Post on 15-Mar-2019
4
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Kelapa Sawit
Upaya klasifikasi kelapa sawit sudah dimulai sejak empat abad yang lalu
(abad ke-16) dan dilanjutkan pada abad-abad selanjutnya. Kelapa sawit adalah
tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae.
Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur yang berasal
dari Amerika. Asal tanaman kelapa sawit (Elaeis giuneensis jacq.) secara pasti
belum bisa diketahui. Namun, ada dugaan kuat tanaman ini berasal dari dua
tempat, yaitu Amerika Selatan dan Afrika (Guenia). Spesies Elaeis melanococca
atau Elaeis oleivera diduga berasal dari Amerika Selatan dan spesies Elaeis
guineensis berasal dari Afrika (Guenia). Brazil dipercaya sebagai tempat di mana
pertama kali kelapa sawit tumbuh. Dari tempat asalnya, tanaman ini menyebar
ke Afrika, Amerika Equatorial, Asia Tenggara, dan Pasifik Selatan. Bibit kelapa
sawit pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1848 berasal dari Mauritus dan
Amsterdam sebanyak empat tanaman yang kemudian ditanam di Kebun Raya
Bogor dan selanjutnya disebarkan ke Deli Sumatera Utara (Lubis, 1992).
Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera
Utara oleh Schad (Jerman) pada tahun 1911. Taksonomi kelapa sawit adalah
sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Angiopspermae
Sub kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Spadiciflorae
Keluarga : Palmaceae
Sub keluarga : Cocoideae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq.
5
Morfologi Kelapa sawit
Kelapa sawit termasuk tanaman monokotil. Batangnya lurus, tidak
bercabang dan tidak mempunyai kambium tingginya dapat mencapai 15-20 m
(Lubis, 2008). Tanaman ini berumah satu atau monoecious, bunga jantan dan
bunga betina berada pada satu pohon. Bagian vegetatif terdiri atas akar, batang,
dan daun, sedangkan bagian generatifnya yakni bunga dan buah
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
Akar
Calon akar muncul dari biji kelapa sawit yang dikecambahkan disebut
radikula, panjangnya dapat mencapai 15 cm dan mampu bertahan sampai 6 bulan
(Lubis, 2008). Akar primer yang tumbuh dari pangkal batang (bole) ribuan
jumlahnya, diameternya berkisar antara 8 dan 10 mm. panjangnya dapat mencapai
18 cm. Akar sekunder tumbuh dari akar primer, diameternya 2-4 mm. Dari akar
sekunder tumbuh akar tersier berdiameter 0.7-1.5 mm dan panjangnya dapat
mencapai 15 cm (Lubis, 2008).
Batang
Batang membengkak pada pangkal (bole), bongkol ini dapat
memperkokoh posisi pohon pada tanah agar dapat berdiri tegak (Sastrosayono,
2008). Dalam satu sampai dua tahun pertama pertumbuhan batang lebih
mengarah kesamping, diameter batang dapat mencapai 60 cm. setelah itu
perkembangan ke atas dapat mencapai 10 – 11 m dengan diameter 40 cm.
Menurut Lubis (2008) pertumbuhan meninggi ini berbeda - beda untuk setiap
varietas.
Daun
Daun pertama yang tumbuh pada stadium benih berbentuk lanset
(lanceolate), kemudian muncul bifurcate dan setelah dewasa berbentuk menyirip
(pinnate) ( Lubis, 2008). Pada tanaman dewasa dapat menghasilkan 40-60 daun
dengan laju dua daun /bulan dan satu helai daun hidup fungsional dua tahun.
Panjang daun bisa mencapai 5-7 m terdiri dari : satu tulang daun (rachis), 100-160
6
pasang anak daun linear, dan satu tangkai daun (petiole) yang berduri
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
Bunga
Tanaman kelapa sawit mulai berbunga pada umur 12-14 bulan, tetapi baru
ekonomis untuk di panen pada umur 2,5 tahun (Lubis, 2008). Bunga kelapa sawit
merupakan monoecious, bunga jantan dan bunga betina dalam satu pohon. Satu
inflor dibentuk dari ketiak setiap daun setelah diferensiasi dari pucuk batang. Jenis
kelamin jantan atau betina ditentukan 9 bulan setelah inisiasi dan selang 24 bulan
baru inflor bunga berkembang sempurna. Bunga-bunga betina dalam satu inflor
membuka dalam tiga hari dan siap dibuahi selama 3-4 hari. sedangkan bunga-
bunga yang berasal dari inflor jantan melepaskan serbuk sarinya dalam lima hari.
Penyerbukan yang umum terjadi biasanya penyerbukan silang namun kadang juga
sendiri (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
Buah
Buah kelapa sawit adalah buah batu yang sessile (sessile drup), menempel
dan menggerombol pada tandan buah. Jumlah per tandan dapat mencapai 1600,
berbentuk lonjong membulat. Panjang buah 2-3 cm, beratnya 30 gram. Bagian-
bagian buah terdiri atas eksokarp atau kulit buah dan mesokrap atau sabut dan biji.
Eksokarp dan mesokarp disebut perikarp. Biji terdiri atas endocarp atau cangkang,
dan inti atau kernel. Sedangkan inti tersebut terdiri dari endosperma dan embrio
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
Biji
Biji merupakan bagian buah yang telah terpisah dari daging buah dan
sering disebut noten atau nut yang memiliki berbagai ukuran tergantung tipe
tanaman (Lubis, 2008). Biji kelapa sawit terdiri atas cangkang, embryo dan inti
atau endosperm. Embrio panjangnya 3 mm berdiameter 1,2 mm berbentuk
silinderis seperti peluru dan memiliki dua bagian utama. Bagian yang tumpul
permukaannya berwarna kuning dan bagian lain agak berwarna kuning.
Endosperm merupakan cadangan makanan bagi pertumbuhan embryo. Pada
7
perkecambahan embrio berkembang dan akan keluar melalui lubang cangkang
(germpore). Bagian pertama yang muncul adalah radikula (akar) dan menyusul
plumula (batang) (Lubis, 2008).
Ekologi kelapa Sawit
Curah hujan
Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa
sawit adalah diatas 2000 – 2500 mm/tahun, tidak mengalami defisit air dan merata
sepanjang tahun (Lubis, 2008). Sedangkan menurut Buana, Siahaan dan Adiputra
(2003), curah hujan rata-rata tahunan yang memungkinkan untuk pertumbuhan
kelapa sawit adalah 1250-3000 mm merata sepanjang tahun, curah hujan optimal
berkisar 1750-2500 mm.
Penyinaran matahari
Tanaman kelapa sawit termasuk tanaman heliofil atau menyukai cahaya
matahari. Penyinaran matahari sangat berpengaruh terhadap perkembangan buah
kelapa sawit. Tanaman yang ternaungi karena jarak tanam yang sempit,
pertumbuhannya akan terhambat karena hasil asimilasinya kurang. Penyinaran
sinar matahari yang baik untuk pertumbuhan kelapa sawit yakni 5 – 7 jam/hari
(Lubis, 2008).
Tanah
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik dibanyak jenis tanah
seperti podsolik, latosol, hidromofik kelabu, regosol, andosol, organosol dan
alluvial. Hal yang penting bagi tanaman kelapa sawit adalah tidak kekurangan air
pada musim kemarau dan tidak tergenang air pada musim hujan (drainase baik)
(Hartley, 1977). Di lahan-lahan yang permukaan air tanahnya tinggi atau
tergenang, akar akan busuk. Selain itu pertumbuhan batang dan daunnya tidak
mengindikasikan produksi buah baik. Kesuburan tanah bukan merupakan syarat
mutlak bagi perkebunan kelapa sawit.
8
Suhu
Suhu berpengaruh pada produksi dan melalui pengaruhnya terhadap laju
reaksi biokimia dan metabolisme dalam tubuh tanaman. Suhu 20°C merupakan
batas minimal dan suhu 33°C merupakan suhu maksimum, bagi pertumbuhan
vegetatif dan suhu rata-rata tahunan sebesar 22-23°C (Buana et al., 2003).
Sedangkan menurut Lubis (2008) temperatur yang optimal bagi tanaman kelapa
sawit 24-28°C, terendah 18°C dan tertinggi 32°C. Kelembaban 80% dan
kecepatan angin 5 – 6 km/jam.
Tehnik Budidaya Kelapa Sawit
Teknik pembukaan lahan
1. Cara mekanis
Pembukaan lahan secara mekanis dilakukan dengan menggunakan traktor.
Mula-mula, tunggul-tunggul kayu ditumbangkan dengan buldoser dan didorong
sampai tepi jurang. Tujuan penempatan pohon ditepi jurang untuk menghalangi
mengalirnya topsoil (tanah bagian atas) kedalam jurang jika terjadi hujan. Setelah
itu, tanah yang datar dicangkul dengan traktor. Lahan yang kemiringannya lebih
dari 18% tidak ditraktor karena dikhawatirkan terjadi erosi ketika hujan atau
traktornya bisa terguling (Buana et al., 2003).
2. Cara kimia
Persiapan lahan dengan bahan kimia dilakukan pada areal lahan berupa
padang ilalang atau lahan-lahan yang kemiringannya lebih dari 18%.
Penyemprotan bahan kimia dilakukan pada musim kemarau. Bahan kimia yang
dipakai adalah bahan yang bersifat sistemik, seperti bustofan, glyphosate,
dowpon, dan dalapon (Lubis, 2008).
3. Pemasangan ajir
Ajir adalah kayu atau bambu yang ditancapkan ditempat-tempat yang akan
ditanami tanaman kelapa sawit. Ajir ini sebagai tanda bagi kontraktor atau buruh
untuk membuat lobang tanam. Jarak tanam yang dipakai 9 x 9 x 9 meter dengan
9
pola segitiga sama sisi sehingga dalam satu hektar ada 142 tanaman (Setyamidjaja,
2006). Barisan dibuat dari arah utara ke selatan, kecuali dilereng-lereng dan
puncak-puncak gunung yang curam dibuat searah kontur. Pemasangan ajir ini
tidak mudah karena selain memperhatikan kelurusan barisan tanaman, juga
serongannya. Pemasangan ajir disisi timur atau barat sebagai tanam patokannya
(Buana et al., 2003).
4. Pembuatan lubang tanam
Lubang tanam dibuat minimal dua minggu sebelum tanam agar mudah
diperiksa jumlah maupun ukurannya, tanah cukup matang, dan tidak terburu-buru
waktu tanam. Pada titik pancang dibuat lubang 60 x 60 x 60 cm3. Tanah atas (top
soil) hasil galian diletakan disebelah kanan dan sub soil di sebelah kiri (Lubis,
2008).
5. Menanam tanaman penutup tanah (legum cover crop)
Penanaman tanaman penutup tanah, baik yang dilakukan sebelum maupun
sesudah bibit ditanam, merupakan usaha yang sangat dianjurkan di perkebunan
kelapa sawit. Jenis tanaman penutup tanah biasanya dipilih dari jenis kacang-
kacangan (legum) seperti Calopogonium mucunoides, Pueraria javanica, Mucuna
bracteata, Centrosema pubescens. Tanaman penutup tanah bermanfaat sebagai
penghindar tanah dari bahaya erosi, guguran daun dan bintil akarnya bisa
memberi tambahan unsur Nitrogen (N) pada tanah dan sebagai bahan organik
untuk memperbaiki struktur tanah, menekan pertumbuhan alang-alang dan gulma
lain, dapat menghisap banyak air agar pada lokasi rendah tanahnya kering (Lubis,
2008).
Pembibitan
Bibit merupakan bahan tanaman yang siap untuk ditanam di lapangan.
bibit bisa berasal dari organ reproduktif (benih) atau hasil perbanyakan vegetatif
(ramet) (Buana et al., 2003). Pembibitan merupakan cara atau usaha yang
dilakukan untuk mengecambahkan bahan tanaman agar menjadi bibit yang
bermutu dan berkualitas serta siap untuk ditanam. Pembibitan merupakan awal
kegiatan lapang yang harus dimulai setahun sebelum penanaman dimulai (Lubis,
10
2008). Pembibitan bertujuan untuk menghasilkan bibit berkualitas tinggi yang
harus tersedia pada saat penyiapan lahan tanam telah selesai (Mangoensoekarjo
dan Semangun, 2008). Sedangkan menurut Buana, Siahaan dan Adiputra (2003)
sasaran akhir dari kegiatan pembibitan adalah menyediakan bibit yang asli dan
jagur. Bibit kelapa sawit yang asli dan jagur merupakan jaminan untuk
memperoleh kebun dengan produktivitas tinggi. Pembibitan kelapa sawit
merupakan langkah permulaan yang sangat menentukan keberhasilan penanaman
di lapangan, sedangkan bibit unggul merupakan modal dasar dari perusahaan
untuk mencapai produktivitas dan mutu minyak kelapa sawit yang tinggi
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
Menurut Lubis (2008) ditinjau dari luasnya memang pembibitan relatif
kecil tetapi volume kerja cukup padat dan biayanya cukup besar. Untuk
pemeliharaan pembibitan diperlukan 5 sampai 6 orang setiap hari setiap hektar.
Diperlukan dana sebanyak 20 – 25 juta rupiah per ha pembibitan setiap tahun
(Lubis, 2008). Pembibitan diperlukan karena benih tanaman kelapa sawit tidak
dapat di tanam secara langsung dilapangan, terlebih dahulu harus dilakukan
pengelolaan pembibitan agar hasilnya maksimal. Menurut Pahan (2008) alasan
diperlukannya pembibitan terutama pada kelapa sawit yakni : 1). Keadaan
kecambah kelapa sawit yang mudah diserang insekta, tikus dan hama lain, 2).
Bahan tanaman memerlukan ketegakan habitusnya sehingga tidak miring atau
roboh, serta 3). Pembibitan diperlukan untuk memperpendek waktu antara
persiapan lapangan dan penanaman pertama sehingga begitu lahan siap tanam
bibit sudah siap untuk ditanam.
Baik pembibitan pendahuluan maupun pembibitan utama memerlukan
lokasi yang baik dan aman (Lubis, 2008). Menurut Lubis (2008) hal-hal yang
harus diperhatikan dalam pembuatan areal pembibitan yakni : 1). Dekat dari
sumber air, tersedia air sepanjang tahun namun tidak kebanjiran waktu musim
hujan, 2). Dekat dari pengawasan dan mudah untuk dikunjungi, 3). Tidak jauh
dari areal yang akan ditanami jika mungkin ditengah lokasi untung mengurangi
biaya pengangkutan, 4). Dekat dari sumber tanah untuk pengisian kantong plastik
(top soil), 5). Jika areal bergelombang atau berbukit perlu dibuat teras-teras yang
sesuai dengan kemiringannya, 6). Perlu dibuat barak pekerja agar mudah diawasi.
11
Biji kelapa sawit secara normal tidak dapat berkecambah dengan cepat
karena adanya sifat dormansi (Sastrosayono, 2008). Menurut Pahan (2008) jika
benih langsung ditanam pada tanah atau pasir maka persentase daya kecambahnya
setelah 3-6 bulan hanya 50%. Untuk mematahkan dormansi dapat dilakukan
dengan pemeraman tandan buah (fermentasi I) selama tiga hari untuk merontokan
buah dan pemeraman kedua (fermentasi II) selama tiga hari (Satrosayono, 2008).
Setelah daging dalam sabut membusuk, bijinya dipisahkan dikeringkan dan
disimpan selama dua bulan (Satrosayono, 2008). Pertumbuhan bibit pada minggu-
minggu pertama sangat tergantung pada cadangan makanan di dalam endosperm
(minyak inti). Cadangan makanan tersebut berisi karbohidrat, lemak dan protein.
Menurut Pahan (2008) faktor utama dalam perencanaan dan pengelolaan
pembibitan dilakukan atas dasar : 1). Pemusatan pembibitan yang permanen di
satu tempat dengan pembibitan yang tersebar dibeberapa tempat, 2). Pembibitan
dilakukan di lapangan (tanah) dengan pembibitan yang dilakukan dalam polibeg,
3). Pembibitan sistem polibeg satu tahap (single step nursery) dengan pembibitan
sistem dua tahap (double step nursery).
1. Sistem pembibitan
Pembibitan kelapa sawit telah banyak mengalami kemajuan yang sangat
berarti. Menurut Lubis (2008) sampai tahun 1963 pembibitan masih menggunakan
bibit tanam (field nursery). Kecambah ditanam dalam bak pasir selama satu bulan
kemudian ditanam langsung di tanah pada lokasi pembibitan. Sistem ini sudah
tidak digunakan lagi karena memiliki banyak kelemahan dan tidak efisien.
Kemudian sistem pembibitan berkembang dengan menggunakan keranjang yang
terbuat dari bambu dan pelepah kelapa sawit. Namun kesukaran memperoleh
bambu dan pelepah serta keranjang yang cepat rusak menjadi kendala baru
sehingga sejak tahun 1965 keranjang diganti dengan dengan kantong plastik hitam
(black polythene). Setelah ditemukannya plastik tersebut mulai muncul dua sistem
pembibitan kelapa sawit yakni sistem langsung atau sistem pembibitan langsung
di lapangan dan sistem tidak langsung, pre nursery dan main nursery
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Menurut Pahan (2008) umumnya
pembibitan di lapangan tidak dipakai lagi karena memerlukan areal yang luas dan
12
perawatan yang lebih intensif pada fase-fase awal penanaman kecambah. Selain
itu, sistem langsung pemindahan bibit dari pembibitan akan sulit. Pembibitan
secara tidak langsung terbagi antara pre nursery dan main nursery.
a. Pre nursery
Pada pre nursery atau pembibitan awal dapat dilakukan pada bedengan-
bedengan yang tanahnya ditinggikan sampai mencapai 35 cm atau bibit ditanam
dalam polibeg kecil berupa tanah bagian atas (top soil) yang sudah dibersihkan
(Sastrosayono, 2008). Ciri utama pembibitan tahap awal adalah penggunaan
kantong plastik berukuran kecil, sehingga jumlah bibit per ha areal pembibitan
menjadi banyak. Untuk areal pembibitan dipilih lahan yang rata dan datar (tidak
miring), berdrainase lancar, dekat sumber air, tetapi tidak rawan banjir
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Pada pre nursery bibit ditanam dan
disusun rapat sampai berumur 3-4 bulan (Lubis, 2008). Dalam waktu 3-4 bulan
pertama dari pertumbuhan bibit diperlukan naungan agar intensitas cahaya yang
diterima bibit sekitar 40% (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Bibit
ditanam pada kantong plastik kecil berukuran 14 x 22 cm rata dengan tebal 0,07
mm. tanah yang diisikan adalah tanah atas (top soil) yang disaring. Kecambah
ditanam dengan plumula menghadap ke atas dan radikula ke bawah sedalam 2-3
cm (Lubis, 2008). Pembibitan awal merupakan tahap yang menentukan
keberhasilan dalam pengelolaan bahan tanaman selanjutnya (Buana et al., 2003).
Pemeliharaan bibit di pembibitan awal dilakukan dengan pengisian dan
penyusunan polibeg, alih tanam, penyiraman, pengendalian gulma, pemupukan,
pengendalian hama dan penyakit dan seleksi bibit (Pahan, 2008). Setelah
pembibitan awal bibit dipindahkan ke pembibitan utama (main nursery).
b. Main nursery
Pada pembibitan utama (main nursery) bibit dari pembibitan awal
dipindahkan ke kantong pelastik yang lebih besar berukuran 40 x 50 cm pada
umur sekitar empat bulan (Sastrosayono, 2008). Pelaksanaan transplanting dari
pembibitan awal ke pembibitan utama merupakan tahap krusial dan memerlukan
perhatian yang lebih (Buana et al.,2003). Pada main nursery bibit diletakkan
dengan jarak tanam 90 x 90 x 90 cm atau dalam satu ha bersisi sebanyak 12 000
13
bibit (Lubis, 2008). Pemeliharaan bibit di pembibitan utama hampir sama dengan
pembibitan awal dilakukan dengan pengisian dan penyusunan polibeg, alih tanam,
penyiraman, pengendalian gulma, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit
dan seleksi bibit (Pahan, 2008).
2. Penyiraman bibit
Ketersediaan air sangat penting bagi pertumbuhan bibit. Pemberian air
juga memerlukan perhatian dan ketelitian, karena baik kelebihan atau kekurangan
air sama-sama berdampak negatif (Buana et al.,2003). Pemberian air biasa
dilakukan dengan sederhana, sprinkler irrigation, dan drip irrigation. Frekuensi
dan banyaknya air siraman ditentukan oleh pola curah hujan di lokasi pembibitan.
Bibit memerlukan air 6-8 mm curah hujan per hari (Mangoensoekarjo dan
Semangun, 2008). Pada pembibitan awal (pre nursery) Bibit memerlukan
penyiraman sebanyak 0,25-0,50 liter/bibit dua kali sehari pada pagi dan petang
(Lubis, 2008). Selain itu penyiraman harus dilakukan secara hati-hati agar
kecambah atau bibit tidak terbongkar. Sedangkan standar penyiraman pada
pembibitan utama (main nursery) ada pada Tabel 1:
Tabel 1. Standar Penyiraman Bibit pada Pembibitan Awal
Umur bibit (Bulan) Kebutuhan air (liter/pokok/hari)
0 – 3 1 (dengan sprinkler 1,5 jam)
3 – 6 2 (dengan sprinkler 1 jam dan 45 menit)
6 – 12 3 (dengan sprinkler 2-3 jam)
3. Pemupukan
Persediaan hara yang tersimpan dalam biji segera habis pada awal
pertumbuhan kecambah bibit, sehingga kebutuhan unsur hara selanjutnya harus
dipenuhi dengan pemupukan (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Pemberian
pupuk pada bibit sangat jelas memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan namun
jika pemberian berlebihan akan berpengaruh menekan pertumbuhan (Lubis,
2008). Interaksi antara unsur N, P, K, sangat nyata berbeda dan bibit sangat peka
terhadap perubahan perimbangan antara unsur-unsur hara (Thomas dan Hardon,
1968 dalam Lubis, 2008). Bibit kelapa sawit sangat cepat pertumbuhannya dan
14
membutuhkan banyak pupuk. Pupuk yang digunakan bisa pupuk tunggal maupun
majemuk (Pahan, 2008). Pada pembibitan awal (Pre nursery) Bibit muda
memerlukan pupuk agar tumbuh lebih baik. Pupuk urea (0,20%) dapat
disemprotkan sekali seminggu dimana campuran lima liter cukup untuk 100 bibit
(Lubis, 2008). Untuk pembibitan utama pupuk yang digunakan ada pada Tabel 2:
Tabel 2. Standar Pemupukan pada Pembibitan Utama
Umur
(Minggu)
Jenis Pupuk (gram/pokok)
15-15-6-4 12-12-17-2 Kieserite
2 dan 3 2,5
4 dan 5 5,0
6 dan 8 7,5
10 dan12 10,0
14, 16, 18, dan 20 10,0
19 dan 21 - 5,0
22, 24, 26, dan 28 15,0 -
23 dan 25 - 7,5
30, 32, 34, dan 36 20,0 -
27, 29, dan 36 - 10,0
38 dan 40 25,0 Sumber : Fidber Chan dan E. L. Tohing (1982): Pemupukan bibit kelapa sawit
4. Pengendalian gulma
Pengendalian gulma bisa dilakukan baik pada pembibitan awal maupun
pembibitan utama (Sastrosayono, 2008). Pengendaliannya dapat dilakukan dengan
manual dengan tangan yakni mencabut gulma pada kantong plastik sekali dalam
dua minggu atau dengan kored dan garu untuk wilayah di sekitar kantong bibit
dengan siklus 2-3 minggu (Lubis, 2008). Apabila dengan cara kimia bisa
menggunakan herbisida ametrin, simazin, dan diuron 2 - 2,5 kg dilarutkan dalam
500 liter air untuk 1ha (Lubis, 2008). Jenis-jenis gulma diantaranya : Ageratum
conyzoides, Cynodon dactylon, Axonopus compressus, Cyperus rotundus,Boreria
latifolia, Mimosa sp., dan lain-lain (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
15
5. Pengendalian hama dan penyakit
Untuk mendapatkan bibit yang sehat dan prima pengendalian hama dan
penyakit sangat penting. Dalam pelaksanaannya diperlukan pengenalan yang baik,
tanda serangan awal, tindakan preventif yang akan diambil dan tindak lanjut
(Lubis, 2008). Secara umum ada tiga jenis gangguan yang dapat menghambat
pertumbuhan bibit, yaitu serangan hama, penyakit yang disebabkan oleh patogen,
dan penyakit fisiologis (Pahan, 2008). Hama umumnya merupakan jasad makro
yang kasat mata, sedangkan penyakit biasanya disebabkan oleh jasad renik seperti
cendawan, bakteri dan lain-lain. Pada umumnya serangan hama di pembibitan
tidak berarti, tetapi kadang-kadang dapat merugikan. Beberapa hama merugikan
diantaranya : Tungau, jangkrik, belalang, ulat, kumbang, semut dan siput (Lubis,
2008). Penyakit yang menyerang pembibitan diantaranya penyakit fisiologis
(karena kekurangan unsur hara) dan yang disebabkan pathogen seperti penyakit :
blast, Anthracnose, Helminthosporium dan penyakit-penyakit daun
(Melanconium, Corticium dan lain-lain) (Setyamidjaja, 2006).
6. Transplanting (alih tanam)
Transplating dilakukan setelah tanaman berumur 3-4 bulan (pre nursery)
dan transplanting ke lapangan setelah 10-12 bulan. Alih tanam bibit harus per
nomor kelompok supaya tidak tercampur dengan kelompok bibit lainnya (Pahan,
2008). Menurut Hartley (1977) pemindahan bibit ke lapangan sangat dipengaruhi
kesehatan bibit di pembibitan. Hanya bibit yang sehat dan jagur saja yang
dipindahkan (alih tanam) agar bisa tumbuh dan beradaptasi dengan baik (Lubis,
2008).
7. Standar pertumbuhan bibit
Angka standar pertumbuhan bibit sangat diperlukan sebagai pelaksana
pembibitan guna melihat perkembangan pertumbuhan bibitnya. Menurut Lubis
(2008) bibit dapat hidup sendiri setelah umur tiga bulan dimana akar primer dan
sekunder telah terbentuk dan pada saat ini penggemukan batang sudah dimulai.
Daun berubah-ubah bentuknya dari lanceolate menjadi bifurcate dan kemudian
berbentuk pinnate pada umur 5-6 bulan. Fotosintesis dimulai pada umur satu
16
bulan yaitu ketika daun pertama telah terbentuk dan selanjutnya secara berangsur-
angsur peranan endosperm sebagai suplai bahan makanan mulai tergantikan.
Pertumbuhan bibit banyak dipengaruhi jenis persilangan, tindakan kultur teknis,
media tanah, jarak tanam, pemupukan, hama penyakit, penyiraman dan lain-lain
(Lubis, 2008). Beberapa standar pertumbuhan bibit dilihat dari beberapa
komponen seperti : 1). Tinggi tanaman yang diukur dari pangkal atau dasar
batang sampai ke ujung daun termuda yang telah kembang. Terlebih dahulu daun
ditegakan ke atas lalu diukur dalam cm. 2). Batang yang diukur dengan
menggunakan kaliper sehingga diameternya diperoleh atau dengan melilitkan tali
pengukur sehingga dapat diketahui lingkarannya. 3). daun yang dihitung dari
banyaknya daun yang ada dan hanya daun yang sudah berkembang yang dihitung.
Standar pertumbuhan bibit ada pada Tabel 3:
Tabel 3. Standar Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit di Pembibitan
Umur
(Bulan) Tinggi (cm) Batang/diameter (cm) Banyak daun
4,5 26,0 ± 1,3 1,30 ± 0,02 5,0 ± 0,2
6 39,9 ± 1,1 1,84 ± 0,02 8,6 ± 0,2
7 52,2 ± 1,4 2,70 ± 0,12 10,8 ± 0,3
8 64,3 ± 0,6 3,56 ± 0,04 11,0 ± 0,0
9 88,3 ± 2,5 4,50 ± 0,15 13,3 ± 0,3
10 101,9 ± 5,1 5,96 ± 0,33 15,8 ± 0,1
11 144,1 ± 3,9 5,84 ± 0,14 15,6 ± 0,3
12 126,9 ± 7,0 6,02 ± 0,24 15,8 ± 0,4
Sumber : Lubis, Adlin U (1974): Standar Pertumbuhan bibit kelapa sawit di pembibitan. Laporan Intern Pusat Penelitian Marihat, P. Siantar, Indonesia
8. Seleksi bibit
Tidak semua bibit yang disemaikan di pembibitan awal dan dipelihara di
pembibitan utama akan berkembang menjadi bibit yang unggul. Sekitar 25% dari
jumlah benih yang akan disemaikan akan di afkir dari pembibitan karena tumbuh
abnormal (Darmosarkoro et al., 2008). Keberadaan tanaman abnormal di lapangan
sangat merugikan. Hal ini dikarenakan pohon tersebut tidak dapat berproduksi,
dan bila berproduksi hanya 25-50% dari produksi tanaman normal. Jika
17
dilapangan dijumpai tanaman abnormal 5% maka kerugian produksi akan
mencapai lebih dari 4,42% (Lubis, 2008). Pengamatan di Marihat pada tanaman
1958 dan di Bah Jambi tanaman 1968 menunjukkan bahwa produksi tanaman
abnormal hanya 61% dan 65% saja dari tanaman normal bahkan ada yang sama
sekali tidak berproduksi (Akiyat dan Lubis, 1982c; Lubis, 1973c). Salah satu cara
untuk mengantisipasi hal tersebut melalui pelaksanaan seleksi yang ketat pada
pembibitan sebelum dipindahtanamkan menurut Lubis (2008) tindakan tegas
sewaktu di pembibitan perlu dilakukan seperti segera memusnahkan bibit yang
dicurigai abnormal, memperketat pengawasan terutama seleksi akhir dan
memperkecil kerusakan sewaktu pembongkaran, pengangkutan dan penanaman.
Selain itu, dianjurkan untuk melakukan tindakan pembongkaran sejak dini
terhadap pohon-pohon yang diketahui abnormal di lapangan (Fauzy et al., 1999).
Timbulnya pohon abnormal dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor
genetis dan faktor lingkungan. Abnormalitas yang disebabkan oleh faktor genetis
bersifat menetap dan diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sedangkan
abnormalitas yang disebabkan oleh faktor lingkungan bersifat sementara (Fauzy et
al., 1999). Pada tanaman kelapa sawit, abnormalitas dapat terjadi pada bagian
vegetatif dan generatif keadaan ini dapat disebabkan oleh keadaan lingkungan,
sifat genetis tanaman atau keduanya. Abnormalitas yang disebabkan oleh keadaan
lingkungan pada umumnya dapat diperbaiki atau dicegah melalui tindakan kultur
teknis, seperti pemupukan. Sedangkan abnormalitas yang disebabkan oleh sifat
genetis sulit untuk diperbaiki (Fauzy et al., 1999). Abnormalitas yang disebabkan
secara genetis dapat terjadi karena beberapa hal, salah satu diantaranya adalah
proses inbreeding. Gejala abnormalitas ini dapat dilihat pada tanaman dengan ciri-
ciri kaku, merunduk, terputar, memiliki rachis pendek/panjang, dan kerdil. Ciri-
ciri itu umumnya ditemui di tahap pembibitan gejalanya yakni bergaris putih
(chimere), memiliki anakan (vivipary), steril, dan bercak oranye (orange spotting)
(Fauzy et al., 1999). Abnormalitas yang disebabkan oleh faktor lingkungan
dikenal disebut abnormalitas accidental. Abnormalitas ini masih memungkinkan
untuk diperbaiki. Abnormalitas accidental terjadi dikarenakan oleh faktor manusia
dan faktor lingkungan itu sendiri. Abnormalitas yang disebabkan oleh faktor
manusia diantaranya, terbakarnya daun-daun pada tanaman dan pelukaan pada
18
akar serta batang tanaman. Abnormalitas ini terjadi karena kekeliruan kultur
teknis, antara lain kesalahan pemupukan, kesalahan penanaman, drainase yang
buruk, serta kesalahan kultur teknis lainnya. Faktor lingkungan yang
menyebabkan abnormalitas antara lain banjir, angin keras, kebakaran, naungan,
dan gangguan hama/penyakit (Fauzy et al., 1999), sedangkan menurut Lubis
(2008) abnormalitas juga dapat terjadi karena : 1). Salah tanam seperti terbalik,
terlalu dalam atau dangkal, 2). Tanah terlalu padat hingga akar sulit terbentuk, 3).
Tanah bercampur batu, kayu dan lain-lain karena tidak disaring, 4). Kurang
pelindung, terbakar karena kekeringan, 5). Kurang siram, atau tergenang atau akar
busuk karena ada kantong air pada kantongan, 6). Tanah terlalu penuh hingga akar
terbongkar, pupuk hanyut dan air tidak terserap tanah, 7). Gangguan hama dan
penyakit, 8). Salah pupuk, kena serangan hama dan keracunan pestisida, 9). Jarak
tanam terlalu rapat, 10). Kantongannya pecah, 11). Tanahnya kurang sesuai terlalu
asam (peat = gambut), dan 12). Air penyiraman kurang baik (asin, mengandung
racun dan lain-lain).
Seleksi merupakan kegiatan memilih yang terbaik dari beberapa pilihan.
Menurut Soebagyo (1997) Seleksi bibit adalah kegiatan memilih bibit yang baik
dan membuang bibit yang abnormal. Seleksi bibit perlu dilakukan agar diperoleh
tanaman yang sehat sehingga saat di tanam mampu tumbuh dengan baik (Lubis,
1992). Sedangkan menurut Darmosarkoro et al. (2008) Seleksi bertujuan untuk
menghindari terangkutnya bibit abnormal ke tahap pembibitan selanjutnya.
Seleksi bibit harus dilakukan dengan cermat untuk memastikan bahwa bibit yang
ditanam di lapangan merupakan bibit yang baik dan sehat. Bibit-bibit abnormal
yang ikut ditanam ke lapangan dapat mengurangi homogenitas tanaman sehingga
dapat menurunkan potensi produksi. Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa
bibit abnormal selalu di dapatkan pada setiap pembibitan (Darmosarkoro et al.,
2008). Seleksi bertujuan memperoleh bibit yang sehat dengan memisahkan bibit
yang abnormal dari pembibitan. Menurut Buana et al. (2003) bibit abnormal dapat
disebabkan oleh faktor genetik, kesalahan kultur teknis atau serangan hama dan
penyakit.
Seleksi bibit harus dilakukan secara hati-hati dan sangat cermat untuk
menghindari terbuangnya bahan tanaman yang baik (Soebagyo,1997).
19
Pelaksanaan seleksi harus dilakukan secara bertahap pada tiap
persilangan/bedengan dengan membuang bibit abnormal. Untuk seleksi bibit
kelapa sawit dilakukan sebanyak tiga kali, seleksi pertama dilakukan pada waktu
pemindahan bibit ke pembibitan utama (main nursery). Seleksi kedua dilakukan
setelah bibit berumur empat bulan di pembibitan utama. Seleksi terakhir dilakukan
sebelum bibit dipindahkan ke lapangan. Bibit dapat dipindahkan setelah berumur
12-14 bulan (Darmosarkoro et al., 2008).
Dengan ditemukannya kantong plastik sebagai media tumbuh bibit maka
seleksi bibit menjadi lebih mudah dibandingkan dengan pembibitan langsung di
tanah (field nursery) (Lubis, 2008). Bibit yang mati atau abnormal dapat segera
dibuang dengan mencabut dari kantongnya dan jika masih diperlukan dapat
digunakan kembali. Bibit dapat digeser pindah dan efisiensi pemupukan
penyiraman akan lebih tinggi (Lubis, 2008). Pengamatan visual perlu dilakukan
terhadap seluruh parameter pertumbuhan bibit dengan cara membandingkan
antara satu bibit dengan bibit lain yang berasal dari persilangan yang sama.
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui keadaan bibit yang
penampilannya menyimpang dari bibit normal yang telah ditentukan (tinggi,
jumlah pelepah, dan besar bonggol) serta beda populasi yang ada seperti kerdil,
penyakit tajuk (crown desease), pertumbuhan berputar, daun tidak membuka dan
lain-lain. Setelah diseleksi maka bibit-bibit abnormal dapat diklasifikasikan per
jenis keabnormalannya sekaligus diketahui presentasenya.
Seleksi bibit dilakukan dengan melakukan inspeksi pada setiap jangka
pertumbuhan tanaman. Seleksi dilakukan per kelompok dengan meletakan bibit
mati/afkir di bagian ujung kelompok/persilangan berbatasan dengan
kelompok/persilangan lain dalam satu bedengan. Hal ini dimaksudkan untuk
memudahkan pencatatan dan pembuatan berita acara pemusnahan bibit mengingat
bibit abnormal harus dikumpulkan dan dimusnahkan. Seleksi yang ketat di PN
dan MN yang dilakukan dengan baik merupakan jaminan untuk memperoleh bibit
yang baik dan seragam dalam pertumbuhannya (Darmosarkoro et al., 2008).
Seleksi yang kurang keras dilakukan akan membawa sebagian bibit
abnormal tertanam di lapangan. Seleksi yang kurang tajam dapat disebabkan
karena : 1). Kurangnya pengertian terhadap akibat tertanamnya bibit abnormal di
20
lapangan, 2). Kurang mengenal tanda-tanda bibit yang abnormal, 3). Karena
kurang bibit maka seleksi di piringan dan 4). Sulit melaksanakan karena ditanam
terlalu rapat atau terlambat dilakukan (Lubis, 2008). Menurut Soebagyo (1997)
untuk mencegah terbuangnya bahan tanaman yang baik maka seleksi ini harus
dikerjakan oleh orang yang sudah menguasai pekerjaan ini dengan baik atau
terlatih. Dengan melakukan hal tersebut maka akan didapatkan hasil yang
maksimal saat melakukan seleksi.
a. Seleksi bibit kelapa sawit di pembibitan awal (pre nursery)
Pada pembibitan awal seleksi harus dilakukan sebelum tanaman
dipindahkan ke pembibitan utama untuk menghindari tanaman yang abnormal dan
kontaminasi dari bibit yang terkena penyakit (Soebagyo, 1997). Tanaman normal
pada umur 3 bulan biasanya memiliki 3-4 helai daun dan telah sempurna
bentuknya (Buana et al., 2003). Menurut Buana et al. (2003) persentase bibit yang
terseleksi saat transplanting ke pembibitan utama mencapai 5-10 %. Seleksi bibit
di PN sebaiknya dilakukan tiga tahap. Dengan memberi tanda yang dibuat dari
patok kayu kecil yang ujungnya di cat dan di tancapkan dalam polibeg yang
bibitnya tidak memenuhi syarat (abnormal). Seleksi pertama di lakukan terhadap
kecambah yang tidak tumbuh, ditandai dengan patok yang berwarna putih. Seleksi
kedua merupakan pra seleksi terhadap bibit-bibit abnormal ditandai dengan patok
berwarna biru, dan seleksi terakhir dilakukan terhadap bibit yang diyakini tumbuh
abnormal ditandai dengan patok berwarna merah (Darmosarkoro et al., 2008).
Menurut Soebagyo (1997) Kriteria seleksinya yakni : daun seperti rumput (Grass
leaf), daun bergulung (Rolled leaf), daun Berputar (Twisted leaf), daun tidak
terbuka (Collante), daun berkerut (Crinkled leaf), daun dengan strip kuning
(Chimera), tanaman kerdil (Runt), tanaman sakit (Diseased). Bibit-bibit tersebut
harus dimusnahkan karena bisa merusak pertanaman dan merugikan.
b. Seleksi bibit di pembibitan utama (main nursery)
Perbedaan pertumbuhan bibit di pembibitan utama dapat disebabkan oleh
faktor genetis dan perbedaan kultur teknis yang diterima masing-masing bibit
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Kegiatan seleksi diharapkan hanya pada
tanaman abnormal yang disebabkan oleh pengaruh faktor genetis, sehingga
21
diusahakan tidak terdapat kesalahan kultur teknis yang dapat menyebabkan
timbulnya tanaman abnormal (Buana et al., 2003).
Seleksi di pembibitan utama dilaksanakan secara bertahap karena
munculnya gejala sejalan dengan bertambahnya umur bibit. Seleksi dapat
dilaksanakan pada saat bibit berumur 4 bulan atau seleksi tahap pertama dengan
memberi pancang pada bibit-bibit yang kemungkinan abnormal, seleksi tahap
kedua (8 bulan) pancang yang telah ada dibiarkan untuk bibit yang masih
menunjukan gejala abnormal dan mencabut pancang untuk bibit yang telah pulih
pancang ditambahkan apabila bibit yang menunujukan gejala abnormal
ditemukan, dan saat akan dipindahkan kelapangan (12 bulan) bibit abnormal
dipisahkan untuk kemudian dimusnahkan (Darmosarkoro et al., 2008). Tetapi
menurut Sastrosayono (2008) tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan
seleksi pada saat ditemui bibit abnormal di luar waktu yang telah ditetapkan.
Menurut Buana, Siahaan dan Adiputra (2003) beberapa faktor yang dapat
memperbesar persentase bibit tidak normal antara lain : 1.Kesalahan menanam
pada saat pindah tanam dari pembibitan awal ke pembibitan utama. Bila bibit
ditanam terlalu dangkal maka pertumbuhan tanaman akan menggantung dan
mudah rebah, 2. Penyiraman kurang merata, terlalu deras atau tidak cukup
penyiraman pada masing-masing tanaman. Hal ini akan menyebabkan
pertumbuhan yang heterogen pada hamparan pembibitan yang sama, 3. Kesalahan
dalam pemberian pupuk, herbisida atau pemakaian obat-obatan. Tindakan ini
dapat mengakibatkan daun tanaman ini terbakar, 4. Penempatan jarak tanam yang
terlalu rapat sehingga terjadi persaingan dalam memperoleh sinar matahari. Jarak
tanam yang dianjurkan adalah segitiga sama sisi 90 cm x 90 cm x 90 cm, 5.
Pemindahan bibit pada pembibitan awal terlalu cepat akan menimbulkan
“scorching” sedangkan pemindahan bibit yang terlambat akan menimbulkan
pertumbuhan yang meninggi (etiolasi). Menurut Soebagyo (1997) Kriteria
seleksinya yakni : Pelepah tegak (Barren/Sterile), Pelepah memendek, rata atas
(Top flat), Pelepah dan anak daun lemas (Limp/Flacit), Pelepah tidak pecah,
bentuk muda (Juvenile), Jarak anak daun pendek (Short internode), Jarak anak
daun lebar (Wide internode), Jarak daun sempit (Narrow pinnae), Anak daun lebar
dan pendek (Short broad leaf), Sudut anak daun tajam (Acute pinnae insertion.)
22
9. Bibit Cameroon
Cameroon merupakan jenis kelapa sawit yang diintroduksi langsung dari
Negara asalnya Kamerun. Jenis ini baru pertama kali di budidayakan di Indonesia.
benih yang langsung didatangkan dari Kamerun di tanam dan dipelihara di
beberapa perusahaan kelapa sawit di Indonesia. Jenis Cameroon sangat intensif
diperhatikan pertumbuhannya pada pembibitan awal dan pembibitan utama.
Pemeliharaan dilakukan secara maksimal dan selalu memperhatikan setiap fase
pertumbuhannya mulai dari fase vegetatif pengukuran jumlah daun, tinggi dan
diameter dan fase generatif yakni adanya bunga yang sudah tumbuh. Setiap
informasi tersebut dicatat secara teratur dan berkesinambungan. Keunikan dari
jenis ini pertumbuhannya sangat cepat dibandingkan dengan jenis-jenis yang lebih
dahulu ada dan fase generatif yang sangat cepat karena pada pembibitan utama
tanaman ini sudah mampu menghasilkan bunga. Kurangnya informasi dan
deskripsi jenis tersebut menjadikan jenis kamerun menjadi jenis yang paling di
perhatikan.
Selain pengamatan vegetatif dan generatif faktor abnormalitas tanaman
sangat diperhatikan. Seleksi bibit dilakukan dengan sangat ketat pada pembibitan
awal dan pembibitan utama. Informasi mengenai abnormalitas pada jenis ini
belum diketahui secara jelas oleh petugas seleksi, hal ini menyebabkan petugas
sedikit mengalami kendala dalam melakukan seleksi. Setiap ciri abnormalitas
benar-benar diperhatikan agar tidak terjadi kesalahan seleksi yang menyebabkan
terangkutnya bibit abnormal atau sangat mungkin terseleksinya bibit yang sehat.
Seleksi dilakukan dengan mekanisme standar seleksi yang telah berlaku dan setiap
ditemukan ciri-ciri abnormalitas tanaman ditandai dan dilaporkan kepada pihak
yang lebih mengenal tanaman tersebut untuk dianalisis apakah termasuk abnormal
atau merupakan ciri petumbuhan tanaman tersebut baik vegetatif maupun
generatif. Apabila tanaman tersebut pasti memperlihatkan ciri-ciri abnormalitas
maka tanaman tersebut langsung dipisahkan dan diafkirkan.
Proses penanaman kelapa sawit di lapangan
Penanaman kelapa sawit di lapangan sangat penting, karena akan
menentukan produksi dan kelangsungan hidup tanaman. Penanaman merupakan
23
aktivitas utama yang menentukan tingkat keberhasilan usaha suatu perkebunan
(Pahan, 2008). Penanaman di lapangan dilakukan setelah bibit berumur 12 bulan
dan telah dilakukan seleksi terakhirnya (Lubis, 2008). Dua minggu sebelum
tanam, bibit diputar agar akarnya yang menembus tanah terputus dan telah
beregenerasi (Lubis, 2008). Umumnya pola tanam kelapa sawit berbentuk segi
tiga sama sisi. Penanaman biasanya disesuaikan dengan pola musim hujan,
dimana kelembaban tanah cukup tinggi untuk merangsang perkembangan akar
sehingga bibit cepat menyesuaikan diri dengan keadaan di lapang (Pahan, 2008).
Dengan tahapan yaitu pembuatan lubang tanam, pemupukan dasar, dan terakhir
penanaman bibit kelapa sawit yang dilakukan pada bulan Oktober dan sudah harus
selesai pada akhir bulan Februari. Pada bulan Oktober, hujan sudah mulai turun
sehingga tanaman tidak kekurangan air. Sementara itu, pada bulan Februari juga
masih ada hujan (Buana et al., 2003).
Pemeliharaan kelapa sawit
1. Pengendalian gulma
Gulma di kelapa sawit harus dikendalikan supaya secara ekonomi tidak
berpengaruh secara nyata terhadap hasil produksi. Alasannya, gulma akan
menghambat jalan para pekerja, gulma menjadi pesaing tanaman kelapa sawit
dalam menyerap unsur hara dan air, serta kemungkinan gulma menjadi tanaman
inang bagi hama atau penyakit yang menyerang kelapa sawit (Buana et al., 2003).
Pengendalian gulma bisa dilakukan dengan mekanis seperti menggaruk dan
mencabut dengan tanah atau menggunakan bahan kimia seperti ametrin, simazin,
dan diuron (Lubis, 2008).
2. Kastrasi (cuci bunga)
Kastrasi merupakan istilah di perkebunan kelapa sawit yang artinya
membuang semua bunga yang ada pada tanaman kelapa sawit muda atau TBM
(tanaman belum menghasilkan) baik bunga jantan maupun betina yang dilakukan
sebulan sekali (Lubis, 2008). Dimulai saat tanaman berumur 14 bulan dan
berlangsung selama 10 – 12 bulan atau 6 bulan sebelum panen perdana dimulai
(Lubis, 2008). Secara fisiologis, kastrasi menguntungkan karena semua hasil
24
fotosintesis akan tersalurkan untuk pertumbuhan batang sehingga batang pohon
kelapa sawit tetap tegap dan sehat. Alat kastari berupa besi penjepit yang diberi
tangkai. Caranya, bunga dijepit, lalu ditarik dan didorong hingga putus
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
3. Penyerbukan bantuan
Bunga pada tandan hanya dapat berkembang menjadi buah yang sempurna
jika terjadi penyerbukan oleh tepung sari terhadap putik atau yang disebut dengan
polinasi. Polinasi dapat terjadi dengan bantuan angin dan serangga (Lubis, 2008).
Serangga yang biasa digunakan untuk membantu penyerbukan kelapa sawit
adalah SPKS Elaeidobius kamerunicus. Penyerbukan bantuan dilakukan karena
bunga jantan dan bunga betina tumbuh ditempat terpisah. Masa antesis bunga
jantan tidak selalu sama dengan masa reseptif bunga betina (Lubis, 2008).
Penyerbukan bantuan dilakukan 1 bulan setelah kastrasi dihentikan dan diakhiri
setelah tanaman berumur 7 tahun. Penyerbukan buatan ini dilakukan setiap 3 hari
sekali. Pelaksanaannya, areal penyerbukan bantuan dibagi 3 seksi, A pada hari
senin, B selasa, C rabu, dan seksi A lagi pada hari kamis.
4. Pengendalian hama dan penyakit
Pengendalian ini perlu dilakukan mengingat hama dan penyakit akan
berpengaruh terhadap hasil produksi. Jika hama dan penyakit akan menyerang
tanaman sawit tidak cepat diberantas, produksi buah akan turun, baik secara
kuantitas maupun kualitas (Sastrosayono, 2008).
5. Pemupukan
Pemupukan merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan
hasil produksi. Biaya yang dikeluarkan untuk pemupukan berkisar 40-60% dari
biaya pemeliharaan keseluruhan. Pemupukan sangat mempengaruhi pertumbuhan
kelapa sawit dan produktivitas kelapa sawit. Pemupukan harus segera dilakukan
apabila tanaman telah menunjukan ciri-ciri kekurangan hara. Hasil penelitian
menunjukan pemupukan mutlak dilakukan karena secara nyata biasa
meningkatkan produksi dan tetap menjaga stabilitas tanaman (Risza, 1994).
25
6. Tunasan
Tunasan berarti membuang atau memangkas daun yang berada dibawah
buah. Tujuannya adalah membersihkan tanaman supaya pollen mudah membuahi
putik, memudahkan pekerja mengambil buah masak, secara fisiologis daun tua
dibagian bawah sudah tidak efektif berfotosintesis (Lubis, 2008). Penunasan
sangat baik untuk tanaman karena akan menjadikan tanaman bersih dan sehat
(sanitasi).
Pemanenan
1. Pemungutan hasil
Saat buah mulai masak, kandungan minyak dalam daging buah (mesokarp)
meningkat cepat. Hal ini disebabkan adanya proses konversi karbohidrat menjadi
lemak dalam buah. Setelah kadar minyak dalam buah mencapai maksimal, buah
akan lepas (brondol) dari tandanya. Asam lemak bebas dalam buah akan terus
naik. Ciri-ciri tandan buah masak ditentukan oleh angka kematangan, yaitu jumlah
buah yang brondol dari tandannya, tidak ditentukan oleh warna buahnya.
2. Taksasi atau perkiraan produksi
Penjualan produk kelapa sawit, baik di dalam negeri maupun di luar
negeri, dilakukan dengan sistim kontrak. Bagi pemilik perkebunan berupa kontrak
penjualan, sedangkan bagi perusahaan konsumen berupa kontrak pembelian.
Kontrak jual beli ini dibuat 6 bulan sebelum hasil produksi diserahkan kepada
pembeli. Karena itu, pemilik perkebunan kelapa sawit harus bisa memperkirakan
hasil produksinya (Sastrosayono, 2008). Hasil produksi untuk 6 bulan ke depan
bisa ditaksir dengan rumus sebagai berikut ;
Y = a x b x c
Keterangan ;
a = Jumlah seluruh tandan yang akan dipanen selama 6 bulan.
b = Berat tandan rata-rata.
c = Persentase minyak terhadap berat tandan. Untuk CPO sebesar 20%.
26
3. Transportasi
Sistem jaringan jalan di perkebunan merupakan salah 1 faktor penting
untuk mengumpulkan dan mengangkut hasil kelapa sawit ke pabrik.
Pengangkutan buah harus dilakukan secepat mungkin. Buah yang dipotong hari
ini harus diolah langsung agar asam lemak bebas (FFA) tidak tinggi. Ketersediaan
transportasi ini tentunya sangat membantu kelancaran kegiatan operasional
(Sastrosayono, 2008).