Post on 05-Jul-2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dimana dan
kapanpun, berbicara secara efektif merupakan suatu unsur penting terhadap
keberhasilan kita dalam semua kehidupan. Albert dalam Tarigan, (1984:26).
Dalam berbicara harus memperhatikan intonasi, jeda, lafal dan volume yang
sesuai. Intonasi dalam berbicara bertujuan untuk memudahkan dalam memahami
kalimat-kalimat yang diucapkan, sehingga kalimat yang diucapkan dapat
dipahami, dimengerti dan menjadi lebih bermakna.
Selain dapat melafalkan dengan tepat, dalam berbicara juga harus
mengetahui langkah-langkah berbicara yang dapat diperoleh melalui latihan dan
praktek penggunaannya. Berbicara dapat menghibur pendengarnya serta dapat
menarik perhatian dengan berbagai cara dan ekspresi yang dilakukannya, baik
gerak maupun mimik wajahnya, sehingga apa yang dibicarakan dapat ditangkap
oleh penyimak karena dilakukan dengan gerak praktek dan sesuai dengan
langkah-langkah yang ada.
Proses belajar mengjar merupakan interaksi yang dilakukan antara guru
dengan peserta didik dalam suatu situasi pendidikan untuk mewujudkan tujuan
yang ditetapkan. Seorang guru sudah barang tentu dituntut kemampuannya untuk
menggunakan berbagai metode dalam pembelajaran. Praktik kegiatan pengajaran
berbicara yang selama ini dilakukan dengan menyuruh murid berdiri didepan
1
kelas untuk berbicara misalnya bercerita atau berpidato. Sedangkan siswa yang
lainnya diminta untuk mendengarkan. Akibatnya, pengajaran berbicara kurang
menarik. Siswa dapat giliran tetekan sebab disamping harus menyiapkan bahan
seringkali guru melontarkan kritikan yang berlebih-lebihan sehingga siswa merasa
kurang tertarik kecuali ketika mendapatkan giliranya.
Dengan melihat kenyataan dilapangan, diduga kurangnya kemampuan siswa
dalam berbicara/mengungkapkan perasaan disebabkan oleh penyajian guru dalam
pembelajaran yang sebagian besar menggunakan metode ceramah, tanpa peragaan
atau gerakan-gerakan dan ekspresi wajah yang sesuai.
Apabila hal diatas dibiarkan berlarut-larut maka dapat mengakibatkan
dampak menurunnya prestasi belajar siswa serta dirasakan sulit bagi siswa untuk
berbicara/mengungkapkan perasaan dengan nada dan gerak serta mimik wajah
yang sebenarnya. Untuk dapat mengatasi hal diatas dipandang perlu adanya
penggunaan metode bervariasi.
Penggunaan metode bermain peran adalah cara tepat bagi siswa untuk
belajar dan berlati berbicara dengan mengungkapkan perasaannya melalui
gerakan-gerakan serta ekspresi wajah, sehingga kemampuan berbicara siswa
lambat laun semakin meningkat. Metode yang ditempuh dalam pembelajaran
berbicara melalui metode bermain peran akan lebih baik jika gur benar-benar tepat
dan baik dalam membelajarkan metodenya. Sehingga dengan metode yang
dilakukan dapat membuahkan hasil yang memuaskan oleh karena dilakukan
dengan langkah-langkah dalam bermain peran dan kesunguh-sungguhan.
2
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mengangkat judul ” Meningkatkan
Kemampuan Berbicara Melalui Metode Bermain Peran Siswa Kelas IV SDN No.
30 Kota Selatan Kota Gorontalo.
1.2 Identifikasi Masalah
Yang menjadi identifikasi penelitian ini adalah keprihatinan tentang
berbicara siswa melalui metode bermain peran, dimana sangatlah perlu untuk
dikuasai khususnya pada kelas IV SD.
Peneliti ini dilaksanakan dengan cara observasi atau pengamatan dan
wawancara sebagai bukti kebenaran yang akurat dan nantinya dapat mambantu
dalam penelitian.
1.3 Pembatasan Masalah
Masalah yang diidentifikasi diatas penting untuk diteliti. Namun
mengingat keterbatasan-keterbatasan maka penulis membatasi pada masalah
dengan penerapan metode bermain peran siswa kelas IV SDN No. 30 Kota
Selatan Kota Gorontalo dapat meningkat.
1.4 Rumusan Masalah
Mengacuh latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini yaitu ” Bagaiman cara meningkatkan kemampuan berbicara melalui
metode bermain peran siswa kelas IV SDN No. 30 Kota Selatan Kota Gorontalo.
3
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan peneliti ini adalah :
1. untuk menumbuhkan minat belajar siswa dalam pelajaran Bahasa
Indonesia khususnya berbicara melalui metode bermain peran.
2. untuk menerapkan model pembelajaran agar siswa aktif dan tertarik
dalam pembelajaran karena diperagakan secara langsung.
1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Untuk Kepala Sekolah:
Sebagai Kepala Sekolah sangatlah perlu meningkatkan frekwensi
keikutsertaan guru dalam meningkatkan kemampuan berbicara siswa
melalui kegiatan bermain peran.
2. Untuk Sekolah:
Dapat menciptakan kehangatan dalam berkomunikasi baik antar kepala
sekolah, guru maupun siswa, karena adanya kemampuan berbicara yang
baik dan benar.
3. Untuk Guru:
Guru melatih dan menumbuhkembangkan keterampilan siswa terutama
dalam meningkatkan kemampuan berbicara siswa serta mewariskan pada
anak didiknya.
4
4. Untuk siswa:
Untuk siswa dapat memberikan kegembiraan dalam kegiatan bermain
dimana peramainan (bermain peran) menjadi alat pendidikan yang
memberikan rasa kepuasan, kebahagian anak didik karena dalam belajar
dilakukan sambil bermain.
5
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Kajian Teoretis
2.1.1 Belajar dan Pembelajaran
Belajar merupakan usaha manusia membangun pengetahuan dalam
dirinya. Serangkaian dengan keinginan manusia yang lebih baik, maka banyak
usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas belajar.
Menurut Winataputra, dkk (1993:148) bahwa “belajar merupakan suatu
perubahan tingkah laku”. Belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku yang
terjadi melalui latihan atau pengalaman. Untuk dapat disebut belajar, maka
perubahan itu harus relative menetap. Tingkah laku yang mengalami perubahan
karena menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti
perubahan dan pengertian, pemecahan suatu masalah atau berpikir, keterampilan,
kecakapan, kebiasaan atau sifat.
Dari pengertian di atas jelas bahwa inti adalah perubahan tingkah laku
individu. Perubahan tersebut diperoleh melalui latihan maupun pengamatan.
Marpaung (2002:10) mengemukakan bahwa “Pengalaman dalam proses belajar
adalah terjadinya interaksi antara individu dengan lingkungan”.
Pengertian lain mengenai belajar dikemukakan pula oleh Uzer dan
setiawati (2001:4) bahwa “belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku
pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan
individudengan lingkungannya”.
6
Dengan demikian diperoleh suatu kesimpulan bahwa belajar pada
dasrnya merupakan proses perbahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
Perubahan tingkah laku tersebut meliputi perubahan pemahaman, pengetahuan,
sikap, keterampilan dan kebiasaan.
Selanjutnya pembelajaran merupakan inti dari pendidikan secara
keselurhan, dimana guru sebagai pemegang peranana utama. Uzer (2004:4)
Mengemukakan Bahwa” peristiwa pembelajaran banyak berangkat dari berbagai
pandangan dan konsep. Oleh karena itu, perwujudan proses pembelajaran dapat
terjadi dari berbagai model”.
Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung
serangkaian perbuatan guru siswa atas dasar hubungan timbalik yang terjadi dlam
situasi edukatif dalam mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian, maka proses
pembelajaran tidak sekedar proses penyampaian pesan berupa materi kepada
siswa, tetapi lebih luas lagi yaitu untuk menanamkan sikap dan nilai pada diri
siswa yang sedang belajar.
2.1.2 Hakikat Pembelajaran IPA
Samatowa (2002:23) mengemukakan bahwa ‘dalam pendekatan belajar
mengajar yang paling efektif untuk dapat menjawab tantangan budaya dan
ledakan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi adalah pendekatan yang
mencakup kesesuaian antara situasi dan belajar anak pendekatan situasi kehidupan
nyata di masyarakat. Selanjutnya menemukan cirri-ciri esensial dari situasi
kehiupan yang berbda-beda akan meningkatkankemampuan menalar, berprakarsa
dan berfikir kreatif pada anak didik”.
7
Selanjutnya di katakana pula bahwa model belajar yang paling cocok
untuk anak Indonesia adalah belajar melalui pengalaman langsung (Learning by
Doing), model belajar ini memperkuat daya ingat anak dan biayanya sangat
murah, sebab menggunakan alat-alat dan media belajar yang ada di lingkungan
anak didik.
Senada dengan hal tersebut, Tisno Hadisubroto (dalam Samatowa, 2002 :
23) mengatakan bahwa pengalaman langsunglah yang memegang peran terpenting
sebagai pendorong lajunya perkembangan kognitif anak. Pengalaman langsung
anak yang berlangsung spontan sampai 12 tahun, efesiensi pengalaman langsung
tergantung pada konsistensi antara hubungan metode dan bahan pelajaran yang
dengan tingkat perkembangan kognitif anak. Anak-anak akan siap untuk
mengembangkan konsep tertentu hanya bila anak telah memiliki struktur kognitif
(skemata) yang menjadi persyaratan yakni perkembangan kognitif yang bersifat
hierarkis dan intekratif.
2.1.3 Hasil Belajar IPA
Pada dasarnya semua orang dapat melakukan perbuatan belajar. Namun
tidak semua orang berhasil dengan baik di dalam belajar. Hasil belajar yang baik
merupakan gembaran prestasi belajar yang tinggi dari seseorang. Pada umumnya
semua orang yang belajar menginginkan utnuk mendapatkan hasil belajar yang
memuaskan. Sudah barang tentu ini memerlukan usaha yang ulet dan sungguh.
Hasil belajar adalah hasil perubahan tingkah laku seorang siswa setelah
memperoleh pelajaran. Hasil belajar biasanya digambarkan dengan nilai angka
atau huruf. Dalam hubungan ini, Hamalik (1983:56) mengemukan bahawa hasil
8
belajar seseorang merupakan perilaku yang dapat diukur, hasil belajar
menunjukkan kepada individu sebagai pelakunya, hasil belajar dapat dievaluasi
dengan menggunakan standar tertentu baik berdasarkan kelompok atau norma
yang telah titetapkan. Hasil belajar ditunjukkan oleh hasil kegitan yang dilakukan
secara sengaja dan sadar.
Menurut Sumartono (1987:81) bahwa, “hasil belajar atau prestasi belajar
adalah suatu nilai yang menunjukkan hasil yang tertinggi dalam belajar, yang
dicapai menurut kemampuan anak dalam mengajarkan sesuatu pada saat tertentu”
Berdasarkan pengertian di atas dapatlah diartikan bahwa hasil belajar
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah hasil yang dicapai oleh sesorang (peserta
didik) setelah memerlukan kegitan belajar IPA.
2.1.4 Ilmu Pengetahuan Alam untuk Sekolah Dasar
Menurut Samatowa (2002:24) mengemukakan bahwa, ilmu pengetahuan
alam untuk anak-anak didefenisikan yakni adalah: (1) mengamati, (2) mencoba
memahami apa yag diamati, (3) mempergunakan pengetahuan baru untuk
meramalkan apa yang telah terjadi, (4) menguji ramalan-ramalan di bawah
kondisi-kondisi untuk melihat apakah ramalan-ramalan tersebut di bawah benar.
Sehinggnya guru harus memahami akan alasan mengapa suatu mata
pelajaran yang diajarkan perlu diajarankan di sekolahnya. Demikian pula dengan
guru IPA, baik sebagai halnya di sekolah dasar. Ia harus tahu benar kegunaan-
kegunaan apa saja yang diperoleh dari belajar IPA.
Selanjutnya Samatowa (2002:25), menyebutkan pula berbagai alasan yang
menyebabkan mata pelajaran IPA dimasukkan di dalam suatu kurikulum sekolah
9
yaitu: (1) bahwa IPA berfaedah bagi suatau bangas, kiranya tidak perlu
dipersoalkan sepanjang belajar, (2) bila diajarkan IPA menurut cara yang tepat,
maka IPA merupakan suatu mata pelajaran yang memberikan kesempatan berfikir
kritis; misalnya IPA diajarkan dengan mengikuti metode “menemukan sendiri”,
(3) bila IPA diajarkan melalui percobaan-percobaan yang dilakukan sendiri oleh
anak, maka IPA tidaklah merupakan mata pelajaran yang bersifat hafalan belaka,
dan (4) mata pelajaran ini mempunyai nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai
potensi yang dapat membentuk kepribadian anak secara keseluruhan.
2.2. Hakikat Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual dikembangkan untuk meningkatkan kinerja
kelas. Kelas yang ‘Hidup’ diharapkan menghasilkan out put yang bermutu tinggi.
Penerapan pembelajaran kontekstual di Amerika Serikat bermula dari pandangan
klasik Jhon Dewey yang pada tahun 1916 mengajukan teori kurikulum dan
metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa.
Filosof pembelajaran kontekstual berakar dari paham progrevisme Jhon Dewey.
Intinya, siswa akan belajar dengan baik apabila yang mereka pelajari berhubungan
dengan apa yang mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa
terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah.
2.2.1 Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual
Apakah pengajaran dan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching
and Learning) CTL ?. Pengajaran dan pembelajaran kontesktual adalah suatu
konsep belajar dan mengajar yang membantu guru untuk menghubungkan
10
kegiatan dan bahan ajar mata pelajaran dengan dunia nyata yang dapat
memotivasi siswa untuk dapat menghubungkan pengetahuan dan terapannya
dengan kehidupan sehari-hari siswa sebagai anggota keluarga dan bahkan sebagai
anggota masyarakat dimana dia hidup (US Departement of Education,2001).
Johnson (dalam Nurhadi, 2004:25) merumuskan pengertian CTL sebagai
berikut: “CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu
siswa melihat makna konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks
lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayannya”.
Dengan demikian, pernyataan ringkasan mengenai pengertian
pembelajaran kontekstual dari penulisan bahwa pembelajaran kontekstual
(Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar siswa dimana guru
menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam
kehidupan mereka sehari-hari, sementara siswa sedikit demi sedikit memahami
dari proses merengkonstruksi sendiri, sebagaiman bekal untuk memecahkan
masalah dalam kehidupan sebagai anggota masyarakat
2.2.2. Prinsip Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Berkaitan dengan faktor kebutuhan individu siswa, untuk menerapkan
pembelajaran kontekstual, guru memegang prinsip pembelajaran sbb:
1. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan
mental (developmental appropriate) siswa. Hubungan antara isi kurikulum
dengan metodologi yang digunakan untuk mengajar harus didasarkan
kepada kondisi sosial, emosional dan perkembangan intelektual siswa. Jadi
11
usia siswa dan karakteristik individual, kondisi sosal dan lingkungan
budaya siswa harus diperhatikan di dalam perencanaan pembelajaran.
Kilmer (dalam Nurhadi,2004:105).
2. Membentuk kolompok belajar siswa yang saling tergantung. Siswa saling
belajar dari sesamanya di dalam kelompok-kelompok kecil dan belajar
bekerja sama dalam tim lebih besar (di kelas), jadi siswa diharapkan
berperan aktif.
3. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri yang
memiliki tiga karakteristik umum, yaitu kesadaran befikir, penggunaan
strategi dan motivasi bekelanjutan. Siswa yang usia 6-16 tahun secara
berhadapan mengalami perkembangan kesadaran berahap;
a. Kesadaran pengetahuan yang dimilikinya.
b. Karakteristik tugas-tugas yang mempengeruhi pembelajarannya
secara individual.
c. Strategi pembelajaran (Brown,Branspor, Ferrara dan Campione,
1993; Flavel, 1978 dalam Paris Winorgrad, 1998)
2.3. Kemampuan Guru Dalam Pembelajaran kontekstual.
Pentingnya kemampuan guru sekolah dasar dapat ditinjau dari beberapa
sudut pandang. Petama, ditinjau dari perkembangan ilmu penetahuan dan
teknologi pendidikan. Semua itu harus dikuasi oleh guru sekolah dasar, sehingga
mampu mengembangkan pembelajran agar meghasilkan anak didik menjadi
lususan yang berkualitas tinggi. Kedua,ditinjadu dari keselamatan kerja. Banyak
aktivitas di sekolah dasar yang bilamana tidak dirancang dan dilakukan secara
12
hati-hati oleh guru mengandung resiko yang tidak kecil. Aktivitas yang
mengandung resiko tersebut banyak ditemukan pada mata pelajaran IPA,
khususnya pada pokok-pokok bahasan perancangan bahan-bahan kimia yang
menuntut keaktifan siswa. Bilamana tidak dirancang dan dilaksanakan dengan
professional tidak manutup kemungkinan akan mengakibatkan kecelakaan. Di sini
pentingnya peningkatan guru professional.
2.3.1 Peranan Guru Dalam Pembelajaran Kontekstual
Agar proses pembelajaran kontekstual lebih efektif, guru perlu melaksanakan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Mengkaji konsep dan kompentensi dasar yang akan dipelajari oleh siswa.
2. Memahami latar bekang dan kompetensi dasar yang akan dipelajari oleh
siswa.
3. Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya
memilih dan mengaitkannya dengan konsep dan kompetensi yang abak
dibahas dalam proses pembelajran kontekstual.
4. Merencanakan pengajaran dengan mengaitkan konsep atau teori yang
dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan
kehidupan mereka.
5. Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk
meningkatkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan/ pengalaman
yang telah dimiliki sebelumnya dan mengaitkan dengan apa yang dipelajari
dengan fenomena kehidupan sehari-hari.
13
Dapat disimpulkan bahwa CTL menyangkut adanya suatu hubungan
seperti pernyataan Johnson, (dalam Nurhadi, 2004:92) sebagai berikut:
1. CTL membuat siswa melakukan kegiatan-kegiatan
yang membantu mereka dapat menghubungkan bahan/kegiatan akademik
dengan konteks dalam kehidupan nyata.
2. Siswa harus mengeluarkan ide-idenya dan harus
memahami penerapannya dalam kehidupan lingkungan yang nyata.
Selanjutnya dinyatakan bahwa “tidak akan ada pengembangan mental apabila
tidak ada minat”. Minat belajar merupakan keadaan yang sangat penting untuk
perhatian dan pemahaman.
2.4. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan hal-hal yang melatar belakanginya dan kajian teoritis yang
telah diuraikan, maka hipotesis tindakan untuk penelitian ini adalah “Dengan
menggunakan pendekatan kontekstual, maka hasil belajar siswa pada
pembelajaran IPA akan meningkat”
2.5. Indikator Kinerja
Adapun yang menjadi indikator kinerja dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk hasil belajar, minimal 85% dari seluruh siswa yang dikenai
tindakan memperoleh nilai 6,5 keatas pada materi sajian.
2. Untuk nilai rata-rata, seluruh siswa di kelasa III dengan memperoleh nilai
minimal 8,5
3. untuk daya serap, minimal diperoleh 85% dari target kurikulum.
14
15