Post on 21-May-2019
PENGARUH PEMBERIAN STEROID DOSIS RENDAH TERHADAP
HITUNG NEUTROFIL PADA SEPSIS TAHAP AWAL
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
DIAH AYU SAPUTRI
G 0007056
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepsis merupakan kondisi medis yang serius, ditandai dengan adanya
systemic inflammatory response syndrome (SIRS) ditambah tempat infeksi
yang diketahui (ditentukan dengan biakan positif dari tempat tersebut). Akan
tetapi, biakan darah tidak harus positif (Guntur, 2007; Levy et al., 2005).
Respon inflamasi ini akan berkembang di dalam tubuh sehingga
memungkinkan bakteri dapat masuk ke dalam sirkulasi, disebut juga blood
poisoning atau bakterimia. Tapi kondisi ini tidak harus ada (Guntur, 2007;
Levy et al., 2005).
Setiap tahun, kira-kira sepertiga kasus sepsis yang dilaporkan
diakibatkan oleh virus, fungi, trauma, luka terbakar, syok, atau infeksi bakteri
akut. Ketiganya berpotensi mengakibatkan kematian oleh karena kerusakan
sistem organ atau multiple organ failure (MOF) (Wesche, 2005). Penyebab
kematian akibat sepsis yang paling sering adalah bakteri gram negatif, sekitar
115.000 kematian per tahun (Chamberlain, 2004).
Sepsis menyerang lebih dari 700.000 penduduk dan menyumbang angka
kematian di Amerika Serikat sebanyak 210.000 kasus. Insiden masih terus
meningkat kira-kira 1,5-8 % per tahun (Chamberlain, 2004). Melalui
penelitian yang dilakukan di bagian Perinatal Intensive Care Unit/Neonatal
Intensive Care Unit (PICU/NICU) Rumah Sakit Dr.Moewardi selama
1
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
2
Desember 2004-Desember 2005 terdapat angka kematian akibat sepsis 33,5%
(229 dari 683 kasus), dengan mortalitas sebesar 50,2% (115 kematian dari
229 sepsis) (Pudjiastuti, 2008).
Sepsis dibagi menjadi dua fase yaitu sepsis tahap awal dan sepsis tahap
akhir. Pembagian tersebut didasarkan atas derajad inflamasi yang
berhubungan dengan kemampuan kompensasi tubuh terhadap sepsis. Pada
sepsis tahap awal (lima hari pertama), terjadi peningkatan respon imun yang
ditandai dengan peningkatan IL-6 di plasma. Peningkatan respon inflamasi
ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan, organ, bahkan sistem organ.
Sedangkan pada sepsis tahap akhir (lebih dari lima hari pertama), tubuh
sudah tidak mampu melakukan kompensasi sehingga terjadi proses
imunosupresi yang ditandai adanya penurunan level plasma dari IL-6 dan
pertumbuhan bakteri yang meningkat. Pembagian tersebut penting sebagai
pedoman untuk melakukan penatalaksanaan yang tepat (Xiao et al., 2006).
Kondisi patologis pada keadaan sepsis dapat mempengaruhi pada hampir
setiap komponen sel sirkulasi mikro, termasuk leukosit polimorfonuklear
yaitu neutrofil (De Backer et al., 2002; Spronk et al., 2004; Trzeciak and
Rivers, 2005). Fungsi utama neutrofil adalah fagositosis dan pembersihan
debris, partikel, dan bakteri, serta pemusnahan organisme mikroba. Akan
tetapi pada sepsis neutrofil mengalami penurunan fungsi fagositosis dan
kemampuan untuk membersihkan patogen (Remick, 2007). Pada pasien
sepsis terjadi penurunan kemampuan apoptosis neutrofil yang berhubungan
dengan Maintenance of mitochondrial transmembrane potential dan
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
3
penurunan aktivitas jalur caspase 9, sehingga masa hidup neutrofil dalam
sirkulasi memanjang (Ravi et al., 2004).
Steroid banyak digunakan dalam pengobatan radang dan penyakit
imunologik (Sutarman dan Roma, 1993). Steroid untuk terapi sepsis dan syok
sepsis sudah diteliti sejak lebih dari 50 tahun (Levy et al., 2005). Manfaat
steroid sebagai terapi untuk sepsis masih diperdebatkan. Pada beberapa
penelitian meta analisis, steroid dikatakan meningkatkan morbiditas,
perdarahan pada saluran pencernaan, dan tidak menurunkan mortalitas (Azis,
2006). Akan tetapi suatu studi yang dilakukan oleh Annane et al. (2002),
menunjukkan bahwa terapi steroid dapat menurunkan mortalitas pada pasien
syok sepsis dengan insufisiensi adrenal. Walaupun setelah diterapi dengan
steroid setengah dari populasi pasien syok sepsis meninggal, akan tetapi
steroid tetap diperlukan sebagai terapi tambahan untuk menurunkan
mortalitas, pada populasi baik untuk pasien dengan atau tanpa insufisiensi
adrenal (Levy et al., 2005).
Penggunaan steroid secara rasional merupakan role play untuk
mendapatkan efek imunosupresan dan anti inflamasi yang optimal. Dalam
berbagai penelitian, pemberian steroid dosis tinggi gagal dalam memperbaiki
kondisi pasien sepsis. Sedangkan pemberian steroid dosis rendah pada sepsis
menimbulkan perbaikan yang cukup memuaskan.
Penelitian kali ini merupakan lanjutan dari penelitian-penelitian
sebelumnya, yang ditekankan untuk mencari pengaruh steroid dosis rendah
terhadap sepsis tahap awal. Indikator yang digunakan adalah penurunan
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
4
hitung neutrofil pada mencit Balb/C model sepsis induksi cecal inoculum
(CI).
B. Perumusan Masalah
“Adakah pengaruh pemberian steroid dosis rendah terhadap hitung
neutrofil pada sepsis tahap awal?”
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh pemberian steroid dosis rendah terhadap
hitung neutrofil pada sepsis tahap awal.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai pengetahuan bahwa steroid
dosis rendah berpengaruh terhadap hitung neutrofil pada sepsis tahap
awal.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk
penelitian lebih lanjut.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Sepsis
Definisi sepsis adalah respon sistemik pejamu terhadap infeksi
dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga
terjadi aktivasi proses inflamasi (Chen dan Pohan, 2006).
Stadium sepsis berdasarkan Konsensus Konferensi Dokter Ahli Paru
di berbagai Universitas di Amerika adalah sebagai berikut :
a. SIRS (Systemic Inflamatory Respons Syndrome ). Kriteria SIRS
adalah:
1) Suhu > 38 oC atau < 36
oC
2) Denyut jantung > 90 kali/ menit
3) Respirasi > 20 kali/menit
4) Jumlah sel darah putih > 12.0×109/L, < 4.0 × 10
9, atau > 0,1
bentuk immatur (band)
b. Sepsis
SIRS dan dokumentasi kultur positif untuk organisme.
c. Sepsis berat
Sepsis dan gangguan fungsi organ, hipotensi atau hipoperfusi
(keabnormalan hipoperfusi, termasuk didalamnya adalah asidosis
laktat, oliguria, atau perubahan status mental akut)
5
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
6
d. Syok Sepsis
Hipotensi resisten walaupun telah diberikan resusitasi cairan
dan keabnormalan hipoperfusi (O’Connor et al., 2001).
Sepsis merupakan kondisi klinis yang dicirikan oleh inflamasi
sistemik dan koagulasi, berawal dari SIRS berlanjut menimbulkan
disfungsi organ dan sistem organ, dan berakhir dengan kematian jika
tidak tertangani dengan baik (Chamberlain, 2004).
Infeksi yang terjadi pada orang normal umunya singkat dan jarang
mengakibatkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia
memiliki sistem imun yang melindungi tubuh terhadap unsur-unsur
patogen tersebut. Pada sepsis terjadi respon inflamasi pejamu yang
meningkat dan menyimpang (Gao et al., 2008). Baik sitokin yang
bersifat pro inflamasi (TNF, IL-1, IFN-γ) maupun anti inflamasi (IL-1ra,
IL-4, IL-10) terlibat pada sepsis. Ketidakseimbangan antara kedua jenis
sitokin tersebut akan memberikan efek yang merugikan bagi tubuh
(Elena et al., 2006).
Penyebab sepsis yang paling banyak berasal dari stimulasi toksin
(Guntur, 2007). Pada sepsis, aktivasi dari imunitas tubuh alami,
khususnya sel fagosit mononuklear, bereaksi terhadap endotoksin yang
dinamakan lipopolisakarida (LPS). LPS adalah komponen dari dinding
sel bakteri gram negatif. Pada sirkulasi, LPS berikatan dengan
lipopolysaccharide binding protein (LBP) (Paterson, 2000). Dalam
aliran darah LPS akan terikat pada protein yang bersirkulasi kemudian
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
7
berinteraksi dengan reseptor makrofag (CD 14+), limfosit, dan monosit
serta sel lain pada sistem retikuloendotelial. Hal ini akan mengakibatkan
pelepasan sitokin dan pengaktifan jalur komplemen dan koagulasi.
Runtutan peristiwa tersebut dapat diamati secara klinis sebagai demam,
leukopenia, hipoglikemia, hipotensi, syok, koagulasi intravaskuler
hingga kematian karena disfungsi organ (Brooks et al., 2003; Guntur,
2007).
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T
akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai
imunomodulator yaitu : IFN- γ, IL-2, dan M-CSF (Macrophage Colony
Stimulating Factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-
6, dan IL-10. IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan sitokin
proinflamasi lainnya sehingga pada keadaan sepsis terjadi peningkatan
kadar IL-1β dan TNF-α . Pada beberapa kajian ditemukan bahwa TNF-α
dan IL-2 dapat merusakkan endotel pembuluh darah (Guntur, 2007).
TNFα adalah molekul proinflamasi yang memainkan peranan penting
pada sepsis (Riedemann et al., 2003). Selanjutnya TNFα akan
menyebabkan penarikan neutrofil dan monosit ke tempat infeksi dengan
cara menginduksi sel endotelial untuk mengekspresikan molekul adhesi
untuk leukosit, terutama neutrofil (Abbas et al., 2010). IL-1β berperan
pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi
intercellular adhetion molecule-1 (ICAM-1). ICAM-1 menyebabkan
neutrofil yang telah tersensitisasi oleh GM-CSF (Granulocyte
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
8
Macrophage Colony Stimulating Factor) akan mudah mengadakan
adhesi (Guntur, 2007).
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan
lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel
terbuka. Neutrofil juga membawa superoksidan (radikal bebas) yang
mempengaruhi oksigenasi mitokondria pada siklus GMP-s. akibatnya
endotel menjadi nekrosis. Endotel yang rusak menyebabkan trombosis
dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok sepsis
yang berakhir dengan kematian (Guntur, 2007).
2. Neutrofil
Neutrofil adalah leukosit granular matur polimorfonuklear,
memiliki daya lekat dengan kompleks imun, dan kemampuan fagositosis
(Dorland, 2002). Sel ini berdiameter 12-15 µm memiliki inti yang khas
padat terdiri atas sitoplasma pucat diantara 2-5 lobus dengan rangka
tidak teratur dan mengandung banyak granula merah jambu (azuropilik).
Granula terbagi menjadi granula primer yang muncul pada stadium
premielosit, dan sekunder yang muncul pada stadium mielosit dan
terbanyak pada neutropil matang. Kedua granula berasal dari lisosom,
yang primer mengandung mieloperoksidase, fosfatase asam dan
hidrolase asam lain, yang sekunder mengandung fosfatase lindi dan
lisosim (Hoffbrand, 1996).
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
9
Adapun morfologi dari :
a. Neutrofil batang/ stab (Gambar 2.1)
1) Ukuran rata-rata 12 µm
2) Sitoplasma tidak berwarna penuh dengan granula-granula yang
sangat kecil dan berwarna coklat kemerahan sampai merah muda
3) Kira-kira 2/3 nya merupakan granula spesifik sedangkan yang
1/3 nya merupakan granula azurofilik (merah biru-ungu)
4) Nukleus lebih tebal, berbentuk huruf U dengan kromatin kasar
dan rongga parakromatin yang agak jelas batasnya
5) Jumlahnya 0-6% dari leukosit total (0-0,7 x 109/L).
b. Neutrofil tangkai/ segmen (Gambar 2.2)
1) Ukuran rata-rata 12 µm
2) Sitoplasma dan granula sama dengan neutrofil batang
3) Nukleus gelap, berbentuk seperti huruf E, Z, atau S yang terpisah
menjadi segmen-segmen/ lobus-lobus yang dihubungkan oleh
filamen-filamen yang halus
4) Banyaknya lobus pada neutrofil normal berkisar antara 2-5 lobus,
dengan rata-rata tiga lobus
5) Jumlahnya 40-54% dari leukosit total (1,3-7,0 x 109/L)
(Gandasoebrata, 2001).
Manusia dewasa mempunyai sekitar 7000 sel darah putih per
mikroliter darah (dibandingkan dengan sel darah merah yang berjumlah
5 juta). Presentase normal dari neutrofil polimorfonuklear dari jumlah
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
10
total sel darah putih kira-kira 62%. Jumlah ini merupakan jumlah yang
terbanyak (Guyton and Hall, 2007).
Neutrofil merupakan sel inflamasi dengan oksidatif poten dan
potensial proteolitik yang berfungsi sebagai pertahanan pertama terhadap
patogen (Oberholzer et al., 2001). Neutrofil dalam sirkulasi normalnya
memiliki masa hidup yang singkat sekitar 24 jam (Remick, 2007). Pada
kasus sepsis, terjadi delayed apoptosis sehingga jumlah neutrofil yang
berada di sirkulasi meningkat. Secara normal, neutrofil bermanfaat
sebagai agen fagositik. Akan tetapi pada sepsis neutrofil jumlahnya
berlebihan dan mengalami penurunan kapasitas fungsional sehingga
mengakibatkan kerusakan organ dan sistem organ (Oberholzer et al.,
2001). Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan
lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel
terbuka. Neutrofil juga membawa superoksidan (radikal bebas) yang
mempengaruhi oksigenasi mitokondria pada siklus GMP-s. Akibatnya
endotel menjadi nekrosis. Endotel yang rusak menyebabkan trombosis
dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik
yang berakhir dengan kematian (Guntur, 2007).
Delayed apoptosis neutrofil disebabkan oleh aktivitas protein anti
apoptosis yang lebih dominan daripada aktivitas protein pro apoptosis.
Proses apoptosis dibagi menjadi dua jalur, yaitu :
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
11
a. Jalur Ekstrinsik (Type I Cells) / Caspase Dependent
Jalur apoptosis ini bersifat fisiologis, terprogram, berfungsi
untuk mengeliminasi sel-sel tubuh yang sehat tetapi mengalami
penurunan kapasitas fungsional.
Sel-sel yang telah mengalami penurunan fungsi akan berikatan
dengan FAS dan TNF-R menghasilkan suatu signal kematian.
Selanjutnya sinyal kematian akan diteruskan ke molekul adaptor.
Molekul adaptor akan mengaktifkan Pro-Caspase 8 (inaktif)
menjadi caspase 8 (aktif). Caspase 8 yang telah teraktivasi akan
mengaktifkan Pro-eksekutor caspase 3 menjadi eksekutor caspase
3. Caspase 3 ini akan bertugas sebagai “algojo” yang akan
mengeksekusi sel melalui kondensasi atau cross linking. Sel yang
telah mati akan dipecah menjadi bentuk fragmen-fragmen dan
didegradasi lebih lanjut menjadi badan-badan apoptotik. Badan-
badan apoptotik ini selanjutnya difagositosis oleh makrofag.
Anti apoptosis untuk jalur ekstrinsik adalah FLIP, IAP-2, Crm
A, and p35.
b. Jalur Intrinsik / Jalur Mitokondria (Type II Cells) / Caspase independen
Merupakan jalur untuk apoptosis yang bersifat patologis,
berfungsi untuk mengeliminasi sel-sel yang berbahaya.
Sel-sel patologik akan mengaktifkan sinyal mitokondria
sehingga merangsang pengeluaran sitokrom C. Selanjutnya terjadi
pengaktifan Pro-Caspase 9 menjadi caspase 9. Caspase 9 yang
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
12
telah aktif akan mengaktivasi Pro-eksekutor caspase 3 menjadi
eksekutor caspase 3. Caspase 3 memecah protein sel dan
mengaktivasi nuklease sehingga terjadi kematian sel.
Protein proapoptosis pada jalur intrinsik adalah BAX, BAK,
BOK, BCL-Xs, BAD, BID, BIK, BIM, NIP3, BNIP3. Sedangkan
protein anti apoptosis yang berpengaruh antara lain BCL-2, BCL-
XL, BCL-W, MCL1, BFL1, DIVA, NR-13, Several viral proteins.
Faktor-faktor berikut berperan dalam mengaktifkan proses apoptosis
di jalur intrinsik, yaitu loss of growth factors (IL-2, IL-4),
granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF),
beberapa sitokin seperti IL-1 and IL-6, atau exogenous stressors
seperti steroid, reactive oxygen intermediates (ROIs), peroxynitrite,
dan NO (Nitrit Oksida) (Wesche et al., 2005; Oberholzer et al.,
2001).
Sebuah studi menerangkan bahwa delayed apoptosis neutrofil pada
pasien sepsis disebabkan oleh aktivasi NF-κB (Necrosis Factor-κB) dan
supresi caspase 9 dan 3. Maintenance of mitochondrial transmembrane
potential merupakan komponen pertahanan neutrofil terhadap stimulus
proinflamasi. Secara normal, invasi dari patogen akan mengubah
potensial membran dari mitokondria yang akan mengkode sel untuk
melakukan apoptosis. Pada kasus sepsis, bacterial lipoprotein ligation
yaitu TLR-2 dan CD-14 yang berada di permukaan membran neutrofil
akan menghambat depolarisasi membran mitokondria. Selanjutnya, akan
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
13
terjadi proses induksi terhadap anti apoptosis protein seperti cIAP-2
(komponen endotoksin), yang akan mempercepat proses degradasi dari
caspase 3. Akibatnya, proses apoptosis neutrofil akan terhambat
(Wesche et al., 2005).
Gambar 2.1. Gambaran Neutrofil batang di antara eritrosit pada sel
darah normal
Gambar 2.2. Gambaran Neutrofil segmen di antara eritrosit pada sel
darah normal
3. Steroid
Produksi normal dari glukokortikoid endogen tidak akan
berpengaruh secara bermakna terhadap proses keradangan dan
penyembuhan. Kelebihan glukokortikoid endogen dapat menekan fungsi
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
14
imunologis dan dapat mengaktifasi infeksi laten. Efek imunosupresi ini
digunakan dalam pengobatan penyakit-penyakit autoimun, proses
inflamasi dan transplantasi organ.
Peran glukokortikoid dalam proses imunologis dan inflamasi adalah:
a. Merangsang pembentukan protein ( lipocortin ) yang menghambat
fosfolipase A2 sehingga mencegah aktivasi kaskade asam
arakidonat dan pengeluaran prostaglandin
b. Menurunkan jumlah limfosit dan monosit diperifer dalam 4 jam, hal
ini terjadi karena terjadi redistribusi temporer limfosit dari
intravaskular kedalam limpa, kelenjar limfe,ductus thoracicus dan
sumsum tulang
c. Meningkatkan pengeluaran granulosit dari sumsum tulang
kesirkulasi, tapi menghambat akumulasi neutrofil pada daerah
keradangan dengan cara mengurangi daya lekat neutrofil pada
dinding endotel pembuluh darah
d. Meningkatkan proses apoptosis
e. Menghambat sintesis sitokin
f. Menghambat Nitric Oxyd Synthetase (NOS)
g. Menghambat respon proliferatif monosit terhadap Colony
Stimulating Factor (CSF) dan diferensiasinya menjadi makrofag
h. Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag
i. Menghambat pengeluaran sel-sel radang dan cairan ketempat
keradangan
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
15
j. Menghambat plasminogen activators (PAs) yang merubah
plasminogen menjadi plasmin yang berperan dalam pemecahan
kininogen menjadi kinin yang berfungsi sebagai vasodilator dan
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
Steroid untuk terapi sepsis dan syok sepsis sudah diteliti sejak lebih
dari 50 tahun (Levy et al., 2005). Manfaat steroid sebagai terapi untuk
sepsis, masih diperdebatkan. Pada beberapa penelitian meta analisis,
steroid dikatakan meningkatkan morbiditas, perdarahan pada saluran
pencernaan, dan tidak menurunkan mortalitas (Azis, 2006).
Perkembangan terapi dengan obat-obatan akan berdampak secara
mendasar pada morbiditas dan mortalitas sepsis. Penggunaan steroid
dosis rendah pada sepsis tahap awal masih diperdebatkan. Penggunaan
steroid seawal mungkin direkomendasikan pada penatalaksanaan sepsis,
acute lung injury, acute respiratory distress syndrome dan refractory
vasodilatory shock (Annane et al., 2002; Cavaliere et al., 2004;
Aberdein and Singer, 2006). Dari hasil penelitian meta-analisis
merekomendasikan penggunaan steroid dosis rendah jangka panjang
(setara dengan 200 sampai 300 mg hidrokortison perhari) dalam
penatalaksanaan syok sepsis (Annane et al., 2002). Steroid dosis tinggi
akan menekan sistem imun, sedangkan dosis rendah mampu
meningkatkan sistem imun.
Dalam berbagai penelitian, pemberian steroid dosis tinggi gagal
dalam memperbaiki kondisi pasien sepsis. Sedangkan pemberian steroid
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
16
dosis rendah pada sepsis menimbulkan perbaikan yang cukup
memuaskan (Keh et al., 2004).
Steroid dosis rendah pada sepsis dapat mengurangi respon inflamasi
sitemik, sebagai vasopressor, menghambat produksi sitokin pro-
inflamasi, menghambat produksi mediator-mediator inflamasi seperti
cyclooksigenase-2, menurunkan adhesi leukosit ke endotel (Annane and
Caillon, 2003).
Dalam hubungannya dengan apoptosis, steroid menunjukkan efek
berupa penekanan maupun potensiasi terhadap proses apoptosis. Steroid
yang dilepaskan selama sepsis terlihat meningkatkan apoptosis thimosit
(Moran et al., 1995), yang dimediatori oleh induksi caspase-9
(Oberholzer et al., 2001). Sebaliknya steroid mempunyai efek anti-
apoptosis pada neutrofil, sel epithel, dan fibroblas (Moran et al., 2000).
Bagaimanapun efek steroid dosis rendah pada terapi sepsis dalam
hubungan dengan apoptosis jaringan masih perlu penelitian lebih lanjut
(Wesche et al., 2007).
4. Metode Induksi Sepsis
a. Cecal inoculum (CI)
Cecal inoculum (CI) adalah suatu model yang mampu
menggambarkan dengan baik keadaan sepsis mirip dengan keadaan
klinis peritonitis yang disebabkan infeksi polimikroba. Infeksi
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
17
tersebut akan menghasilkan respon inflamasi peritoneum terhadap
organisme polimikroba yang berasal dari saluran pencernaan.
Dari hasil penelitian injeksi cecal inoculum memperlihatkan
tanda-tanda piloerection, periocular discharge, tampak lesu,
penurunan nafsu makan dan minum, dan diare. Terlihat infeksi yang
berlebihan, kerusakan yang hebat dan perlengketan di sejumlah
organ termasuk hepar, lien, ginjal, serta memperlihatkan tingkat
kematian sebesar 100% selama tujuh hari perlakuan (Diding dkk,
2008) dan peningkatan jumlah neutrofil dalam sirkulasi (Taneja et
al., 2004).
Pada penelitian kali ini, akan digunakan induksi CI yang
merupakan modifikasi dari metode yang diperkenalkan oleh
Brahmhatt et al. (2005) dan Chopra (2007). Cecal inoculum dibuat
baru setiap hari dari mencit donor yang dikorbankan dengan
mensuspensikan 200 mg material cecal pada 5 mL dextrose water
5% (D5W) steril (Ren et al., 2002). Pada mencit diinjeksikan cecal
inoculum 6 mg/mencit/i.p.
b. Polymicrobial sepsis induced by cecal ligation and puncture (CLP)
Selain cecal inoculum (CI), metode Polymicrobial sepsis
induced by cecal ligation and puncture (CLP) dapat juga digunakan
untuk menginduksi sepsis.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
18
Sejumlah tikus putih jantan dengan berat badan berkisar 120-
150 g, di anastesi per i.p. dengan Nembutal (65 mg/ Kg) dan
ditempatkan di bawah cahaya lampu. Setelah anastesi bekerja,
dinding abdomen tikus diinsisi sepanjang midline dengan diameter
2 cm. Cari cecum, dan keluarkan dari cavitas abdomen. Bagian
distal cecum diikat (ligation) dengan 5-0 benang sutra, kemudian
cecum yang telah diligasi ditusuk dua kali dengan jarum gauge
ukuran 18 dan ditekan dengan lembut menggunakan aplikator
sampai sedikit material cecal keluar. Setelah itu, cecum dimasukkan
kembali ke dalam peritoneum. Bekas insisi dijahit menggunakan 5-
0 benang sutra untuk lapisan otot dan surgical staples (9 mm) untuk
kulit. Berat badan tikus dimonitoring secara rutin setiap hari sampai
akhir eksperimen (Fu Bu H et al., 2006).
c. Lipopolisakarida (LPS)
Lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks
dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. Struktur lipid A
dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi inflamasi jaringan,
demam, dan syok. LPS dapat langsung mengaktifkan sistem imun
seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan septikemia (Guntur,
2007).
Produk yang berperan penting terhadap sepsis terutama
kandungan lipid A dalam LPS tersebut. Dalam aliran darah LPS
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
19
akan terikat pada protein yang bersirkulasi kemudian berinteraksi
dengan reseptor makrofag, limfosit, dan monosit serta sel lain pada
sistem retikuloendotelial. Hal ini akan mengakibatkan pelepasan
sitokin dan pengaktifan jalur komplemen dan koagulasi. Runtutan
peristiwa tersebut dapat diamati secara klinis sebagai demam,
leukopenia, hipoglikemia, hipotensi, syok, koagulasi intravaskuler
hingga kematian karena disfungsi organ (Brooks et al., 2003).
Karena kemampuannya dalam menyebabkan sepsis, maka LPS
dapat dimanfaatkan untuk menginduksi sepsis pada percobaan.
Caranya, LPS (lipopolisakarida) dari bakteri gram negatif (E. coli
paling sering digunakan), diinjeksikan secara i.p. ke tikus putih
dengan dosis 15 mg/kg. kemudian Survival dari hewan coba
dimonitor dengan interval 12 jam selama tujuh hari (Fu Bu H et al.,
2006).
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
20
B. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Berpikir Konseptual
TLR2
TLR
Cecal inoculum (CI) LPS
Makrofag
NF-κB
CD14
Sitokin pro inflamasi Oksidatif stress
Neutrofil
Depolarisasi membran
IL-8
CD14
Protein anti apoptosis (cIAP-2)
Degradasi caspase-3
Apoptosis neutrofil
sepsis kematian
Steroid Dosis Rendah
Keterangan :
: Mengaktivasi
: Menghambat
atau : Meningkat
atau : Menurun
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
21
2. Kerangka Berpikir Teoritis
Adanya cecal inoculum akan mengaktivasi nuclear factor κB (NF-κB)
di makrofag. NF-κB yang teraktivasi akan meningkatkan transkripsi dari
molekul proinflamasi seperti TNFα dan IL-1 serta sitokin antiinflamasi
seperti IL-10 (Russell, 2006). Berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α,
IL-1β, IL-6, IFN-γ, GM-CSF, G-CSF, dan IL-8 , leukotriene B4 (LTB4),
LPS, C5a, serta oxygen free radicals dan Nitric Oxide (NO) dapat
menyebabkan penurunan kemampuan apoptosis neutrofil (Guo et al.,
2006; Wesche et al., 2005).
Maintenance of mitochondrial transmembrane potential merupakan
komponen pertahanan neutrofil terhadap stimulus proinflamasi. Pada
kasus sepsis, bacterial lipoprotein ligation yaitu TLR-2 dan CD-14 yang
berada di permukaan membran neutrofil akan menghambat depolarisasi
membran mitokondria. Selanjutnya, akan terjadi proses induksi terhadap
anti apoptosis protein seperti cIAP-2 (komponen endotoksin), yang akan
mempercepat proses degradasi dari caspase 3. Akibatnya, proses
apoptosis neutrofil akan terhambat (Wesche et al., 2005).
Steroid dosis rendah pada sepsis dapat mengurangi respon inflamasi
sistemik, sebagai vasopressor, menghambat produksi sitokin pro-
inflamasi, menghambat produksi mediator-mediator inflamasi seperti
cyclooksigenase-2, menurunkan adhesi leukosit ke endotel (Annane and
Caillon, 2003).
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
22
C. Hipotesis
Steroid dosis rendah dapat menurunkan jumlah neutrofil pada sepsis tahap
awal.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
23
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan post test only
control group design.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian berupa 30 ekor mencit Balb/C jantan dengan berat
badan ± 20-30 gram dan berumur 2-3 bulan.
D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling untuk
membagi subyek menjadi 3 kelompok.
Jumlah sampel minimal masing-masing kelompok diperoleh dari rumus :
2.
2
d
sZn
Keterangan:
s : Simpangan baku dari dua kelompok.
d : Tingkat ketepatan absolut dari beda rata-rata.
23
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
24
Zα : Nilai pada distribusi normal standar untuk uji dua sisi pada tingkat
kemaknaan α . Zα =1,96 untuk α = 0,05
s = d (belum diketahui)
( Arief, 2004)
Dalam penelitian ini subjek dibagi menjadi 3 kelompok, sehingga
berdasarkan rumus di atas didapatkan jumlah subjek masing-masing
kelompok sebagai berikut:
2.
2
d
sZn
n = 2 (Zα)2
= 2 (1,96)2
= 2 x 3, 841
= 7, 68
= 8
Jadi, jumlah minimal sampel tiap kelompok pada penelitian ini adalah
8 ekor. Jadi, dalam penelitian ini digunakan 10 ekor mencit Balb/ C untuk
tiap kelompok.
E. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas : Steroid dosis rendah
2. Variabel Terikat : Hitung neutrofil
3. Variabel Perancu :
a. Dapat dikendalikan : Genetik, berat badan, makanan, umur
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
25
b. Tidak dapat dikendalikan : Variasi kepekaan mencit terhadap suatu
zat.
F. Skala Variabel
1. Steroid dosis rendah : Skala kategorik (nominal)
2. Hitung neutrofil : Skala numerik (ratio).
G. Definisi Operasional
1. Steroid
Steroid yang digunakan pada penelitian ini adalah metilprednisolon.
Dosis metilprednisolon yang direkomendasikan adalah 40-60 mg, kita cari
nilai tengahnya yaitu 50 mg satu kali pemberian per hari. Dosis obat pada
mencit 0,0026 kali dosis manusia.
Dosis metilprednisolon pada mencit = 0,0026 x 50 mg
= 0,13 mg/mencit.
Pengenceran metilprednisolon
Dosis metilprednisolon : 125 mg dalam 2 ml pelarut.
Volume yang akan diinjeksikan : 0,1 ml/ mencit/ i.p.
Jadi, volume pengenceran :
M1 . V1 = M2 . V2
0.13. X = 125. 0,1
X = 96,15 ml pelarut
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
26
2. Neutrofil
Darah mencit diambil dari sinus orbitalis, kemudian dilakukan hitung
jumlah sel neutrofil secara manual menggunakan hapusan darah dengan
metode pan-optic stainning “Wright Giemsa”.
Hapusan darah dicat secara Wright dan sebagai pengganti buffer
dipakai cat Giemsa yang telah diencerkan dengan larutan penyangga, lalu
diperiksa tiap zona hapusan darah dibawah mikroskop (Gandasoebrata,
2001).
H. Induksi Sepsis Menggunakan Cecal Inoculum (CI)
Mencit dibuat sepsis dengan paparan Cecal inoculum (CI). Cecal
inoculum dibuat baru setiap hari dari mencit donor yang dikorbankan dengan
mensuspensikan 200 mg material cecal pada 5 mL dextrose water 5% (D5W)
steril (Ren et al., 2002). Pada mencit diinjeksikan cecal inoculum 6 mg/mencit
secara intraperitoneal (Brahmbhatt et al., 2005; Chopra dan Sharma, 2007).
I. Rancangan Penelitian
Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian
KK
KS
KSS
Neutrofil
Neutrofil 1
Neutrofil 2
S
Uji Anova dan
dilanjutkan dengan
Post Hoc Test
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
27
Keterangan :
S : Jumlah mencit yang digunakan
KK : Kelompok Kontrol
KS : Kelompok Sepsis
(pemberian Cecal inoculum 0,15 ml/i.p/mencit)
KSS : Kelompok Sepsis+Steroid
(pemberian Cecal inoculum 0,15 ml/i.p/mencit dan
metilprednisolon 0,13 mg/per i.p/mencit)
Neutrofil : Hitung neutrofil Kelompok Kontrol
Neutrofil 1 : Hitung neutrofil Kelompok Sepsis
Neutrofil 2 : Hitung neutrofil Kelompok Sepsis+Steroid
J. Instrumental Penelitian
1. Alat Penelitian
a. Kandang hewan percobaan
b. Timbangan hewan
c. Spuit injeksi
d. Pipet ukur
e. Labu takar
f. Gelas beker
g. Timbangan obat
h. Tabung reaksi
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
28
2. Bahan Penelitian
a. Metilprednisolon 125 mg
b. Aquades
c. Hewan uji 30 ekor
d. Dekstrose water 5%
e. Material cecal mencit Balb/C
f. Makanan hewan uji
g. EDTA
K. Cara Kerja
1. Sebelum Perlakuan
a. Hewan uji diadaptasi dengan kondisi laboratorium tempat penelitian
dilakukan selama kurang lebih 1 minggu.
b. Hewan uji dikelompokkan secara acak menjadi 3 kelompok. Masing-
masing kelompok terdiri dari 10 ekor mencit.
2. Pemberian Perlakuan
Sejak hari ke-0 sampai hari ke-5 mencit diberi diet standar yaitu pelet.
Masing-masing kelompok diberi perlakuan yang berbeda. Kelompok K
atau kontrol tidak diberi injeksi cecal inoculum maupun injeksi
metilprednisolon. Kelompok K1 hanya diberi injeksi cecal inoculum.
Kelompok K2 diberi injeksi cecal inoculum dan injeksi metilprednisolon.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
29
L.
Gambar 3.2. Alur Penelitian
Mencit Balb/C jantan Umur
2-3 bulan
Berat Badan ± 17-20 gram
Adaptasi 7 hari
Simple Random Sampling
Kelompok Kontrol
Mencit Balb/C 10
ekor
Kelompok Sepsis
Mencit Balb/C 10
ekor
Kelompok
Sepsis+Steroid
Mencit Balb/C 10 ekor
Hari ke 1-5
+ Material cecal inoculum
0,15 ml/i.p/mencit
24 jam setelah hari ke 5 mencit dikorbankan
Menghitung jumlah neutrofil pada setiap kelompok
Hasil dianalisis dengan uji statistik ANOVA dilanjutkan dengan Post Hoc
Test
Hari ke 1-5
+ metilprednisolon 0,13
mg/per i.p/mencit
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
30
M. Teknik Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji
ANOVA (Analysis of Variance) dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Uji
ANOVA adalah uji hipotesis parametrik untuk membandingkan perbedaan
mean pada lebih dari dua kelompok. Uji ANOVA yang dipakai dalam
penelitian kali ini adalah uji ANOVA Satu Arah (One-Way-ANOVA) karena
akan membandingkan mean antara satu variabel independen berskala
kategorik dengan satu variabel dependen berskala numerik.
Uji ANOVA harus memenuhi asumsi berikut, yaitu :
1. Varians homogens (sama)
2. Sampel kelompok independen
3. Data berdistribusi normal
4. Jenis data yang dihubungkan adalah ada/tidaknya perbedaan rerata
(mean) data numerik pada kelompok kategorik
Jika asumsi ANOVA Satu Arah tidak terpenuhi, maka digunakan
alternatif uji hipotesis non-parametrik Kruskal-Wallis. Uji Kruskal-Wallis
membutuhkan asumsi yang lebih longgar, yaitu:
1. Sampel berasal dari populasi independen, pengamatan satu dan yang
lainnya independen
2. Sampel diambil secara random dari populasi masing-masing
3. Data diukur minimal dalam skala ordinal
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
31
Uji Post Hoc bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut kelompok mana
yang berbeda meannya bila pada pengujian anova dihasilkan ada perbedaan
bermakna (H0 ditolak) (Departemen Biostatik FKM UI, 2009).
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
32
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil penelitian
Hasil penelitian memperlihatkan hitung neutrofil pada kelompok mencit
normal didapatkan 63,3 sel neutrofil setiap 100 sel leukosit darah tepi. Pemberian
cecal inoculum dosis 6 mg/ mencit/ hari secara i.p. meningkatkan hitung neutrofil
menjadi 80,5 sel neutrofil setiap 100 sel leukosit darah tepi. Pemberian steroid
dosis rendah (0,13 mg/ mencit/ hari) secara i.p. mampu menurunkan hitung
neutrofil menjadi 58,6 sel neutrofil setiap 100 sel leukosit darah tepi. Hasil rerata
hitung neutrofil setiap 100 sel leukosit darah tepi masing-masing kelompok secara
lengkap disajikan pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Rerata Prosentase Hitung Neutrofil Masing-Masing Kelompok
Kelompok n Mean Std. deviation
Kontrol 10 63,3 11,7
Sepsis 10 80,5 10,4
Sepsis + Steroid 10 58,6 17,0
Hasil pengamatan neutrofil menggunakan mikroskop cahaya dengan
pengecatan Wright Giemsa disajikan pada gambar 4.1, 4.2 dan 4.3.
32
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
33
Gambar 4.1. Gambaran neutrofil kelompok kontrol dengan pengecatan Wright
Giemsa menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 1000x. Panah
kuning menunjukkan neutrofil
Gambar 4.2. Gambaran neutrofil kelompok sepsis dengan pengecatan Wright
Giemsa menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 1000x. Panah
kuning menunjukkan neutrofil
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
34
Gambar 4.3. Gambaran neutrofil kelompok sepsis+steroid dengan pengecatan
Wright Giemsa menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 1000x.
Panah kuning menunjukkan neutrofil
Gambaran rerata prosentase hitung neutrofil masing-masing kelompok
terlihat pada gambar 4.4.
Gambar 4.4. Histogram Rerata Hitung Neutrofil
63,3
80,5
58,6
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
kontrol Sepsis Sepsis+steroid
hit
un
g n
eu
tro
fil (
%)
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
35
B. Analisis Data
Data penelitian dianalisis menggunakan uji ANOVA. Syarat dilakukannya uji
ANOVA adalah data numerik, sebaran data normal, dan data homogen. Dari hasil
uji normalitas didapatkan sebaran data tidak normal, sehingga dilakukan
transformasi data. Setelah dilakukan transformasi data, didapatkan hasil sebaran
data masih tidak normal. Untuk itu, dilakukan uji alternatifnya menggunakan uji
non parametrik ( uji Kruskal-Wallis). Hasil uji Kruskal-Wallis didapatkan p =
0,002, hal ini menunjukkan paling tidak ada perbedaan diantara dua kelompok.
Tabel 4.2. Hasil Uji Kruskal-Wallis
Jumlah Neutrofil
Chi-Square 12,856
Df 2
Asymp. sig. 0,002
Untuk itu, dilakukan uji Post Hoc menggunakan Mann-Whitney. Hasilnya
didapatkan pemberian cecal inoculum meningkatkan hitung neutrofil secara
bermakna (p=0,002), pemberian steroid dosis rendah mampu menurunkan hitung
neutrofil secara bermakna (p=0,001). Penurunan hitung neutrofil pada kelompok
sepsis yang diberikan steroid dosis rendah sama dengan kontrol (p=0,684). Hasil
uji Mann-Whitney secara lengkap disajikan dalam tabel 4.3.
Tabel 4.3. Rangkuman Uji Mann-Whitney
Kelompok p Keterangan
Kontrol vs Sepsis 0,002 Bermakna
Sepsis vs Sepsis+Steroid 0,001 Bermakna
Sepsis+Steroid vs Kontrol 0,684 Tidak Bermakna
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
36
BAB V
PEMBAHASAN
Dari penelitian ini diperoleh rata-rata hitung neutrofil darah tepi dari
kelompok sepsis (80,5 sel neutrofil setiap 100 sel leukosit darah tepi) yang lebih
tinggi dibanding kelompok kontrol (63,3 sel neutrofil setiap 100 sel leukosit darah
tepi). Hal ini membuktikan bahwa pemberian material cecal inoculum pada
kelompok sepsis mampu menyebabkan sepsis fase awal, dimana pada keadaan
tersebut terjadi peningkatan sistem imun salah satunya karena penghambatan
apoptosis neutrofil. Hal ini sesuai dengan Obelholzer et al. (2001) yang dalam
laporannya menyebutkan bahwa pada kasus sepsis, terjadi delayed apoptosis
sehingga jumlah neutrofil yang berada di sirkulasi meningkat.
Dari hasil penelitian injeksi cecal inoculum memperlihatkan tanda-tanda
piloerection, periocular discharge, tampak lesu, penurunan nafsu makan dan
minum, serta diare. Terlihat infeksi yang berlebihan, kerusakan yang hebat dan
perlengketan di sejumlah organ termasuk hepar, lien, ginjal, serta memperlihatkan
tingkat kematian sebesar 100% selama tujuh hari perlakuan (Diding et al., 2008).
Penelitian apoptosis neutrofil pada pasien sepsis mengindikasikan bahwa
penundaan kematian sel akan mengaktifkan NF-B dan menekan caspase 9 dan 3.
Pada kasus sepsis, bacterial lipoprotein ligation yaitu TLR-2 dan CD-14 yang
berada di permukaan membran neutrofil akan menghambat depolarisasi membran
mitokondria. Selanjutnya, akan terjadi proses induksi terhadap anti apoptosis
protein seperti cIAP-2 (komponen endotoksin), yang akan mempercepat proses
36
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
37
degradasi dari caspase 3. Akibatnya, proses apoptosis neutrofil akan terhambat
(Wesche et al., 2005).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Diding dan Guntur (2009), NF-κB
diekspresikan di semua sel eukariot, sebagai respon terhadap berbagai rangsangan
seperti stres, infeksi, trauma, dan sejumlah sitokin. Selain itu, dari beberapa
penelitian mengungkapkan NF-κB berperan dalam mengendalikan aktivasi
sejumlah gen yang berperan dalam pertumbuhan, diferensiasi, respon imunitas,
inflamasi, dan kelangsungan hidup dari sel (LI et al., 2001). NF-κB berperan
dalam patofisiologi dari penyakit-penyakit kritis dengan mengatur ekspresi dari
gen (sitokin, khemokin, reseptor, dll). Sehubungan dengan hal tersebut, maka
kesalahan dalam pengaturan NF-κB berhubungan dengan kanker, inflamasi,
penyakit autoimun, syok septik, infeksi virus, dan perkembangan imunitas yang
salah (Diding dan Guntur, 2009).
Menurut penelitian Xiao et al., (2006), respon inflamasi akut terjadi pada
sepsis tahap awal (lima hari pertama pajanan) dan proses kematian terjadi pada
sepsis tahap lanjut (setelah lima hari pertama pajanan). Pada penelitian ini
penggunaan steroid (metilprednisolon) dosis rendah pada sepsis tahap awal (lima
hari pertama) secara bermakna mampu menghambat ekspresi NF-κB. Dengan
terhambatnya ekspresi NF-κB maka overproduksi sitokin-sitokin pro-inflamasi
bisa ditekan (Diding dan Guntur, 2009). Berkurangnya produksi sitokin pro-
inflamasi akan memperbaiki proses depolarisasi membran sel neutrofil sehingga
jumlah protein anti apoptosis (cIAP-2) akan berkurang dan proses degradasi
caspase 3 akan terhambat. Apabila caspase 3 yang didegradasi berkurang, maka
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
38
proses apoptosis neutrofil akan meningkat. Hal ini akan menurunkan jumlah
neutrofil yang beredar di sirkulasi sehingga kerusakan jaringan dan kematian
organ lebih lanjut dapat ditekan. Selain itu menurut Annane dan Caillon (2003),
pemberian steroid dosis rendah pada sepsis dapat mengurangi respon inflamasi
sistemik, sebagai vasopressor, menghambat produksi sitokin pro-inflamasi,
menghambat produksi mediator-mediator inflamasi seperti cyclooksigenase-2, dan
menurunkan adhesi leukosit ke endotel.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yaitu hitung neutrofil darah
tepi kelompok sepsis+steroid menunjukkan angka rata-rata yang lebih rendah dari
kelompok sepsis. Dengan kata lain, pemberian steroid dosis rendah mampu
menurunkan hitung neutrofil secara bermakna (p=0,001). Hitung neutrofil pada
kelompok sepsis yang diberikan steroid dosis rendah sama dengan kontrol
(p=0,684). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian steroid dosis
rendah pada kelompok sepsis terbukti dapat meningkatkan apoptosis sel neutrofil
pada Mencit Balb/C yang diinduksi dengan cecal inoculum. Sebagai hasil akhir,
akan terlihat bahwa steroid dosis rendah mampu menurunkan angka kematian
pada sepsis tahap awal (Diding dan Guntur, 2009). Hasil ini sesuai dengan
Annane et al., (2002), yang merekomendasikan penggunaan steroid dosis rendah
jangka panjang (setara dengan 200 sampai 300 mg hidrokortison per hari) pada
penanganan syok sepsis. Sebaliknya penelitian ini berlawanan dengan Rady et al.,
(2006) yang mengungkapkan bahwa penggunaan steroid seawal mungkin akan
meningkatkan frekuensi infeksi nosokomial, infeksi polimikrobial dan infeksi
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
39
jamur selama dirawat di rumah sakit. Sehingga steroid akan meningkatkan risiko
kematian ataupun kecacatan pada pasien-pasien dengan acute critical illness.
Kelemahan dari penelitian ini adalah penelitian ini belum menggunakan
variasi dosis steroid (metilprednisolon) sehingga belum dapat diketahui apakah
dosis yang digunakan dalam penelitian ini merupakan dosis yang paling tepat
untuk terapi sepsis tahap awal atau belum. Oleh karena itu, tetap diperlukan
penelitian-penelitian yang lebih lanjut demi mendapatkan angka penyembuhan
sepsis tahap awal yang lebih bermakna.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
40
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa steroid dosis rendah
dapat menurunkan hitung neutrofil pada sepsis tahap awal.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan variasi dosis
sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan dosis
steroid yang lebih tepat untuk terapi sepsis tahap awal.
40
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
41
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK and Lichtman AH. 2005. Cellular and Moleculer Immunology.
USA: Elsevier Science, pp:264,433-451.
Annane DV and Caillon DM. 2003. Corticosteroid in Sepsis : From Bench to
Bedside. Shock 20:197-207.
Annane DV, Sebille C, Charpentier PE, Bollaert B, Francois JM, Korach G et al.,
2002. Effect of Treatment with Low Doses of Hydrocortisone and
Fludrocortisone on Mortality in Patients with Septic Shock. JAMA 288:
862–871.
Arief MTQ. 2004. “Penetapan Besar Sampel” dalam Pengantar Metodologi
Penelitian untuk Ilmu Kesehatan. Klaten selatan : CSGF, p:132.
Azis AL. 2006. Penggunaan Steroid di Klinik ( The Use of Corticosteroid in
Clinics ). http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-
iskandar%20japardi20.pdf. (23 Maret 2010).
Brahmbhatt S, Gupta A, and Sharma AC. 2005. Bigendothelin-1 (1-21) Fragment
during Early Sepsis Modulates tau, p38-MAPK Phosphorylation and Nitric
Oxide Synthase Activation. Molecular and Cellular Biochemistry.
271:225–237.
Brooks GF, Butel J, and Morse AS. 2003. Medical Microbiology. Singapore: Mc
Graw Hill Company, p: 217.
Cavaliere F, Masieri S, Annetta G, Gargano F, and Proietti R. 2004. New
Indications for Corticosteroids in Intensive Care Units. Curr Drug Targets
5:411-417.
Chen K dan Pohan HT. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Penyakit Tropik dan Infeksi : Penatalaksanaan Syok Sepsis. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, pp: 187.
Chamberlaine NR. 2004. From Systemic Inflammatory Response Syndrome (Sirs)
To Bacterial Sepsis With Shock.
http://www.atsu.edu/faculty/chamberlain/Website/lectures/lecture/sepsis.ht
m. (22 Maret 2010).
Chopra M and Sharma AC. 2007. Distinct Cardiodynamic and Molecular
Characteristics During Early and Late Stages of Sepsis-Induced
Myocardial Dysfunction. Pubmed 81(4):306-316.
41
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
42
De Backer D, Creteur J, Preiser JC, Dubois MJ, and Vincent JL. 2002.
Microvascular Blood Flow Is Altered in Patients with Sepsis. Am J Respir
Crit Care Med 166 : 98-104.
Departemen Biostatik FKM UI. 2009. Statistik Non-Parametrik.
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/7263bdba0cd59d61cd2ced60
bc3c4cf035dd81ae.pdf (6 April 2010).
Diding HP dan Guntur H. 2008. Effect of Probiotic (Bion-3) on Grading
Inflammation in Intestinal Mucosa. Dipresentasikan pada Simposium
Nasional: The 2nd Indonesian Sepsis Forum di Surakarta 7-9 Maret 2008.
Diding HP dan Guntur H. 2009. The Analysis of Low Dose Corticosteroid Effect
on Intestinal NF-B and Caspase-3 Expression in Sepsis. Dipresentasikan
pada Simposium Nasional : The 3rd Indonesian Sepsis Forum di Surakarta
6-8 November 2009.
Dorland WA. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Penerbit Buku Kedokteran
Jakarta: EGC, p : 1265.
Elena GR, Alejo C, Gema R, and Mario D. 2006. Corstatin, A New Anti-
Inflammatory Peptide with Therapeutic Effect on Lethal Endotoxemia. J
Exp Med 20393: 563-571.
Fu Bu H, Wang X, Qin Zhu Y, Williams RY, Hsueh, Zheng X et al., 2006.
Lysozyme-Modified Probiotic Components Protect Rats against
Polymicrobial Sepsis: Role of Macrophages and Cathelicidin-Related
Innate Immunity. The Journal of Immunology 177: 8767–8776.
Gandasoebrata R. 2001. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat,
pp:32-33.
Gao F, Linhartova L, Johnston AMcD, and Thickett DR. 2008. Statins and Sepsis.
BJA 100(3):288-298.
Guntur H, Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, dan Setiati S. 2007.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi XI. Penyakit Tropik dan
Infeksi: Sepsis. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 1840.
Guyton and Hall, 2007. “Resistensi Tubuh terhadap infeksi: Leukosit, Granulosit,
Sistem Makrofag-monosit, dan Inflamasi” dalam : Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC, pp: 451-459.
Guo RF, Sun L, Gao H, Shi KX, Rittirsch D, Sarma VJ et al., 2006. In vivo
regulation of neutrophil apoptosis by C5a during sepsis. Journal of
Leukocyte Biology 80:1575-1583.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
43
Hoffbrand AV. 1996. “Sel Darah Putih” dalam : Kapita Selekta Haematologi.
Edisi II. Jakarta : EGC, pp : 102.
Jimmy FP, Berbe´e, Oberholzer C, Hoogt VD, Kleemann R, Schippers EF et al.,
2006. Apolipoprotein CI Stimulates The Response to Lipopolysaccharide
and Reduces Mortality in Gram-Negative Sepsis. FASEB J 20:E1560–
E1569.
Keh D and Sprung CL. 2004. Use of Corticosteroid Therapy in Patients with
Sepsis and Septic Shock: An Evidence-Based Review. Crit Care Med
32[Suppl.]:S527–S533.
Levy H, Laterre PF, Bates B and Qualy RL. 2005. Steroid Use in PROWESS
Severe Sepsis Patients Treated with Drotrecogin Alfa (Activated). Critical
Care 9:R502-R507.
Moran TJ, Gray S, Mikosz CA, and Conzen SD. 2000. The Glucocorticoid
Receptor Mediates a Survival Signal in Human Mammary Epithelial Cells.
Cancer Res 60:867–872.
Oberholzer C, Oberholzer A, Clare-Salzler
M, and Moldawer LL. 2001. Apoptosis
in Sepsis: a New Target for Therapeutic Exploration. The FASEB Journal
15:879-892.
O’Connor EO, Venkatesh B, Lipman J, Mashongonyika C, and Hall J. 2001.
Procalcitonin in Critical Illness. Crit Care Res 3:236–243.
Paterson RL and Webster NR. 2000. Sepsis and the systemic inflammatory
response syndrome. J.R.Coll.Surg.Edinb 45: 178-18.
Pudjiastuti. 2008. Imunoglobulin Intravena Pada Anak dan Bayi dengan Sepsis.
Proseding of National Symposium : The Second Indonesia SEPSIS Forum.
Surakarta:PETRI, pp:100-105.
Rady MY, Johnson DJ, Patel B, Larson J and Helmers R. 2006. Corticosteroids
influence the mortality and morbidity of acute critical illness. Critical
Care Vol 10 No 4.
Ravi T , Jean P , Jia SH, Andras K , Ori DR , and John CM . 2004. Delayed
Neutrophil Apoptosis in Sepsis is Associated with Maintenance of
Mitochondrial Transmembrane Potential and Reduced Caspase-9 Activity.
Critical Care Journal 32, no7:1460-1469.
Remick DG. 2007. Pathophysiology of Sepsis. Am J Pathol 170(5):1435-1444.
Riedemann NC, Guo RF, Bernacki KD, Reuben JS, Laudes IJ, Neff TA et al.,
2003. Regulation by C5a of Neutrophil Activation during Sepsis.
ScienceDirect 19:193-202.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users
44
Riedemann NC, Neff TA, Guo RF, Bernacki KD, Laudes IJ, Sarma VJ et al.,
2003. Protective Effects of IL-6 Blockade in Sepsis Are Linked to
Reduced C5a Receptor Expression. The Journal of Immunology 170:503-
507.
Ronald SA dan Mcpherson AR. 2000. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan
Laboratorium edisi sebelas. Jakarta:EGC, p :58.
Russell JA. 2006. Management of Sepsis. NEJM 355 pp:1699-1713.
Spronk PE, Zandstra DF, and Ince C. 2004. Bench-to-bedside Review: Sepsis is a
Disease of the Microcirculation. Critical Care Journal 8:462-468.
Suhardjono D. 1995. Percobaan Hewan Laboratorium. Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, pp:207.
Sutarman NP dan Roma J. 1993. Pengaruh Steroid terhadap Sistem Imun.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13PengaruhSteroid085.pdf/13Pengar
uhSteroid085.html. (22 Maret 2010).
Trzeciak S and Rivers EP. 2005. Clinical Manifestations of Disordered
Microcirculatory Perfusion in Severe Sepsis. Critical Care 9(suppl 4):S20-
S26.
Wesche DE, Lomas-Neira JL, Perl M, Chung CS, and Ayala A. 2005. Leukocyte
Apoptosis and Its Significance in Sepsis and Shock. J. Leukoc Biol 78:
325–337.
Wesche-Soldato DE, Swan RZ, Chun-Shiang C, and Ayala A. 2007. The
Apoptotic Pathway as a Therapeutic Target in Sepsis. Curr Drug Targets
8(4): 493–500.
Xiao H, Siddiqui J, and Remick DG. 2006. Mechanisms of Mortality in Early and
Late Sepsis . American Society for Microbiology 74(9): 5227-5235.
Zeerleder S, Caliezi C, Mierlo GV, Belmer AE, Sulzer I, Hack CE et al., 2003.
Administration of C1 Inhibitor Reduces Neutrophil Activation in Patients
with Sepsis. PubMed 10(4): 529–535.
digilib.uns.ac.idpustaka.uns.ac.id
commit to users