Post on 27-Jan-2016
description
1
Pasar Kuliner Kita Keinggris-inggrisan,
Pasar Kuliner Inggris Tidak ‘Kekita-kitaan’
Insani Ursha Jannati
132154014
iurshaj@gmail.com
Abstrak
Pasar kuliner Indonesia kini semakin marak, mengingat “urusan perut”
adalah hal nomor wahid yang banyak diburu oleh target pembeli serta makin
mudahnya para calon pemilik toko menciptakan dunia jual beli mereka sendiri
di era digital begini. Selain selalu dinamis dan kreatif dalam menciptakan
bentuk-bentuk baru, setiap penjual juga berinovasi melalui desain, harga,
nama-nama menu, termasuk nama toko. Sayangnya, kekreativitasan ini sangat
jarang didukung dengan kearifan lokal. Begitu banyaknya jumlah toko makanan
yang menentukan “gaya” dibungkus dengan bahasa Inggris karena memiliki
kesan berkelas. Di mata masyarakat, bahasa Inggris identik dengan kelas atas
sedangkan bahasa sendiri diinterpretasikan sebagai “nyeleneh”. Melalui
pengalaman pribadi, wawancara, serta pengamatan langsung, dalam penelitian
ini, penulis akan mengulas latar belakang, tujuan, hingga berbagai contoh yang
menunjukkan bahwa dalam dunia pasar kuliner Indonesia, baik offline maupun
online, bahasa tanah air tidak banyak digandrungi. Dengan adanya penelitian
ini, penulis berharap terbukanya sudut pandang positif pembaca terhadap
bahasa sendiri agar bahasa di Indonesia tidak lagi menjadi anak tiri bangsa
Indonesia.
Kata kunci: pasar kuliner; pasar Indonesia; kuliner indonesia; strategi toko;
onlineshop; pemilihan bahasa; gaya bahasa; bahasa daerah; bahasa
Indonesia; bahasa Inggris
2
Pendahuluan
Pasar kuliner di Indonesia makin hari makin marak pertumbuhannya, ada
lebih dari 5.300 makanan asli Indonesia yang tercatat. (Entrepeneur Bisnis,
2013) Didukung oleh era yang makin canggih dan modern, semua serba online,
semua serba mudah, semua serba dimanjakan. Apalagi sekarang makin
banyak media yang menyediakan ‘lahan gratis’ bagi para pemilik toko untuk
mengenalkan keberadaannya pada khalayak. Dari toko offline hingga online.
Toko yang ada bentuk fisiknya, hingga yang virtual saja. Siapa pun mampu
menciptakan ‘pasar’-nya sendiri dalam waktu yang tidak lama. Dalam beberapa
langkah, terciptalah toko baru! Tentunya semudah apa pun rentetan langkah
dalam menciptakan pasar—membuat toko baru—tetap saja ada langkah awal
yang harus dipikirkan, yaitu, image. “Mau seperti apa gambaran toko yang ingin
disuguhkan kepada calon pembeli?” adalah satu pertanyaan yang menyangkup
banyak jawaban sebelum sebuah toko resmi diluncurkan. Jenis barang, ciri
khas, desain, nama-nama menu, dan nama toko adalah jawabannya.
Apalagi pasar kuliner memiliki target pembeli yang menuntut standar
tinggi terhadap barang dagangan mereka karena semua menyangkut selera
dan urusan perut. Sehingga, sedikit saja image yang dipilih para penjual toko
meleset dari selera khalayak, resiko yang diterima penjual cukup tinggi pula.
Barang dagangan basi, tidak bisa dijual di kemudian hari, bahkan tidak balik
modal pun akan terjadi.
Itulah mengapa para pemilik toko berlomba-lomba memburu diksi
semenarik mungkin untuk dijadikan nama. Baik nama-nama pada tiap jenis
makanan yang disuguhkan, maupun nama toko yang ‘membungkus’
keseluruhan isi dagangan. Sayangnya, nilai dari nama menarik ini kerap kali
meninggalkan nilai keaslian bahasa. Di mana pasar kuliner Indonesia marak
dengan kumpulan bahasa-bahasa asing khususnya bahasa Inggris dibanding
bahasa asli mereka. Berdalih keren, up to date, bahasa dunia, mereka
membidik bahasa Inggris sebagai sumber image. Padahal Indonesia sendiri
tidak pernah kehabisan kosakata, mengingat Indonesia tidak hanya terbentuk
dari satu pulau melainkan kumpulan pulau-pulau yang otomatis memiliki
kandungan bahasa yang tak terhitung dari setiap sukunya.
3
Selain 3 alasan yang sudah penulis sebutkan (keren, up to date, bahasa
dunia), bahasa Inggris menjadi pilihan karena alasan klasik lainnya. Alasan
yang kerap kali menjadi jawaban pertama bila seorang pemilik toko makanan
ditanya mengapa dia menjadikan bahasa Inggris sebagai nama tokonya
adalah, “Nggak enak lho kalau bahasa Indonesia, kayak aneh gitu.” Karena
alasan inilah tanpa ambil pusing, mereka langsung memilih bahasa Inggris.
Bahasa Indonesia dianggap aneh, tidak ada padanan kata dengan apa yang
mereka maksud, serta bertele-tele.
Di sebuah mal di tengah kota yang begitu megah contohnya, kita berjalan
menuju foodcourt yang biasanya berada di lantai paling atas yang murni
dipenuhi berbagai toko makanan. Dari situ saja kita sudah mampu menatap
bejibun-nya bahasa Inggris yang terpampang secara mencolok di tiap-tiap toko
sebagai nama toko mereka. Di atas lantai seluas itu, paling-paling kita hanya
mampu menemukan segelintir toko yang memilih kata bahasa Indonesia
sebagai ‘wajah’ mereka.
Cobalah ke London. Melalui perjalanan virtual via dunia digital, kita bisa
mengamati bidikan-bidikan yang diposting oleh siapa pun yang ada di sana.
Tidak jarang latar bidikan yang nampak adalah meriahnya pusat kuliner
London. Bahkan di tengah kota London yang semegah nan seterkenal itu, justru
hanya segelintir yang tidak berbahasa Inggris. Berkebalikan dari fenomena
yang kita temukan di foodcourt Indonesia. Artinya, penduduk Inggris tidak
menganaktirikan bahasa mereka dan itu bisa dinterpretasikan sebagai bentuk
kebanggaan mereka terhadap bahasa asli.
Di dalam penelitian ini, penulis akan mengupas pola pandang penulis
terhadap dunia pasar kuliner Indonesia dengan data yang sudah dikumpulkan
melalui pengalaman pribadi, wawancara, dan observasi. Pembaca juga akan
disuguhkan di bagian akhir, halaman-halaman yang melampirkan gambar toko-
toko di Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris,
serta toko-toko di Inggris yang menggunakan bahasa Inggris dan bahasa asing,
semua gambar-gambar itu penulis dapatkan baik tidak langsung maupun
langsung penulis bidik.
4
Pembahasan
Makanan dan minuman memang menjadi perhatian utama siapa pun dalam
situasi kapan pun. Baik yang memang mengeklaim diri sebagai pencinta
kuliner, maupun yang tidak begitu memberikan perhatiannya pada jajanan.
Tetap tidak bisa dipungkiri, ingin mencicip varian baru pada makanan/minuman
adalah hasrat tertinggi bahkan mampu mengalahkan jiwa konsumtif manusia
terhadap jenis dagangan lain. Di tiap kita melangkah, dengan mudahnya kita
akan menjumpai pedagang kuliner. Baik yang bergerak maupun yang memiliki
stan khusus. Besar, kecil tentu bukan masalah. Selama isi dagangan mampu
menggugah selera, dalam waktu singkat pasti diburu pembeli.
Itulah mengapa kuliner adalah hal yang paling menggiurkan bagi setiap
calon pedagang. Dengan target yang tidak terbatas, tua, muda, pria, wanita,
semua boleh mencoba. Tidak ada sekat. Namun perlu diingat, memilih untuk
menjadi penjual kuliner juga harus siap dengan resiko yang tidak kecil:
makanan basi bila tidak terjual. Berbeda dengan jenis dagangan di luar kuliner,
di mana bila tidak terjual hari ini, bisa dicoba di kemudian hari dengan bentuk
yang tetap utuh.
Alasan utama inilah yang menimbulkan berbagai strategi para pedagang
dikerahkan dengan tujuan utama calon pembeli tidak melirik toko lain. Baik dari
segi kreativitas, inovasi, membidik apa yang sedang diminati masyarakat,
menekan harga jual serendah-rendahnya, hingga memilih nama-nama menu
dan nama toko yang eyecatching adalah langkah-langkah yang mereka ambil
sebelum mereka muncul ke permukaan.
Tentu saja pemilihan nama toko ini tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Setiap calon penjual, harus berpikir matang-matang terhadap jualannya,
bahkan pemilihan nama toko bagi sebagian besar pemilik toko harus berada di
urutan pertama sebelum mereka menentukan “akan menjual apakah aku?”.
Setelah fix seorang calon pedagang memahami apa yang akan dia suguhkan,
barulah dia memutar otak kembali untuk memikirkan langkah selanjutnya:
Pemberian judul pada tiap menu. Seapik mungkin, seberkelas mungkin,
semenarik mungkin.
5
Sayangnya, di negara yang jelas-jelas berbahasa ibu bahasa Indonesia
ini, justru hanya sebagian kecillah masyarakatnya yang meminati kosakata
Indonesia untuk dijadikan ‘wajah’ toko mereka. Kebanyakan, bahkan dominan
dari semua toko yang berdiri di Indonesia, berwajah asing alias memilih bahasa
dari luar negara Indonesia sebagai identitas mereka. Tidak ada ketertarikan
membidik bahasa ibu apalagi bahasa daerah. Memang benar mereka memilih
bahasa daerah, tapi daerah dari negara lain. Padahal di negara sendiri ada
bahasa daerah Jawa, Batak, Sunda, Bali, Madura, Makassar, dan daerah-
daerah lain yang bila disebutkan semua tidak muat dua belas lembar.
Pada penelitian ini, penulis fokus terhadap kecenderungan pasar kuliner
Indonesia dalam “menentukan kesan dagangan” yang berkiblat ke bahasa
Inggris. Namun, agar pembaca tidak memiliki gambaran grambyang akan apa
yang penulis bahas, selanjutnya penulis akan mengerucutkan fokus ini pada 3
titik bidik:
1. Pusat Jajanan (Foodcourt) di Indonesia dan Inggris
2. Pemilihan Nama Toko dan Judul Menu
3. Pandangan Umum terhadap Bahasa Nusantara dalam Dunia Kuliner
Pusat Kuliner (Foodcourt) di Indonesia dan Inggris
Mari kita mulai menggali ingatan saat kita memasuki sebuah gedung
megah pusat perbelanjaan di tengah kota. Kita disuguhi berbagai kemewahan
dan gemerlap dunia kelas atas. Dan tidak lupa, dunia pengisi perut, yang
biasanya terletak di lantai paling atas serta tidak ‘diganggu’ oleh dunia di luar
kuliner. Satu lantai penuh kita akan melihat toko-toko penyedia kuliner berjejer.
Puluhan pramuniaga menawarkan apa yang ada pada toko mereka. Mulai dari
menyodorkan menu andalan, diskon hari itu, serta menjamin rasa yang lezat
juga pramuniaga lakukan.
Di atas lantai foodcourt seluas itu, kita misalkan, terdapat 30 toko, paling-
paling hanya 4 yang memilih kata bahasa Indonesia sebagai ‘wajah’ mereka.
Sisanya, “Bahasa asing mah lebih kece!” Baik kesan manis, budaya, dewasa,
hampir semuanya dituangkan dalam bahasa Inggris. Fenomena ini
6
menginterpretasikan bahwa peminat bahasa-bahasa negeri sendiri sangatlah
kecil jumlahnya. Seolah menunjukkan agar serasi dengan tatanan gedung yang
gemerlap, sebuah toko harus bergaya keinggris-inggrisan, agar dipandang
berkelas, sebuah toko harus berkiblat pada bahasa Inggris. Mengingat bahasa
Inggris adalah bahasa persatuan internasional yang daya jualnya sudah begitu
tinggi. Sehingga apa pun yang masih mengandung kemurnian bahasa sendiri
akan dipandang “nyentrik”, “nyeleneh”, dan jauh dari kesan elegan. Karena
berkelas = Inggris; elegan = asing. Begitu kira-kira.
Sekarang, coba jalan-jalan ke London. Tidak perlu berjalan di atas kaki
sendiri, cukup di atas touchpad laptop yang internetnya terkoneksi. Ya,
perjalanan virtual via dunia digital. Bisa via Facebook, Twitter, Blogger, dan
yang sekarang paling mudah aksesnya adalah Instagram. Amati bidikan-
bidikan yang diposting, tidak jarang latar bidikan yang nampak adalah
meriahnya pusat perbelanjaan kuliner London. Bahkan di tengah kota London
yang semegah nan seterkenal itu, (bila tadi toko di Indonesia hanya 4 dari 30
yang berbahasa Indonesia) di London, Inggris, hanya 4 dari 30 yang tidak
berbahasa Inggris. Meskipun Inggris mempunyai negara tetangga yang tidak
kalah majunya dan menjadi pusat perhatian dunia pula. Artinya, penduduk
Inggris tidak menganaktirikan bahasa mereka sendiri dan itu bisa
dinterpretasikan sebagai bentuk kebanggaan terhadap bahasa asli.
Pemilihan Nama Toko dan Judul Menu
Nama toko adalah poin nomor wahid yang wajib dipertimbangkan seorang
calon pemilik toko. Mampu menarik perhatian para calon pembeli, itulah tujuan
utamanya. Bila sebuah toko memiliki makna nama yang sulit diartikan bagi
sebagian besar orang, dipastikan toko tersebut akan terlebih dahulu
mengundang lebih besar tanda tanya dibanding ketertarikan. Sebaliknya, bila
sebuah toko sudah secara menyeluruh menggambarkan “isi” dagangan,
pembeli bisa langsung lanjut ke tahap menelisik isi toko tersebut tanpa repot
mengartikan makna nama tokonya.
7
Kita umpamakan kita adalah pembeli yang menginjakkan kaki di atas
lantai foodcourt tadi. Berbagai pramuniagai menawarkan makanan mereka
yang katanya lebih unggul dari toko sebelah. Ditawari begitu banyaknya
makanan yang ‘menjajikan’ tentu membuat kita selektif. Sebelum kita
memutuskan membandingkan tiga hal tadi, hal pertama yang membuat kita
ingin menelisik lebih dalam adalah nama toko. Tidak mungkin sebuah toko
makanan yang berembel-embel “kebab” akan menjual tahu goreng di
dalamnya. Sehingga, saat nama toko mampu mempersuasif apa-yang-toko-
suguhkan kepada pembeli hanya dengan sekali pandang, maka pemilihan
nama untuk toko wajib diperhatikan.
Tetapi, ada sedikit keganjilan dengan cara mayoritas pedagang Indonesia
dalam membidik diksi sebagai identitas utama toko mereka. Meskipun mereka
tahu target utama mereka adalah konsumer berkewarganegaraan Indonesia,
tempat mereka di Indonesia, bahan-bahan produksi mereka dibeli di Indonesia,
mengesampingkan ciri khas Indonesia pada jualan mereka dan malah
mengagungkan sentuhan Inggris, itulah kesannya.
Sekalipun tatanan toko sudah dibuat sedemikian rupa hingga
mengesankan situasi pedesaan Indonesia yang khas, latar tembok bergambar
sawah, meja kayu, mangkok sederhana, duduk lesehan, tetap saja nama dari
toko itu mengandung unsur bahasa Inggris. Tambahan artikel “the”, misalnya.
“The Nglesot”, “The Ndeso”, “The Nyangkruk”, atau apa pun itu. Memadukan
bahasa daerah yang ada di Indonesia dengan artikel bahasa Inggris sudah bisa
dikategorikan sebagai penganut gaya keinggrisan. Mengingat pola penyusunan
kata dalam bahasa yang ada di Indonesia tak memerlukan artikel “the”, cukup
dengan “Nglesot”, “Ndeso”, ataupun “Nyangkruk”.
Dari pengamatan penulis via dunia maya terhadap masyarakat Inggris,
justru berbanding terbalik. Di negara Inggris justru akan disodorkan nama toko
murni berbahasa Inggris yang sesuai dengan apa yang mereka jual dan di
mana mereka berdiri. Semisal, rumah kuliner yang mengandalkan minuman
coklat hangat dalam menunya. Di London, yang akan kita temukan adalah toko
dengan nama “Hot Chocolate Drink Shop”, murni berbahasa Inggris.
Bayangkan bila toko itu terletak di atas tanah Indonesia, akankah kita
8
menemukan di pinggir jalan tulisan “Toko Minuman Coklat Panas”? Saya rasa
tidak. Karena bagi mayoritas, frasa “minuman coklat panas” dianggap terlalu
kaku dan janggal. Di kehidupan sehari-hari paduan kata ini sangat jarang
digunakan kecuali di film-film atau buku kartun yang memang targetnya adalah
balita yang belum belajar bahasa Inggris. Untuk kalangan orang dewasa,
mereka biasa menyebut “hot chocolate” karena dipikir jauh lebih ringkas.
Stereotip ini juga berlaku persis dalam penamaan tiap-tiap menu makanan
atau minuman di rumah makan Indonesia. Bahasa Indonesia dianggap terlalu
bertele-tele sehingga mereka mencomot bahasa Inggris sebagai judul menu
andalan. Se-pernah apa pun kita menemui judul menu berbahasa Indonesia,
tetap tidak mengalahkan maraknya penamaan menu dala bahasa Inggris.
Big Lobster Spicy Jumbo
Omlete and Hot Noodle
Sauce Sausage Barbeque
Twister Tornado Fresh Lemon
Milk Tea White Creamy
Orange Juice Strawberry Mix
Pola-pola menamaan menu di atas tentu tidak asing terutama saat berada
di rumah-rumah makan tengah kota. Biasanya, sebagai pembeli kita memasuki
sebuah rumah makan tanpa mengetahui sebelumnya menu apa itu. Bermodal
penasaran dan ketertarikan terhadap judul menu, kita pun memilih makanan
tersebut. Meskipun ternyata saat pesanan tiba, hidangan yang disuguhkan
tidak jauh-jauh dari masakan ibu di rumah. Di sinilah proses persuasif suatu
judul menu sukses dijalankan.
Pihak rumah makan lebih memilih Sauce Sausage Barbeque dibanding
“Sosis Bakar Saus” karena sekali lagi, kembali ke stereotip masyarakat. Bila
calon pembeli mendengar kalimat “sosis bakar saus” tentu bisa dipastikan
menu itu akan sedikit peminat karena mereka membayangkan sosis seribuan
yang mudah mereka dapatkan di toko pinggir jalan dengan cocolan saus lalu
9
dibakar. Sangat-sangat tidak istimewa. Tetapi bila judul yang disodorkan dalam
bentuk bahasa Inggris, secara langsung gambaran di benak pelanggan adalah
sebuah menu istimewa yang didatangkan langsung dari negari Barat yang
sungguh menggugah selera. Padahal intinya sama saja: Sosis dibakar.
Pandangan Umum terhadap Bahasa Nusantara dalam Dunia Kuliner
Nusantara merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah
kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua yang sekarang
sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia. (Wikipedia. Web. 2015)
Bahasa Nusantara berarti berbagai bahasa yang terlahir di atas negara
Indonesia.
Sayangnya, banyaknya bahasa yang lahir di Indonesia tidak didukung
oleh banyaknya dunia bisnis kuliner di negara ini. Sangat sulit kita temui rumah
kuliner yang memiliki unsur murni Nusantara pada suguhannya. Sedikit
banyak, pastilah dibumbui unsur keinggrisan. Namun, “sangat sulit” di sini
bukan berarti “tidak ada sama sekali”. Tentu saja ada. Dari situlah penelitian
penulis ini berasal.
Muncul pandangan yang berbeda dari khalayak pada dunia kuliner yang
mencondongkan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai tokoh utama. Bila suatu
rumah kuliner justru menyuguhkan keaslian daerahnya tanpa embel-embel
sentuhan Barat, maka khalayak jelas menyambut dengan tatapan konyol,
humor, tawa, dan apa pun yang menuju ke arah “bahan bercandaan”.
Sebagai contoh konkrit di Surabaya ada sebuah rumah kuliner “Mie
Rampok Surabaya” yang bertemakan kriminalitas di Indonesia. Mulai dari tata
letak yang membuat pengunjung merasakan sensasi makan di penjara hingga
nama menu semuanya murni berbahasa Indonesia. Menu makanan yang tidak
keinggris-inggrisan macam Omlete and Hot Noodle, malah sangat Indonesia
dan begitu unik. Semisal mereka menyuguhkan menu mi yang memiliki tingkat
kepedasan berbeda, ini nama menunya:
10
100 lombok : Mie Rampok Hukuman Mati
75 lombok : Mie Rampok Hukuman Rajam
55 lombok : Mie Rampok Hukuman Cambuk
35 lombok : Mie Rampok Tahanan Rumah
15 lombok : Mie Rampok Masa Percobaan
0 lombok : Mie Rampok Salah Tangkap
Tentu saja nama-nama menu di atas mampu mengundang gelak tawa
saat pertama membacanya tetapi gelak tawa itu bisa dijamin tidak akan sekeras
andai nama-nama menu tadi dibalut dalam rentetan bahasa Inggris. Penulis
singgung kembali, bila suatu rumah kuliner berkiblat pada Inggris, khalayak
akan menyambutnya secara “wow” semacam menghargai karena kembali ke
stereotip, bahasa Inggris itu bahasa dunia dan gaul.
Di bawah ini, penulis berikan data yang telah penulis kumpulkan. Mulai
dari pengamatan langsung, tidak langsung, hingga wawancara tentang respon
masyarakat terhadap toko/rumah kuliner yang berkiblat ke Inggris maupun
Indonesia.
Perbincangan Singkat Penulis dengan Seorang Teman
Penulis : Kenapa sekarang makin banyak penjual yang milih nama toko dalam
bahasa Inggris?
Teman : Karena bahasa Inggris lebih maju kalik.
Penulis : Ya bahasa Indonesia kapan majunya kalau nggak ada yang pake?
Teman : Oh, ya lagian bahasa Inggris kan sudah mendunia. Jadi ya biar
dagangannya dikenal dunia itulah kenapa pada pakai bahasa
Inggris.
Penulis : Orang-orang Jepang cuman minoritas yang bisa bahasa Inggris dan
dagangannya malah hampir nggak ada yang diambil dari bahasa
Inggris, juga maju kok.
11
Teman : Hmm, ya tau lah Indonesia kayak apa. Selalu jadi hits kan yang
kebarat-baratan gitu.
Pendapat Masyarakat
Ala Inggris Ala Indonesia
Nama Toko/Rumah Makan “Keren namanya.” “Hahaha aneh-aneh
aja.”
Tata Letak Ruangan “Wuih, keren ya.
Minimalis gini!”
“Lesehan ya, ala-ala
ndeso.”
Nama Menu
“Kayaknya enak, nih.
Mungkin import dari
Eropa.”
“Ini gimana sih
maksudnya. Isinya
apa nanti.”
Ringkasan
- Pasar kuliner memiliki masa depan yang menjajikan karena menyangkut
urusan perut sehingga target pembeli banyak dan tidak terbatasi umur
maupun gender.
- Namun pasar kuliner memiliki resiko lebih besar dibanding pasar
kategori lain karena makanan/minuman harus laku dalam waktu singkat
bila tidak akan basi dan pedagang kehilangan modal.
- Resiko besar menuntut para pedagang berpikir besar pula,
mengerahkan kekreatifitasan agar pembeli tidak melirik dagangan lain.
- Salah satu bentuk kreatifitas ini adalah memberikan “wajah” untuk
toko/rumah makan yang ditunjukkan ke masyarakat, termasuk diksi-diksi
yang nantinya dijadikan nama toko atau nama menu.
- Negara kita memiliki berjuta bahasa daerah dan bahasa Indonesia
sebagai bahasa induk.
- Banyaknya bahasa daerah yang lahir di Indonesia tidak menggugah
selera pasar kuliner Indonesia untuk membanggakan khas daerah asal.
- Pasar kuliner Indonesia lebih senang membidik bahasa Inggris sebagai
kiblat.
12
- Bahasa Inggris dianggap lebih “menjual” dan up to date dalam dunia
dagang serta mampu menggaet banyak pembeli.
- Bahasa daerah atau bahasa Indonesia selalu ditanggapi sebagai bahan
bercandaan oleh calon-calon pembeli.
- Bahasa di Indonesia, anak tiri bangsa Indonesia.
Referensi
Huri, Adam. “Mie Rampok Surabaya.” kulinerkota.wordpress.com. 2015. Web.
1 Januari. 2015.
Andriani, Dewi. “Kuliner Indonesia, Potensi Masakan Nusantara Di Pasar
Dunia.” entrepreneur.bisnis.com. Web. 2013. Web. 1 Januari. 2015.
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. “Motivasi dan Strategi Bisnis
Kuliner di Kalangan Mahasiswa Wirausaha.” Pendidikan dan Ekonomi
2.1 (2013): n. pag. Web. 2015.
K, Surya Yulandra, and Tejo Nurseto. “Pasar.” id.wikipedia.org. 2015. Web. 1
Januari. 2015.
Kusno, Gustaaf. “Kuliner Wisatawan.” kompasiana.com. 2009. Web. 1 Januari.
2015.
Pancious. instagram.com/pancious. 2015. Web. 1 Januari. 2015.
Yeski. deals.roripon.com. 2015. Web. 1 Januari. 2015.
13
Lampiran
London
14
Indonesia
15
16
(hasil bidikan penulis)