, memandang disini
akan menjadi bumbu bagi berdua.”
Sedangkan jumhur ulama berpendapat, bahwa pria boleh
memandang wajah dan dua telapak tangan si wanita yang dilamarnya
sebab, memandang wajah bisa mewakili kecantikan (seorang wanita),
sedangkan memandang kedua telapak tangan bisa mewakili subur
tidaknya tubuh (seorang wanita).
b. Mengenal Sifat
Setiap pernikahan yang terjadi tanpa melalui proses memandang
terlebih dahulu maka akibatnya adalah kekecewaan. Memandang sebelum
menikah tidak terbatas hanya mengenal cantik atau tidaknya, tetapi juga
13
Mahmud Ash-Shabbagh. Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Jakarta: CV. Pustaka Mantiq,
1993), h. 65
18
mencakup proses mengenal sifat-sifat yang lain dengan minta informasi
kepada orang-orang yang bisa dipercaya dari kalangan kerabat, seperti ibu
dan saudaranya.
Informan yang dimintai untuk memberikan penilaian harus
menguasai persoalan agar tidak terjebak yang menyebabkan si mempelai
tidak mantap setelah menikah dan mendambakan wanita yang bukan
istrinya. Sebagaimana Rasulullah Saw mengutus sebagian wanita agar
mereka mengetahui aib-aib yang tidak nampak oleh mata. Selain, itu juga
Nabi Muhammad Saw mengutus Ummuh Salamah kepada seorang wanita.
Beliau bersabda: “Lihatlah daerah tumitnya. Cium pula ma‟atifnya atau
awaridhnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Hakim, Al-Thabrani dan
Al-Baihaqi. Ma‟atif di sini, berarti daerah di sekitar leher. Sedangkan
awaridh berarti gigi yang terletak di bagian mulut yakni, gigi yang terletak
antara gigi dengan rahang. Tetapi yang dimaksud kutipan hadits tersebut
adalah mencium bau mulut.14
c. Menguatkan Lamaran
Jika kedua belah pihak setuju untuk menjadi suami istri maka
lamaran di sini bisa diterima oleh kedua belah pihak. Dan masing-masing
pihak berusaha untuk memperkokoh hubungannya dengan orang lain
14
Mahmud Ash-Shabbagh. Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Jakarta: CV. Pustaka Mantiq,
1993), h. 67
19
sedemikian rupa demi memperkuat hubungan baru. Seringkali setelah
proses melamar selesai, kemudian diikuti dengan pemberian mahar,
seluruhnya atau sebagian. Atau dilanjut dengan pemberian hadiah-hadiah
dan pemberian lain bertanda adanya hubungan keluarga yang baru. Tetapi,
hal tersebut bukan berarti memperbolehkan pasangan calon pengantin
tersebut untuk berduaan, selama belum menyatakan akad nikah.
3. Asas-asas yang Benar Memilih Istri
Prinsip-prinsip yang benar untuk memilih calon suami atau istri. Al-
Qur‟an menjadikan unsur ketaqwaan sebagai ukuran bagi prinsip yang kuat
yang tidak bisa digantikan dengan ukuran yang lain, karena agama Islam telah
menetapkan kriterea orang yang melamar antara lain, yaitu:
a. Jika ia saleh atau shalihah (bertaqwa kepada Allah)
Sebagaimana Allah SWT berfirman :
.......... ا .........
Artinya: “ sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah
orang yang paling bertaqwa di antara kamu...”(QS. Al-Hujuraat: 13).15
b. Wanita-wanita yang sendirian dan berkaitan dengan harta
Allah SWT berfirman :
15
Mahmud Ash-Shabbagh. Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Jakarta: CV. Pustaka Mantiq,
1993), h. 70
20
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.(An-Nur: 32)
c. Orang-orang berakhlak baik
Rasulullah Saw telah berwasiat kepada kita
Artinya: “Jika ada seorang yang melamar (anakmu) diantar kamu
sekalian yang kamu anggap agama, dan akhlaknya kau anggap baik,
maka kawinkanlah. Jika tidak, ia akan menimbulkan fitnah dan bencana
di bumi.”(HR. At-Tarmidzi dan Shaheh).
d. Orang-orang yang sehat dan akan memberikan keturunan. Sebab, tujuan
utama perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan. Sebagaimana
hadits Rasulullah Saw yang mengatakan:
ب يخ. و ا نق , يكب ثش ثكى ا أل يى د فب د د ان ن ا ا ن ج رض Artinya:“Nikahilah olehmu wanita yang pencinta, dan yang memiliki
kemungkinan besar untuk melahirkan keturunan yang banyak. Karena aku
akan bangga dengan jumlah umatku yang banyak di hari kiamat.”
Selain, itu juga Rasulullah Saw bersbda bahwa memilih calon istri
yang baik dan shaliha itu, ada empat faktor, sebagaiman haditsnya:
ب, ب ن ج ب, دغج ب, ب ن ش أ ح أل سثغ , ن كخ ا ن ب فب ظفش ثز ر ا د د
شش ثذ ذ ا ك انذ Artinya: “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena
kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya.” (HR.
Bukhari dan Muslim).16
16
Mahmud Ash-Shabbagh. Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Jakarta: CV. Pustaka Mantiq,
1993), h. 72
21
4. Cara Pembatalan Khitbah
Pertunangan merupakan langkah awal yang dilakukan sebelum,
pernikahan dilangsungkan, yang pada umumnya banyak laki-laki
menyerahkan mahar, baik keseluruhan maupun sebagiannya, memberi hadiah
dan hibah (hantaran, red), mempererat silaturahmi dan mengukuhkan pertalian
diantara keluarga keduanya.
Bisa jadi, pertunangan yang sudah terjadi menjadi batal (tidak
dilanjutkan hingga kejenjang pernikahan), baik yang membatalkan dari pihak
laki-laki ataupun dari pihak perempuan. Juga bisa jadi pembatalan itu atas
kesepakatan kedua belah pihak.
Pada dasarnya, pertunangan hanya sebatas janji untuk menikah, bukan
akad pernikahan. Pembatalan atas pertunangan merupakan hak bagi orang
yang melangsungkan pertunangan dan tidak ada konsekuensi hukum jika
terjadi pembatalan (untuk menikah). Meskipun syariat menganggap bahwa
pembatalan atas pernikahan yang sudah dimulai dengan pertunangan
merupakan perilaku yang tidak terpuji dan bagian dari sifat kemunafikan,
kecuali jika dalam pembatalan tersebut disertai alasan dan kepentingan yang
amat mendesak yang mengharuskan untuk membatalkannya. Rasulullah Saw
bersabda:
ا ثخ انب فق ثال س: ا ر ا دذ س كز ة ا ر ا ءد اخهف, ا ر ا ا ؤ ر خب .
22
Artinya: “Adatanda-tanda orang munafik ada tiga: ketika berbicara, dia
berdusta: ketika berjanji dia ingkar dan ketika diberi kepercayaan dia
berkhianat.”
Mengenai hadiah, tidak ada ubahnya seperti hibah. Hadiah tidak boleh
dikembalikan jika itu murni pemberian, tanpa adanya ikatan atau syarat
karena orang yang menerima hadiah berhak atasnya dan menjadi pemilik apa
yang telah diberikan kepadanya sejak dia menerimanya. Dia berhak
mempergunakan dan memanfaatkan apa yang telah menjadi miliknya.
Pengambilan kembali hadiah yang telah diberikan merupakan perampasan
atas hak milik yang tanpa disertai dengan keridhoan pemiliknya.Hal itu
merupakan perbuatan batil dalam Islam.17
Tapi, jika hibah diberikan dalam rangka mengharapkan balasan dari
penerima, maka jika orang yang menerima itu belum melaksanakan apa yang
diminta, orang yang memberi berhak untuk mengambil kembali hibah yang
telah diberikan. Dalam keadaan seperti ini orang yang memberi berhak
meminta kembali apa yang telah diberikannya, karena dia memberikannya
atas dasar sesuatu yaitu pernikahan. Apabila pernikahan tidak terlaksana,
maka laki-laki berhak mengambil kembali hadiah yang telah diberikannya.
Sebagai landasan atas hal ini adalah berapa hadist sebagai berikut :
Imam Bukhori Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Ahmad meriwayatkan hadist dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah Saw
bersabda:
17
Sabiq Sayyid. Fiqh Sunnah, (Jakarta: Cakra Publishing, 2008). Cet ke-I. h. 235
23
Artinya: “Tidak halal bagi seorang yang memberikan sesuatu atau
menyerahkan hadiah kemudian mengambilnya kembali kecuali Ayah yang
mengambil apa yang diberikan pada anaknya “
Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Rasul
Saw bersabda:
Artinya: “orang yang mengambil kembali pemberiannya, dia seperti orang
yang menelan muntahannya kembali“.
Salim ra meriwayatkan dari ayahnya bahwa Rasulullah Saw.
Bersabda:
Artinya: “siapa yang diberi suatu pemberian, maka dia lebih berhak atasnya
kecuali jika dia memberi ganti”.
Ulama mazhab Maliki berpendapat lain. Mereka membedakan antara
pembatalan pernikahan dari pihak laki-laki dan perempuan.Jika pembatalan
berasaldari pihak laki-laki, maka dia tidak berhak meminta kembali hadiah
yang telah diberikan kepada pihak perempuan. Tetapi, apabila pembatalan
diajukan oleh pihak perempuan, maka laki-laki berhak mengambil kembali
semua hadiah yang telah diberikan. Dalam hal ini, pihak perempuan
berkewajiban untuk mengembalikannya atau menggantikannya bila barang
yang telah diterima rusak atau telah habis, kecuali bila bentuk pemberian
hadiah tersebut merupakan suatu tradisi atau syarat yang harus dilaksanakan.
Menurut ulama mazhab Syafi‟i hadiah yang telah diberikan harus
dikembalikan, baik dalam keadaan utuh maupun rusak. Jika barang itu utuh,
24
maka ia dikembalikannya semula dan jika sudah rusak, maka pihak
perempuan harus mengganti barang itu sesuai dengan nilainya.18
B. Perkawinan Menurut Syari’at Islam
1. Pengertian Nikah dan Dasar Hukum
a. Pengertian Nikah
Secara etimologi kata (ا نكب ح) sama dengan kata (ا نض ا ج) yang
artinya nikah, kawin.19
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh
berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu (كب ح) dan zawaj (ص ا ج).
Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan
banyak terdapat di dalama al-Qur‟an dan hadist nabi. Kata na-ka-ha
banyak terdapat dalam al-Qur‟an dengan arti kawin. Secara arti kata
nikah berarti gabung (ضى) hubungan kelamin (طء) dan juga berarti akad
adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat (ءقذ)
dalam al-Qur‟an memang mengandung dua arti tersebut.20
Dalam bahasa indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin”
yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis,
bersuami atau beristri, menikah atau melakukan hubungan kelamin
18
Sabiq Sayyid. Fiqh Sunnah, (Jakarta: Cakra Publishing, 2008). Cet ke-I. h. 235-238 19
Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir,Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), cet. Ke-14, h. 1461 20
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kenacana, 2007),h.
35-36
25
(bersetubuh).21
Sedangkan kata nikah dalam bahasa Indonesia artinya
adalah ikatan (akad)perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum dan ajaran agama.22
Nikah menurut bahasa artinya mengumpulkan. Menurut syara‟
artinya akad yang terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat (yang
telah tertentu ) untuk berkumpul.23
Menurut istilah perkawinan atau nikah, yaitu menyerahkan dan
penerimaan tanggung jawab dalam arti luas yang dilakukan pada saat akad
serta tanda dimulainya hukum halal untuk bercampur sebagai suami istri
yang merupakan suatu ikatan lahir antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan, untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan memiliki
keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat
Islam.24
Hal ini terdapat dalam Firman Allah SWT :
.......... ..... ..
Artinya….”Nikahilah mereka itu dengan izin keluarganya…”( QS. An-
Nisa: 25)
Adapun pengertian perkawinan menurut beberapa mazhab adalah
sebagai berikut:
1) Definisi nikah menurut golongan Syafi‟iyah.
21
Dep Diknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,(Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008 ), cet. Ke-I, edisi ke-4, h. 639 22
Frista Artmanda W, Kamus Bahasa Indonesia, (Jombang: Lintas Media, 2007), h. 2848 23
Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar Juz 2, (Indonesia: Darul „Ihya al-Kutub Arabiyah, tt ),
h. 36 24
Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h. 249
26
Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
wath‟i dengan lafaz nikah, tawij atau yang semakna dengan keduanya.
2) Definisi nikah menurut golongan Malikiyah
Nikah adalah akad untuk mendapatkan kesenangan wanita dengan
membayar mahar dan adanya saksi.
3) Defenisi nikah menurut golongan Hanafiyah
Nikah adalah akad yang berfaidah memiliki bersenang-senang dengan
sengaja.
4) Definisi nikah menurut golongan Hanabilah.
Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafaz nikah atau tazwij
guna memperbolehkan manfa‟at, bersenang-senang dengan wanita.25
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa para
ulama mutaqaddimin, memandang nikah hanya dari satu saja yaitu
kebolehan hukum antara seorang laki-laki dan seorang wanita untuk
berhubungan yang semula dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan,
akibat nikah tersebut terhadap hak dan kewajiban suami istri yang
timbul.26
b. Dasar Hukum
Perkawinan yang dinyatakan sebagai ketetapan Ilahi (sunatullah)
merupakan kebutuhan bagi setiap naluri manusia dan dianggap sebagai
25
Abdurrahman Al-jaziry, Al-Fiqh „ Ala Madzahib Al-Arba‟ah Juz 4, (Beirut: Darul Ihya,
1969), h. 2-3. 26
Djama‟an Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), cet. Ke-I, h. 3.
27
ikatan yang sangat kokoh. Allah SWT dan rasul-Nya Muhammad Saw
telah menjelaskan isyarat perintah melalui kalam-Nya dan sabda Rasul-
Nya, di antaranya, yaitu: 27
Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki”.(QS. An-Nisa: 3)
Selain ayat tersebut di atas Allah berfirman:
Artinya:”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-
Rum: 21)
Sabda Rasulullah Saw:
اغض نهجصش ا دص نهفش ج ج فب زض كى انجب ء ح فه ا عزطب ع ي ب يؼشش ا نشجب ة ي
Artinya: “Wahai generasi muda, barang siapa diantara kalian
telah mampu serta keinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah.
27
Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad bin Abdul Mu‟min .t.tKiyafatul Akhyar Fi Halli
Ghayaatul Ikhtisar Syarah Matana abi Syuja‟. (Beirut: Dar al-minhaj), h. 669
28
Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat mendudukan pandangan mata
dan memelihara kemaluan.(Muttafaqun „Alaih)”.28
Hukum Perkawinan ada 5, yaitu:
1) Wajib, bagi orang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina
seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan adalah
wajib.
2) Sunat. Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk melangsungkan perkawinan, tetapi tidak kawin tidak
dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan
bagi orang tersebut adalah sunnat.
3) Haram. Bagi orang yang mempunyai keinginan dan tidak mempunyai
kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-
kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan
perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.
4) Makruh. Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri
sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina
sekiranya tidak kawin.
5) Mubah. Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan
28
Imam Muhyiddin Annawawi, Shahih Muslim, (Beirut: Darul Marifah, 2007), h. 176
29
berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak ada melantarkan
isteri.29
2. Prosedur atau Cara Perkawinan
Dalam Islam diatur tata cara tentang prosesi akad nikah yang terdiri
dari, syarat pernikahan dan rukun pernikahan yang menentukan suatu
perbuatan hukum, terutama yang menyangkut sah dan tidaknya perbuatan
tersebut dari segi hukum. Dalam hal ini Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa
kedua kata tersebut mengandung arti yang sama, yakni bahwa keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan, dalam arti perkawinan tidak sah bila
keduanya tidak ada atau tidak lengkap.30
Menurut ulama Syafi‟iyah syarat perkawinan itu adakalanya
menyangkut sighat, wali, calon suami istri, dan juga syuhud (saksi).
Sedangkan berkenaan dengan rukunnya, bagi mereka ada 5 (lima), yaitu:
calon suami istri, wali, dua orang saksi, dan sighat. Sedangkan menurut
Malikiyah adalah termasuk mahar dan tidak menempatkan saksi sebagai
rukun.31
Ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku
antara piha yang melangsungkan perkawinan. Oleh karenanya yang menjadi
rukun dalam sebuah perkawinan hanyalah akad nikah yang dilakukan oleh
29
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakaht, h. 18-20 30
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, h. 63 31
Amir Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/19974 sampai KHI (Jakarta: Kencana, 2006)
ed. I cet. I, h. 61
30
dua belah pihak yang bersangkutan, sedangkan di luar daripada itu seperti
kehadiran saksi dan mahar bukan termasuk rukun melainkan sebagai syarat
perkawinan.32
Terdapat perbedaan para ulama fiqh dalam menentukan mana yang
termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat. Perbedaan tersebut wajar
karena perbedaan pandangan mengenai perkawinan, sehingga boleh jadi
sebagian ulama menentukan sebagian rukun dan sebagiannya lagi menentukan
sebagai syarat.
Menurut jumhur ulama rukun perkawinan itu ada 5 (lima), yaitu:
a. Calon Suami
b. Calon Istri
c. Wali Nikah
d. Saksi Nikah
e. Ijab Kabul
Selanjutnya adalah mahar yang merupakan syarat sah perkawinan,
yaitu pemberian sesuatu dari calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai
wanita baik yang berbentuk barang uang ataupun jasa yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam di mana status hukumnya adalah wajib. Adapun
mengenai jumlahnya tidak ditentukan secara tegas yang hanya didasarkan
pada kesepakatan antara keduanya dan tidak bersifat memberatkan.
32
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antar Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, h. 59-60
31
Dapat dipahami bahwa mas kawin disebut shaduqat yang berarti
shadaqah yang bermakna perasaan jujur dan hati yang suci. Artinya harta
diperoleh secara jujur (halal) yang kemudian diberikan kepada calon istri yang
didasari oleh keikhlasan. Seperti yang dijelaskan dalam Firman Allah SWT: 33
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 4)
3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
a. Tujuan Perkawinan
Sebagaimana hukum-hukum yang telah ditetapkan dengan tujuan
tertentu sesuai dengan tujuan terbentuknya, demikian pula halnya dengan
syari‟at Islam. Mensyari‟atkan perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu
pula, diantara tujuan-tujuan tersebut adalah:34
1) Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan
menyambung cita-cita, membentuk keluarga dan dari keluarga-
keluarga dibentuk umat, ialah umat Nabi Muhammad Saw (umat
Islam).
Sebagaimana dalam Firman Allah menjelaskan:.
33
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Pt. Sinar Grafika, 2006), cet. I,
h. 24 34
Kamal Mukhtar, Asas-asasHukum Islam Tentang Perkawinan, h. 12-15
32
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak
dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka
Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari
nikmat Allah”. (QS. An-Nahl: 72)
2) Untuk menjaga dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT
untuk mengerjakannya.
3) Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami istri, menimbulkan rasa
kasih sayang antar orang tua dengan anaknya dan antar seluruh
anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga ini akan
dirasakan pula oleh masyarakat, sehingga terbentuklah umat yang
diliputi cinta dan kasih sayang.
4) Untuk menghormati atau mengikuti sunnah Rasululllah Saw, beliau
mencela orang-orang yang berjanji akan puasa setiap hari, akan
bangun beribadah setiap malam dan tidak akan kawin-kawin
sebagaimana sabda beliau:
ف س غت ء عز فهظ ي )س ا انجخب س يغهى (Artniya: “maka barang siapa yang benci kepada sunnah-ku bukanlah
ia termasuk (umatku)”. ( HR. Bukhari dan Muslim).
5) Untuk membersihkan keturunan. Keturunan yang bersih, yang jelas
ayah, kakek, dan sebagainya. Semua itu hanya dapat diperoleh dengan
perkawinan. Dengan demikian akan jelas pula orang-orang yang
33
bertanggung jawab terhadap anak-anak, yang akan memelihara dan
mendidik sehingga menjadilah ia seorang muslim yang dicita-
citakan.35
Agar tujuan seseorang dalam melakukan perkawinan terlaksana
dengan baik, maka dianjurkan memenuhi beberapa syarat perkawinan,
salah satu diantaranya adalah usia menikah, hal tersebut di tetapkan dalam
pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-
kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur
16 tahun. Sedang dalam penetapan BKKBN usia ideal menikah calon
suami sekurang-kurangnya berumur 25 tahun dan calon istri sekurang-
kurangnya berumur 20-21.36
b. Hikmah Perkawinan
1) Naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang
selamanya menuntut adanya jalan keluar. Dan kawin adalah jalan
alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan
memuaskan naluriah seks ini
“Dari abu Hurairah: pernah Nabi saw bersabda: " Sesungguhnya
perempuan itu menghadap dengan rupa setan dan membelakangi
dengan rupa setan pula. Jika seseorang diantaramu tertarik kepada
seorang perempuan, hendaklan ia datangi isterinya, agar nafsunya
dapat tersalurkan".(HR. Muslim, Abu Daud dan Tarmidzi).
35
Sayid Sabiq, Fiqh SunahTerjemah M. Galib, (Bandung: Al ma‟arif, 1994), cet-ke 5, h. 64 36
Sugiri Syarif Kepala BKKBN, Perbincangan dengan detik.com pada hari selasa 12 Mei
2011 di Jakarta
34
2) Kawin adalah jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta
memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. Sebagaiaman
sabda Rasulullah: "Kawinlah dengan perempuan pencinta lagi bisa
banyak anak, agar nanti aku dapat membanggakan jumlahnya yang
banyak di hadapan para Nabi pada hari kiamat nanti".
3) Tumbuhnya naluri kebapaan dan ke-ibuan yang saling melengkapi,
tumbuh perasaan cinta, ramah, dan sayang dalam suasana hidup
dengan anak-anak.
4) Adanya rasa tanggung jawab yang dapat mendorong ke arah rajin
bekerja, bersungguh-sungguh dan mencurahkan perhatian
5) Adanya pembagian tugas istri mengurusi dan mengatur rumah tangga,
membimbing dan mendidik anak-anak, sementara si suami bekerja di
luar rumah.
6) Dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan
rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan
kemasyarakatan.37
37
Wasiun Mika,” Hukum dan Perkawinan Menurut Islam”,
http://www.jadipintar.com/2013/06/Hukum-dan Hikmah-Perkawinan-Menurut-Islam.html, di akses
pada 18 Desember 2013
35
C. Walimatul ‘Urs
1. Pengertian Walimatul ‘Urs
Walimah berasal dari kata (نى yang artinya pesta penggantin atau (ا ن
bisa juga disebut sebagai makanan yang disediakan khusus dalam acara
perkawinan.38
Walimah arti harfiyahnya ialah berkumpul. Karena pada waktu itu
berkumpul suami istri, sedangkan walimah menurut istilah, yaitu khusus
tentang makan dalam acara pesta perkawinan.39
Walimatul urs (resepsi pernikahan) adalah hidangan makanan yang
disediakan pada hari-hari resepsi pasangan pengantin. Disebut walimah
lantaran orang-orang berkumpul pada acara ini. Walimah termasuk perkara
yang di syariatkan oleh agama Islam.
Sehingga dalam prakteknya, sering kita dapati orang begitu semangat
untuk mengadakan walimah sehingga terkadang sampai melewati batas
kewajaran dan mulai memasuki wilayah yang sebenarnya tidak lagi sesuai
dengan rambu-rambu syariah.
Perintah walimah dengan makan-makan tentu tidak berarti kita
dibenarkan untuk menghambur-hamburkan harta. Sebab orang yang
menghambur-hamburkan harta termasuk saudaranya syetan. Sebagaimana
dalam Firman Allah SWT:
38
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), cet. I,
h. 56 39
Mustofa Dibul Bigha, Fiqh Syafi‟i (Sawahan: CV Bintang Pelajar, 1984), h. 382
36
Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Isra:
27)
Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya
akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-
hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena
demikian yang dinukilkan dari Nabi Muhammad Saw. Anas bin Malik ra
berkata:“Nabi Muhammda Saw menikah dengan Shafiyyah ra dan beliau
jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan
walimah tiga hari kemudian”.
Dan apabila mengadakan walimah, maka hendaklah yang diundang
dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia
orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang
kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah
tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Karena Rasululllah Saw bersabda:
ث أ ب ين ا ػ ذ ,ب ر أ ب يؼ, خن ان ب وؼط شع ب ا تج ىن ي ب,
صػ ذق, فح ػ انذ نع س ا اهلل
Artinya: “Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang
diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-
orang miskin tidak diundang”. (HR. Al-Bukhari).40
40
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), h. 517
37
2. Hukum dan Hikmah Walimatul Urs
Melangsungkan walimah „urs hukumnya sunnah, karena Nabi
Muhammad Saw menyuruh Abdurrahman bin Auf agar mengadakan
walimatul urs saat menikah, yaitu beliau bersabda kepadanya:41
ثشب,أ ن ح نى Artinya: ”Adakanlah walimah walaupun dengan seekor domba”.
Hikmah dari diadakannya walimatul urs ada enam yaitu:
a. Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT
b. Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya
c. Sebagai tanda resminya adanya akad nikah
d. Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istri
e. Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah
f. Sebagai pengumuman bagi masyarakat bahwasanya antara kedua
mempelai telah resmi menjadi suami-istri sehingga masyarakat tidak
curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh kedua mempelai.42
3. Hukum Memenuhi Undangan Walimatul Urs
Menghhadiri undangan orang yang mengundang dalam acara walimah
pernikahan hukumnya wajib bagi orang yang diundang, karena memenuhi
undangan ini menunjukkan adanya perhatian kepada pihak yang mengundang,
41
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-Qur‟‟an dan Sunnah,
(Jakarta: Akbar Media, 2009), h. 234. 42
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2009), h. 151
38
memberikan kegembiraan kepadanya dan membuat hatinya lega.
Sebagaimana dasar hukumnya adalah:
Ibnu Umar ra. berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:
خ ن آ دذ كى ئن بر أه, فئ ر ا د ػArtinya: “Jika salah seorang diantara kalian diundang ke acara walimah,
hendaknya dia memenuhi undangan itu.
Abu Hurairah ra. berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:
ػ ا نذ كشر ي ن س ع ح , فقذ ػص ا اهلل Artinya: “siapa yang meninggalkan undangan, maka dia telah menantang
Allah rasul-Nya”.
Abu Hurairah ra. berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:
ئ ن ذ أ ن ذ ئ ن كش ع , د ػ ذهجق, نا ع س ر نArtinya : “Seandainya aku diundang pada hidangan berupa kaki bagian
bawah (yanikit dagingnya), niscaya aku memenuhi (undangan itu). Dan
seandainya aku diberi hadiah berupa kaki bagian depan, niscaya aku
menerima. (HR. Bukhari).
Jika undangan itu bersifat umum dan tidak terbatas pada satu orang
atau sejumlah orang saja, maka undangan tidak wajib dipenuhi dan tidak pula
dianurkan untuk dipenuhi.
Ada yang berpendapat bahwa memenuhi undangan hukumnya fardhu
kifayah. Pendapat lainnya dikatakan, memenuhi undangan walimah
hukumnya sunnah. Pendapat pertama lebih tepat, karena penentangan tidak
dinyatakan kecuali terkait pengabaian kewajiban. Hal ini berkaitan dengan
walimah pernikahan.
Adapun memenuhi undangan selain walimah pernikahan, hukumnya
adalah sunnah bukan wajib, menurut mayoritas ulama. Sebagian pengikut
39
mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa hukum memenuhi undangan apapun
adalah wajib secara mutlak.43
43
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), h. 513-514
40
BAB III
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA BILLA
A. Letak Geografis
Nusa Tenggara Timur disebut juga dengan Flobamora, yaitu propinsi yang
terdiri dari tiga kepulauan besar, yakni pulau Flores, pulau Sumba dan pulau
Timur. Secara astronomis, Nusa Tenggara Timur terletak antara 10°36‟14”-
10°39‟58” LS dan 123°32‟23”–123°37‟01”BT.44
Propinsi ini dibatasi oleh laut
Flores di sebelah Utara, Negara Timor-Timur atau Timor Leste, Provinsi Maluku
dan Laut Banda di sebelah Timur, kemudian di sebelah selatan berbatasan dengan
Samudra Hindia dan di sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara
Barat.45
Lokasi yang dijadikan objek penelitian oleh penulis adalah desa Billa,
Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timur Tengah Selatan, Propinsi Nusa
Tenggara Timur. Jarak antara lokasi penelitian ke kota kecamatan ± 8 Km, ke Ibu
Kota Kabupaten (110) Km dan ke Ibu Kota Provinsi (170) Km. Adapun desa-desa
yang berbatasan dengan lokasi penelitian adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten TTU
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Oe‟ekam
44
Badan Pertanahan Nasional Kota Kupang, Profil Pemerintah Kota
Kupang,http://kupangkota.go.id/?page_id=5132, di akses pada tanggal 17 Januari 2014 45
Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Batas Wilayah
NTT,http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timur, di akses pada tanggal 1 April 2014
40
41
3. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Fatukopa
4. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Abi. Luas areal desa Billa secara
keseluruhan adalah ± 174. 532 ha/m2.46
Dari keseluruhan luas areal desa Billa di atas, 45 % wilayahnya
merupakan deretan perkebunan dan 25 % lagi wilayahnya merupakan deretan
pekarangan dan pegunungan yang terjal dan sungai-sungai yang dalam, yang sulit
untuk ditempuh bila menggunakan kendaraan yang beroda dua maupun beroda
empat, sejauh ini masyarakat masih menggunakan berjalan di atas kedua belah
kaki untuk menempuh jarak tersebut.
Apabila kita melihat kondisi fisik wilayah desa Billa seperti di atas, maka
ini akan sangat berpengaruh terhadap proses pembangunan di daerah ini.
Pengaruh yang sangat menonjol dari kondisi fisik di atas adalah sulitnya membuat
jalan atau jembatan layang yang menghubungkan antara masyarakat yang
bertempat tinggal jauh dari lokasi desa Billa. Jalur transportasi yang
menghubungkan antara Rukun-rukun Tetangga (RT/RW) diwilayah desa Billa
kecamatan Amanuban Timur ini hanyalah melalui jalan kaki. Hal ini
mengakibatkan terisolirnya masyarakat desa dari informasi-informasi
pembangunan. Hal ini dapat disaksikan melalui pembangunan rumah-rumah
penduduk yang 50 % beratapkan rumput alang-alang dan berdinding pelepah
pohon gawang.
46
Ishak S. Sos, Profil Desa Billa 2014
42
Kondisi fisik wilayah desa Billa yang tergolong menantang, tidak saja
menghambat jalur transportasi bagi warga desa Billa, tetapi menghambat juga
transportasi bagi para aparat pemerintah di tingkat kecamatan dalam
mensosialisasikan program kerjanya. Pejabat kantor urusan Agama (KUA)
kecamatan Amanuban Timur yang berperan menerbitkan perkawinan umat Islam,
ia juga merasa kesulitan dalam menjangkau seluruh wilayah RT/RW di desa
Billa Kecamatan Amanuban Timur ini. Berikut adalah kutipan pembicaraannya
dengan penulis pada tanggal 18 Februari 2014 di kantornya
”Luas wilayah yang harus dilayani oleh KUA kecamatan Amanuban
Timur ditambah dengan kondisi jalan yang tidak memadai, merupakan hambatan
tersendiri dari keterbelakangan pembangunan di wilayah kecamatan Amanuban
Timur secara umum dan khususnya adalah wilayah RT Tuble‟o desa Billa ini.
Bisa dibayangkan, apabila musim hujan telah tiba maka sungai-sungai
akan meluap dan tidak ada orang menyebrang dikarenakan tidak ada jembatan
penghubung antara wilayah tersebut. Pejabat yang bertugas di KUA ini tidak saja
menertibkan perkawinan umat Islam, tetapi kami selalu dihubungi oleh warga
yang beragama Islam bila mereka mendapatkan musibah kematian sanak keluarga
atau terkena persoalan yang berhubungan dengan agama. Dan hingga saat ini,
kami hanya memiliki beberapa orang sebagai tenaga honor untuk mendampingi
petugas kami apabila ada kunjungan kerja ke daerah. Sebab kami sendiri bukan
merupakan orang asli daerah ini, maka kehadiran tenaga kerja tersebut sangat
43
dibutuhkan sebagai penunjuk daerah yang akan dituju serta batas-batas wilayah
kekuasaan KUA Kecamatan Amanuban Timur ”.47
Dari kutipan hasil pembicaraan di atas, dapat dimengerti bahwa
keterbelakangan warga Tuble‟o desa Billa diakibatkan oleh tidak adanya interaksi
antara warga masyarakat perkotaan dengan warga di pedesaan atau RT/RW
setempat.
Untuk mengetahui hasil pembangunan di wilayah desa Billa, maka dapat
dilihat melalui tabel berikut yang menampilkan tentang penggunaan tanah pada
wilayah desa Billa.
Tabel I
Desa Billa Menurut Penggunaan Tanah
No Jenis Penggunaan Tanah Luas Tasnah (Ha)
1 Pekarangan dan pegunungan 25. 440 ha/m2
2 Perkebunan 31. 800 ha/m2
3 Pemukiman 1. 272 ha/m2
4 Sawah 113 ha/m2
5 Perkantoran 1. 30 ha/m2
6 Kuburan 1 ha/m2
7 Luas prsarana umum Lainnya 2 ha/m2
Total Luas 174. 532 ha/m2
Sumber : Data Monografi desa Billa keadaan Februari 2014
Pembagian daerah secara administratif desa Billa terbagi 4 Dusun, 9
Rukun Warga dan 22 Rukun Tetangga yang rinciannya seperti yang tertera dalam
tabel berikut
47
Wawancara penulis dengan M. Akhyar Liunokas sebagai staf KUA kecamatan Amanuban
Timur pada tanggal 18 Februari 2014
44
Tabel II
Wilayah Desa Billa menurut Pembagian Dusun
No Nama Dusun Jumlah RW Jumlah RT
1 Dusun A 2 7
2 Dusun B 2 5
3 Dusun C 3 5
4 Dusun D 2 5
Sumber: Data Monografi desa Billa keadaan Februari 2014
B. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Apabila dilihat ke belakang, yakni dari peta pemanfaatan tanah di wilayah
desa Billa maka dapat diambil kesimpulan, bahwa mayoritas masyarakatnya
berpencaharian bertani dan beternak. Masyarakat desa Billa sepenuhnya
bergantungkan kelangsungan hidupnya dari hasil bercocok tanam dan
mengembala binatang ternak yang dilepas bebas berkeliaran di hutan kecil
sedangkan masih ada juga sebagaian masyarakat yang melepaskan binatang
ternaknya di lingkungan halaman rumahnya, ini disebabkan karena masih banyak
halam rumahnya yang masih luas.48
Nusa Tenggara Timur secara umum merupakan salah satu wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang curah hujannya per tahun tergolong
kurang baik, sementara kelangsungan hidup masyarakat tergantung pada hasil
pertanian, persawahan dan peternakan, bila tidak diantisipasi secara dini oleh
48
Wawancara penulis dengan Yusuf Nenohai, Masyarakat desa Billa pada tanggal 18
Februari 2014
45
pemerintah dan warga masyarakat setempat melalui usaha alih tekhnologi pangan
maka tidak heran jika wilayah ini akan menjadi langganan rawan pangan tiap
tahunnya.
Untuk merintis usaha tersebut di atas, pemerintah sebagai penguasa
wilayah harus bekerja sama dengan parah tokoh masyarakat untuk bersama-sama
membina pola pikir masyarakat, artinya dalam hal ini pemerintah membangun
wilayah kekuasaan bila tidak melibatkan tokoh-tokoh masyarakat setempat, maka
pemerintah jangan terlalu banyak berharap untuk diikuti oleh warga. Sebab
sampai saat ini ketaatan warga masih kepada tokoh adat lebih besar ketimbang
pemerintah.
Persiapan warga desa Billa dalam menyongsong musim kemarau yang
panjang dan sering terjadi kerawanan pangan di wilayah ini, warga dalam
berkebun mempersiapkan 4-6 lahan kebun atau sawah. Semua lahan perkebunan
tersebut, ditanaminya dengan jagung atau padi.
Jika lahan tersebut merupakan lahan perkebunan maka di pinggir-
pinggirnya selalu ditanami dengan tanaman berumur panjang, seperti pisang,
tebu, ubi kayu, pepaya, mangga, jeruk, kelapa dll.
Hasil-hasil dari kebun-kebun tersebut yang berupa jagung akan dikemas
dan dikumpulkan pada satu tempat yang bernama umek bubu (rumah bulat
berpanggung), yang berfungsi sebagai lambang pertahanan pangan keluarga.
Sedangkan padi atau beras yang hasil dari sawah tersebut biasanya di pisahkan
dengan jagung-jagung hasil lahan kebun dan biasanya di simpan di ume noe
46
(rumah besar atau rumah tempat tinggal sehari-hari). Jika hasil panen tersebut
sudah dikumpulkan, maka akan diutus seorang keluarga untuk menjemput
ana‟smanaf (pimpinan Agama) agar mengadakan tasyakuran sebelum hasil panen
tersebut dinaikan ke atas umek bubu (rumah bulat berpanggung). Setelah
dinaikan, maka tidak sembarangan orang naik ke panggung tersebut, yang boleh
naik ke umek bubu (rumah bulat berpanggung) hanyalah ibu dari pengurus rumah
tangga tersebut. Ia akan mengambil untuk kebutuhan keluarga sekaligus
mengontrolnya agar persiapan mereka akan memenuhi kebutuhan hingga musim
panen tahun berikutnya, bila menurut penglihatan sang ibu bahwa persiapan atau
persediaan pangan sudah menipis, maka ia akan segera cepat meminta bantuan
kepada suami untuk melihatnya.
Dari hasil pengamatan suami inilah mereka akan memutuskan bersama
tentang usaha penanggulangan kekurangan, sambil menghemat dalam
menggunakan yang masih tersisa.49
Wilayah desa Billa yang dikenal dengan daerah pertanian, apabila warga
sudah memanen kebunnya maka jarang sekali warga yang menjual hasil
panennya. Transaksi dengan uang jarang sekali terjadi di daerah ini. Oleh sebab
itu, uang yang beredar dalam masyarakat juga sangat sedikit.
Beranjak dari kenyataan di masyarakat, penulis melihat bahwa faktor
pendapatan masyarakat desa Billa turut berpengaruh terhadap kelancaran
49
Wawancara penulis dengan Kahar Benu. Masyarakat desa Billa pada tanggal 18 Februari
2014
47
operasionalisasi lembaga pemerintah setempat. Apabila faktor sosial ekonomi
masyarakat diabaikan dengan hanya melihat pada aspek formalitas dan legalitas,
maka pembangunan yang akan terwujud adalah pembanguna yang statis bukan
pembangunan yang dinamis yang melibatkan masyarakat.
Untuk mengetahui komposisi penduduk desa Billa berdasarkan mata
pencaharian, maka dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel III
Komposisi Penduduk Desa Billa
Menurut Mata Pencaharian Pokok
No Mata Pencaharia Jumlah
1 Petani 579
2 Buruh Tani -
3 Pegawai Negeri (PNS) 10
4 Pegawai Swasta -
5 Pedagang -
6 Peternak -
7 Pertukangan -
Jumlah 589
Sumber: Data monografi desa Billa keadaan Februari 2014.
Desa Billa sebagai suatu wilayah yang sedang berkembang, seperti pada
umumnya wilayah-wilayah lain di Indonesia yang sedang berkembang, namun
adat istiadat seperti yang diketahui sebagai ”way ol life”, yaitu cara kehidupan
masyarakat yang merupakan hasil dari kekuatan atau yang diletakan orang tanpa
disadari dan cara hidup itu sebagai cara intensif yang berkembang dari
pengalaman untuk mencapai suatu bentuk berakhir daripada penyesuaian
48
maksimal ke arah kepentingan yang diwariskan oleh tradisi tanpa adanya
perubahan yang rasional.
Sistem berpikir tradisional itu sangat terikat oleh pola-pola tertentu,
sehingga masyarakat desa Billa terkadang sukar menerima ide-ide baru yang lebih
berguna bagi masyarakat modern. Sistem berpikir ini statis irasional, sehingga
sikap mental masyarakatnya tertutup untuk bergerak dan berkembang, karena
mereka masih tetap dan memegang sistem budaya lama yang diwariskan oleh
nenek moyangnya.
Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian konsep-konsep abstrak yang
ada pada sebagian masyarakat desa Billa atau yang dikenal dengan masyarakat
Atoni, mengenai apa yang baik dan mana yang buruk, mana yang penting dan
mana yang bersifat remeh. Sikap budaya lama inilah yang menyebabkan sikap
mental masyarakat tertutup dan pasif.
C. Kondisi Pendidikan
Pembangunan sektor pendidikan merupakan pembangunan yang sangat
vital dan mendesak untuk diwujudkan, sebab melalui sektor ini akan lahir
pemimpin-pemimpin bangsa yang memiliki kemampuan profesional, yang
diharapkan sebagai pelopor pembangunan kultur pelayanan terhadap masyarakat.
Hingga saat ini, perhatian masyarakat desa Billa terhadap pentingnya
peningkatan ilmu pendidikan dirasakan sangat minim. Hal ini dapat dilihat dari
pengadaan sarana dan prasarana. Sarana pendidikan yang tersedia di wilayah desa
49
Billa barulah sebatas Pendidikan Dasar, Taman Kanak-kanak dan Sekolah
Menegah Terbuka dari luas wilayah yang ada.
Warga masyarakat bersama dengan aparat pemerintah, berusaha untuk
mendirikanenam buah sarana pendidikan diantaranya adalah 3 buah TK, 2 buah
sekolah Dasar dan 1 buah Sekolah Menengah Terbuka (SMP terbuka).Dari enam
lembaga pendidikan tersebut di atas, diantaranya salah satu yang berada di bawah
naungan Departemen Pendidikan Nasional Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu
SD Inpres Billa sedangkan lembaga pendidikan lainnya merupakan lembaga
pendidikan swasta.50
Angkatan sekolah di daerah desa Billa sangat kecil padahal anak usia
sekolah banyak sekali, tetapi karena kesadaran warga terhadap pendidikan tidak
ada, maka kenyataan seperti di atas, dibiarkan berlanjut. Hal ini merupakan
kesulitan tersendiri bagi pemerintah dalam memberantas buta aksara, warga lebih
cenderung mendidik putra-putrinya untuk mewarisi tata cara hidup mereka.
Kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya di lembaga
pendidikan formal relatif lebih kecil, karena mereka lebih memilih untuk
mendidik putra-putrinya pada lembaga adat agar bisa mengetahui tentang tata
cara upacara adat istiadat.51
50
Ishak Nitiono, S. Sos, Profil Desa Billa, 2014 51
Wawancara penulis dengan Wabang, Guru Pendidikan Agama Islam di SD Inpres Billa
pada tanggal 1 Februari 2014
50
Pendidikan non-formal adalah pendidikan TPQ yang dilaksanakan setiap
hari, setelah magrib sampai setelah Isya di masjid Al-ikhlas Billa, dan pendidikan
non-formal selalu di bombing oleh ustat danorang tua itu sendiri
Selain itu juga ada pendidikan non-formal Adat yang diberikan oleh para
tokoh adat adalah tidak lain agar kelak putra-putri mereka dapat mengetahui
tentang asal-usul masing-masing. Sehingga di dalam bertindak diharapkan tidak
salah kaprah. Masyarakat desa Billa akan merasa terhina bila terdapat putra-
putrinya tidak mengenal adat istiadatnya.
Oleh sebab itu, bagi mereka yang sudah tidak mengenal terhadap asal-usul
klennya merupakan suatu pengkhianatan terhadap leluhurnya, dan ia bersama
dengan keturunannya akan mendapatkan laknat dari ruh-ruh nenek moyang
berupa gangguan makhluk halus sepanjang hidupnya sampai nyawa mereaka
direnggrut.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh seorang ketua adat di desa tersebut
yang oleh warga, beliau sebagai pusat informasi adat istiadat tentang asal-usul
tiap klen yang mendiami desa Billa. Berikut adalah kutipan hasil percakapannya
dengan penulis pada tanggal 2 Maret 2014.
“Hai atone metomaaiskam inaskolantia bale me inahinmanlali‟nakaf man
lail ana aplenat mais in kanahinaf uab adat in maskan beteaf hanekfa la uabadat
la‟na, mais maiskam hai anah kanaskol ai kanekfa plenat mais inahin uab adat
masan betem in esnek la uab adat natuin uab adat la‟na maupa ma kaul ta uabat
sanat naopabkit”.
Artinya:
“Kami masyarakat suku Atoni bagi anak kami sekolah sampai di
manapundan ia sebagai seorang pejabat pemerintah, namun ia tidak mengerti
tentang adat, maka ia tidak akan dipilih menjadi pemimpin (Natoni adat)
51
tersebut, tetapi apabila anak kami tidak sekolah atau tidak sebgai pejabat
pemerintah namun ia mengerti tentang adat maka ia akan dipilih sebagai
pemimpin (jubir adat) karna adat itu sangat penting sebab jika salah maka akan
dikenakan hukuman atau denda”.52
Dari kutipan pembicaraan tokoh adat masyarakat desa Billa di atas, dapat
dipahami bahwa kemajuan ilmu pendidikan dan tekhnologi yang telah dicapai
oleh pakar-pakar ilmuwan dunia, ternyata tidak mampu untuk memalingkan
masyarakat suku Atoni dari kebiasaan yang telah lama mereka warisi dari
leluhurnya. Dan ini juga merupakan penyebab tersendiri keterbelakangan
pembangunan pendidikan di wilayah desa Billa. Untuk mengetahui komposisi
pendududk desa Billa berdasarkan tingkat pendidikan maka lihat pada tabel
berikut ini:
Tabel IV
Komposisi Penduduk Desa Billa Berdasarkan Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Belum sekolah 145
2 Tidak tamat SD/Buta aksara 704
3 Tamat SD/sederajat 827
4 Tamat SMP/sederajat 82
5 Tamat SMA/sederajat 59
6 Tamat Perguruan Tinggi 8
Jumlah 1.825
Sumber : Data monografi desa Billa keadaan Februari 2014
52
Wawancara penulis dengan Tokoh Masyarakat, Karim Nitiono pada tanggal 29 Februari
2014
52
D. Kondisi Keagamaan
Bidang sosial keagamaan masyarakat desa Billa mayoritas memeluk
ajaran agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Sebagian lagi memeluk
agama Islam, umumnya masyrakat desa Billa belum dapat menjalankan
peribadatan syari‟at agama masing-masing.
Mayarakat mengenal agama-agama tersebut dengan istilah-istilah tertentu
yakni agama Kristen Katolik dengan istilah Kle Mnasi, agama Kristen Protestan
dengan istilah Kle Makuke, dan agama Islam dikenal dengan istilah Kle Soeb
Metan, sejak lama tiga agama tersebut hidup secara rukun dan berdampingan. Hal
ini melihat masyarakat yang memeluk agama-agama tersebut di atas, rata-rata
masih satu keturunan.
Oleh sebab itu, toleransi antar umat beragama di wilayah desa Billa ini
tergolong baik sekali, ini dapat dilihat melalui kerja sama mereka dalam
membangun sarana peribadatan. Warga beragapan, bahwa sarana-sarana tersebut
akan digunakan oleh keluarganya sendiri untuk beribadat kepada Tuhan Yang
Maha Esa, Tuhan yang satu bagi manusia.
Oleh karena itu, di dalam pembangunan sarana peribadatan tersebut semua
keluarga dari berbagai agama yang dianut oleh masyarakat setempat, terlibat
dalam pembangunannya.
Untuk kedepannya wilayah ini membutuhkan peningkatan pembinaan
dalam bidang keagamaan. Untuk mengetahui penganut agama di desa Billa maka
dapat dilihat pada tabel berikut ini :
53
Tabel V
Penduduk Desa Billa Berdasarkan Agama
No Kategori Agama Jumlah
1 Kristen Protestan 1.565
2 Kristen Katolik 298
3 Islam 332
Jumlah 2.195
Sumber: Data monografi desa Billa keadaan Februari 2014
54
BAB IV
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PROSESI PERNIKAHAN
SUKU ADAT ATONI (NTT)
A. Prosesi Pelaksanaan Pra Nikah Menurut Suku Adat Atoni
Dalam adat istiadat suku adat Atoni proses pelaksanaan pra nikah
biasanya didahului dengan perundingan yang dilakukan oleh kedua calon
pengantin dan keluarga kedua belah pihak. Dalam pelaksanaannya terdapat utusan
sebagai orang yang mewakili pembicaraan yang disebut natoni adat. Natoni adat
adalah orang yang pandai dan faham tentang seluk beluk adat suku adat Atoni.
Kebiasaan ini lazim dilakukan sejak dahulu kala, dan dapat pula diartikan sebagai
kebiasaan.53
Prosesi pra nikah dalam suku adat Atoni disebut tamam nasoko atau
tamam man toet bi fe. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam tamam
nasoko atau tamam man toet bi fe (khitbah) adalah sebagai berikut:
1. Fesula Tolo
Atone tamaman fena sula tolo neo bife, naomnan ton mese na atone
onan tamam man tetan poetan sula tolo, sula tolo batim nua on, sula tolo la
otone inimfenmes nok, sula tolo la atone in fomilnemsat noknahinan neo sula
tolo, kaul atone in fomilna noknahinan neo han fe sula tolo mas esan fenublua
nako klene ai falo
53
Tamrin Kadir Isu, Natoni Adat Suku Atoni, wawancara pribadi pada tanggal 2 Maret 2014
54
55
Artinya:
Proses ketika seorang laki-laki dalam memberikan sula tolo tersebut
harus sampai satu tahun terlebih dahulu, kemudian baru diadakan penarikan
sula tolo tersebut, sula tolo terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Sula tolo langsung diberikan oleh laki-laki yang merupakan calon
tunangan si perempuan dan sula tolo ini hanya berupa surat biasa yang
memberitahukan tentang perasaan hatinya.
b. Sula tolo diberikan melalui orang tua dan kerabat terdekat si laki-laki. Jika
sula tolo ini diberikan oleh orang tua si laki-laki, maka harus adanya emas
berupa anting atau cincin.54
2. Helan Poetan Sula Tolo
Helan Poetan Sula Tolo la‟na kaul bife sium atone in sulat okatan
tuinan noesaman balas eot neo on inimsat loem atone la‟na, na mashan
tekatnak han taman han helan poetan. Kaul bife balas nalail la sulat tolo
la‟na, na mas atone nok in fomili han atol bife blua nok pake nako, noso, lipa,
falo, heke, klene, tua, none. Proses tamam man helan poetan sula tolo la‟na
harus tianpai bife in ume blua nok pake nateksin neo bife in matnini, kaul
none solo nok tua boetmese nateksin neo bife in enaf amaf matkini, na onan
eot neo ok amteksin la„na han helan poetan sula tolo ai la biasantekam bi
suku adat Atoni nak on Sae Toe Sanu Seet.
Artinya:
Dalam helan poetan sula tolo tersebut, harus ada balasan surat dari
wanita tersebut yang menyatakan bahwa iapun menyukai laki-laki tersebut,
dan apabila surat tersebut telah dibalas, maka keluarga dari pihak laki-laki
mempersiapkan pakaian dan perhiasan yang berupa, baju, sarung, sandal,
emas (anting, kalung, cincin), tua (arak berupa minuman mabuk), uang adat.
Dan apabila persiapan tersebut telah disiapkan, maka calon laki-laki tersebut
bersama keluarganya mendatangai rumah si calon perempuan, kemudian
pakaian dan perhiasan tersebut di simpan dalam kotak sirih dan disimpan di
depan mata si perempuan, sedangkan tua (arak berupa minuman mabuk), dan
uang adat tersebutpun disimpan dalam kotak sirih dah disimpan di depan
kedua orang tua wanita tersebut, baru si natoni adat mulai menyampaikan
maksud dan tujuan okomama yang ada di depan mata mereka. Jika sula tolo
54
Marten, Anak dari Tokoh masyarakat Suku Atoni, wawancara pada tanggal 11 Maret 2014
56
tersebut dikasih langsung oleh laki-laki yang bersangkutan maka disaat helan
poetan sula tolo tersebut ia akan dikenakan hukum atau denda berupa
pembayaran uang sejumlah Rp. 500.000-00”
Setelah helan poetan sula tolo biasanya orang tua perempuan merasa
sangat senang, karena mereka merasa mendapatkan suatu penghargaan
sehingga anak perempuannya dipinang oleh laki-laki, karena yang sering
terjadi di masyarakat Atoni dalam hal perkawinan adalah melalui kawin lari,
namun selama pernikahan belum berlangsung para orang tua selalu khawatir
bahwa anak perempuan mereka akan membuat senonoh dan menimbulkan
efek negatif berupa kehilangan harga diri di mata masyarakat melalui ajakan
kawin lari oleh laki-laki lain selain pinangannya.55
Oleh karena itu para orang tua yang sudah mendapatkan penghargaan
tersebut mengambil langkah dengan cara natupasin (kedua calon pengantin
sudah tidur bersama selayak pasangan suami-sitri) malam saat setelah
tamaman helan poetan sula tolo. Natupasin ini dilakukan karena sering terjadi
ajakan kawin lari oleh laki-laki lain selain pinangannya dan apabila terjadi
seperti hal tersebut maka keluarga dari pihak perempuan akan dikenakan
denda atau bayar uang adat berupa lima puluh ekor sapi.56
3. Bife loem ai penkun (Peminangan tersebut di terima atau ditolak)
Kaul atone tamaman toet bife, bife penkun bifela‟na maskan balasfa sula
tolo ai maskan naitfa ok amteksin la nok blua, pake, none, mak tua, mais kaul
55
Kadir Keke Isu, Anak dari keturunan Raja Suku adat Atoni, wawancara pribadi pada
tanggal 11 Maret 2014 56
R. B, Pelaku Kawin Lari dengan H. N, wawancara pribadi pada tanggal 11 Maret 2014
57
naitsin neo bifela in fomilne mashan nateken oko mese nok none solo, tua
botel mese ma pilu neo atone infomilne onan eot neo sinin sium atone iniblua.
Artinya:
Ketika seorang laki-laki meminang seorang wanita, dan wanita itu
tidak menerima pinangan dari laki-laki tersebut maka si wanita tidak akan
membalas sula tolo dan mengambil barang-barang yang telah disimpan di
depan mata saat tamaman helan poetan sula tolo. Tapi apabila pinangan
tersebut diterima, maka dari pihak keluarga perempuanpun harus
menyiapkan uang adat, tua (arak berupa minuman mabuk), dan pilu (ikat
pinggang suku adat Atoni). Kemudian disimpan di depan orang tua calon
pengantin laki-laki, dan perwakilan natoni adat dari pihak perempuanpun
menyampaikan maksud okomama yang ada di depan mata mereka, tujuannya
agar keluarga dari pihak laki-lakipun mengetahui bahwasanya pinangan
tersebut diterima oleh pihak perempuan.57
B. Prosesi Pelaksanaan Nikah Menurut Suku Adat Atoni
Pelaksanaan nikah dalam suku adat Atoni, dikenal dengan istilah kabin
alat, sebelum melakukan kabin alat, keluarga dari calon mempelai pria kembali
mendatangi kediaman calon mempelai wanita untuk menentukan hari kabin alat
akan berlangsung, kabin alat ini biasa berlangsung selama tiga hari dan dua
malam.
Bagi masyarakat suku adat Atoni kabin alat ini sangat penting
dibandingkan akad pernikahan, karena akad nikah itu hanya merupakan syarat
untuk pencatatan nikah, sedangkan kabin alat merupakan syarat utama dalam
melakukan perkawinan di suku Atoni. Karena bagi masyarakat Atoni yang tidak
melakukan kabin alat, maka dikhawatirkan suatu saat akan medapatkan ganjalan
dari roh-roh nenek moyang mereka.
57
Muslimin B, Cucu Kepala Suku adat Atoni, wawancara pribadi pada tanggal 12 Maret 2014
58
Kabin alat ini merupakan acara perkawinan yang dianggap sangat sulit
pada masyarakat Atoni, karena bagi kedua calon pengantin harus mempersiapkan
bermacam-macam syarat kabin alat, sehingga terkadang bagi pasangan yang tidak
mampu terpaksa melakukan perkawinan kawin lari tanpa menikah terlebih
dahulu.
1. Syarat-syarat yang harus disiapkan oleh laki-laki dalam melakukan kabin alat
terdiri dari:
a. Puahmanus (sirih pinang).
b. Noen Solo, Tuaboetmese (Uang, minuman arak yang memabukan)
c. Lipa (sarung)
d. Noso (baju)
e. Falo, Heke, Klene (emas berupa anting, kalung, cincin)
f. Bia (sapi)
g. Mnes (Beras)
2. Syarat-syarat yang harus disiapkan oleh perempuan dalam melakukan kabin
alat terdari dari:
a. Puah manus (sirih pinang)
b. Noen Solo, Tua boetmese (Uang, minuman arak yang memabukan)
c. Mau (Sarung suku adat Atoni)
d. Pilu (topi suku adat Atoni)
e. Bia (sapi)
59
f. Mnes (beras).58
3. Prosesi dalam melakukan kabin alat menurut suku adat Atoni ini diawali
dengan:
a. Puah Manus ona nahe na benonat ok on talfe neo puamnasi neo keothaef
keot nimaf, enaf ai lala oe oto.
Artinya: “Siri pinang, Tua none (minuman arak yang memabukan)
kepada orang tua dan keluarga perempuan untuk mengingat jasa-jasa
orang tua dalam membesarkan anak gadis mereka”.
Dalam hal ini keluarga pihak laki-laki harus mempersiapkan
beberapa kotak sirih, kotak sirih yang disiapkan itu tergantung berapanya
anggota keluarga si perempuan dalam rumah.Kotak sirih (okomama)
tersebut berisi uang, baju atau sarung suku adat Atoni. Kemudian satu
okomama disimpan di depan kedua orang tua, dan setiap anggota
keluargapun berhak mendapatkan satu okomama di depan mata mereka.
Baru kemudian satu okomama lagi dan tua (minuman arak yang
memabukan ) buat orang tua mempelai wanita, tujuan sebagai noen eto.
Apabila semua okomama sudah siap baru natoni adat, maju dan
memberitahukan tentang maksud dan tujan okomama-okomama yang ada
di depan mata mereka sebagai nahe na benonat ok on talfe.
58
Umar Keke Isu, Anak dari Raja Suku Adat Atoni, wawancara pribadi pada tanggal 12
Meret 2014
60
b. Onamnasi aombianam bian ma eotnin neo bife ma atone mak anin.
Artinya:
Orang tua kedua calon pengantin saling memberitahukan bahwa anak
mereka akan segera menikah.
Jika dalam hal nahe na benonat ok on talfe yang mempersiapkan
okomama adalah pihak laki-laki, maka disini yang natek okomama adalah
keluarga dari pihak perempuan, itupun hanya satu okamama sebagai noen
eto untuk memberitahukan kepada keluarga pihak laki-laki bahwasanya
anak mereka akan menjadi sebuah pasangan keluarga.
c. Bife inimnasi namuib sin anah
Artinya:
Keluarga perempuan memberikan harta bawaan kepada anak perempuan
mereka.
Harta bawaan tersebut terdiri dari:
1) Bia (Sapi)
2) Bikase (Kuda)
3) Bibi (Kambing)
4) Pika (Piring)
5) Sunu (Sendok)
6) Klas (Gelas)
7) Nai (Periuk atau alat untuk memasak)
Tujuannya Bife inimnasi namuib sin anah
Tujuannya Bife inimnasi namuib sin anah adalah jika setelah
menikah dan pisah rumah dengan orang tua, kedua pengantin tidak saling
61
mengungkit apabila ada masalah rumah tangga. Karena anak laki-laki di
suku adat Atoni saat menikah pengeluaran lebih banyak dibandingkan
anak perempuan. Jika telah melakukan kabin alat baru mengundang pihak
KUA untuk melaksanakan kabin smanaf (akad nikah).59
C. Prosesi Walimatul Urs
Undangan walimatul urs yang berlaku di suku adat Atoni ini sangat
berbeda dengan daerah-daerah lain, karena pada umumnya daerah-daerah lain
menggunakan surat undangan nikah, sedangkan undangan pernikahan di suku
adat Atoni ini berupa okomama puah manus (sirih pinang).
Puah manus (sirih pinang) disini nanti dibagikan kepada semua saudara
dan kerabat dari kedua calon pengantin tersebut, kemudian puah manus yang
telah disiapkan itu juga akan dibagikan perkeluarga atau per setiap marga yang
sama, kemudian orang yang tertua dalam marga tersebut yang akan membagikan
puah manus kepada fomilinya (keluarga-keluarga) terdekatnya sebagai okoma2
elmalinat (undangan pesta pernikahan).
Dalam pelaksanaan walimah akan dilaksanakan setelah kedua calon
melakukan akad nikah, melaksanakan upacara perkawinan biasanya juga
diselenggarakan hiburan. Hiburan ini bermacam-macam, misalnya: dansa, tarian
59
Umar Kekek Isu, Anak dari Keturunan Raja Suku adat Atoni, wawancara pribadi pada
tanggal 12 Maret 2014
62
perang atau caci, dan tarian ja‟i, yang dewasa ini sepertinya belum sempurna jika
dalam pernikahan tanpa adanya hiburan tersebut.
1. Tarian Perang atau Caci
Tarian perang atau caci dilakukan antara sepasang penari laki-laki
yang bertarung dengan cambuk dan perisai, pertarungan berlangsung dengan
diiringi bunyi pukulan gendang dan gong, serta nyanyian adat semisal
pantun.60
tarian ini akan dilakukan setelah prosesi akad nikah, kemudian
natoni adat (jubir adat) meminta izin kepada orang tua wanita untuk
melakukan tarian perang tersebut, tarian perang atau tarian caci biasanya
dilakukan oleh beberapa kelompok, namun yang membuka tarian tersebut
adalah tuan rumah (uem tuaf) keluarga pihak perempuan dengan kelompok
penantang dari pengantin keluarga laki-laki.
2. Hiburan organ tunggal atau nyanyian
3. Tarian Ja‟i
Dewasa ini kebanyakan orang di desa Billa menganggap bahwa pesta
perkawinan belum sempurna tanpa adanaya hiburan tarian Ja‟i, terutama bagi
para undangan dan tamu-tamu kehormatan karena, Ja‟i merupakan simbol
kebersamaan dan kegembiraan.61
Dari hasil penelitian penulis bahwa hiburan dan tarian ja‟i yang
dilaksanakan di desa Billa, kebanyakan para pemuda menampilkan tarian
60
Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Tarian Perang atau
Cacihttp://id.wikipedia.org/wiki/Caci., diakses pada tanggal 25 Maret 2014 61
Maria Lily, Ja‟i Ngada, http://sailkomodo2013 diakses pada tanggal tanggal 25 Maret 2014
63
ja‟inya dengan berpegangan tangan atau berpegang pada pinggul pemudi yang
diikuti oleh goyangan yang mengundang syahwat dari pelaku-pelaku dan
tarian ja‟i tersebut. Terkadang sering terjadi keributan antara para pelaku taian
laki-laki dikarenakan para lelaki mabuk sehingga berebut wanita-wanita
cantik dan yang cerdas berdansa.
D. Perspektif Hukum Islam Terhadap Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni
Salah satu peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan manusia dalam
berbagai suku adalah masalah pernikahan, karena pernikahan merupakan suatu
sistem sosial yang tidak hanya menyangkut dua manusia yang berkepentingan
saja tetapi juga menyangkut orang tua, kerabat dan masyarakat.62
Islam sebagai tuntunan bagi manusia mengatur hal pernikahan,
diantaranya mengenai kafa‟ah. Kafa‟ah atau kufu yang berarti seimbang atau
keserasian atau kesesuaian, serupa sederajat dan sebanding.
Sedangkan yang dimaksud sekufu dalam pernikahan, menurut hukum
Islam adalah keserasian dan keseimbangan antara calon istri dan calon suami
sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan
pernikahan, artinya kedua calon sebanding dalam kedudukan, tingkat sosial, dan
akhlak serta kekayaan.
62
Suryowingjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung,
1982), h. 122
64
Ulama berpendapat bahwa masalah kufu‟ dalam pernikahan. Sebagian
ulama menganggap bahwa kufu merupakan syarat sahnya akad nikah, sedangkan
ulama yang lain berpendapat bahwa persetujuan wali calon pengantin wanita yang
menjadi syarat sah akad nikah, jika tidak ada persetujuan dari keduanya maka
pernikahan dianggap batal.63
Sedangkan menurut kalangan mazhab Maliki tidak ada perselisihan bahwa
apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum
khamar, atau orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinannya.64
Karena khamar akan menimbulkan dampak negatif dan merusak akal seseorang,
sebagaimana Firman Allah :
Artiny: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (QS.
An-Nisa: 43).65
Oleh karena itu Islam menganjurkan kepada setiap manusia untuk
melaksanakan setiap pernikahan bagi mereka yang mampu dengan cara yang baik
dan ma‟ruf dan tidak menggunakan syarat pengabsahan pernikahan seperti arak
atau khamar. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tarmidzi
bahwasanya “sesungguhnya Rasulullah Saw melaknat dalam khamar sepuluh
personel, yaitu: pemerasnya (pembuatnya), distributor, peminumnya,
63
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 33 64
Ibnu Rasyid, Bidayatul Mujtahid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1971), h. 122 65
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 289
65
pembawanya, pengirimnya, penuangnya, penjualnya, pemakan uang hasilnya,
pembayarnya, dan pemesannya.” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzy).
Peminangan merupakan pintu gerbang pernikahan yang harus dilalui,
namun setelah peminangan itu berlangsung biasanya banyak kekeliruan yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring mereka
pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah
melangsungkan peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas.
Misalnya, jalan berdua, bicara berdua, bahkan bagi masyarakat yang lebih awam
menggapnya kedua calon tersebut sudah bisa melakukan hubungan selayak
pasangan suami-istri. Dalam hal seperti ini Allah berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. “ (QS. Al-Israa: 32)
Padahal Khithbah sebenarnya hanya merupakan janji kedua pihak untuk
menikah pada waktu yang disepakati, dalam menjalankan proses khitbah diantara
keduanya boleh saling melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah,
menanyakan kepribadian masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, dan
sikap, karena khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal
lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma‟ruf. Sebagaimana Allah SWT
berfirman:
66
Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka
perbuat". (QS. An-Nur: 30)
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-
wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-
laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan
kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung”. (QS. An-Nur: 31)
67
Prosesi perkawinan yang dianjurkan bukan hanya terjadi dalam Islam saja
melainkan ini juga barlaku di setiap daerah, namun harus dipertimbangkan karena
hukum adat harus menyesuaikan dengan hukum Islam, artinya dalam melakukan
suatu kebiasaan dan kebisaan tersebut tidak sesuai dengan hukum Islam, maka
kebisaan tersebut harus ditinggalkan, namun jika kebiasaan tersebut tidak
melanggar syariat agama Islam maka kebisaan tersebut dapat dijadikan sebagai
dasar hukum yang wajib diamalkan. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
يب س أ انغه دغب ف ػذ ا اهلل دغArtinya: “apa yang dipandang baik oleh umat Islam, baik pula disi Allah ”.
66
Prosesi perkawinan berlaku juga pada masyarakat suku adat Atoni.
Masyarakat suku adat Atoni melaksanakan adat kebiasaan ini sejak zaman nenek
moyang mereka,67
Islam membolehkan adat kebiasaan yang tidak bertentangan
dengan syarah, hal ini sesuai dengan kaidah fikiyah yang berbunyi :
ا نؼب د ح يذكخ .68
Artinya : “Adat kebiasaan yang baik dapat dijadikan sebagai sumber hukum”
Dalam pernikahan suku adat Atoni prosesi perkawinan kabin alat, kedua
calon pengantin harus mempersiapkan syarat-syarat yang telah ditetapkan, baru
bisa melakukan pernikahan sehingga sangat sulit bagi sebagian masyarakat yang
tidak mampu,69
padahal dalam kitab fikih disebutkan bahwa dalam melakukan
66
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Searah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002), h. 155 67
Karim Nitiono, Tua Adat Masyarakat desa Billa, wawancara pada tanggal 12 Maret 2014 68
As-Suyuthiy, Al-Asbah, Wa Nazair Fi Furru‟, h. 64 69
Ishak Nitiono, Kepala Desa Billa, wawancara pada tanggal 13 Maret 2014
68
perkawinan tidak boleh memberatkan kedua belah pihak. Hal ini selaras dengan
hadis Nabi Saw :
ء عم ث عؼذ قب ل : ص ج ا ج صه اهلل ػه عهى س جال ا يش ا ح ة خب رى ي دذ ذ
)ا خش ج ا نذب كى(
Artinya : “Dari Sahl bin Saad berkata : Nabi Saw menikahkan seorang laki-laki
dengan seorang wanita dengan mahar dari cincin besi. ” (dikeluarkan hakim).70
Agama Islam merupakan agama yang lurus dan penuh kemudahan.
Sebagaimana Allah SWT berfirman :
.... األ خ
Artinya: ".....Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu....."(QS. Al-Baqarah: 185)
Demikian juga Rasul Saw bersabda:
س أغشب يب نى ك ئثب ث شـئ ئال اخزبا ا نج صه ا هلل ع ن عهى خش ث
Artinya: "Sesungguhnya Nabi Shollallahu „Alaihi Wa Sallam tidak pernah
diperintahkan untuk memilih diantara dua perkara kecuali akan memilih perkara
yang paling mudah selagi bukan merupakan dosa” (HR. Bukhori Muslim).71
Adapun upacara atau hiburan pesta perkawinan masyarakat suku adat
Atoni, yang dilaksanakan jika dilihat dari hukum Islam sebagai berikut, Bila
ditinjau dari hukum Islam, hiburan dan nyanyian boleh, berdasarkan hadist Nabi
Muhammad Saw:
اث ل ا نه ػ صب س فجب ء س ع ا نأ ب ي كذذ ػب ئغخ ر ا د قش ا ثخ ن ػجب ط :أ
ب ي زى انفزب ح ؟ قب ن : ؼى . قب ل : أ س عهزى يؼ ذ عهى فقب ل : أ ء صه ا هلل ػه
70
Ibnu Hajar, Al-Asqalani, Bulughul Maram, Taklid dan Tahrij, (Bairut: Darul Fikr, 1979), h.
452 71
http://www.ppmus.com/artikel/278-kaidah-hukum-adat-acuan-dalam-menjawab-
problematika-modern-1 di akses pada tanggal 13 Maret 2014
69
ى غ ؟ قب و ف صب س ق ا ال عهى : ا ل اهلل صه ا نه ػه نذ : نب. فقب ل سع
دب كى ب كى فذب ب ب كى ء أ ر ل : أ ر ق ب ي ثؼززى يؼض ػض ل فه
)س ا ث يب ج(
Artinya: Dari Ibnu Abas: Aisyah pernah mengawinkan salah seorang kerabatnya
dengan orang anshor, kemudian Rasululullah Saw datang dan bertanya: “
Apakah kamu telah memberikan gadis itu kepada suaminya?” Para sehabat
menjawab : betul. Rasulullah Saw bertanya lagi: “ Apakah kamu kirim gadis itu
oorang yang akan bernyanyi?, Aisyah menjawab: tidak, kemudian Rasulullah
Saw bersabda: “ Sesungguhnya orang Anshor adalah suatu kaum yang suka
kepada nyanyian. Alangkah baiknya kamu kirim bersama dia seorang yang
menyatakan: kami telah datang kepadamu, maka dia memberi hormat kepada
kami dan kami memberi hormat pula kepada kamu”. (HR. Ibnu Majah).72
Sedangkan hiburan-hiburan lain dalam acara walimahpun dapat
diperbolehkan, sebagaimana Nabi Saw bersabda:
ب ص ػب ئغخ أ ػ ػه صه انه صب س فقب ل انج ا أل فذ ا يش أ ح ا ن س جم ي
)س انجخب س( ى ا نهه صب س ؼجج ا أل ؟ فب ن يؼكى ي عهى : ب ػب ئغخ يب كب
Artinya: “Dari Aisyah r.a bahwa ia mengantar seoorang wanita sebagai
pengantin kepada seorang lelaki anshor, maka Rasul Saw bersabda: Hai Aisyah
permainan apa yang kamu punyai? Susungguhnya orang Ansor menyukai
permainan (hiburan).73
Berdasarkan kedua hadist tersebut di atas, maka penulis mengambil
kesimpulan bahwa hiburan dan nyanyian yang diperdengarkan pada saat-saat
upacara atau pesta perkawinan di suku adat Atoni tidaklah bertentangan dengan
ajaran agama Islam, meski yang menyanyikan itu adalah wanita, karena
mendengarkan nyanyian yang dinyanyikan oleh wanita tidaklah haram, begitu
juga termasuk hiburan-hiburan tarian lainnya. Keharaman itu bisa dikatakan
apabila kita melihat penyanyinya secara langsung di temap maksiat dan si
72
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikri), Juz I, h. 128 73
Imam Bukhari, Al-Jami as-Shahih, (Beirut: Dar Ihya atu Turas al-Arabi), Juz III, h. 377
70
penyanyi wanita tersebut menampilkan kecantikan tubuhnya dengan membuka
aurat.
71
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam bab terakhir ini setelah penulis membahas bab demi bab maka
penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1. Prosesi perkawinan yang dianjurkan bukan hanya terjadi dalam Islam
saja,melainkan ini berlaku juga pada masyarakat suku adat Atoni. Namun
prosesi perkawinan yang terjadi di suku adat Atoni sangat bertentangan
dengan ajaran syariat agama Islam, Karena dalam melakukan perkawinan
masyarakat suku adat Atoni cenderung mengunakan tua, none (minuman arak
yang memabukan) sebagai cara atau syarat pengabsahan jalannya perkawinan.
Setelah adanya proses peminangan, maka menurut para orang tua dari
pihak perempuan akan memperbolehkan si calon suami untuk tinggal serumah
meskipun belum menikah,faktor penyebabnya karena sering adanya ajakan
kawin lari oleh laki-laki lain terhadap perempuan tersebut.
2. Masyarakat Atoni melaksanakan adat kebiasaan ini sejak zaman nenek
moyang mereka, dibandingkan Agama karena ada beberapa faktor, diantara
faktor-faktor tersebut adalah:
a. Karena kepercayaan masyarakat yang sangat kuat terhadap nenek moyang
atau roh-roh mereka,
b. Karena minimnya ilmu Agama dan
c. Ilmu Pendidikan
71
72
B. SARAN-SARAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis maka untuk bahan
evaluasi dan perbaikan ke depan penulis memaparkan beberapa saran yang dapat
bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi orang Timor, diantaranya yaitu:
1. Untuk masyarakat Atoni, lebih ditingkatkan pendidikan ilmu Agama.
2. Untuk para tokoh adat, (kepala suku) diharapkan untuk memberikan
kesempatan atau peluang kepada putra-putri dalam menuntut ilmu agar bisa
dapat merubah masyarakat Atoni yang lebih baik dan maju.
3. Bagi para junior atau peneliti lain yang ingin meneliti adat Timor maka
penulis sarankan untuk meneliti secara lebih luas“ Belis Nana‟nakan
(Mahar/Jual Beli Susu), ini sering terjadi di suku Timor khususnya pada
masyarakat Rote.
73
DAFTAR PUSTAKA
Sidi Nazar Baqry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1993, cet. Ke-I.
Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,
Direktorat Urusan Agama Islam, Korps Penasehat Perkawinan dan Keluarga
Sakinah, Jakarta: 2001
Asnawi Mohammad, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta:
Darussalam Perum Griya Suryo Asrif, 2004, cet. Ke-I.
http:/bekal pernikahan.blogdrive.com
Soekanto Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1986, Cet. Ke-
III.
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, Bandung: Al-Bayan,
1994
Yayan Sopyan, Dr. M. Ag, S. H. Pengantar Metode Penelitian, Ciputat: UIN
Jakarta, 2010
Kotja Ningrat, Pedoman Penelitian, Jakarta: Raja wali Press, 1989.
Ash-Shabbagh Mahmud. Keluarga Bahagia Dalam Islam, Jakarta: CV.
Pustaka Mantiq. 1993.
Tihami, Prof. Dr. H. M. A. M.A. dan Sahrani,Drs. M. M. M. H, Fiqh
Munakahat Kajian Fikih Lengkap, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009
Imad Zaki Al-barudi, Tafsir Al-Qur’an al-Anzhim Lin Nisa, Jakarta Pusat:
Pena Pundi Aksara
Ash-Shabbagh Mahmud. Keluarga Bahagia Dalam Islam, Jakarta: CV.
Pustaka Mantiq, 1993
Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah, Jakarta: Cakra Publishing, 2008. Cet ke-I.
Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir,Kamus Arab-Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997, cet. Ke-14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta:
Kenacana, 2007
74
Dep Diknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008, cet. Ke-I, edisi ke-4
Frista Artmanda W, Kamus Bahasa Indonesia, Jombang: Lintas Media, 2007
Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar Juz 2, Indonesia: Darul ‘Ihya al-Kutub
Arabiyah
Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992
Abdurrahman Al-jaziry, Al-Fiqh‘ AlaMadzahib Al-Arba’ahJuz 4, Beirut:
Darul Ihya, 1969
Djama’an Nur, Fiqh Munakahat, Semarang: Dina Utama Semarang, 1993,
cet. Ke-I
Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad bin Abdul Mu’min .t.t Kiyafatul
Akhyar Fi Halli Ghayaatul Ikhtisar Syarah Matanaabi Syuja’. Beirut: Dar al-minhaj
Annawawi Imam Muhyiddin, Shahih Muslim, Beirut: Darul Marifah, 2007
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, FiqhMunakahat I
Mir Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/19974
sampai KHI(Jakarta: Kencana, 2006) ed. I cet. I
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antar Fiqh
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan
Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia Jakarta: Pt. Sinar Grafika,
2006, cet. I
Mukhtar,Kamal Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan
Sabiq Sayid, Fiqh Sunah Terjemah M. Galib, Bandung: Al ma’arif, 1994, cet-
ke 5
Wasiun Mika,” Hukum dan Perkawinan Menurut
Islam”,http://www.jadipintar.com/2013/06/Hukum-dan Hikmah-Perkawinan-
Menurut-Islam.html, di akses pada 18 Desember 2013
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, Bandung: CV Pustaka Setia,
1999, cet. I
75
Bigha Mustofa Diibul, Doktor. Fiqh Syafi’I, Sawahan: CV Bintang Pelajar,
1984
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-Qur’’an
dan Sunnah, Jakarta: Akbar Media, 2009
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011
Badan Pertanahan Nasional Kota Kupang, ,Profil Pemerintah Kota Kupang,
http://kupangkota.go.id/?page_id=5132,di akses pada tanggal 17 Januari 2014
Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Batas Wilayah NTT,
http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timur, di akses pada tangal 1 April
2014
Ishak S. Sos, Profil Desa Billa 2014
Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Tarian Perang atau
Caci,http://id.wikipedia.org/wiki/Caci. Tarian Perang atau Caci, diunggah pada
tanggal 25 maret 2014
Maria Lily, Ja’iNgada,http://sailkomodo2013.nttprov.go.id/index.php/2012-
12-05-06-20-09/tarian-daerah/158-tarian-ja-i diunggah pada tanggal 25 Maret 2014
Suryowingjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung
Agung, 1982
Ayyub Syaikh Hasan, Fiqh Keluarga, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006
Rasyid Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Beirut: Dar al-Fikr, 19971
Syarifuddin Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003)
As-Suyuthiy, Al-Asbah, Wa Nazair Fi Furru’
Ibnu Hajar, Al-Asqalani, Bulughul Maram, Taklid dan Tahrij, Bairut: Darul
Fikr, 1979
http://www.ppmus.com/artikel/278-kaidah-hukum-adat-acuan-dalam-
menjawab-problematika-modern-1 di akses pada tanggal 13 Maret 2014
Majah Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar al-Fikri, Juz I
Imam Bukhari, Al-Jami as-Shahih, Beirut: Dar Ihya atu Turas al-Arabi, Juz III
Wawancara Kuesioner Penelitian
Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni (NTT)
Nara sumber : Ustat Alimin Banfatin
Jabatan : Mantan Imam Masjid Al-Ikhlas Billa
Pewawancara : Abiyati Atnan Nitiono
Hari/tanggal : 22 Maret 2014
Pertanyaan : Bagaimana menurut pandangan anda tentang proses
pelaksanaan perkawinan di Desa Billla?
Jawaban : Karena sebagian besar tidak semua proses pelaksanaan
perkawinan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Pertanyaan : Langkah pra nikah apa sajakah yang diketahui dan yang
terdapat pada adat masyarakat Islam Suku Atoni?
Jawaban : 1. yang saya ketahui masyarakat Islam suku adat Atoni
melakukan pra nikah dengan cara kedua calon pengantin saling
memberikan tanda mata yang berbentuk barang, misalnya si
calon laki-laki memberikan barang logam atau uang, kemudian
sebaliknya calon mempelai membalas pemberian laki-laki
dengan selendang tenunan khas suku adat atoni yang mana
barng tersebut harus dibuat oleh perempuan tersebut.
menandakan bahwa kedua calon telah bertungan.
2. Si laki-laki beserta keluarganya mendatangi keluarga
perempuan dengan tujuan membocorkan tanda pemberian surat
pertama yang diberikan oleh calon pengantin laki-laki kepada
calon mempelai wanita.
Pertanyaan : Mengapa tradisi proses pelaksanaan perkawinan suku adat
Atoni sampai saat ini masih dilestarikan, bagaimana
tangggapan bapak mengenai hal tersebut?
Jawaban : Karena tradisi perkawininan di suku adat Atoni merupakan
salah satu tradisi yang tidak bisa dirubah atau dihapus karena
tradisi ini sudah menjadi suatu kebiasan dari nenek moyang
mereka.
Pertanyaan : Langkah Apa saja yang harus dipersiapkan oleh calon
pengantin ketika harus menikah?
Jawaban : 1. Laki-laki harus mempersiapkan perlengkapan pakian adat
untuk wanita
2. Perempuan harus menyediakan pakain adat suku adat Atoni
yang terbuat dari hasil tenunan perempuan tersebu.
3. Kedua belah pihak sama-sama menanggung Konsumsi atau
makan minum untuk para undangan.
Mengetahui
(…………..……...)
Wawancara Kuesioner Penelitian
Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni (NTT)
Hasil wawancara dengan saudara
Nama : Taslimin Nitiono
Jabatan : Kepala Suku adat Atoni desa Billa
Pewawancara : Abiyati Atnan Nitiono
Hari/tanggal : 22 Maret 2014
Pertanyaan : Apakah yang dimaksud dengan perkawinan?
Jawaban : perkawinan adalah untuk mempersatukan seorang laki-laki
dengan seorang wanita untuk hidup bersama dalam satu
rumpun atau satu atap dan menghasilkan keturunan-keturunan
yang baik.
Pertanyaan : Kenapa masyarakat Atoni dalam melaksanakan Proses
Perkawinan, harus menggunakan Tua, None sebagai pengantar
pengabsahan perkawinan?
Jawaban : Karena Tua dan None merupakan syarat awal untuk memulai
mengutarakan maksud dan tujuan dalam melakukan
perkawinan, selain itu tua dan none juga merupakan simbol
kebersamaan.
Pertanyaan : Menurut bapak, saat ini apakah masih relevan / cocok untuk
menerapkan adat suku adat Atoni ini?
Jawab : Menurut saya cocok karena kami masyarakat Atoni masih
percaya kepada roh-roh nenek moyang kami.
Pertanyaan : Apabila calon mempelai laki-laki tidak memenuhi
persyaratan dalam prosesi pernikahan adat suku Atoni, apakah
pernikahan menjadi batal atau tidak sah menurut adat
Jawaban : Tidak, tapi akan ditunda hari pernikahan tersebut sampai
semua persyarat lengkap dan terkumpul
Mengetahui
(………….……....)