Post on 09-Sep-2015
description
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut survei yang dilakukan oleh WHO, Indonesia menempati urutan
keempat jumlah penderita diabetes melitus terbesar di dunia setelah India, Cina,
dan Amerika Serikat. Pada tahun 1995, penderita diabetes melitus menempati
urutan pertama dari seluruh penyakit yang disebabkan oleh kelainan endokrin
yang diperkirakan mencapai 4,5 juta jiwa (Anonim, 2005).
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang terutama disebabkan
oleh pola makan yang tidak sehat (tinggi lemak dan gula) serta kurangnya
aktivitas fisik seperti olah raga. Dari sekian banyak penderita diabetes melitus
tersebut, sekitar 85% merupakan penderita diabetes melitus tipe 2 resisten insulin
(Rahmaiah, 2007). Pada penderita diabetes melitus tipe 2 resisten insulin, kadar
kolesterol total darah cenderung meningkat (hiperkolesterolemia).
Hiperkolesterolemia dapat meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit
jantung, serangan jantung, dan stroke yang merupakan penyakit pembunuh nomor
satu di dunia. Kolesterol yang berlebih dalam darah akan menumpuk di dinding
pembuluh darah dan menghambat aliran darah ke otak, jantung, dan organ lainnya
serta memicu timbulnya penyakit kardiovaskular (Ehrlich, 2010).
Tujuan utama dari terapi diabetes melitus adalah mengurangi risiko
komplikasi penyakit mikrovaskular dan makrovaskular, memperbaiki gejala-
gejala yang timbul, mengurangi angka kematian, dan meningkatkan kualitas hidup
2
(Dipiro et al., 2008). Untuk mengurangi risiko komplikasi penyakit
makrovaskular seperti penyakit jantung koroner dan stroke, maka perlu dilakukan
pengendalian kadar kolesterol total darah pada penderita diabetes melitus.
Pengendalian kadar kolesterol total darah dapat dilakukan dengan pengaturan diet
dan olah raga. Namun, bila tidak berhasil, dokter akan menyarankan pengobatan
untuk menurunkan kadar kolesterol total darah (Ehrlich, 2010).
Pengobatan untuk menurunkan kadar kolesterol total darah menggunakan
obat-obat sintetik memiliki risiko tinggi karena dilakukan dalam jangka panjang
sehingga dapat meningkatkan efek samping obat. Melihat banyaknya risiko efek
samping yang mungkin ditimbulkan, penggunaan obat-obat sintetik mulai dibatasi
dan digantikan dengan obat-obat dari bahan alam yang dipercaya lebih aman dan
memiliki risiko efek samping relatif kecil pada penggunaan jangka panjang
(Pramono dan Katno, 2002).
Bahan alam yang diketahui mampu menurunkan kadar glukosa darah
sekaligus kolesterol total darah di antaranya adalah temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) dan sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f) Nees).
Ekstrak etanolik herba sambiloto 1000 mg/kg BB diketahui dapat menurunkan
kadar glukosa darah pada tikus resisten insulin (Rammohan, 2009). Seo et al.
(2008) melaporkan bahwa diet kurkumin dapat memperbaiki kondisi resisten
insulin dan hiperglikemia pada tikus obesitas-diabetes. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Purbowanti (2006) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak
terpurifikasi rimpang temulawak dengan dosis 45 mg/200 g BB dapat
menurunkan kadar kolesterol total darah sebesar 27,64% pada tikus Wistar jantan
3
yang diberi diet lemak tinggi dan kolesterol. Pemberian ekstrak air herba
sambiloto 100 dan 200 mg/kg BB dapat mencegah kenaikan kadar kolesterol total,
LDL, dan trigliserida pada tikus yang diberi diet kolesterol (Zuraini et al., 2006).
Oleh karena itu, sambiloto dan temulawak dapat dipertimbangkan untuk
pengobatan diabetes melitus dengan komplikasi hiperlipidemia.
Kombinasi bahan alam dalam mengobati suatu penyakit dapat dilakukan
dalam rangka meningkatkan efektivitas pengobatan penyakit tersebut. Hingga saat
ini, belum ada penelitian untuk mengetahui pengaruh kombinasi antara fraksi
kurkuminoid rimpang temulawak dengan fraksi tak larut heksan ekstrak etanolik
herba sambiloto dalam menurunkan kadar kolesterol total darah pada kondisi
resisten insulin. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
apakah kombinasi kedua bahan tersebut lebih efektif dalam menurunkan kadar
kolesterol total darah pada kondisi resisten insulin dibanding bentuk tunggalnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan apakah
kombinasi fraksi kurkuminoid rimpang temulawak dengan fraksi tak larut heksan
ekstrak etanolik herba sambiloto mampu menurunkan kadar kolesterol total darah
pada tikus resisten insulin lebih efektif dibanding bentuk tunggalnya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pemberian kombinasi
fraksi kurkuminoid rimpang temulawak dengan fraksi tak larut heksan ekstrak
4
etanolik herba sambiloto mampu menurunkan kadar kolesterol total darah pada
tikus resisten insulin lebih efektif dibanding bentuk tunggalnya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah berupa informasi
potensi kombinasi fraksi kurkuminoid rimpang temulawak dengan fraksi tak larut
heksan ekstrak etanolik herba sambiloto dalam menurunkan kadar kolesterol total
darah pada penderita diabetes melitus tipe 2 resisten insulin.
E. Tinjauan Pustaka
1. Temulawak
a. Sistematika
Klasifikasi temulawak dalam sistematika tumbuhan adalah sebagai
berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Zingiberales
Keluarga : Zingiberaceae
Marga : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Anonim, 2007).
5
Nama daerah
Sumatera: temulawak (Melayu). Jawa: koneng gede (Sunda), temulawak
(Jawa Tengah), temulatah (Madura) (Anonim, 2007).
Gambar 1. Rimpang temulawak (Rukmana, 1995)
b. Morfologi
Temulawak memiliki batang semu, lunak, membentuk rimpang,
berwarna kuning muda. Daunnya tunggal, bulat telur, ujung meruncing,
terpisah, pangkal runcing, permukaan licin, panjang 40-60 cm, lebar 15-20
mm, tangkai panjang 15-25 cm, pertulangan menyirip, hijau. Bunga
majemuk, berbentuk bulir, panjang 9-23 cm, lebar 4-6 cm, daun pelindung
banyak, bentuk corong, panjang 3-8 cm, lebar 1,5-3,5 cm, kelopak berambut
panjang 8-13 mm, putih. Mahkota bunga bentuk tabung, putih atau putih
kekuningan, benang sari kuning muda, kepala sari putih, panjang putik 3-7
mm berbulu, kuning keputih-putihan. Buah kotak, berbulu, panjang lebih
kurang 2 cm, putih kekuningan (Anonim, 1991).
6
c. Kandungan kimia
Kandungan kimia rimpang temulawak terdiri atas pati 29-30%, kurkumin
2-2,81% per berat kering (Kiswanto, 2005), dan minyak atsiri 3-12%
(Maiwald dan Schwantes, 1971). Di dalam rimpang, senyawa turunan
disinamoilmetana atau diarilheptanoid dapat mencapai kadar 5%, terdiri atas
senyawa kurkuminoid (Wiryowidagdo, 2005).
Kurkuminoid, komponen utama di spesies Curcuma yang terdiri atas
kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin, memiliki struktur
bifenil yang terhubung dengan alkil tidak jenuh yang bertanggung jawab
terhadap aktivitas farmakologisnya. Kurkumin memiliki struktur terkonjugasi
yang unik meliputi dua fenol termetilasi yang dihubungkan oleh enol
membentuk heptadien-3,5-diketon yang memberikan warna kuning cerah
pada kurkumin.
R1 R2 mol %
Kurkumin OCH3 OCH3 73.4
Demetoksikurkumin OCH3 H 16.1
Bisdemetoksikurkumin H H 10.5
Gambar 2. Struktur Kurkuminoid pada Spesies Curcuma (Asai dan Miyazawa, 2001)
d. Efek farmakologi
Selain terkenal dengan efek antiinflamasinya, kurkumin juga mempunyai
efek terapi lainnya seperti menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah
oksidasi LDL, menghambat agregasi platelet, menekan trombosis dan
myocardial infarction, menekan gejala-gejala diabetes melitus tipe 2,
7
rheumatoid arthritis, multiplesclerosis, penyakit Alzheimer, mencegah
replikasi human immunodeficiency virus (HIV), mempercepat penyembuhan
luka, meningkatkan sekresi empedu, hepatoprotektor, antiaterosklerosis, serta
pencegahan dan pengobatan kanker (Itokawa et al., 2008).
Diet kurkumin yang diberikan kepada tikus Sprague-Dawley jantan yang
dibuat hiperkolesterolemia dapat menurunkan kadar kolesterol total darah
sebesar 34%. Mekanisme aksi hipokolesterolemik kurkumin ini disebabkan
oleh stimulasi konversi kolesterol menjadi asam empedu melalui peningkatan
aktivitas enzim kolesterol 7-hidroksilase (CYP7A1). Kolesterol 7-
hidroksilase (CYP7A1) adalah enzim spesifik pada hati yang mengkatalisis
biosintesis asam empedu dari kolesterol (Kim dan Kim, 2010).
2. Sambiloto
a. Sistematika
Klasifikasi sambiloto dalam sistematika tumbuhan adalah sebagai
berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Solanales
Keluarga : Acanthaceae
Marga : Andrographis
Spesies : Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees (Hutapea, 1994).
8
Nama daerah
Sumatera: sambilata (Melayu). Jawa: sambiloto (Jawa Tengah), ki oray
(Sunda). Maluku: pepaitan. (Anonim, 2007).
Gambar 3. Herba Sambiloto (Jarukamjorn dan Nemoto, 2008)
b. Morfologi
Sambiloto merupakan tanaman liar yang tersebar di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia. Tinggi tanaman dapat mencapai 1 m, batang bentuk
persegi empat. Daun tunggal, letak berhadapan, tangkai daun sangat pendek,
bahkan sampai hampir tidak bertangkai, bentuk lanset, ukuran kira-kira 12 cm
x 13 cm, bertepi rata, permukaan atas berwarna hijau tua, permukaan bawah
berwarna lebih pucat. Bunga majemuk, bentuk malai, ukuran kecil, warna
putih, terdapat di ketiak dan ujung tangkai. Buah kecil memanjang, ukuran
lebih kurang 0,30-0,40 cm x 1,50-1,90 cm, berlekuk, terdiri dari dua rongga,
berwarna hijau dan akan pecah bila buah masak, biji kecil, gepeng berwarna
hitam (Hutapea, 1994).
9
c. Kandungan kimia
Daun sambiloto mengandung saponin, flavonoid, dan tanin. Beberapa
kandungan kimia daun dan cabang sambiloto yaitu lakton yang terdiri dari
deoxy-andrographolide, andrographolide (zat pahit), neoandrographolide,
14-deoxy-11, 12 didehydroandrographolide, dan homoandrographolide
(Mahruzar, 2009). Andrografolid merupakan konstituen aktif utama.
Andrografolid [C20H30O5] berupa kristal bening yang berasa sangat pahit dan
terdapat di seluruh bagian tanaman terutama dalam daun.
Kandungan kimia sambiloto yang lain yaitu alkane, keton, aldehid,
mineral (kalium, kalsium, natrium), asam kersik, dan damar. Flavonoid
diisolasi terbanyak dari akar, yaitu polimetoksiflavon, andrografin, paniculin,
mono-o-metilwithin, dan apigenin-7, 4-dimetileter (Dalimartha, 1999).
Gambar 4. Struktur Kimia Andrografolid (Niranjan et al., 2010)
d. Efek farmakologi
Secara farmakologi, Andrographis paniculata mempunyai khasiat
sebagai analgesik, antibakteri, memperbaiki imunitas, antipiretik, antidiare,
10
antiinflamasi, antimalaria, dan antiviral. Tumbuhan ini telah digunakan
selama beberapa abad di Asia untuk mengobati beberapa penyakit (Mahruzar,
2009). Ekstrak air herba sambiloto 100 dan 200 mg/kg BB dapat menurunkan
kadar kolesterol total darah dengan mekanisme menghambat HMG CoA
reduktase pada tikus yang diberi diet tinggi lemak (Patel et al., 2011).
3. Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Anonim,
2000). Pemilihan penyari yang baik mempunyai kriteria murah dan mudah
diperoleh, stabil secara fsika kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan
tidak mudah terbakar, selektif, dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat. Cairan
penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Bila
cairan penyari yang digunakan adalah air maka untuk mencegah timbulnya
kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian
(Anonim, 1986).
Beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan adalah maserasi, perkolasi,
dan soxhletasi. Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan
penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan luar sel, maka larutan yang
terpekat akan didesak ke luar. Peristiwa tersebut terjadi berulang kali hingga
11
terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dan luar sel (Anonim,
1986).
Pada penyarian dengan cara maserasi, perlu dilakukan pengadukan untuk
meratakan konsentrasi larutan di luar serbuk simplisia. Dengan pengadukan
tersebut, derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di
dalam sel dengan larutan di luar sel akan tetap terjaga (Anonim, 1986).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara
maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna
(Anonim, 1986).
Dalam proses ekstraksi, dapat dilakukan purifikasi ekstrak untuk
menghilangkan atau memisahkan senyawa yang tidak dikehendaki tanpa
berpengaruh pada kandungan senyawa yang dikehendaki, sehingga diperoleh
ekstrak yang lebih murni dengan kandungan zat aktif lebih besar (Anonim, 2000).
4. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengektraksi senyawa
aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai. Semua
atau hampir semua pelarut kemudian diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(Anonim, 1995).
Berdasarkan sifatnya, ekstrak dapat dibagi menjadi:
12
a. ekstrak encer (extractum tenue), memiliki konsistensi seperti madu dan dapat
dituang,
b. ekstrak kental (extractum spissum), liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat
dituang, kadar air sebesar 30%,
c. ekstrak kering (extractum siccum), memiliki konsistensi kering, mudah
digosokkan, dan berbentuk serbuk, pada umumnya diperoleh melalui perkolasi;
d. ekstrak cair (extractum fluidum), ekstrak yang dibuat sedemikian rupa sehingga
1 bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian (kadang-kadang juga 1 bagian)
ekstrak cair (Voigt, 1984).
5. Kromatografi lapis tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar, selain
kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda dengan kromatografi kolom di
mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalam kolom, pada kromatografi
lapis tipis, fase diamnya merupakan lapisan yang seragam pada permukaan
bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat
plastik.
Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak
sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik
(ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun
(descending).
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah
dibandingkan dengan kromatografi kolom. Peralatan yang digunakan juga lebih
13
sederhana dan dapat dilakukan di hampir semua laboratorium. Keuntungan lain
dari kromatografi lapis tipis adalah:
1) banyak digunakan untuk tujuan analisis,
2) identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna,
fluoresensi, atau radiasi menggunakan sinar ultraviolet,
3) dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau
dua dimensi,
4) ketepatan penentuan kadar lebih baik karena komponen yang ditentukan
merupakan bercak yang tidak bergerak.
Fase diam yang paling sering digunakan dalam KLT adalah silika dan serbuk
selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama adalah partisi dan adsorpsi.
Fase gerak dapat dipilih dari pustaka tetapi lebih sering dengan mencoba-coba
karena waktu yang diperlukan hanya sebentar (Gandjar dan Rohman, 2007).
Untuk identifikasi digunakan harga Rf (retardation factor). Harga Rf didefinisikan
sebagai:
6. Diabetes melitus
a. Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang
berkaitan dengan kondisi hiperglikemik karena kelainan sekresi insulin,
gangguan kerja insulin, atau keduanya. Gejala awal penderita diabetes melitus
14
di antaranya adalah poliuria (banyak buang air kecil), polidipsi (banyak
minum), polifagi (banyak makan), berkurangnya berat badan, dan astenia
(lelah dan lemah). Gejala poliuria disebabkan oleh efek diuresis osmotik dari
glukosa dalam tubulus ginjal, sedangkan polidipsia disebabkan oleh kondisi
dehidrasi akibat gejala poliuria. Berkurangnya berat badan disebabkan oleh
gagalnya metabolisme glukosa dan protein oleh tubuh sehingga menyebabkan
kecenderungan timbulnya gejala polifagia. Gejala astenia kemungkinan
disebabkan oleh hilangnya protein tubuh dan penggunaan karbohidrat untuk
energi (Guyton, 1997). Gejala-gejala lain dari diabetes melitus adalah luka
dan cedera yang sulit sembuh, rasa kebas dan kesemutan pada kaki, infeksi
kulit, penglihatan kabur, dan kulit kering serta gatal (Susilowati, 2006;
Ramaiah, 2006).
b. Klasifikasi
Diabetes melitus dapat diklasifikasikan menjadi 4 macam, yaitu:
1) Diabetes melitus tipe 1
Sekitar 10% dari penderita diabetes merupakan penderita diabetes
melitus tipe 1 atau diabetes yang tergantung pada insulin. Diabetes ini
disebabkan oleh destruksi autoimun pada sel-sel pankreas. Tubuh sudah
tidak mampu memproduksi insulin lagi sehingga dibutuhkan injeksi insulin
secara teratur untuk mengatur kadar glukosa darah. Tipe diabetes ini biasanya
diderita oleh anak-anak dan remaja.
15
2) Diabetes melitus tipe 2
Sekitar 85% dari penderita diabetes merupakan penderita diabetes
melitus tipe 2 atau diabetes yang tidak tergantung insulin. Diabetes melitus
tipe 2 ditandai dengan kondisi resistensi insulin dan kurangnya sekresi
insulin. Resistensi insulin adalah kondisi di mana tubuh mampu
memproduksi insulin tetapi tidak dapat menggunakannya dengan baik. Ketika
seseorang menderita resistensi insulin, sel-sel otot, lemak, dan hati tidak
merespon insulin dengan baik. Akibatnya, tubuh membutuhkan lebih banyak
insulin untuk membantu glukosa memasuki sel. Pankreas mencoba
mengimbangi kebutuhan insulin yang meningkat dengan memproduksi lebih
banyak insulin. Pada akhirnya, pankreas gagal mengimbangi kebutuhan
insulin tubuh. Banyak orang dengan resistensi insulin memiliki kadar glukosa
dan insulin yang tinggi dalam darah pada saat yang bersamaan (Anonim,
2008).
Kebanyakan individu dengan diabetes melitus tipe 2 menunjukkan
obesitas di bagian abdomen yang menyebabkan kondisi resisten insulin.
Hipertensi, dislipidemia (kadar kolesterol total, trigliserida, atau LDL yang
tinggi, atau kadar HDL yang rendah, atau kombinasi dari kelainan tersebut),
serta peningkatan kadar PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor type 1) juga
sering terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 2. Kumpulan kelainan
tersebut disebut sebagai sindrom resisten insulin atau sindrom metabolik.
Karena kelainan-kelainan tersebut, pasien dengan diabetes melitus tipe 2
16
memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami komplikasi makrovaskular
(Rahmaiah, 2007; Dipiro et al., 2008).
3) Diabetes melitus gestasional
Diabetes melitus gestasional didefinisikan sebagai intoleransi glukosa
yang terjadi pada masa kehamilan (Dipiro et al., 2008).
4) Diabetes melitus tipe spesifik
Diabetes melitus tipe spesifik merupakan kelainan genetik yang ditandai
dengan lemahnya sekresi insulin dengan atau tanpa kondisi resisten insulin.
Pasien biasanya mengalami hiperglikemia pada usia dini akibat
ketidakmampuan genetik untuk mengubah proinsulin menjadi insulin (Dipiro,
et al., 2008).
c. Diagnosis
Untuk memastikan seseorang menderita diabetes melitus, perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium yang meliputi:
1) Uji Toleransi Glukosa Oral
Seseorang dikatakan menderita diabetes melitus bila menunjukkan
gejala-gejala diabetes seperti yang disebut sebelumnya dan kadar glukosa
darah 200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL atau kadar
glukosa darah 2 jam setelah dibebani glukosa 200 mg/dL (Dipiro et al.,
2008).
2) Pemeriksaan Glikohemoglobin (HbA1c)
Uji ini berguna untuk memantau kadar glukosa darah jangka panjang,
diagnosis, penentuan prognosis, dan pengelolaan penderita diabetes melitus.
17
Glikohemoglobin merupakan hasil reaksi glukosa dengan hemoglobin A yang
terbentuk dan terakumulasi di dalam sel darah merah. Nilai normal HbA1c
adalah 4-6% dari hemoglobin total. Kadar HbA1c yang melebihi 8% dari
total hemoglobin A dikategorikan abnormal. Nilai yang melebihi 12%
menggambarkan adanya glukosa darah yang tinggi dalam jangka waktu lama
sekitar 6-8 minggu sebelumnya (Dalimartha, 1996).
Tabel 1. Kategorisasi Kadar Glukosa Darah (Dipiro et al., 2008)
Kategori Kadar glukosa darah puasa
(mg/dl)
Kadar glukosa darah 2 jam
setelah dibebani glukosa
(mg/dl)
Normal
18
diambil oleh jaringan perifer disimpan di otot dan hanya sekitar 4-5%
dimetabolisme oleh sel-sel adiposa.
Walaupun hanya memetabolisme sekitar 4-5% glukosa, jaringan lemak
memainkan peranan penting dalam mempertahankan kadar glukosa darah.
Peningkatan sedikit saja pada kadar insulin darah dapat menyebabkan efek
antilipolisis yang menyebabkan penurunan yang signifikan pada kadar asam
lemak bebas. Penurunan kadar asam lemak bebas darah mengakibatkan
peningkatan ambilan glukosa oleh otot dan mengurangi produksi glukosa di
hati sehingga menurunkan kadar glukosa darah.
Individu dengan diabetes tipe 2 ditandai dengan gangguan pada sekresi
insulin dan resistensi insulin yang melibatkan otot, hati, dan sel-sel adiposa.
Pankreas pada individu dengan fungsi sel yang normal dapat menyesuaikan
sekresi insulin untuk mempertahankan kadar glukosa darah yang normal.
Pada pasien dengan diabetes tipe 2, penurunan sekresi insulin postprandial
disebabkan oleh gangguan fungsi sel pankreas dan berkurangnya stimulasi
sekresi insulin dari hormon-hormon di usus.
Peningkatan berat badan juga dapat memicu resistensi insulin.
Peningkatan resistensi insulin pada peningkatan berat badan berhubungan
langsung dengan jumlah visceral adipose tissue (VAT). VAT adalah sel-sel
lemak yang terletak di dalam rongga abdomen. VAT merepresentasikan 20%
lemak pada pria dan 6% lemak pada wanita. Jaringan lemak ini menunjukkan
tingkat lipolisis yang lebih tinggi daripada lemak subkutan yang
mengakibatkan peningkatan produksi asam lemak bebas. Asam lemak bebas
19
kemudian dilepaskan ke sirkulasi portal dan dibawa ke hati di mana asam
lemak bebas tersebut memicu produksi VLDL dan menurunkan sensitivitas
insulin di jaringan perifer. VAT juga memproduksi sejumlah sitokin yang
menyebabkan resistensi insulin. Sel lemak juga mempunyai kemampuan
memproduksi sedikitnya satu hormon yang dapat meningkatkan sensitivitas
insulin yaitu adiponektin. Kemampuan ini menurun seiring dengan kenaikan
berat badan yang mencapai tingkat obesitas (Dipiro et al., 2008).
e. Metabolisme lemak pada diabetes
Kelainan utama metabolisme lemak pada diabetes adalah peningkatan
katabolisme lipid yang disertai peningkatan pembentukan benda keton dan
penurunan sintesis asam lemak serta gliserida. Manifestasi kelainan
metabolisme lipid tersebut sangat menonjol sehingga menurut Ganong
(1983), diabetes lebih cenderung merupakan penyakit metabolisme lemak
daripada metabolisme karbohidrat. Pada penderita diabetes melitus, gangguan
fungsi hormon insulin juga menyebabkan gangguan metabolisme lemak yang
ditandai dengan meningkatnya kadar beberapa zat turunan lemak seperti
trigliserida dan kolesterol. Peningkatan trigliserida dan kolesterol disebabkan
oleh penurunan pemecahan lemak yang terjadi karena penurunan aktivitas
enzim-enzim pemecah lemak yang kerjanya dipengaruhi oleh insulin
(Noortiningsih, 2004).
Kekurangan insulin dapat menyebabkan berkurangnya sintesis lemak,
mempermudah mobilisasi lemak dari jaringan, dan meningkatkan
penggunaan lemak. Sebaliknya, kelebihan insulin yang erat kaitannya dengan
20
resisten insulin, dapat menambah persediaan glukosa pada sel yang
menghambat penggunaan lemak dan menambah masukan lemak. Insulin juga
langsung menambah masukan asam lemak ke sel lemak sehingga menambah
cadangan lemak di samping mengurangi penggunaan lemak untuk energi
(Guyton, 1997).
7. Kolesterol
Kolesterol adalah zat alami tubuh dengan sifat fisik seperti lemak tetapi
memiliki struktur steroid. Kolesterol esensial bagi tubuh manusia untuk sintesis
zat-zat penting seperti membran sel, hormon kelamin dan adrenalin, vitamin D,
serta asam empedu (Tjay dan Rahardja, 2002).
Gambar 5. Struktur Kimia Kolesterol (King, 2012)
Sekitar separuh kolesterol tubuh berasal dari proses sintesis (sekitar 700
mg/hari) dan sisanya diperoleh dari makanan (Murray et al., 2009). Hati dan usus
masing-masing menghasilkan sekitar 10% dari sintesis total pada manusia.
Hampir semua jaringan yang mengandung sel berinti mampu membentuk
kolesterol yang berlangsung di retikulum endoplasma dan sitosol.
21
Gambar 6. Sintesis Kolesterol di Dalam Tubuh (King, 2012, dengan perubahan seperlunya)
Kolesterol diperoleh dari makanan berupa kolesterol bebas dan kolesterol
ester. Kolesterol ester akan dihidrolisis oleh kolesterol esterase menjadi kolesterol
yang berada dalam usus. Kolesterol diabsorpsi dari usus kemudian dimasukkan ke
dalam kilomikron yang dibentuk di dalam mukosa dan kemudian diangkut menuju
hati. Dari hati, kolesterol dibawa oleh VLDL (Very Low Density Lipoprotein)
untuk membentuk LDL (Low Density Lipoprotein) melalui perantara IDL
(Intermediate Density Lipoprotein). LDL akan membawa kolesterol ke seluruh
tubuh, tetapi dalam keadaan kadar kolesterol berlebih dalam darah, HDL (High
22
Density Lipoprotein) akan dipergunakan untuk mengangkut kelebihan kolesterol
menuju hati agar terjadi metabolisme kembali dan bisa disebarkan ke seluruh
tubuh melalui sirkulasi darah (Poedjiaji, 2007).
Gambar 7. Transpor Kolesterol dalam Tubuh (Dipiro et al., 2008, dengan perubahan
seperlunya)
8. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia adalah keadaaan terdapatnya akumulasi berlebih salah satu
atau lebih lipid utama dalam plasma sebagai manifestasi kelainan metabolisme
atau transportasi lipid. Dalam klinis, hiperlipidemia dinyatakan sebagai
23
hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia, atau kombinasi keduanya.
Hiperlipidemia dapat terjadi karena defek transportasi lipid atau karena produksi
endogen berlebihan. Kelainan ini dapat terjadi secara primer (hiperlipidemia
primer) maupun sekunder akibat penyakit lain (hiperlipidemia sekunder).
Hiperlipidemia primer disebabkan kelainan genetik sedangkan hiperlipidemia
sekunder disebabkan peningkatan kadar lipid darah yang disebabkan suatu
penyakit tertentu, misalnya diabetes melitus, gangguan tiroid, penyakit hati, dan
penyakit ginjal, serta obat-obatan (Tjay dan Rahardja, 2002). Povey (1994)
menyebutkan bahwa kadar kolesterol total darah yang normal adalah
24
9. Obat-obat antilipidemik
Obat antilipidemik dapat dibagi secara umum menjadi penurun sintesis
VLDL dan LDL, peningkat eliminasi VLDL, peningkat katabolisme LDL,
penurun absorpsi kolesterol, peningkat HDL, atau kombinasinya (Dipiro et al.,
2008). Mekanisme kerja obat antilipidemik antara lain adalah:
a. menghambat biosintesis kolesterol atau prekursornya,
b. menurunkan kadar trigliserida atau menghambat mobilisasi lemak dengan cara
menghambat aktivitas enzim trigliserida lipase sehingga menurunkan
kecepatan hidrolisis trigliserida, memblok kerja hormon pelepas asam lemak
bebas, dan menghambat pengikatan asam lemak bebas pada albumin,
c. menurunkan tingkat -lipoprotein dan pra -lipoprotein,
d. menghilangkan lemak,
e. mempercepat ekstrak lipid dan menghambat penyerapan kolesterol
(Siswandono dan Soekardjo, 1995).
Contoh obat antilipidemik adalah atorvastatin, simvastatin, lovastatin
(menghambat enzim HMG-CoA reduktase yang berperan dalam biosintesis
kolesterol), asam nikotinat (menghambat sekresi VLDL hepatik), gemfibrozil,
fenofibrat (aktivasi proliferasi PPAR), kolestiramin atau kolestipol (mengikat
asam empedu), dan ezetimibe (mengurangi absorpsi kolesterol di usus) (King,
2012).
Obat lain yang juga dapat digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol total
darah adalah metformin. Metformin adalah obat diabetes oral golongan biguanida
25
yang menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan sensitivitas
insulin. Metformin, dapat mencegah aterosklerosis dan menginduksi perubahan
struktur lipoprotein. Pemberian metformin pada pasien hiperlipidemia non
diabetik, dapat membantu menurunkan kadar kolesterol total darah dan LDL
sehingga dapat dipertimbangkan dalam pengobatan pasien diabetes yang juga
menderita hiperkolesterolemia (Pentikainen et al., 1990). Metformin dapat
menurunkan kadar kolesterol total dan LDL secara signifikan dibandingkan
dengan kontrol melalui mekanisme penurunan kadar gula darah. Efek
menurunkan kadar gula darah pada profil lipid tubuh tersebut sebenarnya terbatas
dan tidak diharapkan dapat mencegah penyakit kardiovaskular yang disebabkan
oleh gangguan profil lipid tubuh (Wulffele et al., 2004).
10. Induksi fruktosa
Fruktosa merupakan karbohidrat heksosa yang memiliki rumus kimia yang
sama dengan glukosa namun memiliki rumus bangun yang berbeda. Fruktosa
memiliki gugus keto pada posisi 2 dari rantai karbon, sedangkan glukosa memiliki
gugus aldehid pada posisi 1 dari rantai karbon (Tappy dan Le, 2010).
Konsumsi fruktosa sebagai pemanis mengalami peningkatan seiring dengan
peningkatan konsumsi soft drink, minuman, dan makanan yang menggunakan
pemanis sukrosa dan HFCS (high-fructose corn syrup). Kebanyakan HFCS yang
digunakan di minuman mengandung 55% fruktosa (Elliott et al., 2002).
Konsumsi fruktosa yang tinggi berperan dalam gangguan metabolime pada model
26
binatang yang mengakibatkan peningkatan berat badan, hiperlipidemia, dan
hipertensi (Basciano et al., 2005).
Di dalam hati fruktosa secara cepat dimetabolisme menjadi glukosa, glikogen,
laktat, dan lemak. Fruktosa diangkat ke dalam hati melalui GLUT-2 (Glucose
Transporter-2) kemudian diubah menjadi fruktosa-1-fosfat oleh enzim
fruktokinase dan lebih lanjut dimetabolisme dan disimpan sebagai lemak.
Sedangkan glukosa diangkut ke dalam hati menggunakan GLUT-2 kemudian
diubah menjadi glukosa-6-fosfat, selanjutnya diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan
lebih lanjut dimetabolisme dan disimpan sebagai glikogen (Tappy dan Le, 2010).
Gambar 8. Metabolisme Fruktosa di Hati (Basciano et al., 2005, dengan perubahan
seperlunya)
Terdapat bukti yang cukup mengenai kemampuan fruktosa meregulasi jalur
lipogenesis, yang memicu peningkatan trigliserida. Insulin dan glukosa diketahui
dapat secara langsung meregulasi sintesis dan sekresi lipid. Insulin mengontrol
ekspresi hepatic sterol regulatory element binding protein (SREBP), yang
27
merupakan faktor transkripsi yang bertanggung jawab dalam meregulasi
biosintesis asam lemak dan kolesterol. SREBP berikatan dengan sterol responsive
elements (SRE) dan dapat mengaktifkan enzim yang terlibat dalam jalur
biosintesis seperti HMG-CoA reduktase dan fatty acid synthase.
Miyazaki et al. (2004) melaporkan bahwa pemberian diet fruktosa 60% pada
tikus selama 7 hari dapat menginduksi SREBP-1 isoform dan ekspresi gen
lipogenik seperti FAS (fatty acid synthase), ACC (acetyl-CoA carboxylase), dan
SCD (stearoyl-CoA desaturase). Pemberian diet fruktosa menyebabkan
peningkatan aktivitas SREBP-1 secara bertahap.
11. Pengukuran kadar glukosa darah menggunakan pereaksi GOD-PAP
Penetapan kadar glukosa darah didasarkan pada kopling oksidasi enzimatik
glukosa oleh glukosa oksidase yang menghasilkan hidrogen peroksida. Hidrogen
peroksida kemudian diubah oleh peroksidase menghasilkan kuinoimin yang
berwarna merah. Senyawa berwarna yang dihasilkan kemudian dibaca serapannya
pada panjang gelombang 546 nm. Pada metode Trinder, orto-dianisidin yang
bersifat karsinogenik yang digunakan pada formulasi sebelumnya digantikan oleh
fenol dan 4-amino-antipirin. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
Gambar 9. Pembentukan Senyawa Kuinoimin pada Reaksi Glukosa dengan Reagen GOD-
PAP (Anonim, 2009)
28
12. Pengukuran kadar kolesterol total darah dengan metode CHOD-PAP
Metode analisis kolesterol pertama kali dilaporkan oleh Liebermann pada
tahun 1885 dan diikuti oleh Burchard pada tahun 1889. Pada reaksi Liebermann-
Burchard, kolesterol menghasilkan warna biru-hijau yang berasal dari reaksi
polimer karbohidrat tak jenuh dalam larutan asam asetat-anhidrida asetat-asam
sulfat pekat. Metode Abell dan Kendall merupakan metode yang spesifik untuk
kolesterol tetapi rumit dan membutuhkan reagen yang korosif. Pada tahun 1974,
Allain et al. dan Roeschlau et al. berhasil mengombinasikan kolesterol esterase
dan kolesterol oksidase dalam suatu reagen enzimatik untuk menetapkan kadar
kolesterol total. Sekarang reagen kolesterol mengombinasikan kedua enzim
tersebut dengan peroksidase, fenol, dan 4-aminoantipirin (4-APP) seperti pada
metode Trinder. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
Gambar 10. Pembentukan Kuinoimin pada Reaksi Kolesterol dengan Reagen CHOD-PAP
Kolesterol ester dalam serum mengalami hidrolisis enzimatik oleh kolesterol
esterase menjadi kolesterol dan asam lemak bebas. Kolesterol bebas kemudian
dioksidasi oleh kolesterol oksidase menjadi kolest-4-en-3-on dan H2O2. Dengan
adanya peroksidase, hidrogen peroksida yang terbentuk mengalami kopling
oksidatif dengan fenol dan 4-aminoantipirin (4-AAP) menghasilkan kuinoimin
yang berwarna merah. Intensitas warna yang dihasilkan berbanding lurus dengan
29
kadar kolesterol. Senyawa berwarna yang dihasilkan kemudian dibaca serapannya
pada panjang gelombang 546 nm (Anonim, 2011).
F. Landasan Teori
Tubuh mempertahankan kadar kolesterol total darah dalam rentang normal
(150-200 mg/dL) terutama dengan mengontrol sintesis de novo. Sintesis kolesterol
dalam tubuh juga dipengaruhi oleh asupan kolesterol dari makanan (King, 2012).
Ketika kadar kolesterol tinggi, tubuh akan berusaha mengembalikannya ke
keadaan normal dengan menekan sintesis kolesterol. Namun, bila tubuh terus
menerima asupan makanan yang tinggi lemak dan kolesterol, akhirnya tubuh tidak
dapat mengimbangi sehingga menyebabkan kondisi resisten insulin yang dapat
memicu hiperlipidemia. Oleh karena itu, ketika seseorang menderita
hiperlipidemia, dokter akan menyarankan pengaturan diet dan olah raga terlebih
dahulu (Erhlich, 2010).
Obat-obat antilipidemik diberikan ketika pengaturan diet dan olah raga tidak
dapat menurunkan kadar kolesterol total darah. Strategi obat-obat antilipidemik
dalam menurunkan kadar lipid darah pada penderita hiperlipidemia antara lain
adalah dengan menghambat biosintesis kolesterol atau prekursornya, menghambat
aktivitas enzim trigliserida lipase, memblok kerja hormon pelepas asam lemak
bebas dan menghambat pengikatan asam lemak bebas pada albumin, menurunkan
tingkat -lipoprotein dan pra -lipoprotein, menghilangkan lemak, serta
mempercepat ekstrak lipid dan menghambat penyerapan kolesterol (Siswandono
30
dan Soekardjo, 1995). Penurunan kadar lipid darah dapat dilakukan dengan salah
satu atau lebih mekanisme di atas.
Purbowanti (2006) melaporkan bahwa pemberian ekstrak terpurifikasi rimpang
temulawak dengan dosis 45 mg/200 gram BB pada tikus Wistar jantan yang diberi
diet tinggi lemak dapat menurunkan kadar kolesterol total darah sebesar 27,64%.
Kim dan Kim (2010) melaporkan bahwa kurkumin, konstituen aktif utama dalam
rimpang temulawak, dapat menurunkan kadar kolesterol total dengan cara
meningkatkan konversi kolesterol menjadi asam empedu melalui induksi ekspresi
gen CYP7A1. Gen CYP7A1 adalah rate-limiting enzyme yang berperan dalam
metabolisme kolesterol melalui konversi kolesterol menjadi asam empedu.
Sintesis asam empedu memerankan peran penting dalam homeostasis kadar
kolesterol (King, 2012).
Zuraini et al. (2006) melaporkan bahwa ekstrak air daun Andrographis
paniculata dengan dosis 100 dan 200 mg/kg BB dapat menurunkan kadar
kolesterol total darah dan LDL pada tikus yang diberi diet tinggi kolesterol.
Ekstrak air daun Andrographis paniculata dapat menghambat enzim HMG CoA
reduktase yang diisolasi dari hati tikus Wistar yang diberi diet tinggi lemak.
Konstituen yang mungkin memiliki aktivitas sebagai penghambat enzim HMG
CoA reduktase adalah andrografolid (Patel et al., 2011).
Enzim HMG CoA reduktase adalah rate-limiting enzyme yang berperan
dalam biosintesis kolesterol. Regulasi aktivitas HMG CoA reduktase adalah cara
utama untuk mengontrol biosintesis kolesterol. Penghambatan enzim HMG CoA
reduktase akan meningkatkan masukan LDL ke dalam sel untuk memenuhi
31
kebutuhan kolesterol sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol ekstraseluler
(King, 2012).
Andrografolid dapat menghambat sintesis kolesterol sedangkan kurkumin
dapat meningkatkan metabolisme kolesterol. Dengan mekanisme penurunan kadar
kolesterol total darah melalui dua sasaran yang berbeda, diasumsikan kombinasi
fraksi kurkuminoid rimpang temulawak dengan fraksi tak larut heksan ekstrak
etanolik herba sambiloto dapat menurunkan kadar kolesterol total darah lebih
efektif dibanding bentuk tunggalnya.
G. Hipotesis
Pemberian kombinasi fraksi kurkuminoid rimpang temulawak dengan fraksi
tak larut heksan ekstrak etanolik herba sambiloto lebih efektif dalam menurunkan
kadar kolesterol total darah tikus resisten insulin dibanding bentuk tunggalnya.