Post on 19-Jan-2021
i
PERAN PEMERINTAH DESA
DALAM PENGEMBANGAN DESA WISATA SADE
(Studi pada Pemerintah Desa Rembitan Kabupaten Lombok Tengah)
SKRIPSI
Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana
Pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
LALU DWARNO DIMAHANDI
105030103111013
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
MALANG
2017
ii
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Biodata Mahasiswa
Nama : Lalu Dwarno Dimahandi
NIM : 105030103111013
Jurusan : Administrasi Publik
Fakultas : Ilmu Administrasi
Tempat/Tanggal Lahir : Mataram, 01 November 1991
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Muncan I, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah.
No Telepon : -
No Ponsel : 083834604765
E-mail : lalu.nano7@gmail.com
Pendidikan
1. 1998 - 2004 SDN Montong Batu
2. 2004 - 2007 SMPN 5 Kopang
3. 2007 - 2010 SMAN 5 Mataram
4. 2010 - 2017 Universitas Brawijaya Malang
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS selaku dekan Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya
2. Bapak Dr. Alfi Haris Wanto,M.AP,MMG selaku Ketua Komisi
Pembimbing yang dengan ikhlas memberikan motivasi dan
membimbing dengan sangat telaten dan penuh kesabaran.
3. Bapak Nurjati Widodo S.AP,MAP selaku Anggota Komisi Pembimbing
yang memberikan motivasi dan membimbing yang tidak pernah bosan.
4. Bapak/Ibu Dosen yang telah memberikan pengetahuan selama masa
perkuliahan, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Arifin Tomi selaku Kepala Desa Rembitan, serta seluruh staff
kantor Desa Rembitan Kabupaten Lombok Tengah yang membantu
dalam perolehan data dan mengijinkan penulis melakukan penelitian
ini.
6. Bapak Kurdap Selake, S.Pd selaku Kepala Dusun Sade dan Inaq yang
bersedia untuk menjadi narasumber selama saya melakukan penelitian
di Dusun Sade.
7. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah
banyak membantu sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.
vii
ABSTRAK
Lalu Dwarno Dimahandi, 2016, Peran Pemerintah Desa Dalam
Pengembangan Desa Wisata Sade (Studi pada Pemerintah Desa Rembitan
Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah) Dr. Alfi Haris Wanto,M.AP,MMG,
Nurjati Widodo S.AP,MAP, 101 hal + xii
Desa memiliki kewenangan untuk mengatur desanya secara mandiri
termasuk bidang sosial, politik dan ekonomi. Bagi desa, otonomi yang dimiliki
berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah
kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan
asal-usul dan adat istiadatnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mendiskripsikan dan
menganalisis bagaimana peran pemerintah desa dalam pengembangan desa wisata
sade di desa rembitan Kabupaten Lombok Tengah. Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang
menggunakan metode analisis Milles dan Huberman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa Pemerintah
Desa memiliki peran yang cukup baik sebagai motivator, fasilitator, dan
dinamisator. Sebagai motivator, Pemerintah Desa berperan cukup baik dalam
memberikan motivasi atau dorongan kepada warga desa untuk ikut dalam
kegiatan pengembangan Desa Wisata Sade melalui kegiatan pengarahan dan
pembinaan yang dibantu oleh bawahannya. Sebagai fasilitator, Pemerintah Desa
berperan cukup baik dalam memfasilitasi semua pihak dalam kegiatan gotong-
royong memperbaiki infrastruktur jalan desa untuk kepentingan para wisatawan
yang datang berkunjung ke Desa Wisata Sade. Sebagai dinamisator, Pemerintah
Desa berperan cukup baik dalam mengajak masyarakat dan semua pihak yang
terkait untuk berpartisipasi, bekerjasama, dan bersinergi dalam pengembangan
Desa Wisata Sade
Kata Kunci : Peran Pemerintah Desa, Pengembangan Desa Wisata
viii
ABSTRACT
Lalu Dwarno Dimahandi, 2016, The Role Of Village Government In
The Development Of The Tourist Village Of Sade (Study on Village
Government Rembitan Village Sade Sub District Central Lombok ) Dr. Alfi
Haris Wanto,M.AP,MMG, Nurjati Widodo S.AP,MAP, Page 101 + xii
The village has the authority to regulate the village independently
including social, political and economic. For the village, which belonged to
different autonomous with the autonomy that is owned by the province or area of
the regional district and city areas. It is owned by the village autonomy is based
on its origin and customs and traditions.
This research aims to know, describe and analyze The Role Of Village
Government In The Development Of The Tourist Village Of Sade. The research
method used is descriptive research with qualitative approach, which uses
analytical methods Milles and Huberman.
The results showed that a Government indicated that the village has quite a
good role as a motivator, facilitator, and dinamisator. As a motivator, the village
Government was instrumental in delivering good enough motivation or
encouragement to villagers to participate in the activities of the development of
Village Tourism Sade through the briefing and coaching that is aided by his
subordinates. As a facilitator, the Government of the village plays pretty well in
facilitating all parties in royong improve road infrastructure of villages for the
benefit of the tourists who come to visit the tourist village of Sade. As
dinamisator, the village Government plays quite well in society and invites all
stakeholders to participate, cooperate, and work together in the development of
the tourist village of Sade
Keywords : The Role Of Village Government, The Development Of The
Tourist Village Sade
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Peran Pemerintah Desa Dalam Pengembangan Desa
Wisata Sade (Studi pada Pemerintah Desa Rembitan Dusun Sade Kabupaten
Lombok Tengah)”.
Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat
dalam memproleh gelar sarjana Ilmu Administrasi Publik pada Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya Malang.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud
tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang
terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS selaku dekan Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya
2. Bapak Dr. Alfi Haris Wanto,M.AP,MMG selaku Ketua Komisi
Pembimbing yang dengan ikhlas memberikan motivasi dan
membimbing dengan sangat telaten dan penuh kesabaran.
3. Bapak Nurjati Widodo S.AP,MAP selaku Anggota Komisi Pembimbing
yang memberikan motivasi dan membimbing yang tidak pernah bosan.
4. Bapak/Ibu Dosen yang telah memberikan pengetahuan selama masa
perkuliahan, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
x
5. Bapak Arifin Tomi selaku Kepala Desa Rembitan, serta seluruh staff
kantor Desa Rembitan Kabupaten Lombok Tengah yang membantu
dalam perolehan data dan mengijinkan penulis melakukan penelitian
ini.
6. Bapak Kurdap Selake, S.Pd selaku Kepala Dusun Sade dan Inaq yang
bersedia untuk menjadi narasumber selama saya melakukan penelitian
di Dusun Sade.
7. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah
banyak membantu sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.
Demi kesempurnaan skripsi ini, saran dan kritik yang sifatnya membangun
sangat penulis harapkan. Semoga karya skripsi ini bermanfaat dan dapat
memberikan sumbangan yang berarti bagi pihak yang membutuhkan.
Malang, 14 Juni 2017
Penulis
xi
DAFTAR ISI
MOTTO ..................................................................................................... i
TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI ....................................................... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI .......................................... iii
RINGKASAN ............................................................................................ iv
SUMMARY ............................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 9
D. Kontribusi Penelitian .................................................................... 9
E. Sistematika Pembahasan ............................................................... 10
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Penelitian Terdahulu ..................................................................... 12
B. Administrasi Publik ...................................................................... 15
C. Administrasi Pembangunan .......................................................... 17
D. Pemerintahan Desa........................................................................ 20
E. Konsep Peran ................................................................................ 26
F. Konsep Pariwisata ......................................................................... 31
G. Konsep Pembangunan Wisata Berkelanjutan ............................... 33
H. Konsep Desa Wisata ..................................................................... 35
xii
BAB III Metode Penelitian
A. Jenis Penelitian.............................................................................. 40
B. Fokus Penelitian ............................................................................ 42
C. Lokasi dan Situs Penelitian ........................................................... 43
D. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 44
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 46
F. Instrumen Penelitian ..................................................................... 49
G. Analisa Data .................................................................................. 50
BAB IV Hasil Penelitian
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................. 53
1. Lokasi dan Lingkungan Alam .................................................. 53
2. Keadaan Penduduk ................................................................... 56
3. Gambaran Umum Penduduk Dusun Sade ................................ 56
B. Penyajian Data Fokus Penelitian .................................................. 61
1. Peran Pemerintah Desa Dalam
Pengembangan Desa Wisata Sade............................................ 61
a. Peran Sebagai Motivator ..................................................... 62
b. Peran Sebagai Fasilitator ..................................................... 70
c. Peran Sebagai Dinamisator .................................................. 73
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Peran Pemerintah Desa
Dalam Pengembangan Desa Wisata Sade ................................ 77
a. Faktor Pendukung ................................................................ 77
b. Faktor Penghambat .............................................................. 80
C. Analisis Data dan Pembahasan ..................................................... 81
1. Peran Pemerintah Desa Dalam
Pengembangan Desa Wisata Sade............................................ 81
a. Peran Sebagai Motivator ..................................................... 81
b. Peran Sebagai Fasilitator ..................................................... 84
c. Peran Sebagai Dinamisator .................................................. 86
xiii
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Peran Pemerintah Desa
Dalam Pengembangan Desa Wisata Sade ................................ 89
a. Faktor Pendukung ................................................................ 89
b. Faktor Penghambat .............................................................. 93
BAB V Penutup
A. Kesimpulan ................................................................................... 96
B. Saran ............................................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 99
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Klasifikasi Objek Wisata di Kabupaten Lombok Tengah ... 4
Tabel 2 Perbedaan Administrasi Publik dan Administrasi
Pembangunan ...................................................................... 19
Tabel 3 Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Rembitan........... 63
Tabel 4 Jumlah Keluarga Pra Sejahtera di Desa Rembitan
Tahun 2012-2015................................................................. 65
Tabel 5 Realisasi Penyaluran Dana Sapras dari Dana PNPM Mandiri
Pedesaan di Desa Rembitan Tahun 2012-2015 ................... 66
Tabel 6 Sarana Perekonomian di Desa Rembitan Tahun 2012-2015 68
Tabel 7 Jumlah Usaha Industri di Desa Rembitan Tahun 2012-2015 68
Tabel 8 Panjang Jalan Menurut Jenis di Desa
Rembitan Tahun 2012-2015 ................................................ 73
Tabel 9 Kunjungan Wisatawan Asing dan Domestik
di Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2012-2015............... 75
Tabel 10 PDRB Perkapita Kabupaten Lombok Tengah Menurut
Lapangan UsahaTerkait Desa Wisata SadeTahun 2012-2015 76
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Angka Kunjungan Wisatan Kabupaten Lombok Tengah
Tahun 2005-2013................................................................. 3
Gambar 2 Analisis Data Model Interaktif ............................................ 54
Gambar 3 Papan “Selamat Datang” di Dusun Sade Desa Rembitan ... 56
Gambar 4 Beragam Cinderamata yang Dijual Penduduk Dusun Sade 61
Gambar 5 Kain Tenun Songket Khas Sasak di Dusun Sade ................ 70
Gambar 6 Fasilitas Parkir di Desa Wisata Sade ................................... 71
Gambar 7 Perbaikan Toilet Umum di Desa Wisata Sade .................... 72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lombok merupakan salah satu pulau di Indonesia yang menjadi
destinasi wisata. Daya tarik wisata yang dimiliki merupakan daya tarik wisata
alam dan budaya. Kondisi daya tarik wisata alam terdiri dari panorama alam,
hutan lindung dan hutan kemasyarakatan, gunung dan bukit, sungai, lembah,
pantai yang memiliki pasir putih, persawahan yang hijau, dan
keanekaragaman potensi bahari. Pariwisata budaya mengalami perkembangan
yang positif. Keselarasan antara budaya masyarakat sasak dengan budaya
masyarakat Hindu terjalin dengan baik, sehingga menambah daya tarik wisata
di Pulau Lombok dan menarik wisatawan ke Pulau Lombok (Jumail, 2011:8).
Lombok Tengah merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak
potensi pariwisata baik potensi alam dan budaya. Pengembangan pariwisata
Lombok Tengah bersifat tradisional. Konsep pengembangan yang dilakukan
tidak melihat pengaruh di masa yang akan datang. Banyak hotel dan restoran
yang dibangun di kawasan hijau. Pembangunan daya tarik wisata di Lombok
Tengah belum bertumpu pada konsep-konsep pengembangan pariwisata
berkelanjutan. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan penanggung
jawab pembangunan pariwisata memberikan izin kepada para investor asing
sehingga pariwisata Lombok Tengah dikuasai oleh investor asing (Irianto,
2011:189).
2
Sejalan dengan dinamika, gerak perkembangan pariwisata merambah
dalam berbagai terminologi seperti, sustainable tourism development, rural
tourism, ecotourism, merupakan pendekatan pengembangan kepariwisataan
yang berupaya untuk menjamin agar wisata dapat dilaksanakan di daerah
tujuan wisata bukan perkotaan. Salah satu pendekatan pengembangan wisata
alternatif adalah desa wisata untuk pembangunan pedesaan yang
berkelanjutan dalam bidang pariwisata (Suwena, 2010:34). Desa wisata
adalah sebuah kawasan pedesaan yang memiliki beberapa karakteristik
khusus untuk menjadi daerah tujuan wisata. Di kawasan ini, penduduknya
masih memiliki tradisi dan budaya yang relatif masih asli. Selain itu,
beberapa faktor pendukung seperti makanan khas, sistem pertanian dan
sistem sosial turut mewarnai sebuah kawasan desa wisata. Di luar faktor-
faktor tersebut, alam dan lingkungan yang masih asli dan terjaga merupakan
salah satu faktor terpenting dari sebuah kawasan tujuan wisata.
Data menunjukkan dari tahun 2005 hingga tahun 2013, tercatat
setidaknya 437.838 wisatawan domestik dan 531.830 wisatwan mancanegara
yang telah mengunjungi berbagai objek wisata yang terdapat di Kabupaten
Lombok Tengah. Selain itu, sebaran data yang disajikan pada diagram di
bawah memperlihatkan bahwa lonjakan tertinggi kedatangan wisatawan
terjadi pada tahun 2012 sejumlah 218.991 wisatawan domestik, naik hingga
lima kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal sama yang juga terjadi
pada wisatawan mancanegara dengan kunjungan sejumlah 121.482
wisatawan mancanegara, meningkat hingga tiga kali lipat dibandingkan tahun
3
sebelumnya. Gambaran lebih lengkap terkait jumlah kunjungan wisatawan
tersebut akan disajikan pada gambar 1.1 di bawah ini:
Gambar 1.1: Angka Kunjungan Wisatawan Kabupaten Lombok Tengah
Tahun 2005-2013
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Domestik 8,807 9,769 11,594 11,968 17,021 13,126 17,289 218,991 223,265
Asing 22,564 25,143 29,372 30,324 33,007 37,140 49,509 121,482 125,307
0
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
400,000
Ju
mla
h W
ssata
wan
Sumber: Berdasarkan Buku Lombok Tengah Dalam Angka Tahun 2011, 2013, dan 2014.
Dengan berbagai perkembangan yang telah dicapai, masih terdapat
sebuah masalah yang belum banyak disadari terutama oleh pemerintah daerah
sebagai pemegang otoritas pengelolaan sektor pariwisata. Meskipun telah
melakukan klasifikasi terhadap beberapa sektor pariwisata, namun luasnya
cakupan sektor pariwisata di Kabupaten Lombok Tengah menyebabkan
perhatian pemerintah menjadi terpecah. Pemerintah Kabupaten Lombok
Tengah setidaknya membagi sektor wisata menjadi tujuh objek utama, yang
selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 1.1. Di satu sisi pemerintah memberikan
perhatian sangat besar bagi beberapa sektor pariwisata (wisata bahari
khususnya), dengan mengeluarkan berbagai bentuk kebijakan. Namun di sisi
lain pemerintah juga seakan luput dalam memberikan perhatiannya pada
sektor wisata lain yang jika diukur berdasarkan potensinya tak kalah dengan
wisata bahari. Hasilnya muncul ketimpangan yang berdampak pada tidak
“ter-ekspose-nya” potensi sektor wisata lain.
4
Tabel 1.1: Klasifikasi Objek Wisata di Kabupaten Lombok Tengah
No. Objek Wisata Jenis Lokasi
1. Wisata Bahari Pantai Awang, Bumbang, Gerupuk,
Kawasan Pantai Putri
Mandalika, Are Guling, Mawun,
Tampah, Rowok & Semeti, Selong
Blanak, Mawi, Tomang-Omang,
Serangan, Torok Aik Belik,
Pengantap Timur.
Serenting
Kuta
Kecamatan Pujut
Kecamatan Praya
Barat
Kecamatan Praya
Barat Daya
2. Wisata Alam Pemandian dan pemandangan alam,
air terjun, dan treking
Aik Bukak, Aik
Berik, Kec.
Batukliang
Bumbang Kecamatan
Pujut
3. Wisata Budaya Bau Nyale Kuta
Nyongkolan Semua kecamatan
Nede, Ngerantok Praya Timur, Janapria
Perang Timbun Serewe Pejanggik
Dusun tradisional Sade
Praje/ Jaran Kamput Semua kecamatan
4. Wisata Seni Oncer Teruwai Pujut
Rudat Perina jonggat
Tawaq-Tawaq Batukliang
Gendang Beleq Semua kecamatan
Wayang Kulit Janapria, Prabarda,
Praya Timur, BKU
Amaq Abir Praya Timur
Gandrung Marong, Praya Timur
Bagu Pringarata
Cilokaq Semua kecamatan
Kasidah Semua kecamatan
Pepaosan Pujut, Jonggat, Prabar
Teater Matahari Kopang
Perisaian Semua Kecamatan
5. Wisata Religi Makam ketaq, makam nyatoq,
makam serewe, makam biletawah,
masjid kuno rembitan, masjid
gunung pujut
Kopang, Praya
Tengah, Janapria,
Pujut
6. Wisata IPTEK Batu Rijang Praya Barat
7. Wisata Industri Tenun Tradisional Sukarara, Jonggat
Sade Pujut
Pejanggik Praya
Kerajinan Rotan Beleka, Praya Timur
Kerajinan Bambu Janapria, Praya Timur
Gerabah Penujan, Praya Barat
Sumber: Lombok Tengah Dalam Angka tahun 2014
Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah Pasal 371 disebutkan bahwa dalam daerah kabupaten/kota dapat
dibentuk desa dan desa mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan
5
peraturan perundang-undangan mengenai desa. Kewenangan desa
berdasarkan Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa Pasal 19 yaitu
meliputi: kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala
desa, kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemprov, atau Pemda,
dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemprov, atau Pemda
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan
dikembangkannya pembangunan desa wisata akan terjadi arus urbanisasi ke
ruralisasi (orang-orang kota senang akan pergi ke desa untuk berekreasi).
Sekarang pintu telah terbuka bagi daerah untuk berkreasi dan berinovasi
membangun daerahnya sendiri. Daerah dapat membuka investasi dan
melakukan promosi terhadap daerah lain, dimana industrialisasi pariwisata
menjadi sebuah kemestian. Industrialisasi tidaklah selamanya berarti
modernisasi, karena pariwisata mempunyai kekhasan berupa penekanan
penonjolan orisinalitas potensi wisata sebagai daya tarik yang tidak dapat
dijumpai di daerah lain. Luasnya skala pengaruh sektor pariwisata
memerlukan strategi yang mantap dalam pengelolaannya, seperti penyediaan
fasilitas pelayanan dan penanganan komprehensif yang melibatkan seluruh
elemen pemerintahan dan masyarakat (Syari, 2014:1).
Dalam pengembangan pariwisata, khususnya desa wisata dibutuhkan
peran serta masyarakat dan pemerintah daerah, khususnya pemerintah desa di
desa wisata tersebut. Terkait dengan peran serta masyarakat dalam
pengembangan desa wisata telah diteliti oleh Amrulloh (2014) menunjukkan
bahwa pesatnya perkembangan Dusun Sade sehingga menjadi destinasi
wisata utama di Kabupaten Lombok Tengah tidak lepas dari peran aktif
6
masyarakat desa. Dusun Sade mengembangkan metode pariwisata berbasis
masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki oleh desa
tersebut. Berbeda halnya dengan kawasan wisata lain, masyarakat Dusun
Sade tidak menggantungkan dirinya pada pemerintah daerah baik untuk
promosi maupun pengelolaan desa wisata. Hasil penelitian ini
mengindikasikan bahwa peran pemerintah daerah sangat kurang sehingga
masyarakat Sade mengembangkan Dusun Sade secara mandiri sebagai desa
wisata. Kelemahan penelitian tersebut adalah hanya meneliti peran
masyarakat di Dusun Sade tanpa meneliti peran dari pemerintah daerah
setempat. Oleh karenanya maka penelitian ini justru meneliti peran
pemerintah daerah sebagai suatu penelitian yang menindaklanjuti penelitian
Amrulloh (2014), khususnya peran dari pemerintah Desa Rembitan Dusun
Sade.
Dusun Sade adalah salah satu dusun dengan berbagai macam potensi
yang dimiliki dan menjadi satu-satunya destinasi desa wisata. Dusun yang
telah didatangi oleh wisatawan sejak tahun 1975, jauh sebelum Pulau
Lombok menjadi destinasi wisata popular di tengah wisatawan. Bahkan
dengan berbagai potensi dan keunikannya, pemerintah provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB) memberikan pengakuan dan menetapkan Dusun Sade
menjadi desa wisata pada tahun 1989 melalui SK Gubernur NTB No. 2 Tahun
1989 dan Perda NTB No. 7/2013 Tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah 2013-2028. Hal tersebut didasarkan atas kriteria yang
telah dipenuhi oleh Dusun Sade sebagai desa wisata mulai dari keberadaan
7
atraksi wisata, aksesibilitas, sistem kepercayaan dan kemasyarakatan,
ketersediaan infrastruktur, dan dukungan dari masyarakat desa (Menlh, 2014).
Berbanding halnya dengan pemerintah provinsi, pemerintah Kabupaten
Lombok Tengah menunjukkan sikap sebaliknya. Pemerintah kabupaten
sangat minim memberikan perhatian terhadap keberadaan Dusun Sade,
terutama dalam bentuk program maupun draf kebijakan yang secara spesifik
menjadi upaya pemerintah dalam mempromosikan maupun mendukung
keberadaan Dusun Sade sebagai desa wisata. Hal tersebut sesuai hasil
wawancara awal peneliti dengan Ferdian selaku perangkat pemerintah daerah
(Bappeda Lombok Tengah) pada tanggal 15 Maret 2015 yang membenarkan
bahwa masih jarang program maupun kebijakan khusus yang dicanangkan
oleh pemerintah terkait kepariwisataan dalam bentuk desa wisata. Pemerintah
daerah (baik provinsi atau kabupaten) hanya memfokuskan orientasi promosi
pariwisata pada sektor-sektor wisata berbasis bahari dan alam terutama wisata
pantai. Sementara itu, Dusun Sade menjadi objek desa wisata paling populer
di Pulau Lombok. Data menunjukkan, rata-rata dalam setiap harinya Dusun
Sade dikunjungi oleh tak lebih dari 100 orang wisatawan dan meningkat
signifikan hingga dua kali lipat pada hari libur (Menlh, 2014).
Seluruh capaian Dusun Sade pada akhirnya telah berhasil menarik
minat pemerintah daerah Kabupaten Lombok Tengah. Setelah cukup lama
tidak memberikan perhatian serius, pemerintah pada akhirnya mulai
menempatkan Dusun Sade pada skala prioritas pembahasan kebijakan.
Beberapa instansi terkait terutama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hingga
Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) telah melakukan serangkaian upaya
8
mendorong munculnya kebijakan spesifik yang akan membantu kemajuan
pariwisata di Dusun Sade.
Pada penelitian ini akan muncul sebuah analisis menarik yang bekerja
pada dua tingkatan berbeda. Di satu sisi analisis akan memperlihatkan jalan
panjang yang ditempuh masyarakat Dusun Sade secara mandiri hingga
mampu mengembangkan daerahnya menjadi desa wisata dengan berbagai
kekurangan dan kendala yang dihadapi. Di sisi lain analisis akan
memperlihatkan bagaimana pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas
memberikan dukungan terhadap Dusun Sade di tengah terbatasnya kebijakan
spesifik terkait desa wisata. Dua tingkat analisis tersebut sekaligus digunakan
sebagai jawaban atas dua rumusan masalah utama yang diajukan pada
penyusunan proposal penelitian ini dengan judul “Peran Pemerintah Desa
Dalam Pengembangan Desa Wisata Sade (Studi pada Pemerintah Desa
Rembitan Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada di latar belakang di atas, maka yang akan
menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah peran Pemerintah Desa dalam pengembangan Desa Wisata
Sade?
2. Faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat peran
Pemerintah Desa dalam pengembangan Desa Wisata Sade?
9
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka pemelitian ini
mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan peran Pemerintah Desa dalam
pengembangan Desa Wisata Sade.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan faktor-faktor pendukung dan
penghambat peran Pemerintah Desa dalam pengembangan Desa Wisata
Sade.
D. Kontribusi Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara
lain sebagai:
1. Kontribusi Akademis
a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah ataupun melengkapi
kajian serupa yang telah dilakukan terkait pengembangan Desa Wisata.
b. Hasil penelitian ini diharapkan mampu dijadikan sebagai data
pembanding baik dalam hal studi kasus maupun kerangka teoritik.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan baik bagi
mahasiswa, lembaga donor maupun partai politik sendiri yang ingin
melakukan studi terkait dengan pengembangan desa wisata;
b. Hasil penelitian diharapkan mampu menjadi acuan bagi para
stakeholder di tingkat pusat maupun daerah dalam mengevaluasi peran
pemerintah desa dalam pengembangan desa wisata.
10
E. Sistematika Pembahasan
Secara garis besar rencana penelitian skripsi ini akan terbagi menjadi
lima bab (bagian utama):
BAB I berisis tentang latar belakang penelitian yang merupakan
argumen utama megapa peneliti mengambil tema terkait dengan
pengembangan wisata berbasis masyarakat lokal. Selain itu, bab pendahuluan
pada skripsi ini akan menjabarkan rumusan masalah serta tujuan serta
manfaat yang coba ditawarkan.
BAB II terkait dengan tinjauan pustaka, dimana skrisi ini pada nantinya
akan menggunakan kerangka analisis konsep pengembangan wisata. Selain
diawali dengan konsep pengembangan wisata berkelanjutan, pada bab II ini
untuk lebih spesifik akan menggunakan konsep peran pemerintah daerah yang
akan digunakan terutama mengacu pada indikator yang dicetuskan.
BAB III dalam skripsi ini berisi metodelogi penelitian, yang antara lain
berupa jenis penelitian, jenis data, teknik pengumpulan data, teknik analisa
data, dan sistematika penulisan. Dalam bab ini diulas metode yang digunakan
dalam penelitian, yaitu penelitian kualitatif. Pemilihan ini juga berdampak
pada jenis data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data yang
dilakukan.
BAB IV merupakan inti penulisan skripsi ini secara garis besar akan
terbagi menjadi tiga bagian utama, yakni pertama menguraikan gambaran
profil daerah penelitian. Untuk menggambarkan secara komprehensif terkait
daerah penelitian akan disajikan perkembangan awal upaya pengembangan
11
Dusun Sade menjadi desa wisata. Pada bagian selanjutnya akan melihat peran
pemerintah desa dalam pengembangan wisata Dusun Sade. Sedangkan pada
bagian akhir bab ini akan menjabarkan faktor pendukung dan penghambat
dari peran pemerintah desa dalam mengembangkan Desa Wisata Dusun Sade.
BAB V merupakan catatan peutup merupakan kesimpulan yang dapat
diambil setelah menjabarkan analisis panjang. Pada bagian ini akan
dipertegas temuan-temuan apa saja yang cukup signifikan dan dijelaskan
dalam bentuk poin-poin maupun narasi singkat.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Pada era kontemporer, ketika wisata telah menjadi komoditi unggulan
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, hal tersebut juga dibarengi oleh
munculnya analisis terutama dalam bentuk beberapa karya ilmiah. Karya
ilmiah ini secara khusus memperlihatkan beberapa meta analisis, terutama
dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini, terdapat beberapa analisis yang
perlu dikedepankan dan patut menjadi bagian dari penelitian terdahulu.
Penelitian terdahulu pertama yang digunakan adalah skripsi yang dituliskan
oleh Amrulloh (2014) berjudul “Pemberdayaan Masyarakat Berbasis
Pariwisata pada Dusun Tradisional Sasak Sade Lombok NTB”. Riset ini
menitikberatkan analisisnya menggunakan metode deskriptif kualitatif,
dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi sebagai instrumen
pengumpulan data. Hasil penelitian skripsi tersebut memperlihatkan bahwa
pesatnya perkembangan Dusun Sade sehingga menjadi destinasi wisata utama
di Kabupaten Lombok Tengah tidak lepas dari peran aktif masyarakat desa.
Dusun Sade mengembangkan metode pariwisata berbasis masyarakat dengan
memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki oleh desa tersebut. Berbeda halnya
dengan kawasan wisata lain, masyarakat Dusun Sade tidak menggantungkan
dirinya pada pemerintah daerah baik untuk promosi maupun pengelolaan desa
wisata.
13
Tidak jauh berbeda, penelitian terdahulu kedua yang digunakan sebagai
acuan serta komparasi dengan skripsi ini disajikan dari jurnal yang dituliskan
oleh Soedigdo dan Priono (2013) berjudul “Peran Ekowisata dalam Konsep
Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat pada Taman Wisata Alam
(TWA) Bukit Tangkiling Kalimantan Tengah”. Kesimpulan utama dari jurnal
ini dapat digambarkan dalam tiga poin utama (i) meskipun ekowisata TWA
berbasis masyarakat, namun masyarakat tidak sepenuhnya dilibatkan dan
mengambil porsi lebih, terutama dalam hal penyediaan jasa layanan bagi
wisatawan; (ii) rendahnya animo wisatawan terutama wisatawan domestik
terhadap kawasan wisata TWA Bukit Tangkiling. Wisatawan domestik tidak
memiliki keterkaitan terhadap kawasan wisata yang mengedepankan isu-isu
alam, lingkungan, dan kesehatan; (iii) terdapat beberapa faktor yang memiliki
pengaruh signifikan dalam pengenbangan daerah wisata terutama berbasis
pada masyarakat, mulai dari keahlian masyarakat, dukungan modal, akses
wisata, fasilitas dan infrastruktur, inovasi atraksi wisata, kualitas pelayanan,
serta emudahan akses yang didukung oleh pemerintah.
Penelitian ketiga yang digunakan sebagai penelitian terdahulu dalam
skripsi ini merupakan hasil riset yang dilakukan oleh Suwanti (2016) yang
berjudul “Peran Kepala Desa dalam Pembangunan Masyarakat di Desa
Ngayau Kecamatan Muara Bengkal Kabupaten Kutai Timur”. Hasil
penelitian ini memperlihatkan bahwa Kepala Desa Ngayau dalam
melaksanakan perannya harus mampu meningkatkan pastisipasi masyarakat
untuk ikut serta dalam pembangunan desa karena Kepala Desa sebagai
motivator, fasilitator, dan dinamisator sangat dibutuhkan oleh masyarakat,
14
serta Kepala Desa harus melakukan pendekatan-pendekatan kepada
masyarakat dan transparan terhadap pengelolaan desa dalam program-
program pembangunan desa guna untuk meningkatkan hubungan baik antara
pemerintah desa dan masyrakat. Faktor penghambat dalam pembangunan
masyarakat desa adalah rendahnya kualitas SDM dan teknologi yang dimiliki
aparatur desa di tingkat RT, serta kurangnya pengetahuan desa dalam
mengelola sumber daya alam yang ada.
Hasil penelitian terakhir yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
datang dari analisis penelitian yang disusun oleh Tim Pengelolaan Hutan
Bersama Hulu Sungai Malinau (2004), Center for International Forestry
Research (CIFOR) berjudul “Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat”.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pengembangan wisata berbasis
masyarakat tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan tanpa bantuan pihak lain.
Setidaknya pengembangan wisata berbasis mayarakat dapat dibangun dengan
melakukan kolaborasi kerjasama antara masyarakat, pemerintah, usaha
pariwisata, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta perguruan tinggi
maupun lembaga penelitian. Meskipun demikian, masyarakat tetap
mendapatkan porsi lebih dibandingkan beberapa pihak-pihak tersebut. Hasil
penelitian ini memperlihatkan bahwa pengembangan wisata berbasis
masyarakat yang diterapkan oleh desa di pinggiran sungai Malinau telah
memunculkan beberapa dampak positif (i) peningkatan dan pemarataan
pendapatan; (ii) pelestarian lingkungan hidup; serta (iii) peningkatan
kesadaran dan penghargaan untuk budaya lokal. Yang menjadi menarik dan
membedakan dengan tiga penelitian terdahulu yang telah disajikan
15
sebelumnya, bahwa di sisi lain pengembangan wisata berbasis masyarakat
juga memliki dampak negatif. Dampak negatif ini muncul terutama setelah
daerah wisata itu menjadi cukup terkenal dan intensitas kunjungan wisatawan
menjadi tinggi. Kerusakan lingkungan, pencemaran, tekanan terkait
sumberdaya alam, atau tekanan terhadap sumberdaya yang terbatas tidak
dapat terelakkan.
B. Administrasi Publik
Pada awal perkembangannya, studi terkait administrasi publik
memunculkan banyak pertanyaan di atara para ahli dan para pengamat.
Pertanyaan mendasar namun membutuhkan analisa panjang untuk
mendapatkan jawabannya. Pertanyaan tersebut terkait dengan identitas
administrasi publik itu sendiri, apakah administrasi publik? Mampukah
administrasi publik dianggap sebagai sebuah teori? Ataukah administrasi
publik merupakan disiplin ilmu? Pada beberapa derajat analisis administrasi
publik boleh jadi bukan merupakan ilmu jika dibandingkan dengan ilmu fisik
maupun ilmu alam (Yang dan Miller, 2008:4). Lebih dari itu, administrasi
publik merupakan sebuah keilmuwan yang terletak di antara universalitas
ilmu alam dan “value-laden”, seni yang berasal dari dunia post-modern.
Namun dari berbagai pandangan tersebut terdapat kesepakatan yang diambil
oleh para ahli yang menyatakan bahwa administrasi publik merupakan salah
satu cabang ilmu sosial (Yang dan Miller, 2008:9).
Selain itu terdapat perdebatan lain, terutama kaitan antara administrasi
publik dan kebijakan publik. Pada salah satu jurnal yang dituliskan oleh
Young (2013:1262) berjudul “Kebijakan Publik dan Administrasi Publik”
16
dijabarkan secara komprehensif bahwa administrasi publik dan kebijakan
publik memiliki keterkaitan yang erat dan terkadang saling tumpang tindih.
Pada masa Easton administrasi publik merupakan suatu turunan disiplin ilmu.
Administrasi publik dianggap tidak mampu bergerak untuk melakukan
penyusunan teori besar atau setidaknya melibatkan diri dalam metode
kuantitatif. Hal tersebut merupakan implikasi dominasi gerakan behavioral
yang mengharuskan setiap disiplin ilmu sosial untuk menggunakan riset
kualitatif.
Pada derajat analisis yang sama terkait dengan perkembangan analisis
administrasi publik terutama dalam tradisi ilmiah sebgian besar muncul dari
daratan Eropa dan Amerika Serikat. Tulisan Woodwon Wilson dan Frank
Goodnow terkait persoalan dikotomi administrasi-politik menjadi landasan
dasar kemunculan serta perkembangan Administrasi Publik (Agus, dkk, 2005,
207). Ilmu adminitrasi dianggap sebagai jawaban atas proses politik yang
kental akan berbagai kepentingan dan terkadang tidak mampu
mengakomodasi keinginan masyarakat akan terselenggaranya kebijakan dan
pelayanan publik yang baik. Selain itu, pandangan adminsitrasi publik klasik
yang dipengaruhi oleh aliran manajemen dan prinsip administrasi seperti yang
dikemukakan oleh Luther Gulick, Frederick Tatlor, dan Leonard Whoti.
Ketiga ahli tersebut menetapkan birokrasi sebagai mesin hierarkis, efisien,
dan rasional. Administrasi publik klasik juga memberikan sumbangsih
terhadap pandangan administrasi dan kebijakan di dalam ruang terpisah serta
dikontrol oleh administrator di bagian atas hierarki (Young, 2013, 1263).
17
Dalam administrasi publik setidaknya terdapat delapan elemen
berdasarkan Max Weber (George et. al., 2012:2) seperti: (1) beberapa
kewenangan formal yang bersifat mendasar; (2) peraturan dan hukum intensif
bagi semua orang; (3) kompetensi inidividu yang spesifik termasuk di
antaranya pembagian kerja, spesialisasi, keahlian, dan profesionalisme; (4)
organisasi bagi individu dan pembagian kelompok berdasarkan spesifikasi
keahlian; (5) kordinasi berdasarkan garis hierarki; (6) kontinuitas terhadap
aturan dan catatan; (7) organisasi dengan pembagian posisi dan jabatan; (8)
pengembangan teknologi organisasi secara spesifik. Delapan elemen ini
kemudian kembali dikembangkan menjadi prinsip-prinsip dalam administrasi
publik menurut Max Weber dan Woodrow Wilson seperti: (1) Prinsip
efisiensi, (2) Prinsip otoritas pusat, (3) Prinsip struktur hierarki, (4) Prinsip
pekerja terdidik, dan (5) prinsip penerapan keahlian untuk administrasi.
Setelah masa perkembangan awalnya, studi terkait administrasi publik
terus berkembang seperti kemunculan model administrasi sistem terbuka
yang memberikan kontribusi penting bahwa kebijakan tidak swa-
implementasi dan bahwa variabel administratif memberikan dampak pada
efektivitas program (Young, 2013:1264).
C. Administrasi Pembangunan
Kemunculan analisis administrasi pembangunan dilatar belakangi oleh
adanya kebutuhan negara-negara berkembang guna mengembangkan
lembaga, pranata sosial, politik, serta ekonomi guna mendunkung
keberhasilan pembangunan. Argumen tersebut pada intinya menjadi dasar
18
bagi pendefinisian administrasi pembangunan, yakni bidang studi yang
mempelajari sistem administrasi di negara yang sedang membangun
(berkembang) serta upaya untuk meningkatkan kemampuan (Utomo, 1998:2).
Administrasi pembangunan berfokus pada analisis terkait penyelenggaraan
seluruh kegiatan pembangunan dalam rangka pencapaian suatu negara bangsa
(Nugroho, 2004:2).
Pemahaman terkait definisi administrasi pembangunan juga
dikemukakan oleh beberapa ahli, seperti Siagian (2009) yang mendefinisikan
administrasi pembangunan sebagai upaya yang dilakukan oleh bangsa dan
negara untuk tumbuh dan berubah secara terencana dalam segala segi untuk
mencapai tujuan negara. Sementara itu, Edward Weiner mendeskripsikan
administrasi pembangunan sebagai administrasi publik dengan tujuan khusus
dalam hal sosial, politik, dan ekonomi guna mencapai tujuan dalam hal objek-
objek pembangunan. Definisi terakhir yang diberikan oleh Tjokroamidjojo
(1995) juga tidak kalah komprehensif, menyatakan bahwa administrasi
pembangunan dianggap sebagai proses pengendalian usaha oleh negara dalam
hal ini pemerintah untuk merealisasikan pertumbuhan yang telah dicanangkan
ke arah kemajuan dalam aspek kehidupan bernegara.
Sebagai sebuah turunan dari konsep administrasi publik, setidaknya
terdapat beberapa poin yang dapat dijadikan sebagai acuan pembeda antara
administrasi publik dan administrasi pembangunan. Poin pembeda tersebut
untuk lebih jelasnya akan dijabarkan pada tabel 2.1 di bawah ini:
19
Tabel 2.1: Perbedaan Administrasi Publik dan Administrasi
Pembangunan
No. Administrasi Publik Administrasi Pembangunan
1. Berorientasi masa kini Berorientasi masa depan
2. Berorientasi pada tugas-tugas
umum pembangunan
Berorientasi kepada pelaksanaan tugas-
tugas pembangunan
3. Administrator sekedar pelaksana Administrator sebagai penggerak
perubahan
4. Pendekatan legalistic Pendekatan lingkungan serta
berorientasi pada kegiatan dan bersifat
pemecahan masalah
Sumber: Rino A. Nugroho. Pengantar Administrasi Pembangunan (2009:5).
Dari tabel 2.1 terkait perbedaan antara administrasi publik dan
administrasi pembangunan, jika ditarik kesimpulan maka setidaknya
memberikan gambaran bahwa terdapat tujuh ide pokok dalam administrasi
pembangunan, yakni:
a. Pembangunan merupakan proses, dilakukan secara berkelanjutan yang
terdiri atas tahapan yang bersifat independen dan tanpa akhir (never-
ending);
b. Pembangunan merupakan upaya yang secara sadar ditetapkan sebagai
sesuatu untuk dilaksanakan;
c. Pembangunan dilakukan secara terencana, dimana keputusan yang diambil
untuk saat ini dan yang akan datang;
d. Rencana pembangunan mengandung makna perubahan dan pertumbuhan;
e. Pembangunan mengarah pada modernitas, yakni cara hidup yang lebih
baik dari sebelumnya;
f. Modernitas dalam pembangunan melalui berbagai kegiatan pembangunan
yang multidimensional;
20
g. Upaya pembangunan ditujukan kepada usaha pembinaan bangsa sehingga
dapat sejajar dengan negara bangsa lain.
D. Pemerintahan Desa
Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, deca yang
berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis,
desa atau village diartikan sebagai “a groups of hauses or shops in a country
area, smaller than a town”. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan
hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam pemerintahan nasional dan
berada di daerah kabupaten. Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat
istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah
keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat (Widjaja, 2003:3).
Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
disebutkan: Desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa disebutkan bahwa
Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa yang meliputi:
21
a. Kepala Desa
Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menyatakan
bahwa Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa,
melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa. Kepala Desa merupakan pimpinan
penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Masa jabatan
Kepala Desa adalah 6 tahun, dan dapat diperpanjang lagi untuk tiga kali
masa jabatan. Kepala Desa juga memiliki wewenang menetapkan
Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD. Kepala
Desa dipilih langsung melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) oleh
penduduk desa setempat.
b. Perangkat Desa
Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya. Dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014, Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa
lainnya. Salah satu perangkat desa adalah Sekretaris Desa, yang diisi dari
Pegawai Negeri Sipil. Sekretaris Desa diangkat oleh Sekretaris Daerah
Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota. Perangkat Desa lainnya
diangkat oleh Kepala Desa dari penduduk desa, yang ditetapkan dengan
Keputusan Kepala Desa. Perangkat desa juga mempunyai tugas untuk
mengayomi kepentingan masyarakatnya.
22
c. Badan Permusyawaratan Desa
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menyebutkan bahwa
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai fungsi membahas dan
menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa dan melakukan
pengawasan kinerja Kepala Desa. Badan Permusyawaratan Desa
merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa
bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari
Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama
dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD
adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa
jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan
merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD
berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Kedudukan Desa tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 5 Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 yaitu sebagai berikut: “Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”. Dalam Pasal 5 Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 dinyatakan bahwa Desa berkedudukan di wilayah
Kabupaten/Kota.
23
Desa memiliki kepribadian dan watak yang khas serta memiliki sistem
nilai sendiri. Kekuatan Desa dengan kepribadian dan wataknya yang khas itu
dapat bertahan karena dua faktor (Lubis, 1983:315) yaitu:
a. Ketaatan dari segenap penghuninya (cenderung untuk hati)
b. Tunduk dan bukti tehadap leluhur (menghormati kekuasaan yang adil dan
dipandangnya bijaksana)
Desa dapat berkembang dan bertahan seperti ini, dikarenankan para
warganya mengutamakan asas-asas yang mempunyai nilai luhur yang
universal. Adapun asas-asas tersebut (Kartasapoetra, 1986:38) adalah:
a. Asas kegotong-royongan.
b. Asas fungsi sosial atas milik dan manusia dalam masyarakat.
c. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum.
d. Asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.
Hampir seluruh Desa di Indonesia mempunyai tata kehidupan yang
sama yaitu memiliki sifat otonom dalam arti mengatur dan mengurus
kepentingan rumah tangga sendiri dengan kekuatan atau kemampuan sendiri.
Otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan
merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban
menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa,
desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum
perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di
muka pengadilan (Widjaja, 2003:165).
24
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah memberikan landasan kuat bagi desa dalam
mewujudkan “Development Community” dimana desa tidak lagi sebagai level
administrasi atau bawahan daerah tetapi sebaliknya sebagai “Independent
Community” yaitu desa dan masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan
masyarakat sendiri. Desa diberi kewenangan untuk mengatur desanya secara
mandiri termasuk bidang sosial, politik dan ekonomi. Dengan adanya
kemandirian ini diharapkan akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat
desa dalam pembangunan sosial dan politik.
Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang
dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota.
Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat
istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa
atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di
Daerah Kabupaten. Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini
adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan
pemberdayaan masyarakat.
Terkait dengan pengakuan otonomi di desa, Ndraha (1997:12)
menjelaskan sebagai berikut:
25
a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi
oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa kepada
“kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang.
b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti
sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa
depan.
Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada
pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan
desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang
menjadi wewenang pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan
pengaturannya kepada desa.
Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada
kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh
karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam
penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai
tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa
dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi
desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan
kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan
26
dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku (Widjaja,
2003:166).
E. Konsep Peran
Kata peran merupakan salah satu kata yang sering kita dengar dan
ucapkan dalam kehidupan sehari-hari, namun terkadang orang tahu kata itu
tetapi belum paham arti dari kata tersebut. Soekanto (1987:221)
mengemukakan definisi peranan lebih banyak menunjukkan pada fungsi,
penyesuaian diri dan sebagai suatu proses, jadi tepatnya adalah bahwa
seseorang menduduki suatu posisi atau tempat dalam masyarakat serta
menjalankan suatu peranan. Sedangkan menurut Poerwadarminta (1995:571)
“peran merupakan tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
dalam suatu peristiwa”. Berdasarkan pendapat Poerwadarminta maksud dari
tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu
peristiwa tersebut merupakan perangkat tingkah laku yang diharapkan,
dimiliki oleh orang atau seseorang yang berkedudukan di masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: “Peran adalah seperangkat tingkat
yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat”.
Peran adalah orientasi dari bagian yang dimainkan oleh suatu pihak
dalam posisi sosialnya. Peran merupakan seperangkat perilaku yang
diharapkan dari perilaku yang dapat berwujud sebagai per orang sampai
dalam kelompok, baik kecil maupun besar, yang kesemuanya menjalankan
berbagai peran baik perilaku yang bersifat individual maupun jamak dapat di
nyatakan sebagai struktur. Struktur yang terdapat dalam organisasi memiliki
fungsi-fungsi yang harus mereka jalani agar tercapai tujuan dari peran
27
pembentukan organisasi tersebut, dan apabila semua fungsi tersebut telah
berjalan dengan baik, maka organisasi dapat dikatakan telah menjalankan
perannya (Rivai, 2003:148).
Berdasarkan definisi dan konsep di atas dapat disimpulkan bahwa peran
merupakan fungsi penyesuaian yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok
yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat. Apabila konsep tersebut
dikaitkan dengan fungsi pemerintah maka, dapat disimpulkan definisi peran
adalah organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dan
fungsi-fungsi pemerintahan daerah dalam hal ini adalah Pemerintah Desa
Rembitan Dusun Sade.
Secara lebih jelas dan detail, peran pemerintah dalam pembangunan
nasional dikemukakan oleh Siagian (2000:142-150), yaitu pemerintah
memainkan peranan yang dominan dalam proses pembangunan. Peran yang
disoroti adalah sebagai stabilisator, innovator, modernisator, pelopor dan
pelaksana sendiri kegiatan pembangunan tertentu. Secara lebih rinci peran
tersebut diuraikan sebagai berikut:
a. Stabilisator, peran pemerintah adalah mewujudkan perubahan tidak
berubah menjadi suatu gejolak sosial, apalagi yang dapat menjadi ancaman
bagi keutuhan nasional serta kesatuan dan persatuan bangsa. Peran tersebut
dapat terwujud dengan menggunakan berbagai cara antara lain:
kemampuan selektif yang tinggi, proses sosialisasi yang elegan tetapi
efektif, melalui pendidikan, pendekatan yang persuasive dan pendekatan
yang bertahap tetapi berkesinambungan.
28
b. Inovator, dalam memainkan peran selaku innovator pemerintah sebagai
keseluruhan harus menjadi sumber dari hal-hal baru. Jadi prakondisi yang
harus terpenuhi agar efektif memainkan peranannya pemerintah perlu
memiliki tingkat keabsahan (legitimacy) yang tinggi. Suatu pemerintahan
yang tingkat keabsahannya rendah, misalnya karena “menang” dalam
perebutan kekuasaan atau karena melalui pemilihan umum yang tidak jujur
dan tidak adil, akan sulit menyodorkan inovasinya kepada masyarakat.
Tiga hal yang mutlak mendapatkan perhatian serius adalah, penerapan
inovasi dilakukan dilingkungan birokrasi terlebih dahulu, inovasi yang
sifatnya konsepsional, inovasi sistem, prosedur dan metode kerja.
c. Modernisator, melalui pembangunan, setiap negara ingin menjadi negara
yang kuat, mandiri, diperlakukan sederajat oleh negara-negara lain. Untuk
mewujudkan hal tersebut, diperlukan antara lain: penguasan ilmu
pengetahuan, kemampuan dan kemahiran manajerial, kemampuan
mengolah kekayaan alam yang dimiliki sehingga memiliki nilai tambah
yang tinggi, sistem pendidikan nasional yang andal yang menghasilkan
sumber daya manusia yang produktif, landasan kehidupan politik yang
kukuh dan demokratis, memiliki visi yang jelas tentang masa depan yang
diinginkan sehingga berorientasi pada masa depan.
d. Pelopor, selaku pelopor pemerintah harus menjadi panutan (role model)
bagi seluruh masyarakat. Pelopor dalam bentuk hal-hal, positif seperti
kepeloporan dalam bekerja seproduktif mungkin, kepeloporan dalam
menegakkan keadilan dan kedisiplinan, kepeloporan dalam kepedulian
29
terhadap lingkungan, budaya dan sosial, dan kepeloporan dalam berkorban
demi kepentingan negara.
e. Pelaksana sendiri, meskipun benar bahwa pelaksanaan berbagai kegiatan
pembangunan merupakan tanggung jawab nasional dan bukan menjadi
beban pemerintah semata, karena berbagai pertimbangan seperti
keselamatan negara, modal terbatas, kemampuan yang belum memadai,
karena tidak diminati oleh masyarakat dan karena secara konstitusional
merupakan tugas pemerintah, sangat mungkin terdapat berbagai kegiatan
yang tidak bisa diserahkan kepada pihak swasta melainkan harus
dilaksanakan sendiri oleh pemerintah.
Berbeda dengan yang dikemukakan oleh Siagian, Blakely dalam
Kuncoro (2004:113-114) menyatakan bahwa peran pemerintah dapat
mencakup peran-peran wirausaha (entrepreneur), koordinator, fasilitator dan
stimulator.
a. Wirausaha (entrepreneur), sebagai wirausaha pemerintah daerah
bertanggung jawab untuk menjalankan suatu usaha bisnis. Pemerintah
daerah dapat memanfaatkan potensi tanah dan bangunan untuk tujuan
bisnis. Tanah atau bangunan dapat dikendalikan oleh pemerintah daerah
untuk tujuan konservasi atau alasan-alasan lingkungan lainnya, dapat juga
untuk alasan perencanaan pembangunan atau juga dapat digunakan untuk
tujuan-tujuan lain yang bersifat ekonomi. Hal tersebut bisa membuka
peluang kerja bagi masyarakat dan bisa mensejahterakan perekonomian di
sekitar.
30
b. Koordinator, pemerintah daerah dapat bertindak sebagai coordinator untuk
menetapkan kebijakan atau mengusulkan strategi-strategi bagi
pembangunan di daerahnya. Perencanaan pengembangan pariwisata
daerah atau perencanaan pengembangan ekonomi daerah yang telah
dipersiapkan di wilayah tertentu, mencerminkan kemungkinan pendekatan
di mana sebuah perencanaan disusun sebagai suatu kesepakatan bersama
antara pemerintah, pengusaha, dan kelompok masyarakat lainnya.
c. Fasilitator, pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan melalui
perbaikan lingkungan perilaku di daerahnya. Peran ini dapat meliputi
pengefisienan proses pembangunan, perbaikan prosedur perencanaan dan
penetapan peraturan.
d. Stimulator, pemerintah daerah dapat menstimulasi penciptaan dan
pengembangan usaha melalui tindakan-tindakan khusus yang akan
mempengaruhi perusahaan-perusahaan untuk masuk ke daerah tersebut
dan menjaga agar perusahaan-perusahaan yang ada tetap berada di daerah
tersebut. Berbagai macam fasilitas dapat disediakan untuk menarik
pengusaha, dalam bidang kepariwisataan pemerintah daerah dapat
mempromosikan tema atau kegiatan khusus di objek wisata tertentu.
Pitana dan Gayatri (2005:95), mengemukakan pemerintah daerah
memiliki peran untuk mengembangkan potensi pariwisata daerahnya sebagai:
a. Motivator, dalam pengembangan pariwisata, peran pemerintah daerah
sebagai motivator diperlukan agar geliat usaha pariwisata terus berjalan.
Investor, masyarakat, serta pengusaha di bidang pariwisata merupakan
31
sasaran utama yang perlu untuk terus diberikan motivasi agar
perkembangan pariwisata dapat berjalan dengan baik.
b. Fasilitator, sebagai fasilitator pengembangan potensi pariwisata peran
pemerintah adalah menyediakan segala fasilitas yang mendukung segala
program yang diadakan oleh Dinas Pariwisata. Adapun pada prakteknnya
pemerintah bisa mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak, baik itu
swasta maupun masyarakat.
c. Dinamisator, dalam pilar good governance, agar dapat berlangsung
pembangunan yang ideal, maka pemerintah, swasta dan masyarakat harus
dapat bersinergi dengan baik. Pemerintah daerah sebagai salah satu
stakeholder pembangunan pariwisata memiliki peran untuk
mensinergiskan ketiga pihak tersebut, agar di antaranya tercipta suatu
simbiosis mutualisme demi perkembangan pariwisata.
F. Konsep Pariwisata
Pariwisata berasal dari kata Sanskerta yang terdiri atas dua kata yakni
pari yang berbarti penuh dan wisata yang berarrti perjalanan. Sehingga
pariwisata diartikan sebagai sebuah perjalanan penuh mulai dari berangkat
dari suatu tempat maupun beberapa tempat lain untuk singgah kemudian balik
ke tempat asal. Merujuk pada Undang-Undang No. 9 tahun 1990 tentang
kepariwisataan setidaknya terdapat dua jenis objek wisata yakni objek wisata
ciptaan tuhan berupa alam serta flora dan fauna. Selain itu objek wisata yang
dihasilkan oleh karya manusia berupa museum, peninggalan sejarah, wisata
agro, wisata tirta wisata buru, wisata petualang alam taman rekreasi dan
tempat hiburan.
32
Selain pembagian objek pariwisata, Undang-Undang No. 49
mengelompokkan pariwisata berdasarkan kriteria yang dimiliki. Undang-
undang tersebut kemudian mengelompokkan kriteria kepariwisataan menjadi
dua sektor:
a. Kawasan yang secara teknis dapat digunakan untuk kegiatan pariwisata,
serta tidak mengganggu kelestarian budaya, keindahan alam, dan
lingkungan;
b. Kawasan yang apabila digunakan untuk kegiatan pariwisata secara ruang
dapat memberikan manfaat:
1) Meningkatkan devisa dan mendayagunakan investasi
2) Meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor
serta kegiatan ekonomi sekitarnya;
3) Tidak mengganggu fungsi lindung;
4) Tidak menganggu upaya pelestarian sumber daya alam;
5) Meningkatkan pendapatan masyarakat;
6) Meningkatkan pendapatan nasional dan daerah;
7) Meningkatkan kesempatan kerja;
8) Melestarikan budaya;
9) Meningkatkan kesejahteraan masyarkat.
Pembangunan sektor kepariwisataan menurut Nandi (2008) terkait
dengan aspek sosial budaya, politik dan ekonomi yang diarahkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsep
pembangunan kepariwisataan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-
Undang No. 9 Tahun 1990 disebutkan bahwa penyelenggaraan
33
kepariwisataan ditujukan untuk meningkatkan pendapatan nasional dalam
rangka kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui perluasan dan
pemerataan kesempatan berusaha dan bekerja serta mendorong pembangunan
infrastruktur daerah dalam rangka kemudahan untuk memperkenalkan dan
mendayagunakan objek dan tarik wisata. Disamping itu pembangunan
kepariwisataan juga dimaksudkan untuk memupuk rasa cinta tanah air dan
mempererat persahabatan umat manusia dalam negeri dan antara bangsa.
G. Konsep Pengembangan Wisata Berkelanjutan
Pada tahun 2006, UNTWO merilis sebuah laporan yang menyatakan
bahwa pariwisata menjadi industry terbesar di dunia dengan rata-rata angka
perkembangan menyentuh angka 7,4 persen dan terus meningkat secara
signifikan. Meskipun terus mengalami peningkatan dan menjadi industri yang
sangat menjanjikan, namun di sisi lain pariwisata memeperlihatkan keadaan
yang cukup mengkhawatirkan. Hal tersebut didasarkan bahwa pariwisata
hanya dilihat dari perspektif kuantitatif berupa seberapa besar devisa,
kunjungan wisatawan, dan sebagainya (Kusworo dan Damanik, 2002:106).
Kondisi ini yang kemudian meminggirkan aspek keberlanjutan dan perhatian
terhadap aspek-aspek lingkungan dan aspek sosial masyarakat. Karena
pariwisata bekerja pada dua tingkatan yakni masyarakat di satu sisi dan
lingkungan di sisi lain. Bahkan pariwisata dianggap memiliki energy triggers
yang luar biasa dan mampu menjadikan masyarkat bermetamorfosis dalam
berbagai aspek.
Implikasi dari tingginya angka perkembangan pariwisata tersebut boleh
jadi didasarkan pandangan yang mengedepankan pendapatan, terutama oleh
34
para pelaku pariwsata. Sementara para pengamat menyadari bahwa pariwisata
membutuhkan lebih dari pengelolaan namun lebih pada daya dukung
lingkungan yang berkelanjutan (sustainable tourism). Menyadari dampak
negatif yang terus membayangi industri pariwisata, muncul gerakan untuk
mengembangkan konsep baru dalam industri pariwisata terutama konsep
pariwisata berkelanjutan. Gerakan yang kemudian terus berkembang dan
menjadi pilihan logis yang cukup popular di terapkan di banyak negara.
Terutam negara-negara yang menggantungkan hidupnya dari sektor
pariwisata seperti negara di kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia.
Konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) jika merujuk
berdasarkan World Tourism Organisation dapat didefinisikan sebagaimana
dalam kutipannya di bawah ini:
“Konsep pariwisata berkelanjutan adalah konsep yang menekankan
pada aspek masyarakat dan lingkungan. Untuk mengembangkan konsep
ini diperlukan dukungan dari semua pemangku kebijakan, seperti
halnya kepemimpinan yang kuat guna memastikan partisipasi yang luas
dan bangunan konsesnsus. Konsep pariwisata berkelanjutan ini
merupakan proses yang terus berjalan dan membutuhkan pengamatan
terhadap dampak yang mugkin timbul dan memcari jalan keluar untuk
menyelesaikannya”. (Asker et. al., 2010:1).
Pemahaman konsep pariwisata berkelanjutan yang dijelaskan
berdasarkan kutipan di atas pada akhirnya dapat juga dijelaskan secara lebih
komprehensif. Atau secara lebih sederhana dapat dijelaskan menjadi empat
poin utama (Asker et al., 2010:1), yakni:
a. Penggunaan sumberdaya lingkungan secara maksimal yang merupakan
kunci utama dalam pengembangan pariwisata, menjaga proses ekologi
yang esensial dan membantu melindungi keberlangsungan situs alam
maupun biodiversity;
35
b. Penghormatan terhadap sosial-budaya lokal yang ditunjukkan oleh
masyarakat, perlindungan terhadap cara hidup masyarkat lokal maupun
nilai-nilai tradisional yang dianut, serta memberikan kontribusi aktif
terhadap pemahaman inter-cultural maupun toleransi;
c. Memastikan keberlangsungan kegiatan ekonomi jangka panjang,
memastikan bahwa keuntungan sosial-ekonomi terdistribusikan secara
merata kepada para pemangku kebijakan, termasuk di dalamnya kepastian
terhadap tenaga kerja dan peluang pemasukan bagi masyarakat lokal yang
terlibat aktif dalam pariwisata;
d. Menjaga tingkat kepuasan para wisatawan pada level tertinggi dan
memastikan pemberian pengalaman berharga bagi para wisatawan, serta
meningkatkan kepedulian terhadap isu keberlanjutan dan mempromosikan
konsep pariwisata berkelanjutan di antara para wisatawan.
Empat poin penting yang terdapat dalam konsep pariwisata
berkelanjutan di atas yang kemudian coba diadaptasikan oleh Dusun Sade.
Keempat poin tersebut dalam perjalannya telah mampu diterapkan oleh
Dusun Sade dalam upayanya mengembangkan pariwisata. Sehingga konsep
pariwsata berkelanjutan dianggap memiliki signifikansi dan dapat dijadikan
sebagai instrumen utama maupun pembuka dalam upaya menganalisis
pengembangan desa wisata yang diterapkan di Dusun Sade.
H. Konsep Desa Wisata
Desa wisata merupakan suatu konsep yang dapat didefinisikan sebagai
bentuk integrasi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam
struktur masyarakat dengan mengedepankan cara-cara serta tradisi yang
36
berlaku. Definisi konsep desa wisata tersebut menekankan pada dua hal
utama. Di satu sisi desa wisata menekankan akomodasi sebagai sebuah
tempat tinggal para penduduk setempat atau unit-unit yang didefinisikan
berdasarkan tempat tinggal. Di sisi lain desa wisata menekankan atraksi yang
dalam hal ini dapat merujuk pada aktivitas keseharian penduduk setempat
yang memungkinkan para wisatawan untuk melakukan interaksi seperti
menenun kain tradisional dalam kaitannya dengan Dusun Sade. Bahkan
dalam definisi yang lebih spesifik desa wisata diartikan sebagai sebuah
daerah yang memungkinkan kelompok kecil wisatawan untuk tinggal dan
merasakan suasana tradisional, bahkan belajar tentang kehidupan pedesaan
maupun lingkungan setempat.
Konsep desa wisata muncul ketika muncul “kejenuhan” di sektor
pariwisata terutama ketika pariwisata hanya menitik beratkan keberadaannya
di kota-kota. Pada tingkat analisis lain, munculnya konsep desa wisata
berbarengan dengan kemunculan serta beberapa terminologi seperti
sustainable tourism develepmont, village tourism, dan ecotourism
(Sastrayuda, 2010:2). Keseluruhan terminologi tersebut menekankan adanya
keberlanjutan dan partisipasi pada setiap upaya pengembangan sektor-sektor
pariwsata. Dua komponen ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan
masyarakat desa. Secara umum desa maupun kehidupan masyarakat desa
dibangun atas dasar keberlanjutan yang termanifestasikan dalam setiap
peraturan adat yang mengharuskan setiap hal dimanfaatkan seperlunya. Selain
semua hal yang dilakukan masyarakat desa selalu dilandaskan pada
partisipasi setiap masyarakat. Artinya bahwa masyarakat desa selalu
37
memainkan peran akatif dalam setiap keputusan dan hal-hal yang terkait
dengan kegiatan di desa.
Tidak semua desa dapat dikatakan sebagai sebuah desa wisata, dimana
dibutuhkan kondisi yang digunakan sebagai prasyarat. Syarat tersebut
kemudian diklasifikasikan menjadi lima kriteria (Sudana, 2013):
a. Atraksi wisata: atraksi wisata di desa tersebut dapat berupa atraksi yang
terbentuk oleh alam maupun hasil ciptaan manusia seperti kebudayaan dan
akan dipilih yang paling menarik;
b. Jarak tempuh: aksesibilitas menjadi kriteria yang mampu menjelaskan
bahwa desa tersebut dapat dikatakan sebagai desa wisata. Jarak tempuh
tersebut terkait dengan kemudahan wisatawan untuk mengakses desa baik
dari ibukota provinsi dan ibukota kabupaten/kota;
c. Besaran desa: kriteria ini berkaitan dengan daya dukung kepariwisataan
desa tersebut, mulai dari jumlah rumah, jumlah penduduk, dan
karakteristik maupun luas wilayah desa;
d. Sistem kepercayaan dan kemsyarakatan: kriteria ini menjadi cukup penting
mengingat terdapat seperangkat peraturan-peraturan yang dimiliki oleh
setiap desa dan mengikat seluruh masyarakat desa. Di samping itu,
peraturan ini juga di perkuat dengan keberadaan agama mayoritas yang
dipeluk oleh penduduk desa. Meskipun desa tersebut telah ditetapkan
menjadi desa wisata dan para wisatawan mampu dengan mudah masuk
desa, perlu diingat untuk menghormati dua hal tersebut, sehingga
wisatawan mampu menikmati desa wisata tanpa merusak tatanan hidup
masyarakat desa wisata tersebut;
38
e. Ketersediaan infrastruktur: indikator ini terkait dengan kenyamanan yang
akan didapatkan oleh para wisatawan mulai dari pelayanan transportasi,
fasilitas listrik, air bersih, drainase, telepon dan fasilitas lain yang
menunjang aktivitas para wisatawan. Sehingga ketika kriteria ini telah
dipenuhi oleh desa tersebut, maka kemudian dapat dijadikan sebagai acuan
apakah desa wisata dapat digunakan sebagai one day trip atau tipe tinggal
inap.
Secara umum berdasarkan persebarannya di Indonesia, desa wisata
kemudian setidaknya dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk. Bentuk
tersebut juga didasarkan atas pola, proses, serta tipe pengelolaan yang
dikembangkan di desa tersebut. Bentuk pertama adalah desa wisata
terstruktur (enclave), sebuah desa wisata dengan lahan terbatas namun
memiliki fasilitas infrastruktur yang lengkap. Dengan kelebihan tersebut desa
wisata ini tidak hanya mampu dikenal di tingkat nasional, namun juga dikenal
hingga tingkat internasional. Keterbatasan lahan yang dimiliki selain itu juga
sangat memungkinkan untuk dilakukan perencanaan terintegratif serta
terkordinir, sehingga mampu menarik investor luar untuk membangun
infrastruktur pendukung di sekitaran desa wisata. Keuntungan lain yang juga
dimiliki oleh bentuk desa wisata terstruktur adalah mampu meminimalisisr
dampak negatif yang timbul kemudian karena pada umumnya lokasinya
terpisah dari masyarakat sekitar. Bentuk kedua dari desa wisata adalah desa
wisata terbuka (spontaneous) yang ditandai dengan tumbuh menyatunya
kawasan dengan struktur, baik ruang maupun pola dengan masyarakat lokal.
39
Setiap masyarakat dalam desa tersebut dapat merasakan distrubusi
pendapatan sektor pariwisata.
Jika dikomparasikan maka setidaknya dua bentuk desa wisata itu juga
memiliki kesamaan dengan desa wisata Sade. Di satu sisi terdapat
karakteristik desa wisata tersruktur yang diterapkan di Dusun Sade, namun di
sisi lain Dusun Sade juga menunjukkan karakteristik yang dimiliki desa
wisata bentuk terbuka. Misalnya desa wisata Sade memiliki lahan yang
terbatas namun infrastruktur yang dimiliki telah cukup memadai sehingga
para wisatawan mampu dengan mudah mengaksesnya. Hasilnya Dusun Sade
tidak hanya dikenal oleh wisatawan lokal, namun juga mampu menarik
perhatian wisatawan asing. Sedangkan di sisi karakteristik desa wisata
terbuka, karakteristik tersebut terlihat dari bentuk wisata yang ditawarkan
adalah sentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat lokal. Para
penduduk juga menggantungkan atau hampir seluruhnya terlihat dan
merasakan pemasukan dari para wisatawan. Artinya kemudian Dusun Sade
cukup unik, karena di satu sisi merupakan bentuk desa wisata terstruktur,
namun di sisi lain juga merupakan bentuk desa wisata terbuka.
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penyusunan penelitian terkait pengembangan wisata berbasis
masyarakat lokal ini akan menggunakan jenis penelitian kualitatif. Secara
umum penelitian kualitatif pada dasarnya berangkat dari sebuah pengamatan
atau pengukuran terhadap suatu fenomena dengan tujuan mencari ciri tertentu
dari fenomena tersebut (Arikunto, 2010:2). Di samping itu, penelitian
kualitatif muncul sebagai bentuk tandingan atas penelitian kuantitatif yang
sebagian besar menitik beratkan pada perhitungan secara statistik
(matematika). Hingga pada akhirnya penelitian kualitatif merupakan
kebalikan dari penelitian kuantitatif di mana penlitian yang dilakukan tidak
menggunakan perhitungan. Karena pada dasarnya kualitas merujuk pada segi
alamiah dan sangat sulit untuk diukur berdasarkan angka. Atas dasar ini
kemudian beberapa kritik muncul terutama dari para pendukung kubu
kuantitatif yang mengganggap penelitian kuantitatif tidak ilmiah.
Seiring dengan perkembangan keilmuwan khususnya di bidang ilmu
sosial, penelitian dengan menggunakan metode kualitatif mulai diakui
keabsahannya. Penelitian kualitatif pada akhirnya terus berkembang dan
memunculkan serangkaian istilah seperti penelitian atau inkuiri naturalistik
atau alamiah, etnografi, interaksionis simbolik, etnometodologi,
fenomenologis, studi kasus, interpretatif, ekologis, dan deskriptif. Farian
terhadap istilah tersebut juga ditemukan pada beberapa definisi penelitian
41
kualitatif yang dijabarkan oleh beberapa ahli, di antaranya menurut Gofman
dan Clayton menyatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian
berdasarkan laporan meaning of event dari apa yang diamati penulis
(Arikunto, 2010:28). Artinya bahwa peneliti melakukan penelitian
berdasarkan pengamatan dan interaksi yang diamati langsung di tempat
kejadian, bahkan peneliti melakukan partisipasi langsung. Argumen ini juga
diperkuat oleh pendapat Denzin dan Lincoln yang menyatakan bahwa
penelitian kualitatif merupakan penelitian dengan latar alamiah kemudian
menafsirkan fenomena tersebut dengan melibatkan berbagai metode yang ada
(Moleong, 2013:5).
Berdasarkan dua argumen di atas maka dapat disimpulkan bahwa
penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menitik beratkan pada
pengamatan langsung di lapangan. Selain itu dibutuhkan partisipasi langsung
peneliti terhadap fenomena yang akan diteliti. Berdasarkan argumen tersebut
maka tepat kiranya jika fenomena pengembangan pariwisata berbasis
masyarkat lokal dianalisis menggunakan metode pedelitian kualitatif. Suatu
fenomena yang mampu terjelaskan dengan mengambil bagian terhadap
fenomena tersebut dan diperlukan kerangka teoritik sebagai acuan pembantu
analisis.
42
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian merupakan lingkup penelitian yang dijadikan sebagai
wilayah pelaksanaan penelitian sehingga peneliti memperoleh gambaran yang
jelas tentang situasi yang diteliti. Fokus penelitian adalah hal-hal yang
dijadikan pusat perhatian dalam penelitian dan untuk membatasi masalah.
Penetapan fokus penelitian dimaksudkan sebagai batas yang berguna untuk
mencegah terjadinya pembiasan dalam membahas permasalahan yang sedang
diteliti, selain itu untukmemudahkan dalam menentukan data dan informasi
yang diharapkan. Fokus dalam penelitian ini yaitu terkait dengan:
1. Peran pemerintah desa dalam pengembangan desa wisata Dusun Sade.
Peran tersebut didasarkan pada konsep peran pemerintah daerah dalam
pengembangan potensi pariwisata yang dikemukakan oleh Pitana dan
Gayatri (2005:95), yaitu peran sebagai motivator, fasilitator, dan
dinamisator.
a. Peran pemerintah desa sebagai motivator kepada masyarakat dalam
pengembangan desa wisata Dusun Sade.
b. Peran pemerintah desa sebagai fasilitator kepada masyarakat dalam
pengembangan desa wisata Dusun Sade.
c. Peran pemerintah desa sebagai dinamisator kepada masyarakat dalam
pengembangan desa wisata Dusun Sade.
2. Faktor pendukung dan penghambat peran pemerintah desa dalam
pengembangan desa wisata Dusun Sade:
a. Faktor-faktor yang mendukung peran pemerintah desa dalam
pengembangan desa wisata Dusun Sade.
43
b. Faktor-faktor yang menghambat peran pemerintah desa dalam
pengembangan desa wisata Dusun Sade.
C. Lokasi dan Situs Penelitian
Penelitian ini akan memfokuskan lokasi penelitiannya pada Kabupaten
Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sedangkan situs penelitian
yang difokuskan oleh penulis terletak pada Dusun Sade yang merupakan
salah satu Desa Wisata di Kabupaten Lombok Tengah. Penentuan lokasi
penelitian ini didasarkan pada beberapa alasan utama;
1. Dusun Sade boleh jadi menjadi satu-satunya objek wisata di Pulau
Lombok yang menitik beratkan atraksinya pada budaya sengan konsep
desa wisata. Kemunculan objek pariwisata Dusun Sade menjadi alternatif
baru bagi para wisatawan lokal maupun asing yang berwisata di Pulau
Lombok, di samping objek wisata alam terutama pantai;
2. Kemampuan Dusun Sade menjadi destinasi wisata unggulan tanpa adanya
bantuan yang cukup nyata dari pemerintah Kabupaten Lombok Tengah.
Karena tidak ada kebijakan yang secara spesifik berpengaruh signifikan
pada pengembangan desa wisata Sade;
3. Seluruh pengembangan wisata didasarkan partisipasi dan keterlibatan
seluruh masyarakat desa mulai dari perencanaan hingga penerapan,
sehingga terbangun community based tourism. Artinya pengembangan
wisata dilakukan dari dan untuk masyarakat Dusun Sade.
44
D. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Berikut merupakan klasifikasi jenis data yang diperoleh oleh penulis,
yaitu:
a. Data primer adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari
pihak terkait dengan obyek yang diteliti. Data primer ialah data yang
berasal dari sumber asli atau pertama. Data ini tidak tersedia dalam bentuk
file-file. Data ini harus dicari melalui narasumber atau dalam istilah
teknisnya, responden, yaitu orang yang dijadikan objek penelitian atau
orang yang dijadikan sebagai sarana mendapatkan informasi ataupun data
(Narimawati, 2008:98).
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari obyek
yang diteliti namun diusahakan pihak lain, yaitu dokumen yang berkaitan
dengan obyek yang diteliti. Data sekunder yang digunakan oleh penulis
dalam melakukan penelitian ini adalah berupa dokumen (paper). Paper
adalah sumber data berupa dokumen yang menyajikan tanda-tanda berupa
huruf, angka, gambar, atau simbol lain (Arikunto, 2010:114). Sementara
itu, Sugiyono (2012:193) mengatakan bahwa “sumber data sekunder
adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul
data, misalnya lewat orang lain atau dokumen”. Dalam penelitian ini, data
sekunder yang digunakan oleh penulis berupa dokumen-dokumen dan
arsip.
45
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan sebagai
berikut:
a. Informan
Informan merupakan salah satu pihak yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti. Menurut Iskandar (2009:116), dalam
penelitian kualitatif posisi sumber data manusia sangat penting
peranannya sebagai individu yang memiliki informasinya. Sesuai
dengan topik penelitian, maka informan yang terkait adalah dari pihak
Pemerintah Desa Rembitan, yang terdiri dari:
1. Kepala Desa Rembitan
2. Kepala Dusun Sade
b. Dokumen dan Arsip
Berkaitan dengan fokus penelitian tentang peran pemerintah desa dalam
pengembangan desa wisata Sade.
c. Tempat dan Peristiwa
Tempat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Dusun Sade yang
merupakan salah satu Desa Wisata di Kabupaten Lombok Tengah.
Peristiwa yang diteliti adalah yang berhubungan dengan peran
pemerintah desa dalam pengembangan desa wisata Sade.
46
E. Teknik Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data merupakan proses wajib yang harus
dilakukan dalam kegiatan penelitian, baik penelitian kuantitatif maupun
penelitian kualitatif. Pengumpulan data jauh lebih penting, terutama jika
metode penelitian yang digunakan memiliki celah yang cukup besar untuk
dimasuki oleh peneliti (Arikunto, 2010:223). Tak salah jika Arikunto
menyatakan bahwa untuk mengumpulkan data harus diperlukan keahlian
yang cukup baik untuk melakukannya. Bahkan diperlukan ketepatan dan
kecermatan terhadap strategi dan alat pengambilan data yang dipergunakan
jika meminjam pendapat Saifuddin Azwar.
Melihat fenomena pengembangan pariwisata berbasis masyarakat lokal
yang dilakukan oleh Desa Wisata Sade di Kabupaten Lombok Tengah,
setidaknya digunakan dua teknik utama yaitu teknik wawancara dan studi
pustaka. Dua teknik ini untuk lebih jelasnya akan disajikan berikut.
1. Wawancara
Stedward dalam Lisa Harrison mendefinisikan wawancara sebagai
alat yang baik dalam menghidupkan topik riset (Harrison, 2009:15).
Selanjutnya Stedward menganggap wawancara sebagai metode
pengumpulan data tentang subjek kontemporer yang belum dikaji secara
intensif dan terbatasnya literatur yang membahasnya. Metode wawancara
menjadi salah satu alternatif ketika kuisioner tidak memungkinkan untuk
diterapkan pada suatu objek penelitian. Selain itu dengan wawancara dapat
dijadikan sebagai fasilitas dalam mendapatkan informasi dari kejadian dan
kepribadian yang relevan.
47
Wawancara dilakukan dengan mengajukan serangkaian pertanyaan
yang terkait dengan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat lokal
yang dilakukan oleh Desa Wisata Sade di Kabupaten Lombok Tengah.
Koresponden utama yang dipilih dalam penelitian ini adalah Bapak
Kurdap Selake, yang merupakan Kepala Dusun Sade. Koresponden utama
tersebut menjadi pintu masuk untuk dapat mencari simpul-simpul baru
dalam proses wawancara. Dari koresponden tersebut kemudian peneliti
mampu membangun argumen karena pemahaman mereka tentang
fenomena kemanangan calon perseorangan serta validitas data yang
diberikan.
Setelah penentuan koresponden teknik wawancara yang digunakan
adalah lebih pada pertanyaan mendalam (depth interview). Depth interview
merupakan teknik wawancara dimana sama dengan metode wawancara
pada umumnya, tetapi peran pewawancara, tujuan wawancara, peran
informan, dan cara melakukan wawancara berbeda. Penulis tidak terpaku
pada pedoman wawancara yang telah dibuat melainkan juga akan
berkembang pada saat proses wawancara berlangsung. Terutama mengenai
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan sepanjang masih relevan dalam
melihat peran pemerintah desa dalam pengembangan Desa Wisata Sade.
2. Studi Pustaka
Lisa Harisson menyebutkan bahwa setiap riset yang menggunakan
materi historis kemungkinan akan dihantui dua persoalan, yaitu
objektifitas dan kurangnya pengalaman tangan pertama. Objektifitas
muncul ketika sumber dokumen yang digunakan bervariasi dan memiliki
48
perbedaan muatan informasi hingga akurasi dokumen itu sendiri.
Sedangkan, studi dokumen juga tidak didapatkan secara langsung di
lapangan, melainkan melalui pembacaan dokumen secara selektif. Karena
itu penting menempatkan dokumentasi sebagaimana yang diungkapkan
oleh May, yang menyatakan “apa yang diputuskan untuk dicatat oleh
seorang adalah sesuatu yang didasari oleh keputusan seseorang yang
berkaitan dengan situasi sosial politik, dan ekonomi”. Kutipan May yang
dapat diartikan bahwa setiap dokumen yang menjadi sumber referensi
harus dilihat secara netral.
Teknik dokumentasi didefinisikan sebagai teknik pengumpulan data
yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat,
UU, perda, dan sebagainya. Data yang terekam dari dokumen merupakan
informasi yang sifatnya selektif. Artinya, dalam menulis laporan peneliti
akan lebih memilih item dari satu dokumen dibandingkan yang lain. Data
yang disediakan dokumen juga tidak jarang dipengaruhi oleh lingkungan
sosial politik dimana dokumen tersebut dihasilkan. Misalkan, dokumen
yang berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan
lebih condong menguatkan pemerintah. Berbeda halnya jika dokumen
tersebut dihasilkan dari kalangan eksternal pemerintah.
Teknik dokumentasi yang dipilih dalam penelitian ini akan menitik
beratkan pada studi pustaka. Purwono mendefinisikan studi pustaka
sebagai usaha yang dilakukan peneliti untuk menghimpun data yang
diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan ilmiah
(skripsi, tesis, dan disertasi), peraturan-peraturan, dan sumber lain baik
49
tertulis maupun elektronik. Studi pustaka menjadi jembatan bagi
permasalahan objek penelitian dengan teori yang akan digunakan.
Disamping itu, melalui studi pustaka akan ditemukan penelitian-penelitian
sejenis yang pernah dilakukan. Penggunaan studi pustaka dapat
memudahkan penelitian, karena jika terjadi kekeliruan sumber data akan
tetap.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen Penelitian merupakan alat bantu yang digunakan oleh
peneliti dalam kegiatan mencari data. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Interview Guide (pedoman wawancara) yaitu berupa daftar pertanyaan
yang digunakan sebagai acuan dalam memperoleh informasi dari
responden. Menggunakan alat perekam suara (tape recorder), dan
peralatan menulis. Pedoman wawancara sebagai pengarah dalam proses
wawancara agar berjalan secara efektif dan efisien.
2. Cacatan lapangan (Field note), yaitu catatan lapangan. Berupa catatan
lapangan yang dipergunakan peneliti untuk mencatat apa yang didengar,
diamati, dan dialami dalam rangka pengumpulan data di lapangan yang
digunakan untuk mencatat informasi yang dapat dikembangkan sebagai
bahan tambahan data-data yang lain.
3. Perangkat penunjang meliputi kertas, alat tulis, tape recorder, kamera dan
sebagainya yang digunakan untuk menunjang dalam penelitian
50
G. Analisa Data
Pada penulisan analisis data, data yang dianalisis merupakan data yang
sudah dikumpulkan kemudian diurutkan dan dikategorikan seperti pernyataan
Patton yang dikutip oleh Moleong (2013:103), analisis data merupakan proses
mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola,
kategorisasi, dan satuan uraian dasar. Berdasarkan penelitian ini data yang
telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis menggunakan metode analisis
kualitatif, yang dalam menganalisis datanya tidak menggunakan perhitungan
statistik namun menggunakan uraian-uraian atau bisa dikatakan bahwa
metode kualitatif dilakukan dengan membaca tabel dan grafik yang tersedia
dan kemudian dilakukan penafsiran atau diuraikan dengan jelas dan runtut.
Kegiatan melakukan analisis data kualitatif menurut Miles, Huberman
dan Saldana (2014:31) dapat melalui alur kegiatan yang meliputi:
1. Kondensasi data (data condensation)
Kondensasi data merupakan proses pemilihan, penyederhanaan dan
transformasi data mentah yang didapat dari lapangan. Kondensasi data
berlangsung terus-menerus selama penelitian bahkan sebenarnya
kondensasi data dapat dilakukan sebelum data terkumpul secara
menyeluruh. Kondensasi data dilakukakan dengan cara, data yang
diperoleh di lokasi penelitian dituangkan dalam uraian atau laporan secara
lengkap dan terinci. Laporan lapangan disederhanakan, dirangkum, dipilih
hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema
atau polanya, hal ini dilakukan secara terus menerus selama proses
51
penelitian berlangsung dan pada tahap analisa data yang lain yaitu
penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi.
2. Penyajian data (data display)
Penyajian diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian-penyajian yang lebih baik merupakan suatu cara yang
utama bagi analisis kualitatif yang valid. Penggunaan berbagai jenis
matriks, grafik, jaringan, dan bagan untuk menggabungkan informasi yang
tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah diraih. Dengan demikian
penganalisis dapat melihat apa yang sedang terjadi dan menentukan
apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melangkah
melakukan analisis yang menurut saran yang dikiaskan oleh penyajian
sebagai sesuatu yang mungkin berguna.
3. Menarik Kesimpulan/Verifikasi (conclusion drawing/verification)
Penarikan kesimpulan perlu diverifikasi selama penelitian berlangsung.
Hal ini dikarenakan makna-makna yang muncul dari data harus diuji
kebenarannya,kekokohannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan
validitasnya.
Ketiga komponen analisi berinteraksi sampai diperoleh suatu
kesimpulan yang benar, jika ternyata kesimpulannya tidak memadai, maka
perlu diadakan pengujian ulang, yaitu dengan cara mencari beberapa data
lagi di lapangan, dicoba untuk diinterpretasikan dengan fokus yang lebih
terarah, dengan begitu analisis data tersebut merupakan proses interaksi
antar ketiga komponen analisis dengan pengumpulan data dan merupakan
52
suatu proses siklus sampai dengan aktivitas penelitian selesai. Alasan
penulis menggunakan metode pengelolaan data ini karena penulis
memperoleh data dan informasi yang bersifat naratif, penjelasan dan
penafsiran terhadap gambaran dari situasi sosial. Teknik analisis data model
interaktif ini dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus
menerus hingga tuntas, sehingga data yang diperoleh bersifat jenuh, data
yang sifatnya jenuh mengandung makna bahwa setalah tidak ditemukan lagi
data yang baru setelah dilakukannya pengumpulan data dengan
menggunakan berbagai teknik. Oleh karena itu, data yang diperoleh
berbentuk tindakan nonverbal yang berupa deskriptif kalimat, tulisan atau
gambar. Berikut di bawah ini adalah gambar 3.1 yang memperlihatkan
gambar analisis data model interaktif.
Gambar 3.1. Analisis Data Model Interaktif
Sumber: Miles, Huberman dan Saldana (2014:33)
53
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Lokasi dan Lingkungan Alam
Dusun Sade adalah salah satu dusun yang berada di Desa Rembitan,
Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Desa Rembitan terletak di daerah
perbukitan dengan ketinggian 250-300 meter di atas permukaan laut dengan curah
hujan 1.250 mm/tahun yang terjadi pada bulan Oktober-Januari dan pada bulan
Februari-September musim kemarau, dengan keadaan iklim subtropis dan suhu
udara rata-rata 34-18°C.
Gambar 4.1: Papan “Selamat Datang” di Dusun Sade Desa Rembitan
Sumber: Dokumentasi Peneliti (2017)
54
Luas wilayah Desa Rembitan 1.475 Ha. Secara administratif, Desa
Rembitan terbagi atas Dusun Rembitan I, Dusun Rembitan II, Dusun Rembitan
III, Dusun Rembitan IV, Dusun Telok Bulan Daye, Dusun Telok Bulan Dauq,
Dusun Lentek I, Dusun Lentek II, Dusun Selemang Timuq, Dusun Selemang Bat,
Dusun selak, Dusun Sade, Dusun Sade Timuq, Dusun Sade Lauq, Dusun Penyalu,
Dusun Peluq, Dusun Kukun, Dusun Rebuk I, Dusun Rebuk II, Dusun Bontor
Lauq, Dusun Bontor Daye. Orbitrasi dari ibukota Propinsi adalah 45 km,
kota/kabupaten 18 km, ibukota kecamatan 3 km. Batas wilayah administratif
Dusun Sade Desa Rembitan sebagai berikut :
Sebelah Barat : Desa Prabu
Sebelah Timur : Desa Kuta
Sebelah Utara : Desa Sengkol
Sebelah Selatan : Desa Suaka
Permukiman Dusun Sade terletak pada ketinggian 120 – 126 meter di atas
permukaan laut dengan topografi yang berbukit dan bergelombang. Di sebelah
utara dan selatan pemukiman terletak persawahan dan ladang penduduk.
Pemukiman Dusun Sade terletak pada sebuah bukit sehingga permukiman dibuat
berteras untuk menghindari terjadinya erosi, berbeda dengan lahan persawahan
yang merupakan lahan datar.
Daratan Desa Rembitan terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi,
perbukitan, pantai, datar dan bergelombang. Tanah di Desa Rembitan berwarna
kecoklatan, beberapa ada yang berwarna merah. Tanah yang berwarna merah
berada di area kantor kepala desa. Pada musim tanam, penduduk desa biasanya
menanam padi di sawah. Musim tanam padi bertepatan dengan musim hujan
55
karena sawah Desa Rembitan termasuk sawah tadah hujan. Selain padi, penduduk
Desa Rembitan juga menanam kedelai dan terkadang jagung. Hasil dari yang
mereka tanam hanya dikonsumsi sendiri tidak untuk dijual. Ada juga hewan yang
dipelihara oleh penduduk Desa Rembitan yaitu ayam, sapi, dan kerbau. Ayam
dipelihara oleh penduduk Desa Rembitan di sekitar rumah dengan diberi makan
setiap hari, sedangkan sapi dan kerbau dipelihara di luar dari wilayah dusun atau
di ladang.
Penggunaan lahan di wilayah Desa Rembitan terdiri dari tanah sawah
seluas 882 Ha, tanah kering seluas 592 Ha, dan tanah fasilitas umum seluas 1 Ha.
Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas lahan digunakan untuk pertanian
khususnya persawahan guna kepentingan aspek mata pencaharian hidup. Serta
perlu digarisbawahi bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan di Desa
Rembitan masih sangat baik.
Di Desa Rembitan terdapat dua (2) unit taman kanak-kanak (TK), tujuh (7)
gedung SD, dan sebuah gedung SMP yang dapat menunjang pembentukan
pengetahuan masyarakat Desa Rembitan secara formal. Terdapat pula PKBM 1
unit, PAUD 5 unit, serta dua (2) jenis kursus yang dapat pula membentuk
pengetahuan masyarakat meskipun secara informal.
Selain itu, terdapat pula fasilitas umum yang menunjang administrasi dan
pemerintahan desa serta pengembangan SDM seperti: sebuah kantor desa; 47 km
jalan; 2 jenis jembatan; 1 buah sarana olahraga; tujuh (7) buah sarana kesenian;
delapan (8) unit masjid; delapan (8) unit musholla, serta satu (1) unit Pustu
(Puskesmas Pembantu).
56
2. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Desa Rembitan hingga tanggal 8 September 2016 adalah
sebanyak 9.046 jiwa, terdiri dari 4.354 jiwa penduduk laki-laki dan 4.692 jiwa
penduduk perempuan, masuk ke dalam 2.801 KK (Kepala Keluarga). Struktur
penduduk menurut mata pencaharian menunjukkan bahwa sebagian besar
penduduk menggantungkan sumber kehidupannya di sektor pertanian, sektor lain
yang menonjol dalam penyerapan tenaga kerja adalah buruh tani, sektor industri
rumah tangga dan pengolahan dan swasta, dan sektor lainnya seperti pegawai
negeri, karyawan swata dari berbagai sektor.
Kebudayaan daerah Desa Rembitan tidak terlepas dan diwarnai oleh
Agama Hindu, Islam dan Sasak. Struktur penduduk menurut agama menunjukkan
keseluruhan penduduk Desa Rembitan beragama Islam (100%), Hindu (0%),
Budha (0%), Kristen Protestan (0%) dan Katolik (0%).
Di Desa Rembitan tidak terdapat pembatasan jumlah penduduk/ KK
karena tingkat mobilitas masih rendah, dan daya tampung lingkungan masih
tinggi. Pendatang boleh saja menetap di Desa Rembitan asalkan memenuhi atau
melengkapi syarat administratif dan lebih lanjut lagi peraturan adat yang berlaku
di masyarakat.
3. Gambaran Umum Penduduk Dusun Sade
a. Demografi
Dusun Sade merupakan dusun yang terletak di Desa Rembitan, Kecamatan
Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Berjarak kurang lebih 70 km dari Kota Mataram atau sekitar 2 jam dalam
57
perjalanan. Penduduk Dusun Sade ini merupakan keturunan generasi ke-15.
Penduduk Dusun Sade berjumlah 529 jiwa, dengan jumlah laki-laki 262 jiwa dan
jumlah perempuan 267 jiwa. Di dalam Dusun Sade memiliki kepala keluarga yang
berjumlah kurang lebih 152 KK. Dalam aturan Dusun Sade, tidak ditemukan
adanya hal yang mangatur pembatasan jumlah penduduk.
Persebaran penduduk Dusun Sade terpusat, namun dalam
perkembangannya mulai terjadi penyebaran penduduk secara perlahan.
Masyarakat Dusun Sade memiliki prinsip hidup senang berkumpul, sehingga pola
penyatuan hidup lebih diutamakan. Jadi pola penyebaran penduduk Dusun Sade
terpusat pada satu kampung.
Sistem perkawinan yang berlaku di masyarakat adalah perkawinan
endogami dusun, namun tak jarang terjadi perkawinan eksogami. Dalam hal
sistem pewarisan, anak laki-laki diberikan hak prioritas untuk mewarisi rumah
dari kedua orang tuanya. Akan tetapi apabila dalam satu keluarga tidak
mempunyai anak laki-laki, maka pewarisan akan jatuh pada anak laki-laki dari
kerabat atau saudara. Anak perempuan juga memiliki hak waris, namun yang
dapat diwariskan untuk anak perempuan hanyalah barang perabotan rumah
tangga.
b. Asal-Usul Penduduk dan Bahasa
Ada beberapa versi mengenai asal-usul penduduk Dusun Sade. Versi yang
pertama menyebutkan bahwa asal-usul penduduk Dusun Sade berdasarkan cerita
berasal dari Jawa, yaitu berasal dari leluhur Hama Ratu Mas Sang Haji.
Perkembangan penduduk Dusun Sade sampai sekarang sudah mencapai generasi
ke-15 berlangsung selama 1 abad lebih.
58
Versi kedua menyebutkan bahwa penduduk Dusun Sade berasal dari
kerajaan Hindu-Budha, dengan rajanya yaitu Raja Anak Agung Gde Karangasem.
Pengaruh kerajaan tersebut dapat dilihat dari bentuk rumah penduduk yang
berdasarkan tiga tangga, yang merupakan simbol dari waktu telu. Agama yang
dianut penduduk Dusun Sade adalah Islam waktu telu, Islam yang masih memiliki
pengaruh ajaran Hindu-Budha.
Penduduk Dusun Sade menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa
pengantar dalam kehidupan sehari-hari. Aksara atau bahasa tertulisnya sangat
dekat dengan aksara Jawa dan Bali, sama-sama menggunakan aksara Ha Na Ca
Ra Ka dan seterusnya, tetapi dalam pengucapan huruf vokal menjadi He Ne Ce Re
Ke dan seterusnya.
c. Mata Pencaharian Penduduk
Mata pencaharian penduduk Dusun Sade terdiri atas petani, peternak,
penenun, pelayan restoran, pemandu wisata, dan penjual aksesoris. Kaum laki-laki
mayoritas bekerja sebagai petani di ladang, sedangkan kaum perempuan sebagai
penenun. Letak ladang penduduk dari dusun berada kira-kira 100-200 meter.
Ladang penduduk biasanya berada di luar dusun. Tanaman yang ditanam di
ladang yaitu jenis padi dan kedelai. Ada juga masyarakat bekerja sebagai pelayan
restoran yang berada di luar dusun dengan jarak kira-kira 7 km dari Dusun Sade.
Sebagai mata pencaharian tambahan, mereka juga membuat cinderamata berupa
kalung, gelang, dan berbagai aksesoris lainnya untuk dijual kepada wisatawan
yang datang.
59
Gambar 4.2: Beragam Cinderamata yang Dijual Penduduk Dusun Sade
Sumber: Dokumentasi Peneliti (2017)
Panen padi yang dilakukan di Dusun Sade dilakukan setiap satu tahun
sekali, dari bulan Oktober sampai Januari, sementara itu untuk panen kedelai
dilakukan pada Januari sampai Maret. Sistem penanaman padi dilakukan secara
gotong-royong oleh keluarga dan hasil panennya dikonsumsi sendiri bersama
keluarga, tidak untuk dijual. Penanaman padi menggunakan sistem tadah hujan,
sehingga pada musim kemarau tidak ada aktivitas menanam padi. Pada musim
kemarau tersebut warga menggantikannya dengan menanam kedelai.
Proses penanaman padi di Dusun Sade sama halnya dengan masyarakat
pada umumnya. Hasil panen padi biasanya mencapai 3-10 ton. Dalam panen padi
tersebut terdapat aturan nyerabi yaitu pada setengah dari hasil padi dipanen untuk
konsumsi sendiri dan sisa setengahnya diletakkan di lumbung untuk dijadikan
bibit. Pupuk yang digunakan yaitu pupuk kimiawi yang biasanya dibeli di pasar.
60
Proses penanaman kedelai memiliki dua cara, tergantung dari kondisi
tanah saat akan menanam bibit. Jika tanah yang dijadikan media penanaman
kedelai berupa tanah basah, bibit kedelai cukup ditaburi di atas tanah, kemudian
ditutupi daun padi agar bibit kedelai bisa tumbuh dengan baik. Jika media tanah
kering, tanah tersebut dijajani lalu di setiap lubang ditaruh bibit kedelai. Proses
kerja penanaman kedelai tersebut juga dilakukan secara gotong-royong.
Selain bertani, masyarakat Dusun Sade juga beternak hewan, seperti sapi
dan ayam. Ternak biasanya dipelihara di luar dusun, kecuali ternak ayam yang
dapat dipelihara di dalam dusun. Hasil ternak tersebut biasanya dikonsumsi
sendiri dan bisa juga dijual. Pada saat tertentu masyarakat juga berburu hewan.
Hewan yang biasa diburu adalah babi. Berburu babi dilakukan apabila ada warga
yang membutuhkan untuk upacara. Masyarakat yang melakukan kegiatan berburu
mendapatkan upah atau bayaran, namun mereka tidak menyebutnya menjual
karena itu dianggap haram.
Dusun Sade juga terkenal dengan kerajinan tenunnya. Hasil tenun tersebut
biasanya dijual untuk wisatawan yang berkunjung ke Dusun Sade, namun ada
juga yang dijual di Pasar Kamis. Disebut Pasar Kamis karena pasar tersebut hanya
beroperasi pada hari Kamis. Pasar Kamis terletak di daerah Sengkol kira-kira 5
km dari Dusun Sade.
Masyarakat Dusun Sade juga memiliki pengetahuan tertentu tentang
pengolahan makanan atau pangan. Ada beberapa jajanan tradisional Lombok yaitu
rengginang, ketan, ketupat yang digunakan pada saat upacara perkawinan. Wajik,
bangap kuning dan merah merupakan jajanan yang digunakan pada saat upacara
kematian. Pada saat Hari Raya Idul Fitri, dibuat jajanan bernama tujak (jajanan
61
yang terbuat dari beras yang ditumbuk kemudian dibentuk lempengan lalu
dijemur hingga kering dan digoreng), poteng (tape), aling-aling. Jajanan khas
Lombok tersebut tidak banyak dijual (dikomersilkan) atau dijadikan oleh-oleh
seperti makanan khas daerah lain karena masih dibuat secara tradisional. Jajanan
tersebut juga tidak dapat bertahan lama, sebab tidak terdapat bahan pengawet.
Tabel 4.1: Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Rembitan
No. Jenis Pekerjaan Laki-laki
(Orang)
Perempuan
(Orang)
Jumlah
(Orang)
1. Petani 3.170 1.500 4.670
2. Buruh tani 1.434 900 2.334
3. Anggota legislatif 1 0 1
4. Pemuka agama 4 0 4
5. TNI 2 0 2
6. Polri 6 0 6
7. PNS 35 5 40
8. Karyawan swasta 21 4 25
9. Karyawan honorer 40 23 63
10. Purnawirawan/Pensiunan 2 0 2
11. Tidak punya pekerjaan tetap 260 120 380
Sumber: Profil Desa Rembitan 2016
B. Penyajian Data Fokus Penelitian
1. Peran Pemerintah Desa Dalam Pengembangan Desa Wisata Dusun Sade
Setelah penjabaran normatif terkait profil Dusun Sade Desa Rembitan,
struktur organisasi hingga mekanisme, tahap selanjutnya adalah melakukan
analisis lebih komprehensif terkait peran pemerintah desa dalam pengembangan
Desa Wisata Dusun Sade. Peran merupakan fungsi penyesuaian yang dimiliki oleh
seseorang atau kelompok yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat. Apabila
62
konsep tersebut dikaitkan dengan fungsi pemerintah maka, dapat disimpulkan
definisi peran adalah organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara
dan fungsi-fungsi pemerintahan daerah dalam hal ini adalah Pemerintah Dusun
Sade Desa Rembitan. Analisis terkait peran pemerintah desa dalam
pengembangan Desa Wisata Dusun Sade menggunakan pendapat Pitana dan
Gayatri (2005:95) yang mengemukakan pemerintah daerah memiliki peran untuk
mengembangkan potensi pariwisata daerahnya sebagai motivator, fasilitator, dan
dinamisator.
a. Peran Sebagai Motivator
Dalam pengembangan pariwisata, peran Pemerintah Desa sebagai
motivator diperlukan agar geliat usaha pariwisata terus berjalan. Investor swasta,
masyarakat Sade, serta pengusaha di bidang pariwisata merupakan sasaran utama
yang perlu untuk terus diberikan motivasi agar perkembangan pariwisata di Desa
Wisata Sade dapat berjalan dengan baik. Sikap masyarakat Dusun Sade setelah
ditetapkan menjadi Desa Wisata dikemukakan oleh Bapak Kurdap Selake selaku
Kepala Dusun (Kadus) Sade yang ditunjuk mewakili Kepala Desa Rembitan
sebagai berikut:
“Cukup senang, karena dari sisi ekonomi dapat menambah
penghasilan warga Dusun Sade, dari sisi sosial masyarakat Sade
dapat berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat baik itu
wisatawan domestik maupun mancanegara, dari sisi pendidikan
dapat meningkatkan mutu masyarakat Dusun Sade yang berkaitan
dengan kepariwisataan”. (Wawancara hari Senin tanggal 20
Februari 2017 pukul 10.20, di Dusun Sade).
Pendapat Bapak Kurdap Selake hampir sama dengan Ibu Inaq Esun terkait
sikap masyarakat Dusun Sade setelah ditetapkan menjadi Desa Wisata.
“Ya tentu senang sekali. Hampir semua warga Sade merasa senang
dengan ditunjuknya desa Sade sebagai desa wisata. Kami senang
63
karena itu artinya kami dapat terus melestarikan adat istiadat
budaya Sasak. Banyak tamu atau turis yang datang, jadi warga bisa
menjual cindera mata untuk oleh-oleh sehingga dapat membantu
menambah penghasilan keluarga”. (Wawancara hari Selasa tanggal
21 Februari 2017 pukul 14.46, di Dusun Sade).
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa masyarakat Dusun Sade
cukup senang sejak Dusun Sade ditetapkan menjadi Desa Wisata. Hal ini
disebabkan secara ekonomi masyarakat Dusun Sade memiliki peluang untuk
meningkatkan penghasilan tambahan. Masih terdapat cukup banyak jumlah warga
di Dusun Sade dan di Desa Rembitan yang masih tergolong keluarga Pra
Sejahtera. Namun jumlah tersebut perlahan mengalami penurunan, sebagaimana
terlihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.2: Jumlah Keluarga Pra Sejahtera di Desa Rembitan
Tahun 2012-2015
No. Tahun Jumlah
(jiwa)
Kenaikan/Penurunan
(%)
1. 2012 1.332 -
2. 2013 1.332 0,00
3. 2014 1.292 -3,00
4. 2015 1.292 0,00
Sumber: BPS, Kecamatan Pujut Dalam Angka 2013, 2014, 2015, 2016
Upaya Pemerintah Desa dalam memotivasi masyarakat terkait dengan
keberadaan Dusun Sade sebagai Desa Wisata adalah dengan memberikan
pengarahan dan pembinaan serta dukungan pendanaan untuk membangun fasilitas
fisik dalam rangka pengembangan Desa Wisata Sade. Sebagaimana dikemukakan
oleh Bapak Kurdap Selake berikut ini:
“Pemerintah memberikan binaan dan arahan terkait dengan
keberadaan Sade sebagai Desa Wisata. Pemerintah memberikan
dukungan dalam bentuk dukungan fisik seperti dana untuk tempat
64
parkir dan toilet untuk tamu yang berkunjung”. (Wawancara hari
Senin tanggal 20 Februari 2017 pukul 10.20, di Dusun Sade).
Pendapat tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan
oleh Ibu Inaq Esun sebagai berikut.
“Pemerintah desa memang sering memberi pengarahan kepada
kami selaku warga Sade untuk terus bekerjasama membangun desa
Sade. Pemerintah desa telah membangun fasilitas umum untuk
menunjukkan dukungan mereka terhadap keinginan warga Sade
agar memiliki kehidupan yang lebih baik”. (Wawancara hari Selasa
tanggal 21 Februari 2017 pukul 14.46, di Dusun Sade).
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa motivasi atau dorongan yang
diberikan oleh Pemerintah Desa terkait pengembangan Dusun Sade sebagai Desa
Wisata adalah dengan memberikan pengarahan dan pembinaan kepada
masyarakat. Selain itu, Pemerintah Desa juga memotivasi warganya dengan
mengupayakan dukungan pendanaan guna pembangunan dan pemeliharaan sarana
prasarana (sapras) fasilitas umum untuk kepentingan pengembangan Desa Wisata
Sade. Salah satu dukungan pendanaan yang tersalurkan di Dusun Sade dan Desa
Rembitan adalah berasal dari PNPM Mandiri Pedesaan yang mencapai lebih dari
264 juta rupiah, sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 4.3: Realisasi Penyaluran Dana Sapras dari Dana PNPM Mandiri
Pedesaan di Desa Rembitan Tahun 2012-2015
No. Tahun Sumber Dana PNPM MP
(Rp)
1. 2012 -
2. 2013 221.196.000
3. 2014 264.299.300
4. 2015 264.299.300
Sumber: BPS, Kecamatan Pujut Dalam Angka 2013, 2014, 2015, 2016
65
Dalam rangka memaksimalkan pengembangan Desa Wisata Sade, maka
Pemerintah Desa juga berupaya memotivasi pihak investor swasta agar turut
berperan serta atau terlibat dalam rangka pengembangan Desa Wisata Sade.
Upaya Pemerintah Desa dalam memotivasi investor swasta dan pengusaha untuk
terlibat dalam pengembangan Desa Wisata Sade disampaikan oleh Bapak Kurdap
Selake sebagai berikut.
“Pada dasarnya pemerintah desa selalu memberikan dorongan-
dorongan terkait dengan investasi, tetapi sampai saat ini belum ada
investor atau swasta yang berminat berinvestasi untuk
pengembangan Desa Wisata Sade, karena Desa Wisata Sade adalah
sebuah perkampungan komunitas bukan suatu badan usaha”.
(Wawancara hari Senin tanggal 20 Februari 2017 pukul 10.20, di
Dusun Sade).
Senada dengan pendapat dari Bapak Kurdap Selake tersebut, Ibu Inaq
Esun juga mengemukakan pendapatnya berikut ini.
“Yang saya tahu belum ada satu pun perusahaan yang mau terlibat
membantu secara serius dalam mengembangkan desa wisata Sade.
Yang banyak justru dari dinas atau instansi pemerintah yang lain
misalnya Dinas Pariwisata. Padahal desa Sade ini saya rasa sangat
bagus untuk menjadi tujuan wisata budaya khususnya di Pulau
Lombok ini”. (Wawancara hari Selasa tanggal 21 Februari 2017
pukul 14.46, di Dusun Sade).
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa Pemerintah Desa telah
melakukan upaya memotivasi pihak investor swasta guna turut terlibat atau
berperan serta dalam pengembangan Dusun Sade sebagai Desa Wisata. Namun
hingga saat ini masih belum ada satupun investor swasta yang tertarik untuk
terlibat dalam pengembangan Desa Wisata Sade. Hal ini dikarenakan Desa Wisata
Sade merupakan sebuah perkampungan adat atau cagar budaya dan bukan suatu
badan usaha, sehingga lembaga adat Desa Wisata Sade terbilang ketat atau
66
selektif terhadap keterlibatan pihak swasta agar tidak mengubah kelestarian adat-
istiadat di dusun tersebut.
Geliat usaha atau bisnis yang berkembang dengan adanya Desa Wisata
Sade cukup baik. Hal ini merupakan wujud dari adanya upaya Pemerintah Desa
dalam memotivasi para pelaku UKM untuk membantu dalam pengembangan Desa
Wisata Sade. Hal ini dikemukakan oleh Bapak Kurdap Selake sebagai berikut.
“Geliat usaha di Sade cukup bagus baik dari bisnis kain tenun
songket maupun masyarakat pedagang dari dusun tetangga yang
datang mencari rezeki dengan keberadaan Dusun Sade ini sendiri.
Termasuk dengan agen-agen travel yang gencar mempromosikan
maupun menjadwalkan atau mengagendakan perjalanan wisatanya
untuk membawa para tamu untuk berkunjung ke Dusun Sade.
Pemerintah desa memberikan bantuan dengan memberikan
permodalan dalam bentuk Anggaran Dana Desa memotivasi pelaku
UKM dalam membantu pengembangan Desa Wisata Sade.”
(Wawancara hari Senin tanggal 20 Februari 2017 pukul 10.20, di
Dusun Sade).
Pendapat tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan
oleh Ibu Inaq Esun sebagai berikut.
“Hampir semua rumah di sini menjual barang-barang untuk oleh-
oleh bagi para wisatawan. Alhamdulillah hasilnya lumayan lah
untuk membantu penghasilan keluarga. Tapi kalau kain tenun khas
Sasak itu wajib tersedia, supaya wisatawan mengenal kebudayaan
Sasak di sini. Ya banyak juga pendatang dari desa lain yang jualan
di sini. Yang penting masyarakat sini dengan senang hati tetap
berjualan untuk membantu ekonomi keluarga, sekalian membantu
melestarikan budaya Sasak agar tidak hilang ditelan jaman”.
(Wawancara hari Selasa tanggal 21 Februari 2017 pukul 14.46, di
Dusun Sade).
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa selain warga dan investor
swasta, Pemerintah Desa juga melakukan upaya dengan memotivasi para pelaku
Usaha Kecil Menengah (UKM) untuk turut dalam pengembangan Desa Wisata
Sade. Para pelaku UKM yang turut terlibat dalam pengembangan Desa Wisata
Sade di antaranya adalah usaha kerajinan tenun khas Sasak atau kain songket dan
67
agen-agen travel yang menyediakan perjalanan wisata bagi para wisatawan yang
berkunjung ke Desa Wisata Sade. Adapun sarana perekonomian untuk UKM yang
ada di Desa Rembitan masih didominasi oleh restoran (warung makan) dan kios-
kios penjualan cinderamata bagi wisatawan, sebagaimana yang terlihat pada tabel
berikut.
Tabel 4.4: Sarana Perekonomian di Desa Rembitan
Tahun 2012-2015
No. Tahun Pasar Umum
(unit)
Pasar Hewan
(unit)
Restoran & Kios
(unit)
KUD
(unit)
1. 2012 - - 75 -
2. 2013 - - 85 -
3. 2014 - - 88 -
4. 2015 - - 89 -
Sumber: BPS, Kecamatan Pujut Dalam Angka 2013, 2014, 2015, 2016
Adapun jenis UKM yang ada di Desa Wisata Sade didominasi oleh usaha
tekstil atau tenun khas Sasak, sisanya berupa usaha makanan dan minuman serta
pengolahan kayu (mebel). Usaha kecil menengah pada industri kain tenun songket
khas Sasak selama ini mengalami pertumbuhan yang positif, yang terlihat dari
adanya peningkatan jumlah usaha tersebut setiap tahun di Desa Rembitan
sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.5: Jumlah Usaha Industri di Desa Rembitan Tahun 2012-2015
No. Tahun Makanan/Minuman
(km)
Tekstil
(km)
Kayu
(km)
Besi/Baja
(km)
1. 2012 14 342 8 -
2. 2013 14 944 3 -
3. 2014 15 1.012 4 -
4. 2015 21 1.120 6 -
Sumber: BPS, Kecamatan Pujut Dalam Angka 2013, 2014, 2015, 2016
68
Dusun Sade bisa dikatakan sebagai sisa-sisa kebudayaan Sasak lama yang
mencoba bertahan sejak zaman Kerajaan Penjanggik di Praya Kabupaten Lombok
Tengah. Sebagai salah satu desa tradisional, Dusun Sade memang sengaja
diberdayakan dan didorong oleh pemerintah setempat untuk terus menjaga
warisan tradisi leluhur mereka salah satunya hasil tenun. Pelaku utama kerajinan
ini adalah para wanita, mereka tekun menenun dengan menggunakan alat
sederhana dan tradisional sehingga menghasilkan kain yang indah. Bahan-bahan
membuat kain tenun biasanya didapat di lingkungan sekitar dan kemudian diracik
sendiri tanpa campuran dari hasil industri melalui proses yang lumayan lama
sehingga menghasilkan sebuah kain tenun ikat yang menarik. Mayoritas
perempuan dewasa penduduk Sade, sangat piawai menenun dengan menggunakan
alat tenun tradisional. Sebab sejak umur 10 tahun, mereka diajari cara menenun.
Ada suatu filosofi atau tradisi yang dianut di suku Sasak, perempuan Sasak jika
belum piawai menenun, maka perempuan tersebut secara adat, belum boleh
dinikahkan. Karena dianggap belum baligh, atau dewasa.
Tenun asal Dusun Sade pada umumnya sangat menarik, baik secara warna
maupun produknya, akan tetapi keunikan kain tenun Dusun Sade dengan kain
tenun lainnya di daerah Lombok sangat berbeda karna bahan-bahan yang
digunakan untuk menghasilkan kain tenun berasal dari alam tidak ada campuran
bahan kimia seperti benang yang mereka gunakan berasal dari kapas, yang
kemudian mereka pintal sendiri dengan menggunakan alat yang masih tradisional.
Sedangkan dalam segi warna, kain tenun Dusun Sade terkenal tidak akan pudar
meski sering dicuci.
69
Kain tenun di Dusun Sade mempunyai motif garis dan menarik. Pada
awalnya ragam hias tenun Dusun Sade hanya berbentuk lurik saja, namun dengan
berkembangnya zaman, ragam hias tenun Dusun Sade mengalami perkembangan
dengan adanya pengaruh dari hasil pengerajin tenun dari daerah lain yang ada di
wilayah Lombok yang mereka pasarkan di Dusun Sade tersebut. Tenun Dusun
Sade juga dikenal dengan ragam hiasnya yang memiliki arti simbolik tersendiri
pada masing-masing ragam hias sesuai kepercayaan penduduk setempat, yang
melibatkan sebuah harapan bagi pembuat dan pemakainya.
Gambar 4.3: Kain Tenun Songket Khas Sasak di Dusun Sade
Sumber: Dokumentasi Peneliti (2017)
Dusun Sade memiliki ciri khas dalam kain tenunnya baik dari bahan yang
digunakan yaitu bersumber dari alam, serta memiliki makna dimasing- masing
ragam hias tenunnya Namun disayangkan tidak sepenuhnya masyarakat Dusun
Sade yang mengetahui secara rinci tentang kain tenun Dusun Sade tersebut,
70
karena mereka kebanyakan hanya mengikuti dari orang tua mereka saja tanpa tahu
makna dari tiap-tiap ragam hias.
b. Peran Sebagai Fasilitator
Sebagai fasilitator pengembangan potensi pariwisata peran Pemerintah
Desa adalah menyediakan segala fasilitas yang mendukung segala program yang
diadakan oleh Dinas Pariwisata. Pada prakteknya Pemerintah Desa bisa
mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak, baik swasta maupun masyarakat.
Fasilitas fisik yang disediakan Pemerintah Desa untuk mendukung pengembangan
Desa Wisata Sade disampaikan oleh Bapak Kurdap Selake berikut.
“Pemerintah desa memberikan bantuan dana anggaran untuk
fasilitas fisik baik itu perbaikan untuk sarana tempat parkir, toilet
umum dan pemeliharaan untuk sumur bor”. (Wawancara hari Senin
tanggal 20 Februari 2017 pukul 10.20, di Dusun Sade).
Pendapat Bapak Kurdap Selake hampir sama dengan Ibu Inaq Esun terkait
fasilitas fisik yang disediakan Pemerintah Desa untuk mendukung pengembangan
Desa Wisata Sade.
“Betul mas, ada beberapa fasilitas fisik yang dibangun dan
diperbaiki di desa Sade ini. Di antaranya pembangunan toilet
umum dan sumur bor, jalan-jalan yang rusak juga diperbaiki.
Adanya fasilitas itu membuat warga menjadi senang, karena sangat
membantu kehidupan kami selaku warga Sade”. (Wawancara hari
Selasa tanggal 21 Februari 2017 pukul 14.46, di Dusun Sade).
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa sebagai fasilitator,
Pemerintah Desa membangun dan menyediakan fasilitas fisik dalam rangka
pengembangan Desa Wisata Sade. Beberapa fasilitas fisik yang dibangun dan
disediakan di antaranya perbaikan tempat parkir, toilet umum, dan sumur bor.
71
Gambar 4.4: Fasilitas Parkir di Desa Wisata Sade
Sumber: Dokumentasi Peneliti (2017)
Gambar 4.5: Perbaikan Toilet Umum di Desa Wisata Sade
Sumber: Dokumentasi Peneliti (2017)
72
Selain fasilitas tempat parkir dan toilet umum, fasilitas yang tak kalah
penting yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Desa selaku fasilitator adalah
kondisi jalan umum di Desa Rembitan yang dilalui oleh para wisatawan yang
berkunjung di Desa Wisata Sade. Terdapat peningkatan panjang jalan yang telah
dilapisi aspal dan diperkeras di Desa Rembitan pada tahun 2015 dibanding tahun-
tahun sebelumnya. Data mengenai hal tersebut dapat dilihat sebagaimana yang
disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4.6: Panjang Jalan Menurut Jenis di Desa Rembitan
Tahun 2012-2015
No. Tahun Aspal
(km)
Diperkeras
(km)
Tanah
(km)
Jumlah
(km)
1. 2012 3 2 37 42
2. 2013 3 2 37 42
3. 2014 3 2 37 42
4. 2015 6 4 37 47
Sumber: BPS, Kecamatan Pujut Dalam Angka 2013, 2014, 2015, 2016
Hasil wawancara, dokumentasi, dan tabel di atas menunjukkan bukti
adanya peran Pemerintah Desa sebagai fasilitator dalam memfasilitasi masyarakat
terkait sarana dan prasarana fisik untuk menunjang pengembangan Desa Wisata
Sade. Adapun upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dalam
mengoptimalisasikan masing-masing fasilitas fisik tersebut dikemukakan oleh
Bapak Kurdap Selake sebagai berikut.
“Pemerintah desa dan masyarakat Sade rutin melakukan
pemeliharaan terhadap fasilitas fisik yang ada”. (Wawancara hari
Senin tanggal 20 Februari 2017 pukul 10.20, di Dusun Sade).
Pendapat tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan
oleh Ibu Inaq Esun sebagai berikut.
73
“Iya, warga dan aparat desa sepakat untuk bersama-sama menjaga
fasilitas umum yang sudah dibangun dan diperbaiki, seperti toilet,
sumur bor, jalan dan lainnya itu. Maksudnya adalah supaya fasilitas
itu tidak cepat rusak karena menyangkut kepentingan bersama”.
(Wawancara hari Selasa tanggal 21 Februari 2017 pukul 14.46, di
Dusun Sade).
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa dalam menjalankan
perannya sebagai fasilitator, Pemerintah Desa bersama masyarakat Sade
melakukan pemeliharaan terhadap fasilitas-fasilitas fisik yang ada secara rutin.
Hal ini dimaksudkan agar setiap fasilitas fisik yang telah disediakan dapat tetap
berfungsi dengan baik dan memadai ketika dipergunakan oleh para wisatawan
yang datang berkunjung ke Desa Wisata Sade. Melalui optimalisasi masing-
masing fasilitas fisik yang tersedia bagi para wisatawan seperti pembangunan dan
perbaikan tempat parkir, toilet umum, sumur bor, dan kondisi jalan yang layak
maka diharapkan dapat mendukung upaya pengembangan Desa Wisata Sade yang
dilakukan oleh Pemerintah Desa setempat.
c. Peran Sebagai Dinamisator
Agar dapat berlangsung pembangunan yang ideal, maka Pemerintah Desa,
swasta dan masyarakat harus dapat bersinergi dengan baik. Pemerintah Desa
sebagai salah satu stakeholder pembangunan pariwisata memiliki peran untuk
mensinergiskan ketiga pihak tersebut, agar di antaranya tercipta suatu simbiosis
mutualisme demi perkembangan pariwisata di Desa Wisata Sade.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa belum ada pihak atau
investor swasta yang turut berperan serta dalam pengembangan Desa Wisata Sade.
Oleh karenanya, Pemerintah Desa melakukan kerjasama dan meningkatkan
sinergi dengan instansi pemerintah yang terkait dalam rangka pengembangan
Desa Wisata Sade. Instansi pemerintah yang diajak bekerjasama dalam
74
pengembangan Desa Wisata Sade dan peran dari masing-masing instansi tersebut
diungkapkan oleh Bapak Kurdap Selake sebagai berikut.
“Dinas Pariwisata, Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan,
Dinas Pendidikan, Dinas Bappeda. Lebih banyak berperan dalam
rangka pembinaan, baik itu hal-hal yang bersifat teknis maupun
promosi. Belum ada instansi swasta yang tertarik bekerjasama,
hanya dari instansi pemerintah saja.” (Wawancara hari Senin
tanggal 20 Februari 2017 pukul 10.20, di Dusun Sade).
Pendapat Bapak Kurdap Selake hampir sama dengan Ibu Inaq Esun terkait
kerjasama dan sinergi pemerintah desa dengan pihak yang terkait dalam rangka
pengembangan Desa Wisata Sade.
“Selama ini belum ada bantuan dari pihak swasta atau perusahaan
dalam rangka memajukan desa Sade ini. Tidak jarang kami warga
sini terpaksa patungan buat mengadakan kegiatan tradisi untuk
melestarikan budaya warisan leluhur”. (Wawancara hari Selasa
tanggal 21 Februari 2017 pukul 14.46, di Dusun Sade).
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa dalam menjalankan
perannya sebagai dinamisator, Pemerintah Desa menjalin kerjasama dan
bersinergi dengan berbagai instansi pemerintah yang terkait dalam rangka
pengembangan Desa Wisata Sade. Melalui sinergi yang kuat dengan instansi-
instansi tersebut maka hal ini dapat menunjang sinergi Pemerintah Desa dengan
masyarakat Sade melalui pembinaan baik secara teknis maupun promosi yang
dilaksanakan oleh instansi-instansi tersebut di antaranya Dinas Pariwisata, Dinas
Koperasi Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pendidikan, Dinas Bappeda.
Melalui sinergi yang terjalin antara Pemerintah Desa, instansi-instansi pemerintah
yang terkait, dan masyarakat Sade, maka diharapkan memberikan manfaat yang
besar bagi Pemerintah Desa dalam pengembangan Desa Wisata Sade. Adapun
manfaat yang diperoleh Pemerintah Desa dalam pengembangan Desa Wisata Sade
tersebut dikemukakan oleh Bapak Kurdap Selake sebagai berikut.
75
“Dapat meningkatkan perekonomian, pendidikan, sosial budaya,
sisi keagamaan dan lain-lain. Bagi pemerintah desa maupun
masyarakat Sade itu sendiri terkait dengan kepariwisataan.”
(Wawancara hari Senin tanggal 20 Februari 2017 pukul 10.20, di
Dusun Sade).
Pendapat tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan
oleh Ibu Inaq Esun sebagai berikut.
“Ya, kami tentu berharap agar aparat desa dan masyarakat Sade
dapat terus bersama-sama menjaga kelestarian budaya Sasak. Tidak
cuma itu, kami juga berharap agar kehidupan kami sebagai warga
Sade dapat lebih sejahtera ke depannya”. (Wawancara hari Selasa
tanggal 21 Februari 2017 pukul 14.46, di Dusun Sade).
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa sinergi yang dilakukan oleh
Pemerintah Desa, instansi-instansi pemerintah yang terkait, dan masyarakat Sade
dapat memberikan manfaat yang terkait dengan kepariwisataan, perekonomian,
pendidikan, sosial bidaya, dan keagamaan. Terkait dengan kepariwisataan, sinergi
yang terjalin dapat membantu meningkatkan kunjungan wisatawan baik asing
maupun domestik ke Desa Wisata Sade, sebagaimana disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4.7: Kunjungan Wisatawan Asing dan Domestik di Kabupaten
Lombok Tengah Tahun 2012-2015
No. Tahun Asing
(orang)
Domestik
(orang)
Jumlah
(orang)
1. 2012 23.535 58.364 81.899
2. 2013 25.150 77.278 102.428
3. 2014 49.766 54.954 104.720
4. 2015 53.820 46.908 100.728
Sumber: Statistik Kepariwisataan Kab. Lombok Tengah Tahun 2016
Tidak hanya memberikan manfaat di bidang kepariwisataan, sinergi yang
baik antara Pemerintah Desa, instansi-instansi pemerintah yang terkait, dan
masyarakat Sade juga dapat memberikan manfaat di bidang perekonomian yakni
76
meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat, terutama pada lapangan usaha
yang terkait dengan Desa Wisata Sade seperti transportasi, penyediaan akomodasi
dan makan minum, informasi dan komunikasi, serta jasa keuangan dan asuransi,
sebagaimana yang disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4.8: PDRB Perkapita Kabupaten Lombok Tengah Menurut Lapangan
Usaha Terkait Desa Wisata Sade Tahun 2012-2015
No. Tahun Transportasi
dan
Pergudangan
(Rp)
Penyediaan
Akomodasi dan
Makan Minum
(Rp)
Informasi
dan
Komunikasi
(Rp)
Jasa Keuangan
dan
Asuransi
(Rp)
1. 2012 1.893.452 107.326 156.987 191.777
2. 2013 2.490.338 126.596 169.718 216.017
3. 2014 3.033.722 152.498 186.492 234.838
4. 2015 3.573.525 186.492 199.966 258.759
Sumber: BPS, Lombok Tengah Dalam Angka 2016
Data pada tabel di atas menunjukkan adanya peningkatan pendapatan
perkapita masyarakat yang terkait dengan bidang kepariwisataan. Pada sektor
transportasi baik darat, laut, maupun udara mengalami peningkatan. Penyediaan
akomodasi berupa penginapan atau hotel dan warung makan atau restoran juga
mengalami peningkatan. Begitu pula peningkatan yang terjadi pada sektor
informasi dan komunikasi dengan bertambahnya kebutuhan internet dan operator
seluler, serta jasa keuangan terkait perbankan dalam transaksi di bidang
kepariwisataan.
77
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Peran Pemerintah Desa Dalam
Pengembangan Desa Wisata Dusun Sade
a. Faktor Pendukung
Pelaksanaan peran Pemerintah Desa dalam pengembangan Desa Wisata
Dusun Sade tidak terlepas dari adanya berbagai faktor di dalamnya. Faktor-faktor
tersebut dapat mempengaruhi peran Pemerintah Desa dalam pengembangan Desa
Wisata Dusun Sade. Terdapat dua jenis faktor, yaitu faktor pendukung dan faktor
penghambat, dimana dalam pelaksanaan peran Pemerintah Desa selalu berkaitan
dengan kedua faktor tersebut.
Berikut ini hasil wawancara peneliti terkait dengan faktor-faktor yang
mendukung peran Pemerintah Desa dalam pengembangan Desa Wisata Dusun
Sade. Sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Kurdap Selake bahwa dalam
melaksanakan perannya sebagai motivator, terdapat faktor yang mendukung
pemerintah desa dalam pengembangan Desa Wisata Sade.
“Faktor SDM perlu ditingkatkan melalui pembinaan kelembagaan
sistem yang ada seperti Paguyuban Adat, Karang Taruna. Dari sisi
sosial budaya yaitu menghidupkan kembali lembaga-lembaga adat
untuk memberi dukungan terhadap pengembangan Desa Wisata”.
(Wawancara hari Senin tanggal 20 Februari 2017 pukul 10.20, di
Dusun Sade)
Pendapat Bapak Kurdap Selake hampir sama dengan Ibu Inaq Esun terkait
faktor yang mendukung peran pemerintah desa sebagai motivator dalam
pengembangan Desa Wisata Dusun Sade.
“Masyarakat sini memang punya motivasi yang tinggi untuk terus
menjaga budaya dan adat istiadat leluhur. Terutama para sesepuh
adat dan juga anak-anak muda Karang Taruna di sini selalu
semangat mengikuti kegiatan yang menunjukkan budaya Sasak.
Selain karena kesadaran sendiri, ini juga berkat himbauan dari
aparat desa”. (Wawancara hari Selasa tanggal 21 Februari 2017
pukul 14.46, di Dusun Sade).
78
Bapak Kurdap Selake juga mengemukakan bahwa dalam melaksanakan
perannya sebagai fasilitator, terdapat pula faktor yang mendukung pemerintah
desa dalam pengembangan Desa Wisata Sade. Berikut penuturan dari Bapak
Kurdap Selake terkait dengan hal tersebut.
“Karena Dusun Sade adalah Desa Wisata yang diakui oleh
Pemerintah Provinsi melalui SK Gubernur NTB No. 2 Tahun 1989,
yang kemudian diperbaharui dengan Perda NTB No. 7/2013
tentang rencana induk pembangunan kepariwisataan daerah 2013-
2028. Dan juga dengan adanya keberadaan atraksi wisata,
aksesibilitas, sistem kepercayaan dan kemasyarakatan, mendorong
Pemerintah Desa untuk terus melakukan pengembangan Desa
Wisata Sade karena sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat
Sade.” (Wawancara hari Senin tanggal 20 Februari 2017 pukul
10.20, di Dusun Sade).
Pendapat tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan
oleh Ibu Inaq Esun sebagai berikut.
“Yang saya tahu, desa Sade dijadikan desa wisata karena adanya
keputusan dari gubernur dan peraturan daerah. Hal itu sering
disinggung oleh kepala desa, untuk memperkuat tugas mereka
dalam memfasilitasi keinginan masyarakat di sini untuk maju
dengan tetap memelihara budaya leluhur”. (Wawancara hari Selasa
tanggal 21 Februari 2017 pukul 14.46, di Dusun Sade).
Selanjutnya dalam melaksanakan perannya sebagai dinamisator, juga
terdapat faktor yang mendukung Pemerintah Desa dalam pengembangan Desa
Wisata Dusun Sade. Hal ini Sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Kurdap
Selake sebagai berikut.
“Adanya dukungan dan kerjasama Pemerintah Desa dengan
berbagai instansi yang terkait. Bukan hanya dari dinas pemerintah,
tetapi juga dari komponen masyarakat yang peduli dengan
pelestarian budaya di Dusun Sasak seperti kalangan akademisi,
peneliti, juga dari LSM. Sinergi ini sangat membantu kita untuk
tetap mempertahankan dan mengembangkkan Desa Wisata Sade
selama ini.” (Wawancara hari Senin tanggal 20 Februari 2017
pukul 10.20, di Dusun Sade).
79
Senada dengan pendapat dari Bapak Kurdap Selake tersebut, Ibu Inaq
Esun juga mengemukakan pendapatnya berikut ini.
“Memang yang saya tahu banyak tamu yang datang kesini untuk
mempelajari adat istiadat Sasak. Ada yang dari perguruan tinggi,
LSM juga ada, bahkan ada orang luar negeri juga. Mereka sering
mampir bersama aparat desa ke rumah-rumah sekitar untuk tanya
jawab, kayak wawancara gitu. Kata aparat desa, para tamu tersebut
ikut membantu memperjuangkan kelestarian budaya desa kami”.
(Wawancara hari Selasa tanggal 21 Februari 2017 pukul 14.46, di
Dusun Sade).
Hasil wawancara di atas menunjukkan adanya faktor pendukung pada
masing-masing peran yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dalam
pengembangan Desa Wisata Sade. Peran Pemerintah Desa sebagai motivator
didukung dengan adanya kelompok masyarakat yang membantu memotivasi dan
membina masyarakat seperti Paguyuban Adat dan Karang Taruna. Peran
Pemerintah Desa sebagai fasilitator didukung dengan adanya dasar kebijakan dari
Pemerintah Provinsi berupa SK Gubernur Provinsi NTB No. 2 Tahun 1989
Tentang Penetapan 15 Kawasan Pariwisata, yang menunjuk Dusun Sade sebagai
Desa Wisata. SK Gubernur tersebut kemudian diperbaharui dengan Perda NTB
No. 7 Tahun 2013 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah
Tahun 2013-2028. Adapun Peran Pemerintah Desa sebagai dinamisator didukung
dengan adanya komponen masyarakat non pemerintah yang turut peduli tentang
kelestarian adat budaya Sasak seperti kalangan akademisi dan peneliti di
perguruan tinggi, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) baik di dalam
maupun di luar negeri.
Namun di antara beberapa faktor-faktor pendukung tersebut, menurut
Bapak Kurdap Selake bahwa faktor yang paling efektif dalam mendukung
pemerintah desa mengembangkan Desa Wisata Sade adalah faktor SDM atau
80
masyarakat Sade itu sendiri. Hal ini dikarenakan masyarakat Sade adalah pelaku
wisata di desanya tersebut.
b. Faktor Penghambat
Berikut ini hasil wawancara peneliti terkait dengan faktor-faktor yang
menghambat peran Pemerintah Desa dalam pengembangan Desa Wisata Dusun
Sade. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Kurdap Selake yang
menyatakan bahwa:
“Kendalanya lebih pada peran kita sebagai motivator, yaitu faktor
finansial dan SDM. Kendala finansial berupa terbatasnya dana atau
anggaran kita untuk membangun atau meningkatkan infrastruktur
dan fasilitas pendukung. Sedangkan kendala SDM adalah
terbatasnya personel di lingkup Pemerintahan Desa dan di
masyarakat Sade yang memiliki keahlian atau kemampuan dalam
pengembangan Desa Wisata Sade” (Wawancara hari Senin tanggal
20 Maret 2016 pukul 11.45, di Dusun Sade)
Pendapat Bapak Kurdap Selake hampir sama dengan Ibu Inaq Esun terkait
faktor yang menghambat peran pemerintah desa dalam pengembangan Desa
Wisata Dusun Sade.
“Kendala pemerintah desa yang saya tahu ya itu, minimnya dana
yang dimiliki desa untuk mengadakan kegiatan tradisi budaya
Sasak. Terus juga kurangnya aparat desa yang memiliki pendidikan
yang tinggi, yang bisa mengembangkan desa Sade ini jadi lebih
maju”. (Wawancara hari Selasa tanggal 21 Februari 2017 pukul
14.46, di Dusun Sade).
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa meskipun terdapat kendala
di bidang finansial dan SDM yang dapat menghambat peran Pemerintah Desa
dalam pengembangan Desa Wisata Dusun Sade, tetapi Pemerintah Desa memiliki
solusi tersendiri dalam mengatasi kendala-kendala tersebut. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Bapak Kurdap Selake yang menyatakan bahwa:
“Untuk itu, solusi yang kita lakukan dari sisi finansial adalah
pemerintah desa gencar melakukan lobi dalam bentuk proposal
81
kepada pemerintah pusat dari bantuan sosial revitalisasi desa adat,
PNPM Mandiri Pariwisata, Kementerian, Dinas Pendidikan, dan
Dinas Pariwisata terkait. Agar pengembangan Desa Wisata Sade
berjalan dengan optimal. Sedangkan dari sisi SDM, solusinya
adalah perlu diadakan pembinaan pendiklatan atau pelatihan
keterampilan agar sinergi antara faktor finansial dan SDM dapat
berjalan dengan baik.” (Wawancara hari Selasa tanggal 21 Maret
2016 pukul 10.12, di Dusun Sade)
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa solusi yang dilakukan
Pemerintah Desa untuk mengatasi kendala keterbatasan finansial adalah dengan
gencar melakukan lobi dalam bentuk proposal kepada pemerintah pusat untuk
bantuan sosial revitalisasi desa adat, PNPM Mandiri Pariwisata, Kementerian,
Dinas Pendidikan, dan Dinas Pariwisata terkait. Hal ini dimaksudkan agar
pengembangan Desa Wisata Sade berjalan dengan optimal. Adapun solusi yang
dilakukan Pemerintah Desa untuk mengatasi kendala keterbatasan SDM yang
terampil dalam pengembangan Desa Wisata adalah dengan mengikutsertakan
aparatur Pemerintah Desa untuk mengikuti pembinaan atau pendidikan dan
pelatihan (diklat) keterampilan tentang pengembangan Desa Wisata. Hal ini
dimaksudkan terdapat SDM setempat yang memiliki keterampilan dan pemikiran
yang dibutuhkan dalam rangka mengembangkan Desa Wisata Sade menjadi lebih
baik lagi di masa mendatang.
C. Analisis Data
1. Peran Pemerintah Desa Dalam Pengembangan Desa Wisata Sade
a. Peran Sebagai Motivator
Pentingnya peranan motivator dalam pengembangan Desa Wisata Sade
dan perlu dipahami oleh pemerintah desa dalam hal ini adalah Kepala Desa
Rembitan dan Kepala Dusun Sade agar dapat melakukan berbagai bentuk
82
tindakan atau bantuan kepada kepada masyarakat desa setempat. Kepala Desa
sebagai motivator harus mampu memotivasi warga untuk aktif berperan serta
dalam pengembangan Desa Wisata Sade sehingga pengembangan yang ingin
dicapai nantinya dapat terlaksana dengan baik tanpa ada perselisian di antara
pemerintah desa dan masyarakat setempat. Kepala Desa harus mampu
memberikan dorongan terhadap masyarakat untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan sehingga nantinya mencapai tujuan tertentu guna memenuhi atau
memuaskan suatu kebutuhan masyarakat desa dalam mengembangkan Desa
Wisata Sade. Kepala Pemerintahan Desa dalam hal ini sebagai motivator telah
bekerjasama dengan masyarakat dalam hal ini yaitu bersama-sama dalam
mengembangkan Desa Wisata Sade dengan cara memberikan dorongan-dorongan
kepada warga. Dorongan dari Kepala Desa selalu dilakukan dengan tujuan bahwa
hal tersebut memberikan kesadaran kepada masyarakat desa khususnya Desa
Rembitan akan pentingnya kerjasama dalam sebuah proses pengembangan Desa
Wisata Sade.
Selain itu, dengan hal tersebut tentunya mendapat respon yang positif dari
masyarakat Desa Wisata Sade karena dorongan dan bimbingan dari Kepala Desa
sangat diperlukan dan dinantikan oleh masyarakat desa. Hal ini terlihat bahwa
peran Kepala Desa sebagai motivator telah memberikan motivasi atau dorongan
kepada warga desa untuk ikut dalam kegiatan pengembangan Desa Wisata Sade.
Terdapat beberapa kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Desa
di antaranya memberikan dukungan pendanaan untuk membangun atau
memperbaiki fasilitas fisi seperti jalan, toilet umum dan sumur bor di Dusun Sade.
Dukungan dari Kepala Desa sebagai motivator akan selalu dinantikan oleh
83
masyarakat, dan juga sebaliknya Kepala Desa mengarapkan dukungan dari
masyarakat agar pelaksanaan pengembangan Desa Wisata Sade dapat berjalan
dengan baik.
Kepala Desa sebagai kepala pemerintah Desa Wisata Sade telah
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Kepala Pemerintahan di masyarakat,
dimana Kepala Desa sebagai motivator kepada masyarakat dalam pengembangan
Desa Wisata Sade adalah Kepala Desa dengan mengajak kumpul-kumpul bersama
warga masyarakat Sade untuk memberikan motivasi dalam pengembangan Desa
Wisata Sade, agar masyarakat bisa ikut terpengaruh atas motivasi yang diberikan
oleh Kepala Desa, sehingga masyarakat bisa ikut untuk bekerjasama dengan
Pemerintah Desa dalam pengembangan Desa Wisata Sade.
Kepala Desa dalam pemberian motivasi tidak hanya dalam bentuk
kumpul-kumpul saja, tetapi dengan mengadakan pendekatan kepada masyarakat
dan mengadakan sharing kepada masyarakat mengenai pengembangan Desa
Wisata Sade, sehingga dari situ Kepala Desa memberikan motivasi kepada
masyarakat dan dibantu oleh Kaur-Kaur (Kepala Urusan) yang ada di dalam staf
pemerintahan Desa Rembitan.
Hasil ini sesuai dengan pendapat Pitana dan Gayatri (2005:95) bahwa
pemerintah daerah memiliki peran untuk mengembangkan potensi pariwisata
daerahnya sebagai motivator. Dalam pengembangan pariwisata, peran pemerintah
daerah sebagai motivator diperlukan agar geliat usaha pariwisata terus berjalan.
Investor, masyarakat, serta pengusaha di bidang pariwisata merupakan sasaran
utama yang perlu untuk terus diberikan motivasi agar perkembangan pariwisata
dapat berjalan dengan baik.
84
b. Peran Sebagai Fasilitator
Dalam hal ini peran Kepala Desa sebagai fasilitator yaitu pihak yang
memberikan bantuan dan menjadi nara sumber yang baik untuk berbagai
permasalahan serta memfasilitasi pengembangan Desa Wisata Sade dengan
memberikan kemudahan dan kelancaran dalam proses pelaksanaannya sehingga
pengembangan Desa Wisata Sade dapat berjalan dengan baik.
Hasil penelitian di lapangan peneliti menilai bahwa peran Kepala Desa
sebagai fasilitator telah dijalankan dengan baik. Hal ini dibuktikan Kepala Desa
dengan membantu masyarakat desa dalam menjalankan program pengembangan
Desa Wisata Sade yang sedang berjalan pada saat ini. Contohnya Kepala Desa
meminjamkan alat pengangkut seperti mobil pick-up, alat pertukangan, dan alat
lainnya serta terkadang Kepala Desa juga sering mengundang rapat para warga
untuk hadir rapat di rumahnya. Dengan adanya bantuan tersebut tentunya Kepala
Desa sudah menjalankan perannya sebagai seorang fasilitator dengan baik,
sehingga masyarakat sangat terbantu dalam proses percepatan serta kelancaran
pengembangan Desa Wisata Sade khususnya pembangunan dan perbaikan
fasilitas fisik di lingkungan desa tersebut.
Pada kegiatan gotong-royong seperti perbaikan jalan desa dan tempat
parkir untuk pengunjung atau wisatawan, Kepala Desa meminjamkan mobil dan
alat- alat lainnya untuk mengangkut tanah dan batu untuk perbaikan jalan dan
pembuatan jalan usaha tani. Kepala Desa dan warga desa melakukan kegiatan
gotong-royong perbaikan jalan desa dan kemudian sepakat untuk menjaga
bersama-sama atas fasilitas umum yang sudah ada dan yang telah diperbaiki
tersebut.
85
Pada kegiatan pembangunan peningkatan infrastuktur pedesaan, Kepala
Desa membahas program-program pembangunan desa bersama PNPM Mandiri
Pedesaan dan melakukan penandatangan surat-surat resmi terkait program
tersebut. Pada pelaksanaannya maka dilakukan pembangunan dan perbaikan
beberapa fasilitas fisik seperti pembangunan toilet umum dan sumur bor untuk
kepentingan wisatawan yang datang berkunjung. Pada akhirnya kemudian Desa
Wisata Sade memiliki sarana dan prasarana fisik seperti desa toilet umum dan
sumur bor sebagaimana yang terlihat pada saat ini.
Peneliti melihat bahwa Kepala Desa sebagai fasilitator menjalankan
perannya dengan baik, dimana dalam hal ini Kepala Desa berperan langsung
dalam pelaksanaan kegiatan gotong-royong dimana Kepala Desa meminjamkan
mobil dan alat-alat lainnya untuk mengangkut tanah dan batu untuk perbaikan
jalan desa dan tempat parkir wisatawan serta Kepala Desa dan warga desa
melakukan kegiatan gotong-royong pembangunan toilet umum dan sumur bor
untuk kepentingan para wisatawan yang datang berkunjung ke Desa Wisata Sade.
Hasil ini sesuai dengan pendapat Pitana dan Gayatri (2005:95) bahwa
pemerintah daerah memiliki peran untuk mengembangkan potensi pariwisata
daerahnya sebagai fasilitator. Dalam pengembangan potensi pariwisata peran
pemerintah sebagai fasilitator adalah menyediakan segala fasilitas yang
mendukung segala program yang diadakan oleh Dinas Pariwisata. Adapun pada
prakteknya pemerintah bisa mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak, baik
itu swasta maupun masyarakat.
86
c. Peran Sebagai Dinamisator
Peranan Pemerintah Desa selaku aparatur desa dalam memberikan
bimbingan kepada masyarakat untuk bersama-sama mendukung pengembangan
Desa Wisata Sade dengan menjaga kelestarian adat-istiadat dan budaya Sasak
dalam kehidupan mereka. Meningkatkan peran serta dari masyarakat setempat dan
berbagai pihak yang terkait untuk saling bekerjasama dan bersinergi dalam
memberikan kontribusi sesuai peran masing-masing untuk kepentingan Desa
Wisata Sade. Hal ini akan mempercepat proses pengembangan Desa Wisata Sade
yang saat ini sedang berjalan. Pemerintah Desa juga berperan dalam mengajak
masyarakat dan berbagai pihak yang terkait untuk melakukan pengawasan terkait
dengan kegiatan pengembangan Desa Wisata Sade. Kepala Desa selaku pemimpin
di Desa Wisata Sade dapat menggerakkan masyarakat dan semua pihak yang
terkait untuk berpartisipasi dalam pengembangan Desa Wisata Sade tersebut.
Kepala Desa telah memberikan bimbingan kepada masyarakat dan
berbagai pihak yang terkait baik dari instansi atau dinas pemerintah terkait
maupun kelopok masyarakat non pemerintah seperti kalangan akademisi, peneliti
dan LSM untuk berperan aktif dalam proses pembangunan dan memberikan
kontribusi bagi masyarakat desa dalam kegiatan pengembangan Desa Wisata Sade
tersebut. Pemerintah Desa Wisata Sade sudah memberikan kontribusi bagi
masyarakat desa dan pihak-pihak yang terkait agar bersedia untuk berperan aktif
selama kegiatan pengembangan Desa Wisata Sade berlangsung. Kepala Desa
selaku aparat Pemerintah Desa, juga sudah berusaha untuk menggerakkan
masyarakat agar mengikuti arahan dari Kepala Desa untuk ikut berpartisipasi
dalam proses pengembangan Desa Wisata Sade.
87
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pemerintah Desa memiliki peran
yang cukup baik sebagai dinamisator untuk memperoleh dukungan atau partisipasi
dari masyarakat Sade dan semua pihak yang terkait dalam pengembangan Desa
Wisata Sade. Sebagai dinamisator, Pemerintah Desa dalam hal ini Kepala Desa
memiliki upaya baik dalam memberikan bimbingan, pengarahan, maupun dalam
mengajak masyarakat dan semua pihak yang terkait untuk berpartisipasi aktif
dalam pengembangan Desa Wisata Sade.
Dalam mengoptimalisasikan pengembangan Desa Wisata Sade,
Pemerintah Desa cukup jeli dan bijaksana dalam memantau dan melihat berbagai
kegiatan di masyarakat yang selalu dinamis, menempatkan dirinya di tengah-
tengah masyarakat untuk bisa langsung terjun mendorong masyarakat dan pihak-
pihak yang terkait baik di dalam maupun di luar pemerintah untuk lebih berperan
aktif terlibat dalam kegiatan pengembangan Desa Wisata Sade. Pada gilirannya
maka masyarakat Sade dan berbagai pihak yang terkait ikut berpartisipasi dan
bersinergi dengan Pemerintah Desa dalam proses pengembangan Desa Wisata
Sade.
Hasil ini sesuai dengan pendapat Pitana dan Gayatri (2005:95) bahwa
pemerintah daerah memiliki peran untuk mengembangkan potensi pariwisata
daerahnya sebagai fasilitator. Dalam pilar good governance, agar dapat
berlangsung pembangunan yang ideal, maka pemerintah, swasta dan masyarakat
harus dapat bersinergi dengan baik. Pemerintah daerah sebagai salah satu
stakeholder pembangunan pariwisata memiliki peran untuk mensinergiskan ketiga
pihak tersebut, agar di antaranya tercipta suatu simbiosis mutualisme demi
perkembangan pariwisata.
88
Pemerintah Desa secara dinamis telah berupaya mengajak semua pihak
yang terkait untuk bersinergi dalam pengembangan Desa Wisata Sade, untuk
bersama-sama meningkatkan sumberdaya lingkungan dengan melindungi alam
sekitarnya, menghormati sosial-budaya lokal yang ditunjukkan oleh masyarakat
baik cara hidup masyarakat lokal maupun nilai-nilai tradisional yang dianut,
memastikan keberlangsungan dan keuntungan sosial-ekonomi terdistribusikan
secara merata termasuk peluang pemasukan bagi masyarakat lokal yang terlibat
aktif dalam pariwisata, serta menjaga kepuasan dan pengalaman berharga bagi
para wisatawan.
Adanya poin-poin tersebut dalam pengembangan Desa Wisata Sade yang
dilakukan oleh Pemerintah Desa mengindikasikan bahwa Desa Wisata Sade telah
menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). Sebagaimana
dikemukakan oleh Asker et. al. (2010:1) bahwa konsep pariwisata berkelanjutan
adalah konsep yang menekankan pada aspek masyarakat dan lingkungan. Untuk
mengembangkan konsep ini diperlukan dukungan dari semua pemangku
kebijakan, seperti halnya kepemimpinan yang kuat guna memastikan partisipasi
yang luas dan bangunan konsensus. Konsep pariwisata berkelanjutan ini
merupakan proses yang terus berjalan dan membutuhkan pengamatan terhadap
dampak yang mungkin timbul dan mencari jalan keluar untuk menyelesaikannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam
menjalankan pengembangan Desa Wisata Sade, maka Kepala Desa, berbagai
pihak yang terkait, dan masyarakat Sade dapat bekerjasama dan saling bersinergi
dengan baik dalam rangka mengembangkan Desa Wisata Sade sehingga dapat
89
memberikan manfaat di bidang kepariwisataan, perekonomian, sosial budaya,
pendidikan, dan sebagainya bagi masyarakat Sade sendiri.
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Peran Pemerintah Desa Dalam
Pengembangan Desa Wisata Sade
a. Faktor Pendukung
Peneliti menemukan tiga faktor yang dapat mendukung peran Pemerintah
Desa dalam pengembangan Desa Wisata Sade. Ketiga faktor tersebut adalah
adanya kelompok masyarakat yang membantu memotivasi dan membina
masyarakat Sade, dasar kebijakan dari Pemerintah Provinsi berupa SK Gubernur
Provinsi NTB No. 2 Tahun 1989 yang menunjuk Dusun Sade sebagai Desa
Wisata dan diperbaharui melalui Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Daerah Tahun 2013-2028, dan adanya komponen masyarakat non pemerintah
yang turut peduli tentang kelestarian adat budaya Sasak.
1) Adanya kelompok masyarakat setempat yang membantu memotivasi dan
membina masyarakat Sade
Faktor pendukung yang pertama adalah adanya kelompok masyarakat
setempat yang membantu memotivasi dan membina masyarakat Sade.
Kelompok masyarakat setempat yang dimaksud adalah Paguyuban atau
Lembaga Adat Sasak dan Karang Taruna. Pada Paguyuban atau Lembaga
Adat terdapat para sesepuh dan tokoh adat Sasak yang memiliki wewenang
menerapkan dan melestarikan adat istiadat suku Sasak dalam berbagai
dimensi kehidupan masyarakat di Desa Wisata Sade. Sementara pada
90
keompok Karang Taruna terdapat para remaja dan anak muda setempat yang
aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa baik
kegiatan sosial, budaya, maupun keagamaan.
Faktor ini pada dasarnya sangat mendukung Pemerintah Desa dalam
menjalankan perannya sebagai motivator. Kepala Desa dan aparatnya hampir
selalu membutuhkan keterlibatan kelompok Paguyuban Adat dan Karang
Taruna setempat ketika Pemerintah Desa menjalankan perannya untuk
memotivasi warganya dengan menyelenggarakan kegiatan pengarahan dan
pembinaan kepada masyarakat Sade dalam konteks pengembangan Desa
Wisata Sade. Semakin besar dukungan dan partisipasi dari kedua kelompok
masyarakat tersebut maka semakin memudahkan peran Pemerintah Desa
untuk memberikan motivasi melalui kegiatan pengarahan dan pembinaan
kepada seluruh masyarakat Sade agar membantu dalam berbagai kegiatan
terkait pengembangan Desa Wisata Sade.
2) Adanya dasar kebijakan dari Pemerintah Provinsi berupa SK Gubernur
Provinsi NTB No. 2/1989 dan Perda No. 7/2013 yang menunjuk Dusun Sade
sebagai Desa Wisata
Faktor pendukung yang kedua adalah adanya dasar kebijakan dari
Pemerintah Provinsi berupa SK Gubernur Provinsi NTB No. 2 Tahun 1989
yang menunjuk Dusun Sade sebagai Desa Wisata yang diperbaharui melalui
Perda NTB No. 7 Tahun 2013 Tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah Tahun 2013-2028. SK Gubernur dan Perda NTB
tersebut menjadi landasan yang kuat bagi Pemerintah Desa dalam
menjalankan perannya sebagai fasilitator bagi masyarakat Sade dan semua
91
pihak yang terkait dengan pengembangan Desa Wisata Sade. SK Gubernur
dan Perda NTB tersebut menjadi payung hukum dan dasar kebijakan publik
yang mengamanatkan bagi aparatur Pemerintahan Desa untuk
mengembangkan Desa Wisata Sade.
Faktor ini pada dasarnya sangat mendukung Pemerintah Desa dalam
menjalankan perannya sebagai fasilitator. Melalui SK Gubernur Provinsi
NTB No. 2 Tahun 1989 dan Perda No. 7 Tahun 2013 yang menunjuk Dusun
Sade sebagai Desa Wisata tersebut, maka Pemerintah Desa memiliki dasar
hukum yang kuat dalam menjalankan kebijakan publik tersebut sebagai
justifikasi dan legitimasi dalam menjalankan perannya untuk memfasilitasi
semua pihak dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut, termasuk
dalam rangka mengembangkan Desa Wisata Sade. Artinya bahwa segala
bentuk pelaksanaan kegiatan atau program yang terkait dengan memfasilitasi
pengembangan Desa Wisata Sade yang dilakukan oleh Pemerintah Desa
seperti pembangunan dan perbaikan fasilitas fisik untuk kepentingan
wisatawan yang berkunjung ke Desa Wisata Sade memiliki dasar atau
rujukan kebijakan yang jelas dan kuat.
3) Adanya komponen masyarakat non pemerintah yang turut peduli tentang
kelestarian adat budaya Sasak
Faktor pendukung yang ketiga adalah adanya komponen masyarakat
non pemerintah yang turut peduli tentang kelestarian adat budaya Sasak.
Komponen masyarakat non pemerintah yang dimaksud adalah kalangan
akademisi dan peneliti di perguruan tinggi serta lembaga swadaya masyarakat
(LSM) baik di dalam maupun di luar negeri. Dukungan dan peran serta dari
92
kalangan akademisi, pelaku usaha pariwisata, asosiasi pariwisata, kelompok
seni, LSM, pekerja media massa, pelajar dan tokoh masyarakat yang cukup
besar membuat Pemerintah Desa setempat menjadi bersemangat dalam
pengembangan Desa Wisata Sade.
Dukungan dari berbagai kalangan tersebut tampak terlihat ketika
Pemerintah mencanangkan “Gerakan Nasional Sadar Wisata 2011” melalui
berbagai kegiatan dan program kerja yang berpusat di Dusun Sade
Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. Gerakan nasional tersebut
merupakan salah satu terobosan promosi yang sangat efektif, mengingat Desa
Sade telah menjadi model desa wisata yang sudah cukup dikenali para
wisatawan mancanegara maupun domestik dan diharapkan mampu
mendorong kemajuan pariwisata di wilayah Nusa Tenggara Barat.
Faktor ini pada dasarnya sangat mendukung Pemerintah Desa Wisata
Sade dalam menjalankan perannya sebagai dinamisator. Semakin banyak dan
beragam pihak yang tergerak untuk mendukung dan bekerjasama dengan
Pemerintah Desa maka semakin kuat sinergi yang terbangun dan terjalin di
antara masing-masing pihak tersebut. Setiap pihak yang bersinergi tersebut
dapat memberikan kontribusinya sesuai dengan masing-masing bidangnya
dengan tujuan yang sama yakni mengembangkan Desa Wisata Sade. Semakin
besar dukungan dan partisipasi dari masing-masing kelompok masyarakat
tersebut maka semakin membantu peran Pemerintah Desa sebagai
dinamisator melalui kerjasama dan sinergi yang dibangun dalam rangka
pengembangan Desa Wisata Sade.
93
b. Faktor Penghambat
Peneliti juga menemukan dua faktor yang dapat menghambat peran
Pemerintah Desa dalam pengembangan Desa Wisata Sade. Kedua faktor tersebut
adalah faktor terbatasnya dana atau anggaran kegiatan dan SDM yang menguasai
konsep pengembangan Desa Wisata.
1) Terbatasnya dana atau anggaran untuk kegiatan Pemerintah Desa
Kendala berupa terbatasnya dana atau anggaran yang dimiliki oleh
Pemerintah Desa dalam melaksanakan kegiatan terkait pengembangan Desa
Wisata Sade adalah kendala yang paling berat yang selama ini dialami oleh
aparatur Pemerintahan Desa Wisata Sade. Kegiatan pembangunan, perbaikan
dan pemeliharaan infrastruktur dan fasilitas pendukung untuk kepentingan
masyarakat Sade dan para wisatawan yang datang berkunjung membutuhkan
dana yang tidak sedikit. Dana yang berasal dari Alokasi Dana Desa dan
bantuan PNPM Mandiri Pedesaan memang dapat dimanfaatkan untuk
membiayai kegiatan-kegiatan tersebut, namun belum cukup untuk menutup
kekurangan dari dana yang dianggarkan pada semua kegiatan yang terkait
dengan pengembangan Desa Wisata Sade.
Anggaran yang dimiliki masih diprioritaskan untuk mendanai kegiatan
pembangunan, perbaikan dan pemeliharaan infrastruktur seperti jalan dan
jembatan, tempat parkir, toilet umum, dan sumur bor. Sementara dana yang
dianggarkan untuk penyediaan modal usaha kecil bagi masyarakat Sade
masih terbatas. Hingga saat penelitian ini dilakukan, anggaran untuk
permodalan usaha bagi masyarakat Sade masih dibahas sumbernya dari mana.
Namun masih belum dapat dipastikan anggaran tersebut berasal dari sumber
94
internal (Alokasi Dana Desa) atau eksternal. Sementara ini, solusi yang
dilakukan Pemerintah Desa untuk mengatasi kendala keterbatasan finansial
atau dana adalah dengan gencar melakukan lobi dalam bentuk proposal
kepada pemerintah pusat untuk bantuan sosial revitalisasi desa adat, PNPM
Mandiri Pariwisata, Kementerian, Dinas Pendidikan, dan Dinas Pariwisata
terkait. Hal ini dimaksudkan agar pengembangan Desa Wisata Sade berjalan
dengan optimal.
2) Terbatasnya SDM yang menguasai konsep pengembangan Desa Wisata
Kendala lainnya adalah terbatasnya SDM di Pemerintahan Desa yang
menguasai konsep pengembangan Desa Wisata. Pengembangan Desa Wisata
Sade memang bukanlah kegiatan sembarangan, artinya dibutuhkan SDM atau
individu yang betul-betul memahami konsep pengembangan Desa Wisata.
Hal ini dimaksudkan agar konsep pengembangan Desa Wisata Sade dapat
berjalan dengan baik jika terdapat orang-orang di Pemerintahan Desa yang
menguasai konsep Desa Wisata yang cocok untuk diterapkan di Desa Wisata
Sade. Terbatasnya SDM yang menguasai bidang ilmu tentang Desa Wisata
maka dapat menghambat upaya pengembangan Desa Wisata Sade, karena
masyarakat kurang mengerti kemana arah dan tujuan dari desa mereka yang
dijadikan sebagai Desa Wisata.
Adapun solusi yang dilakukan Pemerintah Desa untuk mengatasi
kendala keterbatasan SDM yang terampil dalam pengembangan Desa Wisata
yakni dengan mengikutsertakan aparatur Pemerintah Desa untuk mengikuti
pembinaan atau pendidikan dan pelatihan (diklat) keterampilan tentang
pengembangan Desa Wisata. Hal ini dimaksudkan terdapat SDM setempat
95
yang memiliki keterampilan dan pemikiran yang dibutuhkan dalam rangka
mengembangkan Desa Wisata Sade menjadi lebih baik lagi di masa
mendatang.
96
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang disajikan pada bab ini adalah jawaban atas permasalahan
yang telah dirumuskan sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian maka
kesimpulan dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk poin-poin berikut:
1. Pemerintah Desa dalam pengembangan Desa Wisata Sade memiliki peran
sebagai motivator, fasilitator, dan dinamisator. Sebagai motivator, Pemerintah
Desa berperan cukup baik dalam memberikan motivasi atau dorongan kepada
warga desa untuk ikut dalam kegiatan pengembangan Desa Wisata Sade
melalui kegiatan pengarahan dan pembinaan yang dibantu oleh bawahannya.
Sebagai fasilitator, Pemerintah Desa berperan cukup baik dalam memfasilitasi
semua pihak dalam kegiatan gotong-royong memperbaiki infrastruktur jalan
desa dan dalam kegiatan pembangunan fasilitas penunjang seperti tempat
parkir, toilet umum, dan sumur bor untuk kepentingan para wisatawan yang
datang berkunjung ke Desa Wisata Sade. Sebagai dinamisator, Pemerintah
Desa berperan cukup baik dalam mengajak masyarakat dan semua pihak yang
terkait untuk berpartisipasi, bekerjasama, dan bersinergi dalam
pengembangan Desa Wisata Sade
2. Terdapat tiga faktor yang mendukung peran Pemerintah Desa dalam
pengembangan Desa Wisata Sade, yaitu adanya kelompok masyarakat
setempat (Paguyuban Adat dan Karang Taruna) yang membantu memotivasi
dan membina masyarakat Sade, adanya dasar kebijakan dari Pemerintah
97
Provinsi berupa SK Gubernur Provinsi NTB No. 2 Tahun 1989 yang
menunjuk Dusun Sade sebagai Desa Wisata dan Perda NTB No. 7 Tahun
2013, serta adanya komponen masyarakat non pemerintah (perguruan tinggi,
LSM, dan sebagainya) yang turut peduli tentang kelestarian adat budaya
Sasak. Selain faktor pendukung, terdapat pula dua faktor penghambat, yaitu
terbatasnya dana atau anggaran yang dimiliki oleh Pemerintah Desa dalam
melaksanakan kegiatan terkait pengembangan Desa Wisata Sade dan
terbatasnya SDM di Pemerintahan Desa yang menguasai konsep
pengembangan Desa Wisata.
B. Saran
Beberapa poin kesimpulan yang telah dijelaskan di atas juga akan
dilengkapi dengan beberapa poin rekomendasi khususnya bagi Pemerintah Desa
guna meningkatan perannya dalam pengembangan Desa Wisata Sade. Berikut
beberapa saran yang diharapkan dapat membantu agar peran Pemerintah Desa
dalam pengembangan Desa Wisata Sade dapat lebih optimal, di antaranya:
1. Selama ini belum ada pihak swasta yang bekerjasama dengan Pemerintah
Desa dalam pengembangan Desa Wisata Sade. Oleh karena itu, Pemerintah
Desa disarankan untuk terus mendekati pihak swasta agar dapat turut
berperan serta dalam pengembangan Desa Wisata Sade. Diharapkan investor
atau perusahaan swasta dapat berperan serta dalam memberikan bantuan
pendanaan atau melaksanakan kegiatan melalui Corporate Social
Responsibility (CSR) yang dapat menunjang potensi dan pengembangan
kepariwisataan setempat, khususnya di Desa Wisata Sade.
98
2. Pemerintah Desa juga disarankan untuk tidak hanya memberikan peningkatan
SDM tentang Desa Wisata bagi aparatur desa, tetapi juga diberikan
kesempatan kepada tokoh masyarakat Sade yang adal dalam Paguyuban Adat
dan pemuda sebagai putra daerah yang tergabung dalam kelompok Karang
Taruna setempat. Dengan demikian diharapkan semua pihak dapat saling
bersinergi untuk memahami konsep Desa Wisata yang paling baik untuk
diterapkan dalam pengembangan Desa Wisata Sade.
99
DAFTAR PUSTAKA
Amrulloh, Zaenudin. 2014. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pariwisata pada
Dusun Tradisional Sasak Sade Lombok NTB. Skripsi. Fakultas Dakwah.
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Asker, S., Boronyak, L., Carrard, N., dan Paddon, M. 2010. Effective Community
Based Tourism: A Best Practice Manual. Singapore: Sustainable Tourism
Cooperative Research.
Frederickson, H. George, Kevin B. Smith, Christopher W. Larimer, Michael J.
Licari. 2012. The Public Administration Theory Primer. Boulder –
Colorado: Westview Press.
Harrison, Lisa. 2007. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana.
Hox, Joop J., dan Boeije, Hennie R. 2005. Data Collection, Primary vs.
Secondary. Encyclopedia of Social Measurement. Vol. 1, 2005: 593-599.
Irianto. 2011. Dampak Parwisata Terhadap Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Masyarakat di Gili Trawangan Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok
Utara. Jurnal Bisnis & Kewirausahaan. Vol 7. 03 November 2011: 188-
196.
Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada Press.
Jumail, Mohamad. 2011. Pencitraan Kawasan Wisata Kuta Lombok Tengah.
Tesis. Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
Kartasapoetra, G. 1986. Desa dan Daerah dengan Tata Pemerintahan. Jakarta:
Bina Aksara.
Kompas, 26 November 2008. Kembangkan Pariwisata Berbasis Masyarakat,
http://regional.kompas.com/read/2008/11/26/13425869/kembangkan.pariw
isata.berbasis.masyarakat
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi,
Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta: Erlangga.
Kusworo, Hendrie Adji dan Damanik, Janianton. 2002. Pengembangan SDM
Pariwisata Daerah: Agenda Kebijakan untuk Pembuat Kebijakan. Jurnal
Ilmu Sosial & Ilmu Politik. Vol. 6, No. 1, Juli 2002: 105-120.
100
Lubis, M. Solly. 1983. Perkembangan Garis Politik dan Perundang-undangan
Pemerintahan Daerah. Bandung: Alumni.
Menlh (Kementerian Lingkungan Hidup). 2014. Ekowisata di Desa Sade,
http://ppebalinusra.menlh.go.id/ekowisata-di-desa-sade.htm
Miles, M. B., Huberman, A. M., dan Saldana, J. 2014. Qualitative Data Analysis,
A Methods Sourcebook. USA: Sage Publications.
Moleong, Lexy J. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Munck, Gerardo L. 1998. Canons of Research Design in Qualitative Analysis.
Studies in Comparative International Development, Vol. 33, No. 3, 1998:
18-45.
Nandi. 2008. Pariwisata dan Pengembangan Sumberdaya Manusia. Jurnal
Pendidikan Geografi. Vol. 8, No. 1, 2008: 1-10.
Narimawati, Umi. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif: Teori
dan Aplikasi. Bandung: Agung Media.
Ndraha, Taliziduhu. 1997. Peranan Administrasi Pemerintahan Desa Dalam
Pembangunan Desa. Jakarta: Yayasan Karya Dharma IIP.
Nugroho, Rino A. 2009. Slide Kuliah Pengantar Administrasi Pembangunan,
http://rinoan.staff.uns.ac.id/kuliah/administrasi-pembangunan/
Nugroho, T. Rianto. 2004. Kebijakan Publik: Formula, Implementasi dan
Evaluasi. Jakarta: Gramedia.
Pitana, I. Gede, dan Gayatri, Putu G. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta:
Andi.
Poerwadarminta, W.J.S. 1995. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Rivai, Veithzal, 2003. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Sastrayudha, Gumelar S. 2010. Konsep Pengembangan Kawasan Wisata Bahari.
Hand Out Mata Kuliah Concept Resort and Leisure, Strategi
Pengembangan dan Pengelolaan Resort and Leisure.
Siagian, P. Sondang. Fungsi-fungsi Manajerial. Jakarta: Bumi Aksara.
Soedigdo, Doddy dan Priono, Yesser. 2013. Peran Ekowisata Dalam Konsep
Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat Pada Taman Wisata Alam
101
(TWA) Bukit Tangkiling Kalimantan Tengah. Jurnal Perspektif
Arsitektur, Vol. 8, No. 2, Desember 2013: 1-8.
Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta:
Rajawali.
Sudana, I Putu. 2013. Strategi Pengembangan Desa Wisata Ekologis di Desa
Belimbing, Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Analisis Pariwisata.
Vol. 13, No. 1, 2013: 11-31.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Bandung:
Alfabeta.
Suwanti. 2016. Peran Kepala Desa Dalam Pembangunan Masyarakat di Desa
Ngayau Kecamatan Muara Bengkal Kabupaten Kutai Timur. eJournal
Administrasi Negara, Vol. 4, No. 1: 2234-2248.
Suwena, Widyatmaja, 2010. Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata. Denpasar:
Udayana University Press.
Syari, Anggi R. C. 2014. Strategi Pengembangan Kepariwisataan Kota Pekanbaru
Tahun 2011-2013. JOM FISIP, Vol. 1, No. 2, Oktober 2014: 1-10.
Tim Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau. 2004. Pembangunan
Pariwisata Berbasis Masyarakat, http://www.cifor.org/acm/download/
pub/Kabar/Kabar%2019.pdf
Tjokroamidjojo, Bintoro. 1995. Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta:
LP3ES.
Utomo, Tri Widodo. 1998. Administrasi Pembangunan. Bandung: Lembaga
Administrasi Negara.
Widjaja, H.A.W. 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan
Utuh. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Yang, Keifeng, dan Miller, Gerald J. 2008. Handbook of Research Methods in
Public Administration. USA: CRC Press.