Post on 06-Feb-2018
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR
DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UU
NO. 1 TAHUN 1974 DAN KUH PERDATA
(STUDI PERBANDINGAN)
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Dalam Ilmu Syariah
Disusun Oleh :
Ahmad Adib
2103209
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2010
MOTTO
!" # $%# &'#( ))* +, ##( -%#)/01#:3(
Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisa : 9)
PERSEMBAHAN
Karya ini aku persembahkan kepada :
Allah SWT. Yang menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling
sempurna di bumi ini. Memberikan akal dan fikiran sehingga penulis dapat
mempersembahkan karya ini.
Nabi Muhammad Rosululloh sang penerang kegelapan.
Abah dan Ibu tercinta, Ahmad Nawawi dan Qowiyatun. Yang selalu
memberikan do'anya kepada ananda, mencurahkan semua kasih sayang
yang tak akan pernah pupus selamanya.
Abdul Kholiq S.H, S.P.N., MH dan keluarga yang selalu memberikan doa
dan semangat agar dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik .
Kakak-kakakku ( Mbak Hamidah beserta suami, Mas Hamid beserta istri,
Mas Mubin beserta istri ) yang selalu memberikan semangat sehingga
terselesaikanya skripsi ini.
Adik dan keponakanku ( ishomuddin, ida udhiyati, wahid, ifa, ulum, najah,
naila, faiq, ala dan izza) yang selalu mewarnai hari-hari yang
menyenangkan.
Calon istriku, adinda Qomariyah yang selalu menemani dalam suka
maupun duka dan selalu memberikan semangat untuk selalu maju dalam
menghadapi tantangan hidup.
Teman dan sahabatku semuanya yang tidak dapat aku sebutkan satu-
persatu
Saudaraku dan segenap orang-orang yang selalu menemaniku dan selalu
memberikan doa, nasehat agar penulis dapat menyelesaikan karya ini.
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau
diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-pemikiran
orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan
rujukan.
Deklarator,
Ahmad Adib
2103209
ABSTRAK
Lahirnya seorang anak di luar perkawinan akan menimbulkan banyak
problematika bagi anak tersebut dikemudian hari. Lahirnya anak juga
mengakibatkan hukum antara anak dengan orangtuanya dan keluarga
orangtuanya, bahkan kepada masyarakat dan negara. Lebih dari itu akan timbul juga masalah seperti : status anak, perwalian dan hak waris yang
menyangkut diri anak
Rumusan masalah pada skripsi ini adalah : 1. Bagaimana status anak
yang lahir di luar perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH
Perdata?. 2. bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang lahir di luar
perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata?
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research).
Untuk memperoleh data-data yang dipaparkan dalam penelitan ini, penulis
menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini
adalah UU No. 1 Tahun 1974, dan KUH Perdata. Sedangkan data sekunder
diperoleh dari buku-buku atau literatur-literatur yang lain yang ada
relevansinya dengan permasalahan ini. Setelah data-data tersebut terkumpul
lalu disusun, dijelaskan kemudian dianalisis dengan menggunakan metode
deskriptif analisis dan komparatif yaitu membandingkan antara UU No. 1
Tahun 1974 dan KUH Perdata. Sehingga pada akhirnya mendapatkan hasil
yang diharapkan, untuk kemudian diambil suatu kesimpulan sebagai hasil
akhir dari penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status anak luar kawin menurut
UU No. 1 Tahun 1974 adalah anak tidak sah, perlindungannya hanya
mengikuti nasab ibunya. Sedangkan menurut KUH Perdata status anak luar
kawin merupakan anak tidak sah tetapi diakui, sehingga perlindungannya
dapat bernasab pada keluarga ibunya dan ayah yang mengakuinya.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaannirrahiim
Segala puji bagi Allah atas segala limpahan rahmatnya. Sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul PELINDUNGAN HUKUM
TERHADAP ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UU
No. 1 TAHUN 1974 DAN KUH PERDATA (Studi Perbandingan) dengan baik.
Semoga hasil penelitian skripsi ini dapat bermanfaat, shalawat serta salam semoga
Allah melimpahkannya kepada Nabi Muhammad SAW pembimbing umat kepada
jalan kebenaran.
Dalam penelitian skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan
bimbingan, saran-saran serta motivasi dari berbagai pihak. Suatu keharusan bagi
pribadi penulis untuk menyampaikan terimakasih kepada:
1. Bapak. Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA selaku Rektor IAIN Walisongo
Semarang.
2. Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang (Bapak. Drs. H.
Muhyiddin. M.Ag), semua dosen dan staf karyawan di lingkungan Fakultas
Syari'ah IAIN Walisongo Semarang.
3. Bapak. Arief Budiman, M.Ag, dan Ibu. Anthin Lathifah M.Ag selaku ketua
dan Sekretaris Jurusan Ahwal Al Syakhsiyah (AS) IAIN Walisongo
Semarang.
4. Bapak Drs. H. Eman Sulaiman, M.H dan Bapak Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum
yang selalu membimbing dan mengarahkan penulis, sampai terselesaikannya
penyusunan skripsi ini dengan penuh bijaksana dan kesabaran.
5. Kepada dewan penguji yang telah memberikan masukan demi kesempurnaan
skripsi ini.
6. Bapak Rustam D.K.H.RP. M.Ag selaku dosen wali studi sekaligus bapak
yang tulus hati membimbing dan mengarahkan penulis sampai perkuliahan
ini selesai.
7. Penghormatan dan penghargaan tiada tara, tak lupa penulis berikan kepada
ayah dan ibundaku tercinta yang selalu memberikan dukungan moril maupun
materiil, serta do'a yang tulus mulia.
8. Kelurga Besar Bapak Abdul Kholiq S.H, S.P.N, MH yang selalu sabar
menggantikan orang tua selama penulis menyelesaikan perkuliahan.
9. Para Ustadz serta Masyayikh di Morodemak (KH. Zabidi Ali (Alm), KH.
Noor Shohib Al hafidz (Alm), K. Kholil Mansyur (Alm), K. Abu Naim
(Alm), K. Syaroni, K. Sholhan Sofwan, K. Nachrowi, K. Munajat Al hafidz,
Ust. Abdul Jamal, Ust. Abdurrozaq, Ust. Mujahidin Arief. dll,) yang selalu
membimbing penulis dalam hal agama ketika di morodemak.
10. Para Ustadz dan Kyaiku di Semarang (KH. Drs. Muhammad Qodirun Noor,
KH. Muhammadun Zain, Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf, Habib
Umar Al Muthohar, Habib Hasan Al jufri, Habib Ghozi bin Ahmad bin
Syihab, Habib Ahmad Al Jufri, Habib Farid Al Munawwar, Habib Fauzi Al
Munawwar, Habib Muh. Firdaus Al Munawwar, K. Subkhi, K. Amin Farih
M.Ag, Ust. Ulin Nuha (Alm), dll.) Yang selalu membimbing penulis dengan
penuh semangat sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.
11. Keluarga Besar PAGARMODIS (Om Imron, Om Yadi, Om Muhammad, Pak
Khoirul, Pak Jawwad, Rustamaji, Adib Munif, Pak Sholehan, Pak Rozaq, Pak
Wik, dll..)
12. Keluarga Besar Masjid Al-Azhar Perumahan Bukit Permata Puri Ngaliyan
Semarang. Dan seluruh Majlis Taklim di lingkungan BPP (Al-Muqorrobin,
Al-Kautsar, Al-Firdaus, Al-Ikhlas, Al-Hikmah, Al-Azhar, Pelita Qolbu, dll.)
13. Keluarga Besar Jamiyyah Maulid Ahbabul Musthofa Morodemak (Kang
Ali, Kang Manaf, Ulin, Dayat, Sotong, Syukron, Shofi, Sokeh, Jiran, Mbeng.
dll,,
14. Teman-temanku APM Masjid Al-Azhar yang selalu menjadi sahabat setia
dalam suka maupun duka (Kang Maryono Sekeluarga, Sholihin, Sulaiman,
Husain, Miftah, dan Seluruh Remaja Kharisma Masjid Al-Azhar)
15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah
membantu penulis dalam menyusun skripsi.
Semoga amal dan kebaikan yang telah diberikan mendapatkan
balasan yang lebih dari Allah SWT. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat sekaligus menambah
wawasan dan pengetahuan kita, terutama dalam Pengembangan Hukum
Islam.
Semarang, Mei 2010
Penulis
Ahmad
Adi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... vi
HALAMAN ABSTRAK ............................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Permasalahan .......................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan Skripsi ......................................................... 5
D. Telaah Pustaka ........................................................................ 6
E. Metode Penelitian ................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan .............................................................. 10
BAB II : TINJAUAN UMUM ANAK LUAR PERKAWINAN DALAM
HUKUM ISLAM
A. Pengertian Anak Luar Perkawinan........................................... 11
B. Faktor Penyebab Anak Luar Kawin ......................................... 17
C. Status Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam ..................... 20
BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG
LAHIR DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UNDANG-
UNDANG NO. 1 TH 1974 DAN KUH PERDATA
A. Status Anak di Luar Perkawinan menurut UU No.1 Tahun
1974 dan KUH Perdata ........................................................... 22
1. Hak Nasab......................................................................... 22
2. Hak Perwalian ................................................................... 23
3. Hak Kewarisan ...................................................................... 24
B. Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Lahir di Luar
Perkawinan menurut UU No. I tahun 1974 dan KUH Perdata .. 27
1. Tujuan Perlindungan Hukum Anak ..................................... 33
2. Ruang Lingkup Perlindungan Hukum Anak........................ 36
BAB IV : ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN
MENURUT UU No. 1 TAHUN 1974 DAN KUH PERDATA
A. Analisis Status Anak Yang Lahir di Luar Perkawinan Menurut
UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata Dipandang Dari
Hukum Islam.............................................................................. 44
B. Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Lahir Di
Luar Perkawinan Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH
Perdata........................................................................................ 50
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 56
B. Penutup ...................................................................................... 59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah sebuah peristiwa penting dalam kehidupan manusia
dan peristiwa itu tidak saja dirasakan oleh pihak yang bersangkutan, tetapi juga
oleh masyarakat. Dengan adanya ikatan perkawinan berarti adanya hubungan
hukum antara kedua belah pihak yang nanti akan timbul hak dan kewajiban,
sehingga perkawinan bukan sekedar ikatan batin antara seorang pria dengan
seorang wanita yang saling mencintai melainkan juga hubungan yang nyata,
sehingga bisa diketahui oleh orang lain.
Memperoleh keturunan yang sah adalah merupakan tujuan yang pokok
dari perkawinan itu sendiri. Memperoleh anak dalam perkawinan bagi
kehidupan manusia mengandung dua segi kepentingan, yaitu kepentingan
untuk diri pribadi dan kepentingan yang bersifat umum (universal).1
Keinginan manusia untuk memperoleh anak bisa dipahami, karena
anak-anak itulah nanti yang diharapkan dapat membantu bapak dan ibunya
pada hari tuanya kelak. Hanya dengan sebuah perkawinan yang sah
penyambung keturunan dengan cara yang sah dan teratur dapat terlaksana.2
1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta :
Liberti, 1999, hal 13 2 Ibid, hal 14
2
Hukum Islam menentukan bahwa pada dasarnya keturunan (anak)
adalah sah apabila pada permulaan terjadi kehamilan terjalin dalam hubungan
perkawinan yang sah.3
Di kalangan masyarakat Indonesia sendiri masih banyak terjadi
kehamilan di luar perkawinan, Misalnya, di Yogyakarta tepatnya daerah Kulon
Progo, penelitian Depag menyatakan bahwa wanita yang hamil di luar nikah
mencapai 18,2 %, kemudian di Jawa Barat 6,9%, Bali 5,1% dan data laporan
statistik BKKBN sampai tahun 2007/2008 mencapai 37 %.4 Hal itu semua
terjadi karena pergaulan yang terlalu bebas antara seorang wanita dengan
seorang pria, dari pergaulan bebas itu akhirnya terjadi kehamilan yang terlebih
dahulu tanpa didahului dengan perkawinan yang sah. Akibat dari sebuah
kehamilan di luar perkawinan itu akan berdampak buruk terhadap anak yang
dilahirkannya itu.
Lahirnya seorang anak di luar perkawinan akan menimbulkan banyak
problematika bagi anak tersebut dikemudian hari. Kelahiran seorang anak tidak
hanya dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan tetapi juga masyarakat dan
negara, dimana suatu kelahiran harus dilaporkan yang nantinya akan dibuat
suatu akte kelahiran untuk membuktikan bahwa anak tersebut lahir sebagai
anak yang sah, dan dalam pembuatan akte tersebut harus disertakan surat nikah
kedua orang tuanya. Sehingga jika kedua orang tuanya itu tidak mempunyai
surat nikah, karena perkawinan mereka tidak tercatat dalam kantor urusan
3 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UUI, 2000, hal 106
4 http : // Pustaka Mawar, word press.com. 2007/12/19. Hamil di Luar Kawin
3
Agama. Maka anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat tersebut
merupakan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
Lahirnya anak mengakibatkan hubungan hukum antara anak dengan
orang tuanya dan keluarga orang tuanya, bahkan kepada masyarakat dan
negara. Semakin dewasa anak akan terasa hubungan tersebut. Lebih dari itu
akan timbul juga masalah seperti tentang status anak, wali nikah dan hak waris
yang menyangkut diri anak.
Indonesia sebagai negara hukum juga mengatur masalah perkawinan
dan kedudukan anak yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, yang dalam pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan wanita. Hal ini menunjukkan bahwa
perkawinan di samping harus didasari oleh rasa cinta juga harus didasari bukti
yang nyata.5 Sedangkan kedudukan seorang anak diatur dalam pasal 43 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa anak yang lahir
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keluarga dengan ibunya dan
keluarga ibunya.6
Lebih lanjut lagi dalam pasal 44 ayat (1) UU No. 1 tentang perkawinan,
disebutkan bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang di
lahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah
berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut.7 Hal ini tentu saja
5 Moch. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hal 43 6 Soemiyati, Op.Cit., hal 150 7 Ibid. hal 150
4
akan menyulitkan posisi anak sebagai anak yang sah atau tidak sah dalam
keluarga itu, walaupun asal usul seorang anak itu dapat dimintakan di
pengadilan setelah melalui pemeriksaan yang teliti dan berdasarkan bukti-bukti
yang sah.8Sedangkan tanpa adanya bukti yang nyata tentang perkawinan orang
tuanya, maka secara otomatis tidak mendapat haknya sebagai anak yang lahir
dalam suatu perkawinan yang sah. Anak tersebut hanya akan bernasab pada
ibunya.
Menurut hukum perdata, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan
dinamakan Natuurlijk Kind (anak alam). Dalam pasal 272 KUH Perdata di
sebutkan bahwa kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zina, atau dalam
sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan di luar perkawinan, dengan
kemudian kawinnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, apabila kedua orang
tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan
undang-undang, atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan
sendiri.9
Untuk itu penulis merasa perlu mengkaji persoalan ini sebagai sebuah
pembahasan yang menarik. Dalam pembahasan ini penulis lebih menekankan
pada aspek perlindungan hukum terhadap hak-hak anak yang tidak tercapai
karena adanya kesalahan yang diakibatkan dari kelahiran di luar perkawinan
yang dilakukan oleh orang tua anak tersebut.
8 Abdurrahman , Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo,
1992, hal 138
9 Sudharyo Soimin, Hukum Orang Dan Keluarga : Perspektif Hukum Perdata Barat/Bw,
Hukum Islam, Dan Hukum Adat, Jakarta : Sinar Grafika, 2002, hal. 40.
5
Sebuah perkawinan mempunyai akibat hukum. Karena adanya akibat
hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu.
Sebuah perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah, maka anak yang
lahir di luar perkawinan itu juga akan merupakan anak yang tidak sah.10
Dengan latar belakang masalah di atas mendorong penulis untuk
menyusun skripsi dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1
TAHUN 1974 DAN KUH PERDATA
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana status atau kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan
menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata?
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi anak yang lahir di luar perkawinan
menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata?
C. Tujuan Penulisan Skripsi
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
10 Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, Azas-Azas Hokum Perkawinan di Indonesia, Jakarta :
PT. Bina Akasara, 1987, hal 5-6
6
1. Untuk mengetahui status anak yang lahir di luar perkawinan menurut UU
No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi anak yang lahir di luar
perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata.
D. Telaah Pustaka
Dari hasil pengamatan penulis bahwa literatur yang membahas anak
luar kawin, ada 1 yang berbentuk buku dan 2 yang berbentuk skripsi (karya
tulis ilmiah). Dalam bentuk buku, ada karya J. Satrio, S.H. yang berjudul
Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang. Dalam
bukunya, J. Satrio, S.H. mengemukakan bahwa status anak sah dan anak luar
kawin diterangkan didalamnya baik di lihat dari segi KUH Perdata maupun
UU No. 1 Tahun 1974. Pembahasan mengenai anak luar kawin secara umum
adalah tidak sah dan tidak berhak mendapatkan apa-apa dari orang tua yang
melahirkannya kecuali dari nasab ibunya.
Secara tegas dinyatakan dalam bukunya bahwa anak luar kawin adalah
tidak sah baik menurut UU No. 1 Tahun 1974 maupun KUH Perdata. Dan
anak luar kawin hanya bernasab pada ibu yang telah melahirkannya.
Adapun dalam berbagai karya tulis ilmiah atau skripsi, dari hasil
penjelajahan penulis ada skripsi yang berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap
Anak Luar Kawin dan Hak Warisnya Menurut KUH Perdata karya Dian
Wulandari, Fakultas Hukum Unissula, 2004. Di dalamnya dijelaskan bahwa
anak luar kawin menurut KUH Perdata adalah anak yang diakui dengan sah
7
adalah sebagai ahli waris yang sah. Dan berhak mewarisi dari harta yang
ditinggalkan oleh bapak atau ibunya yang mengakuinya tersebut. Namun di
sini hanya terpaku pada KUH Perdata saja dan di dalamnya juga tidak
menyinggung tentang perlindungan hukumnya.
Di samping itu ada juga judul skripsi Kedudukan Anak Luar Kawin
Dalam Pewarisan Menurut Hukum Perdata karya, M. Shobirin, Fakultas
Hukum Untag, 2002 Di dalam skripsi ini intinya sama dengan skripsi karya
Dian Wulandari. Yaitu anak luar kawin dalam hukum perdata adalah anak
yang tidak sah tetapi diakui, dan nantinya berhak mendapat warisan dari bapak
atau ibunya yang mengakuinya tersebut.
Akan tetapi, mereka tidak mengkaji tentang bagaimana perlindungan
hukumnya terhadap anak luar kawin.
Oleh karena itu, penulis akan meneliti dari wilayah perlindungan
hukumnya dan mengomparasikan antara UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH
Perdata.
E. Metode Penelitian
Metodologi adalah cara-cara tertentu yang secara sistematis diperlukan
dalam setiap bahasan ilmiah. Untuk itu agar pembahasan ini menjadi terarah,
sistematis dan obyektif maka digunakan metode ilmiah11
Di dalam membahas
11 Metode ilmiah biasa dikatakan sebagai suatu pengejaran terhadap kebenaran yang
diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh
interaksi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilmiah berkehendak untuk mencari
jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Baca
Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta : Galia Indonesia, Cet. III, 1988, hlm.42.
8
permasalahan dari skripsi ini, penyusun menggunakan metode penelitian
sebagai berikut :
1. Metode penelitian
a. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library
research) atau studi teks yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk
mengetahui secara konseptual dan mendalam tentang suatu
permasalahan yang ada dalam masyarakat. Maka dalam pengumpulan
data penulis menggunakan metode dokumentasi, yaitu mengumpulkan,
menelusuri buku-buku atau tulisan yang relevan dengan tema yang
sedang dikaji.
b. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku-buku atau literatur-
literatur lain yang ada relevansinya dengan permasalahan ini.
Berdasarkan sifat permasalahan yang akan diteliti yaitu tentang
perlindungan hukum terhadap anak yang lahir di luar perkawinan yang
dikhususkan pada kajian undang-undang. Maka metode yang
9
dipergunakan dalam penelitian ini adalah komparatif yaitu metode
berdasarkan perbandingan.
c. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data skripsi ini memakai metode
dokumentasi, yaitu penulis mengumpulkan data-data dokumentasi
yang bersumber dari buku, makalah, artikel yang berhubungan dengan
tema penulisan skripsi ini.
d. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang diperlukan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif,12
dan komparatif13
dengan analisis
kualitatif,14
sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
normatif yaitu pendekatan yang berdasarkan pada teks-teks baik
berupa buku maupun kitab suci untuk memberikan norma pada
masalah-masalah yang dihadapi dan dilihat apakah masalah itu benar
atau salah menurut norma yang ada.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi pokok bahasan menjadi
lima bab. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas setiap permasalahan
yang dikemukakan. Adapun rincian dari kelima bab tersebut sebagai berikut :
12 Metode deskriptif menurut Whitney, sebagaimana dikutip Moh. Nazir adalah pencarian
fakta dengan interpretasi yang tepat. Lihat. Moh. Nazir. Op. cit. hlm. 63 13 Metode komparatif yaitu metode berdasarkan perbandingan 14 Analisis kualitatif pada dasarnya menggunakan metode logis, analisis dengan induksi,
deduksi, analogi, komparasi dan sejenisnya, lihat, Tatang. M. Amirin, menyusun rencana
penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1955. hlm. 91
10
Bab Pertama, pendahuluan yang memperjelas latar belakang masalah
itu muncul, pokok permasalahan yang diangkat dan juga kajian yang lebih
mendalam, tujuan penelitian, telah pustaka, metode penelitian yang
dipergunakan dan sistematika penulisan skripsi.
Bab Kedua, landasan teoritis yang menggambarkan tentang tinjauan
umum tentang anak luar perkawinan yang diperinci menjadi beberapa sub bab,
yaitu pengertian anak luar perkawinan, faktor penyebab anak luar perkawinan,
status anak luar perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata.
Bab Ketiga, mengungkapkan hasil penelitian dan pembahasan tentang
status anak yang lahir di luar perkawinan dan perlindungan hukum terhadap
anak yang lahir di luar perkawinan, UU No. 1 tahun 1974 dan KUH Perdata.
Bab Keempat, menjelaskan analisis perlindungan hukum terhadap anak
yang lahir di luar perkawinan. Analisis terbagi menjadi dua sub bab, yaitu
analisis status anak yang lahir di luar perkawinan menurut UU No. 1 Tahun
1974 dan KUH Perdata dan juga analisis perlindungan hukum terhadap anak
yang lahir di luar perkawinan.
Bab Kelima, penutup yang berisi kesimpulan tentang hasil
perlindungan terhadap anak yang lahir di luar perkawinan dan saran-saran
serta penutup..
1
BAB II
TINJAUAN UMUM
ANAK LUAR PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM
Pengertian Anak Luar Perkawinan
Anak telah menjadi perhatian hukum Islam sejak ia belum dilahirkan,
bahkan sejak ia belum terbentuk. Ini dapat dilihat pada prinsip-prinsip agama
tentang perkawinan dan pentingnya memelihara keturunan. Memelihara
kebersihan keturunan merupakan salah satu dari lima prinsip (Al-Qwaid Al-
Khamsah) yang dirumuskan oleh ilimu ushul fiqh dalam tujuan syari'at atau
hukum Islam, yaitu terpelihranya agama (Hifdzu Al-Din), terpeliharanya jiwa
(Hifdzu Al-Nafs), terpeliharanya keturunan (Hifdzu Al-Nasl), terpeliharanya
akal (Hifdzu Al-Aql), dan terpeliharanya harta (Hifdzu Al-Mal).15
Secara garis besar di dalam hukum Islam, anak digolongkan menjadi
dua macam, yaitu anak Syar'iyah dan anak Ghairu Syar'iyah. Seorang ulama'
mesir bernama Sayyid Abdullah Ali Husaini, mndefinisikan anak syar'i
sebagai berikut :
"Anak yang dikandung pada masa ikatan perkawinan yang sah atau anak
yang dikandung dari perkawinan yang terdapat kesalahan didalamnya atau
yang dikandung dari orang yang akad nikahnya rusak"16
Adapun anak ghairu syar'i dijelaskan sebagai berikut :
"Anak yang tidak disandarkan kepada ranjang (perkawinan yang sah) dan
tidak diketahui ayahnya. Anak ghairu syar'i adakalanya lahir karena ada
15 Sayyid Abdullah Ali Husaini, Al Muwafaqat Fi Ushul Al Ahkam, Mesir : Darul Kitab, 1990. hal
22 16 Sayyid Abdullah Ali Husaini, Al Muqarranatut Tasyri'iyah, Mesir : Darul Kitab, tth. hal 133
2
kesalahan dalam hal wath'i (persetubuhan) atau dari perkawinan yang tidak
terpenuhi syarat-syaratnya".17
Secara etimologis, pengertian anak luar kawin berasal dari dua kata,
yaitu anak dan luar kawin.
Anak yang dalam bahasa arabnya berarti walad adalah turunan kedua
manusia, manusia yang masih kecil.18
Adapun kata luar kawin, dalam pengertian umum di Indonesia adalah
hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana layaknya suami istri
tanpa dilandasi oleh perkawinan yang sah seperti dimaksudkan dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.19
Sedangkan secara
terminologi menurut pengertian yang lazim di Indonesia bahwa anak luar
kawin yaitu anak yang dilahirkan oleh seorang wanita di luar perkawinan yang
dianggap sah menurut adat atau hukum yang berlaku. 20
Dalam hukum Islam untuk anak luar kawin ini disebut juga dengan
anak zina, seperti diungkapkan oleh Sayyid Abdullah Ali Husaini bahwa :
"Anak zina adalah anak yang kelahirannya tidak bersandarkan kepada akad
nikah (perkawinan) yang sah". 21
Dari pengertian anak luar kawin di atas, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud anak luar kawin adalah anak yang kelahirannya tidak
bersandarkan kepada akad perkawinan yang sah.
Perkawinan yang memenuhi unsur agama dan sesuai dengan Undang-
undang yang berlaku dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah. Karena
17 ibid. hal 134 18 Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993, hal. 141 5 Gatot Supranoto, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, t.tp. : Djambatan, t.th., hal 36 6 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Jakarta : Balai Pustaka, 1994, hal. 72 21 Sayyid Abdullah Ali Husaini, Op.Cit., hal 135
3
dari sebuah perkawinan yang terjadi akan lahirlah anak sebagai generasi
penerus dan keturunan yang sah bagi kedua orang tuanya. Mengenai
pengertian perkawinan ini banyak pendapat ahli hukum yang berbeda satu
sama lain, tetapi perbedaan pendapat itu sebetulnya bukan untuk
memperlihatkan pertentangan antara satu dengan yang lain. Perbedaan
pendapat itu hanya terdapat pada keinginan para fuqaha' untuk memasukkan
unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian
perkawinan di satu pihak dan pembatasan banyaknya unsur dipihak lain.
Mereka membatasi banyaknya unsur yang masuk dalam rumusan perkawinan
dan akan menjelaskan unsur yang lain dalam tujuan perkawinan.
a. Pengertian Perkawinan yang sah
Dengan banyaknya pengertian perkawinan yang ditulis oleh para
fuqaha', disini penyusun akan menulis salah satu diantara beberapa
pengertian tersebut secara bahasa maupun istilah menurut Muhammad Asy
Syarbaini Al Hatib.
1) Menurut arti bahasa, Perkawinan adalah :
"Berkumpul atau bercampur, sebagai contoh pohon-pohon itu
telah berkumpul apabila saling condong dan saling bercampur satu
dengan yang lain".22
2) Menurut istilah, Perkawinan adalah
22 Syeh Khotib As Syirbaini, Mughni Al Muhtaj, Lebanon: Darul Fikri, Bairut.
4
"Suatu akad yang menjamin bolehnya bersebadan atau
bercampur dengan menggunakan lafadz nikah atau tazwij atau
terjemahannya".23
b. Syarat dan Rukun Perkawinan
Syarat-syarat Perkawinan antara lain.
1) Tidak ada unsur paksaan, berarti calon suami dan calon istri menikah
atas kesepakatan bersama.
2) Pihak-pihaknya sudah baligh.
3) Tidak ada rintangan yang menghalangi.
Sedangkan rukun nikah itu ada lima, yaitu : sighat (ijab qabul),
calon istri, calon suami, dua orang saksi dan wali.24
1) Syarat calon suami
a) Beragama Islam
b) Laki-laki.
c) Jelas orangnya.
d) Dapat memberikan persetujuan.
e) Tidak terdapat halangan perkawinan.
2) Syarat calon istri
a) Beragama, meskipun yahudi atau nasrani.
b) perempuan
c) jelas orangnya.
d) Dapat dimintai persetujuannya.
23 Ibid. 24 Ahmad rofiq, hokum islam di Indonesia, (Jakarta : rajawali pers, 1998), h. 71.
5
e) Tidak terdapat halangan perkawinan.
3) Syarat wali
a) Laki-laki
b) dewasa
c) mempunyai hak perwalian
d) tidak terdapat halangan perwaliannya.
4) Saksi nikah
a) minimal dua orang saksi
b) hadir dalam ijab qabul
c) dapat mengerti maksud akad
d) islam
e) dewasa
5) ijab qabul, syarat-syaratnya.
a) adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b) adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
c) memakai kata-kata tazwij atau nikah atau terjemahan dari
kedua kata terseut.
d) Antara ijab dan qabul bersambungan.
e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
f) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram
haji atau umroh.
c. Tujuan dan Manfaat Perkawinan
6
Tujuan Perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan
hajat manusia berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan sayang
untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan
mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syara'.25
Dari rumusan di atas seorang filosof Islam, Imam al-Ghazali
membagi tujuan dan manfaat perkawinan.
Tujuan perkawinan :26
1) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan
serta perkembangan suku bangsa manusia.
2) Memenuhi tuntutan naluri manusia.
3) Menjaga manusia dari kerusakan.
Sedangkan Manfaat dari Perkawinan adalah :
1) Membentuk rumah tangga berdasarkan kasih sayang.
2) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki.
d. Pelaksanaan Perkawinan dalam Islam
Dalam Islam, akad perkawinan merupakan akad Madani (bersifat
kenegaraan atau keduniaan), artinya jika dilihat dari bentuk akadnya. Akad
perkawinan itu sifatnya duniawi, yaitu merupakan hubungan muamalah
manusia dalam hidupnya di dunia. Oleh karena itu Islam menganjurkan
agar perkawinan itu diadakan pemberitahuan, boleh dengan apa saja
25 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, cet IV. Yogyakarta:
Liberty, 1999. hal 12. 26 Imam Al Ghozali, Ihya' 'Ulumuddin, Darul Fikri, Bairut, Libanon, Jilid 3, 1988.
7
seperti menabuh gendang dan juga dengan mengundang kerabat. Anjuran
mengenai hal ini tersebut dalam sebuah hadits yang berbunyi :
56 7 8 -1 9, : :(; 8 - *( = ?@ A-B06 :(; = CD1 :( EFG) 0 H((
Artinya : "Dari Anas r.a berkata, "Tidakkah Rasulullah saw
menyelenggarakan walimah atas sesuatu dari istrinya seperti
beliau menyelenggarakan walimah atas diri Zaenab, beliau
menyelenggarakan walimah dengan (menyembelih) seekor
kambing" (HR. Muslim) 27
Juga dalam hadits yang lain :
G !I 7 8 I1 J 9* 8 => 8 - *( 9,: K 7 )L; M I## NO# )0 H((
Artinya : "Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw telah bersabda Jika
salah seorang diantaramu diundang untuk mendatangi walimah,
hendaklah ia datangi".(HR. Muslim) 28
Maka dapat diambil pengertian. bahwa walimatul 'ursy itu sunnah
hukumnya dan mendatanginya wajib hukumnya.
Dengan demikian jelaslah bahwa akad perkawinan merupakan tali
hubungan kekeluargaan yang seyogyanya menjadi perhatian seperlunya
oleh agama. Untuk itu menjaga kesucian perkawinan itu, maka wajarlah
jika disyari'atkan adanya pemberitahuan ketika berlangsungnya
pernikahan. Selain itu akan berakibat pula terhadap anak yang
dilahirkannya, karena anak tersebut akan mendapatkan status
27 Imam Muslim, Shohih Muslim Juz II, Darul Kutubul Ilmiah, Bairut, Libanon, 1984, hal. 1049 28 Ibid, hal. 1052
8
keabsahannya sebagai seorang anak apabila kedua orang tuanya nyata-
nyata telah terjadi sebuah perkawinan.
II. Faktor Penyebab Anak Luar Kawin
Allah menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan serta
dijadikan-Nya manusia dari berbagai suku dan golongan. Hal itu menunjukkan
bahwa manusia itu terbentuk menjadi bermacam-macam golongan yang
berarti bermacam-macam pula buah pikiran dan masalah yang dihadapinya.
Perkawinan adalah merupakan suatu kebutuhan bagi manusia baik
perkawinan dalam arti hakiki maupun majazi, karena itulah hajat
kehidupannya, baik secara biologis maupun karena ingin niendapatkan
keturunan. Adakalanya perkawinan yang sah (yang diharapkan oleh negara
dan agama) terkadang disepelekan oleh manusia itu sendiri. Yang dari
perkawinan itu tentu akan lahir seorang anak yang akan mempunyai akibat
hukum bagi kedua orangtuanya dan terhadap masyarakat.
Pembedaan anak dalam dua kelompok -anak sah dan anak tidak sah-
membawa konsekuensi yang besar di dalam hukum. Nanti akan terlihat
adanya pembedaan dalam hak-hak (dan juga kewajiban) yang berlaku bagi
mereka. Kesemuanya itu didasarkan atas pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip
perkawinan monogami yang dianut dalam KUH Perdata dan tujuan untuk
melindungi lembaga perkawinan sebagai lembaga yang suci, dengan harapan
bahwa memberikan sanksi pembedaan kedudukan hukum anak luar kawin
9
dengan anak sah yang sangat mencolok, akan mengurangi munculnya anak
luar kawin.29
Dalam perkembangannya kemudin terpikir, apakah dengan itu bisa
tercapai maksud undang-undang untuk menghindarkan hubungan antara laki-
laki dan perempuan di luar (lembaga) perkawinan. Bukankah cara yang
terbaik adalah mencegah terjadinya kelahiran anak-anak yang tidak sah.
Apalagi dimasa sekarang, orang dengan mudah dapat membeli alat
kontrasepsi disemua tempat, walaupun harus diakui bahwa untuk penganut
agama tertentu, alat-alat seperti itu tidak dibenarkan.
Adapun sebab-sebab adanya anak luar kawin yang banyak terjadi di
Indonesia, hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain
1. Informasi dan hiburan yang bebas dan terbuka di kalangan masyarakat
luas, terutama kaum remaja yang seharusnya membentengi diri dengan
iman agar terhindar dari pergaulan bebas yang pada akhirnya akan
mengakibatkan hilangnya masa depan remaja tersebut.
2. Walaupun sudah ada Undang-undang Perkawinan, tetapi masih ada
penyelewengan oleh para suami yang selalu mengelak dari peraturan yang
ada dalam undang-undang tersebut. Dan pada umumnya penyelewengan
yang dilakukan bapak-bapak justru dengan para karyawati di kantornya.
Hal ini menunjukkan bukti dari 4.500 kasus yang ditangani Lembaga
Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk wanita dan keluarga, 50 % adalah
29 J Satrio, op. cit.,hal 6.
10
pengaduan tentang pertanggungjawaban untuk para suami demi keabsahan
anak yang dikandung oleh wanita tersebut.30
3. Mencari kepuasan juga merupakan faktor yang mendorong terjadinya
hubungan luar nikah yang akhirnya akan mengakibatkan lahirya anak.
Dalam faktor ini pada umumnya berlatar belakang dari kehidupan
rumahtangga bermasalah, terutama ada hambatan dalam melakukan
hubungan suami istri.31
4. Karena faktor biologis. Laki-laki pada dasarnya adalah berpoligami.32
Seperti dijelaskan di atas, bahwa asas hukum perkawinan di Indonesia
adalah monogami, maka orang yang akan melakukan poligami, baik itu
Pegawai Negeri Sipil atau bukan semuanya dipersulit. Sementara
kebutuhan untuk berpoligami makin mendesak, maka terjadilah poligami
yang mengakibatkan lahirnya anak di luar perkawinan.
5. Hasil penelitian Kelompok Dasakung Yogyakarta, 29 pasangan pelajar,
mahasiswa dan karyawan hidup bersama tanpa nikah dan diantaranya
bahkan telah melahirkan anak dan diasuh dengan baik.33
III. Status Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam
Hukum Islam menentukan bahwa pada dasarnya keturunan (anak)
adalah sah apabila pada permulaan terjadi kehamilan, antara ibu anak dan laki-
30 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan
Zakat menurut Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hal 72. 31 Gatot Supramono,op.cit., hal 75. 32 Humaidi Tata Pangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam , Surabaya : Usaha Nasional, t,th., hal 9. 33 M. Idris Ramulyo, op.cit., hal 74.
11
laki yang menyebabkan terjadinya kehamilan terjalin dalam hubungan
perkawiinan yang sah.34
Selain itu di dalam hukum Islam ada kemungkinan besar seorang yang
lahir dikatakan anak ibu, yaitu apabila anak tadi dilahirkan sebelum masa enam
bulan sejak akad nikah dilangsungkan, sedang si suami tersebut. tidak mau
mengakui bahwa anak yang lahir itu adalah hasil persetubuhannya terhadap
istrinya yang dituduh itu sebelum nikah.35
Secara yuridis formal bahwa anak sah adalah anak yang lahir karena
hubungan suami istri dalam perkawinan yang sah dan nasab tersebut kembali
kepada orang tuanya. Kemudian kedua orang tuanya itu lazimnya yang laki-
laki disebut seorang ayah dan orang tua perempuan disebut dengan seorang
ibu. Demikian menurut syariat Islam bahwa setiap anak yang sah mempunyai
hubungan yang erat dengan ibu dan bapaknya atau disebut double unilateral /
bilateral.36
Dalam sebuah hadits disebutkan :
PQ RK# S)#S = E!T# SHG KUS -6 ( !UV1S -6 ( -60WIS) 0 H(( Artinya : Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fttrah (suci), sesungguhnya
kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau
Majusi. (HR.Muslim) 37
Berdasarkan hadits di atas, maka pada dasarnya Islam memandang
semua anak yang lahir kedunia dalam keadaan suci bersih. Demikian pula anak
34 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UUI Press, 2000, hal, 106. 35 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan menurut Islam, UU perkawinan dan
Hukum Perdata / BW, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, t.th., hal 21. 36 Asyhari Abdul Ghafar, Pandangan Islam tentang Zina dan Perkawinan Sesudah hamil, Jakarta :
Grafindo Utama, 1987, hal 81 37 Imam Ahmad Ibn Hanbal, Terjemah Musnad Ibn Hamhal, Bandung : Grafika, 1992.
12
yang lahir di luar perkawinan adalah sama sucinya dengan anak yang lahir di
dalam atau akibat perkawinan (anak sah).
Sesuai dengan Finnan Allah SWT, QS. Faathir ayat 18 yang berbunyi
+( SX" YEC( C( Z!; J[( S\)" Y]S =#[ IL + QI S S-1 _/7@ #( J =G!, I6[ S$1S" $%# JF' SG D #G S,;( EaV# ( =% X" I6b =% X -01# =#[( -%# ScVI#) !d :ef(
Artinya : Dan orang yang berdosa tidak akan rnemikul dosa orang lain. Dan
seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk
memikul dosanya tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun
meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya
yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut
kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan
mereka mendirikan sembahyang. Dan barang siapa mensucikan
dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya
sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu). (QS. Fatir : 18)38
Adapun mengenai status anak yang lahir di luar perkawinan para
Ulama telah sepakat bahwa anak tersebut tetap mempunyai hubungan
keturunan dengan ibunya (matrilinieal).39
Dalam hal ini jumhur ulama sepakat
bahwa anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang tidak sah tidak
dipertalikan kepada ayahnya.40
Ketentuan yang demikian adalah sejalan
dengan apa yang ditentukan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dalam Pasal 43 ayat (1) dan dalam KHI Pasal 100.
Menurut pendapat Imam Syafi'i jika seorang laki-laki mengawini
seorang wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah pernah, maka bila
dalam waktu kurang dari enam bulan kemudian wanita tersebut melahirkan
38 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur'an, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta
Departemen Agama RI, 1992, hal 698. 39 Asyhari Abdul Ghafar, Op.Cit., hal 81. 40 Imam Ahmad Bin Hambal, Op. Cit
13
anak sesudah enam bulan dari akad perkawinannya, maka anak yang
dilahirkannya itu tidak dapat dipertalikan nasab atau garis keturunannya
kepada laki-laki yang menyebabkan mengandung. Perhitungan enam bulan itu
dimulai dari waktu berkumpul bukan dari akad nikah.41
Pendapat tersebut nampak berbeda dengan pendapat Imam Abu
Hanifah yaitu bahwa wanita yang melahirkan itu tetap dianggap dalam ranjang
suaminya, sehingga anak yang dilahirkan itu dapat dipertalikan nasab kepada
ayahnya sebagai seorang anak yang sah. Beda pendapat ini dikarenakan beda
tinjauan yaitu bagi Abu Hanifah meninjau masalah tersebut dari segi yuridis
formal, bukan dari segi adanya, hubungan seksual antara kedua suami istri
sebagaimanaa yang dijadikan dasar pemikiran Imam Syafi'i tersebut di atas.42
Aturan sebagaimana yang dikenal dalam hukum Islam yang
menetapkan waktu tidak lebih dari enam bulan setelah menikah, sebagai syarat
kelahiran anak agar diakui sebagai anak yang sah.43
Karena menurut hukum
Islam anak luar kawin tidak dapat diakui maupun dipisahkan oleh bapaknya
(bapak alamnya). Anak-anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum
dengan ibunya. Tetapi si anak tetap mempunyai ibu, yaitu seorang perempuan
yang melahirkan anak, dengan pengertian bahwa antara anak dan ibu ada
hubungan hukum dan sama seperti dengan anak sah yang mempunyai bapak.44
Untuk mengetahui secara hukum apakah anak dalam kandungannya
berasal dari suami ibu atau bukan, ditentukan melalui masa kehamilannya,
41 Fatchur rahman, Ilmu Waris, Bandung : PT. Al-.Ma'arif, 1992, hal 221. 42 Ibid., hal 313. 43 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta : Sinar Grafika, 2002, hal 39. 44 Ibid. hal 39-40.
14
masa yang terpendek adalah enam bulan.45
Dan masa yang terpanjang
ghalibnya adalah satu tahun. Ketentuan ini didasarkan pada Firman Allah
SWT dalam QS. Al-Ahqaaf : 15 :
S-IL(, S-V(, J]h i!@) jL+ :ek( Artinya : mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga
puluh Bulan. 46
Dan dalam Qs. Luqman ayat 14, yang berbunyi
S-IL S-l; 1m( = Rm( S-#V( 7 ) JI# :en( Artinya : "....ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah
dan bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua
tahun.47
Ayat pertama menerangkan bahwa masa mengandung sampai
menyapih adalah tiga puluh bulan, sedangkan ayat kedua menerangkan bahwa
menyapihnya setelah bayi disusui secara sempurna membutuhkan waktu dua
tahun atau dua puluh empat bulan. Sehingga tiga puluh bulan dikurangi dua
puluh empat bulan tinggal enam bulan. Itulah masa mengandung yang paling
sedikit.48
O1eh sebab itu apabila bayi lahir kurang dari enam bulan, tidak bisa
dihubungkan kekerabatannya kepada bapaknya kendatipun dalam ikatan
45 Ketentuan tersebut merupakan kesepakatan para ulama yang disebut dengan masa mininal,
dikutip dari Kitab Al Akhwal As- Syakhisiyah. 46 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur'an, op. cit., hal 824. 47 Ibid., hal 654. 48 Zaid al Ibyani, Al Akhwal Al Syakhsiyah, Bairut, Baghdad : An Nahdhah, jilid 2, 1989
15
perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan
keluarga ibunya saja (Pasal 100 KHI).49
Hubungan nasab bagi seorang anak merupakan suatu hak yang harus
terpenuhi sejak ia lahir di dunia ini, yaitu hubungan kekerabatan dengan orang
tuanya. Di dalam hukum Islam hubungan kekerabatan seorang anak ditentukan
dengan adanya hubungan darah dan hubungan darah ditentukan pada saat
adanya kelahiran.50
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa anak yang lahir dalam
perkawinan yang sah baik secara agama maupun menurut undang-undang
secara otomatis mengikuti hubungan kekerabatan dengan kedua orang tuanya
yaitu laki-laki yang dipanggil dengan sebutan ayah dan yang perempuan
dipanggil dengan sebutan ibu. Bahkan hubungan kekerabatan itu tidak hanya
terbatas pada orang tuanya, tetapi juga terhadap keluarga dari ayah dan ibunya.
Dengan adanya hubungan kekerabatan atau nasab anak sah maka anak yang
lahir dari perkawinan yang sah akan berstatus sebagai anak sah, karena nasab
anak tersebut telah nyata diketahui.
Untuk anak luar kawin, adapun kenasabannya sangat erat hubungannya dengan
perbuatan persetubuhan di luar perkawinan, yaitu persetubuhan yang tidak sah.
Dengan demikian anak luar kawin tidak mempunyai hubungan nasab dengan
laki-laki yang menurunkannya karena tidak ada jalan atau cara yang dapat
dibenarkan syara' untuk menghubungkan anak tersebut dengan laki-laki yang
49 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hal 224. 50 Amir Syarifudin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau,
Jakarta : Gunung Agung, 1984, hal 22.
16
menurunkannya. Sebagaimana pendapat jumhur ulama yang mengatakan
bahwa anak luar kawin tidak dapat dipertemukan (nasabnya) dengan ayahnya.
Jadi status anak yang lahir di luar perkawinan menurut hukum Islam
adalah anak yang tidak sah yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya
yaitu laki-laki yang menurunkannya tetapi tetap mempunyai hubungan hukum
dengan ibunya, atau perempuan yang melahirkannya. Dengan demikian anak
yang lahir di luar perkawinan adalah mempunyai status sama dengan yang lahir
akibat perkawinan sah dalam berbagai aspek kehidupan. Kecuali dalam status
kekerabatan, yaitu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya.
Di dalam hukum Islam tidak ada aturan khusus yang mengatur
kekuasaan orang tua dan perwalian terhadap anak. Namun berdasar kaidah-
kaidah yang sudah ada dapat diketahui bahwa yang berhak dan wajib
melaksanakan kekuasaan dan perwalian terhadap anak secara berurut dalam
urutan pertama adalah bapak atau kakek atau buyut yang masih hidup yang
mampu dan tidak ada halangannya. Menurut hukum Islam, syarat untuk
menjadi wali adalah beragama Islam, sudah dewasa, berakal sehat dan dapat
berlaku adil dan terutama ditarik menurut garis lelaki (patrilineal).51
Anak luar kawin bukan merupakan ahli waris keturunan (nasabiyah).
Bagian-bagian ahli waris yang sudah ditentukan jumlahnya (fuudh Al
Muqaddarah) dalam hukum Islam adalah diperuntukkan bagi mereka yang
mempunyai hubungan kekerabatan baik nasabiyah ataupun sababiyah.
51 Human Hadikusumah, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum adat, dan
Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju, 1990, hal 155.
17
Sedangkan anak luar kawin yang diakui dengan sah- tidak termasuk dalam
ahli waris Islam. Sementara itu menurut KUH Perdata, anak luar kawin -yang
diakui dengan sah- termasuk ahli waris.52
52 J. Satrio, Hukum Waris, Bandung : Alumni, 1992, hal, 151.
1
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DI LUAR
PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG
NO. 1 TH 1974 DAN KUH PERDATA
A. Status Anak di Luar Perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 dan
KUH Perdata
1. Hak Nasab
Status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagai
unifikasi dalam bidang hukum perkawinan nasional yang tercantum dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang dinyatakan di dalam Pasal 43 ayat
(1), yang berbunyi :
"Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian kekeluargaan
dengan akibat-akibatnya, terutama hak mawaris, jadi hampir sama dengan
status kekeluargaan dengan anak sah, hanya perbedaannya anak luar kawin
tersebut tidak ada hubungan dengan ayahnya sebagai yang
menurunkannya.
Sedangkan dalam hukum perdata anak yang lahir di luar
perkawinan menurut istilah yang dipakai atau dikenal adalah Natuurlijk
kind (anak alam). Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah dan ibunya.
Menurut sistem yang dianut KUH Perdata, dengan adanya keturunan di
luar perkawinan saja, belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak
dengan orang tuanya. Baru setelah ada pengakuan, terbit suatu pertalian
2
kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya antara anak dengan orang
tua yang mengakuinya. Jadi, anak luar kawin tersebut berstatus sebagai
anak yang diakui atau dikenal dengan istilah natuurlijk kind.53
2. Hak Perwalian
Perwalian berasal dari kata wali yang mempunyai arti orang lain
selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili
anak yang belum dewasa atau belum aqil baligh dalam melakukan
perbuatan hukum.54
Dalam kamus hukum perkataan "wali" dapat diartikan pula sebagai
orang yang mewakili.55
Dalam kedudukan hukum, anak luar kawin yang diakui selalu
berada di bawah perwalian. Karena perwalian hanya ada bila terjadi
perkawinan maka dengan sendirinya anak luar kawin yang diakui berada
di bawah perwalian bapak atau ibunya yang telah mengakuinya.56
Anak luar kawin diakui, jika pengakuan itu dilakukan oleh bapak
maupun ibunya, sehingga orang tua yang mengaku lebih dahulu itu yang
menjadi wali.
Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembahasan
tentang perwalian diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) yang
berbunyi :
54 Soedharyo Soimin, Hukum Orang Dan Keluarga : Perspektif Hukum Perdata
Barat/Bw, Hukum Islam, Dan Hukum Adat, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, hal 55. 55 Ibid 56 Ibid, hal 59.
3
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum: pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Perwalian anak luar kawin yang nasabnya mengikuti ibunya dan
keluarga dari ibunya, apabila anak luar kawin itu adalah seorang
perempuan maka untuk meminta hak wali dalam perkawinannya, haruslah
diawali dengan pengakuan dari seorang laki-laki yang menyebabkan anak
itu lahir sebagai seorang ayah yang tentu saja membutuhkan waktu dan
bukti-bukti yang kuat. Pengakuan itu adalah suatu hal yang lain sifat dari
pengesahan. Dengan adanya pengakuan itu seorang anak tidak akan lagi
menjadi anak tidak sah. Pengakuan yang dilakukan seorang ayah harus
dengan persetujuan si ibu selama si ibu masih hidup. Ini sebagai jaminan
bahwa ayah itu betul ayah yang membenihkan anaknya. Jika ibu telah
meninggal, maka pengakuan oleh si ayah hanya mempunyai akibat
terhadap dirinya sendiri.
3. Hak Kewarisan
Meskipun menurut UU No. 1 Tahun 1974 memperoleh anak
(keturunan) tidak dijadikan tujuan pernikahan, namun tentang anak tetap
dipandang sebagai hal yang cukup penting, satu dan yang lain hal karena
ini mempunyai kaitan erat dengan pewarisan. Anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah bukanlah anak yang sah. Ini membawa konsekuensi
dalam bidang pewarisan. Sebab anak yang lahir di luar kawin itu hanya
dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ibu dan keluarga ibunya.
Namun tidak dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ayah dan
keluarga ayahnya. Dengan kata lain anak yang lahir di luar perkawinan
tersebut hanyalah menjadi ahli waris ibu dan keluarga ibunya, tetapi tidak
menjadi ahli waris ayah dan keluarga ayahnya.57
Dalam KHI Pasal 100 dan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 43 ayat (1) telah disebutkan bahwa anak yang lahir di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya. Dengan begitu status anak luar kawin dalam Islam adalah
anak tidak sah, disebabkan dia dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
Kata warisan yang sudah populer dalam bahasa Indonesia
asalnya dari bahasa arab sebagai fi'il, isimnya menjadi
dijamakkan menjadi Didalam Al Qur'an lafadz waratsa 58. diartikan sebagai mewarisi, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat
An Naml ayat 16 yang berbunyi :
57 Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung : Alumni,
1992, hal 100-101. 58 Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang : CV. Mujahidin, 1981, hat 1.
4
K(S(K JIS* o((.... Artinya : "Dan Nabi Sulaiman telah mewarisi Nabi Daud
59
Secara terminologi (istilah) warisan adalah pindahnya hak milik
orang yang rneninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup
yang ditinggalkan itu berupa harta bergerak maupun tidak bergerak atau
hak-hak hukum syara.60
Datam hal ini para fuqaha lebih banyak menggunakan istilah
faraidl dari pada warisan. Faraid adalah suatu istilah yang
dipergunakan dalam warisan yang didahului dengan adanya suatu
peristiwa meninggalnya seseorang, adanya ahli waris adanya harta warisan
serta pembagiannya.
Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah
dan atau seorang suami atu istri, maka anak luar kawin yang diakuinya
mewarisi 1/3 bagian dari yang sedianya harus mendapat, seandainya
mereka adalah anak yang sah (terdapat dalam Pasal 863 BW Bagian
Ketiga). Keturunan yang sah dan atau suami istri pewaris adalah ahli waris
golongan I. Jadi di sini diatur pewarisan anak luar kawin karena bersama-
sama dengan golongan I.61
Dalam hal demikian anak luar kawin menerima 1/3 bagian dari hak
yang sedianya mereka terima, seandainya mereka anak sah. Jadi cara
menghitung hak bagian anak luar kawin adalah mengandaikan mereka
anak sah terlebih dahulu baru kemudian dihitung haknya sebagai anak luar
kawin.
Anak luar kawin yang diakui dengan sah menurut KUH Perdata
adalah sebagai ahli waris yang sah. Dia berhak mewarisi dari harta yang
ditinggalkan. oleh bapak atau ibu yang mengakuinya tersebut. Begitu juga
sebaliknya, jika anak luar kawin telah diakui dengan sah, maka sebagai
akibat dari pengakuan itulah dia berstatus sebagai anak dari yang
mengakuinya. Mengenai kedudukan dia dalam keluarga, anak luar kawin
tidak berbeda dengan anak kandungnya sendiri, sedangkan mengenai
berapa besar hak waris anak luar kawin itu terhadap pewaris sangat
tergantung bersama siapa anak luar kawin itu mewaris.
Dengan demikian KUH Perdata tidak hanya memandang status
hukum formal semata-mata terhadap anak luar kawin, lain halnya dengan
UU No. 1 Tahun 1974 yang lebih selektif dalam menilai kedudukan anak.
Bukan hanya status formal saja yang menjadi pertimbangan hukum,
namun status nasab (keturunan) juga harus jelas. Dalam hal ini hukum
59 Yayasan Penyelenggara Penterlemah Al Qur'an, Op,.Cit., hal 595. 60 Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, Terj. HAA. Dahlan
dkk, Bandung : Diponegoro, 1988, hat 40. 61 J. Satrio, Op Cit, hal 156.
5
Islam lebih mencakup daripada KUH Perdata yang hanya menilai
perkawinan dan segala akibatnya sebagai perjanjian perdata semata.
B. Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Lahir di Luar Perkawinan
Menurut UU No. I Tahun 1974 dan KUH Perdata
Perlindungan berasal dari kata dasar 'lindung' yang mempunyai arti
menempatkan dirinya di bawah sesuatu supaya tidak terlihat.62
Kata lindung yang mendapat awalan per- dan akhiran -an menjadi
suatu bentuk kata kerja, sehingga menjadi suatu perbuatan melindungi,
memberi pertolongan atau penjagaan, menutup supaya tidak tampak.63
Dari dua pengertian di atas jika disatukan, maka didapatlah suatu
kesimpulan bahwa perlindungan adalah suatu perbuatan untuk melindungi
yang bisa juga berarti tempat berlindung orang-orang yang lemah baik
mengenai dirinya maupun hartanya dan perlindungan tersebut antara lain
diberikan kepada anak-anak.
Sedangkan istilah hukum yang biasa kita pakai sehari-hari adalah
berasal dari bahasa Arab al-hukmu. Sedangkan Prof. Van Apeldorn
berpendapat bahwa, tidak mungkin membuat suatu definisi tentang
hukum,64
yang artinya tidak mungkin memberikan definisi tentang hukum
62 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, cet. III, Jakarta : Balai Pustaka, 1990, hal 526. 63 Ibid. 64 Van Apeldom, Pengantar Ilmu Hukum, Terj. Oetarid Sadino, Jakarta : Pradnya Jararita,
1973, hal 13.
6
karena hukum mempunyai banyak segi dan bentuk, sehingga tidak mungkin
tercakup dalam satu definisi.65
Sehingga jika seorang ahli hukum memberikan suatu definisi tentang
hukum, maka akan berbeda dengan ahli hukum yang lain yang juga
memberikan definisi tentang hukum.
Namun demikian, penulis akan mengambil dua definisi hukum yang
dikemukakan oleh dua ahli hukum, yaitu :
1. Menurut Van Kan.
Hukum adalah serumpun peraturan yang bersifat memaksa yang
diadakan untuk melindungi kepentingan orang dan masyarakat.66
2. Menurut Prof. Djoyodiguno.
Hukum adalah suatu karya dari seluruh rakyat. Sifat karya itu
adalah pengugeran (narmiering) yang berarti pembatasan dari pada
tingkah laku dan perbuatan orang dalam perhubungan pamrihnya.67
Dari kedua definisi di atas dapat dikatakan bahwa hukum
diciptakan untuk melindungi orang dan masyarakat demi terciptanya
ketertiban umum.
Sedangkan arti anak menurut Fuad Moch Fahrudin adalah
keturunan kedua sebagai hasil hubungan antara pria dan wanita. Adapun
ada istilah anak Adam itu mempunyai arti umum bagi seluruh manusia,
karena Adamlah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah.68
65 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, 1980, hal 34 66 J Van Kan, Pengantar llmu Hukum; Cet VIII, Up, PT. Pembangunan dan Ghalia
Indonesia, 1979, hal 13. 67 MM. Djoyodiguno, Reorientasi Hukum Jawa dan Hukum Adat, Yogyakarta Penerbit
Universitas, 1981, hal 14. 68 Fuad Moch Fahruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, Jakarta : Pedoman Jaya,
985, hal 38.
7
Dalam bahasa Arab terdapat dua macam kata yang berarti anak,
yaitu :69
a. Walad : mempunyai arti anak secara umum, baik anak yang dilahirkan
oleh manusia, maupun anak binatang yang dilahirkan oleh induknya
b. Ibnun : mempunyai arti anak.
Penggunaan kedua kata tersebut adalah berbeda. Kalau walad
dipakai untuk istilah anak secara umum, baik anak manusia maupun
anak binatang, sedangkan kata ibnun hanya dipakai untuk anak
manusia, seperti anak kandung, anak angkat dan anak tiri.
Pengertian anak menunjukkan adanya bapak dan ibu, maka
dari itu anak dalam arti bahwa selaku hasil perbuatan persetubuhan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka lahirlah dari
tubuh wanita tersebut seorang manusia yang nantinya akan
mengatakan seorang laki-laki itu adalah bapaknya dan perempuan itu
adalah ibunya. Sedang ia adalah anak dari kedua orang tua itu.70
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa anak
adalah seseorang yang lahir akibat dari persetubuhan antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan. Sehingga pengertian daripada
anak yang lahir di luar kawin adalah seseorang yang lahir dari akibat
persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
tidak terikat dalam suatu perkawinan.
69 Ibid., hal. 40 70 R. Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung : Sumur Bandung,
1974, hal. 72.
8
Untuk itu akan dibahas mengenai macam-macam anak menurut
golongan umumnya. Karena usia anak akan berpengaruh terhadap
bentuk perlindungan yang diberikan.
Adapun anak menurut pembagian umurnya ada dua macam, yaitu
a. Anak yang belum dewasa.
b. Anak yang dewasa.
Dalam Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 tentang
Perkawinan, mengenai anak yang belum dewasa diatur dalam Bab X
Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) yang menerangkan sebagai berikut:71
a. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
b. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
dl dalam dan di luar Pengadilan. Pasal 50 ayat (1) undang-undang
tersebut juga mengatakan bahwa.
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di
bawah kekuasaan orang tua berada di bawah kekuasaan wali.
Dari bunyi pasal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
dengan adanya batas umur anak yang belum dewasa tersebut, maka
jelaslah bagi kita akan mengadakan hubungan hukum, karena
kecakapan telah dinyatakan secara jelas. Sehingga menjamin adanya
kepastian hukum. Artinya bila seorang anak sudah mencapai umur 18
tahun atau sudah pernah kawin tidak lagi berada dalam kekuasaan
orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum baik ke
dalam maupun di luar Pengadilan. Berarti ia telah memiliki kecakapan
atau kemampuan melakukan suatu perbuatan hukum kecuali jika ia
melangsungkan perkawinan.
Hal itu memerlukan ijin orang tua selama anak tersebut belum
mencapai umur 21 tahun, dan ketentuan tentang hal tersebut diatur dalam
71 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinann, cet IV,
Yogyakarta : Liberty, 1999, hal 151.
9
Pasal 6 ayat (2) UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi,
"untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua".
Di atas telah diuraikan mengenai batas umur anak yang belum
dewasa yaitu umur 18 tahun atau yang belum pernah kawin. Sehingga
dengan demikian kalau bicara mengenai anak dewasa atau sudah dewasa
tentunya yang sudah berumur 18 tahun atau sudah pernah kawin.
Sedang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 330
Bab XV, yang berbunyi
"Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap
dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila
perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh
satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan
belum dewasa ".
Yang dimaksud belum dewasa" adalah orang tersebut tidak cakap
bertindak. Hal itu diatur dalam berbagai pasal dalam KUH Perdata,
seperti:
a) Pasal 383, mengatur bahwa wali harus mewakili ia belum dewasa
dalam segala tindak perdata.
b) Pasal 1330 sub 1, menyatakan seseorang yang belum dewasa tidak
cakap untuk membuat perjanjian.
Lepas dari pembahasan di atas, maka anak dikatakan sudah dewasa
apabila sudah berumur 21 tahun atau sudah pernah kawin dan mereka
dinyatakan telah mempunyai kecakapan penuh dalam bertindak.
Di atas telah dijelaskan mengenai penggolongan anak menurut
umurnya baik dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun
menurut KUH Perdata sebagai perbandingan.
Dari pengertian kata-kata perlindungan, hukum dan anak menurut
UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata, dapat penulis simpulkan bahwa
yang dimaksud dengan perlindungan hukum anak adalah suatu
perlindungan yang diberikan kepada anak sejak lahir hingga dewasa dalam
bantuan hukum agar hak-hak. tersebut dapat terpenuhi.
1. Tujuan Perlindungan Hukum Anak
Dalam menciptakan kesejahteraan anak di Indonesia, maka
dalam era pembangunan hukum nasional perlu beberapa aturan hukum
10
yang mengatur anak, mendapat perhatian khusus dan perlu pula
diselesaikan dengan kebutuhan anak-anak sesuai dengan zamannya.
Undang-undang No. 1 tahun 1974 juga memberikan
perlindungan hukum untuk anak luar kawin. Anak luar kawin yang
diakui selalu berada di bawah perwalian, sehingga dengan adanya
perwalian untuk anak luar kawin tersebut maka hak-hak anak tersebut
dapat terlindungi.
Lain daripada itu, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 55
menyatakan bahwa asal usul seorang anak dapat dinyatakan
pembuktian dengan cara
a. Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang outentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang
berwenang.
b. Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul
seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti
berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
c. Atas dasar ketentuan. Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum
Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi
anak yang bersangkutan
Pembuktian seperti yang tersebut di atas sejalan dengan apa
yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 103. Ketentuan
hukum perlunya akta kelahiran sebagai bukti outentik asal usul anak,
meski sesungguhnya telah diupayakan sejak lama, secara metodologis
merupakan inovasi hukum positif terhadap ketentuan hukum dalam
hukum Islam. Jika dalam hukum Islam asal usul anak diketahui dengan
adanya ikatan perkawinan yang sah, dipertegas dengan batasan
11
minimal atau maksimal yang lazim usia janin dalam kandungan, maka
pembuktian kendati ini bersifat administratif asal-usul anak dengan
akte Kelahiran.72
Penentuan perlunya akte kelahiran tersebut, didasarkan atas
prinsip maslahah mursalah yaitu merealisasikan kemaslahatan bagi
anak. Selain anak akan mengetahui secara persis siapa kedua orang
tuanya, juga apabila suatu saat timbul permasalahan, dengan bantuan
akte kelahiran anak tersebut dapat melakukan upaya hukum. Jadi
secara internal, akte kelahiran merupakan identitas dan asal usul anak,
secara eksternal ia merupakan identitas dari diri yang bersangkutan.73
Dalam Undang-Undang No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan,
dimana dalam Bab X tentang Hak dan Kewajiban antara orang tua dan
Anak, yang tertuang dalam Pasal 45 disebutkan :74
a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya.
b. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.
Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua
orang tua putus.
Dari ketentuan Undang-undang tersebut dapat disimpulkan
bahwa memelihara dan mendidik anak menjadi kewajiban bersama
72 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995,
hal. 233 73 Ibid. 74 Ahmad Rafiq, Op.Cit., hal. 112
12
antara ibu dan bapak, berlaku sampai anak telah kawin atau dapat
berdiri sendiri meskipun akhirnya bapak ibu bersangkutan mengalami
perceraian. Undang-undang tidak menegaskan tentang siapa yang
dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak. Dalam hal ini
dapat dikembalikan kepada ketentuan Undang-undang Pasal 31 ayat
(3), yang mengatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri
ibu rumah tangga. Dalam Pasal 34 ayat (1), juga disebutkan bahwa
suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Dengan demikian, Undang-undang menentukan juga bahwa yang
dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak adalah suami
(bapak anak). Dan sini dapat dilihat adanya persesuaian antara
ketentuan Undang-undang dan ketentuan hukum Islam dalam hal
nafkah.75
Sedangkan untuk anak luar kawin seperti yang telah penulis
jelaskan di atas, sejak lahir telah memakai nama keluarga ibunya dan
tentu saja dalam pemeliharaan keluarga ibunya. Untuk itulah hak anak
dalam hal nafkah yang seharusnya menjadi kewajiban bapaknya harus
mendapat perlindungan agar anak luar kawin dapat menikmati hak-
haknya yang terabaikan.
75 Ibid
13
Dalam KUH Perdata Pasal 328 disebutkan bahwa anak-anak
luar kawin yang diakui menurut perundangan wajib memberi nafkah
kepada orang tua mereka, dan kewajiban itu berlaku timbal balik.76
Dalam hal ini cukup jelas untuk diperhatikan bahwa anak luar
kawin berhak memperoleh nafkah dan orang tuanya, hal yang
demikian dilindungi oleh Undang-undang.
2. Ruang Lingkup Perlindungan Hukum Anak
Untuk selanjutnya akan dibahas mengenai ruang lingkup
perlindungan yang diberikan kepada anak secara umum. Ruang
lingkup dalam pembahasan penulis adalah bentuk-bentuk dan
perlindungan yang diberikan kepada anak yang digolongkan menjadi
dua, yaitu :
a) Perlindungan yang bersifat intern, adalah perlindungan yang
diberikan oleh orang tuanya.
Perlindungan yang bersifat intern ini diberikan kepada anak
baik ketika anak belum dewasa maupun sudah dewasa. Anak
merupakan amanat Allah SWT bagi kedua orang tuanya, maka dari
itu telah menjadi kewajiban bagi kedua orang tuanya untuk
melindungi, menjaga, memelihara perkembangan jiwanya baik
jasmani maupun rohani demi kebahagiaan anak di masa
mendatang.
76 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan di Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat dan Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju, 1990, hal l4l .
14
Untuk itulah Islam mewajibkan bagi kedua orang tua untuk
menyelenggarakan serta bertanggung jawab tentang pemeliharaan
anak baik terhadap harta anak maupun diri anak secara pribadi.
Adapun perlindungan terhadap diri anak itu ada yang
bersifat materiil maupun non materiil.
Perlindungan yang bersifat materiil ialah berupa :
- Pemberian nafkah anak
- Penyusuan anak
- Pengasuhan anak
Adapun perlindungan yang bersifat non materiil adalah :
- Curahan kasih sayang
- Penjagaan, perawatan dan lain-lain.
A. Ada lagi bentuk perlindungan yang menjadi hak anak, yaitu:
- Hak nasab
- Hak Perwalian
- Hak Waris
Bentuk perlindungan yang menyangkut harta anak, yaitu
- Membelanjakan harta anak sebelum ia mampu
membelanjakannya.
- Menjaga harta benda si anak agar jangan sampai terbuang sia-
sia.
Perlindungan di atas diberikan kepada anak yang belum dewasa,
kecuali mengenai hak nasab dan hak perwalian khususnya wali dalam
pernikahan itu berlaku meskipun anak telah dewasa.
15
Dalam UU No. 1 tahun 1974 juga diatur tentang perlindungan yang
bersifat intern, yaitu terdapat dalam Pasal 45 ayat (1), yang berbunyi
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
b) Perlindungan yang bersifat ekstern, yaitu perlindungan yang berasal selain
dari orang tua, seperti perlindungan dari masyarakat maupun negara.
Seorang anak yang belum dewasa selain berhak mendapat
perlindungan dari orang tuanya juga perlindungan yang berasal dari
masyarakat maupun negara. Sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 2
UU RI No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yang berbunyi :77
1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarga
maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang
secara wajar.
2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuannya dan kehidupan sosialnya sesuai dengan negara
yang baik dan berguna.
3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangan dengan wajar.
Sedang yang mengusahakan perlindungan anak tersebut adalah
pemerintah dan atau masyarakat, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 11 ayat
(2) UU RI No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak yang berbunyi,
Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh pemerintah dan atau
masyarakat.78
77 Lembaran Negara Republik Indonesia, : tahun 1979 No. 32. 78 Ibid.
16
Adapun perlindungan terhadap anak setelah dewasa dilakukan oleh
masyarakat dan negara termasuk di sini orang-orang atau keluarga orang tua
anak tersebut. Selain itu anak juga berhak mendapat perlindungan seperti
dalam hak waris dari keluarga dan dari orang tuanya mendapat hak nasab.
Sedangkan yang berhubungan dengan negara yaitu kebebasan seorang anak
dalam melakukan perbuatan hukum.
Dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak luar kawin,
dapat dilakukan sebuah pengakuan terhadap anak tersebut yang dilakukan
oleh ayah dan ibunya. Pengakuan anak secara sukarela dalam doktrin
dirumuskan sebagai suatu pernyataan yang mengandung pengakuan, bahwa
yang bersangkutan adalah ayah atau ibu dari anak luar kawin yang diakui
olehnya.79
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa akibat hukum daripada suatu
pengakuan adalah munculnya hubungan hukum yang terbatas yaitu hanya
antara yang mengakui dengan yang diakui saja, tidak dengan keluarga anak
luar kawin yang diakui maupun keluarga pihak yang mengakuinya.80
Pasal 281 KUH Perdata memberikan pengaturan mengenai bagaimana
pengakuan secara sukarela itu diberikan dengan mengatakan :
"pengakuan terhadap seorang anak luar kawin, apabila yang
demikian itu tidak telah dilakukan dalam akta kelahiran si anak atau
pada waktu perkawinan berlangsung, dapat dilakukan dengan tiap-
tiap akta outentik ".
79 J. Satrio, Hukum Kehiarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang, Bandung
PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal 109. 80 Ibid, hal 110
17
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengakuan tersebut bersifat
deklaratoir, yang artinya bahwa sekali pengakuan itu telah diberikan maka
pengakuan itu tidak bisa ditarik kembali. Dengan itu bukti keturunan sudah
diberikan dan karenanya tidak bisa lagi dihapuskan seenaknya.81
Undang-undang No. l Tahun 1974 yang dikenal dengan sebutan
Undang-undang Perkawinan juga memberikan pengaturan mengenai
hubungan anak luar kawin dengan ibunya. Dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974, disebutkan bahwa :
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anak yang dilahirkan di
luar kawin adalah yang bukan anak sah, dan antara anak tidak sah dengan
ibunya -dan bahkan dengan keluarga ibunya demi hukum ada hubungan
hukum (perdata).82
Tetapi sejauh ini perbedaan antara hubungan anak tidak sah dengan
ibunya dengan hubungan anak tidak sah dengan orang tuanya masih tetap
sama, yaitu ,hubungan antara anak yang lahir di luar perkawinan dengan
ibunya masih terbatas, antara anak itu dengan ibunya, sedang pada anak sah
hubungannya adalah dengan seluruh keluarga orang tuanya. Mengenai
hubungan antara anak yang dilahirkan di luar perkawinan dengan ibunya,
ternyata Undang-Undang perkawinan lebih luas, karena meliputi juga
hubungan dengan keluarga ibunya.
81 Ibid, hal 112. 82 Ibid., hal. 150
18
Kiranya tidak bisa diingkari bahwa prinsip yang diletakkan dalam
Pasal 43 Undang-undang Perkawinan tersebut diatas adalah prinsip yang
logis, patut dan sesuai dengan kenyataan yang kita lihat dalam kehidupan
sehari-hari. Pembedaan yang tajam antara anak sah dan anak tidak sah dengan
konsekuensinya yang sangat kejam bagi anak tidak sah, hanyalah pembedaan
dalam hukum saja, dalam kehidupan nyata pembedaan setajam itu tidak
nampak.83
Menurut KUH Perdata suatu ketentuan yang bersifat melindungi
kepentingan si anak diberikan juga dalam Pasal 281 ayat (4) KUH Perdata
yang menetapkan bahwa kelalaian dari orang yang mengakui, untuk
mencatatkan pengakuannya di Kantor Catatan sipil di mana anak dicatat
kelahirannya, tidak boleh dipersalahkan kepada anak yang bersangkutan. Hal
itu berarti bahwa kelalaian itu tidak mengurangi kedudukan anak yang
bersangkutan sebagai anak luar kawin yang diakui.84
Di dalam praktek
hukum yang berlaku di Indonesia sekarang, dan juga di dalam doktrin, anak
yang dilahirkan di luar perkawinan -yang bukan anak zina maupun anak
sumbang- masih tetap disebut sebagai anak luar kawin dari ibunya.
Dalam kedudukan hukum, anak luar kawin yang diakui selalu berada
di bawah perwalian. Karena perwalian hanya ada bilamana ada perkawinan.
Maka dengan sendirinya anak luar kawin yang diakui berada di bawah
perwalian bapak atau ibunya yang telah mengakuinya.
Pasal 353 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan:
83 J. Satrio, op.cit, hal. 153. 84 Ahmad Rofiq, op.cit.,hal. 233
19
"Seorang anak tak sah bernaung demi hukum di bawah perwalian
bapaknya yang telah dewasa atau ibunya yang telah dewasa pula dan
yang masing-masing telah mengakuinya, kecuali sekiranya si bapak
atau si ibu telah dikecualikan dari perwalian atau telah kehilangan
hak mereka menjadi wali atau, sekiranya perwalian itu sudah
ditugaskan kepada orang lain selama bapak atau ibu belum dewasa
atau, wali ini telah mendapat tugas itu sebelum anak diakui ".
Anak luar kawin diakui, jika pengakuan itu dilakukan oleh bapak
maupun ibunya, sehingga orang tua yang mengakui lebih dahulu itu menjadi
walinya. Sehingga demikian hak-hak anak luar kawin tetap dapat dilindungi,
baik perlindungan itu dari kedua orang tuanya, masyarakat maupun negara
agar masa depan anak luar kawin tidak tertutup dan anak luar kawin dapat
lebih diterima di masyarakat.
48
BAB IV
ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG
LAHIR DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1
TAHUN 1974 DAN KUHP PERDATA (STUDI PERBANDINGAN)
A. Analisis Status Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan Menurut UU No. 1
Tahun 1974 dan KUH Perdata.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa anak yang lahir di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarganya ibunya, tetapi tidak boleh menyebut tentang tidak boleh
menyelidiki siapa bapak si anak? Dan nampaknya Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tidak membenarkan pengakuan terhadap anak di luar perkawinan,
akan tetapi dalam pasal 287 KUH Perdata menyatakan bahwa adanya
pelarangan menyelidiki siapa bapak si anak, Tetapi penyelidikan sekedar
untuk meletakkan tanggung jawab finansial tidak dilarang. Sedangkan
menyelidiki siapa ibu si anak di perbolehkan.85
Menurut Pasal 250 KUH Perdata, yang berbunyi
"Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan,
memperoleh si suami sebagai ayahnya
Anak luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau
penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu
mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukuan
85 Prof. H. Hilman, SH, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum
Adat dan Hukum Agama, Bandung. Mandar Maju, 1990, Hal. 134
49
pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau apabila pengakuan itu terjadi
dalam perkawinannya sendiri (Pasal 272 KUH Perdata).86
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tertuang
dalam Pasal 42, dikatakan :
"Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1)).
Anak yang lahir di luar perkawinan menurut istilah yang dipakai atau dikenal
dalam Hukum Perdata dinamakan natuurlijk kind (anak alam).87
Anak luar
kawin itu dapat diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem yang dianut
KUH Perdata, dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi
suatu hubungan keluarga antara anak dengan orangtuanya. Baru setelah ada
pengakuan, terbit suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya