Post on 14-Feb-2020
PERBANDINGAN STRUKTUR ANATOMI DAUN PISANG
AMBON DAN DAUN PISANG KLUTUK
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada
Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Oleh :
HENI WIDIYAWATI
A420150096
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
i
HALAMAN PERSETUJUAN
PERBANDINGAN STRUKTUR ANATOMI DAUN PISANG AMBON
DAN DAUN PISANG KLUTUK
HENI WIDIYAWATI
A420150096
Artikel Publikasi ini telah disetujui oleh pembimbing skripsi Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Univeristas Muhammadiyah Surakarta untuk dipertanggung
jawabkan di hadapan tim penguji skripsi.
Surakarta, 18 April 2019
(Triastuti Rahayu, S.Si, M.Si)
NIDN. 0615027401
ii
HALAMAN PENGESAHAN
PERBANDINGAN STRUKTUR ANATOMI DAUN PISANG AMBON
DAN DAUN PISANG KLUTUK
OLEH
HENI WIDIYAWATI
A420150096
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari Jum’at, 10 Mei 2019
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Dewan Penguji
1. Triastuti Rahayu, S. Si., M.Si ( )
(Ketua Dewan Penguji)
2. Dra. Suparti, M.Si ( )
(Anggota I Dewan Penguji)
3. Dra. Titik Suryani, M.Sc ( )
(Anggota II Dewan Penguji)
Dekan,
(Prof. Dr. Harun Joko Prayitno, M. Hum)
NIDN. 0028046501
iii
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama : Heni Widiya
NIM : A420150096
Program Studi : Pendidikan Biologi
Judul Skripsi : Perbandingan Struktur Anatomi Daun Pisang Ambon dan Daun
Pisang Klutuk
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa artikel publikasi yang saya serahkan ini
benar-benar hasil karya saya sendiri dan bebas plagiat karya orang lain, kecuali yang
secara tertulis diacu atau dikutip dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti artikel publikasi ini hasil plagiat, saya bertanggung
jawab sepenuhnya dan bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Surakarta , 18 April 2019
Yang membuat pernyataan,
Heni Widiyawati
A420150096
1
PERBANDINGAN STRUKTUR ANATOMI DAUN PISANG AMBON DAN
DAUN PISANG KLUTUK
Abstrak
Secara anatomi, daun Musa balbisiana dan Musa paradisiaca tersusun dari epidermis
atas dan bawah, hipodermis, palisade dan spons, xilem serta floem. Struktur
morfologi dan anatomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan
tanaman terhadap beberapa patogen tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan struktur anatomi daun pisang ambon dan daun pisang klutuk.
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, menggunakan preparat awetan
anatomi daun pisang ambon dan daun pisang klutuk. Parameter yang diukur berupa
ketebalan epidermis atas dan bawah, hipodermis, palisade dan spons, xilem dan
floem dari daun pisang ambon dan pisang klutuk. Hasil dari penelitian didapatkan
bahwa pisang ambon dan pisang klutuk memiliki ketebalan strukur anatomi daun
yang tidak berbeda nyata (1638,83 µm & 1627.83 µm). Pisang ambon memiliki
ketebalan jaringan hipodermis 49 µm, parenkim palisade dan spons (55 µm & 39
µm), xilem dan floem (34 µm & 27 µm), serta epidermis bawah 18 µm yang lebih
tebal namun, untuk epidermis atas lebih tipis yaitu 11 µm. Sedangkan pada daun
pisang klutuk jaringan hipodermis 43 µm, Parenkim palisade dan spons (46 µm & 32
µm), xilem dan floem (16 µm & 24 µm) serta epidermis bawah 11 µm lebih tipis,
tetapi untuk lapisan epidermis atas lebih tebal yaitu 15 µm.
Kata kunci: Daun pisang klutuk, Daun pisang ambon, sigatoka, struktur anatomi
Abstract
Anatomically, the leaf Musa paradisiaca and Musa balbisiana composed of upper and
lower epidermis, hypodermis, palisade and spongy, xylem and phloem.
Morphological and anatomical structure is one of the factors that influence plant
resistance to some specific pathogens. This study aimed to compare the anatomical
structure of leaf ambon banana and banana leaves klutuk. The method used is
qualitative method, using the preserved anatomical preparations banana leaves
ambon and banana leaves klutuk. The measured parameters such as thickness of the
upper and lower epidermis, hypodermis, palisade and spongy, xylem and phloem of
banana leaves ambon and banana leaves klutuk. Results of the research showed that
the ambon banana and klutuk banana has a thickness of anatomical structure of
leaves that are not significantly different (μm 1638.83 and 1627.83 m). Ambon
banana has a thickness of 49 μm hypodermic tissue, palisade and spongy
parenchyma (55 μm and 39 m), xylem and phloem (34 μm and 27 m), and lower
epidermis 18 μm thicker however, for the upper epidermis thinner that is 11 lm.
While on a klutuk banana leaf, network hypodermic 43 μm, parenchyma palisade and
spongy (46 μm and 32 m), xylem and phloem (16 μm and 24 m) and lower epidermis
11 μm thinner, but to the epidermal layer of more thick and 15 μm ,
Keyword: Klutuk banana leaf, Ambon Banana leaf, Sigatoka, Anatomical Structure
2
1. PENDAHULUAN
Pisang merupakan salah satu buah yang paling banyak dikonsumsi dan diproduksi di
Indonesia (Intan, 2014). Secara umum, pisang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
pisang liar dan budidaya. Pisang liar tumbuh dialam bebas (tanpa memerlukan
perlakuan khusus), memiliki banyak biji dan bersifat diploid contohnya pisang
klutuk. Sedangkan pisang budidaya banyak tumbuh dipekarangan, biji sedikit dan
bersifat triplod atau diploid contohnya pisang ambon (Rahmawati, 2013).
Pisang klutuk merupakan jenis tanaman pisang yang didalam buahnya
terdapat banyak sekali biji, memiliki rasa yang manis dan juga mengandung banyak
nutrisi yang baik untuk tubuh (Andareto, 2015). Daun pisang klutuk biasannya
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membungkus makanan karena bersifat
lentur dan tidak mudah pecah atau sobek saat digunakan (Pranata, 2008). Pisang
klutuk termasuk habitus tanaman yang kokoh, tahan terhadap kekeringan dan juga
suhu yang ekstrim (Shetty, 2016), bergenom BB yang biasanya memiliki ketahanan
yang lebih tinggi terhadap kekeringan dan juga toleran terhadap berbagai penyakit
salah satunya yaitu penyakit sigatoka, BBTV atau biasa disebut penyakit kerdil dan
layu panama (Sunandar, 2017).
Pisang ambon merupakan salah satu jenis pisang yang dikonsumsi dalam
keadaan segar dan juga banyak dimanfaatkan menjadi beberapa olahan seperti sale
dan keripik. Pisang ambon memiliki nilai komersial yang tinggi (Suciatmih, 2014).
Namun, pisang ini juga mudah sekali terkena penyakit. Salah satu penyakit yang
menyerang tanaman pisang ambon adalah Black sigatoka, yaitu penyakit yang
menyerang bagian dari daun (Riastiwi,2017).
Menurut penelitian (Sunandar,2018) Secara anatomi, daun Musa balbisiana
dan Musa paradisiaca (kepok) tersusun dari epidermis atas, hipodermis, palisade,
bunga karang, epidermis bawah dan berkas pengangkut xilem serta floem. Musa
balbisiana memiliki dua lapisan hipodermis yang terletak pada sisi adaxial dan
abaxial. Sedangkan pada Musa paradisiaca (kepok) hanya memiliki satu lapis
hipodermis yang terletak pada sisi adaxial/sisi abaxial daun. Jaringan mesofil pada
daun disusun oleh jaringan palisade dan juga jaringan bunga karang. Pada daun Musa
balbiana dan Musa paradisiaca (kepok) juga ditemukan jaringan mesofil yang terdiri
3
dari dua lapis jaringan palisade, tersusun rapat, memilki bentuk tidak beraturan dan
berfungsi untuk membentuk aerenkim. Sedangkan untuk berkas pengangkut pada
daun Musa balbiana dan Musa paradisiaca (kepok) terdiri dari xilem, floem, dan
biasanya dikelilingi oleh sel sklerenkim.
Pisang klutuk lebih toleran terhadap penyakit sigatoka dimungkinkan karena
pengaruh dari struktur anatomi daun sebagai penghalang fisik patogen. Sastrahidayat
(2015) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan
tanaman terhadap patogen yaitu struktur morfologi dan anatominya. Tanaman yang
memiliki struktur morfologis tertentu menyebabkan tanaman tersebut sulit terinfeksi
oleh patogen seperti epidermis berkutikula tebal, lapisan lilin yang kuat, dan jumlah
stomata sedikit dan lubangnya sempit (Rostini, 2011). Hasil penelitian Jeniria (2015),
menyatakan kekuatan dan ketebalan dinding sel epidermis merupakan faktor penting
untuk ketahanan beberapa jenis tanamam terhadap patogen tertentu. Epidermis
merupakan jaringan terluar yang berfungsi sebagai tempat penetrasi patogen, sel-sel
epidermis akan memperkuat dan mempertebal dinding sel bagian luar saat tanaman
terserang patogen. Hal ini bertujuan untuk mempersulit penetrasi yang dilakukan
oleh patogen. Berdasarkan permasalahan diatas, maka dilakukanlah penelitian
mengenai Perbandingan Struktur Anatomi Daun Pisang Ambon dan Daun Pisang
Klutuk.
2. METODE
Dalam pelaksanaan penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif.
Parameter yang diukur berupa ketebalan jaringan epidermis atas dan bawah, lapisan
hipodermis, parenkim palisade dan spons, xilem dan floem dari daun pisang ambon
dan daun pisang klutuk. Proses pengamatan struktur anatomi daun pisang ambon dan
pisang klutuk menggunakan mikroskop olympus seri CX21FS1 dengan perbesaran 40
X 10 = 400 kali. Mikroskop terlebih dahulu dihubungkan dengan optilab seri advace,
obtilap akan memfoto struktur anatomi daun pisang ambon dan pisang klutuk,
kemudian diukur menggunakan aplikasi IR (Image restore) yang sudah dikalibrasi
sebelumnya sehingga pengukurannya menjadi lebih akurat. Pengukuran dilakukan
4
sebanyak lima kali pengulangan dan terdapat enam jumlah preparat awetan (3 buah
preparat awetan daun pisang ambon dan 3 buah preparat awetan pisang klutuk).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan struktur anatomi daun pisang ambon dan pisang klutuk diperoleh hasil
perhitungan seperti pada Tabel 1. Pengukuran ini dilakukan di Lab Biologi UMS,
menggunakan aplikasi image restore. Preparat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah preparat awetan daun pisang ambon dan pisang klutuk.
Tabel 1. Struktur Anatomi Daun Pisang Ambon dan daun Pisang Klutuk
Struktur
Anatomi
Jenis Pisang
Ambon (A) Klutuk (B)
Epidermis
Atas (EA)
Daun pisang ambon memiliki ketebalan
lapisan epidermis atas 11 µm dengan
bentuk lapisan epidermis oval
memanjang tidak beraturan dan terlihat
tidak jelas. Selain itu, daun pisang
ambon juga memiliki stomata bagian atas
berbentuk oval.
Daun pisang klutuk memiliki ketebalan
lapisan epidermis atas 15 µm dengan
bentuk lapisan epidermis berbentuk
kotak-kotak dan tersusun rapat serta
terlihat jelas. Untuk bentuk stomata,
daun pisang klutuk memiliki bentuk
stomata pada permukaan atas daun yang
memanjang. Hipodermis
(H)
Daun pisang ambon memiliki ketebalan
lapisan hipodermis 49 µm dan ada yang
berbentuk seperti persegi empat dan
seperti persegi panjang. Bentuk dan batas
antara lapisannya terlihat lebih jelas.
Memiliki ketelaban lapisan hipodermis
43 µm dan bentuk lapisan hipodermis
seperti persegi panjang namun, batas
batas antara lapisan terlihat tidak jelas.
Parenkim
palisade (PP)
& Parenkim
Spons (PS)
Memiliki ketebalan parenkim palisade
sebesar 55µm dan parenkim spons
39µm. Bentuk parenkim palisade dan
parenkim spons pada daun pisang ambon
tersusun lebih rapat dan lebih panjang.
Memiliki ketebalan parenkim palisade
dan parenkim spons yaitu 46µm dan
32µm, selain itu, daun pisang klutuk
memiliki bentuk parenkim palisade dan
parenkim spons yang lebih jelas, lebih
pendek dan bentuknya tidak terlalu rapat.
Xilem (X) &
Floem (F)
Daun pisang ambon memiliki ketebalan
xilem 27µm dan floem 34µm. Bentuk
xilem dan floem pada daun pisang
ambon tidak terlihat begitu jelas, namun
bentuk floem pada daun pisang ambon
Daun pisang klutuk memiliki ketebalan
xilem yaitu 16µm dan floem 24µm. daun
pisang klutuk memiliki bentuk xilem dan
floem yang lebih jelas dan bentuk xilem
maupun floem lebih kecil dan tersusun
A B
5
terlihat lebih besar dibandingkan dengan
pisang klutuk.
rapat.
Epidermis
bawah (EB)
Memiliki ketebalan lapisan epidermis
bawah 18 µm, berbentuk oval
memanjang dan sebagian ada yang tidak
beraturan. Selain itu, daun pisang ambon
juga memiliki stomata bagian permukaan
bawah berbentuk oval sedikit
memanjang.
Memiliki ketebalan lapisan epidermis
bawah 11 µm, berbentuk oval
memanjang dan tersusun rapat serta
beraturan. Untuk bentuk stomata bagian
bawah, daun pisang klutuk memiliki
bentuk stomata permukaan bawah daun
yang membulat.
Berdasarkan hasil pengukuran anatomi daun pisang ambon dan pisang klutuk
terdapat beberapa perbedaan, namun secara keseluruhan pisang ambon memiliki
struktur anatomi daun yang lebih tebal dari pada pisang klutuk. Pisang ambon
memiliki lapisan hipodermis, parenkim palisade, parenkim spons, xilem, floem, dan
lapisan epidermis bawah lebih tebal dibandingkan dengan pisang klutuk, namun
untuk lapisan epidermis atas pisang ambon lebih tipis dibandingkan dengan pisang
klutuk (Tabel 1).
Pada penelitian ini pengukuran struktur anatomi daun pisang ambon dan juga
pisang klutuk dilakukan menggunakan optilab seri advance yang sudah dikalibrasi
sebelumnya sehingga pengukurannya menjadi lebih akurat. Sutriyono (2016)
menyatakan bahwa optilab merupakan suatu alat untuk mendokumentasikan
penelitian-penelitian mikroskopis melalui fungsi rekam gambar, rekam vidio, fungsi
perhitungan dan pengukuran objek. Alat ini didesain untuk memberikan kemudahan
serta kenyamanan dalam mengamati preparat menggunakan mikroskop. Preparat
yang amati akan ditampilkan secara langsung dilayar monitor. Optilab sendiri
dilengkapi dengan dua macam software (perangkat lunak) yaitu optilab viewer dan
image restore (IR). Optilab viewer berfungsi untuk mengambil gambar yang akan
kita amati. Sedangkan image restore (IR) berfungsi untuk mengolah hasil gambar
oleh optilab viewer. Pengukuran struktur anatomi daun pisang ambon dan pisang
klutuk dilakukan dengan lima kali ulangan.
Berdasarkan pengukuran dapat diketahui bahwa rata-rata ukuran anatomi
daun pisang ambon dan daun pisang klutuk didapatkan hasil yang berbeda, yaitu
daun pisang ambon memiliki lapisan hipodermis, parenkim palisade dan spons,
xilem dan floem serta lapisan epidermis bawah yang lebih tebal dibandingkan
dengan daun pisang klutuk. Sedangkan untuk lapisan epidermis atas daun pisang
6
ambon memiliki lapisan epidermis yang lebih tipis dibandingkan dengan daun pisang
klutuk. Daun pisang klutuk memiliki ketebalan epidermis atas sebesar 15 µm, lapisan
epidermis bawah 11 µm, lapisan hipodermis 43 µm, parenkim palisade 46 µm dan
parenkim spons 32 µm, xilem 16 µm dan floem 24 µm. Berbeda halnya dengan daun
pisang ambon, daun pisang ambon memiliki ketebalan lapisan epidermis atas 11 µm,
lapisan epidermis bawah 18 µm, lapisan hipodermis adalah 49 µm, parenkim
palisade sebesar 55 µm dan parenkim spons 39 µm, xilem 27 µm serta floem 34 µm.
Daun pisang ambon memiliki lapisan hipodermis, parenkim palisade,
parenkim spons, xilem, floem dan epidermis bawah dengan ukuran yang lebih tebal
dibandingkan dengan daun pisang klutuk, namun daun pisang ambon memiliki
ukuran lapisan epidermis atas yang lebih tipis dibandingkan dengan daun pisang
klutuk. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan menjadikan pisang ambon mudah
sekali terserang penyakit dibandingan dengan pisang klutuk.
Berdasarkan hasil pengukuran tersebut dapat diasumsikan ketebalan lapisan
epidermis bagian atas pada daun pisang klutuk menjadi faktor penting terhadap
ketahanan penyakit yang menyerang pada daun pisang salah satu penyakitnya yaitu
penyakit sigatoka. Lapisan epidemis atas yang lebih tebal dibandingkan dengan
lapisan bagian bawah menjadikan pisang klutuk lebih tahan terhadap penyakit
maupun cekaman abiotik seperti kekeringan. Begitupun dengan pisang ambon
lapisan epidermis atas yang lebih tipis dibandingkan dengan lapisan bawah
menjadikan pisang ini sangan rentan terhadap penyakit seperti penyakit sigatoka. Hal
ini sejalan dengan penelitian Dewi (2013), yang menyatakan ketebalan dan kekuatan
dinding sel epidermis merupakan salah satu faktor penting dalam ketahanan beberapa
jenis tumbuhan terhadap patogen-patogen tertentu. Lapisan sel epidermis yang
berdinding kuat dan tebal nantinya akan membuat penetrasi jamur dari patogen
secara langsung akan mengalami kesulitan atau bahkan tidak mungkin dilakukannya
sama sekali. Kuatnya dinding sel epidermis dikarenakan adanya endapan kersik
(silisium). Semakin tinggi kandungan silika maka akan semakin rendah intensitas
penyakit yang menyerang.
7
Gambar 1. Histogram ketebalan daun pisang ambon dan daun pisang klutuk secara
keseluruhan
Berdasakan Gambar 1 dapat diketahui bahwa pisang ambon dan pisang
klutuk memiliki ketebalan strukur anatomi daun yang tidak berbeda nyata. Pisang
ambon memiliki ketebalan anatomi daun yaitu 1638,83 µm, sedangkan pada pisang
klutuk sebesar 1627.83 µm. Struktur anatomi daun pada pisang ambon yang sedikit
lebih tebal tidak menutup kemungkinan menjadikan daun pisang ambon memiliki
tekstur yang mudah sobek. Berbeda halnya dengan pisang klutuk, pisang klutuk
memiliki daun yang tidak mudah sobek, tepi daun menggulung, warnanya hijau tua
menarik dan mengilap. Prayogi (2016), menyatakan bahwa pisang klutuk memiliki
daun yang tidak mudah sobek, sehingga lebih sering digunakan untuk membungkus
makanan. Selaian itu, pisang klutuk juga memiliki rongga udara yang jauh lebih
besar dibandingkan dengan pisang ambon hal tersebut juga tidak menutup
kemungkinan menjadikan daun pisang klutuk menjadi lebih lentur dan tidak mudah
sobek.
Maka dari itu, berdasarkan Gambar 1 dapat kita asumsikan bahwa ketebalan
struktur anatomi pada daun tidak selalu mempengaruhi ketahanan kultivar pisang
terhadap berbagai penyakit yang menyerang. Ketahanan pisang terhadap kondisi
kekeringan dan ketahanan penyakit tidak hanya dipengaruhi oleh struktur anatomi
saja, tetapi juga oleh faktor lain seperti lingkungan. Penelitian Soesanto (2012)
menyatakan bahwa intensitas penularan penyakit pada pisang dipengaruhi oleh
kerentanan inang serta kondisi iklim seperti suhu, kelembaban, dan intensitas sinar
1638,83
1627,83
Jenis pisang
Pisang Ambon Pisang Klutuk
8
matahari mempengaruhi pertumbuhan patogen. Selain itu, respon tanaman terhadap
patogen juga dipengaruhi oleh faktor genetik, sifat tahan yang diatur oleh sifat-sifat
genetik. Faktor morfologi yaitu sifat tahan yang disebabkan oleh sifat morfologi
tanaman yang tidak menguntungkan hama dan faktor ekologi yaitu ketahanan
tanaman yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan (Gunaeni,2013). Salah satu
faktor yang menyebabkan pisang klutuk lebih tahan terhadap penyakit salah satunya
sigatoka dikarnakan pisang klutuk memiliki genom BB yang identiknya lebih tahan
terhadap serangan patogen. Hal ini dapat diperkuat oleh penelitian Barborah (2016)
Pisang klutuk merupakan salah satu pisang yang bergenom BB. Memiliki ketahanan
lebih tinggi terhadap stres abiotik (kekeringan) dan juga toleran terhadap berbagai
penyakit.
Hasil penelitian Dewi (2013) menyatakan bahwa sifat toleransi atau
ketahanan merupakan salah satu sifat yang dapat diwariskan. Sifat tersebut
memungkinkan patogen untuk berkembang dan memperbanyak diri didalam
inangnya, sedangkan inang tersebut tidak memiliki bagian reseptor untuk
mengaktifkan zat-zat beracun yang dikeluarkan oleh patogen, sehingga tanaman
masih dapat bereproduksi, namun hasil penelitian terbaru menyatakan bahwa salah
satu faktor yang mempengaruhi ketahanan barier fisik pada tanaman juga
dipengaruhi oleh mikrobioma yang ada pada tanaman itu. Hal ini diperkuat oleh
penelitian Berg (2015), menyebutkan bahwa mikrobioma pada tanaman merupakan
salah satu penentu kesehatan tanaman dan juga produktivitas. Mikrobioma pada
tanaman dapat merangsang perkecambahan dan pertumbuhan tanaman, membantu
tanaman menangkis penyakit (bertindak sebagai pelindung terhadap patogen-patogen
yang menyerang), mampu mengatasi dan melindungi dari stres abiotik (salinitas
tinggi dan kekeringan). Mikrobioma merupakan keseluruhan mikroba yang hidup di
tubuh manusia, hewan, tumbuhan dan sebagainya (Sudarmono,2016). Hasil
penelitian Hunter (2016) menyebutkan bahwa mikrobioma tidak hanya berfungsi
untuk meningkatkan pertumbuhan tetapi juga berfungsi membantu mengurangi
penyebaran penyakit. Mikrobioma tanaman mencakup area mikroorganisme yang
mendiami sekitar akar tanaman dan memiliki peran besar dalam fungsi tanaman.
9
4. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbandingan struktur anatomi daun pisang
ambon dan pisang klutuk ini dapat diambil kesimpulan bahwa: Pisang ambon dan
pisang klutuk memiliki ketebalan strukur anatomi daun yang tidak berbeda nyata,
pisang ambon 1,64 mm, sedangkan pisang klutuk 1,63 mm. Pada daun pisang ambon
struktur anatomi yang lebih tebal yaitu: Lapisan hipodermis (49 µm), parenkim
palisade dan spons (55 µm & 39 µm), floem dan xilem (34 µm & 27 µm), serta
lapisan epidermis bawah (18 µm), sedangkan struktur anatomi daun yang lebih tipis
yaitu lapisan epidermis atas (11 µm). Pada daun pisang klutuk struktur anatomi yang
lebih tebal yaitu lapisan epidermis atas (15 µm), sedangkan struktur anatomi yang
lebih tipis yaitu: lapisan hipodermis (43 µm), Parenkim palisade dan spons (46 µm &
32 µm), xilem dan floem (16 µm & 24 µm) serta lapisan epidermis bawah (11 µm).
DAFTAR PUSTAKA
Andareto, O. 2015. Apotik Herbal disekitar Anda (Solusi Penghambat 1001 Penyakit
Secara Alami dan Sehat Tanpa Efek Samping). Jakarta: Pustaka Ilmu
Semesta.
Barborah, K., Borthakur, S. K., & Tanti, B. 2016. "Musa balbisiana Colla
Taxonomy, Traditional Knowledge and Economic Potentialities Of The Plant
in Assam, India". Indian Journal Of Traditional Knowledge 15(1):116-120.
Berg, Gabriele., Rybakova, Daria., Grube, Martin., And Koberl, Martina. 2016. “The
Plant Microbiume Explored; Implications For Experimental Botany”. Journal
Of Experimental Botany. 67(4):995-1002.
Dewi, Ina M., Cholil, Abdul., & Muhibuddin, A. 2013. "Hubungan Karateristik
Jaringan Daun Dengan Tingkat Serangan Penyakit Blas Daun (Pyricularia
oryzae Cav.) Pada Beberapa Genotipe Padi (Oryza sativa L.)". HTP. 1(2): 10-
18.
Gunaeni N., & Purwati, E . 2013. "Uji Ketahanan Terhadap Tomato Yellow Leaf
Curl Virus Pada Beberapa Galur Tomat". Hort. 23(1):65-71.
Hunter, Philip. 2016. “Plant Microbiomes And Sustainable Agriculture”. Journal
Embo Reports. 17(12):1696-1699.
Intan, R. M., Cholil, A., dan Sulistyowati, L. 2014. "Potensi Antagonis Jamur
Endofit dan Khamir Pada Tanaman Pisang (Musa acuminata) Terhadap
10
Mycospharella musicola Penyebab Penyakit Kuning Sigatoga". HTP. 2(4):
111.
Jeniria, Fittra., Mukarlina., & Linda, Riza. 2015. "Struktur Anatomi Jagung (Zea
mays L.) yang Terserang Penyakit Bercak dan Karat". Protobiont. 4(1):84-88.
Pranata, M., & Nanit. 2008. 505 Masakan Nusantara Favorit. Jakarta: Transmedia
Pustaka.
Prayogi, Slamet., Fitmawati., & Sofiyanti, Nery. 2016. "Karateristik Morfologi Dan
Uji Kandungan Nutrisi Pisang Batu (Musa balbisiana Colla) di Kabupaten
Kuantan Singing". Biologi papua. 8(2):79-110.
Rahmawati, Marai., & Hayati, Erita. 2013. "Pengelompokan Berdasarkan Karakter
Morfologi Vegetatif Pada Plasma Nutfah Pisang Asal Kabupaten Aceh
Besar". Agrista 17(2):111-114.
Riastiwi, I. 2017. "Inventarisasi Penyakit Tanaman Pisang Koleksi Kebun Plasma
Nutfah, Cibinong Science cente-BG". Mikrologi Indonesia 1(1):38-44.
Rostini, Neni. 2014. 6 Jurus Bertanam Cabai Bebas Hama dan Penyakit. Jakarta:
Agromedia Pustaka.
Rukmana, R. 2001. Aneka Olahan Limbah:Tanaman Pisang, Jambu Mente, Rosella.
Yogyakarta: Kanius.
Sastrahidayat, Ika R. 2013. Potensi Mikroba Sebagai Agens Hayati Bagi
Pengendalian Penyakit Rebah Semai (Sclerotium rolfsii) Pada Kedelai.
Malang: UB Press.
Shetty, Santoshkumar M., Shah, Maria U Md., Makale, Kavyashree., Yusuf, Yusmin
M., Khalid, Norzulaani., and Othman, Rofina Y. 2016. "Complete
Chloroplast Genom Sequence of Musa balbisiana Corroborates Structural
Heterogeneity of Inverted Repeats in Wild Progenitos of Cultivated Banana
and Plantains". The plant Genome. 9(2):1-14.
Soesanto, L., Mugiastuti, E., Ahmad, F., dan Witjaksono. 2012. "Diagnosis Lima
Penyakit Utama Karena Jamur Pada 100 Kultivar Bibit Pisang". HTP
Tropika. 12(1):36-45.
Suciatmih, A. S., I, H., dan Sulistiyani, T. 2014. "Isolasi, Identifikasi, dan Evaluasi
Antagonisme Terhadap Fusiforium Oxysporum Fsp Cubense (Foc) Secara In
Vitro dari Jamur Endofit Tanaman Pisang". Benta Biologi. 13(1):71-71.
11
Sudarmono, Pratiwi P. 2016. “Mikrobioma: Pemahaman Baru Tentang Peran
Mikroorganisme Dalam Kehidupan Manusia”. Kedokteran Indonesia.
4(2):71-75.
Sunandar, Ari., Kahar., dan Adi P. 2018. “Karakter Morfologi dan Anatomi Pisang
Diplod dan Triploid”. Scripta Biologica. 1(5):31-36.
Sunandar, Ari. 2017. “Short Communication: New Record Of Wild Banana (Musa
Balbisiana Colla) In West Kalimantan, Indonesia”. Biodiversitas. 18(4):1324-
1330.
Suryanto, Widada A. 2010. Hama dan Penyakit Tanaman Pangan, Hortikultura,
Perkebunan Masalah dan Solusinya. Yogyakarta: Kanius.
Sutriyono. 2016. "Optimazion Of Binocular Microscope With Micro Digital Camera
For Measuring Seminiferous Tubules Epithelium Height". Journal Biology,
Medicine & Natural Product Chemistry. 5(2):41-47.