Post on 12-Jan-2017
PENGUKURAN NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK Enhalusacoroides DI PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, DKI
JAKARTA
SITI HASANAH RUSMAYANTI
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
PENGUKURAN NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK Enhalusacoroides DI PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, DKIJAKARTAAdalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentukapapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yangberasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkandalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Siti Hasanah RusmayantiC54061962
RINGKASAN
SITI HASANAH RUSMAYANTI. Pengukuran Nilai Hambur Balik AkustikEnhalus acoroides di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.Dibimbing oleh HENRY M. MANIK.
Lamun (seagrass) merupakan sumber daya alam yang berada di wilayahpesisir yang memiliki peranan penting dalam ekosistem sebagai tempat memijah,mencari makan, pembesaran serta berlindung bagi berbagai biota seperti ikan,udang, dan moluska. Peranan padang lamun secara fisik di perairan laut dangkaladalah membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus, menyaring sedimenyang terlarut dalam air dan menstabilkan tenaga gelombang dan arus, menyaringsedimen yang terlarut dalam air yang menstabilkan dasar sedimen. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui informasi nilai hambur balik dari jenis lamunEnhalus acoroides di Pulau Pari dengan menggunakan instrumen hidroakustik.
Pengambilan data dilakukan di perairan pulau Pari, Kepulauan Seribu,Jakarta pada 13 – 15 April 2012. Instrumen hidroakustik yang digunakan padapenelitian ini yaitu tipe single beam echosounder Cruzpro PcFF80. Data yangdiperoleh dari pengukuran di lapangan berupa data akustik (kedalaman, posisigeografis, dan parameter akustik) dan data pengamatan lamun (kerapatan lamun,dan rata-rata tinggi lamun). Analisis data akustik dilakukan di LaboratoriumAkustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi KelautanFPIK-IPB menggunakan perangkat lunak MATLAB.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah lamun Enhalus acoroidesyang berada di transek pengamatan dapat dideteksi keberadaannya melalui metodeakustik. Antara substrat dasar perairan dan lamun dapat dibedakan melalui nilaihambur balik yang berbeda. Pada penelitian ini, sebaran lamun terlihat dari bentukpuncak kecil – kecil bernilai Sv antara – 60 hingga – 50 dB. Nilai hambur balikdasar lebih besar daripada lamun, hal ini disebabkan oleh tekstur dasar yang kerasberupa pasir berlumpur.. Melalui metode akustik dapat pula mengetahuiketinggian lamun dari bentuk puncak – puncak gelombang. Nilai tinggi yangdihasilkan dari penyelaman langsung dan metode hidroakustik tidak berbeda jauh.Tinggi lamun rata – rata 0,4 hingga 1 meter
Kata kunci: metode akustik, pemantauan padang lamun, Enhalus. Acoroides, nilaihambur balik lamun
SUMMARY
SITI HASANAH RUSMAYANTI. Acoustic backscatter measurementsof value Enhalus acoroides Pari Island, Thousand Islands, Jakarta.Guided by HENRY M. MANIK.
Seagrass (seagrass) is a natural resource which is located in coastalareas that have an important role in the ecosystem as a place to spawn, feed,and shelter for a variety of magnification biota such as fish, shrimp, andmolluscas. The role of seagrass physically in shallow marine waters is tohelp reduce the energy of waves and currents, sediment filter dissolved inwater and stabilize energy waves and currents, sediment filter that stabilizesthe water-soluble basic sediment. This study aims to determine theinformation value of this type of seagrass backscatter Enhalus acoroides PariIsland using instruments hidroakustik.
Data is collected in the waters of Pari Island, Thousand Islands,Jakarta since 13 to 15 April 2012. Hidroakustik instruments used in thisresearch is the type of single-beam echosounder Cruzpro PcFF80. Dataobtained from field measurements in the form of acoustic data (depth,geographical position, and the acoustic parameters) and the observedseagrass (seagrass density and high average seagrass). Data analysis wasperformed on the acoustic and Instrumentation Marine AcousticsLaboratorium, Department of Marine Science and Technology FPIK-IPBusing MATLAB software.
The results obtained from this study Enhalus seagrass transectsacoroides its observations can be detected by means of acoustic methods.Between the substrate and seagrass bottom waters can be distinguished bydifferent values of backscatter. In this study, the distribution of seagrassvisible from a small peak form Sv value between - 60 to - 50 dB.Backscatter values greater than seagrass base, this is caused by the hardground textures muddy sand .. Through acoustic method can also determinethe height of the peak shape yet - the wave crests. High value resulting fromdiving straight and methods hidroakustik not differ much. High seagrassaverage - average 0.4 to 1 meter.
Keywords: acoustic methods, monitoring seagrass, Enhalus. Acoroidesbackscatter value of seagrass
© Hak cipta milik Siti Hasanah Rusmayanti tahun 2012Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut
Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baikcetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
PENGUKURAN NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK Enhalusacroides DI PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, DKI
JAKARTA
SITI HASANAH RUSMAYANTI
SKRIPSISebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2012
vi
SKRIPSI
Judul Skripsi : PENGUKURAN NILAI HAMBUR BALIK Enhalus
acoroides DI PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU,
DKI JAKARTA
Nama Mahasiswa : Siti Hasanah Rusmayanti
NIM : C54061962
Departemen : Ilmu dan Tenologi Kelautan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Henry M. Manik, S.Pi, M. TNIP. 19701229 199703 1 008
Mengetahui,Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.ScNIP. 19580909 198303 1 003
Tanggal Lulus:
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.
Tuhan semesta alam pencipta langit dan bumi yang atas berkat rahmat dan
hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengukuran Nilai
Hambur Akustik Enhalus acoroides di Pulau Pari Kepulauan Seribu DKI Jakarta“
Pada kesempatan ini tak ada hal yang dapat penulis sampaikan selain
terima kasih kepada semua pihak sebagai bentuk penghargaan dan perhormatan
atas segala bantuan, bimbingan, nasehat dan doa yang senantiasa mengiringi
penulis selama masa studi hingga penyusunan skripsi.
Semua hal yang terbaik telah penulis lakukan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Namun, penulis hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan. Oleh
karena itu, segala bentuk kritik dan saran yang sifatnya membangun sangatlah
diperlukan untuk memperbaiki kesalahan yang ada. Akhir kata semoga skripsi ini
dapat digunakan untuk kemajuan dunia kelautan dan kesejahteraan masyarakat.
Amin Ya Rabbal Alamin.
Penulis,
Siti Hasanah Rusmayanti
viii
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan ini penulis haturkan kepada :1. Kedua orangtua tercinta, Ibunda Yuliarsih dan Ayahanda Sugiyanto.
Teriring doa dan kasih sayang yang begitu tulus tanpa henti. “Salam penuhhormat dan rindu Ananda”.
2. Kedua adik tersayang, Adinda Fatimah dan Fitriyanti atas segala doa danpenyemangatnya.
3. Bapak Dr. Henry M. Manik S.Pi, M.T. selaku dosen pembimbing yangikhlas meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan arahan,bimbingan dan bantuan selama penelitian hingga penyusunan tugas akhirini.
4. Bapak Prof. Dr. Indra Jaya, M.Sc., selaku Dekan Fakultas Perikanan danIlmu Kelautan,
5. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc selaku Kepala DepartemenIlmu dan Teknologi Kelautan.
6. Bang Asep dan Mba Ratih, yang dengan sabar tetap meluangkanwaktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis hinggapenyelesaian tugas akhir ini.
7. Kakanda Angga Rizki ST, yang selalu tiada henti memberikan semangatdan tidak lelah mendengarkan keluh kesah penulis.
8. Keluarga Besar ITK angkatan 43 khususnya Fitri, Marsugi, Daniel,dan Muta yang telah hadir menjadi sahabat dalam suka dan duka selamapenulis menyelesaikan studi hingga penyelesaian tugas akhir
9. Sandra, Lulus, Eta, Baby, Icha, Wume dan Mba Nu serta keluargabesar Wisma Salsabila yang telah menerima dan memberikan artikehidupan kepada penulis selama menuntut ilmu.
10. Raisa, Vaya, Abu, Imam dan Faisal atas persaudaraan, kebersamaan,doa, semangat, motivasi dan segala bantuannya.
11. Keluarga besar Himpunana Mahasiswa Islam Komisariat FPIK IPByang telah memberikan banyak masukan saat penulis menjadi aktivismahasiswa
12. Keluarga Besar Satuan Karya Pramuka Bahari Kota Bekasi. Terimakasih atas semua pengalaman hidup yang kawan-kawan berikan.Dimanapun kita berada kita tetap jaya.
13. Seluruh dosen dan pegawai serta staff Departemen Ilmu dan TeknologiKelautan FPIK IPB atas segala bimbingan, wejangan serta bantuannyaselama masa studi hingga penyelesaian tugas akhir.
14. Tak terkecuali semua pihak yang telah membantu penulis dalam masastudi hingga penyelesaian tugas akhir ini.
ix
DAFTAR ISIHalaman
DAFTAR ISI.............................................................................................. ixDAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiDAFTAR TABEL ..................................................................................... xiiDAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiii1. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 11.2. Tujuan ......................................................................................... 3
2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 42.1. Lamun .......................................................................................... 42.2. Enhalus acoroides ........................................................................ 62.3. Pengaruh Parameter Lingkungan ................................................. 8
2.3.1. Salinitas.................................................................................. 82.3.2. Suhu ....................................................................................... 92.3.3. Derajat Keasaman (pH) ......................................................... 10
2.4. Pendeteksian Lamun dengan Akustik .......................................... 102.5. Metode Hidroakustik ................................................................... 12
2.5.1. Sistem Akustik Beam Tunggal (Single beam)....................... 142.5.2. Near Field dan Far Field ........................................................ 152.5.3. Kecepatan Suara .................................................................... 162.5.4. Nilai Hambur Balik Akustik.................................................. 17
3. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 183.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................... 183.2. Alat dan Bahan ............................................................................ 19
3.2.1. pcFF80 Fishfinder.................................................................. 193.3.2. Cruzpro PC Fishfinder........................................................... 20
3.3. Pengambilan Data di Lapangan ................................................... 213.3.1. Identifikasi Lamun................................................................. 213.3.2. Pengambilan Data Akustik .................................................... 22
3.4. Pengolahan dan Analisis Data ..................................................... 23
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 254.1. Data Lapangan ............................................................................. 254.2. Parameter Lingkungan Perairan .................................................. 274.3. Data Hidroakustik ........................................................................ 28
4.3.1. Echogram............................................................................... 284.3.2. Nilai Hambur Balik Lamun ................................................... 314.3.3. Tinggi Lamun ........................................................................ 36
x
5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 395.1. Kesimpulan .................................................................................. 395.2. Saran ........................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 40LAMPIRAN............................................................................................... 42RIWAYAT HIDUP ................................................................................... 64
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman1. Ilustrasi morfologi lamun yang membedakan tiap spesies. ................... 52. Enhalus acoroides .................................................................................. 73. Echogram ............................................................................................... 144. Prinsip kerja Single Beam echosounder ................................................ 145. Peta lokasi pengambilan data ................................................................. 186. Penyambungan Interface dengan Laptop dan Tranduser ....................... 207. Ilustrasi transek Kudrat pada saat penelitian.......................................... 218. Metode pengambilan data akustik di lapangan ..................................... 239. Alur Komputasi Data ............................................................................. 2410. Spesies Lamun Enhalus acoroides pad lokasi penelitian .................... 2711. Data rekaman yang belum di filter....................................................... 2912. Echogram yang dihasilkan pada daerah pengamatan .......................... 3013. Contoh nilai Sv daerah berlamun ......................................................... 3214. Daerah transek berlamun .................................................................... 3415. Daerah tidak berlamun ........................................................................ 3516. Ilustrasi Konservasi Time terhadap tinggi lamun................................. 3717. Perbandingan tinggi lamun secara akustik dan penyelaman ............... 38
xii
DAFTAR TABEL
Halaman1. Alat dan Bahan....................................................................................... 192. Spesifikasi PcFF80 PC ......................................................................... 203. Hasil observasi visual langsung berupa data tutupan lamun.................. 26
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman1. Dokumentasi peralatan dan kegiatan selama penelitian......................... 432. Dokumentasi lamun Enhalus acoroides................................................. 453. Rekaman data Cruzpro yang belum di filter ......................................... 464. Program dalam penelitian ..................................................................... 545. Echogram Sv ......................................................................................... 586. Pengolahan data .................................................................................... 61
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lamun (seagrass) merupakan sumber daya alam yang berada di wilayah
pesisir Indonesia yang masih kurang mendapat perhatian. Lamun memiliki
peranan yang penting dalam ekosistem sebagai tempat memijah, mencari makan,
pembesaran serta berlindung bagi berbagai biota seperti ikan, udang dan moluska.
Menurut Kiswara dan Winardi (1994), peranan padang lamun secara fisik di
perairan laut dangkal adalah membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus,
menyaring sedimen yang terlarut dalam air dan menstabilkan dasar sedimen.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pemantauan terhadap ekosistem lamun
sehingga kelestariannya dapat terjaga. Metode untuk pemetaan lamun menurut
Komatsu et al.(2003) dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: berdasarkan
observasi atau pengukuran langsung (visual sensus) dan metode tidak langsung
melalui peralatan penginderaan jauh. Karena membutuhkan waktu dan banyak
tenaga, metode ini dinilai tidak efektif. Selanjutnya, berkembang dua metode
tidak langsung (indirect) berdasarkan instrumen penginderaan jauh yang
digunakan, apakah berdasarkan optical remote sensing atau acoustical remote
sensing.
Foto udara dan citra satelit merupakan teknologi pemetaan area yang baik
untuk pemetaan vegetasi (Belsher, 1989 & Long et al., 1994, diacu dalam
Komatsu et al., 2003). Tapi kelemahan dari teknologi ini dibatasi oleh kedalaman
dan kecerahan perairan. Salah satu teknologi akustik yang dikembangkan untuk
2
pemetaan vegetasi bawah air adalah menggunakan narrow multi-beam sonar yang
telah digunakan untuk pemetaan topografi dasar peraran laut dangkal. Metode ini
mampu menampilkan gambaran secara horizontal dasar perairan sebaik
menampilkan topografi vertikal sehingga mampu menentukan densitas vegetasi
berdasarkan distribusi vertikal dan horizontal (Komatsu et al., 2003).
Program pemantauan lamun pertama kali dilakukan pada awal 1980-an di
Australia, USA dan Perancis. Pada masa itu, 40 negara telah mengembangkan
program monitoring lamun dilebih dari 2000 lokasi padang lamun di dunia
(Duarte et al. diacu dalam Borum et al. 2004)
Salah satu metode yang yang digunakan untuk mendapatkan informasi
tentang lamun adalah dengan menggunakan metode hidroakustik. Metode
hidroakustik merupakan metode yang mampu mendapatkan informasi mengenai
tipe dasar perairan dan biota yang terdapat pada habitat perairan tersebut. Telah
lebih dari 50 tahun aplikasi teknik hidroakustik digunakan untuk estimasi
keberadaan ikan dan plankton. Walaupun aplikasi untuk membedakan sinyal
dasar perairan telah digunakan untuk memperoleh indikasi kehadiran tumbuhan
(vegetasi), namun hanya pada penerapan dasar (Schneider et al., 2001).
Penelitian yang mengkaji mengenai lamun dengan menggunakan metode
hidroakustik masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, dilakukan
penelitian untuk dapat menganalisis keberadaan lamun secara akustik dengan
3
menggunakan metode akustik single beam echosounder . Penelitian ini
memberikan informasi kuantitatif mengenai nilai hambur balik dari lamun.
Enhalus acoroides dipilih sebagai objek penelitian dikarenakan jenis ini
merupakan jenis homogen, yakni hanya terdapat satu spesies dalam satu tempat.
Oleh karena itu, nantinya informasi nilai hambur balik dapat lebih fokus untuk
satu spesies saja yaitu Enhalus acoroides.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui informasi nilai hambur balik
dari jenis lamun Enhallus acroides di perairan Pulau Pari dengan menggunakan
instrument hidroakustik
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lamun
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang
hidup di pesisir, seluruh hidupnya berada dalam air dengan salinitas cukup tinggi,
berkembang biak secara vegetatif dan generatif serta mempunyai akar, rhizome,
daun, bunga, dan buah (Den Hartog, 1970; Susetiono, 2004). Menurut Dahuri
(2001), lamun memiliki sistem perakaran yang nyata, dedaunan, sistem
transportasi internal untuk gas dan nutrient, serta stomata yang berfungsi dalam
pertukaran gas. Akar pada tumbuhan lamun tidak berfungsi penting dalam
pengambilan air karena daun dapat menyerap nutrient secara langsung dari dalam
air laut. Lamun dapat menyerap nutrient dan melakukan fiksasi nitrogen melalui
tudung akar. Kemudian untuk menjaga agar tetap mengapung didalam kolom air,
tumbuhan ini dilengkapi oleh ruang udara .
Lamun dibedakan ke dalam lima famili yaitu Hydrocharitaceae,
Cymodoceaecea, Posidoniaceae, Zosteraceae, dan Ruppiceae yang tersebar di
daerah tropis, sub tropis hingga daerah lintang tinggi seperti Alasaka (Bjork et al,
2008). Indonesia terdapat tujuh genus dari 12 genus lamun yang ada di dunia
yaitu Enhalus, Thalassia, Halophila, Cymodocea, Sytingodium, dan
Thalassodendron. Lamun dapat hidup di laut karena mampu berfungsi normal
dalam keadaan terbenam, mempunyai sistem perakaran yang berkembang biak,
mampu melaksanakan daur generatif dalam keadaan terbenam, serta mampu
bertahan dalam kondisi lingkungan laut yang kurang stabil (Den hartog, 1967).
5
Gambar 1 Ilustrasi morfologi lamun yang membedakan tiap spesies.(Lanyon, 1986, diacu dalam McKenzie and Campbell, 2002)
Pola hidup lamun sering berupa hamparan oleh karena itu dikenal juga
istilah padang lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang
menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih
dengan kerapatan padat atau jarang. Lamun umumnya membentuk padang lamun
yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang
memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan
jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk
menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme
lamun ke luar daerah padang lamun.
Padang lamun merupakan habitat yang kompleks dengan kelimpahan
biota yang tinggi. Lamun di daerah karang yang datar dan dekat estuari
merupakan daerah masukan nutrien, sebagai buffer atau penyaring (filter)
masukan nutrien dan bahan kimia ke perairan laut (McKenzie dan Campbell,
2002).
6
Lamun menyediakan habitat bagi sekumpulan organisme yang tidak
dapat hidup di dasar tanpa vegetasi. Tutupan daun dan keterkaitan akar dan
lapisan dasar sebagai penstabil sedimen, dan juga sebagai tampat bersembunyi
untuk menghindari pemangsa, sehingga kelimpahan dan keragaman flora dan
fauna yang hidup di padang lamun lebih tinggi dibanding di daerah yang tak
bervegetasi (Terrados dan Borum, diacu dalam Borum et al. 2004).
2.2 Enhalus acoroides
Enhalus acoroides merupakan tanaman yang berbentuk lurus, 2 – 5
daunnya muncul dari rimpang yang tebal dan kasar dengan beberapa akar yang
kuat. Daun seperti pita atau rambut (panjang 40 – 90 cm. lebar 1- 5 cm), bergaris
seluruhnya dan tebal, lama terlepasnya dan serat kasar setelah pembusukan dan
ujung daun tumpul. Rimpang merambat, kasar, tidak bercabang atau bercabang
(diameter 1 – 3 cm), dikelilingi oleh kulit luar yang tebal, akar panjang dan
berbulu (panjang 5 – 15 cm, diameter 2 – 4 mm), bunga jantan dan betina muncul
pada dasar tanaman, dan butir serbuk sari besar. (Coremap, 2011)
Enhalus acoroides mempunyai akar rimpang berdiameter 13,15 – 17,20
mm yang tertutup rapat dengan rambut-rambut yang kaku dan keras. Akar
berbentuk seperti tali, berjumlah banyak dan tidak bercabang. Panjangnya antara
18,50 – 157,65 mm dan diameternya antara 3,00 – 5,00 mm. Bentuk daun seperti
pita tepinya rata dan ujungnya tumpul, panjangnya antara 65,0 – 160,0 cm dan
lebar antara 1,2 – 2,0 cm. Di rataan terumbu Pulau Pari, Enhalus acoroides
tumbuh pada dasar lumpur, pasir dan pasir pecahan karang yang selalu tergenang
7
air. Tumbuhnya berpencar dalam kelompok-kelompok kecil terdiri dari beberapa
individu atau kumpulan individu yang rapat, berupa kelompok murni atau
bersama-sama dengan Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis (Kiswara,
1992).
Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang mempunyai ukuran
paling besar, helaian daunnya dapat mencapai ukuran lebih dari 1 meter. Jenis ini
tumbuh di perairan dangkal sampai kedalaman 4 meter pada dasar pasir, pasir
lumpur atau lumpur. Vegetasi melimpah di daerah pasang surut, walaupun
cenderung untuk selalu membentuk vegetasi murni, namun terdapat jenis lain
yang berasosiasi yaitu Halophilla ovalis, Cymodocea serrulata, Cymodosecea.
rotundata, Thalasiavhemprichii dan Syringadium. isoetifolium. Enhalus acoroides
berbunga sepanjang tahun (den Hartog, 1967).
Gambar 2. Enhalus acoroides
8
Berikut klasifikasi Enhalus acoroides (http://symbiosis.nre.gov.my, 2011)
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Order : Hydrocharitales
Famili : Hydrocharitaceae
Genus : Enhalus
Spesies : Enhalus acoroides
2.3 . Pengaruh Parameter Lingkungan
2.3.1. Salinitas
Salinitas adalah total kosentrasi ion-ion terlarut yang terdapat di perairan.
Salinitas dinyatakan dalam satuan permil (‰). Nilai salinitas perairan tawar
biasanya kurang dari 0,5‰, perairan payau antara 0,5 ‰ – 30 ‰, dan perairan
laut 30 ‰ – 40 ‰. Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh
masukan air tawar dari sungai ( Effendi, 2003).
Hutomo (1999) menjelaskan bahwa lamun memiliki kemampuan
toleransi yang berbeda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran
yang lebar yaitu 10 ‰ - 40 ‰. Nilai salinitas yang optimum untuk lamun adalah
35‰. Walaupun spesies lamun memiliki toleransi terhadap salinitas yang
berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kisaran yang besar terhadap
salinitas yaitu antara 10‰ -30 ‰. Penurunan salinitas akan menurunkan
kemampuan fotosintesis. (Dahuri, 2001).
9
2.3.2. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur
proses kehidupan dan penyebaran organisme. Perubahan suhu terhadap
kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan
unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Pada kisaran suhu 25 °C - 30°C,
fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian juga
respirasi lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran
yang lebih luas yaitu 5 °C - 35°C (Hutomo, 1999).
Menurut Nontji (1993), pengaruh suhu terhadap sifat fisiologi organisme
perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Suhu rata-
rata untuk pertumbuhan lamun berkiasar antara 24 °C - 27 °C. Suhu air dibagian
pantai biasanya sedikit lebih tinggi dari pada yang di lepas pantai, suhu air
permukaan di perairan nusantara umumnya berada dalam kisaran 28 °C - 30 °C
sedangkan pada lokasi yang sering terjadi kenaikan air (upwelling) seperti Laut
Banda, suhu permukaan bisa menurun sekitar 25 °C.
2.3.3. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
organisme perairan sehingga dipergunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan
baik buruknya suatu perairan masih tergantung pada faktor-faktor lain. Nybakken
(1992) menyatakan jumlah ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan tolak
ukur keasaman. Nilai pH merupakan hasil pengukuran konsentrasi ion hidrogen
dalam larutan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air.
10
2.4 Pendeteksian Lamun dengan Akustik
Lamun yang memiliki peranan penting di lautan membuat banyak
penelitian di berbagai daerah lamun. Hal ini dianggap penting karena adalah
salah satu cara untuk mengontrol keberadaan lamun dan memungkinkan kita
untuk mengetahui status dan kondisi lamun apakah tetap, berlebih atau berkurang.
Pengamatan awal mengenai perubahan kondisi lamun membantu dalam
pengelolaan wilayah pesisir karena keterkaitannya dengan kondisi ekosistem
lainnya seperti mangrove dan terumbu karang, keuntungan lain yang dapat
diperoleh dengan melakukan pengamatan awal adalah dapat mengetahui lebih
awal gangguan lingkungan pesisir sebelum terjadi kerusakan, mampu
mengembangkan teknik pengukuran yang lebih baik dan lebih efektif, dan
nantinya bisa memperkenalkan, memperakarsai syarat-syarat dan prioritas pada
masa yang akan datang, serta mampu menentukan manajemen praktis yang
sebaiknya digunakan (McKenzie dan Campbell. 2002).
Foto udara dan citra satelit merupakan teknologi pemetaan area yang
baik untuk pemetaan vegetasi (Belsher, 1989 and Long et al. 1994, diacu dalam
Komatsu et al. 2003). Tetapi kelemahan dari teknologi ini dibatasi oleh
kedalaman dan kecerahan perairan. Salah satu teknologi akustik yang
dikembangkan untuk pemetaan vegetasi bawah air adalah menggunakan narrow
multi-beam sonar yang telah digunakan untuk pemetaan topografi dasar perairan
laut dangkal. Metode ini mampu menampilkan gambaran secara horizontal dasar
perairan sebaik menampilkan topografi vertikal sehingga mampu menentukan
densitas vegetasi berdasarkan distribusi vertikal dan horizontal (Komatsu et al.
2003).
11
Menurut Sabol (2001), prinsip dasar survei batimetri dengan akustik
adalah mendeteksi dan melihat perbedaan waktu gema (echo) dari orientasi
vertikal pulsa. Proses deteksi pulsa sangat beragam dari masing-masing sistem,
namun pada dasarnya tergantung dari intensitas minimum pembatas (threshold)
dan lebar puncak (peak width). Untuk navigasi pada survei batimetri, diperoleh
dari arah dan waktu pulsa gema (echo) terhadap kedalaman dasar perairan.
Klasifikasi vegetasi bawah air dengan pantulan akustik tergantung dari tipe, tinggi
dan densitas vegetasi tersebut untuk mengembalikan gema yang diterima dari
transduser.
Metode untuk pemetaan lamun menurut Komatsu et al. (2003) dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu berdasarkan observasi atau pengukuran langsung
(visual sensus) dan metode tidak langsung melalui peralatan penginderaan jauh.
Metode pengukuran langsung dinilai tidak efektif karena membutuhkan waktu dan
banyak tenaga. Selanjutnya, berkembang dua metode tidak langsung (indirect)
berdasarkan instrumen penginderaan jauh yang digunakan, apakah berdasarkan
penginderaan jauh optik (optical remote sensing) atau penginderaan jauh akustik
(acoustical remote sensing).
Penelitian Komatsu (2003) pada lamun jenis Zostera caulescens
menghasilkan refleksi keberadaan antara lamun dan sedimen. Studi tentang
pertumbuhan dan biomassa lamun juga menjadi perhatian pada penelitiannya.
12
2.5 Metode Akustik
Penelitian dengan menggunakan metode akustik sudah banyak dilakukan
di Indonesia. Salah satu upaya untuk mengeksplorasi sumberdaya perikanan yaitu
dengan menggunakan metode akustik. Metode akustik memanfaatkan gelombang
suara yang merambat pada medium air untuk pendeteksian bawah air
(underwater). Metode ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya
berkecepatan tinggi, estimasi stok ikan secara langsung, tidak berbahaya, tidak
merusak, dan dapat dioperasikan dari jarak jauh.
Dalam survei akustik ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan,
menurut MacLennan and Simmond (2005) prosedur yang perlu dilakukan yaitu:
definisikan area geografis yang akan dicaku; tentukan prinsip-prinsip yang akan
digunakan dalam upaya mencapai tujuan survei; perhitungan sumberdaya yang
dibutuhkan untuk mencakup seluruh area survei dengan memperhatikan luasan
daerah yang akan disurvei; perhitungan waktu yang tersedia untuk survei itu
sendiri, buat keleluasaan untuk aktifitas lain seperti menangkap ikan (sampling
biologi); tentukan strategi sampling dan tipe cruise track yang akan dipakai
selama survei berlangsung; Rencana panjang dari cruise track pada peta, pastikan
bahwa sample yang refresentatif akan dikumpulkan dari semua bagian area
sepanjang dapat dilakukan.
Menurut Urick (1983) energi (dalam hal ini energi suara) yang digunakan
untuk pendeteksian di dalam air ditentukan oleh 3 faktor :
1. Cakupan penetrasi di dalam medium.
2. Kemampuan untuk membedakan antara berbagai objek di dalam medium.
3. Kecepatan dari perambatan
13
Menurut Maclennan dan Simmond (2005) pada perekaman data akustik
akan ada gangguan yang biasa terjadi dalam menjalankan metode akustik disebut
noise. Noise merupakan sinyal yang tidak diinginkan yang dapat terjadi karena
beberapa faktor seperti :
1. Faktor fisik – angin, pecahan ombak, turbulensi.
2. Faktor biologi – suara dan pergerakan binatang di bawah air.
3. Faktor artificial – deruman mesin kapal, baling-baling kapal, dan aliran air
disekitar badan kapal.
2.5.1 Sistem Akustik Beam Tunggal (Single beam)
Sistem akustik beam tunggal merupakan instrument akustik yang paling
sederhana. Informasi yang didapatkan tentang kedalaman laut dan target yang
dilaluinya diperoleh yakni dengan memancarkan beam tunggal (single beam).
Frekuensi yang digunakan pada umumnya untuk aplikasi deteksi ikan adalah 38
kHz, 120 kHz, 200 kHz atau 420 kHz sedangkan beam –width yang digunakan
berkisar antara 5°-15° (MacLennan dan Simmonds, 2005).
Echosounder sistem single beam ini akan menghasilkan data hasil deteksi
yang ditampilkan dalam bentuk echogram. Tampilan echogram yang berwarna
warni ini menmperlihatkan karakteristik sendiri, biasanya sinyal yang kuat
ditandai dengan warna merah/hitam lalu berturut – turut mundur hingga biru/ abu
– abu yang menunjukkan sinyal lemah (Maclennan and Simmonds, 2005)
14
Gambar 3. Echogram (MacLennan and Simmonds ,2005)
Konsep pendeteksian target hingga menjadi sebuah echogram pada sistem
akustik single beam dapat ditampilkan sebagai berikut :
Gambar 4. Prinsip kerja Single Beam echosounder (MacLennan and
Simmonds ,2005)
15
2.5.2 Near Field dan Far Field
Pada saat perekaman data, transduser memancarkan suara maka akan
terjadi perpindahan energi pada lingkungan. Energi yang dipancarkan oleh
transduser ke suatu medium dapat menghilang seiring perambatan suara pada
medium tersebut. Proses hilangnya energi tersebut bergantung pada jarak antara
titik observasi terhadap transduser. Terdapat dua zona dimana terjadi
perpindahan energi saat suara dipancarkan, zona tersebut (Gambar 4) adalah
Near field dan Far field. (Lurton, 2002)
Lurton juga memaparkan bahwa Near Field (zona Fresnel) merupakan
zona adanya pengaruh dari titik-titik yang berbeda fase satu dengan lainnya pada
saat transduser mentransmisikan suara. Sedangkan, MacLennan and Simmonds
(2005) memaparkan bahwa Near Filed merupakan jarak dari permukaan
transduser sampai kejarak dimana terjadi fluktuasi yang tinggi dari intensitas atau
tekanan. Far field (zona Fraunhofer) adalah zona terjadinya perbedaan sinyal
karena pengaruh interferensi yang hilang pada wilayah tersebut. Intensitas
berkurang seiring bertambahnya kedalaman.
2.5.3 Kecepatan Suara
Nilai kecepatan suara di laut bervariasi antara 1450 m/s hingga 1550 m/s.
variasi ini dipengaruhi oleh suhu, salinitas dan kedalaman. Selain itu, kecepatan
juga berubah dengan adanya perubahan frekuensi atau panjang gelombang suara
yang dipancarkan beradsarkan persamaan c = λ × f di mana c merupakan
kecepatan suara, λ adalah panjang gelombang dan f adalah frekuensi.
MacKaenzie (1981) and Munk et al (1995) in Stewart (2007) mengutarakan
16
bahwa kecepatan suara dengan suhu, salinitas dan tekanan dapat digambarkan
melalui persamaan berikut:
C = 1448.96 + 4.591T — 0.05304T² + 0.0002374T³ + 0.01630Z + (1.340 —
0.01025T) (S — 35) + 1.675 × 10-7 — 7.139 X 10 -13TZ ............... (1)
Keterangan:
C = Kecepatan Suara (m/s)
T = Suhu (ºC)
S = Salinitas (‰)
Z = Kedalaman (m)
Pengukuran kecepatan suara diperairan bertujuan untuk menetukan dan
memastikan ada tidaknya perubahan fisik tersebut di media, di mana gelombang
bunyi dipancarkan sehingga ada kemungkinan terjadi perubahan kecepatan
gelombang bunyi selama penjalarannya (MacLennan and Simmonds, 2005)
2.5.4 Nilai Hambur Balik Akustik
Nilai hambur balik adalah rasio antara intensitas yang direfleksikan oleh
suatu kelompok target tunggal yang berada pada suatu volume air tertentu (1 m³)
dan diukur pada jarak 1 meter dari target dengan intensitas suara yang mengenai
target (Johanesson dan Mitson, 1983).
Sinyal hambur balik yang berasal dari hamparan dasar perairan yang
gundul (tanpa vegetasi) dan sinyal hamburan yang berasal dari vegetasi akan
dibandingkan, seperti yang telah dihasilkan oleh Tegowski et al. (2003), yang
memperlihatkan perbedaan lebar pulsa (pulse width), gema yang berasal dari area
yang memiliki vegetasi memperlihatkan lebar pulsa yang lebih lebar. Terlihat
pula perbedaan bentuk echo envelope, terlihat lebih halus pada gema yang berasal
17
dari dasar perairan tanpa vegetasi. Berdasarkan pulse width dan bentuk gema
envelope distribusi vegetasi dapat terlihat (Tegowski et al. 2003).
Volume reverberasi digunakan untuk mendapatkan volume backsccatering
strength dari sekelompok target. Total intensitas suara yang dipantulkan oleh
multiple target adalah jumlah dari intensitas suara yang dipantulkan oleh masing–
masing target tunggal :
Ir total = Ir1 + Ir2 + Ir3 + ….. + Irn ............................................................... (2)
dimana :
n = jumlah target
Jika n memiliki sifat-sifat akustik yang serupa (linier), maka :
Irtotal = n. Ir Irn ............................................................................................ (3)
dimana :
Ir = intensitas rataan yang direfleksikan oleh target tunggal.
18
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengambilan data lapangan dilakukan pada tanggal 13-15 April 2012 di
perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Lokasi penelitian
ditentukan berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan melalui studi pustaka
dan observasi di lapangan.
Gambar 5. Peta lokasi pengambilan data
19
Pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan April – Mei 2012
bertempat di laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu
dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian baik pengambilan data
di lapangan dan pengolahan data di laboratorium terurai seperti pada Tabel 1.
Instrumen akustik yang digunakan pada saat perekaman data yaitu PcFF80 pc
Fishfinder.
Tabel 1. Alat dan Bahan
No. Alat dan Bahan Kegunaan
1. Pc FF80 PC Fishfinder Perekaman data akustik
2. GPS 12 XL Garmin Menentukan posisi Stasiun pengamatan
3. Person Computer (PC) atau
Laptop
Penyimpanan dan pengolahan data
4. Transek Kuadrat Batas area stasiun pengamatan
5. Roll meter Alat ukur panjang lamun
6. Alat Dasar Selam Untuk pengamatan langsung objek
7. Kapal Transportasi yang digunakan selama
pengambilan data
8. Refraktometer Alat ukur salinitas
3.2.1 PcFF80 PC Fishfinder
PcFF8 0 PC merupakan instrumen akustik single beam echosounder.
Spesifikasi instrumen ini berdasarkan adalah seperti pada tabel 2 di bawah ini :
20
Tabel 2. Spesifikasi PcFF80 PC (www.Cruzpro.com)
OperatingVoltage
9.5 to 16.0 VDC, 0.05 amps nominal, 4.7 amps peak at max power
Indicator Front panel LED for Power ON/OFF and communicationindicator
Output power 2560 watts peak-to peak (320 W RMS). 24 kw DSP Processedpower (3200 WRMS)
OperatingTemperatur
0 to 50 deg Celcius (32 to 122 deg Fahrenheit)
Interface Box 100 x 80 x 50 mm (4x 3.2 x 2 inch). Powder Coated AluminumExtrusion
Interface RS-232, 115 Kbaud, serial data and USB
Transduser Dual Frequency 50/200 kHz, Depth/ Temperature (single-beamechosuender
3.2.2 CruzPro PC Fishfinder
CruzPro PC Fishfinder merupakan perangkat lunak / software yang
digunakan untuk mengambil data primer di lapangan yang dihubungkan dengan
single beam echosounder dual frekuensi. Output data yang terekam oleh
echosounder berupa nilai – nilai amplitudo yang berekstensi file ( *.I)
Gambar 6. Penyambungan Interface dengan Laptop dan Tranduser
21
3.3 Pengambilan Data di lapangan
3.3.1 Pengamatan Langsung
Pengambilan data di lapangan diawali dengan menentukan titik sampling
pengamatan lamun dengan melakukan penyelaman. Titik sampling yang ada
merupakan perairan laut yang terdapat lamun dengan kedalaman 2 sampai 5 m.
Setelah ditemukan daerah yang cocok, kemudian transek kuadrat luas 1 x 1 meter
diletakkan di dasar perairan. Pada transek tersebut dibuat transek kecil – kecil
dengan ukuran 0.2 x 0.2 m. Setiap sudut – sudut terluar transek diikatkan pada
pelampung (buoy) sebagai tanda penentuan lokasi stasiun pengamatan, sehingga
kapal pengamatan tepat berada di atas stasiun pengamatan. Transek pengamatan
pada saat penelitian seperti gambar 7.
Gambar 7. Ilustrasi transek kuadrat pada saat penelitian
Variabel pengamtan data lamun yang dilakukan yaitu tipe substrat yang
dominan, kerapatan lamun (individu/m²) dan rata – rata tinggi lamun (meter).
Menghitung kerapatan lamun Enhalus acoroides pada titik yang akan dilakukan
pengamatan.
22
Kerapatan adalah jumlah individu per satuan luas dengan formulasi sebagai
berikut (Brower, J.E. and J.H. Zar, 1977):
D = Keradatan (individu/m2)ni= Jumlah total individujenis ke-i yang diperolehA = Luas total habitat yang disampling (m2)
..
Sedangkan tinggi lamun dihitung dengan meteran dari ujung bonggol lamun
sampai ujung daun.
3.3.2 Pengambilan Data Akustik
Pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan instrumen
akustik yaitu PcFF80 PC single beam echosounder. Instrumen digunakan
dengan parameter yang telah diatur sedemikain rupa. Echosounder tersebut
terhubung ke laptop melalui port paralel yang disambungkan terlebih dahulu ke
interface RS-232 menggunakan kabel. Kemudian dilakukan pengaturan dan
kalibrasi terhadap parameter.
Pengambilan data akustik di lapangan diawali dengan menentukan titik
stasiun pengamatan. Titik stasiun pengamatan merupakan daerah padang lamun
dengan spesies homogen yakni Enhalus acoroides. Kedalaman perairan Lokasi
lamun harus berada di antara 1 hingga 5 meter. GPS Garmin merekam data
lintang dan bujur stasiun pengamatan.
Transduser single beam dioperasikan dengan kondisi kapal dalam keadaan
diam dan berada pada posisi yang statis pada titik stasiun yang telah ditentukan
sebagai objek penelitian. Transduser diletakkan pada bagian sisi kapal dengan
kedalaman satu meter dari permukaan laut. Transduser diletakkan tegak lurus
niD =
A
23
terhadap permukaan sehingga nantinya nilai hambur balik gelombangnya dapat
memancar secara vertikal. Perekaman akan dilakukan berdasarkan titik – titik
transek yang telah ditentukan.
Gambar 8. Metode pengambilan data akustik di lapangan
3.4 Pengolahan dan Analisis Data Akustik
Pengolahan data akustik pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahap
pengerjaan, dimana masing-masing tahap akan saling terkait untuk menghasilkan
nilai akhir dari penelitian ini.
Analisis data dilakukan dengan mengexport data hasil pengamatan di
lapangan yang berekstensi (*.I) ke Microsoft excel . Hal ini supaya data dapat
dirapihkan dan di ambil nilai amplitudonya saja, yang nantinya akan diolah
kembali menggunakan matlab. Program yang digunakan dalam matlab
menggunakan program yang dikembangkan oleh Rick Towler, NASA-Alaska,
24
2003. Filter data dibatasi oleh sampel range 1 hingga 150 dengan ping range 0
hingga 2500.
Gambar 9. Alur Komputasi Data
Nilai hambur balik diperoleh dengan menggunakan program matlab. Pada
perangkat lunak matlab. Pada perangkat lunak matlab ini menggunkana program
Rick Towler, listing program (lampiran 3). Nantinya dari nilai hambur balik yang
dihasilkan dapat dijadikan pembeda dalam metode akustik.
Data Akustik (*.I) Ms. Excel
Matlab r2008a
Amplitudo
SV
Identifikasi Target
25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data lapangan
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan diketahui substrat dasar
perairan homogen pasir berlumpur dengan kedalaman rata – rata 2 sampai 5
meter berdasarkan data penyelaman. Data penelitian yang didapat diuraikan pada
tabel 3.
Pada lokasi penelitian ditemukan jenis lamun yang homogen, hanya
ditemukan satu spesies lamun yaitu Enhalus acoroides. Kerapatan lamun tidak
beragam, hanya pada tempat – tempat tertentu terlihat koloni lamun pada tiap
kelompoknya seperti yang ditampilkan pada lampiran. Hal ini sesuai dengan yang
diuraikan oleh Deswati (2009) bahwa lokasi penelitian merupakan daerah lamun
yang tidak beragam, keberadaan lamun tidak padat namun hanya pada titik- titik
tertentu dengan kondisi yang tidak rapat.
Menurut Kiswara (1992) Di rataan terumbu Pulau Pari, E. acoroides
tumbuh pada dasar lumpur, pasir dan pasir pecahan karang yang selalu tergenang
air. Tumbuhnya berpencar dalam kelompok-kelompok kecil terdiri dari beberapa
individu atau kumpulan individu yang rapat, berupa kelompok murni atau
bersama-sama dengan Thallasia hemprichii dan Halophila ovalis.
26
Tabel 3 . Hasil pengamatan secara biologi di lapangan
Terdapat 8 titik sampling yang dijadikan lokasi pengamatan. 8 lokasi ini
terdiri dari 6 lokasi yang berlamun dan 2 yang tidak terdapat lamun. Hal ini
dilakkan agar membedakan nilai hambur hambur balik daerah yang berlamun dan
tidak. ( tabel 3)
Den Hartog (1997) mengemukakan bahwa Enhalus acoroides merupakan
jenis lamun yang mempunyai ukuran paling besar, helaian daunnya dapat
mencapai ukuran lebih dari 1 meter. Jenis ini tumbuh di perairan dangkal sampai
kedalaman 4 meter, pada dasar pasir, pasir lumpur atau lumpur. Vegetasi
melimpah di daerah pasang surut. Walaupun cenderung untuk selalu membentuk
vegetasi murni, namun terdapat jenis lain yang berasosiasi yaitu H. ovalis,
Cymodocea serrulata, C. rotundata, T. hemprichii dan S. isoetifolium. E.
TitikSampling
Posisi KerapatanLamun
(ind/m²)
Rata – ratatinggi lamun
(m)
Tipe Sedimen
LS(o ) BT(o )
1 5.8559 106.597 24 0.94 Pasir berlumpur
2 5.8563 106.597 17 0.93 Pasir berlumpur
3 5.8562 106.597 11 0.87 Pasir berlumpur
4 5.8628 106.616 16 0.97 Pasir berlumpur
5 5.8628 106.6 16 1.02 Pasir berlumpur
6 5.8628 106.6 20 0.8 Pasir berlumpur
7 5.8663 106.611 0 0 Pasir berlumpur
8 5.8557 106.597 0 0 Pasir berlumpur
27
acoroides berbunga sepanjang tahun. Namun di lokasi pengamatan tidak
ditemukan lamun jenis lain yang berasosiasi.
Gambar 10. Spesies lamun Enhalus acoroides pada lokasi pengamatan
4.2 Parameter Lingkungan Perairan
Suhu yang diukur pada saat pengambilan data adalah 29 °C. Menurut
Nybakken (1992), kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan lamun mencapai 28 -
30 °C dimana suhu dapat mempengaruhi proses-proses fisiologi yaitu proses
fotosintesis, pertumbuhan dan reproduksi. Proses-proses fotosintesis ini akan
menurun dengan tajam apabila suhu berada di luar kisaran optimal.
Salinitas yang diukur saat penelitian yaitu 32‰. Menurut Dahuri (2001),
lamun dapat mentolerir kadar optimum salinitas air laut sebesar 35 ‰. Penurunan
salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis spesies ekosistem padang
28
lamun. Salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan lamun adalah
meningkatnya salinitas yang diakibatkan oleh kurangnya suplai air tawar dari
sungai.
Dari hasil pengukuran diperoleh pH perairan yaitu 7,2. Nilai pH terlihat
tidak terlalu bervariasi. Tingkat keasaman yang diperoleh berkisar 6,81 – 8,06
dan merupakan kisaran yang masih normal untuk mendukung kehidupan
organisme dan pertumbuhan lamun.
4.3 Data Akustik
Cruzpro mmenampilkan hasil perekaman berformat (*.I) seperti pada
gambar 10. Kemudian dara perekaman tersebut diolah menggunakan matlab dan
menghasilkan tampilan echogram (Gambar 12) yang merupakan interpretasi
dari nilai scattering volume (Sv), dengan unit decibel (dB).
4.3.1 Echogram
Hasil pengolahan data dari matlab diuraikan pada lampiran 3. Echogram
merupakan hasil rekaman jejak - jejak dari target yang terdeteksi. Echogram ini
dapat memberikan informasi dengan tepat dimana dasar perairan dan objek lain
pada proses integrasi yang merupakan penggabungan dari beberapa layer untuk
mendapatkan Scattering Volume (Sv) .
29
Gambar 11. Data rekaman yang belum di filter
30
Echogram seperti yang terlihat pada gambar 12 menampilkan bentuk
rekaman nilai akustik dari transek pengamatan. Sumbu x merupakan banyak
time atau waktu (s) pada saat perekaman data, sedangkan sumbu y merupakan
kedalaman perairan (m). Kedalaman perairan adalah kedalaman di bawah
transducer, pemasangan transduser berada di bawah kedalaman 1 meter dari
permukaan air. Sehingga kedalaman air adalah kedalaman echogram ditambah
kedalaman transduser.
Time (s)
Depth(m)
transek 5
100 200 300 400 500 600 700 800 900
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4-55
-50
-45
-40
-35
-30
-25
-20
SV (dB)daerahlamun
dasarperairan
echo false
Gambar 12. Echogram yang dihasilkan pada daerah pengamatan
Pada tampilan echogram (gambar 12) tampak terlihat perbedaan antara
dasar perairan dengan daerah atasnya yang memiliki nilai Sv lebih kecil, yang
menandakan adanya bentuk lain yang dimungkinkan lamun. Daerah tersebut
berada di antara kedalaman 1 sampai 1, 2 meter. Kemudian di bawahnya terdapat
sv yang bernilai lebih besar yang diyakini sebagai dasar perairan.
Pada gambar, tampilan paling bawah merupakan echo false. Hal ini terjadi
akibat noise yang terjadi saat perekaman. pola echo yang kembali dari dasar dan
diterima oleh transduser, yaitu pola sinyal yang terdiri dari nilai gaung (noise)
pada permukaan sinyal echo berasal dari pantulan yang kembali setelah echo
mencapai permukaan. Noise yang terbentuk mungkin dikarenakan adanya
31
gelombang, hal ini dikarenakan waktu pengambilan data sedang bulan purnama
Noise yang terjadi juga disebabakan rintikan gerimis hujan dan pergerakan kapal
dan orang orang diatasnya.
4.3.2. Nilai Hambur Balik
Dalam tampilan gambar 13 merupakan contoh gambaran nilai hambur
balik (Sv) pada transek pengamatan yang memiliki kedalaman 0 sampai 1,2
meter. Pada gambar terlihat bentuk puncak kecil. Pada bagian bawah terlihat
bentuk puncak yang jelas terlihat yang menandakan dasar perairan. Pada bentuk
puncak lainnya tidak begitu terlihat nyata, puncaknya terlihat kecil tetapi banyak.
Bentuk puncak bernilai Sv antara – 60 hingga – 50 dB. Puncak ini diduga adalah
sebaran lamun. Pengukuran secara akustik pada semua transek pengamatan
menandakan puncak kecil dan tidak begitu banyak. Hal ini menunjukkan bahwa
sebaran lamun tidak begitu padat. Hal ini sesuai dengan pengamatan langsung di
lapangan. (Gambar 14).
32
-58-56-54-52-50-48-46
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
transek 1
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
daerah lamun
dasar sedimen
Gambar 13 . Contoh nilai Sv daerah berlamun
Nilai hambur balik yang berbeda berdasarkan hasil pengukuran dapat
dijadikan sebagai informasi target apa yang ada di bawah air. Hal inilah yang
dijadikan salah satu pembeda dalam melakukan penelitian metode akustik. Sinyal
hambur balik yang berasal dari hamparan dasar perairan yang gundul (tanpa
vegetasi) dan sinyal hamburan yang berasal dari vegetasi akan dibandingkan,
seperti yang telah dihasilkan oleh Tegowski et al. (2003) , yang memperlihatkan
perbedaan lebar pulsa (pulse width), gema yang berasal dari area yang memiliki
vegetasi memperlihatkan lebar pulsa yang lebih lebar.
Secara akustik dapat terlihat perbedaan tampilan gambar dengan daerah
berlamun pada gambar 14, tidak terlihat bentuk puncak kecil. Pada transek
pengamatan 7 dan 8 (gambar 15) merupakan daerah yang tidak berlamun. Dari
33
semua gambar terlihat bahwa dasar perairan memiliki nilai Sv antara - 35 sampai
– 30 decibel (dB).
Berdasarkan nilai Sv dasar perairan dan lamun menandakan tekstur
keduanya yang berbeda. Hal ini sama dengan apa yang dihasilkan oleh Deswati
(2009) bahwa dasar memiliki tekstur yang lebih keras dibandingkan dengan
lamun yang lembut, sehingga nilai pantulan dasar periran lebih kuat dari lamun.
Lamun bertekstur lembut akibat dari daun – daunnya yang lentur dan lunak yang
berdiri tegak. Sedangkan substrat dasar yang merupakan jenis pasir berlumpur
merupakan substrat yang bertekstur keras campuran dari pecahan karang maupun
kerang – kerangan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dahuri (2001), Bahwa
Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang paling umum ditemukan pada
sedimen halus hingga berlumpur tetapi pada sedimen sedang kasar ia tetap dapat
tumbuh sebab akar-akarnya panjang dan kuat hingga mampu menyerap makanan
dengan baik dan dapat berdiri dengan kokoh. E. acoroides dominan hidup pada
substrat kasar, berpasir dan lumpur, kadang-kadang terdapat pada dasar yang
terdiri atas campuran pecahan karang yang telah mati.
34
-56-54-52-50-48-46-44-42-40-38
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
1.45
transek 2
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
-55-50-45-40-35-30
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
transek 6
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
-58-56-54-52-50-48-46
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
transek 1
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
-54-52-50-48-46-44-42-40-38-36-34
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
1.45
transek 3
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
-52-50-48-46-44-42-40-38-36-34-32
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
1.45
transek 4
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
-52-50-48-46-44-42-40-38-36-34-32
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
transek 5
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Gambar 14. Daerah transek berlamun
35
Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Kiswara (1992) bahwa di
rataan terumbu Pulau Pari, E. acoroides tumbuh pada dasar lumpur, pasir dan
pasir pecahan karang yang selalu tergenang air. Tumbuhnya berpencar dalam
kelompok-kelompok kecil terdiri dari beberapa individu atau kumpulan individu
yang rapat, berupa kelompok murni atau bersama-sama dengan T. hemprichii dan
Halophila ovalis.
Deswati (2009) memperoleh hasil pengukuran Scattering volume (Sv)
Enhallus acoroides pada daerah yang sama berkisar antara -58.7 hingga -71.7 dB,
nilainya tidak berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh. Hasil pengukuran pada
penelitian ini lebih besar dikarenakan kepadatan lamunnya yang sedikit dan
perairan yang kurang dalam.
-48-46-44-42-40-38-36-34
1
1.02
1.04
1.06
1.08
1.1
1.12
1.14
1.16
1.18
1.2
transek 7
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
-50-45-40-35
1
1.05
1.1
1.15
1.2
transek 8
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
Gambar 15. Daerah tidak berlamun
Akustik bawah air dapat digunakan untuk pemantauan dan pemetaan
dasar perairan berupa informasi substrat dasar dan vegetasi di dasar perairan
berdasarkan karakteristik signal gema yang dipantulkan target. Informasi tersebut
36
mampu diklasifikasikan dari data survei sebaik data informasi distribusi ikan dan
plankton yang telah umum digunakan untuk aplikasi hydroacoustic (Burczynski
et al. 2001).
4.3.3 Tinggi Lamun
Dalam penelitian ini tinggi lamun secara akustik dapat ditentukan dari
bentukan puncak gelombang scattering volume terhadap kedalaman perairan
tersebut. Tinggi lamun yang merupakan tegakan dari helaian daun Enhalus
accoroides yang panjangnya secara pengamatan langsung tingginya beragam dari
0,4 hingga 1 meter.
Tinggi lamun secara akustik dapat diukur seperti yang dilakukan oleh
Deswati (2009) dengan konversi time terhadap kedalaman (bottom depth), maka
time lamun berada pada 4 hingga 88 artinya berada pada kedalaman 1 hingga 2
meter dari transduser. Berdasarkan kalibrasi time terhadap kedalaman tersebut,
maka tinggi lamun dapat ditentukan melalui puncak-puncak Sv. Tinggi lamun
akustik (H) dihitung berdasarkan nilai T dikali kedalaman (bd) dibagi dengan H +
40, dimana 40 merupakan nilai maksimum time pada Sv lamun (Gambar 16).
37
Keterangan:
T : time
bd : bottom depth (m)
H : konversi time terhadap tinggi lamun (m)
: Rata-rata tinggi lamun/transek dari transduser (m)
L : Tinggi lamun dengan penyelaman (cm)
: Rata-rata tinggi lamun dengan penyelaman (m)S : selisih tinggi lamun dengan akustik dan penyelaman
Gambar 16. Ilustrasi konversi time terhadap tinggi lamun (Deswati, 2009)
Hasil pengukuran tinggi lamun yang diukur dengan akustik dan
penyelaman langsung memiliki sedikit perbedaan. Hasil pengukuran dengan
akustik dan penyelaman secara langsung ternyata tidak berbeda jauh. Deswati
(2009) memaparkan bahwa tinggi lamun dengan nilai akustik lebih tinggi
dibanding dengan penyelaman bisa saja terjadi dikarenakan saat perekaman,
posisi tranduser tidak tepat memancarkan sinyal yang vertikal tegak lurus
terhadap dasar perairan akibat gerakan ke samping (yowing), ke depan-belakang
38
(pitching) dan berputar (rolling), sehingga lamun menjadi lebih tinggi akibar
kemiringan kapal. Gerakan kapal mungkin terjadi akibat angin, gelombang
maupun penumpangnya.
Gambar 17. Perbandingan tinggi lamun secara akustik dan penyelaman
39
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah diperoleh,
maka dapat disimpulkan bahwa lamun Enhalus acoroides yang berada di titik
sampling dapat dideteksi keberadaannya melalui metode akustik. Antara substrat
dasar perairan dan lamun dapat dibedakan melalui nilai hambur balik yang
berbeda. Nilai hambur balik dasar perairan lebih besar daripada lamun. Hal ini
disebabkan oleh tekstur dasar perairan yang keras berupa pasir berlumpur,
sedangkan lamun bertekstur halus karena berbentuk helaian daun . Pengukuran
tinggi lamun yang dihasilkan dari penyelaman langsung dan metode hidroakustik
tidak berbeda jauh. E. acoroides memiliki tinggi rata – rata 0,4 hingga 1 meter.
5.2 Saran
Metode akustik dapat dijadikan alternatif metode yang baik untuk
pemantauan padang lamun. Penelitan selanjutnya sebaiknya bisa lebih melakukan
pengamatan di daerah yang memiliki kerapatan lamun yang lebih tinggi.
40
DAFTAR PUSTAKA
Borum, J.; Duarte, C.M.; Krause-Jensen, D.; Greve, T.M. (Ed.) (2004). Europeanseagrasses: an introduction to monitoring and management. Monitoringand Managing of European Seagrasses Project (M&MS)[s.l.]. ISBN 87-89143-21-3. Galway, Ireland.
Bjork, M., Short,F., Mcleod, E., dan Beer, s., 2008. Managing Seagrass forResilience to Climate Change. The International Union for theConversation of Nature and natural Resources (IUCN). Gland,Switzerland.
Burczynski, J., Hoffman J., Schneider P. and Sabol B. 2001. Use of Acoustic forDetecting Aquatic Vegetation. Sonar system for assessment of submergedaquatic vegetation and bottom substrata classification. Report of the JointSession of the Working Groups on Fisheries Acoustics Science andTechnology and Fishing Technology and Fish Behaviour. Seattle, USA.
Coremap.2011. Organisme Laut: Lamun. http://www.coremap.lipi.go.id/.[20 Desember 2011]
Dahuri, R., 2003. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan SecaraTerpadu. PT . Pradnya Paramita. Jakarta.
Deswati, S. R. 2009. Evaluasi Metode Akustik untuk Pendeteksian PadangLamun. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengolahan Sumberdaya HayatiLingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Hartog, C.den. 1967. The Structural Aspect in the ecology of seagrasscommunities. Helgolander Wissenschaftliche Meeresuntersuchungen.Amsterdam.
Hartog, C. den. 1970. The Seagrass of the world. Northolland PublishingCompany. Amsterdam.
Hutomo, M. 1999. Proses Peningkatan Nutrient Mempengaruhi KelangsunganHidup Lamun. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta
Johannesson, K. A. dan R. B. Mitson. 1983. Fisheries Acoustics A Practicalmanual for Acoustic Biomass Estimation. Food Agricultural OrganizationFisheries Tech. Paper 240, Food Agricultural Organization, Rome.
41
Kiswara, W. 1992. Community Structure and Biomass Distribution of Seagrass atBanten Bay, West Java, Indonesia. Puslitbang Oseanologi Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia. Jakarta
Kiswara, W., dan Winardi. 1994. Keanekaragaman dan Sebaran Lamun di TelukKuta dan Teluk Gerupuk Lombok Selatan. In W. Kiswara , M. K. Moosadan M. Hutomo (Eds), Struktur komunitas Biologi Padang Lamun diPantai Selatan Lombok dan kondisi lingkungannya. Puslitbang OseanologiLembaga Ilnu Pengetahuan Indonesia. Jakarta . Hal 15-33
Komatsu T., Igarashi C., Tatsukawa K., Sultana S., Matsuoka Y., and Harada S.2003. Use of multi-beam sonar to map seagrass beds in Otsuchi Bay onthe Sanriku Coast of Japan. Aquatic Living Resources 16 (2003) 223–230. www.edpsciences.org/articles/alr/pdf/2003/03/alr3039.pdf [20Desember 2011]
Lurton, X. 2002. An Introduction to Underwater Acaoustic. Principles andApplications. Praxis Publishing Ltd. Chichester. UK.
Maclennan,D.N. dan E.J. Simmonds.2005. Fisheries Acoustics,2ⁿFeditionBlackwell Science.Oxford.UK.
McKenzie, L.J. and Campbell, S. J. 2002. Manual for Community (citizen)Monitoring of Seagrass Habitat. Marine Plan Ecology Group,QDPI,Northern Fisheries Centre, Cairns. Australia.
Nontji, 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT.Gramedia. Jakarta.
Sabol B. M. and Johnston S. A. 2001. Innovative Techniques for ImprovedHydroacoustic Bottom Tracking in Dense Aquatic Vegetation. AquaticPlant Control Research Program. U.S. Army Corps of Engineers.Washington, DC 20314-1000.
Schneider P., Burczynski J., Monteoliva A., and Valle A. 2001. Results FromSubmerged Aquatic Plant Assessment Using Digital EchosounderTechnique. International Council for the Exploration of the Sea. Jointsession of FTFB and FAST Working Groups. 23-27 April 2001.Penacastillo. Spanyol
Stewart R. H. 2005. Introduction To Physical Oceanography, Department ofOceanography. Texas A & M University. Texas
Susetiono. 2004. Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat Lembeh. PusatPenelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
42
Tegowski, J., Gorska n., and Klusek, Z., 2003. Statistical analysis of acousticechos from underwater meadows in the eutrophic Puck Bay (southernBaltic Sea). Aquatic Living Resources 16 (2003) 215-221. Sopot, Poland.
Urick, R.J. 1983. Principles of Underwater sound, 3rd ed. Mc-Graw-Hill. NewYork.
http://CruzPro.com, 2012 [14 Maret 2012]
http://symbiosis.nre.gov.my, 2011 [20 Desember 2011]
LAMPIRAN
43
Lampiran 1. Dokumentasi peralatan dan kegiatan selama penelitian
Persiapan pemasangan tranduser disisi kapal
Setting alat
Transducer yang di pasang di sisikapal
Uji DO
44
GPS Garmin
Kamera underwater
Komputer dan alat - alat yangdigunakan
Transek kuadrat 1 x 1 metert
Kapal yang digunakan saatpengamatan
45
Lampiran 2. Dokumentasi Lamun
Lamun yang terdapat pada transek
Pengukuran tinggi Lamun
Dasar perairan pasir berlumpur
Lampiran 3. Rekaman data CruzPro yang belum di filter (*.I)
Transek 1.
17 ***************************************I2041416.44I Opened at: 04-14-2012 16:44:10
16:44:10 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63T: 153.28 Depth= 4.54 Mtr
16:44:10 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63T: 153.28 Depth= 4.54 Mtr
16:44:11 6 63 61 63 61 63 63 63 63 63 63T: 153.28 Depth= 4.54 Mtr
16:44:11 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63T: 153.28 Depth= 4.54 Mtr
16:44:11 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63T: 153.28 Depth= 2.84 Mtr
16:44:12 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63T: 153.28 Depth= 4.23 Mtr
16:44:12 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63T: 153.28 Depth= 4.1 Mtr
16:44:13 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63T: 153.28 Depth= 3.98 Mtr
16:44:13 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 62T: 153.28 Depth= 3.91 Mtr
16:44:13 6 63 61 63 61 63 63 63 63 63 63
T: 153.28 Depth= 3.91 Mtr16:44:14 6 63 61 63 61 63 63 63 63 63 63
Transek 2
3.11 17 * ************ ****** *** *** *** **** ** *** **I2041417.2 6 I Opened at: Apr-14 -20 12 17 :26 :08
17:26:08 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 56T: 153.43 Depth= 1.58 Mtr
17:26:08 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 56T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:08 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 56T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:09 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 56T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:09 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 62 62 63 60T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:09 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 56T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:10 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 56T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:10 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 56T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:10 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 60T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:11 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 60T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
Transek 3
3.11 17 * ************ ****** *** *** *** **** ** ***I2041417.2 6 I Opened at: Apr-14 -20 12 17 :26
17:26:08 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63T: 153.43 Depth= 1.58 Mtr
17:26:08 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:08 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:09 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:09 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 62 62 63T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:09 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:10 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:10 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:10 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
17:26:11 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63T: 153.44 Depth= 1.58 Mtr
Transek 4
3.11 17 * ************ ****** *** *** *** **** ** *** **I2041507.1 3 I Opened at: Apr-15 -20 12 7 :13 :38
7:13:38 6 62 59 61 61 61 61 63 60 40 32 18 128 6 8 8 6 5 6 15 18 12 8 19 16 27 63 56 40 26 16 12 10 8 7 7 9 8 5 6 6 5 6 6 5 7 5 6 5 6 5 6 5 5 5 6 6 57 4832 20 14 9 7 8
6 6 7 8 6 7 7 7 6 7 7 6 6 31 56 40 24 16 12 9 9 8 79 255 0
15 207 0 88 0 82 0 28179 1
T: 153.31 Depth= 1.58 Mtr
7:13:38 6 62 59 61 61 61 61 63 60 43 40 32 1812 8 7 10 6 5 5 8 7 6 6 15 12 16 63 56 36 26 17 12 8 8 6 56 36 24 16 10 7 7 6 6 4 4 6 6 5 5 4 4 4 4 4 59 5236 24 16 10 6 6
7 5 5 6 6 7 7 7 8 8 7 7 7 7 7 6 6 7 7 7 9 10 9 8 10 8255 0
15 207 0 88 0 82 0 28179 1
T: 153.31 Depth= 1.58 Mtr
7:13:38 6 62 59 61 61 61 61 63 60 40 32 22 1610 6 5 10 6 5 4 7 20 15 48 32 20 13 31 63 48 36 24 16 10 8 10 7 5 7 4 4 6 11 55 48 32 20 12 8 6 5 6 6 6 5 55 4 5 6 6 6 6 7
6 5 6 7 7 6 7 7 7 7 7 7 6 6 6 6 6 7 7 9 9 9 8 9 8 9255 0 1
5 207 0 88 0 82 0 28 179130
T: 153.31 Depth= 1.52 Mtr
7:13:39 6 62 59 61 61 61 61 63 63 48 32 20 169 6 4 7 5 4 4 3 12 8 7 5 11 13 31 47 60 48 32 20 13 8 12 12 9 6 6 8 6 5 6 5 5 5 4 5 6 5 5 4 5 5 5 6 6 6 6 5 6 67 7 8 8 7 5
5 5 5 6 7 6 8 7 7 6 6 7 7 6 6 7 6 6 8 7 8 255 0 15207 0 88 0 82 0 28 179 134
T: 153.31 Depth= 1.52 Mtr
7:13:39 6 62 59 61 61 61 61 63 60 40 32 23 5640 24 16 12 8 5 6 7 16 10 7 7 20 12 15 55 56 40 24 31 48 32 24 16 10 8 9 8 8 7 5 5 6 5 7 5 6 6 5 6 5 6 5 6 56 5 5 5 6 6 6
7 7 7 7 6 6 6 5 6 6 6 6 6 7 7 9 9 8 8 8 7 7 7 7 8 2550 15 2
07 0 88 0 82 0 28 179165
T: 153.31 Depth= 1.52 Mtr
7:63:40 6 62 59 61 61 61 61 63 60 40 28 18 128 5 5 9 8 5 5 15 24 16 10 15 32 24 31 48 56 40 26 17 12 8 6 7 8 6 9 8 7 5 5 52 34 24 16 10 6 6 6 6 5 5 5 5 56 5 7 6 6 7 55
48 32 20 14 9 7 7 6 6 6 6 7 7 7 6 6 7 7 8 8 8 9 9 1010 255
0 15 207 0 88 0 82 0 28179
T: 153.31 Depth= 1.52 Mtr
7:13:40 6 62 59 61 61 61 61 63 60 40 32 31 3220 12 8 11 8 5 4 27 26 16 12 21 16 12 39 39 56 39 40 24 16 12 8 7 7 6 7 6 5 5 5 7 6 4 5 4 4 7 60 40 32 18 128 6 6 6 5 6 7
6 6 6 6 5 7 6 7 7 7 8 6 8 7 7 7 7 6 7 7 6 7 7 8 8 8 10255 0
15 207 0 88 0 82 0 28179 1
T: 153.30 Depth= 1.58 Mtr
7:13:40 6 62 59 61 61 61 61 63 60 40 26 19 169 6 5 8 6 4 5 31 48 32 20 15 26 18 15 32 60 40 32 18 12 8 9 8 6 6 8 5 5 5 6 6 5 6 7 6 5 6 5 5 5 6 5 6 6 6 6 6 756 48 32 20
12 8 7 7 6 8 8 7 8 7 8 7 7 6 7 7 31 56 36 24 16 10 910 255
0 15 207 0 88 0 82 0 28179
T: 153.30 Depth= 1.33 Mtr
Transek 5
3.11 17 * ************ ****** *** *** *** **** ** *** **I2041507.2 9 I Opened at: Apr-15 -20 12 7 :29 :17
7:29:17 6 62 59 61 61 61 62 63 60 40 32 26 20 12 6 6 7T: 153.32 Depth= 1.27 Mtr
7:29:17 6 62 59 61 61 61 60 63 60 40 32 31 24 16 5 5 5T: 153.32 Depth= 1.27 Mtr
7:29:18 6 62 59 61 61 61 62 63 60 40 32 18 12 8 7 6 5T: 153.32 Depth= 1.27 Mtr
7:29:18 6 62 59 61 63 61 62 63 60 40 32 19 16 10 6 6 6T: 153.32 Depth= 1.27 Mtr
7:29:18 6 62 59 61 61 61 60 63 60 40 32 24 16 10 5 5 5T: 153.32 Depth= 1.27 Mtr
7:29:19 6 62 59 61 61 61 62 63 60 40 32 28 18 12 5 5 6T: 153.32 Depth= 1.27 Mtr
7:29:19 6 62 59 61 61 61 60 63 60 40 32 18 60 40 5 5 5T: 153.32 Depth= 1.27 Mtr
7:29:19 6 62 59 61 61 61 62 63 60 52 36 34 24 16 5 6 6T: 153.32 Depth= 1.27 Mtr
7:29:20 6 62 59 61 61 61 62 63 60 40 32 20 13 8 40 32
Transek 6
3.11 17 * ************ ****** *** *** *** **** *** *** *I2041507.4 4 I Opened at: Apr-15 -20 12 7:00 44:00:00 5 3
F: 2 1 1 42 50 10 3 4 0 8 9 1 5 0 0 1 0 97:44:53 6 62 59 61 61 61 61 63 56 36 24 31 24 1 6 12 8
T: 153.33 Depth= 1.33 Mtr7:44:53 6 62 59 61 61 61 61 63 60 40 32 20 16 9 15 26
T: 153.33 Depth= 1.33 Mtr7:44:54 6 62 59 61 61 61 60 63 60 40 32 22 16 1 0 6 5
T: 153.33 Depth= 1.33 Mtr7:44:54 6 62 59 61 61 61 61 63 60 40 32 18 12 8 6 4 4
T: 153.33 Depth= 1.33 Mtr7:44:54 6 62 59 61 61 61 61 63 56 40 24 16 10 8 5 3 4
T: 153.33 Depth= 1.33 Mtr7:44:55 6 62 59 61 61 61 61 63 56 36 24 16 10 8 5 5 4
T: 153.33 Depth= 1.33 Mtr7:44:55 6 62 59 61 61 61 61 63 56 40 24 16 10 8 5 4 5
T: 153.34 Depth= 1.33 Mtr7:44:55 6 62 59 61 61 61 61 63 60 40 32 18 12 8 5 5 5
T: 153.34 Depth= 1.27 Mtr
Transek 7
03/11/2017 * ************ ****** *** *** *** **** *** *** *I2041416.0 9 I Opened at: Apr-14 -20 12 16:00 9:00 3216/09/1932 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 62 63T: 153.22 Depth= 1.2 Mtr
F: 2 1 1 35 50 11 3 4 0 8 9 1 5 0 0 1 016/09/1933 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 62 63T: 153.22 Depth= 1.27 Mtr16/09/1933 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 63 63T: 153.22 Depth= 1.58 Mtr16/09/1934 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 62 63T: 153.22 Depth= 1.58 Mtr16/09/1934 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 60 63 62 63T: 153.22 Depth= 1.58 Mtr16/09/1934 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 62 63T: 153.22 Depth= 1.58 Mtr16/09/1935 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 63 63T: 153.22 Depth= 1.58 Mtr16/09/1935 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 63 63T: 153.22 Depth= 1.52 Mtr
Transek 8
3.11 17 ******************* *** *** *** **** *** *** *
I2041417.0 9 I Opened at: 04-14 -20 12 17:00 9:00 18
F: 2 1 1 35 50 11 3 4 0 8 9 1 5 0 0 1 0 9017:09:19 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 62 63 63
T: 152.96 Depth= 1.96 Mtr17:09:19 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 62 63 63
T: 152.96 Depth= 1.96 Mtr17:09:19 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 63 63 63
T: 152.96 Depth= 1.96 Mtr17:09:20 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 62 63 63
T: 152.96 Depth= 1.96 Mtr17:09:20 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 62 63 63
T: 152.96 Depth= 1.9 Mtr17:09:20 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 62 63 63
T: 152.96 Depth= 1.9 Mtr17:09:21 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 62 63 63
T: 152.96 Depth= 1.9 Mtr17:09:21 6 63 61 61 61 63 63 63 63 63 63 63 63 62 63 63
T: 152.96 Depth= 1.9 Mtr
54
Lampiran 4. Program dalam penelitian
%% -------------------------------------------- %%%% Program Matlab %%%% MARINE SCIENCE AND TECHNOLOGY - IPB %%%% -------------------------------------------- %%%% Rumusan Dasar %%% EL=SL-2TL+TS+2DI
% EL= SL-2*(20LOG10(RR)-2(alp)(RR))+TS+2DI% SL=10*log10(p)% p=((rho*C*Pa*Sig*DI)/4*phi))% Pe=v^2/R% k = 2*phi*F/C% V = phi*(r^2)*t%% Memasukan variabel %%
% a= 0.045;% Pa = 53.9;%v = 12;%R = v/15; % hambatan%r = 0.5;%t = 1;%phi=3.14;%T=29;%alp = 0.006940;%Sound Speed formula%% C=1404.3+4.7T-0.04T^2C=1527.50;F=200000;a=0.045;ld= C/F;t=0.33;
% rho=1000;%Vreff=6.5043e-004;% beamwidthbeamwidth=10*log10(ld/2*pi*a)+7.7;%Urick,1983
%% Perhitungan Variabel %%%k =2*phi*F/C ;%DI=(k*a)^2;%Pe=v^2/R;%Sig=(Pa/Pe)*0.01;%p=(((rho*C*Pa*Sig*DI)/4*phi)^0.5);%% Perhitungan Variabel Akustik %%%Kecepatan suara medwin
%% instrument parameter %%r=1.78; % Jarak target dari permukaan transducer (m)%-----------------------------------------------------%AG0=-69.03; %amplifier gainRS=-185;% Receiving sensitivity 200 kHzSL=163; % Source Level 200 kHzalpha=0.07898; % koef absorpsi untuk 200 kHz, Fisheries AcousticBookTL=20*log10(r)+2*alpha*r;%count=12; % contoh countmakscount=255; % 8 bit%VR=20*(log10((count*10)/makscount));jumrec=1; % jumlah receiverAVG=20*log10(jumrec);% array voltage gain
55
%% load data melalui workspace %%xx=sbsttrnsk10x284160910x290x2810x2E780x29; %% inisialisasi datake variabel
aa=xx(1:size(xx,1),18:size(xx,2));aaa=rot90(aa);VR=20*(log10((aaa.*10)/makscount));TS=-RS-SL+2*TL+VR-AVG+AG0;
%% Revebrasi Level %%RL=SL-2*TL+TS+10*log10(beamwidth)+10*log10(C*t/2)+10*log10(r);%% Scattering Volume %%% SV=10*log10(dens)+TSSV=RL-SL+2*TL-10*log10(beamwidth)-10*log10(C*t/2)-10*log10(r^2);%%rata-rata target strength%%
NN=size(aa,2);NNN=NN-11;ff=aa(:,1:NNN);hh=mean(ff);VR1=20*(log10((hh.*10)/makscount));TS1=-RS-SL+2*TL+VR1-AVG+AG0;
%% rata-rata RL %%RLr=SL-2*TL+TS1+10*log10(beamwidth)+10*log10(C*t/2)+10*log10(r);%% rata-rata SV %%% SV=10*log10(dens)+TSSVv=RLr-SL+2*TL-10*log10(beamwidth)-10*log10(C*t/2)-10*log10(r^2);%% Echo Level %%EL=SL-2*TL+TS;EL1=SL-2*TL+TS1;%% Fast Fourier Transform %%m = length(hh); % Window lengthn = pow2(nextpow2(m)); % Transform lengthy = fft(hh,n); % DFTxfft = abs(fft(y));f = (0:n-1)*(F/n); % Frequency rangeFF= ceil(f);power = xfft.*conj(xfft)/n; % Power of the DFTPWR= ceil(power);PWR1=rot90(PWR);%% Matrik Kedalaman %%lamda=3*(C/F);range=([1:size(aaa,1)]);N=length(range);dpt=(0:lamda:length(aaa))';Y=dpt(1:N);
56
YX=Y+1;YY=sort(YX,1,'descend');X=[1:1:length(aaa)];XX=[1:1:length(ff)];N1=length(hh);dpt1=(0:lamda:length(hh))';Y1=dpt1(1:N1);YX1=Y1+1;YY1=sort(YX1,1,'ascend');X1=[1:1:length(hh)];time=X(1:1:length(hh));%% Figure 1 %%figure('Name','Time Series of Target Strength','NumberTitle','on')imagesc(X,YY,TS);colorbar('XTickLabel',{'TS (dB)'},'XTick',[0.5],...
'XAxisLocation','top');% propertis %Title ('')ylabel('Depth (m)')xlabel('Time (s)')%% Figure 2 %%figure('Name','Time Series of ScatteringVolume','NumberTitle','on')imagesc(X,YY,SV);colorbar('XTickLabel',{'SV (dB)'},'XTick',[0.5],...
'XAxisLocation','top');% propertis %Title ('')ylabel('Depth (m)')xlabel('Time (s)')%% figure 3 %%figure('Name','Targeth Strength Vs Depth')plot(YY1,TS1,'-r')% propertis %Title ('')ylabel('Target Strength (dB)')xlabel('Depth (m)')grid on%% figure 4 %%figure('Name','Scattering Volume Vs Depth')plot(YY1,SVv,'-')% propertis %Title ('')ylabel('Scattering Volume (dB)')xlabel('Depth (m)')grid on%% figure 5 %%figure('Name','Echo Level(dB)Vs Time')plot(time,EL1,'-')%propertis %Title ('')ylabel('Echo Level(dB)')xlabel('Time (s)')grid on%% figure 6 %%%figure('Name','Spectral Amplitude')%plot(XX,ff,'-b')%propertis%%title('')
57
%xlabel('Frequency (Hz)')%ylabel('Specktral Amplitude')%grid on%% figure 7 %%figure('Name','FFT')plot(FF,PWR1(1:length(y)),'-b')%propertis%title('')xlabel('Frequency (Hz)')ylabel('Specktral Amplitude')grid on%% ________________________________________________ %%
58
Lampiran 5 . Echogram SV
Time (s)
Depth(m)
transek 1
200 400 600 800 1000 1200 1400
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
1.45
1.5
SV (dB)
-60
-55
-50
-45
-40
-35
-30
-25
-20
Time (s)
Depth(m)
transek 2
200 400 600 800 1000 1200 1400
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
SV (dB)
-60
-55
-50
-45
-40
-35
-30
-25
-20
Time (s)
Depth(m)
transek 3
100 200 300 400 500 600 700 800 900
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
SV (dB)
-60
-55
-50
-45
-40
-35
-30
-25
-20
59
Time (s)
Depth(m)
transek 4
50 100 150 200 250
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
1.45
SV (dB)
-60
-55
-50
-45
-40
-35
-30
-25
-20
Time (s)
Depth(m)
transek 5
200 400 600 800 1000 1200 1400 1600
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
SV (dB)
-60
-55
-50
-45
-40
-35
-30
-25
-20
Time (s)
Depth(m)
transek 6
200 400 600 800 1000 1200
1
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
SV (dB)
-60
-55
-50
-45
-40
-35
-30
-25
-20
60
Time (s)
Depth(m)
transek 7
50 100 150 200 250 300 350
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
SV (dB)
-60
-55
-50
-45
-40
-35
-30
-25
-20
Time (s)
Depth(m)
transek 8
100 200 300 400 500 600 700 800
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35 -60
-55
-50
-45
-40
-35
-30
-25
-20Sv(dB)
61
Lampiran 6. Pengolahan data CruzPro
1. buka data rekaman CruzPro (*I) pada microsoft excel
2.Lihat tampilan rekamannya
3.Pilih Sort Data untuk memfilter data
62
4. hapus data yang tidak diperlukan, seperti waktu dan kedalaman, data yangdigunakan hanya nilai pantulannya saja,
5. Setelah selesai filter, kemudian save dengan format (*txt)
6. buka program matlab, kemudian import data rekaman (*txt)
63
7. kemudian buka syntak pada editor, copy syntak tersebut
8. setelah itu tempel syntak pada window command, enter, nantinya figure pictureakan tampil
64
RIWAYAT HIDUP
Siti Hasanah Rusmayanti dilahirkan pada tanggal 18 November
1988 di Jakarta . Putri pertama dari tiga orang bersaudara dari
Ayahanda Sugiyanto dan Ibunda Yuliarsih. Penulis
menyelesaikan pendidikan formalnya Sekolah Dasar di SD Pengasinan Margahayu I
pada tahun 2000, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 16 Bekasi tahun 2003,
dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Bekasi pada tahun 2006. Di tahun
yang sama penulis diterima sebagai Mahasiswa di Universitas Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiwa Baru (SPMB). Setahun
kemudian, penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB)
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif di berbagai aktivitas
kegiatan mahasiswa baik di luar dan dalam kampus. Penulis pernah menjadi
pengurus HIMITEKA dibidang Hubungan Luar Komunikasi (HUBLUKOM) tahun
2009-2010. Penulis juga aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Komisariat Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor.
Penulis menyelesaikan tugas akhir yaitu penelitian dengan judul
“Pengukuran nilai hambur balik akustik Enhalus acoroides di Pulau Pari Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta“ pada Tahun 2012