Post on 18-Nov-2014
description
RAD Journal 2013:04:004
Peran Moderasi Manajemen Human Capital terhadap Kapabilitas Karyawan, Implementasi untuk Rumah Sakit, Robertus Arian Datusanantyo |
1
Peran Moderasi Manajemen Human Capital terhadap Kapabilitas Karyawan, Implementasi untuk Rumah Sakit Oleh: Robertus Arian Datusanantyo Pendahuluan Tulisan ini merupakan review sebuah laporan penelitian berjudul The moderating role of human capital management practices on employee capabilities. Jurnal ini ditulis oleh dua peneliti utama yaitu Nick Bontis and Alexander Serenko dan dimuat dalam Journal of Knowledge Management Vol. 11 No. 3 2007 pp. 31-‐51. Tulisan ini adalah tugas blok 3c pada program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat minat utama Magister Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Pembimbing dalam tugas ini adalah Andreasta Meliala. Review Singkat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji model yang menjelaskan kapasitas karyawan dan melibatkan praktek manajemen human capital sebagai variabel moderasi kunci. Model ini berdasarkan pada konvergensi ilmu perilaku organisasi dan berbasis pengetahuan, yaitu manajemen pengetahuan dan modal intelektual. Penelitian dilakukan pada 14.769 karyawan di institusi finansial besar di Amerika Utara. Secara teoritis, disusunlah konsep dasar bahwa ada berbagai hal yang berpengaruh pada kapabilitas karyawan. Kepuasan akan gaji, kepuasan terhadap penyelia, dan ketidakamanan posisi kerja berpengaruh pada kepuasan kerja. Kepuasan kerja secara langsung berpengaruh pada kapabilitas karyawan. Training & development berpengaruh pada kepuasan kerja dan kapabilitas karyawan secara langsung.
Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian.
Kerangka konsep penelitian pada gambar 2 menunjukkan hubungan langsung antara persepsi karyawan dan perilaku dalam bekerja dengan kapabilitas karyawan. Proses ini dimoderasi oleh
propensity of job withdrawal, and job dissatisfaction increases turnover and absenteeism(Hulin, 1991; Shaffer and Harrison, 1998) influencing productivity. Job satisfaction mayinfluence a variety of an employee’s affective states, such as mood, that have an impact on aperson’s behaviour, for example, performance and organizational citizenship (Williams et al.,2000; Williams and Wong, 1999). With respect to this study, employee capabilities (EC) arechosen as a dependent variable. Employee capabilities are one of the most importantmeasures affecting organizational performance (Mayo, 2000). Successful organizationsconstantly enhance employee capabilities through a variety of special programs (McCowanet al., 1999). Employee capabilities reflect an individual’s perception of his or her ownknowledge, skills, experience, network, abilities to achieve results, and room for potential
Figure 3 The study’s research framework
Figure 4 The study’s model
VOL. 11 NO. 3 2007 j JOURNAL OF KNOWLEDGE MANAGEMENTj PAGE 35
RAD Journal 2013:04:004
Peran Moderasi Manajemen Human Capital terhadap Kapabilitas Karyawan, Implementasi untuk Rumah Sakit, Robertus Arian Datusanantyo |
2
praktek manajemen human capital. Berdasarkan berbagai teori yang telah ada, disusunlah hipotesis sebagai berikut:
1. Kepuasan kerja mempunyai efek positif langsung pada kapabilitas karyawan. 2. Training & Development mempunyai efek positif langsung pada kapabilitas karyawan. 3. Training & Development mempunyai efek positif langsung pada kepuasan kerja karyawan. 4. Kepuasan terhadap gaji mempunyai efek positif langsung terhadap kepuasan kerja karyawan. 5. Kepuasan terhadap penyelia mempunyai efek positif langsung terhadap kepuasan kerja
karyawan. 6. Ketidakamanan pekerjaan mempunyai efek negatif langsung terhadap kepuasan kerja. 7. Hubungan berbagai ide dalam kompleksitas teori kepuasan tadi dimoderasi oleh persepsi
karyawan terhadap praktek manajemen human capital. Untuk memperjelas, dibuat hipotesis sebagai berikut:
a. Efek langsung kepuasan kerja karyawan dimoderasi oleh praktek manajemen human capital dan efek ini lebih kuat pada individu yang merasa bahwa manajemen human capital lebih efektif.
b. Efek langsung training & development pada kapabilitas karyawan dimoderasi oleh praktek manajemen human capital dan efek ini lebih kuat pada individu yang merasa bahwa manajemen human capital lebih efektif.
c. Efek langsung training & development pada kepuasan karyawan dimoderasi oleh praktek manajemen human capital dan efek ini lebih kuat pada individu yang merasa bahwa manajemen human capital lebih efektif.
d. Efek langsung kepuasan terhadap gaji pada kepuasan karyawan dimoderasi oleh praktek manajemen human capital dan efek ini lebih kuat pada individu yang merasa bahwa manajemen human capital lebih efektif.
e. Efek langsung kepuasan terhadap penyelia pada kepuasan karyawan dimoderasi oleh praktek manajemen human capital dan efek ini lebih kuat pada individu yang merasa bahwa manajemen human capital lebih efektif.
f. Efek langsung ketidakamanan pekerjaan pada kepuasan karyawan dimoderasi oleh praktek manajemen human capital dan efek ini lebih kuat pada individu yang merasa bahwa manajemen human capital lebih efektif.
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian.
Selanjutnya, dilakukan suatu survei yang terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama menanyakan lamanya pekerjaan dan tanggung jawab karyawan dalam pekerjaannya. Bagian kedua menanyakan hal-‐hal yang terkait dengan model kerangka teori dan kerangka konsep penelitian. Tidak ada pertanyaan yang berpotensi mengungkap jati diri responden. Urutan pertanyaan dirandomisasi untuk menghindari bias dalam survei. Seluruh karyawan mengikuti survei ini atas pilihan mereka sendiri dan mengisi survei secara online. Seluruh responden dijamin kerahasiaannya dan tidak ada reward yang diberikan di akhir survei. Hasil survei ini dan hasil uji hipotesis ditunjukkan pada gambar 3. Hasil ini mendukung hipotesis bahwa kapabilitas karyawan ditentukan oleh training & development dan kepuasan kerja. Sebagai tambahan, kepuasan kerja ditentukan oleh empat hal lain, yaitu training and development, kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap penyelia, dan keamanan mempertahankan pekerjaan. Peneliti
propensity of job withdrawal, and job dissatisfaction increases turnover and absenteeism(Hulin, 1991; Shaffer and Harrison, 1998) influencing productivity. Job satisfaction mayinfluence a variety of an employee’s affective states, such as mood, that have an impact on aperson’s behaviour, for example, performance and organizational citizenship (Williams et al.,2000; Williams and Wong, 1999). With respect to this study, employee capabilities (EC) arechosen as a dependent variable. Employee capabilities are one of the most importantmeasures affecting organizational performance (Mayo, 2000). Successful organizationsconstantly enhance employee capabilities through a variety of special programs (McCowanet al., 1999). Employee capabilities reflect an individual’s perception of his or her ownknowledge, skills, experience, network, abilities to achieve results, and room for potential
Figure 3 The study’s research framework
Figure 4 The study’s model
VOL. 11 NO. 3 2007 j JOURNAL OF KNOWLEDGE MANAGEMENTj PAGE 35
RAD Journal 2013:04:004
Peran Moderasi Manajemen Human Capital terhadap Kapabilitas Karyawan, Implementasi untuk Rumah Sakit, Robertus Arian Datusanantyo |
3
menyampaikan bahwa hasil penelitian ini berpotensi digeneralisasi di kalangan pekerja finansial di Amerika Utara saja. Hasil dapat berbeda apabila penelitian ini dilakukan di negara dengan konteks budaya dan kekuatan ekonomi yang berbeda. Selain itu, beragamnya proses bisnis, nilai-‐nilai, dan isu-‐isu budaya dapat mempengaruhi hasil penelitian seperti ini.
Gambar 3. Hasil Uji Hipotesis.
Pembelajaran Belum pernah kita jumpai dalam publikasi populer mengenai rumah sakit yang menjadi pilihan utama para pencari kerja. Karyawan di rumah sakit sebagian besar merupakan tenaga yang dididik khusus sejak selepas sekolah menengah atas, dengan pola pendidikan khusus masing-‐masing profesi. Hal ini menjadikan rumah sakit merupakan belantara bagi para tenaga kerja yang masuk ke dalamnya. Berbagai kekhususan dalam bisnis dan karakter karyawannya, menjadikan kita harus lebih berhati-‐hati dalam mengaplikasikan penelitian ini untuk konteks rumah sakit. Dokter adalah komponen tenaga kerja di rumah sakit yang boleh dikatakan paling penting. Hal ini mengingat bahwa bisnis inti pelayanan rumah sakit bertumpu pada profesi dokter. Sesuai dengan penelitian ini, kapabilitas dokter dalam bekerja ditentukan oleh training & development dan kepuasan dalam bekerja. Pada materi di blok sebelumnya sudah pernah dibahas mengenai bagaimana continuing medical education atau continuing professional development ternyata tidak secara langsung meningkatkan kemampuan dan cara dokter melayani pasien. Apabila kepuasan kerja lebih berperan, maka rumah sakit tentu harus memikirkan bagaimana agar para dokter puas dengan take home pay dan keselamatan posisi pekerjaan. Karena atasan langsung para dokter relatif lebih sedikit dikontrol (komite medis dan manajemen puncak), maka dua hal tadi yang lebih penting untuk diatur. Dewasa ini take home pay dokter (khususnya dokter umum) sedang menjadi tren di Indonesia, sehingga kemungkinan besar fakta hubungan positif antara kepuasan dokter terhadap gaji – kepuasan kerja dokter – peningkatan kapabilitas dokter memang berhubungan erat di Indonesia.
indicators: T&D1 £ HCM1, T&D1 £ HCM2, T&D1 £ HCM3, T&D1 £ HCM4, T&D2 £ HCM1,. . . , T&D4 £ HCM4). All interaction constructs were tested twice:
1. within the suggested nomological network; and
2. individually.
For example, for an individual test of JS £ HCM interaction, only four constructs were addedto the model (i.e., JS, JS £ HCM, HCM, and EC).
Table V The effect size – employee capabilities
R2included ! 0:375 JS T&D
R2excluded 0.312 0.299
f 2 0.050 0.059Effect size Small-medium Small-medium
Figure 7 The structural model – hypotheses testing
Table VI The effect size – job satisfaction
R2included ! 0:566 T&D PS SS JI
R2excluded 0.532 0.474 0.539 0.559
f 2 0.055 0.141 0.044 0.012Effect size Small-medium Medium Small-medium Very small
PAGE 42 j JOURNAL OF KNOWLEDGE MANAGEMENTj VOL. 11 NO. 3 2007
RAD Journal 2013:04:004
Peran Moderasi Manajemen Human Capital terhadap Kapabilitas Karyawan, Implementasi untuk Rumah Sakit, Robertus Arian Datusanantyo |
4
Perawat hampir mirip dengan dokter. Walau demikian, regulasi yang mengatur perawat di Indonesia tidak homogen seperti dokter. Perawat di Indonesia mempunyai paling tidak tiga latar belakang pendidikan, yaitu sarjana, diploma, dan SPK. Ketiga kelompok pendidikan dapat mempunyai pandangan yang berbeda mengenai kepuasan kerja, kepuasan terhadap penyelia, dan hasil training & development. Dewasa ini, para perawat lebih mempertimbangkan keamanan posisi pekerjaan dibanding dokter akibat tingginya persaingan. Pekerjaan perawat sehari-‐hari ditentukan juga oleh hubungan dengan penyelia karena secara struktur ada pembagian kewenangan yang diatur oleh manajemen keperawatan di rumah sakit. Khusus untuk profesi perawat, memilih penyelia (kepala ruang, perawat primer, dan posisi-‐posisi lain) menjadi lebih penting diperhatikan oleh manajemen di samping kelayakan gaji dan training & development. Penyelia yang baik menurut kerangka konsep penelitian ini memungkinkan adanya kepercayaan dari pelaksana, mampu memberikan umpan balik secara positif, dan dapat berperan dalam konflik. Apoteker adalah profesional mitra dokter utama dan sejajar di rumah sakit yang peran dan sistem kerjanya belum terstandarisasi di Indonesia. Seperti dokter, apoteker adalah profesional yang mempunya otonomi profesi. Dalam pekerjaan sehari-‐hari, apoteker mempunyai tugas manajerial yang lebih berjenjang subordinat dibanding dokter dalam instalasi farmasi. Selebihnya, apoteker mempunyai pola yang lebih mirip perawat dalam hal take home pay, training & development, keselamatan posisi kerja, dan kepuasan terhadap penyelia. Profesi paramedis lain seperti radiografer, fisioterapis, terapis lain, teknisi laboratorium, teknisi bank darah, asisten apoteker, kesehatan lingkungan, dan profesi paramedis lain sepanjang pengamatan dapat mengikuti pola yang sama dengan perawat. Beberapa profesi seperti ahli elektromedis memang mempunyai pola yang berbeda akibat tingginya demand di dunia perumahsakitan terhadap profesi ini, namun peran faktor lainnya nampak masih tinggi dalam menentukan kepuasan kerja dan kapabilitas kerja. Satu-‐satunya kelompok karyawan di rumah sakit yang mempunyai tingkat kecenderungan lebih tinggi untuk mengikuti pola dalam penelitian di atas adalah kelompok karyawan administrasi. Kelompok ini juga cukup banyak perannya, mulai dari kasir, akuntansi, personalia, administrasi ruang rawat inap, administrasi umum, sekretariat rumah sakit, pengendalian internal, bagian teknik, dan lain-‐lain. Dalam pengamatan, keempat hal pendukung kepuasan karyawan nampak relevan diterapkan. Penelitian ini dapat mulai diterapkan sebagai pertimbangan-‐pertimbangan manajemen human capital di rumah sakit untuk kelompok karyawan ini. Ada hal lain yang membuat penelitian ini belum secara langsung dapat diaplikasi di rumah sakit. Salah satunya adalah bentuk survei yang tidak diungkapkan dalam penelitian ini. Pertanyaan-‐pertanyaan survei tidak ditampilkan sehingga tidak dapat dianalisis apakah ada bias dalam pengisian survei mandiri oleh responden ini. Selain itu, homogenitas responden pada penelitian ini juga tidak mwakili kondisi umum di rumah sakit kita di Indonesia yang umumnya sangat heterogen. (RAD)