Post on 24-Mar-2019
PRODUKTIVITAS DAN SEAGRASS RESIDENCE INDEX (SRI)
PADANG LAMUN MALANG RAPAT,
PROVINSI KEPULAUAN RIAU
THEO FILIUS MANURUNG
MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Produktivitas dan
Seagrass Residency Index (SRI) Ikan Padang Lamun Malang Rapat, Provinsi
Kepulauan Riau” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2015
Theo Filius Manurung
NIM C24100009
ABSTRAK
THEO FILIUS MANURUNG Produktivitas dan Seagrass Residency Index (SRI)
Ikan Padang Lamun Malang Rapat, Provinsi Kepulauan Riau. Dibimbing oleh
AGUSTINUS M SAMOSIR.
Degradasi lamun diduga akan mengakibatkan penurunan keanekaragaman
hayati, daya dukung ekosistem dan produktivitas perikanan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji kondisi lamun Malang Rapat, produktivitas ikan serta
hubungan antara lamun dan ikan melalui pendekatan Seagrass Residence Index
(SRI). Pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 16 sampai 30 Oktober 2013.
Pengamatan lamun menggunakan metode step and go dan pengambilan contoh
ikan menggunakan bubu kakap sebagai alat tangkap. Jenis lamun yang ditemukan
adalah Enhalus acoroides, Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium, dengan
tutupan lamun dominan oleh E. acoroides. Spesies ikan di padang lamun Malang
Rapat berjumlah delapan spesies dengan tiga spesies dominan yaitu, ketambak
merah (Lethrinus lentjan), ikan merah (Lutjanus madras),dan kurisi (Nemipterus
bipunctatus). Tutupan lamun Malang Rapat, yaitu diatas 60% (kondisi sehat)
dengan kerusakan dibawah 25% (kerusakan rendah). Hal ini diduga
menyebabkan ikan merah (Lutjanus madras) merupakan ikan dominan yang
memiliki SRI terbesar, yaitu 0,41 dengan produktivitas sebesar 423,03 g.m-2
tahun-
1
Kata kunci: padang lamun, produktivitas, dan Seagrass Residence Index (SRI).
ABSTRACT
THEO FILIUS MANURUNG. Productivity and Seagrass Residency Index (SRI)
in Seagrass of Malang Rapat, Kepulauan Riau Province. Supervised by
AGUSTINUS M SAMOSIR.
Degradation of seagrass ecosystems will affect the biodiversity, carrying
capacity, and fisheries productivity. The purposes of this study was to examine
the condition of Malang Rapat seagrass, fish productivity and relationship
between seagrass and fish used Seagrass Residence Index (SRI) method.
Sampling of seagrass was conducted from 16 to 30 October 2013 using step and
go method; fish ware conducted with snapper trap’s as the fishing gear. Species
of seagrass found were Enhalus acoroides, Halophila ovalis, and Syringodium
isoetifolium. Percentage cover of Malang Rapat seagrass more than 60 %
(healthy) and damaged below 25% (low damage). There are eight species of fish
found there area, of them three were dominate: red-spot emperor (Lethrinus
lentjan), indian snapper (Lutjanus madras), and delagoa threadfin bream
(Nemipterus bipunctatus). The indian snapper (Lutjanus madras) is the dominant
fish which have the largest SRI with a productivity is 423,03 g.m-2
year-1
Key words: productivity, seagrass, and Seagrass Residence Index (SRI).
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumber daya Perairan
PRODUKTIVITAS DAN SEAGRASS RESIDENCE INDEX (SRI)
PADANG LAMUN MALANG RAPAT, PROVINSI
KEPULAUAN RIAU
THEO FILIUS MANURUNG
MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas segala karunia Nya,
sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Produktivitas dan Seagrass
Residence Index (SRI) padang lamun Malang Rapat, Provinsi Kepulauan Riau” ini
dapat diselesaikan. Skripsi disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan studi di Departemen Sumber Daya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, terutama
kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk studi.
2. Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Kepulauan Riau, atas bantuan
dalam pemakaian sarana dan prasarana Universitas
3. PKSPL-IPB, khususnya Dr. Ir. Lucky Adrianto, M.Sc atas perhatian dan bantuan
dalam penelitian ini.
4. Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing serta memberikan arahan dan masukan selama pernulis
melaksanakan studi
5. Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan, masukan, solusi dan saran kepada Penulis dalam
penulisan skripsi.
6. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku dosen penguji tamu Departemen
Manajemen Sumber Daya Perairan.
7. Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si selaku perwakilan penguji komisi pendidikan
Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan.
8. Keluarga Manurung: Bapak (Gonsar Manurung), Ibu (Dwi Krismawati Br
Sinaga), Jeffry Matheus Manurung, Joel Alfonso Manurung, dan Bob Nicholas
Manurung.
9. Komisi Pembinaan Permuridan, Wem Lambatar serta adik terkasih dalam Tuhan
Donovan S, Anjas, dan Timbul. Tim Penelitian Pulau Bintan: Pak Yudi Wahyudi,
Bang Pardi, Marianti, dan Azahar atas bantuannya selama penelitian di lapangan ,
serta Agus, Wahyu azizi, Rizam, kak Nia, Tiwi, Nunuh, Hendra dan Hilmi yang
telah membantu dalam penyusunan skipsi, serta teman-teman MSP 47 yang
tercinta yang terus mendukung penulis dalam penyelesaian skirpsi ini.
Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Theo Filius Manurung
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2 METODE 2
Waktu dan Lokasi Penelitian 2 Teknik Pengumpulan Data 3
Analisis Data 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Hasil 8 Pembahasan 14
KESIMPULAN DAN SARAN 16 Kesimpulan 16
Saran 16 DAFTAR PUSTAKA 16
LAMPIRAN 19
RIWAYAT HIDUP 29
DAFTAR TABEL
1 Penentuan kelas penutupan area lamun 6
2 Parameter kualitas air pada lokasi penelitian 10
3 Kelimpahan relatif (%) jenis ikan hasil tangkapan 11
4 Seagrass Residence Index (SRI) ikan 13
5 Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy 13
6 Persamaan panjang bobot (a Lb) 13
7 Produktivitas sekunder ikan 14
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir rumusan masalah 2
2 Lokasi penelitian di padang lamun Malang Rapat 3
3 Transek pengambilan data lamun 3
4 Persentase penutupan lamun 9
5 Status padang lamun Malang Rapat pada setiap stasiun 10
6 Sebaran ukuran panjang (mm) dan kelimpahan relatif (%)
ikan dominan tertangkap 11
DAFTAR LAMPIRAN
1 Pengambilan contoh lamun 19
2 Pengukuran parameter kimia 19
3 Tahapan penelitian 20
4 Kriteria dan status penutupan padang lamun 20
5 Dokumentasi ikan hasil tangkapan 21
6 Data koleksi Seagrass Residence Index 21
7 Data hasil sampling lamun 23
8 Dokumentasi pengambilan sampel lamun 26
9 Penghitungan produktivitas sekunder menurut parameter pertumbuhan 27
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lamun merupakan tumbuhan sejati yang dapat beradaptasi di perairan laut
dangkal, dengan ciri-ciri memiliki tunas daun tegak, berbunga, berbuah dan dapat
menghasilkan biji. Padang lamun memiliki tiga kategori vegetasi, yaitu, padang
lamun tunggal, asosiasi dua atau tiga jenis lamun dan vegetasi campuran (mixed
seagrass beds). Biota yang berasosiasi dan menghabiskan waktu di lamun
sebagai tempat asuhan, akan memiliki nilai ekonomi tinggi saat mencapai usia
tangkapan, seperti baronang, kepiting bakau, beberapa ikan karang bahkan
dugong. Biota-biota asosiasi ini akan sangat bergantung pada padang lamun
sebagai tempat hidup, mencari makan, dan memijah.
Malang Rapat adalah salah satu desa di pesisir timur pulau Bintan, Provinsi
Kepulauan Riau yang memiliki ekosistem lamun dengan kategori sehat sampai
sedang dengan tutupan lamun mencapai 634 ha (Widiastuti 2011). Aktivitas
masyarakat disekitar lamun Malang Rapat di antaranya adalah nelayan (lokal atau
asing), jasa wisata, penambangan pasir, bauksit, dan keramba apung. Aktivitas-
aktivitas ini akan mempengaruhi lamun sebagai habitat intertidal yang rentan
terhadap tekanan lingkungan. Selain tekanan alami, tekanan antropogenik akan
menyebabkan degradasi ekosistem. Luasan ekosistem padang lamun yang
berkurang akan menurunkan daya daya dukung dan hilangnya keanekaragaman
plasma nutfah. Oleh sebab itu, pengelolaan ekosistem lamun yang tepat akan
mempertahankan fungsi ekosistem lamun untuk pemanfaatan lamun yang
berkelanjutan.
Penelitian pada ekosistem padang lamun saat ini terbatas pada vegetasi
lamun, struktur trofik, dan penetapan nilai ekonomi padang lamun diluar fungsi
lamun sebagai habitat, sedangkan studi mengenai hubungan antara lamun dan
produktivitas ikan sangat minim dilakukan khususnya di Indonesia. Model
Seagrass Residence Index (SRI) mendeskripsikan besarnya waktu yang
dihabiskan ikan ekonomis penting di habitat padang lamun (Scoot et al. 2000).
Index ini dapat digunakan untuk menduga hubungan antara lamun dan ikan
ekonomis penting. Produktivitas ikan digunakan untuk menggambarkan dinamika
laju produksi biomassa heterotofik ikan yang memanfaatkan padang lamun
sebagai tempat memijah, mencari makan maupun tempat perlindungan. Informasi
yang dihasilkan ini diharapkan dapat mempengaruhi persepsi para stakeholder
dalam pengelolaan ekosistem lamun di Malang Rapat.
Perumusan Masalah
Ikan yang berada di padang lamun umumnya adalah ikan yang masuk pada
stadia planktonik hingga yuwana. Menurut McArthur et al. (2006) kerusakan
yang timbul pada padang lamun akan mempengaruhi kelimpahan dan
keberagaman beberapa spesies ikan, bahkan mengurangi stok ikan ekonomis
penting, baik spesies ikan yang tinggal di padang lamun maupun yang tidak. Ikan
Oleh sebab itu diperlukan pemahaman tentang hubungan antara lamun dan biota
asosiasi, sehingga kebijakan yang dilakukan dapat mengurangi dampak negatif
dari pemanfaatan lamun Malang Rapat.
2
Input :
-Sumberdaya lamun
-Sumberdaya ikan
-Waktu tinggal ikan di padang lamun
Analisis:
- Persentase Penutupan
-Produktivitas ikan
-SRI
Output :
- Tutupan lamun,
- Produktivitas ikan
- Nilai SRI ikan
- Pengelolaan lamun Malang Rapat
Studi mengenai hubungan lamun dan ikan sangat minim dilakukan di
Indonesia, terutama pada aspek waktu tinggal dan produktivitas ikan. Penelitian
ini menggunakan metode Seagrass Residence Index (SRI) untuk menduga waktu
tinggal ikan di padang lamun Malang Rapat dan produktivitas sekunder dengan
metode pendugaan pertumbuhan. Informasi nilai ekologis ini diharapkan dapat
manjadi salah satu dasar untuk mengevaluasi kebijakan pemanfaatan sumberdaya
lamun Malang Rapat, sehingga pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan dapat
diciptakan. Diagram alir rumusan masalah disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Diagram alir rumusan masalah
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung persentase penutupan lamun
Malang Rapat, dan produktivitas ikan serta hubungan lamun dan ikan di Desa
Malang Rapat, Provinsi Kepulauan Riau dengan ikan melalui pendekatan
Seagrass Residence Index (SRI). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai dasar pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan bagi
pemanfaatan lamun multi sektor yang berlangsung di Desa Malang Rapat.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Malang Rapat, Pulau Bintan, Provinsi
Kepulauan Riau. Pengambilan data primer dilaksanakan pada tanggal 16 sampai
30 Oktober 2013. Lokasi penelitian merupakan salah satu daerah daerah wisata
unggulan Kabupaten Bintan dan menjadi program percontohan pengelolaan lamun
di Indonesia. Program P2O-LIPI ini dikenal dengan Trikora Seagrass
Management Demonstration Site (TRISMADES). Peta lokasi penelitian disajikan
pada Gambar 2.
3
Gambar 2 Lokasi penelitian di padang lamun Malang Rapat
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data vegetasi lamun
Data vegetasi lamun didapat melalui observasi langsung (lapangan) dengan
menggunakan metode step and go menurut McKenzie et al. (2001). Metode ini
dilakukan dengan mengamati dan melakukan pengukuran langsung terhadap
ekosistem padang lamun yang ada. Alat yang digunakan adalah GPS, rollmeter,
dan petak contoh berukuran 50 cm x 50 cm yang dibagi menjadi 25 sub petak
contoh berukuran 10 cm x 10 cm (Lampiran 1). Pengambilan contoh dilakukan
sepanjang 300 meter dari darat kearah laut dengan interval antara petak contoh 10
meter dan interval antara transek 25 meter (Gambar 3).
Gambar 3 Transek pengambilan data lamun
Pengamatan parameter lingkungan
Kondisi fisika dan kimia suatu perairan akan menentukan mekanisme
perputaran energi dalam ekosistem tersebut. Penelitian ini melakukan
pengamatan parameter fisika mencangkup kecerahan, kedalaman, dan jenis
4
substrat. Parameter kimia mencangkup ortofosfat, nitrat, dan amonia (Lampiran
1).
Kecerahan perairan tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan
merupakan tingkat trasparansi suatu perairan yang dapat ditentukan secara visual
atau menggunakan alat yang disebut Secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan
dalam satuan meter, tetapi apabila yang diketahui persentasenya, maka nilai
kecerahan tersebut dapat di kali 100% sehingga nilai yang dihasilkan adalah
persentase kecerahan air. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu
pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang
melakukan pengukuran, pengukuran sebaiknya dilakukan pada saat cerah.
Substrat berupa pasir atau yang berupa lumpur maupun pasir, dilakukan
secara visual. Kedalaman perairan ditentukan dengan mengunakan mistar
berskala (cm). Nilai kedalaman didapat dengan mengukur tinggi air dari atas
substrat hingga permukaan air, dengan titik pengambilan merupakan stasiun
pengamatan vegetasi lamun. Parameter kimia dilakukan dengan mengambil
sampel di beberapa titik di daerah transek lamun.
Teknik pengumpulan data produktivitas ikan
Pengumpulan data produktivitas sekunder dilakukan dengan mengambil
ikan hasil tangkapan, kemudian dilakukan pengukuran panjang dan bobot. Alat
tangkap yang digunakan, yaitu bubu kakap dengan dimensi 165 cm x 100 cm x
60 cm dengan umpan berupa cumi-cumi. Bubu berjumlah 3 buah dengan posisi
secara acak sekitar transek, pada tiap stasiun. Data panjang dan bobot ikan
selanjutnya digunakan untuk menghitung produktivitas sekunder pada komunitas
lamun di Desa Malang Rapat.
Teknik pengumpulan data Seagrass Residence Index (SRI)
Lamanya ikan tinggal di suatu komunitas lamun dapat diestimasi dengan
menggunakan metode SRI (Scoot et al. 2000). Metode ini berdasarkan pada
waktu yang dihabiskan selama ikan tinggal di komunitas tersebut. Wawancara
singkat dilakukan pada nelayan dan penduduk setempat. Data waawancara
digunakan untuk mengestimasi SRI ikan ditangkap di komunitas lamun di
Malang Rapat berupa skor dengan skala nol hingga satu. Secara umum diagram
alir tahapan penelitian disajikan pada Lampiran 2.
Analisis Data
Sebaran frekuensi panjang
Menurut Wolpole (1992) penentuan sebaran frekuensi panjang dilakukan
dengan cara mengelompokan data ukuran objek penelitian ke bentuk kelompok
kelas interval. Metode dalam mencari jumlah kelas berdasarkan Sturges rule
(Akaike 1974).
Σ Kelas = 1+3,32 log n (1)
Penentuan nilai maksimun nilai maksimum dan nilai minimum dari data
yang didapat. Selanjutnya menentukan kelas interval (lebar kelas) dengan rumus
5
sebagai berikut.
LK = (max-min)
Σ Kelas (2)
Keterangan:
n = jumlah contoh
LK = lebar kelas
Data hasil pencarian jumlah kelas, nilai maksimum dan minimum, serta
kelas interval yang diketahui, dilakukan pengelompokan data berdasarkan ukuran
kelas. Kelompok data dianalisis, untuk mencari frekuensi masing-masing kelas
menggunakan program Microsoft Excel 2007.
Kelimpahan relatif
Kelimpahan relatif setiap jenis ikan dihitung dengan menggunakan rumus
menurut Krebs (1989) dalam Pratiwi (2014). Kelimpahan relatif (komposisi
spesies) adalah perbandingan antara jumlah individu setiap spesies dengan jumlah
individu seluruh spesies yang tertangkap (Fachrul 2006).
K= ni
N X 100% (3)
Keterangan:
K = Kelimpahan relatif ikan yang tertangkap (%),
ni = Jumlah individu setiap spesies ke – i (individu),
N = Jumlah individu seluruh jenis ikan yang ada (individu).
Kelimpahan jenis dan persentase penutupan
Pengambilan data jenis lamun dilakukan dengan identifikasi langsung di
lapangan berdasarkan pedoman pegambilan data lamun menurut Azkab (1999)
dan McKenzie et al. (2001). Persentase penutupan lamun ditentukan dengan Saito
dan Atobe (1970). Parameter ini bertujuan melihat besarnya penutupan masing-
masing jenis lamun pada daerah pengambilan contoh sehingga diketahui lamun
yang paling dominan. Persentase tutupan lamun menggunakan acuan pada Tabel
1.
Ci = (Mi x fi)
f (4)
Keterangan :
Ci = Presentase penutupan jenis lamun i
Mi = Mi adalah presentase titik tengah dari kelas kehadiran jenis lamun i
fi = Sub petak 10 x 10 cm dimana kelas kehadiran jenis lamun i
∑ f = Jumlah sub petak 10 x 10 cm (25 subpetak)
6
Tabel 1 Penentuan kelas penutupan area lamun
Pendugaan parameter pertumbuhan
Pendugaan pada Parameter Pertumbuhan menggunakan model pertumbuhan
Von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999). Komponen analisis adalah data
pengukuran panjang dan bobot ikan. Pendugaan parameter pertumbuhan K, L∞,
dan t0, yaitu Persamaan 5 yang ditransformasi menjadi parameter linear sehingga
diperoleh Persamaan 6.
Lt = L∞ [1 –e –K (t – t
0)] (5)
Lt+1 = L∞ [1- e-K
]+ Lt e-K
(6)
Keterangan:
L∞ = Panjang asimtotik
Lt = Panjang saat t
Lt+1 = Panjang saat t+1
t = Waktu pengukuran
t +1 = Waktu satu tahun setelah pengukuran
Berdasarkan persamaan di atas dapat diduga dengan persamaan regresi
linier y = a0 + b1x, jika Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai
kordinat (y).
L(t+1) = a + bLt (7)
Kemiringan (slope) sama dengan e-K
dan titik potong dengan absis sama
dengan L∞[1 – e –K
]. Nilai K dan L∞ diperoleh dengan menggunakan rumus
berikut.
K = − ln (b) dan L∞ = a
1-b (8)
Nilai t0 (umur ikan pada saat panjang ikan sama dengan nol) diduga dengan
menggunakan persamaan empiris Pauly ( Pauly dalam Sparre dan Venema 1999).
Kelas Luas Area
Penutupan
% Penutupan
Area
% Titik
Tengah (M)
5 1/2-penuh 50-100 75
4 1/4-1/2 25-50 35,5
3 1/8-1/4 12,5-25 18,5
2 1/16-1/8
6,25-
12,5 9,38
1 <1/16 <6,25 3,13
0 tidak ada 0 0
7
Log (-t0) = 0,3922 −0,2752 (Log L∞ – 1,038 (Log K) (9)
Keterangan:
W = Bobot (gram)
L = Panjang (mm)
b = Slope
a = Intercept
Hasil penghitungan diatas akan menghasilkan parameter pertumbuhan
berupa L∞, K dan t0. Langkah selanjutnya adalah melakukan pendugaan kelas
umur, biomassa, dan produksi.
Pendugaan biomassa, kelas umur, dan produktivitas
Produktivitas ikan menurut Nuraisah (2012) ditentukan menggunakan
beberapa metode. Pendekatan kohort dan non-kohort merupakan metode yang
umun digunakan. Produktivitas ikan dianalisa menggunakan pendugaan
pertumbuhan yang termasuk metode kohort (Rose 2007).
Sebaran frekuensi panjang digunakan untuk menentukan kelompok umur.
Data panjang masing-masing spesies ikan dikelompokkan dalam beberapa kelas
umur sehingga setiap kelas panjang ke-i memiliki frekuensi. Kelas umur
dikelompokkan berdasarkan (Valentine et al. 2007) yang diturunkan dari
persamaan Von Bertalanffy.
Kelas umur = − ln (L∞ − Lt) /K+ t0 (10)
Keterangan :
Lt = Panjang ikan ke-i selama pengukuran
L∞ = Panjang asimtotik
t0 = Umur pada saat panjang nol
K = Koefisien pertumbuhan
Estimasi nilai parameter pertumbuhan Lt+1 mengunakan model pertumbuhan
Von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999) yang ditransformasi menjadi
Persamaan 11. Pendugaan parameter Wt +1 dari persamaan W=aLb ditransformasi
menjadi parameter linier sehingga diperoleh Persamaan 12.
Lt +1 = L∞ [1 –e –K(t+1
– t
0)] (11)
Log Wt = log a + b log L (12)
Produktivitas ikan diduga pada ikan yang dominan tertangkap dengan alat
tangkap bubu kakap. Produktivitas ikan didapatkan dari selisih biomasa yang
diduga dan biomasa yang didapatkan sehingga diperoleh persamaan berikut.
P = Wt+1 – Wt field (13)
Keterangan :
8
W t+1 = Biomasa dugaan setelah 1 tahun pengukuran (gram)
W t field = Biomasa pengukuran (gram)
Penentuan Seagrass Residence Index (SRI)
Ikan yang berada pada padang lamun secara umum berada pada stadia
hidup tertentu. Oleh karena itu, Scoot et al. (2000), mengembangkan metode SRI
dengan mengacu pada waktu yang di habiskan ikan tertentu pada setiap daur
hidupnya di padang lamun, dengan skala skor 0-1. Setiap skor selanjutnya
dijumlahkan menurut persamaan berikut.
Si = 𝑎𝑥𝑖 + 𝑏𝑦𝑖 + 𝑐𝑧𝑖 (14)
Keterangan:
Si = Skor spesies i
a,b dan c = Faktor berat retatif ikan setiap stadia
x = Yuwana
y = Dewasa memijah
z = Dewasa mencari makan
Estimasi rasio spesies i menghabiskan waktu di sekitar padang lamun; di
tahap remaja (egg/larva juvenile), dewasa memijah (adult/spawning) dan dewasa
mencari makan (adult/feeding). Estimasi pada variabel ini berdasarkan informasi
yang didapat dari nelayan lokal yang menghabiskan waktu disekitar lamun dan
dikonfirmasi melalui informasi literatur. Faktor berat relatif ikan setiap stadia
berdasarkan penelitian oleh Scoot et al. ( 2000) adalah 0,6 (a), dan 1 (b dan c).
SRI = 1 − 𝑒𝑥𝑝(−𝑆𝑖) (15)
Keterangan:
SRI = Seagrass Residence Index
Si = Skor spesies i
Nilai SRI yang semakin besar maka semakin besar waktu yang dihabiskan
ikan tertentu di padang lamun. Oleh sebab itu, analisis SRI skor membutuhkan
data lain seperti pendugaan produktivitas sekunder ikan untuk melihat nilai
produktivitas ikan yang tinggal atau singgah pada padang lamun.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Persentase penutupan lamun
Jenis sumberdaya lamun yang ada di Desa Malang Rapat tersebar
bergantung dari jenis substrat yang ada didaerah tersebut. Ekosistem pesisir
Malang Rapat pada umumnya didominasi oleh tiga ekosistem utama yaitu,
9
0
5
10
15
20
25
30
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Fre
ku
ensi
JarangSedangLebat
60%
30%
0%10%
50%
20%
25%
5%
50%
0%
23%
27%
Enhalus acoroides Halophila ovalis Syringodium isotifolium Kosong
ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun. Penentuan kriteria kerusakan
dan status penutupan padang lamun berdasarkan Kepmen No 200 tahun 2004
(Lampiran 4). Hasil penghitungan persentase penutupan lamun dan status padang
lamun Malang Rapat disajikan pada Gambar 4 dan 5.
a. Stasiun 1 b. Stasiun 2 c. Stasiun 3
Gambar 4 Persentase penutupan jenis lamun
Gambar 5 Status padang lamun Malang Rapat pada setiap stasiun
Secara keseluruhan, padang lamun Malang Rapat didominasi oleh
E.acoroides dengan tutupan mencapai 60%. Perbedaan persentase penutupan
umumnya ditentukan oleh faktor fisik perairan dan substrat habitat padang lamun.
Stasiun 2 memiliki persentase lamun kategori miskin lebih besar dari ketiga
stasiun, namun memiliki vegetasi spesies lamun paling banyak. Hal ini diduga
akibat perbedaan substrat pada ketiga stasiun. Tutupan lamun secara keseluruhan
berada pada kondisi lebat dengan kriteria kerusakan rendah , yaitu tutupan lebih
dari atau sama dengan 60%.
Parameter lingkungan
Kondisi perairan mencakup kualitas perairan (fisika dan kimia)
menentukan keseimbangan ekosistem perairan dan menentukan kondisi perairan
yang terkait dengan sebaran spesies lamun pada ekosistem tersebut. Parameter
kualitas perairan yang diamati adalah kecerahan, jenis substrat, nitrat, nitrit dan
10
amonia. Nilai setiap parameter dapat dipengaruhi oleh aktivitas wisata maupun
kegiatan manusia seperti pembuangan limbah rumah tangga, tambat kapal, dan
pencemaran hasil pertanian.
Lamun memerlukan intensitas yang cukup tinggi untuk melakukan
fotosintesis, sehinggga tingkat penetrasi cahaya menjadi faktor pembatas. Tabel 2
menunjukan penetrasi cahaya mencapai dasar perairan dengan nilai kecerahan
mencapai 100%. Kecerahan perairan menujukaan seberapa besar cahaya dapat
melakukan penetrasi ke dalam perairan. Kedalaman perairan tertinggi didapat
pada stasiun dua yaitu, 45,562 cm dengan substrat pasir berlumpur (PL). Stasiun
tiga terdiri dari substrat pasir berbatu (PB), pasir berlumpur (PL), karang, dan
memiliki kedalaman mencapai 40,44 cm. Selain faktor fisika, faktor kimia
perairan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan lamun.
Tabel 2 Parameter kualitas air pada lokasi penelitian
aBaku mutu air laut untuk biota bSubstrat : PL= Pasir Berlumpur, PB=Pasir Berbatu.
Paremeter kimia yang diamati pada penelitian ini adalah nitrat, ortofostat
dan amonia. Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama pada perairan yang
bersifat stabil dan sangat mudah larut dalam air (Effendi 2003). Nilai nitrat pada
komunitas lamun Desa Malang Rapat, yaitu sebesar 0,0194 mg/L pada stasiun
satu dan tiga dan 0,0198 mg/L pada stasiun dua. Baku mutu nitrat pada daerah
padang lamun menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51
tahun 2004 adalah 0,008. Amonia terendah didapat pada stasiun 3 dengan nilai
0,0169 mg/L sedangkan pada stasiun satu dan dua memiliki nilai amonia
mencapai 0,0264 mg/L.
Kelimpahan jenis ikan
Kelimpahan relatif (komposisi spesies) adalah perbandingan antara jumlah
individu setiap spesies dengan jumlah individu seluruh spesies yang tertangkap
(Fachrul 2006). Jenis-jenis ikan yang tertangkap pada lamun Malang Rapat
berjumlah delapan jenis ikan dengan jumlah ikan sebanyak 90 individu
(Lampiran 5). Hasil analisa kelimpahan relatif (%) disajikan dalam Tabel 3.
Kelimpahan relatif tertinggi pada sampling satu adalah ikan merah
(Lethrinus lentjan) sebesar 45,71%. Ikan kurisi (Nemipterus bipunctatus)
merupakan kelimpahan terbesar pada pengambilan contoh dua dan ketiga sebesar
33,33% dan 32,36%. Ikan dominan ditangkap, yaitu ikan ketambak merah
No Parameter Baku
Mutua
Stasiun
1 2 3
Fisika
1 Kecerahan (%)
100 100 100
2 Kedalaman (cm)
40,52 45,36 40,44
3 Substratb
PL PL PB,PL,Karang
Kimia
1 Nitrat (mg/L) 0,008 0,0194 0,0198 0,0194
2 Amonia 0,3 0,0264 0,0264 0,0169
3 Ortofosfat <0,014 0 0 0
11
(Lethrinus lentjan),ikan merah (Lutjanus madras), dan kurisi (Nemipterus
bipunctatus).
Tabel 3 Kelimpahan relatif (%) jenis ikan hasil tangkapan
Jenis Kelimpahan relatif (%)
Ulangan 1 Lutjanus madras 14,29
Lethrinus ornatus 2,86
Siganus virgatus 5,71
Lethrinus lentjan 45,71
Nemipterus bipunctatus 22,86
Lutjanus russellii 2,86
Pentapodus bifasciatus 2,86
Epinephelus spp 2,86
Total
100
Ulangan 2 Lutjanus madras 29,17
Lethrinus lentjan 16,67
Nemipterus bipunctatus 33,33
Lethrinus genivittatus 8,33
Lutjanus russellii 12,50
Total
100
Ulangan 3 Nemipterus bipunctatus 32,26
Lethrinus ornatus 3,23
Lutjanus vitta 12,90
Lutjanus madras 29,03
Lethrinus lentjan 9,68
Lethrinus genivittatus 3,23
Lutjanus russellii 6,45
Epinephelus spp 3,23
Total
100
Kelimpahan ikan di lamun dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan makanan
di padang lamun. Lamun Malang Rapat memiliki kelimpahan moluska,
enchinodermata dan dan polycheta yang cukup besar. Hal ini menyebabkan
ketersediaan makanan pada lamun cukup tinggi. Ikan merah (Lethtrinus lentjan)
umumnya terdapat di daerah terumbu karang, lamun, mangrove, dan perairan
pantai dengan dasar berpasir pada kedalaman 50 meter. Yuwana ikan, umumnya
ditemukan dipadang lamun dan saat dewasa mencari makan diperairan yang lebih
dalam (FAO 2011).
Sebaran ukuran ikan
Sebaran ukuran panjang ikan yang dianalisa adalah ikan yang dominan,
yaitu ikan ketambak merah (Lethrinus lentjan), ikan merah (Lutjanus madras),
dan kurisi (Nemipterus bipunctatus). Kelimpahan relatif pada masing-masing
panjang ikan mendeskripsikan persentase ikan yang tertangkap pada masing-
masing selang kelas. Histogram pada Gambar 5 digunakan untuk menyajikan
data sebaran ukuran panjang ikan (mm).
12
0
20
40
60
80
100
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Kel
imp
ah
an
(%
) Nemipterus bipunctatusLethrinus lentjanLutjanus madras
Gambar 6 Sebaran ukuran panjang (mm) dan kelimpahan relatif (%) ikan
dominan tertangkap
Jumlah individu ikan yang terbanyak adalah ikan kurisi (Nemipterus
bipunctatus) dengan jumlah 26 individu sedangkan ikan dengan jumlah terendah
adalah ikan merah (Lutjanus madras), sebanyak 21 individu. Ketiga ikan dominan
yang didapat pada lamun Malang Rapat tergolong berukuran kecil dan termasuk
pada stadia yuwana.
Kelimpahan ikan kurisi (Nemipterus bipunctatus) memiliki jumlah individu
terbanyak disebabkan biota yang menjadi sumber makanan ikan tersebut banyak
berasosiasi di padang lamun. Penelitian oleh Suherman (2011) didapati bahwa,
ikan ini lebih banyak berada pada lamun kategori tutupan sedang hingga kurang
sehat. Hal ini diduga kerapatan lamun yang tidak terlalu lebat memudahkan ikan
ini mencari makan.
Seagrass Residence Index (SRI) ikan
Seagrass Residence Index (SRI) ikan mendeskripsikan persentase lama
tinggal ikan selama daur hidupnya dengan nilai maksimal satu. Semakin besar
skor Si maka akan semakin besar nilai SRI yang didapat dan menjelaskan semakin
besar waktu yang dihabiskan ikan tersebut di padang lamun. Nilai SRI ikan yang
tertangkap disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Seagrass Residence Index (SRI) ikan
Nama umum Nama Lokal Spesies Si SRI
Double barred
spinefoot
Baronang Siganus virgatus 0,53 0,41
Ornate Emperor Lencam merah Lethrinus ornatus 0,86 0,58
Russell's snapper Ikan baba Lutjanus russellii 0,53 0,41
Indian snapper Ikan merah Lutjanus madras 0,53 0,41
Red-spot emperor Ketambak
merah Lethrinus lentjan 0,2 0,18
Delagoa threadfin
bream Kurisi
Nemipterus
bipunctatus 0,2 0,18
Sulphur goatfish Kerapu lumpur Epinephelus spp 0,18 0,16
Hasil ini didapat dari data yang dikumpulkan dari waktu yang dihabiskan di
padang lamun di setiap tahap daur hidup. Ikan lencam merah (Lethrinus ornatus)
memiliki waktu tingal yang lama dan memiliki keberadaan di lamun pada setiap
13
stadia hidup (Lampiran 6). Hal ini diperlihatkan dengan nilai SRI tertinggi yaitu
0,58.
Produktivitas sekunder ikan
Pendugaan parameter pertumbuhan dan persamaan panjang bobot (a Lb)
hanya dilakukan pada tiga spesies dominan, yaitu (Lethrinus lentjan), ikan merah
(Lutjanus madras), dan kurisi ( Nemipterus bipunctatus). Ketiga spesies dominan
yang tertangkap selama penelitian adalah ikan ekonomis penting, sehingga dapat
memberi informasi mengenai produktivitas ikan di padang lamun. Parameter
pertumbuhan (Tabel 5) dianalisis menggunakan metode Ford-Walford yang
meliputi parameter panjang asimtotik (L∞), laju pertumbuhan (K), dan umur
teoritis ikan pada saat panjang ikan nol (t0).
Tabel 5 Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy
Ikan kurisi (Nemipterus bipunctatus) dan ketambak merah (Lethrinus
lentjan) diketahui memiliki panjang asimtotik (L∞) lebih tinggi dibandingkan
dengan ikan merah (Lutjanus madras), yaitu dengan nilai 189 mm. Tabel 6
menyajikan nilai yang didapat pada persamaan panjang bobot (a Lb) yang meliputi
intercept (a), slope (b), koefisien determinasi (R2), dan banyaknya contoh (n).
Tabel 6 Persamaan panjang bobot (a Lb)
Spesies a b Min-max (mm) R2 n (indv)
Nemipterus bipunctatus -2,63 1,99 105-180 0,81 26
Lethrinus lentjan -4,95 3,08 110-182 0,77 22
Lutjanus madras -3,37 2,40 105-180 0,87 23
Nilai b tertinggi didapat pada ikan merah (Lethrinus lentjan), yaitu 3,08
dengan n sebesar 22 individu dan koefisien diterminasi (R2) sebesar 0,77. Hal ini
menyatakan contoh mewakili keadaan aktual sebesar 77%. Paremeter-parameter
pada tabel 5 dan 6 digunakan untuk menghitung produktivitas ikan.
Produktivitas ikan (Tabel 7) merupakan ukuran ideal dalam menentukan
fungsi nursery di ekosistem pantai, yaitu kemampuan untuk mendukung
kepadatan yang besar dari yuwana organisme laut dan meng-eksport ke habitat
lepas pantai, sebagai ukuran keseluruhan dari biomassa, pertumbuhan, dan
sintasan organisme (Asriyana 2012 in Rose, et. al. 2007). Ikan merah (Lutjanus
madras) memiliki produktivitas terbesar dengan produktivitas total sebesar
423,03 g.m-2
tahun-1
. Hal ini dipengaruhi oleh faktor makanan yang merupakan
kunci dari nilai produktivitas ikan dan daya pulih atau turnover (Downing,1984 in
Petracco et al. 2003).
Spesies L∞ t0 K Tinjauan Pustaka
Nemipterus bipunctatus 189 -0,25 0,52 Barry et al. (1990)
Lethrinus lentjan 189 -0,57 0,55 Carpener et al. (1989)
Lutjanus madras 183,75 -0,43 0,78 Allen (1985)
14
Tabel 7 Produktivitas sekunder ikan
Tutupan padang lamun Malang Rapat yang cukup tinggi diduga
menyediakan makanan dalam jumlah besar dan tempat perlindungan yang ideal
bagi ikan. Ketersediaan makanan membuat banyak biota terutama ikan berada di
padang lamun Malang Rapat. Ikan merah (Lutjanus madras) termasuk dalam ikan
ekonomis penting dengan makanan berupa ikan kecil, cumi-cumi, dan polycaeta
yang banyak berasosiasi pada padang lamun dengan morfologi daun yang panjang
dan substrat yang lunak.
Pembahasan
Tutupan lamun desa Malang Rapat temasuk dalam vegetasi lamun tunggal
dan asosiasi dua sampai tiga jenis lamun dengan persentase tutupan yang berbeda
tiap jenisnya. Spesies lamun ditemukan yaitu, Enhalus acoroides, Halophila
ovalis dan Syringodium Isoetifolium. Tutupan jenis lamun terbesar adalah jenis E.
acoroides yang ditemukan pada kerapatan tertinggi di stasiun 1. Salomo (2011)
mengkonfirmasi bahwa terdapat enam spesies lamun yang ada di desa Malang
Rapat, yaitu Enhalus acoroides, Halodule pinifolia, Syringodium isotifolium,
Thalassia hemprichii dan Thalassodendron ciliatum dengan lamun dominan
berjenis Enhalus acoroides. Spesies Enhalus acoroides, ditemukan pada tipe
substrat yang dominan campuran antara pasir berlumpur (lampiran 7 dan 8),
substrat ini diduga merupakan habitat yang paling cocok untuk lamun jenis ini.
Pengelompokan jenis lamun merupakan akibat dari pengumpulan jenis dalam
menanggapi perubahan cuaca harian dan musiman maupun untuk menanggapi
perubahan habitat setempat akibat dari proses reproduktif, persaingan ruangan dan
hara (Odum 1973 dalam Muhaimin 2013).
Ikan hasil tangkapan di padang lamun Malang Rapat selama penelitian
berjumlah 90 individu yang terdiri dari 8 spesies ikan dan 3 spesies ikan dominan.
Kelimpahan ini ditunjang dengan luas penutupan lamun yang cukup tinggi diatas
60%. Secara umum, banyak ikan yang di temukan di padang lamun Malang
Rapat adalah ikan karnivor dengan interaksi mangsa dan pemangsa yang sangat
kompleks. Interaksi terhadap mangsa ini menyebabkan beberapa spesies ikan
memiliki keterkaitan dengan lamun baik jenis maupun penutupannya.
Kelimpahan relatif ikan merah (Lutjanus madras) dan kurisi (Nemipterus
bipuctatus) tertinggi ditemukan di padang lamun Malang Rapat yang memiliki
tutupan lamun lebat dengan vegetasi dominan Enhalus acoroides (stasiun 1 dan
3). Epifit berupa Protozoa, Nematoda, Poliketa, Rotifera, dan Kopepoda pada daun
lamun Enhalus acoroides dimanfaatkan sebagai makanan ikan merah maupun kurisi.
Ikan ketambak merah (Letrinus lentjan) lebih banyak ditemukan pada lamun
dengan persentase penutupan sedang hingga jarang (stasiun 2). Ikan merah
Spesies
Produktivitas (gm-2
thn-1
) Total
gm-2
thn-1
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Lethrinus lentjan 54,24 101,99 98,56 254,79
Nemipterus bipuctatus 142,51 37,56 80,97 261,04
Lutjanus madras 119,19 119,06 184,78 423,03
15
merupakan ikan nokturnal dengan habitat alami adalah karang. Ikan ini berada
dipadang lamun saat malam hari untuk memangsa Crustasea, sehingga lamun
dengan kerapatan lebih rendah memudahkan ikan ini melakukan aktivitas predasi.
Menurut Pratiwi (2010) lamun dengan jenis Halophilia ovalis merupakan habitat
ideal untuk sebagian besar jenis Crustasea. Keberadaan ikan juga dipengaruhi
parameter kualitas air. Parameter kualitas air yang diukur menunjukkan nilai
yang dapat ditoleransi oleh biota perairan. Hal ini diduga menunjukkan kegiatan
masyarakat disekitar padang lamun belum memberikan dampak pencemaran yang
dapat menurunkan kualitas air. Hasil ini menyebabkan lamun Malang Rapat
dapat memiliki beberapa spesies biota asosiasi terutama ikan.
Ikan dominan yang memiliki nilai SRI terbesar adalah ikan merah (Lutjanus
madras). Ikan merah memiliki skor variable Si terbesar saat stadia yuwana,
dengan nilai SRI sebesar 0,41 dan memiliki keterkaitan lamun paling tinggi
dibandingkan ikan dominan lain. Penelitian yang dilakukan oleh McAthur et al.
(2006) mendapatkan ikan merah memiliki nilai SRI sebesar 0,34 sedangkan oleh
Scoot et al. (2000) sebesar 0,42. Hal ini memberikan informasi bahwa ikan merah
menghabiskan waktu di padang lamun Malang Rapat sebanyak 41% selama
keseluruhan hidupnya dengan waktu terbesar saat yuwana. Yuwana ikan merah
(Lutjanus madras) pada habitat lamun Kepulauan Seribu memiliki panjang
maksimal 190 mm (Suherman 2011). Ikan kurisi dan ikan ketambak merah
memiliki SRI terkecil dengan nilai 0,18 dan memiliki keterkaitan yang paling
rendah terhadap padang lamun. Nilai SRI yang semakin besar menunjukkan
semakin tinggi intensitas waktu yang dihabiskan ikan di padang lamun Malang
Rapat, sehingga menunjukkan ketergantungan ikan pada ekosistem padang lamun
dan akan mempengaruhi produktivitas ikan tersebut.
Ikan merah (Lutjanus madras) memiliki nilai produktivitas total terbesar,
yaitu 423,03 g.m-2
tahun-1
dengan produktivitas terbesar pada stasiun 3 (Lampiran
9). Produktivitas total terkecil adalah ikan ketambak merah (Lethrinus lentjan),
yaitu 254,79 g.m-2
tahun-1
. Parameter yang sama pada ikan kurisi (Nemipterus
bipunctatus) memiliki produktivitas tidak jauh berbeda, sebesar 261,04 g.m-
2tahun
-1. Ikan kurisi dan ikan merah memiliki produktivitas tinggi pada stasiun 1
dan 3 yang didominasi oleh lamun Enhalus acorides. Ikan ketambak merah
ditemukan produktivitas tertinggi pada stasiun 2 dengan vegetasi lamun campuran
dengan kerapatan lamun lebih rendah. Tingginya produktivitas tahunan ikan
merah disebabkan SRI ikan dan ketersediaan makanan terutama udang dan bentos
di padang lamun cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Petrcco et
al (2003) bahwa ketersediaan makanan merupakan faktor kunci yang
mempengaruhi nilai produktivitas sekunder. Kerapatan lamun pada stasiun 3
memberikan kondisi yang ideal untuk ikan berlindung dan mencari makan
disekitar tajuk dan daun pada lamun. Spesies Enhalus acoroides adalah jenis
lamun klimaks (Supratomo 2000) dan kuat terhadap arus sehingga berfungsi
memberikan perlindungan pada biota asosiasi di padang lamun dan menyediakan
target magsa yang lebih banyak bagi ikan karnivor.
Hasil selama penelitian menunjukkan ikan asosiasi padang lamun Malang
Rapat memiliki hubungan yang penting terhadap habitat lamun, disebabkan
sebagian atau sepanjang daur hidupnya berada di padang lamun. Nilai SRI dan
produktivitas pada ikan dominan memberikan gambaran bahwa ikan yang tinggal
dipadang lamun pada stadia yuwana akan mengalami penurunan produktivitas jika
16
terjadi kerusakan lamun pada skala tertentu. Pemanfaatan pesisir Malang Rapat
dilain pihak akan memberikan tekanan pada ekosistem lamun sehingga akan
mengakibatkan kerusakan habitat, penurunan daya dukung dan berakibat pada
hilangnya keanekaragaman ikan pada ekosistem tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kondisi tutupan lamun Malang Rapat, yaitu memiliki tutupan diatas 60%
(kondisi sehat) dengan kerusakan dibawah 25% (kerusakan rendah). Hal ini
diduga menyebabkan ikan merah (Lutjanus madras) merupakan ikan dominan
yang memiliki SRI terbesar, yaitu 0,41 dengan produktivitas sebesar 423,03 g.m-
2tahun
-1.
Saran
Penghitungan mengenai produktivitas sekunder dengan waktu yang lebih
lama dan area cakupan lamun yang lebih luas, mengingat penelitian ini dilakukan
pada waktu singkat dengan area penelitian hanya mencangkup satu desa. Kajian
ekonomi tentang sumberdaya lamun melalui SRI ikan sehingga dapat melihat
manfaat ekonomi padang lamun Malang Rapat. Aktivitas yang bersifat merusak
seperti penambatan kapal dan jasa wisata yang berada di padang lamun Malang
Rapat diharapkan tidak dilakukan disebabkan ikan yang berasosiasi berada pada
stadia yuwana tergantung pada kondisi padang lamun Malang Rapat.
DAFTAR PUSTAKA
Allen GR. 1985. FAO spesies catalogue: snappers of the world. FAO fisheries
Synopsis. 6 (125):17-93
Akaike. 1974. A new look at the statistical model identification. AC. 19(6): 716-
723
Azkab,M.H.1999. Kecepatan tumbuh dan produksi lamun dari teluk kuta, lombok.
Jakarta (ID): Pustlibang Biologi Laut-LIPI
Asriyana, Yuliana. 2012. Produktivitas perairan. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara.
Benke A C & Whiles M R. 2011. Life table vs secondary production analyses-
relationships and usage in ecology. The North American Benthological
society. 30(4): 1024-1032
Barry C. Russell. 1990. FAO Spesies Catalogue : nemipterid fishes of the worl
(threadfin breams, whiptail breams, monocle breams, dwarf monocle breams
and coral breams). FAO Fisheries Synopsis. 12(125):17-93
17
Carpenter KE, Allen GR. 1989. FAO Spesies Catalogue: emperor fishes and
large-eye breams of the world an annotated and illustrated catalogue of
lethrinid species known to date (family lethrinidae). FAO Fisheries Synopsis.
9(125):17-93
Dhewani N, Supono, Suitadi R. 2009. Pemantauan berbasis masyarakat (CREEL)
di kabupaten Bintan Tahun 2008. Jakarta (ID): CRITC-COREMAP II
Effendi H. 2003. Telaah kualitas air: bagi pengelolaan sumberdaya dan
lingkungan perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Fachrul MF. 2006. Metode sampling bioekologi. Jakarta (ID). Bumi Aksara
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2001. FAO
Spesies identification guide for fishery purposes, the lining marine resources
of the western cetral pacific. FAO Fisheries Synopsis . 5(3). 3004-3006.
Hutabarat, Sahala, Evans, Stewart M. 2008. Pengantar oseanografi. Jakarta
(ID): Universitas Indonesia Press.
McArthur L.C,Boland J.W. 2006.The economic contribution of seagrass to
secondary production in South Australia. Ecological Modelling. 196:163-172
McKenzie L, Campbell, S.J. Roder. 2001. Manual for mapping and monitoring
seagrass resources by community (citizen) volunteers. Cairns (AU): Seagrass-
watch.
[MENLH] Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2010. Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 200 tahun 2004 tentang kriteria Baku Kerusakan
dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Jakarta (ID). MENLH
Muhaimin A , Efrizal T, Zulfikar A . 2013. Sebaran spasial komunitas lamun di
perairan pesisir kampung pulau pucung desa malang rapat kecamatan gunung
kijang Kabupaten Bintan. [skripsi]. Provinsi Kepulauan Riau (ID):
Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Nuraisah R. 2012. Estimasi produktivitas sekunder kepiting pasir Emerita
emeritus dan Hippa ovalis pada maret sampai mei 2012 di pantai berpasir,
Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. [skirpsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Pertiwi W. 2011. Komposisi jenis dan ukuran ikan yang tertangkap dengan sero
dan pukat pantai di perairan kota palopo, Provinsi Sulawesi Selatan. [skripsi].
Makasar (ID): Universitas Hasanuddin.
Pratiwi R. 2010. Asosiasi krustasea di ekosistem padang lamun di perairan Teluk
Lampung. Ilmu Kelautan. 15(2): 66-76
Petracco M, Veloso V G & Cardoso R S. 2003. Population dynamics and
secondary production of emerita brasiliensis (crustacea: hippidae) at prainha
beach, Brazil. Marine Ecology. 24(3): 231–245.
Rahayu ennie S. 2012. Kajian Stok Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus
japonicus, Bloch 1791) di Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPI
Labuan, Pandeglang, Banten. [skirpsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Rose LV, Layman CA, Arrington DA, & Rypel L. 2007. Habitat fragmentation
decreases fish secondary production in Bahamian Tidal Creeks. Bulletin of
Marine Science. 80(3): 863-877.
Robiyani. 2000. Kebiasaaan Makanan, Pertumbuhan dan faktor kondisi ikan
kurisi (Nemippterus tambuloides Blkr.) di perairan teluk labuan jawa barat.
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
18
Saito Y dan Atobe S. 1970. Phitosociological study of intertidal marine algae I
Ursjiri Banten-Jima. Hokkaido University (JP). Hokaido Bulletin of the
Facult of Fisheries. 21 : 37-69
Salomo ARSS. 2011. Kajian sumberdaya lamun untuk pengembangan ekowisata
di Desa Teluk Bakau, Kepulauan Riau. [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Scoot L.C, Boland WJ, Edyvane KS, Jones GK. 2000. Development of seagrassh
habitat model I: seagrass residency index for economically important species.
Environmetrics. 11: 541-552
Supratomo R Tomi. 2000. Fungsi padang lamun (seagrass) sebagai area mencari
makan dengan indikator migrasi ikan terumbu karang. [Tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor
Soherman N Anisa. 2011. Asosiasi ikan dengan padang lamun di perairan karang
lebar,kepulauan seribu, Jakarta. [Skirpsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor
Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku manual
(edisi terjemahan). Kerjasama organisasi pangan, Perserikatan Bangsa-
Bangsa dengan pusat penelitiaan dan pengembangan perikanan, badan
penelitian dan pengembangan pertanian. Jakarta (ID). 438 hlm
Toor HS. 1986. Biology and fishery of the pig-face bream, Lethrinus lentjan
Lacepede, II maturation and spawning. Mandapam Camp. 1(3): 582-598.
Veloso V G & Sallorenzo I A. 2010. Differences in the secondary production of
Emerita brasiliensis (Decapoda: Hippidae) on two sandy beaches in Rio de
Janeiro State, Brazil. Nauplius. 18(1): 57-68.
Widiastuti. 2011. Kajian Nilai ekonomi produk dan jasa ekosistem lamun sebagai
pertimbangan dalam pengelolaannya (studi kasus konservasi padang lamun di
pesisir timur Pulau Bintan). [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Wimbaningrum, R. 2002. Pola zonasi lamun (seagrass) dan invertebrate
makrobentik yang berkoeksistensi di rataan terumbu pantai bama, taman
nasional Baluran, Jawa Timur. Jurnal Natur Indonesia . 3(1): 17.
Walpole RE. 1992. Pengantar statistik, edisi ke-3. [Terjemahan dari Introductionto
statistic 3rd edition]. Sumantri B (penerjemah). Jakarta (ID): PT Gramedia
Pustaka Utama
19
LAMPIRAN
Lampiran 1 Pengambilan contoh lamun
Transek pengambilan contoh
Sumber: Kepmen No 200 Th 2004 Sumber: Dokumentasi Pribadi
Panduan identifikasi lamun
20
Penentuan persentase penutupan
21
22
Lampiran 2 Pengukuran parameter kimia
Amonia
1. Saring air sampel sebanyak 100 ml, dengan kertas saring miliopore yang telah
disiapkan.
2. Kemudian tambahkan 50 ml aquades.
3. Ambil air sampel sebanak 25 ml sampel
4. Kemudiankan tambahkan Fenol solution 1 ml dan 2,5 ml oxidaxing solution, aduk setiap air sampel yang ditambahkan larutan tersebut.
5. Setelah itu diamkan didalam raung gelap selama 1 jam
6. Ukur dengan menggunakan spektrofotometri dengan panjang gelombang 640 nm.
Ortofosfat
1. Saring air sampel sebanyak 100 ml, dengan kertas saring miliopore yang telah disiapkan.
2. Kemudian tambahkan 50 ml aquades.
3. Ambil air sampel sebanak 25 ml sampel
4. Tambahkan mix reagen 4 ml, diamkan 5 menit.
5. Ukur dengan menggunakan spektrofotometri dengan panjang gelombang 880 nm.
Nitrat
1. Saring air sampel sebanyak 100 ml, dengan kertas saring miliopore yang telah disiapkan.
2. Kemudian tambahkan 50 ml aquades.
3. Ambil air sampel sebanak 5 ml sampel
4. Kemudian tambahkan reagen 0,5 ml dan H2SO4 36 N sebanyak 5 ml
5. Kemudian panaskan selama 30 menit
7. Angkat kemudian dinginkan, setelah itu ukur dengan menggunakan
spektrofotometri dengan panjang gelombang 410 nm.
23
Lampiran 3 Tahapan penelitian
Lampiran 4 Kriteria dan Status penutupan padang lamun
Kriteria baku kerusakan padang lamun
Tinggi ≥ 50
Sedang 30 - 49,9
Rendah ≤ 29,9
Status penutupan padang lamun
Kondisi Penutupan (%)
Sehat ≥ 60
Kurang Sehat 30 - 59,9
Miskin ≤ 29,9
Produktivitas sekunder Sebaran ukuran ikan
Sumberdaya ikan
Potensi lamun
Lingkungan kimia fisik Lingkungan hayati
Jenis lamun dan
persentase penutupan
Sumberdaya lamun
Seagrass Residences Index
24
Lampiran 5 Dokumentasi ikan hasil tangkapan
Sumber : Dokumentasi pribadi
25
Lampiran 6 Data koleksi Seagrass Residence Index (SRI)
26
27
Lampiran 7 Data hasil sampling lamun
Stasiun 1
NO Jenis
Lamun
Persentase
Pentupan (%)
Morfometri Jenis
Substrat
Kedalama
n (cm)
Jarak
(m) Panjang
(cm)
Lebar
(cm)
1 HO 30 15 1 Pasir 11 5
EA 20 15 1,5 Pasir 11 10
2 EA 30 13 1,5 PL 4 15
3 EA 80 66 1,5 PL 3 20
4 EA 70 69 1,5 PL 6 25
5 EA 60 50 1,3 PL 4,5 30
6 EA 90 86,7 1,2 PL 3 35
7 EA 20 20 1,2 PL 5,5 40
8 EA 20 55 1 PL 9 45
9 EA 95 98 1,2 PL 2,5 50
10 EA 45 61 1,2 PL 5,4 55
11 EA 50 43 1 PL 4,5 60
12 EA 80 70 1 PL 5,2 65
13 EA 85 62 1 PL 4 70
14 EA 95 68 1,2 PL 2,5 75
15 EA 85 48 1 PL 6,6 80
16 EA 90 60 1,2 PL 5 85
17 EA 80 76 1,9 PL 6,9 90
18 EA 80 60 1,2 PL 8,5 95
19 EA 60 78 1,1 PL 9,5 100
20 EA 40 39 1,2 PL 3,5 105
21 EA 80 43 1,2 PL 5 110
22 EA 90 68 1,2 PL 7,8 115
23 EA 90 40 1,2 PL 5,8 120
24 EA 80 57 1,2 PL 6,2 125
25 EA 20 45 1,2 PL 3 130
26 EA 20 28 1 PL 4 135
27 EA 25 30 1,1 PL 4,5 140
28 EA 25 72 1,2 PL 3,8 145
29 EA 25 24 1,2 PL 6,7 150
30 EA 20 56 1,2 PL 3,5 155
28
Stasiun 2
NO Jenis
Lamun
Persentae
Pentupan
(%)
Morfometri Jenis
Subst
rat
Kedalaman
(cm)
Jarak
(m) Panjan
g (cm)
Lebar
(cm)
1 HO 40 11,5 0,6 Pasir 5,8 5
2 EA 15 61 1,8 Pasir 7 10
3 EA 90 75 1,5 PL 5 15
4 EA 35 92 1,4 PL 7,8 20
5 EA 80 73 1,8 PL 4 25
6 EA 25 62 1,4 PL 5 30
7 EA 45 46 1,3 PL 4 35
8 EA 40 61 1,5 PL 3,5 40
9 EA 80 73 1,4 PL 10 45
10 EA 45 104 1,5 PL 8,5 50
11 EA 40 82 1,4 PL 7 55
12 EA 20 65,5 1,6 PL 3,5 60
13 EA 95 87 1,6 PL 7,4 65
14 EA 95 73 1,8 PL 7 70
15 EA 95 85 1,4 PL 5,5 75
16 EA 40 89 1,4 PL 4 80
17 EA 60 66 1,3 PL 3,8 85
18 EA 80 77 1,3 PL 8 90
19 EA 25 85 1,5 PL 4,5 95
20 EA 30 59,5 1,4 PL 5,5 100
21 EA 20 10 0,8 PL 2 105
22 EA 20 61 1,5 PL 6 110
23 EA 20 31 1,5 PL 3 115
24 EA 45 61 1,4 PL 4 120
25 EA 15 64 1,4 PL 4 125
26 EA 40 57,5 1,8 PL 5 130
27 EA 45 18 1,2 PL 6 135
28 EA 45 64 1,2 PL 4 140
29 SI 25 31,5 1,8 PL 5 145
30 SI 25 154 0,1 PL 5 150
29
Stasiun 3
NO Jenis
Lamun
Persentase
Pentupan
(%)
Morfometri Jenis
Substra
t
Kedalaman
(cm)
Jarak
(m) Panjang
(cm)
Lebar
(cm)
1 EA 60 58 1,6 PL 4,5 5
2 EA 80 82 0,1 PL 9 10
3 EA 80 49 1,2 PL 5,2 15
4 EA 95 49 1,2 PL 5,2 20
5 EA 80 48 1,3 PL 5 25
6 EA 40 68 1,4 PL 7 30
7 EA 25 59 1,2 PB 3,5 35
8 EA 15 56 1,4 PB 3,5 40
9 EA 25 71 1,1 Pasir 4 45
10 EA 25 58 1,2 PB 4 50
11 EA 15 64 1,4 Karang 0,5 55
12 EA 25 76 1,2 PL 6 60
13 EA 25 76 1,5 Pasir 6 65
14 EA 25 64 1,2 PL 3 70
15 EA 30 46 1,3 PBl 4 75
16 EA 30 50,5 1,2 PL 3 80
17 EA 40 26,5 0,8 PL 7,5 85
18 EA 70 16 1,4 PL 7,5 90
19 EA 70 41 1 PL 5 95
20 EA 80 41 - Karang 3 100
21 EA 90 50 1,4 PL 2 105
22 EA 60 58 1,6 PL 4,5 110
23
80 82 0,1 PL 9 115
24 EA 80 49 1,2 PL 5,2 120
25 EA 80 17,5 0,7 PL 6 125
SI 25 14,8 1,2 PL 6 130
26 EA 95 49 1,2 PL 5,2 130
27 EA 80 5,9 1,2 PL 4,5 135
SI 20 15 0,3 PL 4,5 135
28 EA 40 52 1,3 PL 8 140
SI 30 13,5 0,4 PL 8 140
29 EA 60 21 1,4 PL 10 145
SI 30 13,7 0,4 PL 10 145
30 EA 40 14,7 1,3 PL 12 150
SI 30 21 0,5 PL 12 150
30
Lampiran 8 Dokumentasi pengambilan sampel lamun
31
Lampiran 9 Produktivitas sekunder menurut parameter pertumbuhan
Perhitungan produktivitas sekunder
Pendugaan pada Parameter Pertumbuhan menggunakan model pertumbuhan
Von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999). Komponen analisis adalah data
pengukuran panjang dan bobot ikan.
Lt = L∞ [1 –e –K(t – t0)
]
Lt+1 = L∞ [1 –e –K(t+1 – t
0)]
Lt+1 - Lt = L∞ [1 –e –K(t+1 – t
0)]- L∞ [1 –e
–K(t– t0
)]
= L∞ – L∞ e –K(t+1 – t
0)- L∞+ L∞ e
–K(t– t0
)
= -L∞ e –K(t+1 – t
0) + L∞ e
–K(t – t0
)]
= L∞ e –K(t – t
0)] -L∞ e
–K(t – t0
) e
-K
Lt+1 - Lt = [L∞ e –K(t – t
0)] [1- e
-K] (1)
Lt = L∞ - L∞ e –K(t – t
0)
Lt - L∞ = L∞ e –K(t – t
0)
L∞ - Lt = L∞ e –K(t – t
0) (2)
Lt+1 - Lt = [L∞ e –K(t – t
0)]-[1- e
-K]
= [L∞ - Lt] [1- e-K
]
= L∞ [1- e-K
] - Lt [1- e-K
]
Lt+1 - Lt = L∞ [1- e-K
] - Lt - Lt e-K
= L∞ [1- e-K
] - Lt - Lt e-K
+ Lt
Lt+1 = L∞ [1- e-K
]+ Lt e-K
(3)
Kelas umur dikelompokkan berdasarkan (Rose et al. 2010) yang diturunkan
dari persamaan Von Bertalanfy sebagai berikut:
Lt = L∞ (1− e−K (t−t0
)
Lt = L∞ − L∞ e−K (t−t0)
L∞e−K (t−t0)
= L∞− Lt
Ln (L∞ e−K (t−t0)
) = Ln (L∞− Lt)
−K(t−t0) = Ln (L∞ − Lt)
t−t0 = Ln (L∞ − Lt) / −K
t =( − Ln (L∞ − Lt) / −K) + t0 (4)
Keterangan:
Lt = Lapangan diperkirakan panjang
L∞ = Panjang asimtotik
t0 = Umur pada saat panjang nol
k = Koefisien pertumbuhan
Selanjutnya untuk menduga parameter pertumbuhan Lage+1 dari model
pertumbuhan Von Bertalanffy ( Sparre dan Venema 1999) yang ditransformasi
menjadi persamaan berikut:
32
L = L∞ (1− e−K (t−t
0)
Lt +1 = L∞ (1− e−K [(t+1) − t
0]) (5)
Pendugaan parameter Wage +1 dari persamaan W=aLb ditransformasi menjadi
parameter linier, sehingga diperoleh persamaan berikut:
W = aLb
Log W = Log (aLb)
Log W = Log a + Log Lb
Log Wt+1 = log a + b log L (6)
Keterangan:
W = Bobot (gram)
L = Panjang (mm)
b = Slope
a = Intercept
Produktivitas sekunder didapatkan dari selisih biomasa yang diduga dan
biomasa yang didapatkan, sehingga diperoleh persamaan berikut:
P = W t+1 – Wt field (7)
Keterangan:
W t+1 = Biomasa dugaan selama 1 tahun (gram)
W t field = Biomasa pengukuran (gram)
Tabulasi perhitungan produktivitas sekunder
Nemipterus bipunctatus
Stasiun Age Indv/m2 W (age field) W (age+1)
Produktivitas
(g.m-2
.thn-1
)
1
1 0,31 0,49 14,66
2 1,22 2,37 32,30
3 0,61 3,32 47,29
4 0,31 4,01 58,45
Sub Total
10,19 152,70 142,51
2 1 2,14 3,38 14,66
2 0,92 6,02 32,30
Sub Total
9,39 46,95 37,56
3
1 0,61 2,82 14,66
2 0,92 4,22 32,30
3 0,92 6,23 47,29
Sub Total
13,28 94,25 80,97
Total
261,04
33
Lethrinus lentjan
Stasiun Age Indv/m2 W (age field) W (age+1)
Produktivitas
(g.m-2
.thn-1
)
1 1 0,31 1,40 20,34
2 0,61 2,17 37,47
Sub total 3,57 57,81 54,24
2 1 3,36 1,38 20,34
2 1,22 2,51 37,47
3 0,31 3,19 51,25
Sub total 7,08 109,06 101,99
3 1 0,31 1,89 20,34
2 0,61 3,19 37,47
3 0,92 5,43 51,25
Sub total 10,50 109,06 98,56
Total 254,79
Lutjanus madras
Stasiun Age Indv/m2 W (age field) W (age+1)
Produktivitas
(g.m-2
.thn-1
)
1 1 0,31 2,16 19,26
2 1,22 3,22 43,67
3 0,61 4,15 65,80
Sub Total 9,53 128,72 119,19
2 1 0,31 2,16 19,26
2 1,22 3,36 43,67
3 0,61 4,15 65,80
Sub Total 9,67 128,72 119,06
3 1 0,92 3,08 19,26
2 0,31 6,39 43,67
3 0,61 7,58 65,80
4 0,31 9,81 82,92
Sub Total 26,86 211,64 184,78
Total 423,03
34
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Liwa, Lampung Barat pada 7 Mei 1992,
sebagai putra ketiga dari pasangan Gonsar Manurung dan Dwi
Krismawati Br Sinaga. Pendidikan formal pernah dijalani
penulis berawal dari SDN 2 Liwa, Kabupaten Lampung Barat
(1998-2004), SMPN 1 Liwa , Way Empulau Ulu, Liwa
(2004-2007), dan SMAN 1 Sebarus, Liwa, Lampung (2007-
2010). Tahun 2010, penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur USMI, di Departemen Manajemen
Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Kegiatan di luar akademik, penulis aktif dalam organisasi Himpunan
Mahasiswa Manajemen Sumber Daya Perairan (HIMASPER) tahun 2012-2013
sebagai Badan Pengawas HIMASPER, Resimen Mahasiswa sebagai anggota
remaja Biro Personalia, dan UKM PMK IPB sebagai anggota Tim KK. Ketua
pelaksana fildtrip terpadu departemen Manajemen Sumberdaya Perairan tahun
2012/2013, serta aktif dalam kegiatan panitia di lingkungan kampus IPB. Tahun
2012 penulis melakukan kegiatan magang di Balai Riset Perikanan Budidaya Air
Tawar (BRPBAT) KKP Bogor. Kegiatan akademik lain adalah sebagai Asisten
agama kristen tahun ajaran 2011/2012 dan 2013/2014.