Post on 02-Oct-2021
Perspektif Vol. 18 No. 2 /Des 2019. Hlm 143-157 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n2.2019. 143 -157
ISSN: 1412-8004
143 Pengelolaan Biomassa Tanaman dalam Bioindustri Perkebunan Mendukung Pengembangan Bioenergi
(SUCI WULANDARI, SUMANTO, dan SAEFUDDIN)
PENGELOLAAN BIOMASSA TANAMAN DALAM BIOINDUSTRI
PERKEBUNAN MENDUKUNG PENGEMBANGAN BIOENERGI
Plant Biomass Management in Plantations Bioindustry Supporting Bioenergy
Development
SUCI WULANDARI, SUMANTO, dan SAEFUDDIN
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Indonesian Center of Estate Crops Research and Develompent
Jalan Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111, Indonesia
E-mail: suciwulandari@hotmail.com
ABSTRAK
Biomassa tanaman perkebunan dapat dimanfaatkan
untuk pangan, pakan, dan bioenergi. Hasil penelitian
dan perkembangan teknologi telah mendorong
pemanfaatan biomassa bagian-bagian tanaman
tersebut. Tanaman perkebunan memiliki potensi besar
untuk menghasilkan biomassa yang dapat
dimanfaatkan dalam pengembangan energi
terbarukan. Pemetaan potensi biomassa telah banyak
dilakukan pada tanaman perkebunan, seperti pada:
tebu, kakao, kelapa sawit, kemiri sunan, jarak pagar,
kopi, kelapa dalam, karet dan teh. Pengembangan
sistem produksi pangan dan biomassa untuk
pembangkit energi melalui sistem multi tanam
berbasis komoditas perkebunan telah dikembangkan.
Di Kabupaten Aceh Timur telah dilakukan
pengembangan sistem agroindustri juga
memanfaatkan semua produk samping, mendorong
daur ulang dan pemanfaatan residu. Pemanfaatan
potensi bioenergi masih dihadapkan pada berbagai
kendala distribusi, kontinuitas pasokan bahan dan
aspek ekonomi. Menyikapi hal tersebut langkah
strategis dapat dilakukan melalui: analisis neraca
karbon, alokasi lahan, pemanfaatan lahan,
pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan,
dukungan teknologi, fokus pada nilai tambah yang
tinggi dan perbaikan tata kelola. Selanjutnya perbaikan
pada pengembangan sistem pangan energi terpadu
dapat ditempuh melalui: (1) sosialisasi dari inovasi
teknologi, (2) membentuk kawasan-kawasan pertanian
terpadu di daerah sentra pengembangan dan (3)
memperkuat kelembagaan petani untuk
mengembangkan agroindustri.
Kata kunci: bioindustri, biomassa, tanaman
perkebunan, energi terbarukan
ABSTRACT
Biomass from estate crops can be used for food, feed,
and bioenergy. The results of research and
technological developments have encouraged the
utilization of biomass of these plant parts. Plantation
crops have great potential to produce biomass that can
be utilized in the development of renewable energy.
Mapping of biomass potential has been carried out in
plantation crops, such as: sugar cane, cocoa, oil palm,
candlenut, jatropha, coffee, deep coconut, rubber, and
tea. The development of food and biomass production
systems for energy generation through a commodity-
based multi-cropping system has been developed. In
East Aceh District an agro-industrial system
development has also been carried out utilizing all
byproducts, encouraging recycling and utilizing
residues. The utilization of bioenergy is still faced with
various distribution constraints, continuity of material
supply and economic aspects. In response to this,
strategic steps can be taken through carbon balance
analysis, land allocation, land use, sustainable use of
resources, technology support, focus on high added
value and improved governance. Furthermore,
improvements to the development of integrated energy
food systems can be pursued through (1) socialization
of technological innovations, (2) establishing integrated
agricultural areas in plant centers and (3) strengthening
farmer institutions to develop agro-industries.
Keywords: bioindustry, biomass, estate crops,
renewable energi
PENDAHULUAN
Pemanfaatan biomassa menjadi salah satu
isu strategis dalam pengembangan energi
terbarukan. Biomassa merupakan bahan organik
yang dihasilkan melalui proses fotosintetik.
144 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :143 - 157 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
Selain digunakan untuk tujuan primer serat,
bahan pangan, pakan ternak, minyak nabati,
bahan bangunan, biomassa juga digunakan
sebagai sumber energi. Energi biomassa adalah
energi yang bersumber dari sumber alami yang
dapat diperbaharui. Bahan pembuat biomassa ini
berasal dari dua jenis yaitu hewan yang bisa
berupa mikroorganisme atau makroorganisme,
dan yang berasal dari tumbuhan. Biomassa dapat
berbentuk cair, padat, dan gas. Energi biomassa
ini muncul berdasarkan adanya siklus karbon di
bumi.
Sebagai salah satu sumber energi
terbarukan, biomassa memiliki potensi yang
sangat besar dengan total penyediaan sebesar 60
juta ton setara dengan 50 GW listrik. Secara
global, biomassa mampu menyediakan 11%
energi primer dunia (Dobermann 2007). Potensi
biomassa di Indonesia diperkirakan mencapai
145 M ton setiap tahunnya dan pemanfaatannya
belum dilakukan secara optimum (Suprihatin,
Indrasti and Aryanto 2010).
Di Indonesia setiap tahun dihasilkan ratusan
juta ton limbah pertanian seperti jerami, kulit
padi, seresah tebu, tandan kosong kelapa sawit
dan-lain-lain. Limbah pertanian yang berpotensi
lainnya seperti: ampas tebu, tongkol jagung,
jerami, tempurung dan ampas kelapa, sampah
pasar yang terdiri dari kulit buah-buahan dan
buah-buahan yang mengalami pembusukan, dan
sisa-sisa pengolahan hasil-hasil pertanian lainnya
yang umumnya menjadi sampah dan berpotensi
sebagai pencemar lingkungan (Khaidir 2016).
Tanaman perkebunan yang dibudidayakan
dan potensial untuk sumber bahan bakar nabati
antara lain kelapa sawit, kelapa, jarak pagar,
tebu, dan sagu (Prastowo, 2007). Sistem pertanian
bioindustri terpadu yang berlandaskan pada
pemanfaatan berulang zat hara serta
pemanfaatan biomassa merupakan pilihan sistem
pertanian masa depan karena tidak saja
meningkatkan nilai tambah dari lahan tetapi juga
ramah lingkungan, namun demikian,
pengembangan sistem pertanian bioindustri
diduga masih terbatas.
Sebagian besar limbah pertanian belum
dimanfaatkan, dan lebih banyak dibakar di lahan.
Sebagai bahan bakar padat, limbah pertanian dan
biomassa lainnya dapat secara efektif
dioptimalkan dengan cara mengkonversinya
menjadi bahan bakar gas melalui sebuah reaktor.
Manfaat yang dapat diperoleh melalui daur
ulang bahan organik, nutrien atau mineral dari
limbah pertanian yaitu menghasilkan bioenergi,
mengurangi penggunaan pupuk anorganik,
meningkatkan produktivitas akibat perbaikan
karakteristik tanah (fisik, kimia dan
mikrobiologis), dan mengurangi beban
pencemaran lingkungan. Praktek ini
berkontribusi terhadap pengembangan pertanian
berkesinambungan (sustainable agriculture), yang
merupakan tuntutan bagi praktek pertanian
modern (Suprihatin, Indrasti and Aryanto 2010).
Transformasi pertanian dilaksanakan
dengan pendekatan Sistem Pertanian Bioindustri
Berkelanjutan yang mencakup Sistem Usaha
Pertanian Terpadu (SUPT) tingkat mikro, Sistem
Rantai Nilai Terpadu (SRNT) pada tingkat
industri atau rantai pasok, dan Sistem Pertanian
Bioindustri Terpadu (SPBT) pada tingkat industri
atau komoditas (Kementerian Pertanian, 2013).
Sistem Energi Pangan Terpadu (Integrated Food
Energi System) merupakan sistem secara
bersamaan mampu menghasilkan pangan dan
energi, sebagai cara mencapai komponen energi
melalui intensifikasi tanaman berkelanjutan
melalui pendekatan ekosistem.
Sistem Energi Pangan Terpadu terdiri dari 2
tipe (Bogdanski et al. 2010), tipe pertama,
menggabungkan produksi pangan dan biomassa
untuk pembangkitan energi di lahan yang sama,
melalui sistem multi-tanam atau sistem
pencampuran tahunan dan spesies tanaman
tahunan. Sedangkan tipe kedua, sistem tersebut
dapat dikombinasikan dengan produksi ternak
dan ikan. Tipe kedua memaksimalkan sinergi
antara tanaman, ternak, ikan dan sumber energi
terbarukan yang dicapai melalui adopsi teknologi
agroindustri (seperti gasifikasi atau anaerobik
pencernaan) yang memungkinkan pemanfaatan
semua produk samping, mendorong daur ulang,
dan pemanfaatan residu.
POTENSI BIOMASSA TANAMAN
PERKEBUNAN
Kebijakan energi nasional melalui terbitnya
Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang
145 Pengelolaan Biomassa Tanaman dalam Bioindustri Perkebunan Mendukung Pengembangan Bioenergi
(SUCI WULANDARI, SUMANTO, dan SAEFUDDIN)
Kebijakan Enersi Nasional menetapkan sasaran
penggunaan bahan bakar nabati menjadi lebih
dari 5 % terhadap konsumsi enersi nasional pada
tahun 2025. Kebijakan tersebut diikuti dengan
Instruksi Presiden No. 1 tahun 2006, antara lain
menginstruksikan kepada Kementerian Pertanian
untuk mendorong penyediaan tanaman termasuk
fasilitasi penyediaan benih dan bibitnya,
penyuluhan, dan mengintegrasikan kegiatan
pengembangan dan kegiatan pasca panen bahan
tanaman, untuk mendukung penyediaan bahan
bakar nabati.
Salah satu bagian dari ekonomi berbasis bio
adalah pemanfaatan bioenergi. Pada masa lalu
pemanfaatan bioenergi di Indonesia masih
terbatas pada penggunaan kayu bakar untuk
rumah tangga yang termasuk dalam energi non
komersial. Saat ini pengembangan bioenergi telah
mengarah pemanfaatannya sebagai energi
komersial. Bioenergi telah dimanfaatkan sebagai
bahan bakar maupun untuk pembangkit listrik.
Pemanfatan bioenergi sebagai bahan bakar sudah
dilaksanaan sesuai dengan kebijakan mandatori
Bahan Bakar Nabati (BBN). Kebijakan mandatori
BBN sudah dilaksanakan sejak tahun 2008 dan
saat ini yang paling besar pemanfaatannya untuk
biodiesel dalam bentuk biosolar (15% biodiesel)
yang mencapai 13,9 juta KL pada tahun 2015.
Selain itu bioenergi juga sudah mulai digunakan
khususnya di industri kelapa sawit, pulp dan
kertas serta industri gula. Industri kelapa sawit
banyak menghasilkan limbah padat (cangkang,
serat, dan tandan kosong) dan limbah cair
(POME). Cangkang dan serat digunakan sebagai
bahan bakar untuk boiler sedangkan tandan
kosong digunakan sebagai pupuk. Limbah cair
dapat digunakan untuk menghasilkan biogas
sebagai bahan bakar untuk PLTG. Industri pulp
dan kertas memanfaatkan produk samping yang
berupa bark dan lindi hitam (black liquor) serta
non-condensate gas dan bio-sludge sebagai sumber
energi untuk proses industri. Industri gula
memanfaatkan bagasse tebu sebagai bahan bakar
untuk proses industri.
Bioenergi memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan di Indonesia mengingat
ketersediaan bahan baku dan lahan cukup
melimpah. Berdasarkan sumbernya, bioenergi
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
perkebunan sebagai sumber energi, produk
samping dan residu, serta limbah organik.
Sedangkan bentuk fisik bioenergi dapat
berbentuk padat, cair dan gas. Secara umum
yang bisa dijadikan bioenergi diantaranya
mencakup: kayu bakar, limbah penebangan,
limbah industri kayu, limbah pertanian, briket
kayu, arang, serta briket arang. Teknologi
produksi dan pemanfaatan bioenergi juga terus
berkembang dan banyak terobosan baru yang
sudah ditemukan.
Pengembangan bioenergi bisa menjadi salah
satu program untuk mendukung kegiatan
ekonomi berbasis bio. Sebagai contoh
pengembangan perkebunan energi seluas 10 juta
hektar mampu menghasilkan bioenergi sebesar
40 juta ton per tahun atau setara dengan produksi
bahan bakar minyak (BBM) sebesar 750 ribu barel
per hari (Sugiyono et al., 2014). Energi
perkebunan ini penting untuk dipertimbangkan
mengingat impor BBM terus meningkat serta
dapat meningkatkan ketahanan energi nasional
dalam jangka panjang.
Pengembangan ekonomi berbasis bio di
Indonesia secara historis dapat ketahui dari
pengembangan sektor pertanian, perkebunan dan
kehutanan. Sejak dicanangkan Pembangunan
Lima Tahun (Pelita) pada tahun 1969,
Pemerintah Indonesia sangat memperhatikan
sektor pertanian. Pada Pelita I (1969-1973) sampai
Pelita IV (1984-1989) pemerintah
memprioritaskan pembangunan di sektor
pertanian. Mulai Pelita V (1989-1994)
menitikberatkan pada sektor pertanian yang
didukung oleh industri. Pengembangan sektor
pertanian yang didukung sektor industri dapat
dimaknai sebagai wujud dari pemanfaatan
biomassa yang modern. Pola dasar Pelita tersebut
relevan dengan arah pengembangan
perekonomian dunia yangkembali
mengembangkan biomassa untuk mendukung
perekonomian secara keseluruhan. Sektor
pertanian dan ditambah dengan sektor
perkebunan dan kehutanan dimasa datang bisa
dikembangkan sebagai sumber pasokan energi
tebarukan dan penghasil material dan bahan
kimia khusus yang mempunyai nilai tambah
tinggi. Meskipun saat ini perekonomian
Indonesia masih berbasis fosil, namun secara
146 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :143 - 157 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
historis dan perencanaan ke depan dapat
diarahkan menjadi ekonomi berbasis bio.
Proses konversi biomassa dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu termokimia,
kimia fisik, dan bio kimia. Dari hasil proses ini,
bioenergi yang dapat berbentuk padat, cair dan
gas. Proses konversi biomassa yang konvensional
tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut
melalui pengembangan sistem integrase hulu
sampai hilir menjadi biorefinery. Di Indonesia
pemikiran dan program menuju terciptanya
ekonomi berbasis bio melalui pengembangan
biorefinery terus berjalan dan dilakukan. Proyek i-
Biol merupakan salah satu contoh
pengembangan biorefinery di Indonesia. Proyek
ini merupakan hasil kolaborasi implementasi
pendanaan dari JST-JICA Science and Technology
Research Partnership for Sustainable Development
(JST-JICA SATREPS) pada tahun 2013-2018.
Teknologi pengembangan BBN generasi
pertama memanfaatkan hasil utama pertanian
seperti minyak kelapa sawit, minyak kelapa,
minyak nyamplung, minyak jarak, molases, umbi
ubikayu, dan lainnya. Di sisi lain, tersedia limbah
pertanian dan kehutanan sebagai sumber
lignoselulosa yang dapat menjadi sumber energi
yang menjanjikan. Pemanfaatan limbah tersebut
diharapkan akan mengurangi masalah
lingkungan serta mendatangkan keuntungan
dengan menjadikan tingginya nilai tambah dari
limbah tersebut. Pengembangan BBN generasi
dua mengacu kepada biofuel yang dibuat dari
bahan non pangan. Bahan non pangan adalah
bahan non pangan atau biomassa padat yang
merupakan bahan berlignoselulosa, misalnya:
limbah padat pertanian dan kehutanan seperti
jerami, sekam, tandan kosong kelapa sawit, bagas
tebu, kayu-kayuan, rumput dan bahan lainnya.
Prinsip pemanfaatan yaitu bahwa bahan
biomassa yang diproduksi tidak terlalu
tergantung kepada luasan lahan maupun
produktivitas hasil pokok tanaman tersebut
(Prastowo and Richana 2014).
Biomassa mengandung bahan organik tinggi
yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang
memiliki kadar energi (Iskandar and Siswati
2012). Biomassa dapat dibedakan dalam tiga
kelompok besar, yaitu biomassa kayu, biomassa
bukan kayu, dan bahan-bakar sekunder (Calle
2007). Biomassa dapat juga dibagi ke dalam
empat kategori: (1) biomassa hutan dan limbah
hutan, (2) tanaman energi, (3) limbah pertanian
dan (4) limbah organik (Biomass Energi Europe.
2010). Klasifikasi potensi energi biomassa
menurut Biomass Energi Europe, terdapat lima
jenis potensi sumber energi biomassa yaitu
biomassa teoritis, teknis, ekonomis, implementasi
dan implementasi berkelanjutan (Biomass Energi
Europe 2010):
a. Potensi Teoritis adalah jumlah maksimum
keseluruhan biomassa yang secara teoritis
tersedia untuk produksi bioenergi dengan
batasan biofisika dasar. Potensi teoritis
biasanya dinyatakan dalam joule energi
primer, yaitu energi yang terkandung dalam
bahan mentah biomassa, yang belum
diproses. Energi primer diubah menjadi
energi sekunder, seperti listrik, bahan bakar
cair, dan bahan bakar gas. Dalam kasus
biomassa dari tanaman dan hutan, potensi
teoritis menggambarkan produktivitas
maksimum di bawah pengelolaan optimal
teoritis dengan mempertimbangkan batasan-
batasan seperti kondisi tanah, suhu, radiasi
matahari, dan curah hujan.
b. Potensi Teknis adalah bagian dari potensi
teoritis yang tersedia di bawah kondisi tekno-
struktural dengan teknologi yang tersedia,
misalnya teknik panen, infrastruktur dan
aksesibilitas, dan teknik pengolahan. Potensi
teknis juga mempertimbangkan kondisi
spasial terkait penggunaan lahan (misal
untuk produksi pangan, pakan, dan serat)
termasuk aspek ekologis (yaitu cadangan
alami) dan kandala akibat kemungkinan
penggunaan non-teknis. Potensi teknis
biasanya dinyatakan dalan Joule energi
primer, tapi terkadang juga dinyatakan
dalam satuan sekunder untuk energi.
c. Potensi Ekonomis adalah bagian dari potensi
teknis yang memenuhi kriteria keuntungan
ekonomis dalam kondisi tertentu. Potensi
ekonomi pada umumnya mengacu kepada
energi bio sekunder walaupun kadang-
kadang energi bio primer juga
dipertimbangkan. Hasil akhir dari penilaian
potensi ekonomis adalah dalam bentuk
Supply Curve (Rp/ton).
147 Pengelolaan Biomassa Tanaman dalam Bioindustri Perkebunan Mendukung Pengembangan Bioenergi
(SUCI WULANDARI, SUMANTO, dan SAEFUDDIN)
d. Potensi Implementasi adalah bagian dari
potensi ekonomis yang dapat diterapkan
pada periode waktu tertentu dan pada
kondisi sosio-politik, mencakup hambatan
ekonomi, institutional dan sosial. Potensi
implementasi fokus pada kelayakan atau
dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial
dari kebijakan bioenergi.
e. Potensi Implementasi Berkelanjutan adalah
gabungan kriteria-kriteria keberlanjutan
lingkungan, ekonomi, dan sosial dari
penilaian sumber biomassa.
Secara teknis limbah biomassa pertanian dan
perkebunan memiliki kandungan lignoselulosa
yang cukup tinggi yang dapat didegradasi
menjadi bentuk yang lebih sederhana yaitu
glukosa sebagai bahan baku bioetanol. Oleh
karena itu, limbah perkebunan dapat menjadi
sumber energi alternatif, baik diproses menjadi
cairan bioetanol maupun proses gasifikasi
menjadi gas. Teknologi biofuel generasi baru
yang banyak dibahas saat ini adalah dengan
mengembangkan proses konversi bio untuk
menghasilkan dan konversi-termal untuk
menghasilkan gas, yang sebenarnya dapat
diproses menjadi biodiesel ataupun bioavtur dan
sejenisnya. Teknologi ini dikenal sebagai
teknologi biofuel generasi kedua dan banyak
dikembangkan berbagai negara (Prastowo and
Richana, 2014).
Pertanian bioindustri merupakan
pemanfaatan potensi dengan meninggalkan
sedikit mungkin limbah yang tidak bermanfaat
dan menggunakan sesedikit mungkin input
produksi dan energi dari luar (Prastowo 2015).
Pertanian bioindustri juga mengacu kepada
pemahaman terbangunnya keseimbangan karena
siklus pertanian (Sumanto dan Prastowo 2016).
Pada uraian dibawah ini dibahas pohon biomassa
berbagai tanaman perkebunan sebagai hasil
penelitian yang dilaksanakan pada 2015-2017.
Ketersediaan bobot biomassa diperkirakan dari
perkalian luas areal TM komoditas dikalikan
dengan potensi biomassa per hektar yang
diperoleh dari hasil penelitian.
1. Tanaman Tebu
Pohon biomassa tanaman tebu yang
potensial terukur meliputi daun, batang dan
akarnya, dengan bobot sebagian besar berada
pada bagian batang yaitu sekitar 84,76-92,0 %
dari bobot biomassa tanaman tebu secara
keseluruhan baik umur 6 bulan maupun 12 bulan
(Tabel 1). Walaupun diproses lebih lanjut
menjadi bagas dan nira, bobot bagas masih
paling besar dibandingkan dengan daun maupun
akarnya. Untuk diubah menjadi bioetanol
sebenarnya adalah biomassa yang menggandung
hemiselulosa dan selulosa tinggi. Akar yang
selulosanya tinggi tetapi bobotnya rendah. Jadi
pada tebu batang yang menjadi biomassa utama
yang dikenal selama ini yaitu memanfaatkan
bagasnya.
Ketersediaan bobot biomassa tanaman tebu
secara nasional cukup besar yaitu 18.866.263 ton
per tahun, biomassa tersebut terdiri atas batang
daun dan akar yang dapat dimanfaatkan untuk
berbagai sumber energi. Bagian batang berupa
ampas tebu oleh Pabrik gula pada umumnya
digunakan untuk menghidupkan turbin, listrik
yang dihasilkan digunakan untuk menggerakan
mesin prosesing tebu menjadi gula. Demikian
juga pada perajin gula merah ampas tebu
digunakan untuk mengolah nira tebu menjadi
gula merah. Sedang daun yang tertinggal saat
panen belum dimanfaatkan secara optimal
biasanya petani membakar daun kering di lahan
Tabel 1. Ketersediaan bobot biomassa tanaman tebu
No Bagian Tanaman Potensi per rumpun
(berat kering kg)
Potensi per ha
(20.000 rumpun
ton/ha)
Potensi Nasional (ton)*
1 Batang 1,65 32.980 8.175.181.340
2 Daun 0,34 6.820 1.690.562.060
3 Akar 0,09 1.740 431.316.420
Jumlah 2,07 41.54 10.297.060
Sumber: Prastowo, 2015; Ditjenbun 2019a, *data perhitungan
148 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :143 - 157 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
pertanaman tebu setelah panen. Dengan asumsi
luas lahan sebesar 247.883 ha, maka biomassa
daun tebu yang tertinggal besarnya secara
nasional 1.690.562.060 ton (Tabel 1) seharusnya
dapat dimanfaatkan sebagai sumber bioenergi.
2. Tananaman Karet
Berdasarkan pengukuran bagian tanaman
karet diperoleh bahwa bagian batang merupakan
bagian paling berat dibanding dengan bagian
yang lain yaitu sebesar 216,81 kg (43,15%) per
tanaman sedang cabang merupakan bagian
terbesar kedua setelah batang yaitu sebesar
209,03 kg (41,6%). Sedangkan daun merupakan
bagian terecil sebesar 22,63 kg (4,51%)
Karet merupakan tanaman berkayu dan
dapat tumbuh besar selain sebagai sumber
biomassa batang tanaman karet dapat digunakan
sebagai bahan bangunan karena mutu kayu
tersebut rendah sehingga pemanfaatan sebagai
bahan bangunan sangat terbatas. Pemanfaatan
karet sebagai biomassa masih sangat minim oleh
petani dan hanya digunakan sebagai kayu bakar.
Dengan luas areal sebesar 3.680.428 ha, secara
nasional ketersediaan biomassa dari tanaman
karet sangat besar yaitu 880.655.424.944 ton
(Tabel 2). Pemanfaatan biomassa tanaman karet
secara maksimal sebagai bioenergi antara lain
untuk pembangkit listrik atau dalam bentuk
selulose akan mengurangi penggunaan energi
fosil.
3. Tanaman Kelapa Sawit
Batang kelapa sawit merupakan komponen
tanaman yang paling tinggi sebesar 448,36 kg
(53,57%) dibanding dengan bagian yang lain.
Sedang komponen tertinggi ke dua adalah
pelepah dan daun sebesar 280,67 kg (33,53%)
kedua bagian ini merupakan bagian tanaman
yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
bioenergi tapi belum banyak dimanfaatkan.
Luas tanaman sawit di Indonesia diatas
10.448.224 hektar sehingga ketersediaan bobot
biomassa tanaman sawit sangat besar
1.620.617.755.706 ton (Tabel 3). Pemanfaatan dari
biomassa tanaman sawit masih sangat minim,
penggunaanya saat ini sebatas kayu bakar,
bahkan pada saat replanting perusahaan
perkebunan sawit membuang bagian tanaman
berupa batang dan pelepah daun melapuk dan
membusuk. Untuk itu pemanfaatan biomassa
sawit untuk lebih optimal diperlukan teknologi
pemanfaatan batang dan pelepah sawit.
4. Tanaman Teh
Hasil pengamatan tanaman teh diperoleh,
bahwa bagian biomassa tertinggi pada tanaman
teh adalah bagian batang, bagian akar, serta
Tabel 2. Ketersediaan bobot biomassa tanaman karet
No. Bagian tanaman Potensi per tanaman
(berat kering kg)
Potensi per ha
populasi 476 tanaman
per ha (ton/ha)
Potensi Nasional (ton)*
1. Batang 216,81 103.242,75 379.977.507.897
2. Cabang 209,03 99.538,00 366.342.442.264
3. Akar 54,02 25.723,78 94.674.520.178
4. Daun 22,63 10.776,18 39.660.954.605
Jumlah 502,48 239.280,71 880.655.424.944
Sumber: Prastowo, 2017; Ditjenbun 2019b, *data perhitungan
Tabel 3. Ketersediaan bobot biomassa tanaman kelapa sawit
No. Bagian tanaman Potensi per tanaman
(berat kering kg)
Potensi per ha
populasi 138/ha
(ton/ha)
Potensi Nasional (ton)*
1. Batang 448,36 61.873,68 646.470.068.344
2. Pelepah dan daun 280,67 38.732,46 404.685.418.151
3. Akar 108,01 14.905.38 155.734.749.045
Jumlah 837,04 155.109,4 1.620.617.755.706
Sumber: Prastowo, 2015; Ditjenbun 2019c, *data perhitungan
149 Pengelolaan Biomassa Tanaman dalam Bioindustri Perkebunan Mendukung Pengembangan Bioenergi
(SUCI WULANDARI, SUMANTO, dan SAEFUDDIN)
cabang dan renting dan bagian yang paling
rendah yaitu bagian daun berturut-turut 7,12 kg,
6,53 kg, 2,09 kg, dan 0,56 kg (Tabel 4).
Potensi biomassa tanaman teh cukup besar
namun pemanfaatannya sebagai bioenergi belum
banyak dilakukan pada saat peremajaan
umumnya petani/perusahaan perkebunan
membakar setelah kering. Dengan luas areal
sebesar 88.799 ha, maka ketersediaan biomassa
mencapai 13.402.965.864 ton.
4. Tanaman Kakao
Biomassa sebagian besar tanaman kakao
adalah dari ranting kecil, ranting cabang sampai
pada batang utamanya, berturut-turut 7,89%,
26,93%, dan 32,11% (Tabel 5). Jika dijumlahkan
bobotnya sekitar 77% dari bobot biomassa
tanaman umur 22 tahun dan sekitar 74 % untuk
tanaman umur sekita 5 tahun. Jumlah ini dapat
dimanfaatkan saat peremajaan pertanaman,
sedangkan daun digunakan sebagai bahan pakan
maupun bahan pupuk organik.
Secara nasional potensi biomassa tanaman
kakao cukup besar yaitu 43.660.074.096 ton dari
luasan sebesar 801.264 ha. Hasil peremajaan pada
umumnya belum digunakan sebagai bioenergi
secara maksimal, petani biasanya kayu hasil
bongkaran kakao hanya digunakan sebagai kayu
bakar.
5. Tanaman Kopi Arabika
Sebagian besar biomassa tanaman kopi
arabika adalah bagian batang, cabang dan
ranting. Bagian batang sebesar 4,48 kg (27,95%),
bagian cabang dan ranting sebesar 4,07 (25,39%)
sedang bagian biomassa terendah pada bagian
buah sebesar 1,98 kg (12,35%) (Tabel 8). Potensi
biomassa tanaman kopi arabika belum terlalu
besar, tanaman kopi arabika ditanam pada
dataran tinggi dan jumlah masih terbatas.
6. Tanaman Kopi Robusta
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
biomassa tertinggi tanaman kopi robusta adalah
bagian batang sebesar 17,09 kg (40,71%), bagian
akar merupakan bagian tertinggi kedua setelah
batang sebesar 10,18 kg (24,25%),bagian cabang
dan ranting sebesar 9,16 kg (21,82%), daun
sebesar 3,34 kg (7,96%) dan terendah bagian buah
seberat 2,21 kg (5,26.%) (Tabel 7).
Secara nasional potensi biomassa kopi
robusta cukup besar yaitu 4.983.794.779 ton
namun pemanfaatannya saat peremajaan masih
sangat terbatas hanya untuk kayu bakar saja
Tabel 4. Ketersediaan bobot biomassa tanaman teh
No. Bagian tanaman Potensi per tanaman
(berat kering kg)
Potensi per ha dengan
populasi 9,260
tanaman per ha
(ton/ha)
Potensi Nasional (ton)*
1. Daun 0,56 5.185,60 460.476.094
2. Cabang dan ranting 2,09 19.353,40 1.718.562.567
3. Batang 7,12 65.931,20 5.854.624.629
4. Akar 6,53 60.467,80 5.369.480.172
Jumlah 16,30 150.936,0 13.402.965.864
Sumber: Prastowo, 2017; Ditjenbun 2019d, *data perhitungan
Tabel 5. Ketersediaan bobot biomassa tanaman kakao
No. Bagian tanaman Potensi per tanaman
berat kering (kg)
Potensi per ha
(ton/ha) Potensi Nasional (ton)*
1. Batang 11,58 1.737,0 1.391.795.568
2. Daun 7,98 1.236,9 991.083.442
3. Cabang dan ranting 12,55 1.882,5 1.508.379.480
4. Akar 3,73 559,5 448.307.208
5. Buah 0,22 330,0 264.417.120
Jumlah 36,05 54.489 43.660.074.096
Sumber: Prastowo, 2015; Ditjenbun 2019e, *data perhitungan
150 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :143 - 157 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
bahkan hanya dibiarkan di kebun sampai
melapuk.
7. Tanaman Kelapa
Biomassa tertinggi pada tanaman kelapa
adalah bagian batang sebesar 622,75 kg (63,85%)
dan biomassa tertinggi adalah bagian akar
sebesar 230,01 kg (23,58%) selanjutnya bagian
pelepah dan daun sebesar 96,19 kg (9,86%) dan
terendah bagian buah sebesar 26,19 kg (2,69%)
Tabel 8.
Secara nasional biomassa tanaman kelapa
yaitu 394.838.451.478 ton dari luasan sebesar
2.594.849 (Tabel 8). Tanaman kelapa hampir
menyebar seluruh Indonesia tanaman yang
sudah tua banyak digunakan sebagai bahan
bangunan namun selebihnya biasanya petani
menggunakan sebagai kayu bakar baik batang
yang masih muda, pelepah daun, sabut,
tempurung dan bagian lainnya.
KEGIATAN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN MENDUKUNG
PEMANFAATAN BIOMASSA
Pembangunan bioindustri yang terpadu
dengan sumber biomassa sesuai konsep
biorefinery merupakan langkah awal strategis
untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian
dan sekaligus mengurangi ketergantungan
pengolahan hasil pertanian dari energi fosil
melalui pemanfaatan limbah pertanian sebagai
sumber energi untuk pengolahan (Kementerian
Pertanian 2013). Transformasi menuju Sistem
Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan dilaksanakan
secara bertahap dengan titik berat yang berbeda
yaitu:
1. Tahap pertama, pembangunan Sistem
Pertanian Bioindustri Berkelanjutan akan
dititikberatkan pada pengembangan Sistem
Pertanian-Energi Terpadu (SPET). Pada
subsistem usahatani primer, SPET
Tabel 6. Ketersediaan bobot biomassa tanaman kopi arabika
No. Bagian tanaman Potensi per tanaman
(berat kering kg)
Potensi per ha dengan
populasi 1.600
tanaman per ha
(ton/ha)
Potensi Nasional (ton)*
1. Cabang dan ranting 4,07 6.512 2.151.395
2. Batang 4,85 7.760 2.563.702
3. Buah 1,98 3.168 1.046.624
4. Daun 2,91 4.656 1.538.221
5. Akar 2,22 3.552 1.173.488
Jumlah 16,03 25.648 8.473.432
Sumber: Prastowo, 2016; Ditjenbun 2016a, *data perhitungan
Tabel 7. Ketersediaan bobot biomassa tanaman kopi robusta
No. Bagian tanaman Potensi per tanaman
berat kering (kg)
Potensi per ha dengan
populasi 1.333
tanaman per ha
(ton/ha)
Potensi Nasional (ton)*
1. Cabang dan ranting 9,16 12.210,28 1.087.459.747
2. Batang 17,09 22.780,97 2.028.895.969
3. Buah 2,21 2.945,93 262.367.471
4. Daun 3,34 4.452,22 396.519.165
5. Akar 10,18 13.569,94 1.208.552.426
Jumlah 41,98 55.959,34 4.983.794.779
Sumber: Prastowo, 2016; Ditjenbun 2016b, *data perhitungan
151 Pengelolaan Biomassa Tanaman dalam Bioindustri Perkebunan Mendukung Pengembangan Bioenergi
(SUCI WULANDARI, SUMANTO, dan SAEFUDDIN)
didasarkan pada inovasi bioteknologi yang
mampu menghasilkan biomassa setinggi
mungkin untuk dijadikan sebagai feedstock
dalam menghasilkan bioenergi. Pengem-
bangan SPET juga merupakan strategi yang
tepat untuk meningkatkan kesejahteraan
petani kecil dan pengentasan kemiskinan di
perdesaan;
2. Tahap kedua, pengembangan sistem
bioindustri (primer dan sekunder) yang
terpadu dengan sistem pertanian
agroekologis di perdesaan melalui
pengembangan industri biorefinery primer
utamanya yang menghasilkan karbohidrat
untuk mensubstitusi produk-produk impor
dalam rangka mewujudkan kedaulatan
pangan. Pada tahapan ini dikembangkan
pula biorefinery sekunder yang mensubstitusi
produk-produk berbasis fosil dan tidak
terbarukan dengan bioproduk. Pada akhir
tahapan ini, perekonomian Indonesia telah
mengalami transformasi menjadi
perekonomian berbasis bioindustri;
3. Tahap ketiga, dititikberatkan pada
pengembangan sektor bioservice yakni,usaha
jasa berkaitan dengan bioekonomi seperti
jasa penelitian dan pengembangan, jasa
konstruksi biorefinery, jasa pengembangan
biobisnis, jasa biomedis, jasa bioremediasi
lingkungan, jasa pengujian dan standardisasi
bioproduk dan biotools, dan sebagainya.
Sektor jasa sangat padat ilmu pengetahuan
hayati dan bioengineering termaju;
4. Tahap keempat, adalah pembangunan Sistem
Pertanian Bioindustri Berkelanjutan yang
berimbang dan berbasis ilmu pengetahuan
dan teknologi maju. Bila tahap ini dapat
dicapai, maka perekonomian Indonesia
mengalami revolusi bioekonomi. Pada
tahapan inilah terwujud Indonesia yang
bermartabat, mandiri, maju, adil dan
makmur.
Energi terbarukan adalah energi yang
bersumber dari alam dan secara
berkesinambungan dapat terus diproduksi.
Sumber alam yang dimaksud dapat berasal dari
matahari, panas bumi (geothermal), angin, air
(hydropower) dan berbagai bentuk dari biomassa.
Kelebihan dari energi terbarukan di antaranya
dapat dirubah menjadi tenaga listrik, dan dapat
dikemas dalam bentuk cair untuk kepraktisan
pendistribusiannya. Karakteristik energi
terbarukan yang demikian sangat sesuai dengan
perkembangan teknologi di sektor pertanian,
misalnya mesin pertanian berbahan bakar
biodiesel atau bioetanol alat pengeringan dan
penyimpanan, dan alat komunikasi pertanian
yang bertenaga listrik (Prastowo, 2007).
Mekanisasi pertanian pada aspek budidaya dan
pengembangan agroindustri tingkat pedesaan
akan terus mengalami perkembangan dan
membutuhkan energi yang mudah terjangkau
baik dari sisi tempat, jumlah, maupun harga.
Biomassa juga dapat diubah menjadi biogas
menggunakan reaktor digestasi anaerob, di mana
bakteri akan mendigestasi biomassa dan
menghasilkan biogas, yang dapat dimanfaatkan
untuk pengoperasian mesin-mesin pengering di
pedesaan (Prastowo et al. 2010).
Tingkat potensi biomassa berdasarkan
ketersediaan pasokan sumber daya yang tidak
termanfaatkan yang dapat diperoleh dari sisa
hasil pertanian menunjukkan potensi besar untuk
energi alternatif kelistrikan (Papilo et al., 2018).
Tabel 8. Ketersediaan bobot biomassa tanaman kelapa
No. Bagian tanaman Potensi per tanaman
(berat kering kg)
Potensi per ha
populasi 156 per ha
(ton/ha)
Potensi Nasional (ton)*
1. Batang 622,75 97.149,0 252.086.985.501
2. Buah 26,19 4.085,64 10.601.618.868
3. Pelepah dan daun 96,45 15.046,2 39.042.617.024
4. Akar 230,01 35.881,56 93.107.230.084
Jumlah 975,4 152.162,4 394.838.451.478
Sumber: Prastowo, 2016; Ditjenbun 2019f, *data perhitungan
152 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :143 - 157 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
Keberhasilan pengembangan biomassa di
Indonesia bergantung pada pengembangan
produk biomassa skala industri yang
dikombinasikan dengan inovasi teknologi.
Pada subsistem bioindustri, SPET
didasarkan pada inovasi bioengineering untuk
mengolah feedstock yang dihasilkan pada
subsistem usahatani primer menjadi energi dan
bioproduk, termasuk pupuk untuk usahatani
sehingga trade-off ketahanan pangan dan
ketahanan energi akan dapat dihindarkan
(Kementerian Pertanian 2013). Melalui kegiatan
kemitraan telah dilakukan kegiatan penelitian
dan pengembangan dalam rangka
mengembangkan model SPET berbasis
komoditas perkebunan. Kegiatan ini merupakan
upaya untuk mengimplementasikan berbagai
model SPET yang menggunakan pendekatan
bioindustri melalui kegiatan kemitraan. Beberapa
judul tersebut diantaranya adalah sebagai
berikut: (1) Pengembangan Model Pertanian
Terpadu Berbasis Seraiwangi di Sulawesi Selatan,
(2) Pengembangan Tanaman Perkebunan dan
Hortikultura Integrasi dengan Ternak di
Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan, (3)
Dukungan Inovasi Teknologi Badan Litbang
Pertanian Untuk Pengembangan Bioindustri
Pertanian di Kabupaten Aceh Timur, (4) Model
BioIndustri Berbasis Kemiri Sunan, (5)
Pengembangan Proses Produksi Bioetanol Fuel
Grade Tipe Mobile Berbasis Tanaman
Perkebunan, (6) Model Penerapan Teknologi
Kemiri Sunan [Reutealis trisperma (Blanco) Airy
Shaw] Dengan Tanaman Pangan Berwawasan
Konservasi di Lahan Bekas Tambang Emas
Kabupaten Buru Provinsi Maluku, (7) Model
Pengembangan Kemiri Sunan [Reutealis
trisperma (Blanco) Airy Shaw] Dengan Tanaman
Pangan di Lahan Bekas Tambang Batubara
Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi
Kalimantan Timur, (8) Pengembangan Proses
Produksi Bioetanol Fuel Grade Tipe Mobile
Berbasis Tanaman Perkebunan, (9) Model
Pengembangan Tanaman Seraiwangi Berbasis
Kawasan, (10) Penerapan Teknologi Model
Pengembangan Kopi Arabika Di Kabupaten
Garut Jawa Barat, (11) Optimalisasi Pemanfaatan
Lahan dan Diversifikasi Produk Tanaman Kelapa
di Dumai Provinsi Riau, dan (12) Peningkatan
Kualitas Tanaman, Relokasi Kebun Plasma
Nutfah Kopi Serta Pemeliharaan Sarana dan
Prasarana Pendukungnya Menuju Sistem
Pertanian Bioindustri Berkelanjutan
“Dukungan Inovasi Teknologi Badan
Litbang Pertanian untuk Pengembangan
Bioindustri Pertanian di Kabupaten Aceh Timur”
merupakan kegiatan kemitraan yang bertujuan
untuk mengembangkan sistem bioindustri. Hal
ini dilatarbelakangi oleh produktivitas tanaman
kakao rakyat yang masih rendah. Hal ini
disebabkan oleh rendahnya populasi, banyaknya
tanaman rusak, dan serangan hama dan
penyakit. Hal yang sama juga terjadi pada
tanaman pisang, dalam kurun waktu lima tahun
terakhir, tanaman pisang diserang oleh penyakit
yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia
solanacearum sehingga luas dan produksi
tanaman pisang menurun masing-masing 30%-
35%. Penurunan produksi ini menyebabkan
pendapatan petani menjadi semakin rendah.
Melalui kegiatan pengembangan sistem industri
diharapkan akan terjadi peningkatan produksi
kakao dan pisang melalui pendekatan
pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu
hasil penerapan teknologi Badan Litbang
Pertanian di Kabupaten Aceh Timur (Syakir and
Ferry 2011).
Sistem pertanian bioindustri merupakan
sistem yang mengoptimalkan semua potensi
yang terdapat di lokasi, tidak terkecuali limbah
dari suatu proses budidaya dan pasca panen.
Pola tanam kakao, pisang, dan ternak tidak
hanya mengoptimalkan penggunaan lahan tetapi
juga membuka peluang diversifikasi produk,
penyediaan pakan ternak dan penyediaan pupuk
organik. Terdapat peluang untuk meningkatkan
pendapatan petani, yaitu dengan diversifikasi
pertanaman untuk memperkuat usahatani
perkebunan. Optimalisasi lahan perkebunan
kakao dapat ditempuh dengan pola tanam kakao
dan tanaman pisang. Agar tidak terjadi
persaingan diperlukan inovasi teknologi pola
tanam kakao pisang berbasis pengelolaan
tanaman terpadu.
Budidaya tanaman kakao dan tanaman
pisang merupakan penerapan teknologi pola
tanam yang memberikan keuntungan dan
meningkatkan daya guna lahan. Tanaman kakao
153 Pengelolaan Biomassa Tanaman dalam Bioindustri Perkebunan Mendukung Pengembangan Bioenergi
(SUCI WULANDARI, SUMANTO, dan SAEFUDDIN)
yang rusak direhabilitasi dan tanaman pisang
kembali ditanam di dalam baris tanaman kakao,
dengan jarak tanam 9 x 9 m. Sebagai penyediaan
benih dibangun kebun induk pisang sehat, dan
juga ternak untuk mendukung pemanfaatan
limbah dari serasah, kulit buah kakao menjadi
kompos dan pakan ternak. Penerapan budidaya
kakao dan pisang akan mendorong berdirinya
kembali industri rumah tangga dan industri
berbahan baku pisang lainnya yang didukung
oleh produksi biji cokelat dan pasta, yang
akhirnya meningkatkan pendapatan petani.
Tanaman kakao dan pisang menghasilkan
biomassa dalam jumlah relatif besar. Tanaman
kakao melalui pemangkasan wiwilan dan
produksi menghasilkan daun yang dapat
digunakan sebagai pakan ternak, hal yang sama
juga terjadi pada pisang, baik dari kulit buah
maupun daun dan batang pisang. Potensi
penyediaan pakan ternak tersebut memberikan
peluang untuk dintegrasikan dengan ternak
kambing. Pemberian pakan ternak kambing dari
daun kakao, berpengaruh pada pelaksanaan
pangkasan tunas air dan cabang atau ranting
yang tidak produktif sehingga kanopi tanaman
kakao menjadi lebih baik dan setting buah
meningkat. Selain itu kotoran kambing menjadi
bahan yang dapat memperkaya kompos yang
dibuat dari biomassa kakao dan pisang sebagai
pupuk organik ke dua tanaman tersebut.
KENDALA SISTEM PERTANIAN
BIOINDUSTRI BERKELANJUTAN
Transformasi menuju Bioindustri
Perkebunan Berkelanjutan masih dihadapkan
pada berbagai permasalahan. Permasalahan
tersebut meliputi: pengembangan sistem
bioindustri, pemanfaatan potensi bioenergi dan
maupun pemanfaatan biomassa. Pemanfaatan
potensi bioenergi masih dihadapkan pada
berbagai kendala yaitu distribusi dan kontinuitas
pasokan bahan. Sumber limbah pertanian
diperoleh dari komoditi tanaman pangan dan
ketersediaannya dipengaruhi oleh pola tanam
dan luas areal panen dari tanaman pangan di
suatu wilayah (Lima, 2012).
Secara umum teknologi konversi biomassa
menjadi bahan bakar dapat dibedakan menjadi
tiga tahapan: pembakaran langsung, konversi
termokimia dan konversi biokimia. Pembakaran
langsung merupakan teknologi yang paling
sederhana karena pada umumnya biomassa telah
dapat langsung dibakar. Beberapa biomassa
perlu dikeringkan terlebih dahulu dan
didensifikasi untuk kepraktisan dalam
penggunaan. Konversi termokimiawi merupakan
teknologi yang memerlukan perlakuan termal
untuk memicu terjadinya reaksi kimia dalam
menghasilkan bahan bakar. Sedangkan konversi
biokimiawi merupakan teknologi konversi yang
menggunakan bantuan mikroba dalam
menghasilkan bahan bakar(Arhamsyah 2010).
Sebagai bahan bakar, biomassa perlu
dilakukan pengolahan terlebih dahulu agar dapat
lebih mudah dipergunakan yang dikenal sebagai
konversi biomassa. Teknologi konversi biomassa
tentu saja membutuhkan perbedaan pada alat
yang digunakan untuk mengkonversi biomassa
dan menghasilkan perbedaan bahan bakar yang
dihasilkan. Kendala teknologi terkait
pemanfaatan biomassa relatif kecil, walaupun
beberapa teknologi masih diperoleh dari negara
lain. Kendala yang dihadapi bukanlah masalah
teknologi, tetapi lebih pada kontinuitas pasokan
bahan padatan, distribusi, dan bentuk akhir
konversi energi yang tepat pakai oleh masyarakat
(Prastowo 2007).
Permasalahan terkait dengan
pengembangan sistem bioindustri, pemanfaatan
potensi bioenergi, dan pemanfaatan biomassa
sangat dipengaruhi tanaman yang menjadi bahan
baku. Pembuatan bioetanol dari bahan baku ubi
kayu dan produksi bioetanol dari biomassa tebu
dihadapkan pada permasalahan yang berbeda.
Pembuatan bioetanol dari bahan baku ubi
kayu yang umumnya dilakukan oleh industri
skala menengah dan besar, dihadapkan pada
permasalahan aspek teknis yaitu: (1) kontinuitas
bahan baku, di mana untuk kebutuhan produksi
bioetanol dan (2) persaingan bahan baku antara
penggunaan untuk pangan (tapioca) dan sebagai
bahan baku bioethanol (Agustian, 2015).
Ampas tebu sebagai limbah pabrik gula
merupakan salah satu bahan lignoselulosa yang
potensial untuk dikembangkan menjadi sumber
energi seperti bioetanol. Produksi dan aplikasi
bioetanol dari biomassa lignoselulosa, termasuk
154 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :143 - 157 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
ampas tebu, masih menghadapi berbagai
hambatan dan kendala. Selain masalah teknologi
yang belum sepenuhnya dikuasai, harga
bioetanol dari biomassa lignoselulosa masih
tinggi sehingga sulit bersaing dengan harga
bahan bakar minyak yang masih disubsidi
pemerintah (Hermiati et al. 2010).
Pada skala rumah tangga, potensi penerapan
teknologi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pada
petani yang memiliki usahatani yang
menerapkan konsep integrasi tanaman dan
ternak, potensi penerapan teknologi pengolahan
limbah pertanian relatif tinggi. Adopsi teknologi
pengolahan limbah pertanian bervariasi,
teknologi pembuatan kompos 25-35%, teknologi
pengolahan pakan 35-40%, sedangkan teknologi
biogas belum diadopsi. Berbagai faktor pembatas
di tingkat petani di antaranya: (1) informasi
teknologi pengolahan limbah belum menyebar
dan (2) penguasaan teknologi pengolahan limbah
masih rendah, dimana sebagian besar petani
mengetahui teknologi tetapi belum menerapkan
karena belum menguasai teknis pelaksanaannya
(Hosen, 2012).
STRATEGI MENDORONG
PEMANFAATAN BIOMASSA
Perekonomian berbasis bio tidak hanya
bergantung pada sumber daya fosil tetapi
mengacu pada semua kegiatan yang
memanfaatkan biomassa untuk penggerak
perekonomian. Kegiatan industri bioteknologi
dan aplikasinya untuk pertanian, kesehatan,
kimia atau energi merupakan salah satu contoh
perekonomian berbasis bio.
Pemanfaatan biomassa meskipun termasuk
terbarukan tetapi mempunyai kendala waktu
untuk tumbuh, keterbatasan lahan, serta
ketersediaan unsur hara tanah dan air.
Persaingan antara produksi biomassa untuk
keperluan pangan dan energi juga perlu
dipertimbangkan dalam pengembangan ekonomi
berbasis bio. Dalam pengembangan ekonomi
berbasis bio diperlukan perbaikan dalam kualitas
dan kuantitas produksi biomassa, peningkatan
efisiensi pengolahan di sisi hilir dan
keberlanjutan sistem produksi.
Ketersediaan bahan baku akan terus menjadi
isu penting dalam ekonomi berbasis bio.
(Langeveld et al., 2010) tantangan terbesar dalam
ekonomi berbasis bio yaitu cara memproduksi
biomassa yang berkelanjutan untuk jangka
panjang. Bahan baku biomassa yang tersedia saat
ini belum tentu optimal untuk dimanfaatkan
sehingga perlu rekayasa untuk memperoleh
karakteristik yang tepat. Sistem produksi bahan
baku perlu mempertimbangkan proses daur
ulang, meningkatkan efisiensi penggunaan
sumber daya alam yang terbatas dan
meningkatkan penggunan sumber terbarukan.
Prioritas pertama dalam produksi biomassa yang
berkelanjutan adalah untuk memastikan proses
konservasi, regenerasi, daur ulang dan substitusi
sumber daya dapat terlaksana dengan tetap
menjaga keanekaragaman hayati dan modal
sosial.
Metode tambahan untuk meningkatkan
keberlanjutan proses produksi adalah dengan
memperhatikan prinsip dan proses ekologi.
Produksi biomassa harus tetap memperhatikan
keragaman sistem pertanian dan tanaman,
tanaman waktu penanaman (rotasi) dan ruang
(lokasi lahan, tumpang sari, dan varietas tanaman
campuran). Peningkatan produksi biomassa
dapat dilakukan dengan pemilihan tanaman
yang produktivitasnya tinggi serta memperluas
lahan sesuai dengan kondisi jenis tanamannya.
Transisi dari pasca energi fosil menuju
ekonomi berbasis bio harus sejalan dengan
transisi menuju pertanian dan transportasi yang
berkelanjutan serta peningkatan pemanfaatan
energi terbarukan. Ekonomi berbasis bio dapat
berdampak positif bagi perekonomian, namun
belum menjamin bermanfaat secara ekologi dan
sosial. Oleh karena itu perlu diinventarisasi
faktor-faktor penting supaya pengembangan
ekonomi berbasis bio tidak salah arah. Kebijakan
yang dapat dipertimbangkan dalam
pengembangan ekonomi berbasis bio sebagai
berikut (Eickhout, 2012):
1. Analisis neraca karbon. Penurunan emisi GRK
sering menjadi dasar untuk mendukung
pengembangan ekonomi berbasis bio. Secara
definisi ekonomi berbasis bio tidak
mengakibatkan pengurangan emisi. Siklus
karbon secara keseluruhan perlu dianalisis
155 Pengelolaan Biomassa Tanaman dalam Bioindustri Perkebunan Mendukung Pengembangan Bioenergi
(SUCI WULANDARI, SUMANTO, dan SAEFUDDIN)
karena dalam pengelolaan lahan sering terjadi
perubahan penggunaan lahan.
2. Pengaturan alokasi lahan. Lahan pertanian
yang sudah ada terutama digunakan untuk
produksi pangan. Dalam transisi menuju
ekonomi berbasis bio, lahan tersebut juga
digunakan untuk produksi bioenergi dan
biomaterial lainnya yang bisa memicu
terjadinya persaingan antara pangan dan
energi.
3. Pemanfaatan lahan. Salah satu faktor penting
dalam produksi biomassa adalah ketersediaan
lahan. Lahan merupakan sumber daya yang
terbatas sehingga produksi biomassa yang
dapat dilakukan secara berkelanjutan juga
terbatas. Peningkatan produksi biomassa
karena pertumbuhan kebutuhan energi akan
meningkatkan kebutuhan lahan, yang dapat
diperoleh melalui konversi dari hutan.
Konversi ini dapat mengurangi biodiversitas
yang penting dalam ekosistem.
4. Pemanfaatan sumber daya secara
berkelanjutan. Produksi biomassa membutuh
kan sumber daya lain selain lahan, yaitu air
dan unsur hara. Seperti lahan, ketersediaan air
dan unsur hara juga terbatas. Penggunaan air
dan unsur hara yang tidak tepat akan
mengakibatkan ekonomi berbasis bio tidak
akan berkelanjutan untuk jangka panjang.
5. Dukungan teknologi. Pemilihan teknologi
harus tepat supaya dapat mengurangi emisi
GRK serta mengurangi ketergantungan pada
penggunaan sumber daya fosil. Bioteknologi
merupakan teknologi yang berperan penting
dalam produksi biomaterial, bahan kimia dan
obat-obatan.
6. Fokus pada nilai tambah yang tinggi. Transisi
ke ekonomi berbasis bio akan meningkatkan
permintaan biomassa dari waktu ke waktu.
Bila semua kebutuhan produk yang beragam
harus dipenuhi, maka kurva permintaan
biomassa akan menjadi curam dan
penyediaan biomassa tidak bisa berkelanjutan.
Oleh karena itu disamping memproduksi
bioenergi, perlu berfokus pada produksi
biomaterial yang mempunyai nilai tambah
yang tinggi.
7. Perbaikan tata kelola. Ekonomi berbasis bio
akan dapat berkembang bila mendapatkan
dukungan penuh melalui koherensi kebijakan.
Kerjasama dan konsistensi dalam
melaksanakan kebijakan merupakan kunci
sukses untuk mengimplementasikan ekonomi
berbasis bio. Tata kelola menjadi tantangan
untuk mewujudkan ekonomi berbasis bio
yang berkelanjutan.
Secara spesifik, pengetahuan yang dapat
diperoleh dari pengembangan sistem pertanian
terpadu yaitu informasi terkait keuntungan dan
strategi perbaikan sistem. Keuntungan
pengembangan sistem pangan energi terpadu (1)
meningkatkan produktivitas tanaman dan
menurunkan serangan penyakit, (2) penyediaan
bahan baku untuk meningkatkan industri rumah
tangga, (3) meningkatkan pemanfaatan lahan,
pemanfaatan pangkasan, dan memproduksi
pupuk organik secara mandiri, (4) diversifikasi
pendapatan, dan (5) pertanian berwawasan
lingkungan. Penerapan sistem pertanian terpadu,
perbaikan kinerja dapat dilakukan melalui: (1)
sosialisasi dari inovasi teknologi, (2) membentuk
kawasan-kawasan pertanian terpadu di daerah
sentra tanaman, dan (3) memperkuat
kelembagaan petani untuk mengembangkan
agroindustri (Syakir and Ferry, 2011).
PENUTUP
Sistem Perkebunan Berkelanjutan dilakukan
melalui pemanfaatan biomassa seluruh bagian
tanaman, baik yang sesuai untuk untuk pangan,
pakan, dan bahan bioenergi dengan seminimal
mungkin menyisakan limbah yang tidak
bermanfaat. Hasil penelitian dan perkembangan
teknologi yang ada menyediakan teknik untuk
pemanfaatan biomassa bagian-bagian tanaman
tersebut, termasuk pemanfaatan bagian tanaman
yang dahulu dianggap sebagai sisa-sisa tak
bermanfaat. Oleh karena itu, bioindustri
perkebunan dikembangkan dengan terintegrasi
dan berkelanjutan dengan memanfaatkan
biomassa seluruh bagian tanaman, baik untuk
menghasilkan pangan, pakan maupun bioenergi
serta produk bernilai tinggi lainnya.
156 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :143 - 157 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
Dalam penerapannya, sistem ini masih
dihadapkan oleh berbagai kendala yaitu
distribusi, kontinuitas pasokan bahan dan aspek
keekonomian. Langkah strategis yang dapat
dilakukan untuk mengatasi dengan melakukan
pendekatan yang lebih holistik, termasuk analisis
neraca karbon, kajian alokasi lahan dan
pemanfaatan lahan, serta lebih fokus pada
peningkatan nilai tambah yang tinggi dari
produknya. Selanjutnya untuk pengembangan
bioindustri dapat diinisiasi melalui: sosialisasi
dari inovasi teknologi, membentuk kawasan-
kawasan pertanian terpadu di daerah sentra
tanaman, dan memperkuat kelembagaan petani.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada
Prof. Dr. Bambang Prastowo yang telah
memberikan informasi terkait dengan “Potensi
Biomassa Tanaman Perkebunan untuk Bioenergi
Mendukung Pertanian Bioindustri”.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, A. (2015) Pengembangan Bioenergi di
Sektor Pertanian: Potensi dan Kendala
Pengembangan Bioenergi Berbahan Baku
Ubi Kayu Analisis Kebijakan Pertanian. 13
(1), 19–38.
Arhamsyah (2010) Pemanfaatan Biomassa Kayu
sebagai Sumber Energi Terbarukan. Jurnal
Riset Industri Hasil Hutan. 2 (1), 42–48.
Bogdanski, A. et al. (2010) Environment and
Natural Resources Management Working
Paper Making Integrated Systems Work for
People and Climate. FAO.
Biomass Energi Europe. (2010) Harmonization of
biomass resource assessments, Volume I:
Best Practices and Methods Handbook.
BEE: Freiburg-Germany.
Calle RF. (2007) Overview of Bioenergi, In:
TheBiomass Assessment Handbook.
Bioenergi for a Sustainable Environment,
Rosillo-Calle F., de Groot P., Hemstock
S.L., Woods J. (Eds.), Earthscan, London,
Sterling, 1-26.
Ditjenbun (2019a) Tebu, Statistik Perkebunan
2017-2019 Direktorat Jenderal Perkebunan,
Kementerian Pertanian.
Ditjenbun (2019b) Karet, Statistik Perkebunan
2017-2019 Direktorat Jenderal Perkebunan,
Kementerian Pertanian
Ditjenbun (2019c) Sawit, Statistik Perkebunan
2017-2019 Direktorat Jenderal Perkebunan,
Kementerian Pertanian.
Ditjenbun (2019d) Teh, Statistik Perkebunan 2017-
2019 Direktorat Jenderal Perkebunan,
Kementerian Pertanian.
Ditjenbun (2019e) Kakao, Statistik Perkebunan
2017-2019 Direktorat Jenderal Perkebunan,
Kementerian Pertanian.
Ditjenbun (2016a) Kopi Robusta, Statistik
Perkebunan 2015-2017 Direktorat Jenderal
Perkebunan, Kementerian Pertanian.
Ditjenbun (2016b) Kopi Arabika, Statistik
Perkebunan 2015-2017 Direktorat Jenderal
Perkebunan, Kementerian Pertanian.
Dobermann, A (2007) Integrated food – Biofuel
Systems, Depart. of Agronomy and
Horticuture, Univ.of Nesbraska. Lincoln.
Eickhout, B. (2012) A Strategy for a Bio-based
Economy, Green New Deal Series
volume 9, Green European Foundation,
Brussels.
Hermiati, E. Mangunwidjaja D, Sunarti TC,
Suparno O, dan Prasetya B. (2010)
Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa
Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol.
Jurnal Litbang Pertanian. 29 (4) pp.121–130.
Hosen, N. (2012) Adopsi Teknologi Pengolahan
Limbah Pertanian oleh Petani Anggota
Gapoktan PUAP di Kabuapaten Agam,
Sumatera Barat. Jurnal Penelitian Pertanian
Terapan. 12 (2), pp.89–95.
Iskandar, T. dan Siswati, N. (2012) Pemanfaatan
Limbah Pertanian sebagai Energi Alternatif
Melalui Konversi Thermal. Buana Sains. 12
(1). pp.117–122.
Kementerian Pertanian (2013) Konsep Strategi
Induk Pembangunan Pertanian 2013-2045
Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan Solusi
Pembangunan Indonesia Masa Depan.
Khaidir (2016) Pengolahan Limbah Pertanian
Sebagai Bahan Bakar Alternatif.
Agricultural Waste Processing As Alternative
157 Pengelolaan Biomassa Tanaman dalam Bioindustri Perkebunan Mendukung Pengembangan Bioenergi
(SUCI WULANDARI, SUMANTO, dan SAEFUDDIN)
Fuels Khaidir. 13 (September) pp.63–68.
Lima, D. (2012) Produksi Limbah Pertanian dan
Limbah Peternakan Serta Pemanfaatannya
di Kecamatan Huamual Belakang dan
Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat.
Jurnal Agroforestri. VII (1) pp. 1–7.
Papilo P, Kunaifi, Hambali H, Nurmiati, Pari RF.
(2018) Penilaian Potensi Biomassa sebagai
Alternatif Energi Kelistrikan. Jurnal PASTI
IX (2) pp.164 – 176
Prastowo, B. (2007) Potensi Sektor Pertanian
Sebagai Penghasil dan Pengguna Energi
Terbarukan. Perspektif. 6 (2), pp.84–92.
Prastowo B, Indrawanto C, dan Effendi DS. (2010)
Mekanisasi Pertanian dalam Perspektif
Pengembangan BBN di Indonesia.
Perspektif 9 (1) 47-54
Prastowo, B. dan Richana, N. (2014) Biodiesel
Generasi-1 Generasi-2. IAARD Press.
Prastowo, B. (2015) Pokok-Pokok Pikiran
Pengembangan Bioindustri. Infotek
Perkebunan 7 (2) pp.1.
Sumanto dan Prastowo, B. (2016) Pertanian
Bioindustri: Peranan Biomassa untuk
pupuk, pakan dan energi (termasuk
bioavtur) dalam Mendukung Pertanian
Bioindustri. Perspektif 15 (2) 146-156.
Suprihatin, S., Indrasti, N.S. & Aryanto, A.Y.
(2010) Potensi Limbah Biomassa Pertanian
Sebagai Bahan Baku Produksi Bioenergi
(Biogas).In: Prosiding Seminar Tjipto Utomo
Intitut Teknologi Nasional. (September),
pp.B7-1-B7-11.
Syakir, M. dan Ferry, Y. (2011) Inovasi Teknologi
Bioindustri Berbasis Kakao, Pisang, dan
Ternak Kambing Terpadu: Sebuah
Pelajaran dari Kabuptane Aceh Timur. In:
Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri
Kakao. pp.129–140.