Post on 13-Aug-2015
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Minyak Sawit
Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan
sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang
berasal dari inti/biji (kernel). Minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari sabut
dikenal dengan crude palm oil (CPO) dan dari biji disebut minyak inti sawit atau
palm kernel oil (PKO). Neraca massa pengolahan kelapa sawit dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Neraca massa pengolahan kelapa sawit
CPO diperoleh dari bagian mesokarp buah kelapa sawit yang telah
mengalami beberapa proses, yaitu sterilisasi, pengepresan, dan klarifikasi. Minyak
ini merupakan produk level pertama yang dapat memberikan nilai tambah sekitar
30% dari nilai tandan buah segar. Komponen asam lemak dominan pada CPO
adalah asam palmitat dan oleat. Palm Kernel Oil (PKO) diperoleh dari bagian
kernel buah kelapa sawit dengan cara pengepresan. Komponen asam lemak
dominan penyusun PKO adalah asam laurat, miristat dan oleat. Minyak inti sawit
Tandan Buah Segar (TBS) 100 %
Brondolan 66,05 %
Tandan Kosong + Air 33,95 %
Mesocarp 53,67 %
Nut 12,38 %
Kernel 5,7 %
Cangkang 6,68 %
CPO 24,32 %
Air 20,37 %
Fiber 8,98 %
Olein 18,97 %
Stearin 4,37 %
PFAD 0,98 %
PKO 2,45 %
Cake 2,55 %
8
(PKO) memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan minyak sawit (CPO).
Minyak inti sawit memiliki kandungan asam laurat yang sangat tinggi dengan titik
leleh yang tinggi, sedangkan minyak sawit didominasi oleh asam palmitat dengan
kisaran antara titik leleh dengan titik lunak (softening point) yang sangat jauh
(O’Brien, 2000).
Pemisahan asam lemak penyusun trigliserida pada minyak sawit dapat
dilakukan dengan menggunakan proses fraksinasi. Secara umum proses fraksinasi
minyak sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% Palm Fatty Acid
Distillate (PFAD), dan 0,5% limbah. Komposisi asam lemak beberapa produk
sawit disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit
Jenis Bahan Asam Lemak CPO a) PKO b) Olein c) Stearin c) PFAD d) Laurat (C12:0) < 1,2 40 – 52 0,1 – 0,5 0,1 – 0,6 0,1 – 0,3 Miristat (C14:0) 0,5 – 5,9 14 – 18 0,9 – 1,4 1,1 – 1,9 0,9 – 1,5 Palmitat (C16:0) 32 – 59 7 – 9 37,9 – 41,7 47,2 – 73,8 42,9 - 51,0 Palmitoleat (C16:1) < 0,6 0,1 – 1 0,1 – 0,4 0,05 – 0,2 - Stearat (C18:0) 1,5 – 8 1 – 3 4,0 – 4,8 4,4 – 5,6 4,1 – 4,9 Oleat (C18:1) 27 – 52 11 – 19 40,7 – 43,9 15,6 – 37,0 32,8-39,8 Linoleat (C18:2) 5,0 – 14 0,5 – 2 10,4 – 13,4 3,2 – 9,8 8,6-11,3 Linolenat (C18:3) < 1,5 0,1 – 0,6 0,1 – 0,6 Arakhidat (C20:0) 0,2 – 0,5 0,1 – 0,6
Sumber : a) Godin dan Spensley (1971) dalam Salunkhe et al. (1992). b) Swern (1979). c) Basiron (1996). d) Hui (1996).
2.2. Proses Transesterifikasi
Metil ester dihasilkan melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi
trigliserida. Transesterifikasi berfungsi untuk menggantikan gugus alkohol
gliserol dengan alkohol sederhana seperti metanol atau etanol. Umumnya katalis
yang digunakan adalah sodium metilat, NaOH atau KOH. Molekul TG pada
dasarnya merupakan triester dari gliserol dan tiga asam lemak. Transformasi
kimia lemak menjadi biodiesel melibatkan transesterifikasi spesies gliserida
dengan alkohol membentuk alkil ester. Diantara alkohol yang mungkin
digunakan, metanol lebih disukai karena berharga lebih murah (Lotero et al.,
9
2004; Meher et al., 2004). Transesterifikasi merupakan suatu reaksi
kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi bergerak ke kanan agar dihasilkan metil
ester maka perlu digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk
yang dihasilkan harus dipisahkan. Pada Gambar 2 disajikan reaksi
transesterifikasi trigliserida dengan metanol untuk menghasilkan metil ester
(biodiesel).
Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor tergantung
kondisi reaksinya (Meher el al., 2004). Faktor tersebut diantaranya adalah rasio
molar minyak dengan alkohol, waktu reaksi, suhu, jenis katalis dan
konsentrasinya, karakteristik trigliserida dan intensitas pencampuran, kandungan
asam lemak bebas dan kadar air minyak, dan penggunaan cosolvent organik.
Kualitas biodiesel dipengaruhi oleh kualitas bahan baku minyak (feedstock),
komposisi asam lemak dari minyak, proses produksi dan bahan lain yang
digunakan dalam proses dan parameter pasca-produksi seperti kontaminan
(Gerpen, 2004). Kontaminan tersebut diantaranya adalah bahan tak tersabunkan,
air, gliserin bebas, gliserin terikat, alkohol, FFA, sabun, residu katalis (Gerpen,
1996). Reaksi transesterifikasi secara curah (batch) lebih sederhana, dan dapat
mengkonversi minyak menjadi metil ester hingga 80 - 94% dalam waktu 30 – 120
menit. Reaktor esterifikasi secara kontinyu telah dikembangkan untuk mengurangi
R1 C
O
OCH2
R2 C
O
OCH
R3 C
O
OCH2
+ 3 CH3OH
HOCH2
HOCH
HOCH2
3 R C
O
OCH3+
trigliserida metanol gliserin metil ester
katalis
Gambar 2. Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol
10
ukuran reaktor dan waktu reaksi. Noureddini et al. (1996) melaporkan
memperoleh hasil 98% dalam waktu 1 menit sampai 1 jam.
2.3. Surfaktan
Surfaktan atau surface active agent merupakan suatu molekul amphipatic
atau amphiphilic yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dalam satu
molekul yang sama. Berdasarkan kegunaannya, surfaktan diklasifikasikan
menjadi deterjen, bahan pembasah (wetting agent), emulsifier, agen pendispersi,
agen pembusa (frothing agent) (Swern, 1979). Sifat-sifat surfaktan adalah mampu
menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan
partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi misalnya oil in
water (o/w) atau water in oil (w/o). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke
dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan
mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang
terdispersi (Rieger, 1985).
Klasifikasi surfaktan terbagi atas empat kelompok yaitu surfaktan anionik,
surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Rieger, 1985).
Menurut Hui (1996) dan Matheson (1996) surfaktan dapat diklasifikasikan
menjadi empat kelompok besar, yaitu anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik.
Masing-masing kelompok surfaktan tersebut memiliki struktur kimia dan perilaku
yang berbeda. Surfaktan anionik adalah bahan aktif permukaan yang bagian
hidrofiliknya berhubungan dengan gugus anion (ion negatif). Dalam media cair,
molekul surfaktan anionik terpecah menjadi gugus kation yang bermuatan positif
dan gugus anion yang bermuatan negatif. Gugus anion merupakan pembawa sifat
aktif permukaan pada surfaktan anionik. Sebagaimana halnya surfaktan anionik,
surfaktan kationik juga memecah dalam media cair, dengan bagian kepala
(hidrofilik) pada surfaktan kationik adalah gugus kation yang bertindak sebagai
pembawa sifat aktif permukaan. Surfaktan nonionik tidak memecah dalam cairan
encer, daya larutnya disebabkan oleh gugus polar seperti poliglikol eter atau
poliol. Surfaktan amfoterik dalam media cair mengandung gugus positif dan
negatif pada molekul yang sama, sehingga rantai hidrofobik diikat oleh bagian
hidrofilik yang mengandung gugus positif dan negatif. Sehubungan dengan
11
aplikasi surfaktan pada industri, jenis surfaktan yang dipilih pada proses
pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan karakteristik surfaktan
tersebut serta produk akhir yang diinginkan.
Peranan surfaktan yang begitu berbeda dan beragam disebabkan oleh
struktur molekulnya yang tidak seimbang. Molekul surfaktan dapat
divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini yang terdiri atas bagian
kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian
yang sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (benci air/suka
minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau
nonion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon.
Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi yang
beragam di industri (Hui, 1996; Hasenhuettl, 1997). Aplikasi surfaktan pada
industri sangat luas, contohnya yaitu sebagai bahan utama pada industri deterjen
dan pembersih lainnya, bahan pembusaan dan emulsifier pada industri kosmetik
dan farmasi, bahan emulsifier pada industri cat, serta bahan emulsifier dan sanitasi
pada industri pangan (Hui, 1996). Pemakaian terbesar surfaktan adalah untuk
aplikasi pencucian dan pembersihan (washing and cleaning applications.
Menurut Matheson (1996), kelompok surfaktan terbesar dalam jumlah
pemakaian adalah surfaktan anionik, dengan aplikasi terbesar untuk washing and
cleaning products. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya
gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa gugus sulfat atau sulfonat.
Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu alkilbenzen sulfonat linear (LAS),
alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS), parafin
(secondary alkane sulfonate, SAS), dan metil ester sulfonat (MES). Hal yang
sama tergambarkan dari aktivitas ekspor dan impor surfaktan Indonesia, dimana
baik volume ekspor maupun impor surfaktan terbesar di Indonesia adalah
surfaktan anionik. Pada Tabel 2 dan 3 disajikan data eskpor dan impor surfaktan
Indonesia.
12
Tabel 2. Data ekspor surfaktan Indonesia tahun 2005 - 2009
Jenis Surfaktan Anionik Kationik Nonionik Lainnya Tahun Volume
(Kg) Nilai
(USD) Volume
(Kg) Nilai
(USD) Volume
(Kg) Nilai
(USD) Volume
(Kg) Nilai
(USD) 2009 31.695.464 39.452.807 132.993 154.972 6.032.206 8.632.236 6.107.254 6.314.5112008 29.042.000 46.769.566 63.820 79.762 4.380.840 7.981.815 6.875.800 7.334.971 2007 34.051.157 40.184.851 219.881 184.373 3.323.118 5.631.458 5.992.161 5.443.039 2006 26.201.796 29.154.490 266.974 286.964 2.323.129 3.654.845 4.190.190 3.754.886 2005 21.053.245 23.617.016 135.618 168.596 1.320.519 1.851.079 4.241.430 3.507.145
Sumber : BPS (2010).
Tabel 3. Data impor surfaktan Indonesia tahun 2005 - 2009
Jenis Surfaktan Anionik Kationik Nonionik Lainnya Tahun Volume
(Kg) Nilai
(USD) Volume
(Kg) Nilai
(USD) Volume
(Kg) Nilai
(USD) Volume
(Kg) Nilai
(USD) 2009 23.625.842 28.785.766 349.752 544.818 4.594.962 6.148.480 1.282.671 1.586.341 2008 17.514.548 28.964.737 367.594 587.319 4.397.641 8.420.211 4.121.177 5.060.178 2007 13.262.553 16.975.633 298.823 406.974 1.982.829 2.679.349 3.730.172 3.254.190 2006 20.323.451 25.161.752 357.772 512.953 1.779.542 2.257.060 8.286.006 8.797.486 2005 16.376.519 19.561.960 240.122 273.000 1.607.038 2.284.331 8.144.926 7.815.574
Sumber : BPS (2010).
2.4. Surfaktan MES
MES merupakan surfaktan anionik dengan struktur umum
RCH(CO2Me)SO3Na, sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Surfaktan ini
dihasilkan melalui proses sulfonasi metil ester asam lemak (RCH2CO2Me) yang
diperoleh dari minyak nabati dan lemak hewani seperti minyak kelapa, minyak
sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, dan lemak sapi (tallow)
(Robert, 2001; Watkins, 2001).
Gambar 3. Struktur kimia metil ester sulfonat (Watkins, 2001)
Hingga saat ini adanya pengembangan teknologi sulfonasi memungkinkan
MES menjadi bagian penting dalam formulasi deterjen. Pengembangan surfaktan
MES makin meningkat dengan terjadinya peningkatan ketersediaan bahan baku
13
MES berupa ME C16 sebagai komponen terbesar, yang dihasilkan sebagai by
product produksi biodiesel (Ahmad et al., 2007). Menurut Mazzanti (2008),
beberapa pemain besar dalam industri deterjen telah mengadopsi MES, dengan
pertimbangan bahwa :
a. Peningkatan jumlah pabrik biodiesel di Asia Tenggara akan membuat
ketersediaan fraksi ME C16 dalam jumlah besar di masa depan sebagai bahan
baku untuk memproduksi MES dengan harga kompetitif makin meningkat,
meskipun terjadi fluktuasi harga yang sangat tajam dari minyak sawit. Hal ini
mengingat bahan baku MES yang digunakan merupakan hasil samping dari
pabrik biodiesel tersebut.
b. Peningkatan harga minyak bumi yang terus terjadi merefleksikan peningkatan
harga bahan baku berbasis minyak bumi (misalnya harga LAB), yang
membuat penggunaan MES menjadi semakin menarik secara ekonomi.
c. Perkembangan teknologi yang dicapai pada proses MES menjadi bentuk
bubuk yang sesuai untuk produk deterjen telah mendorong peningkatan
kualitas MES, keamanan proses produksi, dan pengurangan biaya proses
produksinya. Untuk alasan ini, instalasi pabrik produksi MES telah dilakukan
oleh Desmet Ballestra di Asia Tenggara dan Amerika Utara dengan kapasitas
keseluruhan mencapai 150.000 ton/tahun MES kering. Pabrik ini mulai
berproduksi skala industri pada akhir tahun 2008.
Menurut Matheson (1996), MES memperlihatkan karakteristik dispersi
yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan
yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16 dan
C18 memberikan tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good
biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES
menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi yang lebih
rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat
mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik
terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah.
Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan
kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu
panjang, akan terjadi ketidakseimbangan dimana terlalu besarnya afinitas untuk
14
gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air, yang
mengakibatkan keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya,
apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat
aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan
akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang
rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon.
MES dari minyak nabati yang mengandung atom karbon C10, C12 dan C14 biasa
digunakan untuk light duty dishwashing detergent, sedangkan MES dari minyak
nabati dengan atom karbon C16-18 dan tallow biasa digunakan untuk deterjen
bubuk dan deterjen cair (liquid laundry detergent). Pada suhu di bawah suhu
pencucian, MES C16 memperlihatkan daya detergensi terbaik, kemudian diikuti
oleh C18 dan C14 (Watkins, 2001).
Produksi MES skala pilot yang dilakukan oleh beberapa perusahaan
menggunakan kualitas bahan baku yang beragam. Procter and Gamble (P&G)
menggunakan ME C12-14, Henkel dan Chengdu Nymph menggunakan ME C16-18
dan Emery menggunakan methyl tallowate (MacArthur et al., 2002). Pada Tabel
4 disajikan perbandingan kualitas bahan baku metil ester yang digunakan untuk
memproduksi MES. Surfaktan MES tersebut diproduksi oleh P&G, Henkel dan
Chengdu dengan tujuan untuk diaplikasikan pada proses produksi deterjen.
2.5. Proses Sulfonasi
Proses sulfonasi dilakukan dengan mereaksikan kelompok sulfat dengan
minyak, asam lemak (fatty acid), ester, dan alkohol lemak (fatty alcohol).
Diistilahkan sebagai sulfonasi karena proses ini melibatkan penambahan gugus
sulfat pada senyawa organik. Jenis minyak yang biasanya disulfonasi adalah
minyak yang mengandung ikatan rangkap ataupun gugus hidroksil pada
molekulnya. Di industri, bahan baku minyak yang digunakan adalah minyak
berwujud cair yang kaya akan ikatan rangkap (Bernardini, 1983).
Menurut Jungermann (1979), proses sulfonasi molekul asam lemak dapat
terjadi pada tiga sisi yaitu (1) gugus karboksil, (2) bagian α-atom karbon, dan
(3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap) (Gambar 4). Pemilihan proses sulfonasi
tergantung pada banyak faktor yaitu karakteristik dan kualitas produk akhir yang
15
diinginkan, kapasitas produksi yang disyaratkan, biaya bahan kimia, biaya
peralatan proses, sistem pengamanan yang diperlukan, dan biaya pembuangan
limbah hasil proses. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), reaktan yang
dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H2SO4), oleum
(larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H.
Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang
harus dipertimbangkan adalah rasio mol reaktan, suhu reaksi, konsentrasi grup
sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, pH dan suhu netralisasi (Foster,
1996).
Tabel 4. Perbandingan kualitas bahan baku metil ester untuk produksi MES
Bahan Baku Metil Ester ME C12 a) ME C16
b) ME C16-18
b) ME C22 c)
BM 218 281 284 280 Bilangan iod (mg I/g ME) 1,0 3,9 1,9 1,3 Asam karboksilat (%) 0,074 0,25 1,89 n/a Bilangan tak tersabunkan (%) 0,05 0,27 0,06 n/a Bilangan asam (mg KOH/g ME)
0,15 0,5 3,8 0,4
Bilangan penyabunan (mg KOH/g ME)
252 197 191 n/a
Kadar air (%) 0,13 0,18 0,19 0,04 Komposisi asam lemak (%) : < C12 0,85 0,00 0,00 0,11 C12 72,59 0,28 0,28 0,16 C13 0,00 0,00 0,00 0,03 C14 26,90 2,56 1,55 4,15 C15 0,00 0,43 0,00 0,83 C16 0,51 48,36 60,18 25,55 C17 0,00 1,40 1,31 2,70 C18 0,00 46,24 35,68 64,45 >C18 0,00 0,74 1,01 1,06
Ket. a) Procter and Gamble, b) Henkel dan Chengdu Nymph, c) Emery. Sumber : MacArthur et al. (2002).
Gambar 4. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi
(Jungermann, 1979)
16
Menurut Foster (1996), proses sulfonasi menggunakan SO3 dilakukan
dengan cara melarutkan SO3 dengan udara yang sangat kering dan direaksikan
secara langsung dengan bahan baku organik yang digunakan. Sumber gas SO3
yang digunakan dapat berbentuk SO3 cair ataupun SO3 yang diproduksi dari hasil
pembakaran sulfur. Reaksi gas SO3 dengan bahan organik berlangsung cukup
cepat. Biaya proses sulfonasi dengan SO3 paling rendah dibandingkan proses
sulfonasi lainnya, menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, proses bersifat
sinambung, dan sesuai untuk volume produksi yang besar.
Menurut Foster (1996), kelebihan pemakaian SO3 adalah SO3 mampu
mensulfonasi beragam bahan baku dan menghasilkan produk dengan kualitas baik
dibandingkan bila menggunakan jenis reaktan yang lain. Namun kendala yang
dihadapi bila menggunakan SO3 adalah sebagai berikut : (1) gas SO3 hasil
pembakaran SO2 umumnya memiliki konsentrasi 26 - 18 persen, sehingga harus
dilarutkan dengan udara kering ke kisaran normal untuk proses sulfonasi yaitu
antara 4 - 7 persen, (2) gas SO3 memiliki dew point yang lebih tinggi (umumnya -
35 oC) dibanding yang diperlukan pada instalasi sulfonasi (umumnya -60 hingga -
80 oC), sehingga sangat berpengaruh terhadap kualitas produk pada proses
sulfonasi, dan (3) biaya inisial peralatan yang mahal dan kompleks.
Proses sulfonasi metil ester untuk menghasilkan MES lebih kompleks
dibandingkan proses sulfonasi menggunakan bahan baku lainnya. Teknologi
sulfonasi yang telah berkembang saat ini memungkinkan untuk dihasilkannya
produk-produk hasil sulfonasi seperti linear alkylbenzene sulfonates (LAS),
primary alcohol sulfates (PAS), alcohol ethoxysulfates (AES), dan alpha olefin
sulfonates (AOS) tanpa perlu dilakukan proses pemucatan (bleaching) (Robert et
al,, 1988). Namun hal tersebut tidak berlaku pada proses sulfonasi ME, karena (1)
pada proses sulfonasi ME diperlukan secara signifikan rasio mol SO3 yang lebih
besar dibanding bahan baku ME, (2) diperlukan tahapan aging pada suhu tinggi,
dan (3) dihasilkan produk dengan warna yang sangat gelap (nilai Klett lebih dari
1000) (Schwuger dan Lewandowski, 1995), sehingga untuk proses produksi MES
yang diaplikasikan untuk deterjen harus dilengkapi dengan tahapan proses
pemucatan warna (bleaching).
17
Menurut Robert et al. (2008), untuk memproduksi MES setidaknya
terdapat tiga tahapan penting, yaitu (a) tahap kontak ME/SO3, (b) tahap aging, dan
(c) tahap netralisasi. Pada tahap kontak ME/SO3, SO3 diabsorbsi oleh ME
membentuk produk antara. Rasio mol SO3-ME tidak boleh lebih rendah dari 1,2
karena akan menyebabkan tidak tercapainya konversi penuh ME. Tahapan ini
biasanya berlangsung cepat secara kontinyu pada reaktor falling film. Proses
sulfonasi ME belum menghasilkan MES, namun produk antara Methyl Ester
Sulfonic Acid (MESA) (MacArthur et al., 2002) atau fatty acid methyl ester (α-SF)
(Yamada dan Matsutani, 1996) yang bersifat asam. MESA merupakan surfaktan
anionik, memiliki deterjensi tinggi, dan bersifat biodegradable (Yamada dan
Matsutani, 1996). Pada tahap awal sulfonasi, sulfur trioksida diserap oleh metil
ester dan secara cepat membentuk produk anhidrid intermediet di dalam
keseimbangan yang mengaktifkan karbon alfa menuju reaksi sulfonasi untuk
membentuk produk intermediet. Produk intermediet akan mengalami penyusunan
kembali untuk melepaskan sulfur trioksida untuk membentuk asam sulfonat ester
metil yang diinginkan (MESA). Sulfur trioksida yang dilepaskan lalu akan
mengkonversi sisa produk anhidrid intermediet membentuk produk intermediet.
Produk intermediet kemudian akan dikonversi menjadi MESA (MacArthur et al.,
2002). Stoikiometri sulfonasi ME disajikan pada Gambar 5. Jika produk
intermediet tersebut dinetralisasi sebelum terkonversi sempurna menjadi MESA,
maka banyak ME yang belum terkonversi, sehingga konversi ME menjadi produk
sulfonat hanya berkisar 60-75%. Produk sulfonat yang telah dinetralisasi pada
tahapan ini mengandung MES dalam jumlah kecil, sementara sebagian besar akan
terdiri atas disalt (RCH(CO2Na)SO3Na) bersama dengan sodium methyl sulfate
(SMS, MeOSO3Na), karenanya diperlukan proses aging.
Tahap aging merupakan tahap dimana produk antara bereaksi, sehingga
proses konversi ME menjadi produk sulfonat makin sempurna. Tahap aging pada
sulfonasi ME lebih sulit dibanding aging pada sulfonasi LAB, karena
mensyaratkan suhu minimal 80oC. Waktu diam yang dibutuhkan selama proses
aging bergantung pada suhu, rasio mol SO3/ME, target tingkat konversi yang
ingin dicapai, dan karakteristik reaktor yang digunakan. Sebagai gambaran, proses
sulfonasi menggunakan reaktor batch ataupun plug flow reactor (PFR), pada rasio
18
mol 1,2 untuk kondisi proses sulfonasi 45 menit pada suhu 90oC ataupun pada
kondisi proses sulfonasi 3,5 menit pada suhu 120oC akan memberikan tingkat
konversi 98%. Sementara jika menggunakan continuously stirred tank reactor
(CSTR) maka waktu aging harus digandakan. Tahap nentralisasi diperlukan,
karena jika produk antara hasil reaksi bersifat asam tidak dinetralisasi akan
menyebabkan kerusakan pada warna. Khususnya untuk C16 dan bahan baku ME
dengan asam lemak lebih tinggi lainnya, dimana produk menjadi lebih kental dan
bahkan memadat kecuali jika dipanaskan. Untuk mengurangi warna gelap
tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan larutan H2O2 atau larutan metanol,
yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan menambahkan larutan alkali
(KOH atau NaOH). Setelah melewati tahap netralisasi, produk yang berbentuk
pasta dikeringkan sehingga produk akhir yang dihasilkan berbentuk concentrated
pasta, solid flake, atau granula (Watkins, 2001).
Gambar 5. Stoikiometri sulfonasi ME (Robert et al., 2008)
Proses netralisasi pada skala komersial ataupun pilot biasanya dilakukan
secara kontinyu pada reaktor berbentuk loop. Hal ini penting untuk mencegah pH
ekstrem pada proses netralisasi, sehingga hidrolisis MES menjadi disalt dapat
dihindari. Produk sulfonasi mengandung campuran MES dan disalt
(RCH(CO2Na)SO3Na) dengan komposisi sekitar 80:20. Sodium metil sulfat
19
(MeOSO3Na) juga terdapat pada jumlah yang ekivalen dengan molar disalt.
Menurut Gupta dan Wiese (1992) dalam reaktor sulfonasi, nisbah mol SO3 dan
alkil dikontrol antara 1,03 : 1 hingga 1,06 : 1 agar dicapai tingkat konversi yang
optimum tanpa menyebabkan terjadinya peningkatan reaksi samping ataupun
degradasi warna. Suhu reaktor dikontrol antara 110 - 150 oF (43 - 65 oC).
Sebelum proses sulfonasi dilakukan, terlebih dahulu gas SO3 dicampur dengan
udara kering hingga konsentrasinya menjadi 4 - 8 persen. Proses netralisasi dapat
dilakukan dengan menggunakan pelarut KOH, NH4OH, NaOH, atau alkanolamin.
Menurut Moreno et al. (2003) selama proses sulfonasi berlangsung produk
lain seperti anhidrid dan sulfon juga terbentuk. Sekitar 25% sulfon dan 75% LAB
yang tidak bereaksi dengan gas SO3 dapat dihilangkan selama proses aging dan
dikonversi menjadi bahan aktif. Anhidrid dapat dihilangkan melalui proses
hidrolisis, akan tetapi sulfon yang terbentuk selama proses sulit untuk dipisahkan.
Karena tingginya kadar warna produk yang dihasilkan (warna gelap),
maka tahapan bleaching perlu dilakukan jika produk akan digunakan untuk
deterjen laundry ataupun untuk consumer products lainnya. Tahap bleaching
umumnya menggunakan hidrogen peroksida sebagai bahan pemucat, yang dapat
memberikan hasil yang baik meski digunakan sebelum ataupun setelah netralisasi.
Bleaching dilakukan setelah tahap re-esterifikasi ataupun secara simultan dengan
re-esterifikasi dengan menambahkan metanol pada waktu yang sama. Hidrogen
peroksida umumnya digunakan sebagai larutan 35 atau 50% ditambahkan pada
konsentrasi 2-3%, Keberadaan air pada tahapan ini menyebabkan kecenderungan
terhidrolisisnya MESA, sehingga memicu peningkatan terbentuknya disalt setelah
netralisasi. Residu metanol dari re-esterifikasi, ataupun metanol yang
ditambahkan pada tahap bleaching dapat menekan laju hidrolisis dan juga
mengurangi viskositas dari campuran reaksi. Tanpa penambahan metanol, disalt
yang terbentuk akan semakin banyak sehingga dapat mengganggu jika nantinya
akan diaplikasikan. Tergantung pada spesifikasi yang disyaratkan, tahapan re-
esterifikasi dilakukan untuk mengkonversi prekursor disalt menjadi prekursor
MES. Tahapan ini meliputi penanganan campuran reaksi yang bersifat asam
dengan metanol sebelum dinetralisasi, dan tahapan ini dapat mereduksi
kandungan disalt dari produk hasil netralisasi (Robert et al., 2008).
20
Baker (1995) telah memperoleh paten proses pembuatan sulfonated fatty
acid alkyl ester dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Bahan baku yang
digunakan berasal dari asam lemak minyak nabati komersial. Proses sulfonasi
dilakukan dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO3 dalam falling film reactor,
dengan perbandingan reaktan antara SO3 dan alkil ester yaitu 1,1 : 1 hingga 1,4 : 1
pada suhu proses antara 75 - 95 oC dan lama reaksi antara 20 - 90 menit, dan
dilanjutkan dengan netralisasi berulang untuk mereduksi bahan pengotor dalam
jumlah sedikit (termasuk disalt dan dimethyl sulfate (DMS)).
Menurut Sheats dan MacArthur (2002), penelitian mengenai produksi
MES skala pilot plant secara sinambung telah dilakukan oleh Chemithon
Corporation. Produksi MES dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap proses
sulfonasi dimulai dengan pemasukan bahan baku metil ester dan gas SO3 ke
reaktor dan selanjutnya diikuti dengan tahap aging (pencampuran di digester),
tahap pemucatan, tahap netralisasi, dan tahap pengeringan. Bahan baku yang
digunakan yaitu metil ester dari minyak kelapa, minyak inti sawit, stearin sawit,
minyak kedelai dan tallow. Bahan baku metil ester dimasukkan ke reaktor pada
suhu 40 - 56 oC, rasio mol reaktan SO3 dan metil ester sekitar 1,2 - 1,3 dan
konsentrasi gas SO3 7 persen dan suhu gas SO3 sekitar 42 oC. MES segera
ditransfer ke digester pada saat mencapai suhu 85oC, dengan lama proses 0,7 jam
(42 menit). Untuk pemurnian digunakan metanol sekitar 31 - 40 persen (b/b,
MES basis) dan H2O2 50 persen sekitar 1 - 4 persen (b/b, MES basis) pada suhu
95 - 100oC selama 1 - 1,5 jam. Metanol berfungsi untuk mengurangi
pembentukan disalt, mengurangi viskositas, dan mampu meningkatkan transfer
panas pada proses pemucatan. Proses netralisasi dilakukan dengan mencampurkan
bleached MES dengan pelarut NaOH 50 persen pada suhu 55 oC. Selanjutnya
produk MES hasil pemurnian dikeringkan pada suhu 145 oC dan tekanan 120 -
200 Torr agar diperoleh produk berupa pasta, powder atau flakes. Produk MES
yang dihasilkan melalui tahapan ini sesuai untuk kebutuhan industri deterjen yang
memerlukan surfaktan MES dengan warna pucat. Proses pemurnian palm C16-18
kalium metil ester sulfonat (KMES) yang diteliti oleh Sherry et al. (1995)
dilakukan tanpa melalui proses pemucatan. Pemurnian produk dilakukan dengan
21
mencampurkan ester sulfonat dengan 10-15 persen metanol di dalam digester, dan
dilanjutkan dengan proses netralisasi berupa penambahan 50 persen KOH.
2.6. Enhanced Oil Recovery (EOR)
Minyak mentah (petroleum) adalah campuran yang kompleks, terutama
terdiri dari hidrokarbon bersama-sama dengan sejumlah kecil komponen yang
mengandung sulfur, oksigen dan nitrogen serta komponen yang mengandung
logam dalam jumlah sangat kecil. Menurut Said (1998), senyawa hidrokarbon
dapat digolongkan dalam empat jenis, yaitu (a) golongan paraffin (hidrokarbon
jenuh), (b) golongan hidrokarbon tak jenuh, (c) golongan naphtena, dan (d)
golongan aromatik. Golongan paraffin memiliki ikatan atom C yang tunggal,
sehingga membentuk rumus bangun yang mempunyai rantai terbuka, berupa gas,
cair ataupun zat padat tergantung dari jumlah atom C dalam satu molekul, dan jika
berada dalam ruangan yang mengandung udara atau oksigen dan diberi kalor akan
terbakar. Hidrokarbon tak jenuh adalah hidrokarbon yang mempunyai ikatan
rangkap ataupun ikatan tiga yang digunakan untuk mengikat dua atom C yang
berdekatan. Golongan ini dapat dibedakan menjadi tiga deretan, yaitu deretan
olefin, diolefin dan asitilen. Ikatannya sangat reaktif, sehingga jarang terdapat
dalam minyak mentah yang terbentuk di alam, tetapi dapat terbentuk dalam
jumlah besar pada proses cracking dari minyak mentah. Golongan naphtena
termasuk dalam hidrokarbon jenuh tetapi rantai karbonnya merupakan rantai
tertutup, bersifat stabil dan hampir sama dengan paraffin. Golongan aromatik
terdiri dari benzene dan turunannya, bersifat tidak reaktif dan tidak sestabil
golongan paraffin. Pada suhu dan tekanan standar hidrokarbon aromatik berada
dalam bentuk cair atau padat.
Batuan reservoir merupakan batuan berpori dimana dalam pori-pori
batuan tersebut terdapat akumulasi fluida reservoir seperti minyak, air dan gas.
Sekitar 60 % dari reservoir terdiri atas batu pasir dan 30 % terdiri atas batu
gamping dan sisanya batuan lain. Secara umum sifat yang dimiliki batuan
reservoir adalah yang berhubungan dengan sifat statik (porositas dan saturasi) dan
dinamik (permeabilitas). Menurut Lake (1989), porositas didefinisikan sebagai
perbandingan antara volume ruang yang kosong (pori-pori) terhadap volume total
22
(bulk volume) dari suatu batuan. Ruang kosong tersebut dapat merupakan pori-
pori yang saling berhubungan satu sama lain, tetapi dapat pula merupakan rongga-
rongga yang saling terpisah atau tersekat. Porositas memiliki satuan dalam
persen. Klasifikasi porositas reservoir disajikan pada Tabel 5. Permeabilitas
adalah ukuran kemampuan suatu batuan berpori untuk mengalirkan fluida.
Permeabilitas berpengaruh terhadap besarnya kemampuan produksi (laju alir)
pada sumur-sumur penghasilnya. Besaran permeabilitas sangat bergantung dari
hubungan antara pori dalam batuan dengan satuan Darcy atau miliDarcy (mD),
namun harga permeabilitas tidak ada hubungan langsung dengan porositasnya.
Klasifikasi permeabilitas beberapa reservoir disajikan pada Tabel 6.
Tabel 5. Klasifikasi porositas reservoir
Porositas (%) Keterangan 0 – 5 Porositas jelek sekali 5 – 10 Porositas jelek 10 – 15 Porositas sedang 15 – 20 Porositas baik 20 – 25 Porositas baik sekali
Sumber : Koesoemadinata (1978).
Tabel 6. Klasifikasi permeabilitas reservoir
Permeabilitas (mD) Keterangan < 5 Ketat (tight)
5 – 10 Cukup (fair) 10 - 100 Baik (good)
100 – 1000 Baik sekali > 1000 Very good
Sumber : Koesoemadinata (1978).
Operasi perolehan minyak secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian
yaitu primary recovery, secondary recovery dan tertiary recovery. Pada primary
recovery, perolehan minyak diperoleh dengan menggunakan tenaga dorong
alamiah yang diberikan oleh reservoir itu sendiri. Secondary dan tertiary
recovery dilakukan setelah tahap primary recovery mengalami penurunan
produksi. Teknologi ataupun metoda yang digunakan untuk meningkatkan
recovery minyak bumi disebut sebagai improved oil recovery (IOR). Salah satu
23
teknik IOR yang melibatkan penginjeksian material untuk meningkatkan recovery
minyak bumi disebut sebagai enhanced oil recovery (EOR), yang biasanya
menggunakan injeksi gas tercampur, bahan kimia (chemical) ataupun thermal
energy untuk mengubah karakteristik dari suatu reservoir agar minyak yang
diperoleh lebih besar dibandingkan pada tahap sebelumnya (Lake, 1989).
Peningkatan perolehan minyak merupakan suatu teknologi yang
memerlukan biaya dan memiliki resiko yang tinggi. Untuk itu sebelum metode
EOR diterapkan di lapangan maka harus dikaji baik secara teknik maupun
ekonomi. Menurut Lake (1989), untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam
penerapan metode EOR biasanya melalui tiga tahapan penyaringan berikut : (a)
Memilih metode EOR yang tepat, yaitu dengan cara membandingkan karakteristik
reservoir dengan kriteria penyaringan atau screening criteria yang telah dibuat
berdasarkan pengalaman di lapangan dan di laboratorium, (b) Evaluasi reservoir
dengan model sederhana yang menjelaskan proses utama dilengkapi dengan
perkiraan perolehan minyak dan biaya yang dibutuhkan, dan (c) Evaluasi secara
terperinci melalui simulasi reservoir dan percobaan di laboratorium pada contoh
batuan reservoir. Pada Tabel 7 disajikan klasifikasi metode EOR berdasarkan
mekanisme pendesakan. Pada Tabel 8 disajikan klasifikasi metode EOR
berdasarkan jenis fluida yang diinjeksikan.
Tabel 7. Klasifikasi metode EOR berdasarkan mekanisme pendesakan
Current Enhanced Recovery Methods Solvent Extraction and/or Miscible Type Processes Nitrogen and flue gas Hydrocarbon-miscible methods CO2 flooding “Solvent” extraction of mined, oil bearing core IFT Reduction Processes Miscellar/polymer flooding (included in miscible type flooding above) ASP flooding Viscosity Reduction or Viscosity Increase and (or driving fluid) Processes Plus Pressure Steam flooding Fire flooding Polymer flooding Enhanced gravity drainage by gas or steam injection
Sumber : Taber et al. (1997).
24
Tabel 8. Klasifikasi metode EOR berdasarkan fluida injeksi
Current and past EOR Methods Gas and Hydrocarbon Solvent Methods “Inert” gas injection Nitrogen injection Flue-gas injection Hydrocarbon-gas (and liquid) injection High-pressure gas drive Enriched-gas drive Miscible solvent (LPG or propane) flooding Improved Water Flooding Methods Alcohol-miscible solvent flooding Micellar/polymer (surfactant) flooding Alkaline flooding ASP flooding Polymer flooding Gels or water shut off Microbial injection Thermal Methods In-situ combustion Standard forward combustion Wet combustion O2-enriched combustion Reverse combustion Steam and hot water injection Hot-water flooding Steam stimulation Steam flooding Surface mining and extraction
Sumber : Taber et al. (1997).
Dalam kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi, selain minyak yang
diproduksikan terdapat pula gas, baik yang terperangkap secara terpisah dari
minyak maupun gas yang larut di dalam minyak. Selain itu diproduksikan juga
air yang dikenal sebagai air formasi atau brine. Air formasi adalah air yang
terkumpul bersama minyak dan gas di dalam lapisan reservoir, terletak pada
kedalaman lebih dari 1000 meter dan terletak di bawah zona minyak.
Pada awal produksi dari reservoir minyak, volume air formasi yang ikut
terproduksi hanya sedikit dibanding dengan volume minyak yang diperoleh.
Akan tetapi bertambahnya waktu produksi menyebabkan volume minyak di dalam
reservoir tersebut semakin rendah dan volume air formasi menjadi dominan
dibanding jumlah minyak itu sendiri. Kondisi ini diikuti pula oleh penurunan
25
tekanan reservoir sehingga produksi minyak pada sumur tersebut perlu dibantu
dengan teknologi secondary recovery ataupun tertiary recovery. Senyawa
penyusun utama air formasi terdiri dari kation dan anion seperti kalsium,
magnesium, besi, barium, natrium, klorida, karbonat dan bikarbonat, serta sulfat.
Menurut Lake (1989), reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal
kondisi geologis alamnya, kandungan air dalam reservoir, dan sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk merekoveri minyak bumi dalam
jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda terhadap reservoir yang
lain.
Metode EOR telah umum diterapkan di negara lain, namun penerapan di
Indonesia masih terkendala karena ketidaksesuaian antara air formasi dan batuan
formasi dari sumur minyak di Indonesia dengan surfaktan komersial yang berbasis
minyak bumi yang bila digunakan menyebabkan terjadinya penggumpalan dan
menimbulkan gangguan pada sumur produksi. Hal ini menjadi peluang untuk
dikembangkan jenis surfaktan berbasis sawit yang sesuai untuk sumur minyak
bumi di Indonesia.
2.7. Kegunaan Surfaktan dalam Proses EOR
Surfaktan memegang peranan penting di dalam proses Enhanced Oil
Recovery (EOR) dengan cara menurunkan tegangan antarmuka, mengubah
kebasahan (wettability), bersifat sebagai emulsifier, menurunkan viskositas dan
menstabilkan dispersi sehingga akan memudahkan proses pengaliran minyak
bumi dari reservoir untuk di produksi. Minyak yang terjebak di dalam pori-pori
batuan disebut blobs atau ganglia. Untuk mendorong ganglia maka gaya
kapilaritas dalam pori-pori harus diturunkan yakni dengan cara menurunkan nilai
IFT antara minyak sisa dengan brine di dalam reservoir. Surfaktan mampu
menurunkan IFT dan menurunkan saturasi minyak. Surfaktan yang berada di
dalam slug harus dibuat agar membentuk micelle yaitu surfaktan yang aktif dan
mampu mengikat air dan minyak pada konsentrasi tertentu. Jika konsentrasinya
masih kecil, maka campuran surfaktan tersebut masih berupa monomer (belum
aktif). Untuk itu setiap slug perlu diketahui critical micelles concentration (CMC)
yaitu konsentrasi tertentu, sehingga surfaktan yang semula monomer berubah
26
menjadi micelles. Hal yang penting dalam proses penggunaan surfaktan untuk
menghasilkan perolehan (recovery) minyak yang tinggi adalah: (a) memiliki IFT
yang sangat rendah (minimal 10-3 dyne/cm) antara chemical bank dan residual oil
dan antara chemical bank dan drive fluid, (b) memiliki kecocokan/kompatibiliti
dengan air formasi dan kestabilan terhadap temperatur, (c) memiliki mobility
control dan (d) kelayakan ekonomis proses (Pithapurwala et al., 1986).
Proses injeksi surfaktan perlu memperhatikan besar bilangan kapiler
terhadap penurunan saturasi minyak tersisa (Sor). Biasanya reservoir yang
diinjeksi surfaktan memiliki harga saturasi minyak tersisa di bawah 45% dengan
harga bilangan kapiler berkisar 10-4 – 10-2, sehingga pendesakan surfaktan dapat
optimal. Semakin rendah saturasi minyak tersisa pada suatu reservoir, maka
semakin besar bilangan kapiler yang dibutuhkan agar pendesakan surfaktan
optimal (Lake, 1989). Untuk memperbesar bilangan kapiler diperlukan tegangan
antarmuka yang rendah, dengan pendekatan rumus Nc = µv/σ, dimana Nca adalah
bilangan kapiler, µ adalah viskositas fluida pendesak (cP), v adalah laju injeksi
fluida pendesak, dan σ adalah tegangan antarmuka (dyne/cm). Penurunan nilai
tegangan antarmuka dapat dilakukan dengan menambahkan surfaktan. Surfaktan
yang baik adalah mampu menurunkan nilai tegangan antarmuka hingga ultra low
IFT yaitu lebih rendah dari 10-2 dyne/cm, karena pada kondisi tersebut maka
capillary number (Nc) akan semakin tinggi sehingga recovery factor (RF) juga
akan makin meningkat. Grafik hubungan bilangan kapiler terhadap saturasi
minyak tersisa (Sor) disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan bilangan kapiler terhadap Sor (Stegemeier, 1977)
27
Menurut Syahrial (2008), proses screening surfaktan di laboratorium perlu
dilakukan sebelum aplikasi surfaktan dilakukan di lapangan, dengan tujuan untuk
mencari surfaktan yang memiliki kinerja sesuai untuk aplikasi di reservoir yang
diujikan. Beberapa parameter yang diuji pada tahapan proses screening surfaktan
meliputi uji tegangan antarmuka (interfacial tension, IFT), kompatibilitas
(compatibility), kelakuan fasa (phase behavior), ketahanan panas (thermal
stability), laju alir filtrasi (filtration flow test), dan adsorpsi. IFT merupakan
parameter terpenting untuk chemical EOR ((Nedjhioui et al., 2005). Uji
kompatibilitas dilakukan bertujuan untuk mengetahui kecocokan antara larutan
surfaktan dengan air formasi dari reservoir yang diujikan. Uji dilakukan dengan
mencampurkan larutan surfaktan pada air formasi pada perbandingan tertentu
kemudian dipanaskan pada suhu reservoar selama waktu tertentu. Makin
kompatibel larutan surfaktan yang diujikan maka surfaktan makin efektif dalam
menurunkan tegangan antarmuka.
Kelakuan fasa menunjukkan pola kesetimbangan fasa dalam menentukan
konsentrasi dan formula sistem surfaktan/air/minyak, yang diidentifikasi
menggunakan ternary diagram. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah
terbentuk fasa atas, fasa tengah dan fasa bawah. Menurut Purnomo dan Makmur
(2009), sebelum dilakukan peningkatan perolehan minyak (EOR) secara metode
injeksi, sangat penting terlebih dahulu dilakukan uji kelakuan fasa dari campuran
minyak-surfaktan-cosurfaktan-air. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
fasa dari fasa bawah ke fasa tengah dan kemudian ke fasa atas dalam sistem
minyak/surfaktan/co-surfaktan/air injeksi adalah sebagai berikut : meningkatnya
salinitas, berkurangnya panjang rantai hidrokarbon (minyak), meningkatnya
konsentrasi alkohol (C4, C5, C6), turunnya suhu, bertambahnya konsentrasi
surfaktan, meningkatnya perbandingan brine/minyak, dan meningkatnya
perbandingan larutan surfaktan/minyak. Surfaktan yang diinginkan untuk injeksi
adalah memiliki fasa bawah atau fasa tengah.
Menurut Healy dan Reed (1974), konsentrasi NaCl sangat berpengaruh
terhadap tegangan antarmuka, sebagai berikut : (a) pada konsentrasi NaCl yang
rendah akan membentuk fasa bawah dimana mikroemulsi cenderung berbaur
dengan air formasi. Surfaktan/brine/oil membentuk dua fasa, dengan kelarutan air
28
formasi dan minyak adalah Vw/Vs > Vo/Vs, dan disebut type II-, (b) Fasa tengah
merupakan fasa yang ideal dimana dalam fasa ini akan memberikan nilai tegangan
antarmuka yang paling rendah, dengan surfaktan/brine/oil membentuk tiga fasa
yaitu mikroemulsi, air formasi dan minyak. Pada kondisi ini kelarutan air formasi
dan minyak adalah Vw/Vs = Vo/Vs, dan disebut type III, dan (c) pada konsentrasi
NaCl yang tinggi membentuk fasa atas dimana mikroemulsi cenderung berbaur
dengan minyak. Surfaktan/brine/oil membentuk dua fasa dengan kelarutan air
formasi dan minyak adalah Vw/Vs < Vo/Vs, dan disebut type II+. Peningkatan
konsentrasi NaCl dapat menurunkan tegangan antarmuka mikroemulsi-minyak,
sementara tegangan antarmuka mikroemulsi-air akan naik. Pada kondisi salinitas
optimum akan diperoleh nilai tegangan antarmuka yang paling rendah. Perubahan
kelakuan fasa dengan terjadinya perubahan salinitas disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Perubahan kelakuan fasa akibat perubahan salinitas (Sheng, 2011)
Uji ketahanan panas dilakukan untuk mengetahui pengaruh panas (suhu
reservoir) terhadap kinerja surfaktan. Pengujian ketahanan panas simultan
dengan uji tegangan antarmuka, dimana diharapkan hingga pemanasan selama
periode waktu tertentu nilai IFT larutan surfaktan tetap stabil atau menurun dan
tidak mengalami peningkatan. Uji filtrasi bertujuan untuk menentukan
kemungkinan presipitasi oleh larutan surfaktan yang dikhawatirkan dapat
Salinitas rendah Salinitas sedang Salinitas tinggi
29
menyumbat pori-pori reservoir. Uji adsorpsi dilakukan untuk menentukan jumlah
surfaktan yang hilang selama larutan surfaktan dialirkan ke batuan core.
Surfaktan yang umum dipakai dalam proses EOR adalah sodium sulfonat yang
ionik bermuatan negatif.
Larutan surfaktan yang biasa digunakan di lapangan untuk pendesakan
minyak sisa hasil pendorongan air, terdiri dari komponen surfaktan, air, minyak
dan alkohol sebagai co-surfaktan. Perawatan sumur dengan surfaktan biasanya
kombinasi dari surfaktan anionik dan nonionik. Surfaktan anionik dan kationik
seharusnya tidak digunakan bersama sebab kombinasi keduanya dapat
menghasilkan endapan. Surfaktan dapat terserap oleh padatan untuk
menggantikan surfaktan yang terserap sebelumnya, dan memberikan padatan sifat
kebasahan. Surfaktan nonionik lebih serba guna dari semua surfaktan yang
digunakan pada stimulasi sumur sebab molekulnya yang tidak terionisasi atau
tidak terurai. Umumnya surfaktan nonionik adalah ethylene oxide atau campuran
propylene oxide. Karena larut dalam air, nonionik berhubungan dengan ikatan
hidrogen atau air pengikat oksigen. Pengikat ini menurunkan temperatur dan
konsentrasi garam. Molekul surfaktan amfoter mengandung asam dan basa.
Dalam pH asam, bagian molekul basa terionisasi dan memberikan aktivitas
permukaan untuk molekul. Pada pH basa, bagian molekul asam dinetralkan dan
biasanya kurang mempunyai aktivitas permukaan daripada pH basa. Surfaktan
amfoter memiliki kegunaan yang terbatas tetapi dapat digunakan sebagai
corrosion inhibitor (Lake, 1989).
Beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas surfaktan adalah sebagai
berikut (Lake, 1989) :
1. Adsorpsi
Adsorpsi surfaktan pada batuan reservoir merupakan parameter yang
harus dipertimbangkan dalam injeksi surfaktan. Hal ini merupakan masalah
yang serius yang akan mengakibatkan berkurangnya slug surfaktan pada saat
injeksi surfaktan berlangsung. Penyerapan surfaktan pada batuan reservoir
sangat tinggi bila berat ekivalen surfaktan tinggi. Sebaliknya, bila berat
ekivalen surfaktan rendah, penyerapan surfaktan pada batuan reservoir akan
rendah juga. Hal ini yang menyebabkan terjadinya pemisahan surfaktan
30
karena semakin jauh dari titik injeksi maka berat ekivalen surfaktan akan
semakin kecil dan fungsi zat aktif permukaan akan semakin berkurang. Berat
ekivalen surfaktan yang tinggi sangat mempengaruhi penurunan dari tegangan
antarmuka sehingga penurunan berat ekivalen surfaktan secara bertahap akan
menurunkan kemampuan slug surfaktan untuk mendorong minyak yang
tersisa di batuan reservoir.
2. Konsentrasi Slug Surfaktan
Konsentrasi slug surfaktan mempunyai pengaruh besar terhadap
terjadinya adsorpsi oleh batuan reservoir pada operasi pendesakan surfaktan.
Agar batuan reservoir tidak dapat lagi mengadsorpsi surfaktan maka adsorpsi
surfaktan harus diperbesar dengan cara meningkatkan konsentrasi surfaktan.
Semakin tinggi konsentrasi surfaktan, adsorpsi yang terjadi akan semakin
besar dan penurunan tegangan antarmuka minyak-air terus berlangsung
sampai batuan reservoir mencapai titik jenuh. Surfaktan dengan konsentrasi
tinggi dapat lebih cepat meningkatkan perolehan minyak dibandingkan dengan
surfaktan dengan konsentrasi rendah.
3. Kandungan Lempung
Mineral lempung adalah mineral yang sangat suka dengan air
(hidrofilik), namun mineral ini tidak mempunyai kemampuan untuk
mengalirkan air yang diserapnya, atau dapat dikatakan bahwa mineral
lempung mempunyai permeabilitas yang sangat kecil. Pada injeksi surfaktan,
kandungan mineral lempung dalam reservoir harus diperhatikan. Karena
sifatnya yang suka dengan air maka mineral lempung dapat menyerap atau
mengadsorpsi surfaktan besar sekali, sehingga dapat menyebabkan penurunan
perolehan minyak. Untuk reservoir yang mempunyai salinitas rendah, maka
pengaruh lempung ini sangat dominan.
4. Salinitas Air Formasi
Salinitas air formasi juga berpengaruh terhadap penurunan tegangan
antarmuka minyak-air oleh surfaktan. Untuk konsentrasi garam tertentu,
31
seperti NaCl akan menyebabkan penurunan tegangan antarmuka minyak-air
sehingga tidak efektif lagi. Hal ini disebabkan oleh ikatan kimia yang
membentuk NaCl adalah ikatan ion yang mudah terurai menjadi ion Na+ dan
Cl- begitu juga dengan molekul-molekul surfaktan di dalam air akan mudah
terurai menjadi ion RSO3- dan H+. Alkali merupakan salah satu chemical
penting dalam proses EOR, khususnya untuk aplikasi alkaline flooding, yang
ditambahkan ke air pada proses water flooding untuk memisahkan minyak
dari pori-pori batuan reservoir dan memobilisasi globula yang terperangkap
dalam pori-pori. Jenis dan konsentrasi yang digunakan bermacam-macam,
seperti KOH, NaOH 0 - 1,6 % (w/w) (Nedjhioui et al., 2005), dan Na2CO3
0 - 0,6 % (Carrero et al., 2006).
Kandungan minyak awal merupakan indikator kuantitas yang baik dari
reservoir untuk menentukan kandungan sisa minyak. Untuk implementasi di
lapangan, kandungan minyak awal tidak boleh kurang dari 20% PV sampai
30% PV. Adapun kondisi yang kurang baik untuk dilakukannya injeksi
surfaktan yaitu pada kondisi reservoir yang sangat heterogen, reservoir yang
berlapis-lapis, adanya mineral lempung montmorillonite, terdapat patahan atau
rekahan, permeabilitas dan porositas yang kecil, adanya ion bervalensi dua
dengan konsentrasi yang tinggi dan reservoir yang terlalu dalam. Bansal dan
Shah (1978) telah meneliti pengaruh pemanfaatan surfaktan ethoxylated
sulfonate sebagai co-surfaktan dan alkohol sebagai pelarut terhadap toleransi
garam dan salinitas optimal dari formulasi surfaktan petroleum sulfonat untuk
EOR. Pada salinitas optimal dengan penambahan NaCl sebesar 32%,
formulasi surfaktan yang dihasilkan memberikan kisaran nilai IFT sangat
rendah (ultra-low interfacial tension) berkisar 10-2 - 10-3 dyne/cm.
Untuk stimulasi sumur minyak bumi telah dimanfaatkan surfaktan
fosfat ester dengan nomor US Patent 4541483. Fosfat ester atau Alkyland
aralkyl polyoxyalkylene phosphate dapat diinjeksikan ke sumur minyak bumi
baik sebagai pelarut yang bersifat dapat larut pada air (water soluble) maupun
minyak (oil soluble), dan dikenal sebagai surfaktan untuk aplikasi water-flood
secondary recovery processes. Meskipun hingga saat ini surfaktan MES yang
ada peruntukannya masih terbatas pada formulasi produk deterjen dan bahan
32
pembersih, namun peluang untuk memanfaatkan surfaktan MES pada aplikasi
EOR cukup besar melihat dari hasil penelitian Hambali et al. (2008) dan
Hambali et al. (2009). Hambali et al. (2008) telah mengembangkan formula
oil well stimulation agent dengan menggunakan surfaktan MES yang terbuat
dari metil ester C12 dari PKO dengan menggunakan reaktan NaHSO3. Formula
tersebut terdiri atas 70% MES (bahan dasar minyak sawit), 20% pelarut, 7%
surfaktan nonionik dan 3% co-solvent. Hasil pengujian pada konsentrasi
stimulation agent 0,5% dan 1% dengan tingkat salinitas 10.000, 20.000 dan
30.000 ppm, menunjukkan bahwa IFT minyak-air mencapai 10-3dyne/cm.
Total recovery minyak bumi menggunakan core standar (core sintetik) pada
skala laboratorium memperlihatkan bahwa pada konsentrasi stimulation agent
0,5% berkisar 88 - 94%. Hambali et al. (2009) memanfaatkan surfaktan MES
untuk aplikasi huff and puff pada batuan pasir skala laboratorium, dimana
diperoleh formula dengan tegangan antarmuka berkisar 10-2 - 10-3 dyne/cm
pada salinitas optimal 10.000 ppm.