Post on 04-Dec-2015
description
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Metabolisme adalah suatu proses kimiawi yang terjadi di dalam tubuh
semua makhluk hidup, proses ini merupakan pertukaran zat ataupun suatu organism
dengan lingkungannya. Metabolisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu “metabole”
yang berarti perubahan, dapat dikatakan bahwa makhluk hidup mendapat, mengolah
dan mengubah suatu zat melalui proses kimiawi untuk mempertahankan hidupnya
(Allegran, 2008).
Kulit merupakan salah satu organ tubuh berada pada bagian luar tubuh.
Organ ini merupakan organ yang terus bersentuhan langsung dengan
lingkungan. Fungsi kulit adalah melindungi tubuh dari kerusakan atau pengaruh
lingkungan yang buruk. Kulit memiliki peran penting dalam memproteksi bagian
dalam tubuh dari kontak langsung dengan lingkungan luar, baik secara fisik atau
mekanis, kimiawi, sinar matahari (ultra violet) dan mikrobiologi (Djuanda, 2013).
Gangguan metabolisme adalah kelainan medis yang mempengaruhi
produksi energi di dalam sel. Pada umumnya gangguan metabolisme diakibatkan oleh
kelainan genetik sehingga enzim yang berperan dalam proses metabolisme sel hilang
atau rusak. Selain itu dapat juga yang diakibatkan oleh makanan, toksin, infeksi dan
lain-lain. Gangguan metabolisme adalah kondisi genetik yang menyebabkan masalah
dengan proses metabolisme dalam tubuh. Ketika proses normal metabolisme
terganggu karena merupakan kondisi yang diwariskan atau yang telah didapatkan, itu
disebut sebagai gangguan metabolisme. Kelainan kulit akibat gangguan metabolisme
disebabkan oleh kekeliruan atau kesalahan proses metabolism (Allegran, 2008).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada referat ini akan dibahas
beberapa penyakit kulit yang sering terjadi akibat gangguan metabolisme, diantaranya
adalah manifestasi kulit pada gangguan metabolisme, amiloidosis local, liken
amiloidosis, penyakit kulit pada diabetes mellitus, manifestasi kulit pada
2
hipertiroidisme dan hipotiroidisme, serta manifestasi kulit pada gangguan hepar dan
ginjal.
I.2 Tujuan
I.2.1 Tujuan Umum
Untuk melengkapi tugas referat stase ilmu kulit dan kelamin pada
kepaniteraan klinik di RSUD Adhyatma, MPH Semarang
I.2.2 Tujuan Khusus
Mengetahui secara keseluruhan tentang penyakit kulit akibat gangguan
metabolisme.
I.3 Manfaat
1. Menjadi bahan pembelajaran pribadi yang menambah pengetahuan serta
wawasan penulis mengenai penyakit kulit akibat gangguan metabolisme
2. Menjadi referensi pembaca agar dapat memahami lebih jauh tentang penyakit-
penyakit kulit akibat gangguan metabolism
3. Dapat menambah bahan pustaka institusi
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Manifestasi Kulit Pada Gangguan Metabolisme
Kulit adalah cermin yang jelas dari tubuh manusia di mana penyakit
sistemik atau penyakit metabolik dapat tercermin pada permukaan kulit. Penyakit
sistemik yang berbeda yang dapat menyebabkan manifestasi kulit yang berbeda pula.
Tanda-tanda ini mungkin muncul di permukaan kulit dengan gambaran klinis yang
berbeda tergantung pada penyakit utamanya, diantaranya adalah:
a. Warna kulit
Warna kulit yang berbeda berhubungan dengan penyakit kulit tertentu.
Pucat (pallor): seperti pada anemia, vaskularisasi yang berkurang misalnya pada
sinkop atau syok
Warna kekuningan (ikterus) : terjadi pada infestasi usus kronis seperti di bilharziasis,
atau keadaan hiperbilirubinemia
Eritema : akibat vasodilatasi temporer, misalnya pada penyakit infeksi, leukemia,
karsinoma, hipertensi, dan penyakit jantung (Djuanda, 2013).
b. Kelembapan kulit
Kekeringan (hipohidrosis/anhidrosis): pada kulit terjadi pada penyakit kronis,
miksedema, atau diabetes mellitus.
Hiperhidrosis: pada penyakit hipertiroid, tuberculosis, dan penyakit-penyakit bila
suhu badan turun cepat (Djuanda, 2013).
c. Perubahan struktur kulit
Penipisan kulit: adalah karena kelelahan dari kulit kolagen seperti di cachexia atau
lokal karena steroid topikal kuat.
Stria kulit: terjadi dalam penyakit Cushing, setelah steroid topikal dan sistemik untuk
jangka waktu yang panjang, kontraktur Dupuytren dan penyakit hati kronis.
Bentuk: perubahan bentuk dan bentuk kulit seperti moon face steroid sistemik karena
dan limfangitis dan ginekomastia yang terkait dengan peningkatan estrogen yang
beredar (Hijazy, 2015).
4
Edema kulit mungkin karena hipoalbuminemia, peningkatan tekanan vena dan
meningkatkan permeabilitas kapiler.
Eritroderma: eritema dan pengelupasan kulit dapat mengakibatkan dari erupsi obat
dan penyakit Papulosquamus seperti psoriasis.
Lesi urtikaria dan alopecia areata: berhubungan dengan trauma psikis mendalam
(Hijazy, 2015).
d. Perubahan rambut
Rambut halus, rambut lanugo menutupi kulit dapat menjadi berpigmen di beberapa
tumor terutama karsinoma.
Alopecia: mungkin berkembang karena peningkatan sirkulasi androgen atau
perubahan sensitivitas androgen dan estrogen reseptor di kulit.
Perubahan warna rambut: penyakit metabolik dan kekurangan seperti Kwashiorkor
dan porphyries dapat menyebabkan perubahan warna rambut.
Rambut rontok: anemia, gangguan hormonal, setelah kemoterapi atau trauma psikis
(Hijazy, 2015).
e. Perubahan kuku
Perubahan bentuk kuku terjadi pada penyakit kronis seperti anemia pernisiosa,
sirosis hati yang mengarah ke white band dan clubbing nail.
f. Pruritus
Pruritus adalah sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan rangsangan untuk
menggaruk. Pruritus merupakan gejala dan pelbagai penyakit kulit. Bila tidak disertai
kelainan kulit, maka disebut pruritus esensial atau pruritus sine material. Pruritus
dapat terjadi pada keadaan senilitas, penyakit hepar, penyakit endokrin, penyakit
ginjal, penyakit neoplastik, dan pruritus neurologic serta pruritus psikologik
(Djuanda, 2013).
II.2 Manifestasi Kulit Pada Penyakit DM
Patofisiologi timbulnya manifestasi penyakit kulit pada penderita diabetes
melitus belum sepenuhnya diketahui. Menurut Djuanda (2013), kadar gula kulit
(glukosa kulit) merupakan 55% kadar gula darah (glukosa darah) pada orang biasa.
5
Pada penderita diabetes, rasio meningkat sampai 69-71% dari glukosa darah yang
sudah meninggi. Pada penderita yang sudah diobati pun rasio melebihi 55 %. Gula
kulit berkonsentrasi tinggi di daerah intertriginosa dan interdigitalis. Hal tersebut
mempermudah timbulnya dermatitis, infeksi bakterial (terutama furunkel), dan
infeksi jamur (terutama kandidosis). Keadaan-keadaan ini dinamakan diabetes kulit
(Djuanda, 2013).
Kondisi hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya gangguan mekanisme
sistem imunoregulasi. Hal ini menyebabkan menurunnya daya kemotaksis,
fagositosis dan kemampuan bakterisidal sel leukosit sehingga kulit lebih rentan
terkena infeksi. Pada penderita DM juga terjadi disregulasi metabolisme lipid
sehingga terjadi hipertrigliserida yang memberikan manifestasi kulit berupa Xantoma
eruptif. Pada DM tipe 2 terjadi resistensi insulin sehingga sering terjadi
hiperinsulinemia yang menyebabkan abnormalitas pada proliferasi epidermal dan
bermanifestasi sebagai Akantosis nigrikan (Suyono, 2009).
Jenis Manifestasi Kulit pada Diabetes Melitus
Manifestasi kulit tersebut mencakup :
a. Dermatopati Diabetika
Nama dermatopatia sejajar dengan nama-nama retinopati, neuropati, dan
nefropati pada sindrom diabetes melitus. Pada dermatopatia tampak papul-papul
miliar bulat, tersusun secara linier dan terdapat di bagian ekstensor ekstremitas. Lesi
menyembuh sebagai sikatriks dengan lekukan sentral. Lesi primer terlihat pada
penderita yang berusia 30 tahun ke atas. Patogenesis dermatopati diabetika diduga
terjadinya kelainan mikrovaskular akibat gangguan sistem kolagen berupa
mikroangiopati (Djuanda, 2013).
b. Xantoma Eruptif (XE)
Xantoma diabetikorum tampak sebagai papul bulat yang berwarna kuning
kemerah-merahan dan kadang-kadang disertai teleangiektasis. Tempat predileksi
ialah bokong, siku dan lutut. Xantoma terutama terlihat pada wanita berusia 20-50
tahun dengan obesitas. Trauma merupakan faktor predisposisi.
6
Mekanisme xantoma eruptif pada penderita DM diduga akibat disregulasi
metabolism lipid sehingga menyebabkan terjadinya hipertrigliserid. Adanya
hipertrigliserid akan menyebabkan lipoprotein berakumulasi pada sel makrofag di
dermis kulit yang bermanifestasi sebagai papul eruptif ( Djuanda, 2013)
Gambar 2.1. Xantoma eruptif (Fitzpatrick, 2007)
c. Nekrobiosis Lipoidika Diabetikorum (NLD)
NLD terdiri atas bercak numular atau plak merah dengan sentrum kuning.
Biasanya NLD berlokalisasi di kedua tungkai, jarang sekali di badan. Histologik
terdapat degenerasi jaringan ikat dengan focus nekrobiotik di korium. Kolagen dan
elastin berubah menjadi lipid, oleh karena itu NLD juga dinamakan dermatitis
atrophicans diabetic.
NLD dikenal sebagai cutaneous marker dari diabetes melitus. Baik DM tipe 1
maupun DM tipe 2 dapat bermanifestasi sebagai lesi NLD. Insidensi NLD berkisar 3-
7 per 1000 penderita diabetes melitus (Flórez, Cruces & Jimėnez, 2003).
Patogenesis NLD diduga akibat adanya hiperglikemia yang menyebabkan
disregulasi protein seperti kolagen, sehingga terjadi disgradasi protein non-enzymatic
glycosylation (NEG) dan penumpukan protein Advanced Glycosylation End Products
(AGEs). Sebagai akibatnya terjadi penurunan solubilitas asam dan enzimatik di dalam
kolagen kulit, salah satunya menyebabkan gangguan mikrovaskuler. Gangguan
mikrovaskular ini berupa perubahan arteriolar pada area yang mengalami nekrobiosis
kolagen kulit akibat agregasi platelet. Reaksi inflamasi ini menghasilkan
granulomatosa inflamasi pada arteriolar yang bermanifestasi sebagai papul atau plak
7
di kulit (Harahap, 1998).
Gambar 2.2. Nekrobiosis lipoidika diabetikorum (Fitzpatrick, 2007).
d. Akantosis Nigrikan
Akantosis nigrikan adalah penyakit kulit yang ditandai penebalan pada kulit
dengan tekstur seperti beludru di area lipatan, terutama daerah leher, axial atau paha,
disertai hiperpigmentasi, kesan kulit kotor dan asimptomatik. Penyakit ini dapat
terjadi karena faktor herediter, obesitas, berhubungan dengan gangguan endokrin,
obat ataupun malignansi.
Pada penderita DM telah terjadi gangguan endokrin, pada DM tipe 2
resistensi terhadap insulin predisposisi terjadi hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia ini
memicu abnormalitas pada proliferasi epidermal sehingga terjadi penebalan kulit
disertai hiperpigmentasi yang disebut akantosis nigrikan (Scheinfeld, 2012).
Gambar 2.3. Akantosis nigrikan (Fitzpatrick, 2007)
8
e. Ulkus Diabetika
Patogenesis ulkus diabetika meliputi berbagai mekanisme yaitu akumulasi
protein Advanced Glycosylation End Products (AGEs) yanh menyebabkan gangguan
pada kaskade wound healing yang menyebabkan lambatnya penyembuhan luka.
Selain itu menurunnya inervasi sensori kutaneous menyebabkan gangguan pada
signaling neuroinflamatory melalui sel keratinosit, fibroblast, sel endothelial maupun
sel inflamatori yang menyebabkan vaskulopati dan neuropati (Djuanda,2013).
f. Infeksi Kulit
Kemudahan infeksi pada penderita DM disebabkan kondisi hiperglikemia
atau asidosis yang menyebabkan menurunnya fungsi sel T kutaneus dan berakibat
melambatnya gerakan kemotaksis, fagositosis, dan menurunnya kemampuan
bakterisidal sel leukosit. Jenis bakterial dan fungal yang sering terlibat meliputi :
Streptokokus grup A, Streptokokus grup B, Stafilokokus dan Kandida
(Djuanda,2013).
g. Bercak Tibial (shin spot)
Makula-makula hiperpigmentasi tampak pada daerah anterolateral tungkai
bawah. Bercak-bercak tersebut berkorelasi dengan neuropatia dolenta dan arefleksi.
h. Pigmented Pretibial Patches (PPP)
Nama PPP mencakup bercak-bercak tibial (shin spot) dan lesi-lsei bulat,
atrofik, dan dengan lekukan (depresi). Lesi-lesi terakhir ini terdapat di bagian
ekstensor tungkai bawah, terutama didaerah maleolus internus dan pretibial.
i. Malum Perforans Pedis
Ulkus perforans disebabkan oleh perubahan degeneratif pada saraf dan
terdapat pada penderita yang lemah, terutama pada tabes dorsalis, lepra, dan diabetes
melitus.
j. Granuloma Anulare (GA)
Granuloma anulare (GA) adalah peradangan kulit kronis yang ditandai
dengan adanya papul eritema anuler tepi polisiklik dengan sentral datar dan kesan
menyembuh. Biasanya terdapat di area punggung tangan, siku, lutut dan dapat
menyebar ke seluruh badan.
9
Patogenesis GA terjadi apabila di sekitar pembuluh darah kecil terjadi reaksi
inflamasi yang mengakibatkan gangguan sistem kolagen dan jaringan elastik di kulit
sehingga memberikan gambaran sebagai vaskulitis (Djuanda,2013).
Gambar 2.4. Granuloma anulare (Fitzpatrick, 2007)
k. Bula Diabetika
Bula diabetika adalah kelainan berupa bula berisi cairan bening, tanpa tanda
inflamasi di sekitar bula, dan tidak disertai gejala nyeri atau gatal. Bula dapat
membesar dan bila terkena trauma mudah pecah, meninggalkan area erosi tertutup
krusta. Bula diabetika ini muncul spontan, mendadak dan tidak disertai tanda
inflamasi, lebih sering terjadi di akral dan sering terjadi pada penderita DM yang
kronik dengan neuropati perifer (Flórez, Cruces & Jimėnez, 2003).
Gambar 2.5 Bulla diabetika (Fitzpatrick, 2007)
l. Komplikasi Dermatologik Akibat Pengobatan Diabetes Melitus
Komplikasi dermatologic dapat timbul pada pemberian 3 jenis obat yaitu :
10
sulfonylurea yang hipoglikemik, senyawa biguanidin, dan insulin. Sulfonylurea yang
hipoglikemik dapat menimbulkan reaksi alergik, misalnya pruritus, eritema,
dermatitis generalisata dengan febris. Biasanya reaksi timbul sesudah 1-3 pekan.
Kadang-kadang timbul foto-sensitisasi atau purpura. Senyawa biguanidin dapat
menyebabkan reaksi-reaksi dermatologic, tetapi jauh lebih jarang daripada reaksi-
reaksi dalam alat cerna. Insulin dapat menimbulkan lipodistrofi, obesitas, reaksi-
reaksi alergik (biasanya urtika), atau kadang-kadang juga keloid. Lipodistrofi
hipertrofik menimbulkan penonjolan yang menyerupai lipoma dan tidak nyeri.
Lipodistrofi atrofik tampak sebagai kulit yang lekuk dan atrofik (Djuanda, 2013).
II.3 Liken Amilodosis
a. Definisi
Liken Amiloidosis merupakan penyakit kulit yang termasuk di dalam
penyakit Amiloidosis kulit lokal primer. Amiloidosis kulit lokal primer ialah kelainan
kulit berupa makula, papula atau nodulus yang berwarna seperti warna kulit sampai
coklat
Amiloidosis adalah sebutan untuk berbagai macam kondisi dengan adanya
penumpukan protein amiloid pada organ dan/atau jaringan, sehingga mengakibatkan
timbulnya penyakit. Sebuah protein adalah amiloid bila protein menjadi sebuah
bentuk tak larut yang khas, yang disebut lembaran lipat-beta yang disebabkan oleh
perubahan struktur sekunder protein (Harahap, 1998).
Liken Amiloidosis adalah kondisi kulit yang ditandai dengan timbulnya
papula-papula likenoid yang terkadang disertai rasa gatal, biasanya muncul secara
bilateral pada tulang kering. Lesi disebabkan oleh adanya tumpukan amiloid di dalam
kulit sebagai akibat kelainan metabolisme, tanpa disertai amiloidosis sistemik dan
penyakit kulit lainnya (Siregar, 2002).
b. Etiopatogenesis
Etiologi terjadinya penumpukan amiloid dalam jaringan kulit belum diketahui
sampai sekarang. Disangka banyak faktor yang mempengaruhinya. Pada penyakit ini
11
terdapat tumpukan fibril amiloid dalam jaringan kulit. Amiloid terdiri dari protein,
glikoprotein, dan bahan dasar (Siregar, 2002).
Konsep Saltzer: semua kasus amiloidosis disebabkan oleh proliferasi sel-sel
yang mensintesis protein. Hasil sintesis berupa protein akan ikut sirkulasi darah
kemudian bertumpuk di daerah-daerah yang diserang (Harahap, 1998).
Endapan-endapan amiloid pada liken amiloidosis berikatan dengan antibodi
antikeratin. Endapan-endapan ini terdiri dari kelompok-kelompok sulfihidril,
bertujuan untuk merubah keratin menjadi sumber dari endapan-endapan ini (Harahap,
1998).
c. Gejala Klinis
Liken Amiloidosis khas dengan adanya papula seperti kubah, berwarna seperti
kulit sampai coklat, kecil, diskret, sisik halus dapat likenoid, sebagian bergerombol
seperti plak moniliformis, dan jika berkelompok mirip seperti liken simpleks
kronikus. Disertai dengan keluhan gatal paroksismal, gatal pada betis lebih hebat
(Harahap, 1998).
Papula likenoid ini kemungkinan merupakan hasil dari rasa gatal dan garukan
yang dilakukan oleh penderita. Papula ini terutama dijumpai di daerah tulang kering.
Selain itu, dapat juga dijumpai di daerah paha, pergelangan tangan, lengan bawah
ekstensor dan bagian belakang punggung (Siregar, 2012).
12
Gambar 2.6 Liken Amiloidosis pada daerah tulang kering (Robin, 2011).
Gambar 2.7 Papula-papula berwarna kulit sampai coklat (Robin, 2011).
13
Gambar 2.8 Liken Amiloidosis pada daerah punggung (Allergan, 2008).
d. Diagnosis
Diagnosis Liken Amiloidosis ditegakkan dengan gambaran klinik yang khas
dengan adanya papula yang terdapat di daerah ekstensor anggota gerak bawah yang
disertai rasa gatal dengan atau tanpa penyakit lain sebagai penyakit dasar dan tidak
ada hubungannya dengan penyakit lainnya (Syarif, 2008).
Gambaran histopatologi akan tampak massa amiloid pada papila dermis;
epidermis akantosis, hiperkeratosis, dan hiperpigmentasi pada bagian basal.
Melalui pemeriksaan histologi pada jaringan yang terkena, penumpukan
amiloid diidentifikasikan dengan pewarnaan kongo merah dan dilihat melalui cahaya
terpolarisasi, dimana penumpukan tersebut dikenal dengan refraksi ganda hijau apel.
Biopsi dilakukan pada organ yang terkena. Semua penumpukan amiloid
menyimpan komponen P amiloid serum (SAP atau serum amyloid P component),
sebuah protein sirkulasi dari kelompok pentraksin. Pemindaian radionuklida SAP
telah dapat melokalisasi penumpukan amiloid pada pasien (Syarif, 2008).
e. Diagnosis banding
Liken Amiloidosis dapat didiagnosis banding dengan Liken Simpleks Kronis.
Pada liken simpleks kronis merupakan peradangan kulit kronis, gatal sekali,
14
sirkumskrip, ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit tampak lebih menonjol
menyerupai kulit batang kayu, akibat garukan atau gosokan yang berulang-ulang.
Dengan daerah predileksi pada tengkuk, leher, tungkai bawah, pergelangan kaki,
skalp, paha bagian medial, lengan bagian ekstensor, skrotum, dan vulva.
Secara histopatologi pada liken simpleks kronikus tampak epidermis
hiperkeratosis, akantosis, dermis bagian papil dan subepidermal mengalami fibrosis
(Harahap, 1998).
f. Pengobatan
Pengobatan amiloidosis lokal primer ini belum ada yang memuaskan. Sering
tidak perlu terapi, tapi dapat juga diberikan kortikosteroid topikal atau intralesi.
Penatalaksanaan juga difokuskan untuk menghilangkan atau mengurangi rasa gatal
dengan pemberian antihistamin yang bersifat sedatif. Ada laporan keberhasilan
pengobatan dengan pemberian etretinate, CO2, laser, dermabrasi, dimetil sulfoksida
(DMSO) topikal, dan fototerapi (UVB atau PUVA) (Siregar, 2012).
II.4 Xanthoma
a. Definisi
Xantoma ialah suatu kelainan kulit berupa plak atau nodul berwarna kuning
yang disebabkan pengendapan lemak dan sel busa secara abnormal. Xantoma
bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala atau petanda adanya
gangguan metabolisme lipoprotein. Walaupun demikian, pada kasus-kasus tertentu,
xantoma dapat timbul walaupun tidak terdapat kelainan metabolism lipoprotein, dan
tidak terdapat kenaikan kadar lipid di dalam darah (Scheinfeld, 2012).
b. Gambaran Klinis
Secara klinis, xantoma dapat diklasifikasikan sebagai eruptive xantoma, tuberous
xantoma, tendineus xantoma dan plane xantoma.
Eruptive xantoma adalah papul-papul yang multipel, berwarna merah kekuningan
yang muncul secara tiba-tiba , biasanya berlokasi pada daerah extensor ekstremitas
dan pada daerah bokong (Roy, 2008).
15
Tuberous xantoma adalah nodul-nodul yang sering berlokasi pada permukaan
extensor siku, lutut, buku-buku jari, dan bokong.
Tendinous xantoma adalah nodul subkuteneus yang padat /keras yang sering
ditemukan pada fascia, ligamentum, tendon Achilles, dan tendon extensor tangan,
kaki, dan siku.
Sedangkan plane xantoma adalah makula yang berwarna kuning, papul, atau plak
yang sering ditemukan pada palpebra (xanthelasma palpebrarum), pada telapak
tangan (xantoma striatum palmare) dan pada daerah intertriginosa (Roy, 2008).
c. Histopatologi
Xanthoma mempunyai gambaran mikroskopik yang khas, yaitu adanya foam
cell atau sel busa. Foam cell adalah makrofag yang mengandung lipid di dalamnya.
Pada semua xantoma terlihat infiltrat lipid pada kulit, infiltratrasi sel radang dan
keberadaan sel lemak di luar sel.
Pada eruptive xantoma, terdapat deposit sel lipid di lapisan retikuler dari
dermis. Selain itu, dapat ditemukan sel limfoid, histiosit, neutrofil. Foam cell pada
eruptive xantoma relatif lebih sedikit daripada xantoma jenis lain.
Tuberous xantoma menunjukkan agregasi foam cell yang banyak pada lapisan
dermis dengan sel radang yang sedikit dan celah-celah yang berisi kolesterol. Tendon
xanthoma secara histopatologi mirip dengan tuberous xantoma, tetapi pada tendon
xanthoma, foam cell nya berukuran lebih besar.
Xantelasma dapat dibedakan dengan melihat lokasi dari xantelasma yang
terletak superfisial. Selain foam cell, pada xantelasma dapat ditemukan otot, rambut,
dan lapisan epidermis kulit (Roy, 2008).
16
Gambar 2.9. Gambaran mikroskopik dari xantoma yang menunjukkan foam cell
(Robin, 2011).
Gambar 2.10 Gambaran mikroskopik dari xanthelasma, terlihat makrofag yang berisi
lipid pada lapisan dermis (Robin, 2011).
17
Secara singkat, gambaran klinis dari setiap xantoma adalah sebagai berikut :
Tipe Gambaran Klinis Kondisi yang terkait
Xanthelasma Terdapat pada canthus lateral
atau canthus medial, dapat
berbentuk papul atau makula
(datar)
Tipe II dan tipe III
hyperlipidemia
Eruptive xantoma kumpulan papul2 berwarna
kekuningan yang mempunyai
dasar eritema. Berlokasi pada
bokong, bagian extensor dari
siku dan lutut
Tipe I, IV, dan V
hyperlipidemia.
Tuberous xantoma Deposit lemak pada lapisan
dermis dan subkutaneus, dapat
berupa plak atau nodul, sering
ditemukan pada siku dan lutut
Tipe II dan III
Hiperlipidemia
Tendineus xantoma Nodul yang terdapat pada siku,
lutut, tendon Achilles, dan
pada bagian dorsal dari tangan
dan kaki
Tipe II hiperlipemia,
Tipe III hiperlipdemia
(jarang)
Plane xantoma Deposit lemak berupa makula
atau papul yang sedikit
meninggi. Terdapat pada
telapak tangan, muka, leher,
dan dada.
Tipe II dan III
Hiperlipidemia
18
d. Klasifikasi
1. Familial Chylomicronemia Syndrome (Frederickson Type I
Hyperlipidemia)
Etiopatogenesis:
Defisiensi Lipoprotein Lipase
Lipoprotein Lipase (LPL) merupakan enzim yang teletak di bagian endotel
kapiler, berfungsi menghidrolisis trigliserida dari kilomikron menjadi asam
lemak. Ketika enzim ini fungsinya terganggu atau mengalami defek fungsi,
maka kilomikron yang terdiri dari trigliserida akan terakumulasi di dalam
serum
Defisiensi Apolipoprotein-C2
Apo-C2 berada di dalam trigliserida kaya lipoprotein dan mengaktifkan LPL.
Tanpa LPL, kilomikron tidak dapat dihidrolisis dan akan menyebabkan
pengakumulasian trigliserida di dalam serum (Scheinfeld, 2012).
Gejala Klinis
Pada pasien yang termasuk pada klasifikasi ini, terjadi eruptive xantoma.
Eruptive xantoma muncul sebagai eritema atau sebagai papul berwarna kuning
yang berdiameter kira-kira 1-4 mm. Distribusi lesinya berada di bagian
permukaan extensor dari ekstremitas (khususnya lutut dan siku), bokong
dan tangan.Dalamperkembangannya, lesi dapat mempunyai halo, terjadi
inflamasi, dan gatal. Penelitian juga menyebutkan terdapat fenomena Koebner
pada lesi (Roy, 2008).
19
Gambar 2.11 Eruptive xantoma yang muncul pada siku (Robin, 2011).
Laboratorium
Kadar lipid di dalam plasma dapat membantu diagnosis. Pada pasien ini, kadar
trigliserida dalam plasma meningkat secara drastis pada range 50-100 mmol/L
(Syarif, 2008).
Penatalaksanaan
Tidak ada obat-obatan yang secara efektif mengobatai chylomicronemia akibat
defisiensi LPL atau defisiensi Apo-C2, cara yang paling efektif adalah
pengaturan diet. Lemak dibatasi 20-30 g/hari. Sebagai tambahan, dapat
digunakan obat-obat seperti fibrat, asam nikotinat untuk menurunkan kadar TG
(Roy, 2008).
Prognosis
Jika kadar TG pasien melampaui 2000 mg/dl, pasien mempunyai resiko yang
tinggi terkena akut pankreatitis. Pasien pada klasifikasi ini pada umumnya tidak
beresiko terkenal penyakit jantung koroner, walaupun beberapa pasien
didapatkan atherosclerosis (Syarif, 2008).
2. Hypercholesterolemia (Frederickson Tipe II Hiperlipidemia)
Familial homozygous Hypercholesterolemia
20
Partikel-partikel LDL yang berada di dalam serum diproses oleh sel hepar
melalui perikatan dengan LDL reseptor. Ketika partikel LDL berikatan dengan
LDL reseptor, partikel tersebut kemudian akan diteruskan ke lysosom dan akan
mengalami proses degradasi. Pada pasien dengan Familial
Hypercholesterolemia (FH) terjadi defisiensi genetik dari LDL reseptor, yang
berperan penting pada proses degradasi dari LDL. Homozigot FH adalah suatu
keadaan terjadinya defek pada kedua alel gen, yang menyebabkan LDL reseptor
dari pasien tidak bekerja, atau memiliki aktivitas yang sangat rendah (Syarif,
2008).
Familial Heteroyzygous Hypercholesterolemia
Heterozygot FH merupakan suatu keadaan yang lebih umum daripada
homozigot FH. Dengan prevalensi 1:500. Pada pasien dengan Heterozigot FH,
terjadi kelainan yang sama dengan pasien Homozigot FH, tetapi pada pasien
dengan Heterozigot FH hanya terjadi defek pada salah satu alel gen (Syarif,
2008).
Familial Defective Apolipoprotein B-100
Apo-B100 merupakan satu-satunya apolipoprotein yang dihubungkan dengan
LDL. Apo-B100 membantu pengikatan antara partikel LDL dan LDL reseptor.
Familial defective Apo-B100 (FDB) adalah suatu penyebab lain dari
hypercholesterolemia berat. Pada pasien dengan FDB, terjadi kelainan struktur
dari Apo-B100 yang menyebabkan partikel LDL tidak dapat berikatan dengan
LDL reseptor secara efektif (Syarif, 2008).
Gejala Klinis:
Pada pasien yang termasuk dalam klasifikasi ini, terjadi tendineus xantoma,
tuberous xantomas, dan plane xantomas.
Tuberous xantoma muncul sebagai lesi yang berkembang secara lambat
menjadi papul kekuningan, nodul, atau tumor yang berlokasi di lutut, siku dan
permukaan ekstensor dari badan dan telapak tangan (Roy, 2008).
21
Tendineus Xantoma muncul sebagai lesi yang berbentuk papul atau nodul
berdiameter 5 – 25 mm yang ditemukan di tendon, khususnya di tendon
ekstensor di bagian punggung tangan, bagian dorsal kaki, dan di
tendon Achilles (Roy, 2008).
Plane Xantoma muncul sebagai lesi makula yang datar atau papul yang sedikit
meninggi berwarna kekuningan atau orange yang menyebar secara difus. Secara
khusus, plane xantoma banyak terdapat pada kelopak mata, leher, bahu, badan,
dan ketiak (Roy, 2008).
Gambar 2.12 Tuberous xanthoma (Medscape, 2015).
22
Gambar 2.13 Tuberous Xanthoma (Hijazy, 2015).
Gambar 2.14 Tendineus Xantoma pada tendon Achilles (Scheinfeld, 2012).
23
Gambar 2.15 Plane Xanthoma pada leher (Medscape, 2015).
Laboratorium
Pada pasien dengan Tipe II hyperlipidemia, kadar LDL-cholesterol dalam
serum akan jelas meningkat. Pada pasien dengan homozigot FH, kadar LDL
dapat mencapai 800-1000 mg/dl, sedang pada pasien dengan heterozigot FH,
kadar LDL serum sekitar dua kali lipat dari nilai normal (Syarif, 2008).
Penatalaksanaan
Pemberian statin telah terbukti merupakan obat yang efektif dalam mengobati
pasien tipe II ini. Selain itu dapat dilakukan diet rendah lemak / kolesterol
untuk mengontrol kadar LDL di dalam darah dan menghilangkan tendon
xanthoma diAchilles (Roy, 2008).
Prognosis
Pasien cenderung mempunyai atau terkena penyakit jantung koroner dan
atherosclerosis sebelum memasuki usia remaja (Roy, 2008).
3. Dysbetaliproteinemia (Frederickson Type III Hyperlipidemia)
Etiopatogenesis:
Disbetalipoproteinemia merupakan suatu gangguan metabolisme lipid yang
ditandai dengan adanya akumulasi dari dari residu lipoprotein (residu
24
kilomikron dan residu VLDL). Pada pasien ini, terdapat isoform abnormal dari
apo-E, yang disebut apo-E2. Isoform normal adalah apo-E3 dan apo-E4,
isoform-isoform ini membantu uptake residu-residu kilomikron dan VLDL oleh
hati. Karena adanya Apo-E2, uptake dari residu-residu kilomikro dan VLDL
terganggu, yang pada akhirnya dapat menyebabkan akumulasi residu ini di
dalam serum (Roy, 2008).
Walaupun demikian kelainan Apo-E sendiri tidak dapat menyebabkan
gangguan atau memunculkan lesi xanthoma, dibutuhkan suatu kelainan lain
yang turut mendukung, misalnya Hypotiroid, Obesitas, DM ( 1% dari populasi
mempunyai Apo-E2 genotip, tapi hanya 0.01% yang terkena Tipe III
hyperlipidemia) (Roy, 2008).
Gejala Klinis
Sekitar 2/3 dari pasien yang termasuk dalam klasifikasi ini terdapat
tuberoeruptive dan tuberous xantoma. Juga dapat ditemukan deposit lemak pada
telapak tangan (xantoma straitum palmare). Terkadang, dapat juga ditemukan
manifestasi dari tendon xanthoma dan xantelasma1.
Palmar xanthoma muncul sebagai lesi berbentuk nodul atau papul berbentuk
iregular yang berwarna kuning, yang terdapat di telapak tangan, bagian flexural
dari jari.
Xanthelasma adalah suatu bentuk xanthoma yang paling banyak ditemukan.
Lesinya muncul secara simetris di bagian atas dan bawah dari kelopak mata.
Lesinya lunak, dapat berbentuk papul atau plak yang berwana kekuningan
(Syarif, 2008).
25
Gambar 2.16 Xanthoma pada telapak tangan (Palmar Xanthoma) (Medscape,
2015).
Gambar 2.17 Xanthelasma (Medscape, 2015).
Labolatorium
Plasma cholesterol dan kadar TG meningkat dengan derajat yang sama
(cholesterol dapat meningkat 7.0 mmol/L sedang TG dapat meningkat 4,0
mmol/L). Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi Apo-E2
isoform, yang merupakan penyebab dari kelainan ini (Syarif, 2008).
26
Penatalaksanaan
Pengobatan pada penyakit metabolik yang menyertai seperti obesitas, Diabetes
Mellitus atau hipotiroidisme akan membantu menurunkan kadar lipid dan
menghilangkan lesi xanthoma. Dapat juga diberikan asam fibrat atau asam
nikotinat, tetapi jika kadar kolesterol meningkat secara drastis, terapi statin
lebih efektif (Syarif, 2008).
Sedang pada xantelasma, terdapat banyak pilihan yang dapat dilakukan untuk
menghilangkan xantelasma melalui pembedahan, antara lain:
Eksisi
– Untuk ukuran lesi yang kecil, dianjurkan untuk melakukan eksisi, bekas
luka ditutupi dengan cara dijahit
– Eksisi luas, cenderung pada kelopak mata bagian bawah, lesi padat
tebal. Eksisi yang sederhana pada lesi yang berukuran besar dapat
menimbulkan retraksi kelopak mata, ektropion. Xantelasma dapat dimasukkan
ke dalam bedah kosmetik, meskipun blepharoplasty dapat meningkatkan resiko
terjadinya formasi ektropion
Ablasi Laser Argon
Merupakan salah satu metode dari penanganan xantelasma, penguapan dangkal
yang superfisial dengan teknik perombakan atau teknik elektromagnetik untuk
menghilangkan plak xantoma yang berwarna kuning
Kauterisasi Kimia
Menggunakan chlorinated acetic acids, metode ini sangat efektif
menghilangkan xantelasma, dengan mempresipitasi, mengkoagulasi protein dan
melisiskan lemak. Jenisnya monochloroacetic acid , dicholoroacetic acid,
dan trichloroacetic acid.
Elektrodesikasi dan Krioterapi
27
Xantelasma juga dapat dihilangkan dengan metode ini, tapi pengobatan ini
sangat jarang digunakan karena sering meninggalkan bekas luka dan juga dapat
menyebabkan hipopigmentasi
Skin Graft
Metode ini digunakan untuk alasan kosmetik pada bedah rekonstruksi
digunakan pada xantelasma yang luas. Skin graft berarti kulit pada area tertentu
di tubuh, dengan bedah dipindahkan dan ditransplantasikan pada area lain di
tubuh. Skin graft dibagi menjadi split-thickness skin graft, yang mengambil
lapisan teratas kulit danfull thickness skin graft, yang mengambil seluruh
lapisan kulit (Djuanda, 2013).
Prognosis
Pasien dengan Tipe III hiperlipidemia mempunyai resiko tinggi terkena
penyakit Jantung Koroner dan sering juga terkena penyakit arteri perifer.
4. Familial Hypertriglyceridemia (frederickson tipe IV Hyperlipidemia)
Etiopatogenesis:
Etiologinya sampai sekarang masih belum diketahui. Pada pasien dengan
Familial Hypertriglyceridemia, hepar memproduksi VLDL secara berlebihan
(overproduksi). Defek yang mendasari kelainan pada pasien ini belum diketahui
secara pasti. Namun ada yang menyebutkan bahwa Obesitas, Diabetes Melitus
dan alcohol merupakan faktor pencetus terjadinya kelainan ini (Syarif, 2008).
Gejala Klinis
Pada pasien dengan Familial Hypertriglyceridemia, xantoma jarang ditemukan.
Pasien dengan klasifikasi ini biasanya ditemukan pada pemeriksaan kadar lipid
rutin. Namun, kadang-kadang dapat ditemukan eruptive xanthoma pada bokong
dan tangan (Syarif, 2008).
Laboratorium
Pada pasien ini ditemukan kadar Plasma TG meningkat secara moderat, tidak
sebanyak pada pasien dengan Tipe I hiperlipidemia (Syarif, 2008).
28
Penatalaksanaan
Hal yang palin esensial adalah diet rendah lemak dan menurunkan berat badan
ke berat badan ideal. Selain itu mengobati kelainan metabolik yang turut
menyertai penyakit ini, seperti Dibetes mellitus, Obesitas, dan penyakit tiroid
tidak kalah pentingnya. Selain itu penderita juga harus menjauhi sukrosa dan
alkohol. Jika diet saja tidak berhasil dapat diberikan fibrat (Fenofibrate atau
gemfibrosil) yang dapat mengontrol hiperlipidemia-nya (Roy, 2008).
5. Familial Hypertriglyceridemia : Chylomicronemia Combined with
Endogenous Hypertriglyceridemia (Frederickson Type V Hyperlipidemia)
Etiopatogenesis:
Pada pasien dengan gangguan ini, terjadi kombinasi antara dua defek, yaitu
defek pada metabolisme trigliserida dan overproduksi dari VLDL. Kedua hal
abnormal ini dapat mempunyai penyebab yang berbeda-beda, misalnya defek
pada enzim LPL, defek pada LDL reseptor (Syarif, 2008).
Gejala Klinis
Pada pasien ini ditemukan eruptive xanthoma, nyeri abdominal, dan kadang-
kadang dapat terserang akut pankreatitis
Laboratorium
Pada pasien akan didapatkan kenaikan kadar chylomicron dan VLDL di dalam
darah (Syarif, 2008).
Penatalaksanaan
Yang terutama adalah menurunkan berat badan sampai pada berat badan yang
ideal dengan cara diet rendah leak dan mengurangi karbohidrat. Selain itu dapat
diberikan asam fibric (contoh : gemfibrozil) untuk mengatasi
hiperlipidemianya. Heparin dapat diberikan pada pasien yang mempunyai
pankreatitis akut untuk menstimulasi aktivitas enzim lipoprotein lipase (LPL)1,9.
Prognosis
Pasien dengan tipe V hiperlipoprotenemia mempunyai faktor resiko tinggi
untuk terkena penyakit jantung koroner, dan biasanya bermanifestasi sebagai
29
penyakit arteri perifer. Resiko untuk terkena pankreatits akut juga meningkat
jika kadar trigliserida melewati 2000 mg/dl (Djuanda, 2013).
Secara ringkas, klasifikasi dari xantoma adalah sebagai berikut
Klasifikasi Kondisi Etiologi Tipe
Xantoma
Profil Lipid
Tipe I Familial
Chylomicronemia
– Defisiensi
Enzim LPL
– Defisensi
Apo-C2
Eruptive
Xantoma
TG
Tipe II Familial
Hypercholesterolemia
– Defek pada
LDL reseptor
– Defek pada
Apo B-100
Tendon
Xantoma,
Tuberous
Xantoma
LDL
Tipe III Dysbetaliproteinemia – Terdapat
bentuk isoform
abnormal dari
Apo-E, yaitu
Apo-E2
Tuberous
Xantoma,
Xantelasma,
Palmar
Xantoma
LDL & TG
Tipe IV Familial
Hypertriglyceridemia
– Hepar
memproduksi
VLDL
diproduksi
secara
berlebihan
Xantoma jarang
ditemukan,
tetapi kadang-
kadang dapat
ditemukan
eruptive
TG
30
xantoma
Tipe V Mixed hiperlipidemia – Kombinasi,
antara defek
pada
metabolisme Tg
dan VLDL
Eruptive
Xantoma
LDL & TG
II.5 Xanthelasma
a. Definisi
Xanthelasma adalah kumpulan kolesetrol di bawah kulit dengan batas tegas
berwarna kekuningan biasanya di sekitar mata, sehingga sering disebut xanthelasma
palpebra. Kata “xanthos” berasal dari kata Yunani yang berarti “kuning” dan
“elasma” yang berarti “seperti lempengan metal”. Meskipun tidak berbahaya dan
tidak menimbulkan nyeri, munculnya xanthelasma dapat mengganggu penampilan
dan dapat dihilangkan. Bila ditemukan dalam jumlah banyak maka disebut
“xanthelasmata”. Kelainan ini sering ditemukan pada ras Asia dan mereka yang
tinggal di daerah Mediterania (Djuanda, 2013).
Xanthelasma atau plaque kekuningan yang sering ditemukan di dekat canthus
bagian dalam kelopak mata, terutama sering ditemukan di kelopak mata atas
daripada di kelopak mata bawah. Xanthelasma palpebra adalah bentuk xanthoma
kutaneus yang paling sering ditemui. Xanthelasma biasanya lunak, semisolid atau
calcareous. Sering ditemui simetris, kadang pada 4 kelopak mata sekaligus (kelopak
mata atas, bawah kanan dan kiri). Xanthelasma mempunyai kecenderungan untuk
berkembang, bergabung dan menjadi menetap. Xanthelasma dapat timbul di tubuh
mana saja, tetapi lebih sering terlihat di area kelopak mata. Xanthelasma ini
berkembang dari disfungsi metabolism lipid (Allergan, 2008).
Di Indonesia sendiri Xanthelasma palpebrarum cukup banyak dijumpai
meskipun tidak sebanyak kasus kelainan kulit yang lain seperti yang disebabkan oleh
bakteri atau parasit. Ini mungkin disebabkan juga banyak masyarakat di indonesia
31
mengkonsumsi bahan yang banyak mengandung lemak, selain bahan yang
mengadung lemak xanthelasma ini juga dapat disebabkan oleh keturunan (Djuanda,
2013).
b. Etiologi
Xanthelasma telah dihubungkan dengan keadaan hiperlipoproteinemia. Semua
tipe hiperliproteinemia termasuk bentuk sekunder telah dihubungkan dengan
xanthelasma, tetapi tipe II dan III, berkisar 30%-40% pada pasien xanthelasma.7
Setengah pasien xanthelasma mempunyai kelainan lipid. Erupsi Xanthomas dapat
ditemui pada hiperlipidemia primer dan sekunder. Kelainan genetik primer termasuk
dislipoproteinemia, hipertrigliseridimia dan defisiensi lipase lipoprotein yang
diturunkan. Diabetes yang tidak terkontrol juga menyebabkan hiperlipidemia
sekunder. Xanthelasma juga bisa terjadi pada pasien dengan lipid normal dalam darah
yang mempunyai HDL kolesterol rendah atau kelainan lain lipoprotein (Hijazy,
2015).
c. Patofisiologi
Hepar mensekresi lipoprotein, partikel yang terbuat dari kombinasi cholesterol dan
trigycerides. Partikel ini bersifat larut air untuk memfasilitasi transport pada jaringan
perifer. Oleh polar phospolipids dan 12 protein spesifik yang berbeda yang
dinamakan apolipoproteins. Apolipoproteins berfungsi sebagai kofaktor untuk enzime
plasma dan berinteraksi dengan reseptor permukaan sel. Lipoprotein dibagi menjadi
lima komponen, yaitu chylomicrons, VLDL, intermediate-density lipoproteins (IDL),
LDL, dan HDL. Dyslipoproteinemia dikategorikan sebagai primer atau sekunder.
Kondisi primer ditentukan secara genetik dan dikelompokkan oleh Fredrickson
menjadi lima atau enam komponen berdasarkan peningkatan lipoprotein spesifik.
Hiperprotein sekunder muncul akibat penyakit lain yang dapat memunculkan gejala,
perubahan lipoprotein, dan xanthomas yang dapat menyerupai sindrome primer
(Scheinfeld, 2012).
Meskipun telah diteliti mengenai hubungan antara xanthelasma dan
hyperlipoproteinemia, hanya sekitar setengah pasien yang memperlihatkan adanya
32
peningkatan lipid serum. Pada penelitian Gangopadhya didapatkan hanya 52,5%
pasien xanthelasma yang mempunyai profil lipid abnormal (Hijazy, 2015).
Pada xanthelasma terjadinya akumulasi kolesterol yang berawal dari darah,
dimana jumlah kolesterol yang paling banyak berasal dari LDL yang masuk melalui
dinding vaskular. Dikatakan bahwa trauma dan inflamasi itu dapat merubah
permeabilitas vaskuler sehingga lipoprotein dapat masuk ke dalam kulit dan
kemudian difagositosis oleh sel dermal. Normalnya LDL mempunyai nilai kebocoran
kapiler yang lambat (Allergan, 2008).
Panas lokal meningkatkan nilai kebocoran. Dapat dilihat secara eksperimen
bahwa nilai kebocoran kapiler dari LDL itu dua kali lebih besar pada daerah yang
lebih sering terekspose oleh gerakan fisik atau gesekan, dibandingkan daerah pada
kulit yang immobilisasi. Kelopak mata lebih sering mengalami pergerakan yang
konstan dan gesekan, dan hal ini mungkin alasan mengapa xanthelasma berkembang
pada daerah ini (Hijazy, 2015).
d. Gejala Klinis
Timbul plak irregular di kulit, warna kekuningan sering kali disekitar mata
Ukuran xanthelasma bervariasi berkisar antara 2 – 30 mm., adakalanya simetris dan
cenderung bersifat permanen.
Pasien tidak mengeluh gatal, biasanya mengeluh untuk alasan estetika.
Xanthelasma atau xanthelasma palpebra biasanya terdapat di sisi medial kelopak
mata atas. Lesi berwarna kekuningan dan lembut berupa plaque berisi deposit lemak
dengan batas tegas. Lesi akan bertambah besar dan bertambah jumlahnya. Biasanya
lesi-lesi ini tidak mempengaruhi fungsi kelopak mata, tetapi ptosis harus diperiksa
bila ditemukan (Djuanda, 2013).
33
Gambar 2.18 Gambar xanthelasma palpebra pada stadium awal berupa lesi
kuning keputihan (Wikipedia, 2015).
Gambar 2.19 Gambar xanthelasma terdapat lesi berwarna kekuningan dengan
batas tegas di kelopak mata bagian dalam (Wikipedia 2015).
Gambar 2.20. Gambaran Xanthelasma palpebra simetris di kedua kelopak mata
(Scheinfeld, 2012)
34
Gambar 2.21. Gambar xanthelasma palpebra berupa benjolan warna kuning
keputihan (Scheinfeld, 2012).
Gambar 2. 22.Gambar xanthelasma palpebra menunjukkan gambaran plaque
kekuningan di kelopak mata bagian tengah (Scheinfeld, 2012).
e. Laboratorium
Karena 50% pasien dengan xanthelasma mempunyai gangguan lipid, maka
disarankan untuk pemeriksaan plasma lipid juga HDL dan LDL. Xanthelasma
biasanya dapat didiagnosa dengan jelas secara klinis dan jarang kelainan lain
memberi gambaran klinis sama. Jika ada keraguan, eksisi bedah dan analisis patologi
sebaiknya dilakukan (Syarif, 2008).
f. Pemeriksaan Histologi
Xanthelasma tersusun atas sel-sel xanthoma. Sel-sel ini merupakan histiosit
dengan deposit lemak intraseluler terutama dalam retikuler dermis atas. Lipid utama
35
yang disimpan pada hiperlipidemia dan xanthelasma normolipid adalah kolesterol.
Kebanyakan kolesterol ini adalah yang teresterifikasi (Roy, 2008).
Gambar 2.23 : Histologi dari xanthelasma (Fitzpatrick, 2007).
g. Terapi
Tujuan utama terapi adalah untuk mengontrol kelainan yang mendasari untuk
mengurangi perkembangan xanthelasma dan xanthoma. Xanthelasma dapat dibedah
apabila mengganggu, tetapi mungkin bisa kambuh. Xanthelasma dapat dihilangkan
dengan pengelupas trichloroacetic, bedah, laser atau cryoterapi. Penghilangan
xanthelasma dapat menyebabkan timbulnya scar dan perubahan pigmen, tetapi tidak
jika menggunakan trichloroacetic. Komponen herediter yang diturunkan
menyebabkan timbulnya xanthelasma ini bisa mengindikasikan tingginya kolesterol
dalam darah atau bisa juga tidak. Apabila tidak ada riwayat keluarga yang menderita
xanthelasmata maka biasanya mengindikasikan jumlah kolesterol yang tinggi dalam
darah dan mungkin berhubungan dengan resiko timbulnya penyakit atheromatous
(timbunan kolesterol di arteri) (Djuanda, 2013).
Farmakoterapi
Diet ketat dan obat-obatan yang menurunkan serum lipid, meskipun penting
pada pasien dengan lipid abnormal tetapi hanya memberikan respon sedikit pada
terapi xanthelasma (Djuanda, 2013).
Terapi Bedah
36
Banyak pilihan untuk menghilangkan xanthelasma palpebra, termasuk bedah
eksisi, argon dan pengangkatan dengan laser karbondioksida, kauterisasi kimia,
elektrodesikasi dan cryoterapi (Djuanda, 2013).
Eksisi Bedah
Untuk lesi kecil yang linier eksisi direkomendasikan dimana scar akan
tercampur dalam jaringan kelopak. Lesi yang membengkak lebih kecil dapat
dihilangkan dan jaringan akan menyatu kembali. DOI merekomendasikan
menggunakan teknik bedah mikroskop, menggali antara tumor dan okuli orbita
dengan blade nomer 11, mengangkat atap dan dengan hati-hati mengambil tumor
sepotong demi sepotong dengan gunting mikro dari sisi kebalikan dan
menyatukan atap dengan benang nylon 7 – 0.
Pada eksisi lebih tebal, kelopak mata bawah cenderung mudah terjadi scar
karena jaringan yang diambil juga lebih tebal. Eksisi sederhana pada lesi yang
lebih luas beresiko terjadi retraksi kelopak mata, ektropion sehingga
membutuhkan cara rekonstruksi lain. Pengangkatan xanthelasma sudah menjadi
bagian dari bedah kosmetik.
Pengangkatan dengan laser karbondioksida dan argon : menambah
hemostasis, memberi gambaran lebih baik, penutupan yang kurang dan lebih
cepat dalam menggunakan tehnik ini; scar dan perubahan pigmen dapat terjadi
(Djuanda, 2013).
Kauterisasi kimia: penggunaan chloracetic acid efektif untuk menghilangkan
xanthelasma. Agen ini mengendapkan dan mengkoagulasikan protein dan lipid
larut. Monochloroacetic acid, dichloroacetic acid, dan trichloroacetic acid
dilaporkan memberi hasil yang baik. Haygood menggunakan kurang dari 0.01 ml
dari 100% dichloracetic acid dengan hasil yang sempurna dan scar minimal. 2
Elektrodesikasi dan cryoterapi dapat menghancurkan xanthelasma superficial
tetapi membutuhkan terapi berulang. Cryoterapi dapat menyebabkan scar dan
hipopigmentasi (Roy, 2008).
Edukasi
37
Edukasi yang diberikan adalah untuk melakukan control terhadap kolesterol
juga trigliserid dan bagaimana cara untuk menurunkan kolesterol juga
membiasakan gaya hidup sehat untuk mengatur kolesterol (Djuanda, 2013).
h. Prognosis
Kekambuhan sering terjadi. Pasien harus mengetahui bahwa dari penelitian yang
dilakukan pada eksisi bedah dapat terjadi kekambuhan pada 40% pasien. Persentase
ini lebih tinggi dengan eksisi sekunder. Kegagalan ini, terjadi pada tahun pertama
dengan persentase 26% dan lebih sering terjadi pada pasien dengan sindrom
hiperlipidemia dan bila terjadi pada 4 kelopak mata sekaligus (Djuanda, 2013).
II.6 Manifestasi Kulit Pada Penyakit Hepar
Gejala pada kulit dapat mempunyai peranan informative tentang adanya
penyakit hepar.
1. Pruritus
Pruritus atau sensasi gatal pada kulit merupakan keluhan yang sering
terdengar pada pasien penyakit liver, keluhan terasa lebih berat bila juga ada
kolesteatosis (kenaikan kolesterol atau ester-esternya). Walaupun asosiasi
dengan garam-garam empedu sering diperkirakan, tetapi korelasi antara
konsentrasi zat-zat tersebut di dalam darah dengan beratnya pruritus tidak
selalu ada. Beberapa zat empedu telah terbukti ada di dalam kulit pada
penderita pruritus (Djuanda, 2013).
2. Warna Kulit
Tentang ini sebagian telah dibicarakan pada manifestasi kulit pada gangguan
metabolisme (sub-bab II.1)
a. Ikterus tampak pada kerusakan hepatoselular akut atau pada hemolisis.
Warna kulit pada sirosis biliar berlainan, yakni coklat kehijau-hijauan.
Pada hemokromatosis warna kulit coklat abu-abu.
b. Hiperpigmentasi karena melanin terdapat pada sirosis portal,
sedangkan lebih jelas lagi pada sirosis biliar dan pada
hemokromatosis. Hiperpigmentasi bersifat difus (Djuanda, 2013).
38
3. Abnormalitas vascular
a. Nevus laba-laba (spider naevi) terutama terlihat pada anak dan
wanita hamil. Lokalisasi biasanya di bagian atas tubuh.
b. Palmar flush, vaskulitis, atau purpura kadang-kadang afa
c. Livedo atau bier spots, yakni bercak-vercak putih karena
vasokonstriksi di ekstremitas bawah, tampak bila penderita berada di
hawa dingin (Djuanda, 2013).
4. Xantomatosis
Xantomatosis disebabkan oleh hiperlipidemia yang ada pada sirosis biliar
menahun. Xantoma datar nampak pada telapak tangan dan kaki, xantelasma
pada palpebra, sedangkan tuberose berlokalisasi di atas tendon dan di daerah-
daerah dengan banyak tekanan.
5. Perubahan Rambut
Perubahan rambut yang tampak dapat berupa rambut kepala menipis, rambut
primer seksual menghilang, yakni di daerah jenggot, aksial, dan pubis.
6. Akne
Kulit di bagian atas toraks seringkali berlemak dan tampak ada akne vulgaris
(Djuanda, 2013).
Gambar 2.24 Spider naevi (Robin, 2011).
39
Gambar 2.25 Erythema Palmaris atau palmar flush (Medscape, 2015)
Gambar 2.26 Livedo atau bier spots (Robin, 2011).
II.7 Manifestasi Kulit Pada Penyakit Ginjal
Gejala kutan pada penyakit ginjal dapat bervariasi, seperti diuraikan dibawah
ini:
1. Pruritus Renal
Pruritus renal dapat terjadi, walaupun tidak selalu, pada kegagalan ginjal.
Pruritus bersifat generalisata dan kadang-kadang berat.
Mekanismenya adalah sebagai berikut:
a. Retensi zat-zat yang terdiri atas pelbagai konstituen dalam darah. Hal
ini disebabkan oleh karena ginjal mengeksresikannya. Berat bila
timbul uremia. Biasanya jika dialysis dimulai pruritus menghilang.
40
b. Hiperparatiroidia sekunder, dalam hal demikian pruritus akan timbul
lagi sesudah dialysis
c. Retensi pruritogen, yang terdiri atas berbagai zat dengan berat molekul
menengah.
d. Eksresi zat-zat yang mengandung nitrogen ke permukaan kulit.
Pruritus secara klinis akan mengakibatkan ekskoriasi dan likenifikasi.
Nodus-nodus pruritik jarang tampak, bila ada maka berlokalisasi di
bagian ekstensor ekstremitas (Djuanda, 2013).
2. Kekeringan kulit
Kekeringan pada kulit menyerupai iktiosis didapat dan terutama terlihat pada
bagian ekstensor tungkai bawah
3. Asebia atau berkurangnya produksi sebum
4. Perubahan rambut, yakni rontoknya rambut androgenic di daerah jenggot,
aksial, dan pubis.
5. Purpura karena disfungsi trombosit dan juga karena terapi kortikosteroid
6. Warna kulit berubah, yakni terlihat kombinasi kepucatan dan
hiperpigmentasi. Hipermelanosis yang difus tampak pada kulit dan mukosa
bukal
7. Beberapa penyakit yang berasosiasi dan sindrom kutaneo-renal ialah
adenoma sebaseum, vaskulitis, dan penyakit vascular kolagen, serta penyakit
metabolic (misalnya lipo-angiokeratoma) . Sebaliknya ada pula nefropatia
yang sekunder terhadap penyakit kulit, yakni nefropatia dermatogenik dan
glomerulo-nefritis sesudah infeksi kutan karena streptokokus A12 (Robin,
2011).
41
Gambar 2.27 Efek ureum pada tubuh (Medscape, 2015).
42
Gambar 2.28 Pendekatan terapi pruritus renal (Medscape, 2015).
II.8 Manifestasi Kulit Pada Gangguan Hormon Tiroid
Manifestasi kulit hipertiroidisme dan hipotiroidisme bervariasi dan penting
dalam penegakkan diagnosis dermatologis. Pada hipertiroidisme, kulit hangat,
lembab, lembut,kenyal dan halus seperti tekstur kulit bayi. Kulit yang terasa hangat
dan keringat yang berlebih disebabkan oleh peningkatan basal metabolic rate dan
peningkatan aliran darah kulit serta vasodilatasi perifer, yang juga bertanggung jawab
pada kemerahan pada wajah dan eritema palmar. Hypothyroidism atau defisiensi
hormone tiroid menyebabkan perubahan pada kulit termasuk penebalan,
hiperkeratosis, kehilangan difus rambut pada kulit kepala, dan atrofi kuku. Kulit
43
dingin, kering, dan pucat dengan xerosis luas, terutama pada permukaan ekstensor,
juga terdapat pada hipotiroidisme (Florez, A., Cruces, M., Jimenez, GP., 2003)
Overactivity dan underactivity dari kelenjar tiroid dapat menyebabkan perubahan
pada kulit, rambut atau kuku. Ini mungkin sebagai akibat dari kadar hormon tiroid
yang abnormal, atau konsekuensi dari kondisi yang mendasarinya. Pada gangguan
hormon tiroid berlebih sering ditemukan adanya perubahan tekstur rambut dan
alopecia, onycholysis yang merupakan ujung kuku yang bebas menonjol ke atas
(Plummer’s nail), pruritus, urtikaria kronik, alopecia areata, dan hiperpigmentasi
yang difus atau terlokalisir pada wajah (Hailovic, 2014).
a. Tirotoksikosis (overactivity kelenjar tiroid)
Kelebihan hormon tiroid (tiroksin) dapat disebabkan oleh:
penyakit Graves (kondisi autoimun di mana terdapat antibodi yang
mengaktifkan kelenjar tiroid mengakibatkan gondok (goiter) dan mata yang
menonjol (eksoftalmus).
Nodul tiroid
asupan berlebihan dari obat tiroksin.
Hasil tirotoksikosis dalam peningkatan tingkat metabolisme. Hal ini dapat
mengakibatkan:
Kulit yang halus, lembab, dan hangat
Flushing dari wajah dan tangan
Pertumbuhan kuku berlebih (acropachy, clubbing), yang dapat mengangkat
nail bed (onycholysis)
Penipisan rambut kulit kepala
Generalised itch (pruritus)
Urtikaria
Peningkatan pigmentasi kulit (hiperpigmentasi)
Penyakit Graves dapat dikaitkan dengan kondisi autoimun lainnya, termasuk
vitiligo (Hijazy, 2015).
44
b. Pretibial Myxoedema
Miksedema pretibial atau dermopathy tiroid mempengaruhi 5% dari
pasien dengan penyakit Graves. Mungkin muncul sebelum, selama atau
setelah tahap thyrotoxic dan kadang-kadang dikaitkan dengan tiroid kurang
aktif. Miksedema pretibial menunjukkan penampakan bengkak dan kental di
atas tulang kering dan kadang-kadang juga mempengaruhi kaki. Kulit dapat
berubah dengan nodul berwarna merah muda atau ungu, dengan folikel
rambut yang menonjol. Hal ini dikenal sebagai 'peau d'orange' (kulit jeruk)
appearance. Ini mungkin terlihat sebagai berkutil atau 'verrucous'. Lesi sering
terdapat pada anterior tibia dan dorsum pedis bilateral tetapi tidak simetris
(Hailovic, 2014).
Miksedema pretibial adalah bentuk mucinosis difus. Kulit menebal dan
tidak elastis diisi dengan asam hialuronat dan kondroitin sulfat yang
berlebihan. Ini adalah asam mucopolysacharides (glikosaminoglikan).
Material yang sama disimpan di belakang mata yang mengakibatkan
tonjolan dan lid lag pada pergerakan bola mata.
Miksedema pretibial diduga disebabkan oleh thyroid-stimulating
immunoglobulin (autoantibodi) tapi ini belum terbukti
Nama 'miksedema pretibial' menyesatkan karena meskipun biasanya terjadi di
depan tulang tibea, itu bisa terjadi pada bagian lain, dan itu tidak disebabkan
oleh mucous (jaringan myxoid). Patogenesisnya belum diketahui secara pasti
(Hailovic, 2014).
45
Gambar 2.29 Pretibial myxoedema
II.9 Hypothyroidism (underactive thyroid gland)
Kelenjar tiroid kurang aktif dapat juga disebabkan oleh penyakit autoimun, seperti:
Idiopatik hipotiroidisme
Kondisi yang penyebabnya tidak diketahui, di mana tiroid mengalami proses
merusak kelanjarnya sendiri dan meninggalkan jaringan parut
Tiroiditis Hashimoto
kondisi peradangan dengan hasil yang sama (Hailovic, 2014).
Tiroid kurang aktif dapat mengakibatkan:
Kulit pucat, kering, dan dingin karena menurunnya core temperature dan
vasokonstriksi kutaneus sehingga kulit menjadi pucat. Kulit kering (xerosis)
yaitu perubahan tekstur kulit dan kurangnya hidrasi stratum korneum.
Epidermis menjadi tipis dan hyperkeratotik, follicular plugging (+).
penyembuhan luka yang lama
Diskolorasi atau perubahan warna menjadi kekuningan pada kulit akibat
akumulasi karoten (carotenaemia) kadang ditemukan pada telapak tangan,
kaki dan lipatan nasolabial.
46
Rambut kering dan rapuh yang mudah terdeteksi dari genggaman tangan
(jarang) dan pertumbuhan rambut yang lama. Ditemukan pula kerontokan
rambut setempat atau difus, terutama rambut sepertiga luar dan alis serta
hilangnya rambut pada badan. Pada anak-anak didapatkan rambut yang
berkembang lama, lanugo pada badan, bahu dan ekstremitas.
Pertumbuhan kuku melambat dan kuku bergerigi
Perubahan yang paling menonjol pada kulit karena akumulasi muco-
polysaccharides (myxedema) pada dermis. Miksedema mengakibatkan
kelopak mata dan tangan bengkak - presentasi lain dari mucinosis.
Hidung kadang berbenrtuk lebar dan bibir menipis. Lidah menajdi lebar,
halus, dan kaku. Ada sekresi kaku pada lipatan mata dan kerutan halus
(Hijazy, 2015).
Kulit kering hipotiroid rentan untuk berkembang menjadi dermatitis (eczema
craquelé – “a crazy paving splitting” atau pecah-pecah pada lapisan permukaan kulit)
(Robin, 2011).
a b
Gambar 2.30 a; Carotenaemia (yellowish hand), b; Kulit kering (Robin, 2011).
47
BAB III
PENUTUP
III.1 Simpulan
Gangguan metabolisme adalah kelainan medis yang mempengaruhi
produksi energi di dalam sel. Pada umumnya gangguan metabolisme diakibatkan oleh
kelainan genetik sehingga enzim yang berperan dalam proses metabolisme sel hilang
atau rusak. Selain itu dapat juga yang diakibatkan oleh makanan, toksin, infeksi dan
lain-lain. Gangguan metabolisme adalah kondisi genetik yang menyebabkan masalah
dengan proses metabolisme dalam tubuh. Kelainan kulit akibat gangguan
metabolisme disebabkan oleh kekeliruan atau kesalahan proses metabolisme.
Manifestasi klinis akibat suatu kelainan interna, atau pada referat ini dibahas
mengenai gangguang metabolisme, adalah respons kutan terhadap rangsangan
patologik dan tampak sebagai pruritus, perubahan kualitas kulit, kulit menjadi lebih
kering atau lembab, perubahan warna kulit seperti kepucatan (pallor), eritema, warna
kekuningan, dan warna coklat atau kebiruan.
Pada penyakit diabetes mellitus, timbul beberapa kelainan kulit, seperti
dermatopati diabetika, xantoma erupsi, nekrobiosis lipoidika diabetikum yang terdiri
atas bercak numular atau plak merah dengan sentrum kuning, akantosis nigrikan atau
penebalan pada kulit, ulkus diabetikum, infeksi kulit, bercak tibial dan pigmented
pretibial patches, malum perforans pedis, dan granuloma anulare.
Liken Amiloidosis adalah kondisi kulit yang ditandai dengan timbulnya
papula-papula likenoid yang terkadang disertai rasa gatal, biasanya muncul secara
bilateral pada tulang kering. Lesi disebabkan oleh adanya tumpukan amiloid di dalam
kulit sebagai akibat kelainan metabolisme, tanpa disertai amiloidosis sistemik dan
penyakit kulit lainnya.
Xantoma ialah suatu kelainan kulit berupa plak atau nodul berwarna kuning
yang disebabkan pengendapan lemak dan sel busa secara abnormal. Xanthelasma
palpebra adalah bentuk xanthoma yang sering ditemui.
48
Pada penyakit hepar sering ditemui kelainan kulit berupa pruritus, kulit
ikterus, abnormalitas vaskular yang berbentuk spider naevi, palmar eritema, dan
livedo, serta perubahan struktur rambut.
Pruritus juga ditemukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis akibat
akumulasi ureum dalam darah. Selain itu ditemukan juga kekeringan kulit dan
perubahan struktur rambut dan kuku pada kelainan ginjal.
Overactivity dan underactivity dari kelenjar tiroid dapat menyebabkan
perubahan pada kulit, rambut atau kuku. Pada gangguan hormon tiroid berlebih sering
ditemukan adanya perubahan tekstur rambut dan alopecia, onycholysis yang
merupakan ujung kuku yang bebas menonjol ke atas (Plummer’s nail), pruritus,
urtikaria kronik, alopecia areata, dan hiperpigmentasi yang difus atau terlokalisir pada
wajah. Pada hipotiroidisme ditemukan Kulit kering hipotiroid yang rentan
berkembang menjadi dermatitis (eczema craquelé – “a crazy paving splitting” atau
pecah-pecah pada lapisan permukaan kulit).
III.2 Saran
Penyakit kulit akibat gangguan metabolism adalah suatu diagnosa yang
penting untuk mencari penyakit yang mendasarinya. Terapi yang diberikan selain dari
mengatasi penyakit metabolism dasarnya juga dengan terapi local untuk
menghilangkan penyakit kulit tersebut. Manifestasi kulit yang terjadi pada gangguan
metabolisme tidak boleh dianggap sebagai hal yang sepele, karena dapat
berkomplikasi lebih lanjut.
Referat ini dibuat dengan keterbatasan penulis, sehingga masih banyak
kekurangan yang harus ditambah agar referat ini dapat menjadi sumber pustaka bagi
pembaca dan dapat menjadi bahan informasi yang penting pada masyarakat luas.
Oleh karena itu, literatur yang di dapat sebaiknya lebih dilengkapi.
49
DAFTAR PUSTAKA
Allergan, Abbvie, Aveeno, Bayer. 2008. Skin Manifestations in Metabloc Syndrome.
Available from: http://www.dermnetnz.org/search.html?
cx=01587390nz7deehiccq&ie=UTF-
8&q=skin+manifestation+of+androgen+disorder. Diakses tanggal 17
September 2015
Amyloidosis, Primary Cutaneous Amyloidosis, Lichen Amyloidosis, available from:
http://en.wikipedia.org/wiki/Lichen_amyloidosis. Diakses tanggal 21
September 2015
Amyloidosis-Lichen, available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1102672.overview. Diakses tanggal 21
September 2015
Djuanda, Suria. 2013. Hubungan Kelainan Kulit Dan Penyakit Sistemik dalam: Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VI. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Djuanda, Adhi. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Florez, A., Cruces, M., Jimenez, GP., 2003. Cutaneous Manifestations of Systemic
Disease. In : Kerder, FA., Acosta, FJ. Dermatology, Just The Fact. NewYork :
McGraw-Hill, 219-235.
Hailovic, E. 2014. Thyroid Disease and The Skin. Department Of
Dermatovenereology Sarajevo University. Bosnia: Austin Publishing Group.
Harahap M. 1998. Kelainan Kulit Oleh Gangguan Metabolisme: Amiloidosis Lokal.
Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates. Jakarta.
Mahmoud, Hijazy. 2015. Skin Manifestations in Metablic Sisease dalam: Principles
of Pediatric Dermatology. Available from:
http://www.drmhijazy.com/english/chapters/chapter42.htm. Diakses tanggal 29
September 2015.
50
Robin Graham-brown, Johnny Burke, Tim Cunliffe. 2011. Dermatologi Dasar Untuk
Praktik Klinik (Dermatology: Fundamentals of Practice). Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Roy, Xanthelasma. 2008. http://emedicine.medscape.com/article/1213423-overview#.
Diakses tanggal 18 September 2015
Scheinfeld, Noah S. 2012. Skin Disorders in Older Adults: Manifestations of
Endocrine and Metabolic Diseases. USA: Columbia University. Available
from: http://www.consultant360.com/article/skin-disorders-older-adults-
manifestations-endocrine-and-metabolic-diseases. Diakses tanggal 19
September 2015
Siregar R. S. 2002. Amiloidosis Kutis. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Suyono, Slamet. 2009. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo, Aru.,
Setyohadi, Bambang., Alwi, Idrus., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
5. Jilid 3. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 1873-187.
Syarif M. Wasitaatmadja, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, FKUI Jakarta, 2008 Hal
3-6.
Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B., Paller, A.S., Leffel, D.J. 2007.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th edition. New York:
McGrawHill.